Anda di halaman 1dari 22

TESIS 3019

PENETAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG TERLIBAT KASUS NARKOTIKA

Bab 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Perlindungan Anak adalah kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 1 angka 2 UU No. 23/2002) . Berdasarkan Pasal
I angka 3 UU No. 11/ 2012 yang disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur
18 tahun yang diduga mengalami penderitaan fisik, mental, dan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh TP.
Perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia memiliki sistem peradilan tersendiri yaitu SPPA, yang
mengutamakan perlindungan dan rehabilitasi terhadap pelaku anak sebagai orang yang masih mempunyai
sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang dewasa. Anak memerlukan perlindungan dari negara dan
masyarakat dalam jangka waktu ke depan yang masih panjang. Alasan penting mengapa anak harus dilindungi,
pertama anak adalah generasi penerus dan masa depan bangsa, kedua anak adalah kelompok masyarakat yang
secara kodrati lemah.
Anak yang berhadapan dengan hukum diperlukan strategi SPPA dalam mengupayakan seminimal
mungkin intervensi yang dilakukan oleh PU dalam persidangan. Namun pada pelaksanaannya anak diposisikan
sebagai objek dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak, oleh
karena itu perlu pengaturan tentang RJ dan diversi untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses
peradilan (Pasal 5 (1) UU No. 11/2012 tentang SPPA).
Ada kalanya anak berada dalam status saksi dan/atau korban sehingga anak korban dan/atau anak saksi
juga diatur dalam UU SPPA. Khusus mengenai sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur
anak, yaitu bagi Anak yang masih berumur kurang dari 12 tahun hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi anak
yang telah mencapai umur 12 tahun sampai dengan 18 tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana.
Perkara anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana anak yang berada
di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili
pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah anak. Sebelum masuk proses
peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar
jalur pengadilan, yakni melalui diversi berdasarkan pendekatan RJ.
Putusan Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Pli seorang anak berhadapan dengan hukum disebabkan
terbukti kedapatan secara sah menjual (tidak adanya hak) Narkotika Golongan I bukan tanaman, menjatuhkan
pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan dan denda sebesar Rp500.000.000.
Berdasarkan BA diversi dan penetapan diversi menyatakan bahwa upaya diversi dalam perkara ini tidak
berhasil, sehingga sidang dilanjutkan dengan dakwaan PU.
Pasal 9 UU No 11/2012, Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku TP yang serius,
misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam pidana di atas 7 tahun.
Namun, dalam UU No. 35/2009 tidak secara khusus mengatur tentang sanksi pidana bagi anak, meskipun dalam
UU tersenut ada beberapa pasal pengecualian khusus diberlakukan terhadap mereka yang belum cukup umur.
Sehingga berlakunya sistem sanksi dalam UU Narkotika terhadap anak harus diberlakukan juga UU SPPA
sebagai ketentuan khusus yang diterapkan terhadap anak. Hal ini didasari asas lex specialis derogat legi
generalis.
Anak penyalahgunaan narkotika dalam posisi sebagai korban, sehingga dianggap bukan sebagai pelaku
TP. Oleh karena itu penyidik mengeluarkan suatu kebijakan (diskresi) agar pengusutan anak korban narkotika
tidak diperlakukan seperti pelaku, anak lebih layak sebagai korban. Anak sebagai korban disatu sisi seharusya
mendapat perlakuan khusus, anak yang mengedarkan narkotika merupakan anak nakal sehingga harusd iambil
tindakan secara hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU SPPA. Namun, masih menjadi pro
kontra mengenai pelaksanaanya. Sebagian menyatakan bahwa diskresi kepada anak korban narkotika
dikhawatirkan adanya pertimbangan yang tidak rasional mengingat korban penyalahgunaan narkotika tidak
hanya merugikan pemakainya sendiri tapi juga berimplikasi pada masyarakat bahkan negara.
Dalam UU No. 35/2009 Pasal 133 “Setiap orang yang menyuruh, memberi / menjanjikan sesuatu,
memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa
dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan
TP”. Dalam pasal tersebut diatur bahwasannya anak dijadikan korban sebagai perantara dalam TP narkotika
untuk mempermudah penyalahguna narkotika dalam melakukan keiahatan.

1.2 Kajian Pustaka


1.2.1 Putusan Hakim Hakim
Rumusan suatu putusan sangat penting karena dari rumusannya dapat diketahui dandipahami jalan
pikiran Hakim dan pertimbangan apa yang digunakan untuk meniatuhkan Putusan tersebut. Mengenai ini, Mr.
Wirjono Prodjodikiro mengemukakan antara lain : “....., sudah selayaknya bagian pertimbangan disusun oleh
Hakim serapih-rapihnya, oleh karena putusan Hakim selain daripada mengenai pelaksanaan suatu peraturan
hukum pidana, mengenai juga hak asasi dari seseorang terdakwa sebagai warga negara atau penduduk dalam
Negara, hak-hak mana pada umumnya harus diperlindungi oleh Badan-Badan Pemerintah”
Pertimbangan Hakim dalam suatu putusan yang mengandung penghukuman terdakwa, harus ditujukan
kepada hal terbuktinya peristiwa pidana yang dituduhkan kepada terdakwa. Oleh karena suatu perbuatan yang
oleh hukum diancam dengan hukuman pidana, selalu terdiri dari beberapa bagian yang merupakan syarat bagi
dapatnya perbuatan itu dikenakan hukuman, maka tiap bagian itu harus ditinjau, apakah sudah dapat dianggap
nyata terjadi.
Pertimbangan hukum diartikan suatu tahapan dimana majelis hakim mempertimbangkan fakta yang
terungkap selama persidangan berlangsung, mulai dari gugatan, jawaban, eksepsi dari tergugat yang dihungkan
dengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat materil, yang mencapai batas minimal pembuktian.
Dalam pertimbangan hukum dicantumkan pula pasal-pasal dari peraturan hukum yang dijadikan dasar dalam
putusan tersebut. Dalam praktik, landasan yang dijadikan hakim dalam sebuah putusan disistematisasikan dalam
bagian mengingat.

1.2.2 Anak yang Berkonflik dengan Hukum


Pengertian anak dalam kaitan dengan perilaku delikuensi anak dilakukan dengan mendasarkan pada
tingkatan usia, dalam arti tingkat usia dapat dikategorikan sebagai anak. Dilihat dari kepentingan penentuan
batasan anak dalam kaitan tentang perilaku anak dan penanganannya sudah ada ketentuan jelas mengenai batas
usia-usia terendah seseorang dikategorikan sebagai anak.
 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1 angka 1
“Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur
18 tahun dan belum pernah kawin”
 UU No 17 Tahun 2016 jo UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,termasuk anak yang masih dalam kandungan”
 UU No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka2
“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”. Konvensi Hak-hak
Anak. Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak
tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”
 UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 5
“Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun danbelum menikah, terrasuk anak yang masih
dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”
 Pasal 45 KUHP
“Anak yang belum dewasa apabila seseorang tersebutbelum berumur 16 tahun”
 Pasal 330 (1) KUH Perdata
“Seorang belum dapat dikatakan dewasa jika orang tersebut umurnya belumgenap 21 tahun, kecuali seseorang
tersebut telah menikah sebelum umur 21 tahun”
 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
“Anak yang berkonflik dengan hukum yang disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi
belum 18 tahun yang diduga mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang disebabkan
oleh TP”
 Pasal 1 angka 3 PP No. 65/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 Tahun
“Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12
tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana”

1.2.3 Diversi
Pengertian diversi dalam UU No. 11/ 2012 Pasal 1 angka 7. Diversi adalah pengalihan penelesaian
perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi adalah pengalihan
penanganan kasus anak yang diduga telah melakukan TP, dari proses formal dengan / tanpa syarat proses
memperhatikan anak ke proses non formal.
Pelaksanaan konsep diversi dilakukan dengan tujuan menghindarkan anak dari implikasi negatif sistem
peradilan pidana yang ada, menghindarkan anak akan masuk sistem peradilan pidana anak dan menghilangkan
label penjahat terhadap anak yang telah terlanjur menjadi korban dari sistem dan perkembangan lingkungan
pergaulan yang ada.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah No 65 tahun 2015, Diversi bertujuan:
1. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
2. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
3. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Proses diversi merupakan mekanisme baru dalam sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya bagi
Anak. Proses diversi wajib diupayakan pada setiap tahapan peradilan pidana, dimulai tahap penyidikan,
penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Proses diversi hanya dapat dilakukan terhadap anak yang
diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun, serta bukan terhadap anak yang pernah melakukan
pengulangan TP baik yang sejenis maupun yang tidak.

1.2.4 Narkotika
Narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu bagi orang yang
menggunakannya, yaitu dengan cara memasukan kedalam tubuh. Istilah narkotika yang dipergunakan disini
bukanlah "narcotics" pada farmasi, melainkan artinya sama dengan "drug" yaitu sejenis zat yang apabila
dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai
Berdasarkan UU No. 35/2009, Narkotika adalah zat / obat yang berasal dari tanaman / bukan tanaman,
baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan / perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke
dalam golongan sebagaimana terlampir dalam UU ini.
Narkotika merupakan zat / obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit
tertentu. Namun jika disalah gunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat
menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal
ini lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat
mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat
melemahkan ketahanan nasional.

Bab 2 Hak Diversi bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum


2.1 Konsep Diversi
2.1.1 UU No. 11/2012
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana (Pasal 1 angka 7). Dalam UU SPPA ketentuan mengenai Diversi diatur dalam Bab I Pasal 6
sampai Pasal 15.
Pasal 6, Diversi bertujuan:
1. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
2. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
3. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Substansi yang diatur dalam UU ini, antara lain, mengenai penempatan anak yang menjalani proses
peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Substansi paling mendasar dalam UU ini
adalah pengaturan secara tegas mengenai RJ dan diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan
menJauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan social. Diperlukan peran
semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya RJ, baik bagi
Anak maupun bagi korban.
Dari kasus yang ada, ada kalanya anak berada dalam status saksi dan/atau korban sehingga anak korban
dan/atau anak saksi juga diatur dalam UU ini. Khusus mengenai sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan
perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur kurang dari 12 tahun hanya dikenai tindakan,
sedangkan bagi anak yang telah mencapai umur 12 tahun sampai dengan 18 tahun dapat dijatuhi tindakan dan
pidana.

2.1.2 PP No.65/2015
PP ini mengatur pedoman pelaksanaan diversi dan penanganan anak yang belum berumur 12 tahun.
Pasal 5
(1) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban
atau Anak Korban dan/atau orangtua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial
Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.
(2) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada (1) dapat melibatkan Tenaga
Kesejahteraan Sosial dan/atau masyarakat.
(3) Dalam hal orang tua/Wali Anak sebagaimana dimaksud pada (1) tidak diketahui keberadaannya atau
berhalangan hadir, musyawarah diversi tetap dilanjutkan dengan dihadiri oleh Pembimbing
Kemasyarakatan sebagai pengganti dari orang tua/Wali.
(4) Dalam hal orang tua/Wali Anak Korban sebagaimana dimaksud pada (1) tidak diketahui keberadaannya
atau berhalangan hadir, musyawarah diversi tetap dilanjutkan dengan dihadiri oleh Pekerja Sosial
Profesional sebagai pengganti dari orang tua/Wali.
Pasal 51
(1) Proses diversi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal dimulainya
diversi.
(2) Proses diversi dilakukan melalui musyawarah diversi.
(3) Pelaksanaan musyawarah diversi sebagaimana dimaksud pada (2) melibatkan:
a. Hakim;
b. Anak dan/atau orang tua/Wali;
c. Korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/Wali;
d. Pembimbing Kemasyarakatan; dan
e. Pekeria Sosial Profesional.
(4) Dalam hal dikehendaki oleh Anak dan/atau orang tua/Wali, pelaksanaan musyawarah diversi dapat
melibatkan masyarakat yang terdiri atas:
a. Tokoh agama;
b. Guru;
c. Tokoh masyarakat;
d. Pendamping; dan/atau
e. Advokat atau Pemberi Bantuan Hukum.
Mengenai penanganan anak yang belum berusia 12 tahun diatur dalam Bab IV
Pasal 67
Dalam hal Anak yang belum berumur 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah
atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah,
untuk waktu paling lama 6 bulan.
Pasal 68
(1) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dilaksanakan berdasarkan penelitian kemasyarakatan
atas permintaan Penyidik.
(2) Pembimbing Kemasyarakatan dalam menyusun penelitian kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada
(1) dapat meminta pendapat ahli.
Pasal 69
(1) Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 wajib memperhatikan:
a. Kepentingan terbaik Anak;
b. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
c. Hasil pemeriksan yang dilakukan oleh Penyidik;
d. Laporan penelitian kemasyarakatan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan; dan
e. Laporan sosial yang dilakukan oleh Pekeria Sosial Profesional.
(2) Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada (1) didasarkan pada pertimbangan sosiologis,
psikologis, dan pedagogis.

2.1.3 Perma No. 4/2014


Perma ini mengatur Pedoman Pelaksanaan diversi dalam SPPA. Pelaksanaan diversi di pengadilan
diawali dengan persiapan diversi. Setelah menerima penetapan ketua pengadilan untuk menangani perkara yang
wajib diupayakan diversi, hakim mengeluarkan penetapan hari musyawarah diversi. Penetapan hakim memuat
perintah kepada PU yang melimpahkan perkara untuk menghadirkan pihak terkait. Mereka yang dimaksud
adalah anak yang berhadapan dengan hukum dan korban besama orang tuanya / wali / pendampingnya. Selain
itu juga menghadirkan pihak terkait seperti memanggil badan pemasyarakatan, pembimbing kemasyarakan, bisa
pekerja sosial dll yang dipandang perlu. Itu harus dipanggil semua untuk duduk bersama, kemudian
didengarkan pandangannya.
Dalam Perma dijelaskan, diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 tahun tapi belum
berumur 18 tahun, atau telah berumur 12 tahun mesipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 tahun, yang
diduga melakukan TP. Hakim anak wajib mengupayakan diversi dalam hal anak didakwa melakukan TP yang
diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun. Atau kepada anak yang didakwa dengan TP yang diancam
dengan pidana penjara 7 tahun / lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidaritas, alternatif, kumulatif, maupun
kombinasi.

2.1.4 Peraturan Jaksa Agung RI No. PER-006/A/J.A/04/2015


Dengan diberlakukannya UU No. 11/2012 secara efektif, dipandang perlu untuk segera merespons dari
UU tersebut khususnya untuk segera mengimplementasikan kewajiban mengupayakan diversi pada tingkat
penuntutan dengan menyusun Pedoman Pelaksanaan diversi pada tingkat penuntutan, sehingga pelaksanaan
ketentuan diversi pada tingkat penuntutan sebagaimana diatur dalam UU No. 11/2012 perlu diatur lebih lanjut
tentang tata cara pelaksanaannya.
Pedoman ini dimaksudkan sebagai acuan bagi PU dalam penyelesaian perkara anak pada tingkat
penuntutan, yaitu dengan melaksanakan kewajiban mengupayakan proses penyelesaian di luar peradilan pidana
melalui diversi berdasarkan pendekatan RJ. Tujuan pedoman ini untuk terciptanya persamaan persepsi dan
adanya keseragaman standar teknis maupun administrasi yang berlaku bagi seluruh PU dalam melaksanakan
proses diversi pada tingkat penuntutan.
Ruang Lingkup Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntutan ini meliputi :
a. Upaya Diversi;
b. Musyawarah Diversi;
c. Kesepakatan Diversi;
d. Pelaksanaan Kesepakatan Diversi;
e. Pengawasan dan pelaporan pelaksanaan Kesepakatan Diversi;
f. Penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan;
g. Registrasi Diversi.
Diversi adalah pengalihan penanganan kasus anak, yang diduga telah melakukan TP, dari proses formal
dengan atau tanpa syarat ke proses memperhatikan anak. Diversi bertujuan menghindarkan anak dari implikasi
negatif sistem peradilan pidana, menghindarkan anak akan masuk SPPA dan menghilangkan label penjahat
terhadap anak yang telah terlanjur menjadi korban dari sistem dan perkembangan lingkungan pergaulan yang
ada.
Muladi menulis bahwa restorative justice model mempunyai beberapa karakteristik yaitu:
1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik
2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewaiiban pada masa depan
3. Sift normatif dibangun atas dasar dialog dan negoisasi
4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama
5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil
6. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian social
7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restorative
8. Peran korban dan pelaku TP diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan
korban. Pelaku TP didorong untuk bertanggung jawab
9. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk
membantu memutuskan yang terbaik
10. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial, dan ekonomis
11. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.
Menurut Aiptu Aman Hasta, jika untuk diversi penyidik harus diajukan ke Balai Pemasyarakatan bisa
dilanjutkan / tidak untuk diversi karena bukan pihak polisi yang melakukan menyetujui untuk keputusan diversi.
Berkas tetap lanjut meskipun tidak ada sel untuk anak maka penahanannya dilimpahkan ke Bapas dan tidak
langsung diversi. Karena mengingat narkotika adanya rehabilitasi, penahanan anak berbeda dengan dewasa 8
penahan diperpanjang 7 hari jika dewasa sampai 60 hari. Jika setelah dilimpahkan ke kejaksaan mungkin
hasilnya akan direhabilitasi untuk anak. BNN dalam artian bukan untuk rehabilitasi tapi untuk assesment.
Apakah pelaku ini layak untuk direhabilitasi / tidak, ada tim terpadunya polisi, dokter, psikologi untuk
dikategorikan sebagai pelaku / korban narkotika. Jika untuk narkotika yang direhabilitasi maka ditempatkan di
Orbit. Diskresi untuk polisi tidak bisa digunakan, apalagi untuk TP yang serius.

2.2 Tindak Pidana Narkotika yang Dilakukan oleh Anak


Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa melanggar larangan tersebut. Menurut Light, Keller
dan Calhoun, tipe kejahatan ada 4, yaitu:
1. Kejahatan Tanpa Korban (Crime Without Victim)
Kejahatan ini tidak mengakibatkan penderitaan pada korban akibat TP orang lain. Contoh, perjudian,
mabuk-mabukan, hubungan seks yang tidak sah. Kejahatan jenis ini dapat mengorbankan orang lain apabila
menyebabkan tindakan negatif lebih lanjut misalnya, perilaku seksual yang menimbulkan HIV/AIDS dan
menularkan kepada orang lain.
2. Kejahatan Terorganisasi (Organized Crime)
Pelaku kejahatan ini merupakan komplotan yang secara berkesinambungan melakukan berbagai cara untuk
mendapatkan uang atau kekuasaan dengan jalan menghindari hukum. Misalnya, komplotan korupsi,
perjudian gelap, penadah barang curian dan peminjaman uang dengan bunga tinggi (rentenir). Kejahatan
terorganisasi yang melibatkan hubungan antar negara disebut kejahatan terorganisasi transnasional. Contoh,
penjualan bayi ke luar negeri, penjualan bayi ke Jepang atau Thailand (women's trafficking) dan jaringan
narkoba internasional.
3. Kejahatan Kerah Putih (White Collar Crime)
Tipe kejahatan ini mengacu pada kejahatan yang dilakukan oleh orang terpandang / orang yang berstatus
tinggi dalam rangka pekerjaannya. Contoh, penghindaran pajak dan korupsi di kalangan pejabat negara.
4. Kejahatan Korporat (Corporate Crime)
Jenis kejahatan in dilakukan atas nama organisasi dengan tujuan menaikkan keuntungan / menekan
kerugian. Misalnya, suatu perusahaan membuang limbah beracun ke sungai yang mengakibatkan penduduk
sekitar mengalami berbagai jenis penyakit.
Paul Tappan menegemukakan “juvenile delinquent is a person who has been adjudicated as such by a
court of proper juridiction thought be may be no different, up who are not delinquent”. Anak yang delinkuen
adalah seseorang yang telah diputus dengan jurisdiksi pengadilan yang tepat meskipun bukan dari kelompok
anak yang tidak delinkuen. Artinya bahwa juvenile adalah perilaku seorang anak yang melanggar norma yang
telah ditentukan oleh lingkungan sekitarnya dan perilaku tersebut dapat dijerat oleh kewenangan dari
pengadilan anak. Pengertian Juvenille menurut Simanjuntak:
a. Juvenile delinquency
Perbuatan dan tingkah laku yang merupakan perbuatan perkosaan terhadap norma hukum pidana dan
pelanggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan ole para delinquent
b. Juvenile delinquent
Pelaku yang terdiri dari anak yang berumur 21 tahun (pubertas), yang termasuk yurisdiksi pengadilan anak
Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12
tahun, tetapi belum 18 tahun yang diduga melakukan TP Penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum merupakan tanggung jawab dan kewajiban bersama antara masyarakat dan pemerintah, seperti yang
dijelaskan dalam UU No. 17/2016 jo UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu:
Pasal 64
1. Perlindungan khusus bag anak yang berhadapan dengan hukum, meliputi anak berkonflik dan anak korban
tindak pidana adalah merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
2. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui; perlakuan atas anak
secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak, penyediaan petugas pendamping khusus anak
sejak dini, penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik
anak, pemantauan dan pencatatan secara kontinyu terhadap perkembangan anak, pemberian jaminan untuk
berhubungan dengan orang tua atau keliarga, perlindungan dari pemberitaan ole media dan menghindar dari
labelisasi.
3. Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban TP dilaksanakan melalui: upaya rehabilitasi baik
dalam lembaga maupun diluar lembaga, upaya perlindungan dari pemberitan identitas melalui media massa
dan untuk menghindari labelisasi, pemberian jaminan keselamatan bagi sanksi korban ahli baik fisik mental
maupun sosial, pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Terdapat faktor / alasan anak melakukan TP, bisa karena salah pergaulan, perkembangan iptek yang
disalahgunakan, pengaruh lingkungan sekitar, dan kurangnya pengawasan dari orang tua. Menurut Sykes dan
Matza mereka mengungkapkan konsep tentang teknik netralisasi sebagai berikut:
1. Denial of Responsibility
Merujuk pada suatu anggapan dikalangan anak nakal yang menyatakan bahwa dirinya merupakan korban
dari orang tua yang tidak mengasihi, lingkungan pergaulan yang buruk, atau berasal dari tempat tinggal
yang kumuh
2. Denial of Injury
Merujuk pada suatu alasan dikalangan anak nakal bahwa tingkah laku mereka sesungguhnya tidak
merupakan suatu bahaya yang besar dan berarti. Dengan demikian, mereka beranggapan merupakan suatu
kelalaian semata-mata. Misalnya mencuri motor, sesungguhnya anak tersebut hanya ingin meminjam motor,
perkelahian antar geng merupakan pertengkaran biasa.
3. Denial of the Vicim
Merujuk pada suatu keyakinan diri pada anak nakal bahwa mereka adalah pahlawan sedangkan korban
justru dipandang sebagai mereka yang melakukan kejahatan.
4. Condemnation of the Condemners
Merujuk pada anggapan bahwa polisi sebagai hipokrit sebagai pelaku yang melakukan kesalahan atau
memiliki perasaan tidak senang pada mereka. Pengaruh teknik ini adalah mengubah subjek menjadi pusat
perhatian, berpaling dari perbuatan kejahatan yang dilakukannya
5. Appeal to Higher Loyalities
Merujuk pada anggapan dikalangan anak nakal bahwa mereka terperangkap diantara tuntutan masyarakat,
hukum, dan kehendak kelompok mereka. Keterlibatan anak dalam proses peradilan pidana berpotensi
menimbulkan dampak negatif yang kompleks. Campur tangan hukum pidana dalam TP anak khususnya
dalam penyalahgunaan narkotika oleh anak telah mengantarkan anak pada suatu tekanan fisik dan psikis.
Sanksi pidana bagi anak dirumuskan dirumuskan dalam KUHP berikut ini dikemukakan beberapa hal
perlunya untuk memahami formulasi atau perumusan sanksi pidana atau stelsel sanksi bagi anak dalam KUHP,
yang dipandang sangat urgent terkait dengan permasalahan pokok. Pertama, KUHP merupakan induk peraturan
perundang-undangan pidana yang sekaligus merupakan aturan umum yang akan menjadi dasar bagi aturan yang
bersifat lebih khusus. Kedua, sebagai induk peraturan pidana, stelsel sanksi dalam KUHP akan menjadi pisau
analisis awal terhadap berbagai peraturan perundang-undangan pidana yang ditujukan terhadap anak.
Secara umum dalam KUHP ada 3 rumusan pasal yang mengatur sanksi pidana terhadap anak, yaitu
Pasal 45 mengatur batas maksimum seorang anak dapat dipertanggungjawabkan atas TP yang dilakukan. Pasal
46 mengatur aturan administrasi berkaitan dengan apa yang harus dikerjakan hakim setelah ia memberi
perintah, bahwa bersalah diserahkan kepada pemerintah. Pasal 47 mengatur pengurangan pidana dalam hal
hakim akan menjatuhkan pidana kepada pelaku anak. Sejak diundangkan UU SPPA, ketentuan 3 pasal tersebut
telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Secara prinsip, 2 aturan hukum tersebut tetap memberikan
legitimasi secara hukum terhadap kemungkinan penjatuhan pidana kepada anak.
Ketentuan sanksi pidana bagi anak dalam UU No. 35/2009 memang tidak diatur secara khusus untuk
sanksi bagi anak tapi terdapat dalam beberapa pasal dalam UU Narkotika yang khusus diberlakukan bagi anak.
Sehingga berlakunya sanksi dalam UU Narkotika terhadap anak harus diberlakukan juga UU SPPA sebagai
ketentuan khusus yang diterapkan terhadap anak. Hal ini dalam asas lex specialis derogat legi generalis.
Beberapa kelemahan mendasar yang terdapat dalam Undang-Undang Narkotika dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1. Secara umum, berkaitan dengan bobot atau beratnya pidana. UU Narkotika menggunakan sistem
perumusan ancaman pidana secara indefinite dengan menggunakan sistem perumusan pidana maksimum
yang akan menimbulkan persoalan manakala terjadi kesenjangan antara maksimum pidana yang
dincamkan dengan pidana yang dijatuhkan. Kesenjangan ini akan menimbulkan kesan tidak
berwibawanya ancaman pidana, sehingga phsicologise dwang dalam rangka pencegahan umum sulit
untuk diwujudkan. Sementara sala satu tujuan perumusan ancaman pidana justru untuk memberikan
efek pencegahan umum kepada masyarakat. Sistem perumusan ancaman pidana maksimum yang
menimbulkan rentang ancaman pidana yang sangat besar, dalam konteks hukum pidana Indonesia mulai
dari minimum umum 1 hari sampai maksimum khusus sangat potensial membuka peluang dilakukannya
kolusi oleh para pihak penegak hukum. Dengan demikian, sistem maksimum ini juga menimbulkan
implikasi yuridis yang serius berkaitan dengan proses penegakan hukum.
2. Sistem perumusan ancaman pidana secara definite (definite sentence system) merupakan sistem yang
berkembang pada masa aliran hukum pidana klasik. Di Indonesia sistem perumusan ini biasanya dipakai
dalam UU yang mengatur TP yang sangat serius. Sistem definite adalah sistem perumusan ancaman
pidana yang bersifat pasti. Artinya, ada kepastian terhadap bobot / beratnya ancaman pidana yang akan
dijatuhkan oleh hakim. Sistem perumusan ini pada hakikatnya merupakan sistem yang tidak
memberikan peluang pada hakim untuk mencari alternatif berkaitan dengan jenis dan bobot / beratnya
pidana yang harus dijatuhkan.
Pelaku penyalahgunaan narkotika menurut UU No 35 Tahun 2009 dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Sebagai Pengguna
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 116 UU No 35/2009 dengan ancaman hukuman paling
lama 15 tahun.
Pasal 116
(1) Setiap orang yang tapa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap
orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 dan paling banyak Rp10.000.000.000,00.
(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk
digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada (1) mengakibatkan orang lain mati / cacat
permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada (1) ditambah 1/3.
2. Sebagai Pengedar
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 114 UU No 35/2009 tentang Narkotika.
Pasal 114
(1) Setiap orang yang tapa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I,
dipidana dengan pidana penara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling
lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00.
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual
beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat
yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 kg atau melebihi 5 batang pohon atau dalam
bentuk bukan tanaman beratnya 5 gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada (1) ditambah 1/3.
3. Sebagai Produsen
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 113 114 UU No. 35/2009, dengan diancam hukuman
paling lama 15 tahun atau seumur hidup atau ditambah denda.
Pasal 113
(1) Setiap orang yang tapa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan
paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00.
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika
Golongan I sebagaimana dimaksud pada (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 kg atau
melebihi 5 batang pohon / dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 gram, pelaku dipidana
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan
paling lama 20 tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada (1) ditambah 1/3.
Anak yang terlibat sebagai pelaku TP narkotika sebagai pelaku turut serta atau disebut juga Medeplegen,
disamping merupakan suatu bentuk deelnemin, maka ia juga merupakan suatu bentuk daderschap. Apabila
seseorang melakukan suatu TP, maka ia disebut sebagi seorang dader atau seorang pelaku. Apabila beberapa
orang yang secara bersama melakukan suatu TP maka setiap peran dalam TP itu dipandang sebagai seorang
mededader dari pelaku lainnva.
Lamintang menulis, hakim tidak perlu menyebutkan secara tegas bentuk keturut sertaan yang telah
dilakukan oleh seorang tertuduh. Oleh karena pencantuman dari peristiwa yang sebenarnya telah teriadi itu
sendiri telah menunjukan bentuk keturut sertaan yang dilakukan oleh masing-masing peserta dalam suatu TP
yang telah mereka lakukan.
Dalam hal turut seta pelaku dapat dikenakan aturan pasal 127 (1) huruf a UU No 35/2009 jo Pasal 55 (1)
KUHP. Dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak
Rp50.000.000,00.
Pasal 127
(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai
korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial
Pasal 55
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan,;
2. Mereka yang dengan member atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau
martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan member kesempatan, sarana
atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Anak terlibat TP Narkotika sebagai disuruh melakukan disebut sebagai middellijkader atau seorang
mettelbaretater yang artinya seorang pelaku tidak langsung. la disebut pelaku tidak langsung karena memang
secara tidak langsung melakukan sendiri tndak pidana melainkan dengan perantara orang lain.
Menurut ketentuan pidana dalam pasal 55 KUHP, seorang pelaku TP tidak langsung dapat dijatuhi
hukuman yang sama beratnya dengan hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya sendiri dan dalam hal
ini yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku materialnya itu sendiri.
Dalam pasal 55 ayat 1 angka 1 KUHP, orang yang disuruh melakukan haruslah memenuhi syarat-syarat
antara lain:
1. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang yang
ontoerekeningsvatbaar seperti yang tercantum dalam Pasal 44 KUHP.
2. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu kesalahpahaman
mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan (dwaling).
3. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu TP itu sama sekali tidak mempunyai schuld, baik dolus
maupun culpa ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang telah disyaratkan
oleh UU bagi TP tersebut.
4. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu TP itu tidak memenuhi unsur oogmerk padahal unsur
tersebut tidak disyaratkan di dalam rumusan UU mengenai TP.
5. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu TP itu telah melakukannya di bawah pengaruh suatu
overmacht / di bawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana orang
tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan.
6. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu TP dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah
jabatan padahal perintah jabatan tersebut diberikan ole seorang atasan yang tidak berwenang
memberikan perintah semacam itu.
7. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu TP itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu
sifat tertentu seperti yang telah disyaratkan oleh UU yaitu sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh
pelakunya sendiri.
Pertanggungjawaban pidana terhadap anak yang terlibat sebagai pembantu TP narkotika, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada 2 jenis, yaitu pembantuan pada sat kejahatan dilakukan.
Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP.
Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen), namun
perbedaannya terletak pada :
1. Pada pembantuan perbuatanya hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang pada turut serta
merupakan perbuatan pelaksanaan.
2. Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja member bantuan tanpa diisyaratkan harus keria sama dan
tidak bertujuan tau berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja
melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.
3. Pembantuan dalam pelanggaran TP (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap
dipidana.
4. Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi 1/3, sedangkan
turut serta dipidana sama
Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana
atau keterangan. Pembantuan dalam rumusan ini mirip dengan penganjuran (witlokking). Perbedaannya pada
niat atau kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula atau tidak
ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat
materiel ditimbulkan oleh penganjur.
Diversi dan relevansinya bagi upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika oleh anak,
penanggulangan kejahatan hakikatnya merupakan usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi
kejahatan.Korbankejahatan narkotika adalah pelaku itu sendiri bukan orang lain, oleh karena itutidak pada
tempatnya apabila dalam hal terjadi penyalahgunaan narkotika hanyadilihat sebagai pelaku tapi juga korban.
Dalam hal ini perlu adanya perbedaanpenanganan antara perlakuan pelaku TP narkotika dengan korban.Dengan
demikian, posisi anak yang terlibat dalam TP narkotika merupakan ukuran untuk melihat sajauhmana tingkat
akurasi perlakuan yang diberikan kepada pelaku. Maka penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika
yang dilakukan oleh anak dengan menggunakan saranan hukum pidana dirasa belum sesuai.
Koesno Adi menulis, upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang khususnya dilakukan oleh
anak tidak pada tempatnya beralaskan sebagai berikut :
Pertama, sebagai sarana penanggulangan kejahtaan hukum pidana pada dasarnya merupakan obat yang
hanya diorientasikan pada penanggulangan setelah terjadinya kejahatan. Jadi penggunaan hukum pidana sebagai
sarana penanggulangan kejahatan hanya bersifat korektif dan bersifat represif.
Pendekatan yang demikian dapat ditoleransi manakala hanya diorientasikan pada pelaku TP. Padahal anak yang
melakukan penyalahgunaan narkotika tidak hanya semata-mata sebagai pelaku TP, tetapi juga sebagai korban.
Kedua, bertolak dari pemikiran bahwa anak yang menyalahgunakan narkotika adalah korban, maka
upaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang menyalahgunakan narkotika juga juga menjadi
prioritas.
Negara dalam menjatuhkan pidana khusunya pada anak harus memeperhatikan kepentingan terbaik bagi
anak, dimana anak adalah sebagai generasi muda. Tujuan pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana tidak
terlepas dari tujuannya yaitu menimbul efek jera sebagai hukuman atas kejahatan yang diperbuat oleh pelaku.
Oleh karena itu, tidak terlepas dari teori-teori pemidanaan yang ada.
Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan
yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan
diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman
harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bag orang lain,
sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.
Teori relatif (deterrence), tori in memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si
pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan.
Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan
pada masyarakat. Berdasarkan tori in, hukuman yang
dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan
masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan
hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) keiahatan.
Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas tertib pertahanan tata
tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarya tori
gabungan adalah gabungan tori absolut dan tori relatif. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa
penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki
pribadi si penjahat.
Teori treatment, mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan,
bukan kepada perbuatannya. Teori ini memiliki keistimewaan dari segi proses re-sosialisasi pelaku schingga
diharapkan mampu memulikan kualitas sosial dan moral masyarakat agar dapat berintegrasi lagi ke dalam
masyarakat. Menurut Albert Camus, pelaku kejahatan tetap human offender, namun demikian sebagai manusia,
seorang pelaku kejahatan tetap bebas pula mempelajari nilai-nilai baru dan adaptasi baru. Oleh karena itu,
pengenaan sanksi harus mendidik pula, dalam hal ini seorang pelaku kejahatan membutuhkan sanksi yang
bersifat treatment.
Teori perlindungan sosial (social defence) merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran modern
dengan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica, tujuan utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke
dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan social mensyaratkan
penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) digantikan tempatya oleh pandangan tentang perbuatan
anti sosial, yaitu adanya seperangkat peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan
bersama tapi sesuai dengan aspirasi masyarakat pada umumnya.
Soedarto menulis, bahwa pada umumnya berdasarkan uraian diatas dapat dibagi berdasarkan sifatnya :
1. Peraturan UU pidana dalam arti sesungguhnya yaitu UU yang menurut tujuannya bermaksud mengatur
hak member pidana dari engara jaminan dari ketertiban hukum.
2. Peraturan-peraturan hukum pidana dalam suatu UU tersendiri yaitu peraturan-peraturan yang hanya
dimaksudkan untuk memberikan sanksi pidana terhadap aturan salah satu bidang yang terletak diluar
hukum pidana.
UU No. 11/2012 memberikan suatu pengaturan bahwa tidak semua perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh anak bisa diselesaikan melalui diversi. Dalam pasal 9 UU SPPA Penyidik, PU, dan Hakim
dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan kategori TP yang dalam penjelasannya Diversi tidak
dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku TP yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan,
pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam pidana di atas 7 tahun. Jadi jelas bahwa dalam kasus anak yang
terlibat kasus narkotika jika perannya sebagai pengedar maka anak tersebut tidak diperkenankan untuk diversi.
Jika peran anak selain pengedar maka wajib untuk diversi, dalam hal ini diskresi oleh penyidik juga sangat
penting sebab penyidik adalah pihak pertama yang menangani suatu TP terutama untuk kasus anak ini yang
sangat memerlukan pendekatan lebih khusus, mengingat adanya suatu sistem peradilan pidana anak.

Bab 3 Pertimbangan Hakim dalam Menolak Diversi dengan Asas Kepentingan Anak
3.1 Putusan terkait Narkotika
Sudikno Mertokusumo menulis, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai
pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan menyelesaikan suatu perkara atau
sengketa para pihak. Putusan itu dituntut untuk suatu keadilan dan yang dipentingkan dan menentukan adalah
fakta atau peristiwanya, peraturan hukum adalah suatu alat. Maka dalam putusan hakim perlu diperhatikan
pertimbangan hukumnya, sehingga mempunyai alasan yang objektif dan memiliki kekuatan hukum. Agar
putusan tersebut tidak dapat diubah lagi.
Putusan pengadilan sebagai proses yang objektif sesuai dengan kaidah keilmuwan ilmu hukum yang
dapat diuji ole siapa saja selama pengujian tersebut berdasarkan pada prinsip-prinsip keilmuwan ilmu hukum.
Proses
pengambilan putusan pengadilan dianggap objektif, karena setiap hakim dalam mengambil keputusan berdasar
pada proses pembuktian yang diuji secara objektif dan terbuka untuk umum.
Dalam Pasal 1 angka 11 KUHP disebutkan bahwa “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang
diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU.”
Isi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 25 UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan bahwa:
Pasal 25
1. Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar putusan itu, juga harus menuat
pula pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili.
2. Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutuskan dan panitera yang ikut
serta bersidang.
3. Penetapan-penetapan, ikhtiar-ikhtiar rapat permusyawaratan dan berita-berita acara tentang pemeriksaan
sidang ditandatangani oleh ketua dan panitera.
Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan :
1. Pemidanaan atau penatuhan pidana dan atau tata tertib
2. Putusan Bebas
3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum
Syarat sahnya suatu putusan hakim sangat penting artinya karena akan dilihat apakah suatu putusan memiliki
kekuatan hukum atau tidak. Pasal 195 UU Hukum Acara Pidana merumuskan bahwa semua putusan pengadilan
hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dimuka sidang yang terbuka untuk umum. Dari
hal itu dapat dilihat bahwa syarat sahnya suatu putusan hakim adalah:
1. Memuat hal-hal yang diwajibkan
2. Diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum
Pasal 18 UU No. 4/ 2004 “Pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa,
kecuali apabila Undang-undang menentukan lain”
3.2 Asas Kepentingan Anak
Sistem peradilan pidana anak dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Perlindungan.
Yang dimaksud dengan "perlindungan" meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung dari
tindakan yang membahayakan Anak secara fisik dan/atau psikis
b. Keadilan
Bahwa setiap penyelesaian perkara Anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi Anak.
c. Nondiskriminasi
Tidak adanya perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,
budaya dan bahasa, status hukum Anak, urutan kelahiran Anak, serta kondisi fisik dan/atau mental.
d. Kepentingan Terbaik bagi Anak
Segala pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang Anak.
e. Penghargaan terhadap Pendapat
Penghormatan atas hak Anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatya dalam pengambilan
keputusan, terutama jika menyangkut hal yang memengaruhi kehidupan Anak
f. Kelangsungan Hidup dan Tumbuh Kembang Anak
Hak asasi yang paling mendasar bagi Anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga, dan orang tua.
g. Pembinaan dan Pembimbingan Anak.
Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada TYME, intelektual, sikap
dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani Anak baik di
dalam maupun di luar proses peradilan pidana. Pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk
meningkatkan kualitas ketakwaan kepada TYME, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan
keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan.
h. Proporsional.
Segala perlakuan terhadap Anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi Anak.
i. Perampasan Kemerdekaan dan Pemidanaan sebagai Upaya Terakhir.
Pada dasarnya Anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya, kecuali terpaksa guna kepentingan
penyelesaian perkara.
j. Penghindaran Pembalasan
Prinsip menjauhkan upaya pembalasan dalam proses peradilan pidana.
k. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling
singkat;
l. Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang
tertutup untuk umum;
m. Tidak dipublikasikan identitasnya;
n. Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercayaoleh anak;
o. Memperoleh advokasi sosial;
p. Memperoleh kehidupan pribadi;
q. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
r. Memperoleh pendidikan;
s. Memperoleh pelayananan kesehatan; dan
t. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan penjabaran analisis terhadap beberapa putusan pengadilan diatas, yang dijadikan sebagai
dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pengguna narkotika sangat berbeda dengan
dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pengedar karena, pengguna yang
mengalami ketergantungan narkotika adalah korban dari perbuatan para pengedar narkotika. Akan tetapi,
pengguna yang mengalami ketergantungan narkotika tetaplah sebagai orang yang telah melakukan pelanggaran
hukum telah melanggar isi ketentuan Pasal 85 UU Narkotika, maka tetap harus diberikan sanksi tegas berupa
hukuman pidana agar pengguna tidak mengulangi perbuatannya kembali, yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi orang lain yang berada disekitarya untuk melakukan TP narkotika tersebut.
Hakim dalam mempertimbangkan suatu putusan harus berdasarkan kepada bukti, surat dakwaan,
keterangan saksi dan bukti lainya seperti yang diperlukan dalam pelaksanaan proses persidangan maupun
sebelumnya maka jelas surat dakwaan tersebut tidak relevan dijadikan sebagai dasar pembuktian maka dakwaan
akan kabur atau obscurlibel. Selain itu adanya hal-hal yang meringankan terdakwa juga menjadi pertimbangan
bagi hakim dalam menjatuhkan vonis
Dasar pertimbangan bag hakim dalam menjatuhkan vonis lebih cenderung meringankan hukuman
pidana terhadap pengguna dibandingkan terhadap pengedar karena pengguna dipandang masih memiliki
harapan untuk memperbaiki diri. Kemudian, hakim harus mempertimbangkan ketergantungan jenis / kategori
apa yang dialami terdakwa. Seperti di penjelasan Pasal 9 (1) huruf a bahwa semakin rendah ancaman pidana
semakin tinggi prioritas Diversi.
ICJR memandang mestinya diversi mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, bukan perdamaian
antara korban dengan anak. Selain itu diversi semestinya tidak terkungkung dengan batasan ancaman penjara
dibawah 7 tahun. Pada prinsipnya sesuai dengan prinsip hukum internasional, proses Diversi haruslah
mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak.
Dengan adanya UU SPPA harusya bisa mengimplementasikan asas kepentingan terbaik bagi anak yaitu
dengan melalui diversi, tapi masih banyak kelemahan dalam UU No. 11/2012 terkait penyelesaian perkara Anak
dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Bab 4 Penutup
4.1 Kesimpulan
1. Diversi yang diamanatkan oleh UU SPPA disebut diimplementasikan berdasarkan landasan RJ yang
memperhatikan hak anak, mengingat Lembaga Pemasyarakatan tidak menjadikan anak semakin baik
karena diantara mereka berpotensi untuk mempelajari pelanggaran hukum yang pernah mereka lakukan.
Dengan sifat anak yang serba tahu, mereka menjadi lebih mengerti mekanisme melakukan TP.
Penahanan terhadap anak hanya dilakukan ketika sudah tidak ada jalan lain dan merupakan langkah
terakhir (ultimum remidium). Dalam UU SPPA memberikan suatu pengaturan bahwa tidak semua
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak bisa diselesaikan melalui diversi. Dalam Pasal 9
UU SPPA Penyidik, PU, dan Hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan kategori TP
yang dalam penjelasannya diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku TP yang
serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam pidana di
atas 7 tahun.
2. Dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatukan pemidanaan terhadap anak yang terlibat narkotika
adalah melihat peran anak tersebut dalam TP narkotika, pengguna lebih ringan hukumannya
dibandingkan pengedar karena pengguna adalah korban dari perbuatan pengedar, tergolong sebagai
korban (victim) atau pelaku. Selain itu fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung, seperti
motivasi atau tujuan terdakwa menggunakan narkotika, indikator bahwa semakin rendah ancaman
pidana semakin tinggi prioritas diversi. Hal yang meringankan anak dalam putusan adalah terdakwa
menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi, terdakwa bersikap sopan dan mengakui
perbuatanya sehingga memperlancar persidangan, terdakwa masih berusia remaja dan masih dapat
diharapkan untuk memperbaiki diri dan prilakunya di masa depan. Hal yang meringankan tersebut bisa
dijadikan dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan.

4.2 Saran
1. Anak yang berkonflik dengan hukum jangan dianggap sebagai penjahat, tapi dilihat sebagai anak yang
memerlukan bantuan hukum, hal tersebut menghindari proses pelabelan yang dapat mempengaruhi
tumbuh kembang anak tersebut secara psikis, fisik dan sosial untuk kepentingan masa depan anak yang
lebih baik. Karakteristik TP yang dilakukan oleh anak berbeda dengan yang dilakukan oleh orang
dewasa, mengingat seringkali seorang anak belum menyadari sepenuhnya apa yang diperbuat. Bahkan
terkadang seorang anak belum tentu menyadari kesalahan dan akibat dari perbuatan yang dilakukan
termasuk kualifikasi TP yang dilarang UU. Oleh karena itu pada Pasal 9 UU SPPA tidak seharusnya ada
batasan kategori TP yang berhak melakukan diversi karena mengingat diundangkannya SPPA ini guna
mewajibkan diversi untuk melindungi anak yang berkonflik dengan hukum. Diharapkan aturan Pasal 9
UU SPPA tidak memberi batasan terkait kategori TP karena setiap anak wajib untuk diversi sesuai
prinsip dalam UU SPPA.
2. Penegakan hukum terhadap TP narkotika, khususnya dalam hal pemidanaan, seharusnya tidak hanya
merujuk pada pendekatan norma hukum yang bersifat menghukum pelaku TP narkotika yang
memberikan efek jera tapi juga harus memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak yaitu
mempertimbangkan kelangsungan hidup dan anak. Hakim seharusnya mempertimbangkan tumbuh
kembang putusannya dengan cermat apabila aka menjatuhkan pidana penjara terhadap anak. Aparat
Penegak Hukum seharusnya diberikan kewenangan penuh oleh UU untuk melakukan Diversi terhadap
perkara tersebut, apalagi dikaitkan dengan tujuan penanganan perkara anak yakni mengutamakan
kepentingan terbaik bagi anak.

Anda mungkin juga menyukai