Anda di halaman 1dari 10

UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO.

11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM


PERADILAN PIDANA ANAK

KOMPETENSI PERSONAL DAN PROFESIONAL OLEH PETUGAS LAPAS


TERKAIT DIVERSI PADA ANAK AGAR UUSPPA DAPAT TERLAKSANA
DENGAN BAIK

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut
dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak – haknya tanpa anak
tersebut meminta. Kendati demikian, pelaku kejahatan makin beragam tingkat sosial dan
usianya. Akan tetapi yang menjadi keprihatinan adalah kenyataan bahwa jumlah pelaku
kejahatan anak di berbagai daerah menunjukkan peningkatan. Komisi Perlindungan Anak
menyebutkan bahwa setiap tahun tak kurang dari 6000 anak berkonflik dengan hukum.
Fenomena ini bukan saja terjadi di Indonesia. Pada tahun 1995 bahkan Presiden Amerika Bill
Clinton menyatakan bahwa kejahatan kekerasan oleh anak-anak sebagai kejahatan yang
paling serius. Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan, baik dari pengacara
maupun dinas sosial. Dengan demikian, tidak mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anak
yang melakukan tindak pidana dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan.

Kendati melakukan suatu perbuatan pidana yang sama dengan orang dewasa, seorang anak
yang melakukan tindak pidana (berhadapan dengan hukum memerlukan penanganan
berbeda. Hal ini karena pada dasarnya seorang anak amat memerlukan perlindungan
dikarenakan kondisi kejiwaan dan fisik mereka yang belum matang. Laporan Commission on
Safety and Abuse in America’s Prison menyebutkan bahwa kekerasan (di dalam penjara) tetap
menjadi masalah serius dalam pemenjaraan di Amerika. Anak-anak yang ditempatkan di
penjara dewasa mendapatkan pukulan dua kali lebih banyak daripada anak-anak yang di
penjara anak. Demikian juga anak-anak yang berada di penjara dewasa 50%
kemungkinannya diserang dengan senjata. Mengingat di pundak merekalah masa depan
bangsa diletakkan, visi untuk memperbaiki mereka agar kembali ke masyarakat haruslah
dikedepankan. Terlebih, perlindungan terhadap anak adalah amanat konstitusi UUD 1945
yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang,
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child )
yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun
1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak dan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non
diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan
menghargai partisipasi anak. Melihat prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip non
diskriminasi yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan tumbuh kembang anak sehingga diperlukan penghargaan terhadap
anak, termasuk terhadap anak yang melakukan tindak pidanan. Oleh karena itu maka
diperlukan suatu system peradilan pidana anak yang di dalamnya terdapat proses
penyelesaian perkara anak di luar mekanisme pidana konvensional. Muncul suatu pemiiran
atau gagasan untuk hal tersebut dengan cara pengalihan atau biasa disebut ide diversi,
khususnya melalui konsep Restorative Justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat
penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.
Seorang anak yang melakukan tindak pidana wajib disidangkan di pengadilan khusus anak
yang berada di lingkungan peradilan umum, dengan proses khusus serta pejabat khusus yang
memahami masalah anak, mulai dari penangkapan, penahanan, proses mengadili dan
pembinaan.

Makalah ini menyoroti mengenai kompetensi perlakuan lunak/personal dan keras/profesional


terhadap diversi dan pemidanaan beserta efek buruknya, terutama pada anak. Diyakini oleh
tulisan ini bahwa prisonisasi dan pemenjaraan memiliki efek yang negatif terutama pada anak,
oleh karenanya upaya untuk menjauhkan anak dari pengaruh buruk tembok penjara dan
stigma buruk masyarakat menjadi sesuatu yang mutlak. Salah satu upaya yang ditempuh
adalah dengan diversi, sesuatu yang hendak dibincangkan secara singkat dalam tulisan ini.
B. Tujuan

Tujuan Diversi dalam Pasal 6 Bab II Undang – Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Perlindungan Pidana Anak adalah sebagai berikut.

1. mencapai perdamaian antara korban dan anak


2. menyelesaikan perkara anak di luar proses pengadilan
3. menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan mendorong masyarakat untuk
berpartisipasi
4. menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak

C. Rumusan Masalah

Mengapa kompetensi, baik lunak/personal maupun keras/profesional, harus dimiliki petugas


lapas agar UU SPPA bisa terlaksana dengan baik?
BAB II

ISI

Kenakalan anak yang menunjuk pada perbuatan anak nakal adalah istilah yang diambil dari istilah
asing Juvenile Deliquency yang berasal dari kata juvenile yang merupakan sinonim dari kata
young person (orang yang muda), youngster (masa muda), youth (kaum muda), child (anak –
anak), atau adolescent (remaja); dan Deliquency yang menunjuk pada tindakan atau perbuatan
yang dilakukan oleh anak, dimana jika tindakan atau perbuatan itu dilakukan oleh orang dewasa
merupakan suatu kejahatan. Pasal 1 angka 1 Undang – Undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan anak, pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan dalam Konvensi Hak – hak Anak,
anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, kecuali berdasarkan
yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Sementara itu
dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Anak adalah setiap manusia yang
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam
kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Pengertian anak dalam lapangan hukum pidana menimbulkan aspek hukum positif terhadap
proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang (kejahatan dan pelanggaran pidana) untuk
membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang akhirnya anak tersebut berhak atas
kesejahteraan yang layak dan masa depan yang lebih baik.

Penindakan secara hukum pidana anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi
anak yang masih di 8 – 18 tahun dan melakukan tindak pidana diperlakukan atas suatu
pelanggaran hukum dengan cara yang berbeda dari perlakuan terhadap orang dewasa setelah
melampaui batas usia 18 tahun maka anak yang melakukan tindak pidana ditangani dengan cara
yang berlaku terhadap orang dewasa. Dasar pertimbangan ini dalam pertimbangan pemindanaan
anak di bawah umur tidaklah relevan kalau menggunakan tiga teori klasik yaitu sebagai berikut.

1. Teori absolute atau pembalasan yaitu dalam teori pembalasan diharapkan dapat
menjarakan pelaku tindak pidana
2. Teori relative atau tujuan yaitu tidak seluruhnya dapat dikesampingkan dalam
pemindanaan anak di bawah umur sebab teori ini tidak saja masih mempertimbangkan
kepentingan pelaku, korban, masyarakat tetapi juga kepentingan masa depan pelaku,
termasuk juga memberikan pendidikan terhadap anak agar menjadi insaf dan sadar, tidak
mau mengulangi lagi perbuatannya dan dapat menjadi manusia yang baik.
3. Teori gabungan atau konvergensi yaitu teori yang mengambil dari teori pembalasan dan
teori relative di atas, jelas tidak relevan lagi dengan teori pemindanaan pada saat
sekarang, karena dalam teori yang masih berlaku toeri pembalasan yang hanya
memandang kejadian masa lampau tanpa memandang kepentingan masa depan pelaku
tindak pidana yang acapkali menimbulkan penderitaan tanpa batas.

Dengan demikian mengingat pada pasal 67 bahwa berlakunya Undang – Undang Nomor 3 tahun
1997 tentang Peradilan Anak, maka pasal 45, 46 dan 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dinyatakan tidak berlaku, jadi pembedaan perlakuan dan sanksi pidana diatur dalam pasal 22 – 34
Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan pasal 16 – 18 Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimaksudkan untuk lebih melindungi
dan mengayomi anak yang bermasalah dengan hukum agar dapat menyongsong masa depannya.
Pasal – pasal khusus yang mengatur tentang hak – hak anak adalah pasal 52 – 66 dan yang
berkaitan dengan jaminan perlakuan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum diatur
secara khusus pada butir – butir Pasal 66 yang dengan jelas menyebutkan sebagai berikut.

1. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
2. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pada pelaku tindak
pidana yang masih anak-anak.
3. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
4. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan
hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
5. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapat perlakuan secara manusiawi
dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan
harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.
6. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau
bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
7. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh
keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang
tertutup untuk umum.

Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku
tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana, maka setiap saat dalam tahapan –
tahapan system peradilan anak, penegak hukum system peradilan pidana anak (Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan, maupun pihak Lembaga Pemasyarakatan), diberikan wewenang untuk
mengalihkan proses peradilan kepada bentuk – bentuk kegiatan, seperti penyerahan pembinaan
oleh orang tua/walinya; peringatan; pembebanan denda/restitusi; pembinaan oleh departemen
social atau lembaga social masyarakat maupun konseling . Tindakan diversi dapat dilakukan oleh
pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, maupun Pembina Lembaga Pemasyarakatan.
Penerapan diversi di semua tingkatan dalam system peradilan pidana anak diharapkan dapat
mengurangi efek negative keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut.

Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem peradilan pidana anak dengan kompetensi
lunak/personal lebih ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga
(kesejahteraan sosial). Petugas melakukan diversi dengan cara pendekatan persuasif dan
menghindari penangkapan yang menggunakan tindakan kekerasan dan pemaksaan, untuk
mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke proses informal. Proses pengalihan ditujukan
untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum
agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya
masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur
melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum.
Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap keadaan dan situasi untuk
memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriate treatment). Tiga jenis pelaksanaan
program diversi oleh petugas lapas secara lunak/personal yaitu sebagai berikut.

1. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum
menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat,
dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima
tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali
bagi pelaku oleh masyarakat.
2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu
melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan
pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku
untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.
3. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative justice
orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab
langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban
pelaku dan masyarakat.

Pelaksanaan diversi oleh petugas lapas didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang
disebut discretion atau dalam bahasa Indonesia diskresi. Dengan penerapan konsep diversi
bentuk peradilan formal yang ada selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan
perlindungan bagi anak dari tindakan pemenjaraan. Selain itu terlihat bahwa perlindungan anak
dengan kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari masyarakat
sebelum terjadinya tindak pidana dengan melakukan pencegahan. Setelah itu jika ada anak yang
melakukan pelanggaran maka tidak perlu diproses ke polisi.
Selanjutnya jika anak yang melakukan pelanggaran sudah terlanjur ditangkap oleh polisi dalam
setiap pemeriksaan peradilan untuk dapat melekukan diversi dalam bentuk menghentikan
pemeriksaan demi pelindungan terhadap pelaku anak. Kemudian apabila kasus anak sudah
sampai di pengadilan, maka hakim dapat mengimplementasikan ide diversi demi kepentingan
pelaku anak tersebut yang sesuai dengan prosedurnya dan diutamakan anak dapat dibebaskan
dari pidana penjara. Terakhir bila anak sudah terlanjur berada di dalam penjara, maka petugas
penjara dapat membuat kebijakan diversi terhadap anak sehingga anak dapat di limpahkan
kelembaga sosial, atau sanksi alternatif yang berguna bagi perkembangan dan masa depan anak
tapi diversi untuk mengeluarkan dari sistem peradilan. Satu hal utama dari bentuk ini yaitu sikap
kehati-hatian dari petugas lapas, dimana anak muda yang telah ditangani polisi hanya diberikan
peringatan lisan dan tertulis, setelah itu anak akan dilepas dan merupakan akhir dari
permasalahan terkecuali kalau anak tersebut melakukan pelanggaran selanjutnya (mengulangi)
maka akan dilakukan proses lanjutan. Implementasi diversi bagaimanapun juga harus dilakukan
secara selektif setelah melalui berbagai pertimbangan. Oleh karena itu, factor – factor yang dapat
menjadi pertimbangan implementasi diversi perlu dicermati. Faktor situasi yang menjadi
pertimbangan implementasi diversi, dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Tingkat keseriusan perbuatan : ringan, sedang atau berat. Latar belakang perbuatan timbul
dapat menjadi pertimbangan.
2. Pelanggaran yang sebelumnya dilakukan.
3. Derajat keterlibatan anak dalam kasus.
4. Sikap anak terhadap perbuatan tersebut. Jika anak mengakui dan menyesali, hal ini dapat
menjadi pertimbangan.
5. Reaksi orang tua dan/atau keluarga terhadap perbuatan tersebut.
6. Usul yang diberikan untuk melakukan perbaikan atau meminta maaf pada korban.
7. Dampak perbuatan terhadap korban.
8. Pandangan korban tentang metode penanganan yang ditawarkan.
9. Dampak sanksi atau hukuman yang sebelumnya pernah diterima oleh pelaku anak.
10. Apabila demi kepentingan umum, maka proses hukum harus dilakukan.
Diversi dapat dimplementasikan dalam beberapa bentuk. Secara garis besar, terdapat tiga bentuk
diversi, yaitu:

1. Diversi dalam bentuk peringatan, ini akan diberikan kepada polisi untuk pelanggaran
ringan. Sebagai bagian dari peringatan, si pelaku akan meminta maaf pada korban.
Peringatan seperti ini telah sering dilakukan.
2. Diversi informal, yang diterapkan terhadap pelanggaran ringan di mana dirasakan kurang
pantas jika hanya sekedar member peringatan kepada pelaku, dan kepada pelaku
diperlukan rencana intervensi yang lebih komperhensif. Pihak korban harus diajak untuk
memastikan pandangannya tentang diversi informal dan apa yang mereka inginkan di
dalam rencana tersebut. Diversi informal harus berdampak positif kepada korban, keluarga,
dan anak. Yaitu dipastikan bahwa pelaku anak akan cocok diberikan diversi informal.
Rencana diversi informal ini, anak akan bertanggung jawab, mengakui kebutuhan –
kebutuhan korban dan anak, dan kalau mungkin orang tua dimintai pertanggungjawaban
atas kejadian tersebut.
3. Diversi formal, yang dilakukan jika diversi informal tidak dapat dilakukan, tetapi tidak
memerlukan intervensi pengadilan. Beberapa korban akan merasa perlu mengatakan pada
anak betapa marah dan terlukanya mereka, atau mereka ingin mendengarkannya langsung
dari anak. Karena permasalahannya muncul dari dalam keluarga anak, maka ada baiknya
ada anggota keluarga lainnya yang hadir untuk mendiskusikan dan menyusun rencana
diversi yang baik untuk semua pihak yang terkena dampak dari perbuatan itu. Proses
diversi fomal di mana pelaku dan korban bertatap muka, secara internasional ini disebut
sebagai “Restroatif Justice”. Namun demikian dalam system peradilan pidana anak di
Indonesia, ide diversi tersebut tidak mudah untuk diimplementasikan.
Belum adanya payung hukum sebagai landasan dan pedoman bagi semua lembaga
penegak hukum, inkonsistensi penerapan peraturan di lapangan dalam penanganan anak
berhadapan dengan hukum. Akibatnya petugas lapas membuat putusan yang tidak
konsisten dalam kasus anak berhadapan dengan hukum yang memiliki kemiripan unsur-
unsur perbuatan. Selain itu, ide diversi masih terhalang adana pandangan masyarakat
yang cenderung dendam dan ingin melakukan pembalasan terhadap pelaku kejahatan,
termasuk pada pelaku anak.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Proses upaya diversi baik personal/lunak maupun profesional/keras wajib diupayakan dari
mulai tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri.
Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya,
korban dan/atau orangtua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial
profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Keadilan restoratif setidaknya
bertujuan untuk memperbaiki/memulihkan perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan
tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya. Anak yang melakukan tindak
pidana dihindarkan dari proses hukum formal karena dianggap belum matang secara fisik dan
psikis, serta belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum.

B. Saran

Dalam menangani kasus anak, petugas lapas seharusnya menggunakan upaya diversi
terlebih dahulu yang ditentukan dalam Pasal 7 UU SPPA. Dan perlu adanya sosialisasi ke
masyarakat bahwa ketika pertama kali berhadapan dengan hukum, perlu adanya
sosialisasi ke masyarakat bahwa anak dapat melakukan upaya diversi terlebih dahulu dan
pemahaman tentang proses diversi.

Dalam pelaksaan dimensi petugas lapas, perlu pelatihan dalam mengatas konflik dan
teknik memfasilitasi / memediasi agar dalam pelaksanaannya tuuan yang diharapkan dapat
tercapai.
DAFTAR PUSTAKA

Literatur
Fetri, A.R. Tarigan. 2015. Upaya Diversi Bagi Anak Salam Proses Peradilan. Semarang : CV
Ananta.

Pradityo, Randy.. 2016. Garis Lurus Diversi Sebagai Pendekatan Non-Penal. Depok : Indie Pre
Publishing.

Sekhroni. 2009. Criminal Liability Dan Diversi Terhadap Tindak Pidana Anak di Indonesia.
Bandung : Refika Aditama.

Harefa, Beniharmonia. 2011. Idiversi Sebagai Perlindungan Hukum Terhaap Hak Asasi Anak
Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Yogyakarta : Genta.

Nncy Hall, Phd. 2006. Criminal Justice Diversion for Persons with Mental Disorders.

Journal Diversion from The Junvile Justice System..

Jafar, Kamarudin. 2010. Restorative Justice atas Diversi Dalam Penanganan Juvenile Deliquency
(Anak Berkonflik Hukum). Kendari: Universitas Halu.

Primasari, Lushiana. 2011. Keadilan Restoratif dan Pemenuhan Hak Asasi Bagi Anak Yang
Berhhadapan dengan Hukum.

Fauzi, Achmad. 2012. Anak dalam Belenggu Hukum. Kalimantan Selatan: Hakim Pengadilan
Agama Kotabaru.

Perundang – undangan

Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak


Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention on the Rights of the
Child (Konvensi Hak – Hak Anak)

Anda mungkin juga menyukai