Bab 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Perlindungan Anak adalah kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 1 angka 2 UU No. 23/2002) . Berdasarkan Pasal
I angka 3 UU No. 11/ 2012 yang disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur
18 tahun yang diduga mengalami penderitaan fisik, mental, dan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh TP.
Perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia memiliki sistem peradilan tersendiri yaitu SPPA, yang
mengutamakan perlindungan dan rehabilitasi terhadap pelaku anak sebagai orang yang masih mempunyai
sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang dewasa. Anak memerlukan perlindungan dari negara dan
masyarakat dalam jangka waktu ke depan yang masih panjang. Alasan penting mengapa anak harus dilindungi,
pertama anak adalah generasi penerus dan masa depan bangsa, kedua anak adalah kelompok masyarakat yang
secara kodrati lemah.
Anak yang berhadapan dengan hukum diperlukan strategi SPPA dalam mengupayakan seminimal
mungkin intervensi yang dilakukan oleh PU dalam persidangan. Namun pada pelaksanaannya anak diposisikan
sebagai objek dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak, oleh
karena itu perlu pengaturan tentang RJ dan diversi untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses
peradilan (Pasal 5 (1) UU No. 11/2012 tentang SPPA).
Ada kalanya anak berada dalam status saksi dan/atau korban sehingga anak korban dan/atau anak saksi
juga diatur dalam UU SPPA. Khusus mengenai sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur
anak, yaitu bagi Anak yang masih berumur kurang dari 12 tahun hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi anak
yang telah mencapai umur 12 tahun sampai dengan 18 tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana.
Perkara anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana anak yang berada
di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili
pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah anak. Sebelum masuk proses
peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar
jalur pengadilan, yakni melalui diversi berdasarkan pendekatan RJ.
Putusan Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Pli seorang anak berhadapan dengan hukum disebabkan
terbukti kedapatan secara sah menjual (tidak adanya hak) Narkotika Golongan I bukan tanaman, menjatuhkan
pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan dan denda sebesar Rp500.000.000.
Berdasarkan BA diversi dan penetapan diversi menyatakan bahwa upaya diversi dalam perkara ini tidak
berhasil, sehingga sidang dilanjutkan dengan dakwaan PU.
Pasal 9 UU No 11/2012, Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku TP yang serius,
misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam pidana di atas 7 tahun.
Namun, dalam UU No. 35/2009 tidak secara khusus mengatur tentang sanksi pidana bagi anak, meskipun dalam
UU tersenut ada beberapa pasal pengecualian khusus diberlakukan terhadap mereka yang belum cukup umur.
Sehingga berlakunya sistem sanksi dalam UU Narkotika terhadap anak harus diberlakukan juga UU SPPA
sebagai ketentuan khusus yang diterapkan terhadap anak. Hal ini didasari asas lex specialis derogat legi
generalis.
Anak penyalahgunaan narkotika dalam posisi sebagai korban, sehingga dianggap bukan sebagai pelaku
TP. Oleh karena itu penyidik mengeluarkan suatu kebijakan (diskresi) agar pengusutan anak korban narkotika
tidak diperlakukan seperti pelaku, anak lebih layak sebagai korban. Anak sebagai korban disatu sisi seharusya
mendapat perlakuan khusus, anak yang mengedarkan narkotika merupakan anak nakal sehingga harusd iambil
tindakan secara hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU SPPA. Namun, masih menjadi pro
kontra mengenai pelaksanaanya. Sebagian menyatakan bahwa diskresi kepada anak korban narkotika
dikhawatirkan adanya pertimbangan yang tidak rasional mengingat korban penyalahgunaan narkotika tidak
hanya merugikan pemakainya sendiri tapi juga berimplikasi pada masyarakat bahkan negara.
Dalam UU No. 35/2009 Pasal 133 “Setiap orang yang menyuruh, memberi / menjanjikan sesuatu,
memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa
dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan
TP”. Dalam pasal tersebut diatur bahwasannya anak dijadikan korban sebagai perantara dalam TP narkotika
untuk mempermudah penyalahguna narkotika dalam melakukan keiahatan.
1.2.3 Diversi
Pengertian diversi dalam UU No. 11/ 2012 Pasal 1 angka 7. Diversi adalah pengalihan penelesaian
perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi adalah pengalihan
penanganan kasus anak yang diduga telah melakukan TP, dari proses formal dengan / tanpa syarat proses
memperhatikan anak ke proses non formal.
Pelaksanaan konsep diversi dilakukan dengan tujuan menghindarkan anak dari implikasi negatif sistem
peradilan pidana yang ada, menghindarkan anak akan masuk sistem peradilan pidana anak dan menghilangkan
label penjahat terhadap anak yang telah terlanjur menjadi korban dari sistem dan perkembangan lingkungan
pergaulan yang ada.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah No 65 tahun 2015, Diversi bertujuan:
1. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
2. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
3. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Proses diversi merupakan mekanisme baru dalam sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya bagi
Anak. Proses diversi wajib diupayakan pada setiap tahapan peradilan pidana, dimulai tahap penyidikan,
penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Proses diversi hanya dapat dilakukan terhadap anak yang
diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun, serta bukan terhadap anak yang pernah melakukan
pengulangan TP baik yang sejenis maupun yang tidak.
1.2.4 Narkotika
Narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu bagi orang yang
menggunakannya, yaitu dengan cara memasukan kedalam tubuh. Istilah narkotika yang dipergunakan disini
bukanlah "narcotics" pada farmasi, melainkan artinya sama dengan "drug" yaitu sejenis zat yang apabila
dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai
Berdasarkan UU No. 35/2009, Narkotika adalah zat / obat yang berasal dari tanaman / bukan tanaman,
baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan / perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke
dalam golongan sebagaimana terlampir dalam UU ini.
Narkotika merupakan zat / obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit
tertentu. Namun jika disalah gunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat
menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal
ini lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat
mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat
melemahkan ketahanan nasional.
2.1.2 PP No.65/2015
PP ini mengatur pedoman pelaksanaan diversi dan penanganan anak yang belum berumur 12 tahun.
Pasal 5
(1) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban
atau Anak Korban dan/atau orangtua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial
Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.
(2) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada (1) dapat melibatkan Tenaga
Kesejahteraan Sosial dan/atau masyarakat.
(3) Dalam hal orang tua/Wali Anak sebagaimana dimaksud pada (1) tidak diketahui keberadaannya atau
berhalangan hadir, musyawarah diversi tetap dilanjutkan dengan dihadiri oleh Pembimbing
Kemasyarakatan sebagai pengganti dari orang tua/Wali.
(4) Dalam hal orang tua/Wali Anak Korban sebagaimana dimaksud pada (1) tidak diketahui keberadaannya
atau berhalangan hadir, musyawarah diversi tetap dilanjutkan dengan dihadiri oleh Pekerja Sosial
Profesional sebagai pengganti dari orang tua/Wali.
Pasal 51
(1) Proses diversi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal dimulainya
diversi.
(2) Proses diversi dilakukan melalui musyawarah diversi.
(3) Pelaksanaan musyawarah diversi sebagaimana dimaksud pada (2) melibatkan:
a. Hakim;
b. Anak dan/atau orang tua/Wali;
c. Korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/Wali;
d. Pembimbing Kemasyarakatan; dan
e. Pekeria Sosial Profesional.
(4) Dalam hal dikehendaki oleh Anak dan/atau orang tua/Wali, pelaksanaan musyawarah diversi dapat
melibatkan masyarakat yang terdiri atas:
a. Tokoh agama;
b. Guru;
c. Tokoh masyarakat;
d. Pendamping; dan/atau
e. Advokat atau Pemberi Bantuan Hukum.
Mengenai penanganan anak yang belum berusia 12 tahun diatur dalam Bab IV
Pasal 67
Dalam hal Anak yang belum berumur 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah
atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah,
untuk waktu paling lama 6 bulan.
Pasal 68
(1) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dilaksanakan berdasarkan penelitian kemasyarakatan
atas permintaan Penyidik.
(2) Pembimbing Kemasyarakatan dalam menyusun penelitian kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada
(1) dapat meminta pendapat ahli.
Pasal 69
(1) Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 wajib memperhatikan:
a. Kepentingan terbaik Anak;
b. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
c. Hasil pemeriksan yang dilakukan oleh Penyidik;
d. Laporan penelitian kemasyarakatan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan; dan
e. Laporan sosial yang dilakukan oleh Pekeria Sosial Profesional.
(2) Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada (1) didasarkan pada pertimbangan sosiologis,
psikologis, dan pedagogis.
Bab 3 Pertimbangan Hakim dalam Menolak Diversi dengan Asas Kepentingan Anak
3.1 Putusan terkait Narkotika
Sudikno Mertokusumo menulis, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai
pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan menyelesaikan suatu perkara atau
sengketa para pihak. Putusan itu dituntut untuk suatu keadilan dan yang dipentingkan dan menentukan adalah
fakta atau peristiwanya, peraturan hukum adalah suatu alat. Maka dalam putusan hakim perlu diperhatikan
pertimbangan hukumnya, sehingga mempunyai alasan yang objektif dan memiliki kekuatan hukum. Agar
putusan tersebut tidak dapat diubah lagi.
Putusan pengadilan sebagai proses yang objektif sesuai dengan kaidah keilmuwan ilmu hukum yang
dapat diuji ole siapa saja selama pengujian tersebut berdasarkan pada prinsip-prinsip keilmuwan ilmu hukum.
Proses
pengambilan putusan pengadilan dianggap objektif, karena setiap hakim dalam mengambil keputusan berdasar
pada proses pembuktian yang diuji secara objektif dan terbuka untuk umum.
Dalam Pasal 1 angka 11 KUHP disebutkan bahwa “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang
diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU.”
Isi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 25 UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan bahwa:
Pasal 25
1. Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar putusan itu, juga harus menuat
pula pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili.
2. Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutuskan dan panitera yang ikut
serta bersidang.
3. Penetapan-penetapan, ikhtiar-ikhtiar rapat permusyawaratan dan berita-berita acara tentang pemeriksaan
sidang ditandatangani oleh ketua dan panitera.
Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan :
1. Pemidanaan atau penatuhan pidana dan atau tata tertib
2. Putusan Bebas
3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum
Syarat sahnya suatu putusan hakim sangat penting artinya karena akan dilihat apakah suatu putusan memiliki
kekuatan hukum atau tidak. Pasal 195 UU Hukum Acara Pidana merumuskan bahwa semua putusan pengadilan
hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dimuka sidang yang terbuka untuk umum. Dari
hal itu dapat dilihat bahwa syarat sahnya suatu putusan hakim adalah:
1. Memuat hal-hal yang diwajibkan
2. Diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum
Pasal 18 UU No. 4/ 2004 “Pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa,
kecuali apabila Undang-undang menentukan lain”
3.2 Asas Kepentingan Anak
Sistem peradilan pidana anak dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Perlindungan.
Yang dimaksud dengan "perlindungan" meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung dari
tindakan yang membahayakan Anak secara fisik dan/atau psikis
b. Keadilan
Bahwa setiap penyelesaian perkara Anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi Anak.
c. Nondiskriminasi
Tidak adanya perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,
budaya dan bahasa, status hukum Anak, urutan kelahiran Anak, serta kondisi fisik dan/atau mental.
d. Kepentingan Terbaik bagi Anak
Segala pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang Anak.
e. Penghargaan terhadap Pendapat
Penghormatan atas hak Anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatya dalam pengambilan
keputusan, terutama jika menyangkut hal yang memengaruhi kehidupan Anak
f. Kelangsungan Hidup dan Tumbuh Kembang Anak
Hak asasi yang paling mendasar bagi Anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga, dan orang tua.
g. Pembinaan dan Pembimbingan Anak.
Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada TYME, intelektual, sikap
dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani Anak baik di
dalam maupun di luar proses peradilan pidana. Pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk
meningkatkan kualitas ketakwaan kepada TYME, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan
keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan.
h. Proporsional.
Segala perlakuan terhadap Anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi Anak.
i. Perampasan Kemerdekaan dan Pemidanaan sebagai Upaya Terakhir.
Pada dasarnya Anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya, kecuali terpaksa guna kepentingan
penyelesaian perkara.
j. Penghindaran Pembalasan
Prinsip menjauhkan upaya pembalasan dalam proses peradilan pidana.
k. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling
singkat;
l. Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang
tertutup untuk umum;
m. Tidak dipublikasikan identitasnya;
n. Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercayaoleh anak;
o. Memperoleh advokasi sosial;
p. Memperoleh kehidupan pribadi;
q. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
r. Memperoleh pendidikan;
s. Memperoleh pelayananan kesehatan; dan
t. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan penjabaran analisis terhadap beberapa putusan pengadilan diatas, yang dijadikan sebagai
dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pengguna narkotika sangat berbeda dengan
dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pengedar karena, pengguna yang
mengalami ketergantungan narkotika adalah korban dari perbuatan para pengedar narkotika. Akan tetapi,
pengguna yang mengalami ketergantungan narkotika tetaplah sebagai orang yang telah melakukan pelanggaran
hukum telah melanggar isi ketentuan Pasal 85 UU Narkotika, maka tetap harus diberikan sanksi tegas berupa
hukuman pidana agar pengguna tidak mengulangi perbuatannya kembali, yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi orang lain yang berada disekitarya untuk melakukan TP narkotika tersebut.
Hakim dalam mempertimbangkan suatu putusan harus berdasarkan kepada bukti, surat dakwaan,
keterangan saksi dan bukti lainya seperti yang diperlukan dalam pelaksanaan proses persidangan maupun
sebelumnya maka jelas surat dakwaan tersebut tidak relevan dijadikan sebagai dasar pembuktian maka dakwaan
akan kabur atau obscurlibel. Selain itu adanya hal-hal yang meringankan terdakwa juga menjadi pertimbangan
bagi hakim dalam menjatuhkan vonis
Dasar pertimbangan bag hakim dalam menjatuhkan vonis lebih cenderung meringankan hukuman
pidana terhadap pengguna dibandingkan terhadap pengedar karena pengguna dipandang masih memiliki
harapan untuk memperbaiki diri. Kemudian, hakim harus mempertimbangkan ketergantungan jenis / kategori
apa yang dialami terdakwa. Seperti di penjelasan Pasal 9 (1) huruf a bahwa semakin rendah ancaman pidana
semakin tinggi prioritas Diversi.
ICJR memandang mestinya diversi mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, bukan perdamaian
antara korban dengan anak. Selain itu diversi semestinya tidak terkungkung dengan batasan ancaman penjara
dibawah 7 tahun. Pada prinsipnya sesuai dengan prinsip hukum internasional, proses Diversi haruslah
mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak.
Dengan adanya UU SPPA harusya bisa mengimplementasikan asas kepentingan terbaik bagi anak yaitu
dengan melalui diversi, tapi masih banyak kelemahan dalam UU No. 11/2012 terkait penyelesaian perkara Anak
dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Bab 4 Penutup
4.1 Kesimpulan
1. Diversi yang diamanatkan oleh UU SPPA disebut diimplementasikan berdasarkan landasan RJ yang
memperhatikan hak anak, mengingat Lembaga Pemasyarakatan tidak menjadikan anak semakin baik
karena diantara mereka berpotensi untuk mempelajari pelanggaran hukum yang pernah mereka lakukan.
Dengan sifat anak yang serba tahu, mereka menjadi lebih mengerti mekanisme melakukan TP.
Penahanan terhadap anak hanya dilakukan ketika sudah tidak ada jalan lain dan merupakan langkah
terakhir (ultimum remidium). Dalam UU SPPA memberikan suatu pengaturan bahwa tidak semua
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak bisa diselesaikan melalui diversi. Dalam Pasal 9
UU SPPA Penyidik, PU, dan Hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan kategori TP
yang dalam penjelasannya diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku TP yang
serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam pidana di
atas 7 tahun.
2. Dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatukan pemidanaan terhadap anak yang terlibat narkotika
adalah melihat peran anak tersebut dalam TP narkotika, pengguna lebih ringan hukumannya
dibandingkan pengedar karena pengguna adalah korban dari perbuatan pengedar, tergolong sebagai
korban (victim) atau pelaku. Selain itu fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung, seperti
motivasi atau tujuan terdakwa menggunakan narkotika, indikator bahwa semakin rendah ancaman
pidana semakin tinggi prioritas diversi. Hal yang meringankan anak dalam putusan adalah terdakwa
menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi, terdakwa bersikap sopan dan mengakui
perbuatanya sehingga memperlancar persidangan, terdakwa masih berusia remaja dan masih dapat
diharapkan untuk memperbaiki diri dan prilakunya di masa depan. Hal yang meringankan tersebut bisa
dijadikan dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan.
4.2 Saran
1. Anak yang berkonflik dengan hukum jangan dianggap sebagai penjahat, tapi dilihat sebagai anak yang
memerlukan bantuan hukum, hal tersebut menghindari proses pelabelan yang dapat mempengaruhi
tumbuh kembang anak tersebut secara psikis, fisik dan sosial untuk kepentingan masa depan anak yang
lebih baik. Karakteristik TP yang dilakukan oleh anak berbeda dengan yang dilakukan oleh orang
dewasa, mengingat seringkali seorang anak belum menyadari sepenuhnya apa yang diperbuat. Bahkan
terkadang seorang anak belum tentu menyadari kesalahan dan akibat dari perbuatan yang dilakukan
termasuk kualifikasi TP yang dilarang UU. Oleh karena itu pada Pasal 9 UU SPPA tidak seharusnya ada
batasan kategori TP yang berhak melakukan diversi karena mengingat diundangkannya SPPA ini guna
mewajibkan diversi untuk melindungi anak yang berkonflik dengan hukum. Diharapkan aturan Pasal 9
UU SPPA tidak memberi batasan terkait kategori TP karena setiap anak wajib untuk diversi sesuai
prinsip dalam UU SPPA.
2. Penegakan hukum terhadap TP narkotika, khususnya dalam hal pemidanaan, seharusnya tidak hanya
merujuk pada pendekatan norma hukum yang bersifat menghukum pelaku TP narkotika yang
memberikan efek jera tapi juga harus memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak yaitu
mempertimbangkan kelangsungan hidup dan anak. Hakim seharusnya mempertimbangkan tumbuh
kembang putusannya dengan cermat apabila aka menjatuhkan pidana penjara terhadap anak. Aparat
Penegak Hukum seharusnya diberikan kewenangan penuh oleh UU untuk melakukan Diversi terhadap
perkara tersebut, apalagi dikaitkan dengan tujuan penanganan perkara anak yakni mengutamakan
kepentingan terbaik bagi anak.