240210160051
Kelompok 10
IV. PEMBAHASAN
Buah – buahan merupakan komoditi yang mudah rusak (perisable) karena
masih melangsungkan reaksi metabolismenya setelah dipanen yaitu, respirasi.
Respirasi merupakan proses penyerapan oksigen dan pengeluaran karbondioksida
serta energi yang digunakan untuk mempertahankan reaksi metabolisme dan
reaksi yang terjadi di dalam jaringan. Respirasi terjadi pada lingkungan
beroksigen (aerobik) ataupun tidak ada oksigen (anaerobik atau fermentasi).
Reaksi yang terjadi selama proses respirasi adalah sebagai berikut.
C6H12O6 + 6 O26CO2 + 6H2O + energi (Pastastico B., 1986).
Laju respirasi dapat menentukan umum simpan buah – buahan. Laju
respirasi yang tinggi biasanya disertai dengan umur simpan yang pendek. Faktor
yang mempengaruhi laju respirasi dikelompokkan menjadi faktor internal dan
faktor eksternal atau lingkungan. Faktor internal meliputi jenis komoditas yang
klimaterik atau non klimaterik dan kematangan atau tingkat umur komoditas
tersebut. Faktor eksternal meliputi suhu, komposisi udara dan adanya kerusakan
mekanik (Kays, SJ., 1991).
Rangkaian peralatan dimulai dengan dua toples kecil, sebuah toples besar,
dan dua toples kecil dibagian akhir. Toples pertama berisi larutan Ca(OH) 2, toples
kedua, keempat, dan kelima NaOH 0,05 N, dan toples ketiga yang besar berisi
sampel buah dan tidak berisi sampel yang disebut blanko. Blanko berfungsi
sebagai standar laju respirasi tanpa adanya respirasi buah. Masing – masing toples
disambungkan dengan selang dengan rangkaian yang tetap yaitu bagian kiri
mengenai larutan dan bagian kanan tidak mengenai larutan. Selang berfungsi
sebagai penyalur gas dari satu toples ke toples selanjutnya. Bagian awal toples
disambungkan dengan aerator. Aerator berfungsi sebagai penghasil gelembung
udara agar air kaya akan oksigen terlarut. Gelembung udara harus sampai ke
toples terakhir agar menandakan gas - gas sampai hingga ke toples terakhir. Setiap
toples ditutup rapat dan diberi plastisin agar tidak ada kebocoran gas dari toples
karena akan mempengaruhi hasil laju respirasi. Toples pertama yang berisi larutan
Ca(OH)2 25 ml berfungsi untuk membersihkan udara dari aerator dan bereaksi
dengan gas – gas di udara kecuali O2 yang akan sampai ke toples buah untuk
jalannya respirasi. Proses yang terjadi pada larutan Ca(OH)2 adalah:
Thalia
240210160051
Kelompok 10
Ca(OH)2 (aq) + CO2 (g) CaCO3 (aq) + H2O (aq)
Larutan NaOH pada toples kedua berfungsi untuk mengikat gas CO 2 yang
masih lolos dari pengikatan oleh larutan Ca(OH)2. Larutan NaOH mengikat sisa –
sisa CO2 dengan reaksi:
NaOH(aq) + CO2(g) Na2CO3(aq) + H2O(aq)
Toples ketiga berupa sampel buah/blanko akan melakukan proses respirasi
dengan O2 yang telah dihasilkan oleh aerator dan disaring oleh larutan Ca(OH) 2
dan NaOH. Larutan NaOH pada dua toples terakhir berfungsi untuk mengikat gas
CO2 yang dihasilkan. Eliminasi gas CO2 pada awal proses kerja alat dimaksudkan
agar gas CO2 yang diikat larutan NaOH pada dua toples terakhir hanya berasal
dari hasil respirasi buah-buahan. Setelah aerator dihidupkan selama 1 jam, diambil
25 ml dari larutan NaOH toples keempat dan kelima. Larutan NaOH dititrasi
dengan HCl menggunakan indikator pp 1%. Titik akhir titrasi ditandai dengan
perubahan warna dari ungu menjadi bening (Salveit, 2004). Reaksi yang terjadi
adalah sebagai berikut.
NaOH (aq) + HCl (aq) → H2O (aq) + NaCl (aq)
Laju respirasi buah dapat diketahui berdasarkan hasil volume titrasi
dengan rumus:
1
(ml blanko−ml percobaan)
2
Laju respirasi= × N HCl × BM CO 2
kg buah
Grafik laju respirasi pada buah-buahan klimakterik dan non klimakterik memiliki
pola yang berbeda. Grafik laju respirasi pada buah klimakterik dan non
klimakterik adalah sebagai berikut:
Berdasarkan grafik, urutan laju respirasi apel dari yang tertinggi hingga
terendah adalah perlakuan etilen, luka memar, suhu ruang, dan suhu rendah.
Grafik laju respirasi apel menggambarkan laju respirasi buah klimaterik. Buah
klimaterik akan mengalami penurunan laju respirasi setelah dipanen sebagai tahap
pra klimaterik, kemudian akan meningkat drastis sebagai tahap klimaterik dan
akan menurun kembali sebagai tahap post kliamaterik (Salveit, 2004).
Thalia
240210160051
Kelompok 10
Berdasarkan grafik, laju respirasi pada suhu dingin lebih rendah
dibandingkan peningkatan laju respirasi di suhu ruang. Hal ini disebabkan suhu
dingin dapat merubah kecepatan glikolisis dan respirasi mitokonrida yang
mengakibatkan laju respirasi menjadi lambat dibandingkan suhu tinggi. Suhu
rendah akan mereduksi laju respirasi dan transpirasi, laju pertumbuhan
mikroorganisme, menghambat reaksi enzimatis, dan memperlambat laju produksi
etilen (Beckett, 1995).
Laju repirasi tertinggi apel terdapat pada perlakuan penambahan etilen.
Apel yang merupakan buah klimaterik apabila diberi perlakuan etilen maka akan
menstimulir pada proses respirasi maupun pembentukan etilen sehingga laju
respirasi dapat melonjak tajam. Semakin besar konsentrasi C2H2 sampai tingkat
kritis semakin cepat stimulasi respirasinya. Etilen akan bekerja efektif pada waktu
tahap klimaterik, sedangkan penggunaan etilen pada tahap post klimaterik tidak
akan merubah laju respirasi. Laju respirasi apel dengan perlakuan luka memar
terbilang tinggi disebabkan karena adanya luka akan mengakibatkan tekanan pada
biosintesis etilen dan peningkatan laju respirasi (Beckett, 1995)
4.2 Jeruk
Jeruk setelah dipetik masih melangsungkan proses hidup. Proses hidup
yang penting dalam buah jeruk adalah respirasi dan proses pematangan buah.
Proses biokimia tersebut dapat mengakibatkan perubahan warna, tekstur, aroma,
dan laju respirasi jeruk yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2. Laju Respirasi Buah Jeruk
Organoleptik Laju
Hari V HCl Respirasi T
Sampel
ke- Warna Aroma Tekstur (ml) (mgCO2/ (oC)
g/jam)
hijau
jeruk keras +++
0 kekuni- 16 -0,00221
segar +
ngan
hijau
jeruk
1 kekuni- keras +++ 15,2 0,00620
Jeruk segar
ngan
(533 g)
hijau jeruk
suhu
2 kekun- menye- keras ++ 12,9 0,01107
ruang
ingan ngat
hijau
jeruk
3 kekuni- keras ++ 10,3 0,01494
apek
ngan
4 hijau jeruk keras + 10,2 0,02368
Thalia
240210160051
Kelompok 10
kekuni-
apek
ngan
hijau
jeruk
0 kekuni- keras +++ 23,2 0,00103
segar
ngan
hijau
jeruk
1 kekuni- keras +++ 17,5 0,00369 14,5
segar
ngan
Jeruk
hijau
(536 g) jeruk
2 kekuni- keras ++ 17,5 0,00123 17
suhu segar
ngan
dingin
hijau
jeruk
3 kekuni- keras ++ 19 0,00205 16,3
segar
ngan
hijau
jeruk
4 kekuni- keras + 18,4 0,01067 13,5
segar
ngan
kuning jeruk
0 keras 15,5 0,00239
kehijauan segar
jeruk
kuning
1 sedikit keras 16,7 0,00736
kehijauan
karbit
Jeruk kuning karbit ++ keras
(598 g) 2 19,5 0,00276
kehijauan ++ melunak
etilen karbit ++
kuning keras
3 + dan 18,6 0,00147
kehijauan melunak
jeruk +
karbit ++
keras
4 kuning + dan 17,7 0,00846
melunak
jeruk +
HijauKek Baukhas
0 Keras 14 0,00000
uni-ngan jeruk
Hijaukeku Baukhas
1 Agakkeras 16 0,00872
ni-ngan jeruk
Aroma
Kuningke asamme
Jeruk 2 hijauan nujubusu
Lembek 18,8 -0,00228
(530 g) k
luka Aroma
memar Kuning asamme
3 kehijauan nujubusu
Lembek 11,8 0,02055
k
Cokelat
Aroma
yang
4 busukme Lembek 9,56 0,02125
dipenuhilu
nye-ngat
mut
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)
Berdasarkan hasil pengamatan, perubahan organoleptik yang terjadi pada
suhu ruang dan suhu rendah tidak signifikan. Hal ini disebabkan suhu rendah
Thalia
240210160051
Kelompok 10
dapat menghambat reaksi enzimatis, mereduksi laju respirasi maupun
pertumbuhan mikroorganisme serta menghambat laju kemunduran mutu produk
(Beckett, 1995). Jeruk yang ditambahkan etilen mengalami perubahan warna dari
kuning kehijauan menjadi kuning disebabkan oleh beberapa pigmen warna yang
menyebabkan kerusakan pada pigmen warna yang lain (Masking Effect). Jeruk
yang memiliki luka memar mengalami perubahan warna menjadi coklat dengan
lumut disebabkan adanya perubahan biokimia berupa oksidasi senyawa fenol oleh
enzim polifenoloksidase dan adanya mikroorganisme yang tumbuh pada bagian
jeruk yang luka (Trenggono, 1989).
Perubahan aroma pada jeruk dapat disebabkan oleh menguapnya senyawa
volatile sedangkan aroma busuk menyengat pada perlakuan luka memar
menandakan jeruk mengalami kebusukan oleh mikroorganisme. Perubahan tekstur
pada perlakuan etilen dan luka memar disebabkan oleh pemecahan protopektin
menjadi senyawa pektat (Trenggono, 1989). Perubahan laju respirasi pada jeruk
dapat dilihat pada grafik berikut.
Jeruk termasuk buah non klimaterik. Buah non klimaterik ketika dipanen
tidak mengakibatkan perubahan karbohidrat menjadi gula dan tidak ada perubahan
komposisi buah selama pematangannya. Buah non klimaterik tidak menunjukkan
perubahan / peningkatan laju produksi etilen dan CO2 setelah dipanen.
Berdasarkan grafik, laju respirasi jeruk belum dapat menggambarkan pola
respirasi non klimaterik. Hal ini dapat disebabkan adanya kebocoran gas yang
Thalia
240210160051
Kelompok 10
menyebabkan terganggunya pola respirasi jeruk. Kebocoran gas ini dapat terjadi
meskipun semua toples larutan terdapat gelembung udara. Kebocoran gas ini
dapat mempengaruhi pola respirasi jeruk yang semakin meningkat. Berdasarkan
grafik, besarnya laju respirasi jeruk dengan adanya penambahan etilen tidak
melebihi laju respirasi pada suhu ruang. Produksi etilen buah jeruk sangat rendah,
yaitu kurang dari 0,1 L/kg-jam pada suhu 20°C. Buah – buahan non klimaterik
yang diberi perlakuan etilen dalam jumlah besar baru akan berdampak pada proses
respirasinya saja. Oleh sebab itu, laju respirasi jeruk dengan perlakuan etilen
belum dapat meningkat karena etilen yang digunakan masih dalam skala kecil
(Sutopo, 2007).
Laju respirasi jeruk pada suhu dingin seharusnya lebih rendah daripada
perlakuan suhu ruang. Hal ini disebabkan suhu pendinginan yang dilakukan hanya
pada suhu 13-17°C. Suhu optimum untuk penyimpanan buah jeruk adalah 5 – 10
°C . Buah jeruk yang disimpan pada suhu ruang biasanya hanya dapat bertahan
selama 2 minggu karena adanya risiko kebusukan. Umumnya laju respirasi
meningkat 2-2,5 kali setiap kenaikan suhu 10°C. Kandungan O2 pada ruang
penyimpanan juga perlu diperhatikan karena semakin tinggi kadar oksigen maka
laju respirasi semakin cepat. Konsentrasi CO2 yang sesuai dapat memperpanjang
umur simpan karena terjadi gangguan pada respirasinya (Sutopo, 2007).
Laju respirasi dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui daya
simpan buah setelah panen. Semakin tinggi laju respirasi, semakin pendek umur
simpan. Bila proses respirasi berlanjut terus, buah akan mengalami kelayuan dan
akhirnya terjadi pembusukan sehingga zat gizi hilang. Buah jeruk sebaiknya
dipanen pada saat matang fisiologis untuk mendapatkan kualitas yang tinggi.
Buah jeruk yang dipanen terlalu awal menyebabkan rasanya masam dan warna
buah kurang menarik (Sutopo, 2007).
4.3 Timun
Timun atau Cucumis sativus merupakan tumbuhan yang menghasilkan
buah yang dapat dimakan. Berikut hasil pengamatan pada buah timun dengan
berbagai perlakuan.
Tabel 3. Laju Respirasi Buah Timun
Hari Organoleptik V HCl Laju Respirasi
Sampel T (oC)
ke- Warna Aroma Tekstur (ml) (mgCO2/g/jam)
Thalia
240210160051
Kelompok 10
keras +++
0 hijau timun segar 17,8 -0,00620
+
1 hijau timun segar keras +++ 13,8 0,00930
Timun
masih
(497 g) 2 hijau timun segar 13,1 0,01062
keras
suhu
masih
ruang 3 hijau timun segar 9,9 0,01582
keras
masih
4 hijau timun segar 12,2 0,01926
keras
0 hijau mudatimun segar keras ++ 19,4 0,00896
Timun
1 hijau mudatimun segar keras ++ 13,6 0,01188 15,4
(528 g)
2 hijau mudatimun segar keras ++ 18,2 -0,00021 14,3
suhu
3 hijau mudatimun segar keras ++ 16,3 0,00771
dingin
4 hijau mudatimun segar keras ++ 17,3 0,01313 14
0 hijau khas timun keras +++ 15,3 0,00387
1 hijau khas timun keras ++ 15,3 0,01394
bau karbit +
2 hijau keras ++ 13,1 0,02040
Timun ++
(426 g) keras,
bau karbit +
etilen 3 hijau bagian 18,3 0,00284
++
ujung kisut
kuning lembek
4 karbit ++++ 10,7 0,02995
hijau muda berair
0 hijau khas timun keras + 11,7 0,00516
hijau
1 muda bau busuk keras 13,7 0,01459
berkapang
Hijau tua
dan hijau
Timun 2 muda timun keras 14,4 0,00741
(490 g) (dominan),
luka berkapang
memar Hijau Lembek +
menyengat
3 muda ++, lendir 14,7 0,01571
++
pucat pada luka
lembek ++
hijau muda bau busuk + ++ dan
4 15 0,01078
pucat ++ berjamur +
+
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)
Thalia
240210160051
Kelompok 10
Berdasakan hasil pengamatan, sifat organoleptik timun tidak mengalami
perubahan pada perlakuan suhu ruang dan suhu dingin. Hasil ini membuktikan
bahwa suhu rendah dapat menghambat laju kemunduran produk sebab proses
respirasi dan enzimatis direduksi, serta pertumbuhan mikroorganisme dihambat
(Beckett, 1995). Timun dengan perlakuan penambahan etilen mengalami sedikit
perubahan warna menjadi kuning hijau muda pada hari keempat dan tekstur
menjadi lembek berair. Etilen mempunyai pengaruh yang tidak diinginkan pada
kualias sayur atau buah segar. Etilen berfungsi sebagai hormone yang aktif dalam
pematangan buah sehingga dapat menurunkan umur simpan dan menyebabkan
perubahan organoleptik. Timun beraroma karbit disebabkan penempatan karbit
pada satu toples tertutup sehingga timun menyerap bau karbit yang menyengat.
Timun luka memar mengalami perubahan warna dari hijau menjadi hijau muda
pucar, aroma menjadi busuk dan tekstur yang lembek sekali dan berjamur. Memar
merupakan gejala kerusakan sayur atau buah selama transportasi. Memar dapat
disebabkan gesekan antara buah dengan dinding kemasan selama proses
transportasi. Memar mengindikasikan bahwa jaringan daging timun telah rusak
sehingga mutu timun menurun (Wills, 1989)..
V. KESIMPULAN
Apel dan tomat termasuk pola respirasi klimaterik sedangkan jeruk dan
timun termasuk non klimaterik, namun hasil pengamatan tidak semua
menunjukkan hasil yang sesuai dengan pola respirasinya
Selama proses pematangan terjadi beberapa perubahan organoleptik
seperti warna, tekstur, dan aroma yang menunjukkan terjadinya perubahan
komposisi
Thalia
240210160051
Kelompok 10
Laju respirasi sampel yang disimpan pada suhu ruang lebih tinggi
dibandingkan suhu rendah. Suhu rendah dapat menghambat laju respirasi
dan perubahan organoleptik.
Perlakuan etilen hanya berpengaruh pada pola respirasi klimaterik dan
tidak berpengaruh pada non klimaterik karena skala penggunaan etilen
yang kecil
Adanya luka memar dapat meningkatkan pola respirasi dan mempercepat
perubahan organoleptik
DAFTAR PUSTAKA
Azudin. 2004. Storage of Mangosteen. Jurnal Asean Food 2(2): 70 - 80
Beckett. 1995. Physical – Chemical Aspect of Food Processing. Chapman & Hall.
London
Dwiari, Dkk. 2008. Teknologi Pangan. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Kejuruan: Jakarta
Hanum, Chairani. 2008. Teknik Budidaya Tanaman jilid 2. Depdiknas. Jakarta
Kays, SJ. 1991. Postharvest Physiology of Perisable Plant Products. AVI
Publishers. New York.
Thalia
240210160051
Kelompok 10
Pantastico, B. 1986. Fisiologi Pasca Panen. Penanganan dan Pemanfaatan Buah –
Buahan dan Sayur – Sayuran Tropika dan Subtropika. Yogyakarta : UGM
Press.
Salveit. 2004. Respiratory Metabolism. California: University of California
Sutopo. 2007. Perubahan kualitas buah jeruk yang disimpan dan dibiarkan di
pohon. Hayati 11 (1) : 25 - 28
Tranggono, Setiaji B., Suhardi, Sudarmanto, Y. Marsono, Agnes Murdianti, Indah
S.U., dan Suparmo. 1989. Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas
Pangan dan gizi, UGM.
Wills, R.B.H., W.B. McGlasson, D. Graham, T.H. Lee, and E.G. Hall. 1989.
Postharvest: An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and
Vegetables. An Avi Book, Van Nostrand Reinhold. New York. 164p.
Winarno, F.G. dan M. Arman. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Hudaya.
Jakarta. 97 hal.