Anda di halaman 1dari 17

Thalia

240210160051
Kelompok 10
IV. PEMBAHASAN
Buah – buahan merupakan komoditi yang mudah rusak (perisable) karena
masih melangsungkan reaksi metabolismenya setelah dipanen yaitu, respirasi.
Respirasi merupakan proses penyerapan oksigen dan pengeluaran karbondioksida
serta energi yang digunakan untuk mempertahankan reaksi metabolisme dan
reaksi yang terjadi di dalam jaringan. Respirasi terjadi pada lingkungan
beroksigen (aerobik) ataupun tidak ada oksigen (anaerobik atau fermentasi).
Reaksi yang terjadi selama proses respirasi adalah sebagai berikut.
C6H12O6 + 6 O26CO2 + 6H2O + energi (Pastastico B., 1986).
Laju respirasi dapat menentukan umum simpan buah – buahan. Laju
respirasi yang tinggi biasanya disertai dengan umur simpan yang pendek. Faktor
yang mempengaruhi laju respirasi dikelompokkan menjadi faktor internal dan
faktor eksternal atau lingkungan. Faktor internal meliputi jenis komoditas yang
klimaterik atau non klimaterik dan kematangan atau tingkat umur komoditas
tersebut. Faktor eksternal meliputi suhu, komposisi udara dan adanya kerusakan
mekanik (Kays, SJ., 1991).
Rangkaian peralatan dimulai dengan dua toples kecil, sebuah toples besar,
dan dua toples kecil dibagian akhir. Toples pertama berisi larutan Ca(OH) 2, toples
kedua, keempat, dan kelima NaOH 0,05 N, dan toples ketiga yang besar berisi
sampel buah dan tidak berisi sampel yang disebut blanko. Blanko berfungsi
sebagai standar laju respirasi tanpa adanya respirasi buah. Masing – masing toples
disambungkan dengan selang dengan rangkaian yang tetap yaitu bagian kiri
mengenai larutan dan bagian kanan tidak mengenai larutan. Selang berfungsi
sebagai penyalur gas dari satu toples ke toples selanjutnya. Bagian awal toples
disambungkan dengan aerator. Aerator berfungsi sebagai penghasil gelembung
udara agar air kaya akan oksigen terlarut. Gelembung udara harus sampai ke
toples terakhir agar menandakan gas - gas sampai hingga ke toples terakhir. Setiap
toples ditutup rapat dan diberi plastisin agar tidak ada kebocoran gas dari toples
karena akan mempengaruhi hasil laju respirasi. Toples pertama yang berisi larutan
Ca(OH)2 25 ml berfungsi untuk membersihkan udara dari aerator dan bereaksi
dengan gas – gas di udara kecuali O2 yang akan sampai ke toples buah untuk
jalannya respirasi. Proses yang terjadi pada larutan Ca(OH)2 adalah:
Thalia
240210160051
Kelompok 10
Ca(OH)2 (aq) + CO2 (g)  CaCO3 (aq) + H2O (aq)
Larutan NaOH pada toples kedua berfungsi untuk mengikat gas CO 2 yang
masih lolos dari pengikatan oleh larutan Ca(OH)2. Larutan NaOH mengikat sisa –
sisa CO2 dengan reaksi:
NaOH(aq) + CO2(g)  Na2CO3(aq) + H2O(aq)
Toples ketiga berupa sampel buah/blanko akan melakukan proses respirasi
dengan O2 yang telah dihasilkan oleh aerator dan disaring oleh larutan Ca(OH) 2
dan NaOH. Larutan NaOH pada dua toples terakhir berfungsi untuk mengikat gas
CO2 yang dihasilkan. Eliminasi gas CO2 pada awal proses kerja alat dimaksudkan
agar gas CO2 yang diikat larutan NaOH pada dua toples terakhir hanya berasal
dari hasil respirasi buah-buahan. Setelah aerator dihidupkan selama 1 jam, diambil
25 ml dari larutan NaOH toples keempat dan kelima. Larutan NaOH dititrasi
dengan HCl menggunakan indikator pp 1%. Titik akhir titrasi ditandai dengan
perubahan warna dari ungu menjadi bening (Salveit, 2004). Reaksi yang terjadi
adalah sebagai berikut.
NaOH (aq) + HCl (aq) → H2O (aq) + NaCl (aq)
Laju respirasi buah dapat diketahui berdasarkan hasil volume titrasi
dengan rumus:

1
(ml blanko−ml percobaan)
2
Laju respirasi= × N HCl × BM CO 2
kg buah
Grafik laju respirasi pada buah-buahan klimakterik dan non klimakterik memiliki
pola yang berbeda. Grafik laju respirasi pada buah klimakterik dan non
klimakterik adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Grafik Komoditi


Thalia
240210160051
Kelompok 10
(Sumber: Salveit, 2004)
Pengamatan laju respirasi dilakukan selama 5 hari untuk mengetahui
proses laju respirasi buah berdasarkan perlakuan yang diberikan. Perlakuan yang
dilakukan pada praktikum adalah suhu ruang, suhu dingin, etilen, dan luka
memar. Sampel yang digunakan pada pengujian laju respirasi ini adalah apel,
tomat, jeruk, dan timun.
4.1 Apel
Apel merupakan buah klimaterik sehingga setelah dipanen akan
mengalami perubahan – perubahan sifat fisik dan kimianya, disebabkan oleh
berlangsungnya metabolisme (Pantastico, B., 1986). Tekstur, aroma, warna, dan
laju respirasi apel dapat berubah seiring dengan perkembangan fisiologis buah.
Berikut hasil pengamatan buahh apel dengan berbagai perlakuan.
Tabel 1. Laju Respirasi Buah Apel
Organoleptik Laju
Hari V HCl Respirasi T
Sampel
ke- Warna Aroma Tekstur (ml) (mgCO2/g (oC)
/jam)
hijau apel keras ++
0 13,3 0,00373
muda segar ++  
hijau apel keras ++
1 16,3 0,00373
muda segar ++  
hijau apel
Apel keras ++
2 garis menye- 14,5 0,00745
(502 g) ++
merah ngat  
suhu
hijau apel
ruang keras
3 bercak menye- 13,8 0,00712
keriput
merah ngat  
hijau apel
masih
4 bercak menye- 12,8 0,01775
keras
merah ngat  
Apel hijau
apel keras ++
(514 g) 0 kemera- 23 0,00150  
segar ++
suhu han
dingin hijau
apel keras ++
1 kemera- 19,6 -0,00064 15,8
segar +
han
hijau
apel
2 kemera- keras ++ 17,6 0,00107 21,5
segar
han
3 hijau apel keras ++ 17 0,00642 15,7
kemera- segar
han
Thalia
240210160051
Kelompok 10
hijau
apel
4 kemera- keras ++ 19 0,00984 14,5
segar
han
hijau
muda apel keras ++
0 14,8 0,00410
bercak segar ++
merah  
hijau
apel dan keras ++
1 bercak 12,4 0,01703
karbit ++
merah  
Apel hijau apel
keras ++
(536 g) 2 bercak berbau 14,3 0,01375
+
etilen merah karbit  
berbau
hijau
karbit keras ++
3 bercak 20,4 -0,00205
dan +
merah
tomat  
hijau
apel dan keras ++
4 bercak 21,7 0,00123
karbit +
merah  
Hijauke
Bauapel
0 mera- Keras 15,7 -0,00328
(++)
han  
Hijauke
1 mera- Bauapel Keras 15,2 0,00965
han  
Apel
Hijauke
(570 g)
2 mera- Bauapel Keras 17,4 0,00058
luka
han  
memar
Hijauke
Bauapel
3 mera- Keras 19,6 0,00405
sedikit
han  
Hijauke
Bauapel Keras
4 mera- 11,3 0,01640
(+) (+)
han  
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui karakteristik organoleptik


pada sampel apel tidak mengalami perubahan yang signifikan. Apel yang
disimpan pada suhu ruang mengalami perubahan warna dari hijau muda menjadi
hijau kemerahan. Hal ini disebabkan degradasi klorofil selama pematangan sel
sehingga muncul pigmen warna merah. Degradasi klorofil ini disebabkan juga
karena adanya perubahan pH oleh pembentukan asam organik dalam vakuola,
proses oksidasi maupun aktivitas enzim khlorofilase. Bercak merah yang terdapat
Thalia
240210160051
Kelompok 10
pada apel suhu ruang disebabkan oleh pengaruh suhu tinggi (Azudin, 2004).
Aroma apel yang semakin menyengat pada perlakuan suhu ruang disebabkan
senyawa volatile pada sampel yang menguap bersama dengan CO 2. Perubahan
tekstur apel yang semakin melunak disebabkan oleh pemecahan protopektin
menjadi senyawa pektat dan hidrolosis pati, lemak atau lignin serta penurunan
tekanan tugor. Pelunakan juga dapat disebabkan produksi etilen yang
mempengaruhi permeabilitas membran. Pengaruh perlakuan terhadap
organoleptik apel tidak terlihat dengan jelas karena apel telah mengalami masa
pematangan dimana metabolism apel sedang berjalan lambat. Perubahan
organoleptik paling sedikir terjadi pada perlakuan suhu rendah. Hal ini disebabkan
suhu rendah dapat menghambat reaksi enzimatis, mereduksi laju respirasi maupun
pertumbuhan mikroorganisme serta menghambat laju kemunduran mutu produk
(Beckett, 1995). Perubahan laju respirasi pada apel dapat dilihat pada grafik
berikut.
Gambar 2.
Grafik Laju

Respirasi Buah Apel


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

Berdasarkan grafik, urutan laju respirasi apel dari yang tertinggi hingga
terendah adalah perlakuan etilen, luka memar, suhu ruang, dan suhu rendah.
Grafik laju respirasi apel menggambarkan laju respirasi buah klimaterik. Buah
klimaterik akan mengalami penurunan laju respirasi setelah dipanen sebagai tahap
pra klimaterik, kemudian akan meningkat drastis sebagai tahap klimaterik dan
akan menurun kembali sebagai tahap post kliamaterik (Salveit, 2004).
Thalia
240210160051
Kelompok 10
Berdasarkan grafik, laju respirasi pada suhu dingin lebih rendah
dibandingkan peningkatan laju respirasi di suhu ruang. Hal ini disebabkan suhu
dingin dapat merubah kecepatan glikolisis dan respirasi mitokonrida yang
mengakibatkan laju respirasi menjadi lambat dibandingkan suhu tinggi. Suhu
rendah akan mereduksi laju respirasi dan transpirasi, laju pertumbuhan
mikroorganisme, menghambat reaksi enzimatis, dan memperlambat laju produksi
etilen (Beckett, 1995).
Laju repirasi tertinggi apel terdapat pada perlakuan penambahan etilen.
Apel yang merupakan buah klimaterik apabila diberi perlakuan etilen maka akan
menstimulir pada proses respirasi maupun pembentukan etilen sehingga laju
respirasi dapat melonjak tajam. Semakin besar konsentrasi C2H2 sampai tingkat
kritis semakin cepat stimulasi respirasinya. Etilen akan bekerja efektif pada waktu
tahap klimaterik, sedangkan penggunaan etilen pada tahap post klimaterik tidak
akan merubah laju respirasi. Laju respirasi apel dengan perlakuan luka memar
terbilang tinggi disebabkan karena adanya luka akan mengakibatkan tekanan pada
biosintesis etilen dan peningkatan laju respirasi (Beckett, 1995)
4.2 Jeruk
Jeruk setelah dipetik masih melangsungkan proses hidup. Proses hidup
yang penting dalam buah jeruk adalah respirasi dan proses pematangan buah.
Proses biokimia tersebut dapat mengakibatkan perubahan warna, tekstur, aroma,
dan laju respirasi jeruk yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2. Laju Respirasi Buah Jeruk
Organoleptik Laju
Hari V HCl Respirasi T
Sampel
ke- Warna Aroma Tekstur (ml) (mgCO2/ (oC)
g/jam)
hijau
jeruk keras +++
0 kekuni- 16 -0,00221
segar +
ngan  
hijau
jeruk
1 kekuni- keras +++ 15,2 0,00620
Jeruk segar
ngan  
(533 g)
hijau jeruk
suhu
2 kekun- menye- keras ++ 12,9 0,01107
ruang
ingan ngat  
hijau
jeruk
3 kekuni- keras ++ 10,3 0,01494
apek
ngan  
4 hijau jeruk keras + 10,2 0,02368  
Thalia
240210160051
Kelompok 10
kekuni-
apek
ngan
hijau
jeruk
0 kekuni- keras +++ 23,2 0,00103  
segar
ngan
hijau
jeruk
1 kekuni- keras +++ 17,5 0,00369 14,5
segar
ngan
Jeruk
hijau
(536 g) jeruk
2 kekuni- keras ++ 17,5 0,00123 17
suhu segar
ngan
dingin
hijau
jeruk
3 kekuni- keras ++ 19 0,00205 16,3
segar
ngan
hijau
jeruk
4 kekuni- keras + 18,4 0,01067 13,5
segar
ngan
kuning jeruk
0 keras 15,5 0,00239
kehijauan segar  
jeruk
kuning
1 sedikit keras 16,7 0,00736
kehijauan
karbit  
Jeruk kuning karbit ++ keras
(598 g) 2 19,5 0,00276
kehijauan ++ melunak  
etilen karbit ++
kuning keras
3 + dan 18,6 0,00147
kehijauan melunak
jeruk +  
karbit ++
keras
4 kuning + dan 17,7 0,00846
melunak
jeruk +  
HijauKek Baukhas
0 Keras 14 0,00000
uni-ngan jeruk  
Hijaukeku Baukhas
1 Agakkeras 16 0,00872
ni-ngan jeruk  
Aroma
Kuningke asamme
Jeruk 2 hijauan nujubusu
Lembek 18,8 -0,00228
(530 g) k  
luka Aroma
memar Kuning asamme
3 kehijauan nujubusu
Lembek 11,8 0,02055
k  
Cokelat
Aroma
yang
4 busukme Lembek 9,56 0,02125
dipenuhilu
nye-ngat
mut  
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)
Berdasarkan hasil pengamatan, perubahan organoleptik yang terjadi pada
suhu ruang dan suhu rendah tidak signifikan. Hal ini disebabkan suhu rendah
Thalia
240210160051
Kelompok 10
dapat menghambat reaksi enzimatis, mereduksi laju respirasi maupun
pertumbuhan mikroorganisme serta menghambat laju kemunduran mutu produk
(Beckett, 1995). Jeruk yang ditambahkan etilen mengalami perubahan warna dari
kuning kehijauan menjadi kuning disebabkan oleh beberapa pigmen warna yang
menyebabkan kerusakan pada pigmen warna yang lain (Masking Effect). Jeruk
yang memiliki luka memar mengalami perubahan warna menjadi coklat dengan
lumut disebabkan adanya perubahan biokimia berupa oksidasi senyawa fenol oleh
enzim polifenoloksidase dan adanya mikroorganisme yang tumbuh pada bagian
jeruk yang luka (Trenggono, 1989).
Perubahan aroma pada jeruk dapat disebabkan oleh menguapnya senyawa
volatile sedangkan aroma busuk menyengat pada perlakuan luka memar
menandakan jeruk mengalami kebusukan oleh mikroorganisme. Perubahan tekstur
pada perlakuan etilen dan luka memar disebabkan oleh pemecahan protopektin
menjadi senyawa pektat (Trenggono, 1989). Perubahan laju respirasi pada jeruk
dapat dilihat pada grafik berikut.

Gambar 3. Grafik Laju Respirasi Buah Jeruk


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

Jeruk termasuk buah non klimaterik. Buah non klimaterik ketika dipanen
tidak mengakibatkan perubahan karbohidrat menjadi gula dan tidak ada perubahan
komposisi buah selama pematangannya. Buah non klimaterik tidak menunjukkan
perubahan / peningkatan laju produksi etilen dan CO2 setelah dipanen.
Berdasarkan grafik, laju respirasi jeruk belum dapat menggambarkan pola
respirasi non klimaterik. Hal ini dapat disebabkan adanya kebocoran gas yang
Thalia
240210160051
Kelompok 10
menyebabkan terganggunya pola respirasi jeruk. Kebocoran gas ini dapat terjadi
meskipun semua toples larutan terdapat gelembung udara. Kebocoran gas ini
dapat mempengaruhi pola respirasi jeruk yang semakin meningkat. Berdasarkan
grafik, besarnya laju respirasi jeruk dengan adanya penambahan etilen tidak
melebihi laju respirasi pada suhu ruang. Produksi etilen buah jeruk sangat rendah,
yaitu kurang dari 0,1 L/kg-jam pada suhu 20°C. Buah – buahan non klimaterik
yang diberi perlakuan etilen dalam jumlah besar baru akan berdampak pada proses
respirasinya saja. Oleh sebab itu, laju respirasi jeruk dengan perlakuan etilen
belum dapat meningkat karena etilen yang digunakan masih dalam skala kecil
(Sutopo, 2007).
Laju respirasi jeruk pada suhu dingin seharusnya lebih rendah daripada
perlakuan suhu ruang. Hal ini disebabkan suhu pendinginan yang dilakukan hanya
pada suhu 13-17°C. Suhu optimum untuk penyimpanan buah jeruk adalah 5 – 10
°C . Buah jeruk yang disimpan pada suhu ruang biasanya hanya dapat bertahan
selama 2 minggu karena adanya risiko kebusukan. Umumnya laju respirasi
meningkat 2-2,5 kali setiap kenaikan suhu 10°C. Kandungan O2 pada ruang
penyimpanan juga perlu diperhatikan karena semakin tinggi kadar oksigen maka
laju respirasi semakin cepat. Konsentrasi CO2 yang sesuai dapat memperpanjang
umur simpan karena terjadi gangguan pada respirasinya (Sutopo, 2007).
Laju respirasi dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui daya
simpan buah setelah panen. Semakin tinggi laju respirasi, semakin pendek umur
simpan. Bila proses respirasi berlanjut terus, buah akan mengalami kelayuan dan
akhirnya terjadi pembusukan sehingga zat gizi hilang. Buah jeruk sebaiknya
dipanen pada saat matang fisiologis untuk mendapatkan kualitas yang tinggi.
Buah jeruk yang dipanen terlalu awal menyebabkan rasanya masam dan warna
buah kurang menarik (Sutopo, 2007).
4.3 Timun
Timun atau Cucumis sativus merupakan tumbuhan yang menghasilkan
buah yang dapat dimakan. Berikut hasil pengamatan pada buah timun dengan
berbagai perlakuan.
Tabel 3. Laju Respirasi Buah Timun
Hari Organoleptik V HCl Laju Respirasi
Sampel T (oC)
ke- Warna Aroma Tekstur (ml) (mgCO2/g/jam)
Thalia
240210160051
Kelompok 10
keras +++
0 hijau timun segar 17,8 -0,00620
+  
1 hijau timun segar keras +++ 13,8 0,00930  
Timun
masih
(497 g) 2 hijau timun segar 13,1 0,01062
keras  
suhu
masih
ruang 3 hijau timun segar 9,9 0,01582
keras  
masih
4 hijau timun segar 12,2 0,01926
keras  
0 hijau mudatimun segar keras ++ 19,4 0,00896  
Timun
1 hijau mudatimun segar keras ++ 13,6 0,01188 15,4
(528 g)
2 hijau mudatimun segar keras ++ 18,2 -0,00021 14,3
suhu
3 hijau mudatimun segar keras ++ 16,3 0,00771  
dingin
4 hijau mudatimun segar keras ++ 17,3 0,01313 14
0 hijau khas timun keras +++ 15,3 0,00387  
1 hijau khas timun keras ++ 15,3 0,01394  
bau karbit +
2 hijau keras ++ 13,1 0,02040
Timun ++  
(426 g) keras,
bau karbit +
etilen 3 hijau bagian 18,3 0,00284
++
ujung kisut  
kuning lembek
4 karbit ++++ 10,7 0,02995
hijau muda berair  
0 hijau khas timun keras + 11,7 0,00516  
hijau
1 muda bau busuk keras 13,7 0,01459
berkapang  
Hijau tua
dan hijau
Timun 2 muda timun keras 14,4 0,00741
(490 g) (dominan),
luka berkapang  
memar Hijau Lembek +
menyengat
3 muda ++, lendir 14,7 0,01571
++
pucat pada luka  
lembek ++
hijau muda bau busuk + ++ dan
4 15 0,01078
pucat ++ berjamur +
+  
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)
Thalia
240210160051
Kelompok 10
Berdasakan hasil pengamatan, sifat organoleptik timun tidak mengalami
perubahan pada perlakuan suhu ruang dan suhu dingin. Hasil ini membuktikan
bahwa suhu rendah dapat menghambat laju kemunduran produk sebab proses
respirasi dan enzimatis direduksi, serta pertumbuhan mikroorganisme dihambat
(Beckett, 1995). Timun dengan perlakuan penambahan etilen mengalami sedikit
perubahan warna menjadi kuning hijau muda pada hari keempat dan tekstur
menjadi lembek berair. Etilen mempunyai pengaruh yang tidak diinginkan pada
kualias sayur atau buah segar. Etilen berfungsi sebagai hormone yang aktif dalam
pematangan buah sehingga dapat menurunkan umur simpan dan menyebabkan
perubahan organoleptik. Timun beraroma karbit disebabkan penempatan karbit
pada satu toples tertutup sehingga timun menyerap bau karbit yang menyengat.
Timun luka memar mengalami perubahan warna dari hijau menjadi hijau muda
pucar, aroma menjadi busuk dan tekstur yang lembek sekali dan berjamur. Memar
merupakan gejala kerusakan sayur atau buah selama transportasi. Memar dapat
disebabkan gesekan antara buah dengan dinding kemasan selama proses
transportasi. Memar mengindikasikan bahwa jaringan daging timun telah rusak
sehingga mutu timun menurun (Wills, 1989)..

Gambar 4. Grafik Laju Respirasi Buah Timun


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)
Berdasarkan grafik, laju respirasi timun belum menggambarkan laju
respirasi non klimaterik. Laju respirasi non klimaterik seharusnya tidak terjadi
peningkatan laju respirasi setelah memasuki masa ripening. Laju respirasi timun
pada suhu ruang mengalami peningkatan hingga hari keempat. Laju respirasi
timun pada suhu rendah mengalami penurunan dan kenaikan drastis dan diikuti
Thalia
240210160051
Kelompok 10
penurunan kembali seperti halnya grafik klimaterik. Laju respirasi timun dengan
etilen sama halnya dengan grafik suhu rendah dan laju respirasi timun luka memar
mengalami kenaikan penurunan secara bergantian. Perbedaan hasil dengan
literatur disebabkan karena adanya kebocoran gas pada toples sampel sehingga
pola respirasi timun terganggu dengan gas – gas diluar toples.
Laju respirasi timun sebagai non klimaterik seharusnya mengalami tingkat
tertinggi pada fase pembelahan sel. Hal ini dikarenakan ketika sel melakukan
pembelahan, dibutuhkan energi yang sangat besar dan satu – satunya sumber
energi tersebut adalah dari proses respirasi. Memasuki fase ripening , timun
sebagai non klimaterik mengalami penutunan laju respirasi dan produksi etilen.
Oleh karena itu, waktu pemanen timun dilakukan setelah matang penuh untuk
dapat dikonsumsi (Wills, 1989).
4.4 Tomat
Tomat adalah buah yang mengalami pola respirasi klimaterik. Berikut
hasil pengamatan sampel tomat dengan berbagai perlakuan.
Tabel 4. Laju Respirasi Buah Tomat
Organoleptik Laju
V
Hari Respirasi T
Sampel HCl o
ke- Warna Aroma Tekstur (mgCO2/ ( C)
(ml)
g/jam)
tomat keras +++
0 orange 14,7 0,00063
segar +  
merah tomat keras +++
1 15,5 0,00523
kehijauan segar +  
merah
Tomat tomat
2 sedikit keras ++ 13,3 0,00962
(526 g) segar
pudar  
suhu
merah tomat
ruang 3 keras + 9,5 0,01579
kehijauan segar  
sebagian
merah tua
pisang keras dan
4 kehijauan 2,3 0,03890
matang sebagian
berkapang
lunak  
merah tomat keras +++
0 21,6 0,00509  
Tomat kehijauan segar +
(454 g) merah khas
1 keras ++ 19,7 -0,00097 14,4
suhu kehijauan tomat
dingin merah khas
2 keras ++ 17 0,00267 21,3
kehijauan tomat
Thalia
240210160051
Kelompok 10
merah khas
3 keras ++ 19,5 0,00121 17
kehijauan tomat
merah khas
4 keras ++ 22,2 0,00339 16,9
kehijauan tomat
bau
merah
0 khas keras +++ 16,7 0,00029
kehiajuan
tomat  
merah bau
1 keras +++ 15,3 0,01555
kehiajuan tomat  
bau
tomat
oranye mulai
2 keras ++ 20,4 0,00173
Tomat kehijauan hilang,
(382 g) bau
etilen karbit  
berbau
oranye karbit
3 keras ++ 17,9 0,00432
kehijauan dan
tomat  
bau
tomat +, keras
oranye
4 bau mulai 19,1 0,00921
kehiajuan
karbit + lunak
+++  
merah bau
0 kehijauan tomat + keras 12 0,00512
+++ +  
merah
bau
1 kehiajuan keras 19,5 0,00179
tomat +
++  
Tomat bau
2 merah lembek 16,5 0,00307
(430 g) tomat  
luka Aroma
memar Merah, 2 asam,
3 Lembek 13 0,02226
berkapang menuju
busuk  
Aroma
Merah, 3 asam Lembek,
4 15 0,01228
berkapang dan berair
busuk  
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

Berdasarkan hasil pengamatan, tomat yang disimpan pada suhu ruang


mengalami perubahan warna dari oranye menjadi merah tua kehijauan. Pigmen
utama buah tomat adalah karoten dan likopen. Warna hijau tomat disebabkan
Thalia
240210160051
Kelompok 10
adanya klorofil yang berperan dalam proses fotosintesis selama pematangan.
Selama pematangan, pigmen likopen yang berwarna merah akan terakumulasi
dengan cepat. Aroma dan tekstur tomat juga mengalami perubahan selama
disimpan 4 hari pada suhu ruang. Hal ini disebabkan tomat berada suhu yang
mendekati ideal untuk pematangannya yaitu 18 - 22°C (Winarno, 1981).
Tomat yang disimpan pada suhu dingin tidak mengalami perubahan warna
dan aroma. Perubahan hanya terjadi pada tekstur yang sedikit berkurang
kekerasannya. Hal ini menandakan suhu dingin dapat menekan perubahan
organoleptik pada tomat. Pengendalian suhu dapat mengendalikan kematangan
buah, kelayuan, mencegah kerusakan oleh mikroba serta perubahan tekstur tomat.
Suhu antara 10 - 18°C dengan kelembaban 85%-90% baik untuk penyimpanan
buah tomat karena dapat menunda pematangannya. Prinsip penyimpanan suhu
rendah ini adalah menekan terjadinya respirasi dan transpirasi sehingga proses
perubahan berjalan lambat dan daya simpan menjadi lebih lama dan mutu dapat
terjaga. Suhu rendah dapat menurunkan akivitas ACC (asam amino siklopropana
karboksilat) oksidase, akumulasi ACC dan menurunkan produksi etilen (Winarno,
1981).
Tomat yang diberi penambahan etilen mengalami perubahan warna dari
merah kehijauan menjadi oranye kehijauan, bau yang memudar, dan tekstur yang
menulak. Hal ini membuktikan etilen sebagai hormon yang aktif dalam
pematangan buah. Perlakuan etilen pada tomat sebagai buah klimaterik
menstimulir proses respirasi maupun pembentukan etilen baru. Tekstur yang
melunak disebabkan hancurnya polimer karbohidrat penyusun dinding sel,
khususnya pektin dan hemiselulosa yang akan melemahkan dinding sel dan ikatan
kohesi jaringan.
Tomat yang memiliki luka memar mengalami perubahan warna dari merah
kehijauan menjadi merah dengan kapang, aroma yang menjadi asam dan busuk,
serta tekstur yang lembek dan berair. Hal ini disebabkan tomat yang mengalami
luka akan mengakibatkan tekanan pada biosintesis etilen dan kematangan buah
semakin cepat. Aroma yang asam tekstur yang lembek berair menandakan tomat
sudah mengalami kebusukan (Wills, 1989). Perubahan laju respirasi pada tomat
dapat diketahui lebih jelas dengan grafik berikut.
Thalia
240210160051
Kelompok 10

Gambar 5. Grafik Laju Respirasi Buah Tomat


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

Berdasarkan hasil pengamatan, laju respirasi tomat yang disimpan suhu


dingin lebih rendah dibandingkan disimpan pada suhu ruang. Hal ini sesuai
dengan pernyataan bahwa pada suhu dingin (chilling) dapat terjadi perubahan
yang sangat menyolok pada kecepatan glikolisis dan respirasi mitokondria yang
menyebabkan laju respirasi menjadi lambat dibandingkan suhu tinggi. Laju
respirasi tomat dengan adanya luka memar meningkat. Adanya luka, memar, lecet
akibat gesekan, maupun luka potongan juga menjadi jalan masuknya (infeksi)
patogen baik jamur maupun bakteri sehingga kemungkinan sampel untuk
mengalami kebusukan sangat besar disamping produksi etilen yang bertambah.
Penambahan etilen pada tomat berpengaruh meningkatkan laju respirasi pada fase
klimaterik (Winarno, 1981).

V. KESIMPULAN
 Apel dan tomat termasuk pola respirasi klimaterik sedangkan jeruk dan
timun termasuk non klimaterik, namun hasil pengamatan tidak semua
menunjukkan hasil yang sesuai dengan pola respirasinya
 Selama proses pematangan terjadi beberapa perubahan organoleptik
seperti warna, tekstur, dan aroma yang menunjukkan terjadinya perubahan
komposisi
Thalia
240210160051
Kelompok 10
 Laju respirasi sampel yang disimpan pada suhu ruang lebih tinggi
dibandingkan suhu rendah. Suhu rendah dapat menghambat laju respirasi
dan perubahan organoleptik.
 Perlakuan etilen hanya berpengaruh pada pola respirasi klimaterik dan
tidak berpengaruh pada non klimaterik karena skala penggunaan etilen
yang kecil
 Adanya luka memar dapat meningkatkan pola respirasi dan mempercepat
perubahan organoleptik

DAFTAR PUSTAKA
Azudin. 2004. Storage of Mangosteen. Jurnal Asean Food 2(2): 70 - 80
Beckett. 1995. Physical – Chemical Aspect of Food Processing. Chapman & Hall.
London
Dwiari, Dkk. 2008. Teknologi Pangan. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Kejuruan: Jakarta
Hanum, Chairani. 2008. Teknik Budidaya Tanaman jilid 2. Depdiknas. Jakarta
Kays, SJ. 1991. Postharvest Physiology of Perisable Plant Products. AVI
Publishers. New York.
Thalia
240210160051
Kelompok 10
Pantastico, B. 1986. Fisiologi Pasca Panen. Penanganan dan Pemanfaatan Buah –
Buahan dan Sayur – Sayuran Tropika dan Subtropika. Yogyakarta : UGM
Press.
Salveit. 2004. Respiratory Metabolism. California: University of California
Sutopo. 2007. Perubahan kualitas buah jeruk yang disimpan dan dibiarkan di
pohon. Hayati 11 (1) : 25 - 28
Tranggono, Setiaji B., Suhardi, Sudarmanto, Y. Marsono, Agnes Murdianti, Indah
S.U., dan Suparmo. 1989. Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas
Pangan dan gizi, UGM.
Wills, R.B.H., W.B. McGlasson, D. Graham, T.H. Lee, and E.G. Hall. 1989.
Postharvest: An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and
Vegetables. An Avi Book, Van Nostrand Reinhold. New York. 164p.
Winarno, F.G. dan M. Arman. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Hudaya.
Jakarta. 97 hal.

Anda mungkin juga menyukai