Anda di halaman 1dari 3

PERBANDINGAN PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DENGAN HUKUM PIDANA


QUEENSLAND AUSTRALIA

Hukum pidana, Indonesia hingga saat ini masih menggnunakan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP) yang merupakan produk kolonial
yang menjadi sorotan karena dianggap kuno dan sudah tidak relevan dengan jaman sekarang.
Oleh sebab itu, upaya pembentukan KUHP nasional untuk pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia yang berakar pada nilai-nilai sosial budaya masyarakat Indonesia sangat urgen.
Secara olmiah terdapat beberapa ahli yang sudah membahas serta menguraikan perihal
tentang pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia1.
Dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia terdapat beberapa tindak pidana
khusus yang diatur oleh Undang-Undang Pidana Khusus2 atau perundang-undangan pidana
diluar KUHP. Keberadaraan Undang-Undang Pidana Khusus dalam rangka politik criminal
adalah sebuah kebutuhan yang tidak mungkin dapat dihindari. Sudarto mengingatkan bahwa
pembentukan Undang-Undang Pidana Khusus harus dibatasi, yaitu hanya untuk hal-hal yang
tidak dapat dimasukkan dalam kodifikasi hukum dalam KUHP, serta dengan adanya Undang-
Undang Pidana Khusus itu memberikan corak kepada tata hukum pidana yang terpecah-
pecah (verbrokkeld)3.
Salah satu pengaturan mengenai pidana khusus di Indosesia adalah pidana anak.
Pidana anak di Indonesia diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (yang selanjutnya
disebut UU Perlindungan Anak) sebagai hukum pidana materiil anak. Selain UU
Perlindungan Anak yang mengatur hukum pidana materiil anak, terdapat pula pengaturan
hukum pidana formil anak yang diatur dalam Undang-Undang nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (yang selanjutnya disebut UU Sistem Peradilan Pidana Anak).

1
Sudarto, Suatu Dilema Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Pidato Pengukuhan
Penerimaan Guru Besar Pada Fakultas Hukum UNDIP Semarang Hari Sabtu Tanggal 21 Desember 1974).
2

Menurut Sudarto, yang dimaksud dengan “Undang-Undang Pidana Khusus” adalah undang-undang
pidana selain KUHP, yang merupakan induk peraturan hukum pidana. Kedudukan sentral dari KUHP ini
terutama karena di dalamnya dimuat ketentuan-ketentuan umum dari hukum pidana dalam Buku I, yang berlaku
juga terhadap tindak-tindak pidana yang terdapat di luar KUHP, kecuali apabila undang-undang menentukan
lain (Pasal 103 KUHP), (Lihat, Sudarto, Ibid, hlm.64)
3
Ibid, hlm.67-68.
Anak adalah amanah sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa
harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak sebagai manusia yang
senantiasa harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia
yang termuat dalam UUD 1945. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara anak adalah
masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas
kelangsungan biologis, tumbuh dan berkembang berpartisipasi serta berhak atas perlindungan
dari aspek kekerasan.
Perlidungan pada anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan tolak ukur bangsa
tersebut, oleh karena itu wajib diupayakan sesuai dengan kemampuan nusa dan bangsa.
Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berkibat hukum. Oleh
karenanya, perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Kepastian hukum
perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah
penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam kegiatan
pelaksanaan perlindungan anak4
Perlindungan anak di Indonesia sendiri telah diatur oleh UU Perlindungan anak,
dalam Pasal 3 UU Perlindungan Anak menjelaskan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia berkualitas,
berahlak mulia, dan sejahtera5.
Selain UU Perlindungan Anak yang mengatur hukum pidana materiil untuk anak,
terdapat pula pengaturan hukum pidana formil untuk anak yang diatur dalam Undang-
Undang nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang kemudian digantikan dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (yang
selanjutnya disebut UU Sistem Peradilan Pidana Anak)., negara Indonesia juga memberikan
perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum6 dengan adanya UU
Sistem Peradilan Pidana Anak.
4
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014),
hlm. 3.
5

Lihat, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak
6

Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi
korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana, (Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak)
Setyo Wahyudi mengemukakan bahwa apa yang dimaksud dengan sistem peradilan
pidana anak adalah sistem penegakan hukum peradilan pidana anak yang terdiri atas
subsistem penyidikan anak, subsistem penuntutan anak, subsistem pemeriksaan hakim anak,
dan subsistem pelaksanaan sanksi hukum pidana anak yang berlandaskan hukum pidana
materiil anak dan hukum pidana formal anak dan hukum pelaksanaan hukum pidana anak.
Dalam hal ini tujuan sistem penegakan peradilan pidana anak ini menekankan pada tujuan
kepentingan perlindungan dan kesejahteraan anak7.
UU Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur secara rinci prosedur peradilan anak
mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan serta
pelaksanaan putusan pengadilan. UU Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengatur terkait
pertanggungjawaban pidana oleh anak baik dari jenis sanksi pidana yang dijatuhkan maupun
batas usia minimum pertanggungjawaban pidana oleh anak.
Pasal 40 ayat (3) Konvensi PBB tentang Hak Anak menjelaskan bahwa “Negara-
negara peserta akan berupaya untuk meningkatkan pembuatan undang-undang, proses
peradilan, kekuasaan dan lembaga-lembaga yag secara khusus berlaku untuk anak-anak, yang
diduga akan dituduh, atau diakui telah melanggar undang-undang hukum pidana, dan
khususnya: (a) Penetapan usia minimum dimana usia dibawahnya akan dianggap tidak
mempunyai kemampuan untuk melanggar undang-undang hukum pidana; (b) Bilamana layak
dan diinginkan, langkah-langkah untuk menangani anak-anak seperti seperti itu tanpa harus
menempuh tuntutan hukum, asal saja hak-hak asasi manusia dan pengamanan dari segi
hukum sepenuhnya dihormati.
Pasal 40 ayat (3) Konvensi PBB tentang Hak Anak tersebut tidak mencantumkan
secara jelas batas usia minimum anak yang dapat dijatuhi hukuman pidana. Sehingga terdapat
berbagai perbedaan pengelompokan batasan usia anak yang dapat dikenakan sanksi pidana
dan batasan usia anak yang tidak dapat dikenakan sanksi pidana.

R.Wiyono, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2016), hlm. 21-22.

Anda mungkin juga menyukai