Anda di halaman 1dari 3

Nama :

Kelas :
No. Absen :
Remed Perlindungan Anak
Judul Artikel : Model Sistem Peradilan Anak Dengan Pendekatan Psikolegal
Volume : Volume 13, Nomor 1, Tahun 2020
Jurnal : Jurnal Mimbar Keadilan, Fakultas Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya
Author : Gregorius Yoga Panji Asmara, Yovita Arie Mangesti

I. Latar Belakang
Hal dasar dalam negara hukum ialah perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Perlindungan HAM
salah satunya meliputi hak asasi anak yang merupakan suatu hak yang melekat pada diri anak bersifat
medasar dan mutlak. Undang-undang Dasar Tahun 1945 serta beberapa peraturan perundang-
undangan yang bersifat nasional dan internasional mengatur mengenai hak asasi anak dalam
pemenuhan perlindungan. Ratifikasi internasional mengenai hak asasi anak menguatkan jaminan
perlindungan bagi anak-anak, salah satunya dengan di sahkannya Konvensi Hak Anak melalui
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Pengimplementasian dari ratifikasi tersebut juga dapat
dilihat dari pengesahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Selain itu
pemerintah juga mengesahkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Persoalan anak yang berhadapan
dengan hukum, tidak terakomodir dengan baik. Ketidaksebandingan antara jumlah yang ditahan
dengan kapasitas Lembaga Pemasyarakatan Anak yang ada. Seringkali anak dititipkan di Lembaga
Pemasyarakatan Dewasa yang menimbulkan sub-budaya meyimpang. Tindak pidana yang dilakukan
anak bisa saja sama dengan orang dewasa, namun seorang anak tetaplah anak dengan kondisi fisik
dan psikis yang berbeda dengan orang dewasa.
Undang-undang Sistem Peradilan Anak diatur pada undang- undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak. Regulasi ini menjadi produk hukum yang berfungsi alat kontrol sosial
tetapi di sisi lain secara sosiologis dipandang sebagai alat rekayasa sosial. Peradilan anak memiliki
kekhasan tersendiri yang sudah diatur secara berbeda dengan beracara pada umunya. Dalam peradilan
anak dihadirkan pendamping anak, tenaga kesejahteraan sosial pada proses pendampingan anak sejak
dari penyidikan hingga pemeriksaan sidang pengadilan, hakim, jaksa yang tidak mengenakan toga.
Maka dari itu dipandanga perlu untuk melakukan pengkajian lebih dalam mengenai peradilan anak
dengan pendekatan psikolegal karena peradilan tidak semata-mata hanya mengenai bagaimana sidang
berlangsung tetapi lebih dari itu. Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses
penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan
tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
II. Permasalahan
Dalam penelitian bertujuan untuk memberikan penguatan model dari sistem peradilan pidana anak
dalam sebelum mamupun pasca putusan, atau pada penyelesaian secara non litihasi agar sistem
peradilan pidana anak di Indonesia dapat memberikan perlindungan hak asasi anak.
III. Pembahasan
1. Sistem Penyelesaian Perkara Anak
Terduga pelaku kejahatan anak dapat diselesaikan dengan sistem penyelesaian perkara yaitu di luar
pengadilan (non-litigasi) dan di dalam pengadilan (litigasi). Penyelesaian non-litigasi dapat dilakukan
dengan cara musyawarah, negosisasi atau mediasi yang memiliki tujuan agar para pihak dalam
perkara dapat menyelesaikan masalah dengan win-win solution sehingga tidak berujung pada sidang
di pengadilan. Dalam perkara anak, mulai dari penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara
wajib untuk diupayakan diversi. Diversi dalam sistem peradilan pidana anak bertujuan agar bisa
menyelesaikan perkara diluar pengadalan dan perdamaian antar pelaku dan korban. Pencapaian tujuan
ini dilakukan dengan cara musyawarah yang melibatkan anak dan orang tua/wali, korban dan orang
tua/wali, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional maupun masyarakat.
Kesepakatan yang dihasilkan dalam kesepakatan diversi oleh penyidik atas rekomendasi pembimbing
kemasyarakatan dapat berbentuk pengembalian kerugian, rehabilitasi medis dan psikososial,
penyerahan kembali ke orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan, dan pelayanan
masyarakat. Apabila kesepakatan ini dicapai pada saat perkara telah naik ke tingkat berikutnya, maka
kesepakatan hasil diversi disampaikan oleh atasan langsung pejabat yang bertanggungjawab di setiap
tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu 3 hari sejak
kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan.
2. Pendekatan Psikolegal pada Sistem Peradilan Anak
Psikologi hukum atau dikenal sebagai psikolegal ada karena kebutuhan dan tuntutan kehadiran
psikologi dalam studi hukum, terutama dibutuhkan dalam praktek penegakan hukum termasuk dalam
kepentingan penyidikan dan pemeriksaan dalam sidang di pengadilan. Peradilan meliputu serangkaian
proses dari penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan anak di pengadilan. Proses ini memiliki potennsi
memunculkan traumatik pada anak. Terdapat beberapa hal yang hendaknya menjadi bahan
pertimbangan yaitu mengenai bagaimana aspek perkembangan anak tersebut secara psikologis karena
kejahatan diasumsikan muncul atas adanya niat dan akibat. Kepribadian manusia selalu berkembang
dalam tahapan tersebut. Berdasarkan teori kepribadian dari Erickson, penulis memberikan beberpa
catatan kritis sebagai berikut: Pada Pasal 9 ayat (1), Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam
melakukan Diversi harus mempertimbangkan hal-hal berikut, yakni kategori tindak pidana, umur
Anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Kesepakatan diversi harus mendapatkan pertujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta
kesediaan anak dan keluarganya kecuali tindak pidana yang dilakukan berupa pelanggran, tindak
pidana ringan, tindak pidan tanpa korban, dan nilai kerugian korban tidak lebih dari upah minimum
provinsi. Dalam aspek psikolegal dipertimbangkan bahwa pelanggran, tindak pidana ringan, tindak
pidana tanpa korban, dan rendahnya sanksi berlaku bagi orang dewasa. Maka menurut aspek
psikolegal cukuplah anak memperoleh teguran, edukasi, atau dibersi sanksi yang mendidik selama
beberapa hari. Diversi harus didasarkan pada paradigma pembelajaran dimana setiap sanksi
semestinya menjadi ajang belajar norma bagi anak. Diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang
berupa pelanggaran, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian tidak lebih dari upah minimum
provinsi setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Ayat (2) dapat dilakukan oleh penyidik bersama
pelaku dan/atau keluarganya, pembimbing masyarakat dan tokoh masyarakat dilihat dari aspek
psikolegal merupakan suatu kesempatan yang baik untuk memberikan role model bagi anak. Masa
depan yang akan dihadapi oleh anak sangatlah kompleks dan kompetitif, pengatuhan yang minim dan
ekonomi yang senjang akan mebuat anak secraa alamiah menjadi liar.
Proses yang dijalani adalah anak menunggu hasil kesepakatan diversi disampaikan oleh atasan
langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai
dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk
memperoleh penetapan. Penetapan sebagaimana dimaksud, disampaikan kepada pembimbing
kemasyarakatan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak
ditetapkan. Artinya, anak tersebut bisa jadi selama menunggu penetapan akan ditahan, atau wajib
lapor. Setelah menerima penetapan, penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau
penutuntut umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan. Serangkaian sistem peradilan anak
mengusung model diversi sebagi cara pencapaian keadilan, proses diversi merupakan wujud nyata
dari pergeseran paradigma dari retributive justice ke restorative justice. Orang tua memiliki peranan
sebagai pendidik dan pendamping anak untuk mengenal norma kehidupan bermasyarakat, untuk
mendewasakan anak, dan menjadikan anak pribadi yang mandiri. Hukum yang merumuskan
kewajiban disertau sanksi apabila orang tua atau wali tidak bisa mengurus anak sebagaimana
dikehandaki dalam penetapan diversi sangatlah diperlukan.
3. Model Sistem Peradilan Anak
Menghindarkan anak dari suatu sistem peradilan pidana formal, penempatan anak dalam penjara, dan
stigmasi terhadap kedudukan anak sebagai narapidana memerlukan perlindungan yang dapat
dijadikan dasar dalam mencari solusi alternatif dalam menghindarinya. Pengaturan diversi secara
tegas telah diatur dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai landasan hukum
untuk diterapkan dalam penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak melalui proses
di luar pengadilan. Sejatinya anak merupakan generasi penerus bangsa dalam rangka mewujudkan
sumber daya manusia yang berkualitas, anak memerlaukan pembinaan secara intesis untuk
keberlangsungan hidup, pertumbuhan, perkembangan fisik maupun mental dan sosial serta
perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membuat masa depan merak bahaya. Pada
penanganan anak yang berkonflik dengan hukum yang harus diperhatikan adalah kondisi anak yang
berbeda dnegan orang dewasa. Sifat dasar seorang anak sebagai pribadi yang masih labil, masa depan
anak sebagai aset bangsa, dan kedudukan anak di masyarakat yang masih mepertimbangkan keadilan
bagi korban. Diversi yang merupakan salah satu bentuk pengalihan penanganan kenakalan anak dari
proses peradilan anak konvensional ke arah penanganan yang lebih bersifat pelayanan
kemasyarakatan. Psikologi sosial perlu dipertimbangkan karena menjadi paradigma dasaryang
menyentuh semua aspek dalam kehidupan manusia. Diversi selalu memiliki hubungan dengan
berbagai aspek kehidupan anak, dilakukan untuk menghindarkan anak pelaku dari dampak negatif
penyelenggaraan praktek peradilan anak.
Sistem peradilan anak sejatinya harus mampu menjadi acuan bagi anak, agra nantinya anak bisa
memetik nilai dan norma positif yang bergunan bagi diri anak. Dinamika masing-masing pribadi anak
sangatlah berbeda-beda, diversi dilakukan agar penanganan anak lebih berfokus pada pelayanan
kemasyarakatan bukan peradilan anak. Sistem peradilan anak telah mengupayakan memberikan
perlindungan hukum terhadap hak-hak dari anak. Namun terdapat beberpaa catatan yang perlu dikaji
lebih dalam lagi agar sejalan dengan perkembangan anak, psikologi anak yang menjadi bahan
pertimbangan. Suatu konsep penguatan terhadao diversi peradilan anak dapat dimulai dari perihal
posisi anak dalam hukum, perihal bantuan, dan perihal akses terhadap keadilan bagi anak.

IV. Kesimpulan
a. Sistem peradilan anak merupakan sistem peradilan pidana anak bersifat ultimum remedium,
yaitu perilaku menyimpang yang dilakukan anak pelaku kejahatan adalah sebagai
manisfestasi sosialisasi sub-budaya menyimpang termasuk sosialisasi hukum negara yang
salah pada tahap perkembangan kepribadian anak.
b. Substansi peradilan anak dibagi menjadi beberapa substansi yaitu sebagai berikut :
1) Hak dan kewajiban orang tua sebagai pengampu yang menerima anak kembali.
2) Anak sebagai pelaku kejahatan setidaknya memiliki hak untuk tidak dianggap bersalah
sampai diputuskan dalam pengadilan sebagai pelaku kejahatan dan untuk tidak ditahan,
diadili tanpa penundaan oleh badan pengadilan yang tidak memihak.
c. Standarisasi orang tua/pengampu harus dipantau, jika tidak memenuhi standar anak dapat
diserahkan ke pengampu lain yang kompeten dan untuk pengalihan ini dilimpahkan tugas
kepada negara.
d. Revitalisasi peran Balai Pemasyarakatan (BAPAS) sebagai pengawas diversi dalam perkara
anak.
e. Penghapusan stigmasi dan penghargaan terhadap hak privasi anak.

Anda mungkin juga menyukai