Anda di halaman 1dari 19

C/17/231221018/Muhammad Dzikri Akbar Syafi’i/Perbandingan Hukum

PERBANDINGAN KONSEP PENERAPAN PAJAK KARBON DI


INDONESIA DAN SWEDIA

Latar Belakang Masalah

Pajak pada mulanya merupakan suatu upeti, yaitu merupakan suatu


kewajiban yang dapat dipaksakan dan harus dilaksanakan oleh rakyat. Ketika itu,
rakyat memberikan upetinya kepada penguasa dalam bentuk natura berupa ternak
atau hasil tanam. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk
keperluan penguasa.1 Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
undang–undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal
(kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum. Membayar pajak merupakan bentuk partisipasi
setiap warga negara terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.2

Pajak dari sisi hukum merupakan perikatan yang lahir berdasarkan


undang-undang yang mewajibkan seseorang yang karena telah memenuhi syarat-
syarat tertentu yang dapat dikenakan pajak (syarat tatbestand) sehingga
kepadanya diwajibkan (dapat dipaksakan dan tanpa mendapatkan imbalan secara
langsung/individual) untuk membayar sejumlah uang ke kas negara, untuk
digunakan membiayai pengeluaran negara (biaya rutin pemerintah dan biaya
pembangunan) dan sebagai alat pengontrol (pendorong atau penghambat) untuk
mencapai tujuan investasi dan ekonomi.3

Pajak merupakan bagian terbesar dari pendapatan negara dan sebagai salah
satu sumber utama pembiayaan pembangunan nasional. Peranan strategis sektor
perpajakan terlihat dari kecenderungan meningkatnya target yang telah
1
Hernawan, Mihwar Anshari, Keberlakuan Normatif Ketentuan Pidana Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, Jurnal Kosmik Hukum, Vol. 18 No. 1,
Januari 2018, Hlm. 54-55.
2
Vivian Lora, Bastari Mathon, Penelitian Formal Bukti Pemenuhan Kewajiban
Penyetoran Pajak Penghasilan Final Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Jurnal
Mercatoria, Vol. 14, No.1, Juni 2021, Hlm. 30.
3
M. Farouq Sulaiman, Hukum Pajak Indonesia Suatu Pengantar Ilmu Hukum Terapan di
Bidang Perpajakan, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2018), Hlm. 230.
dicanangkan oleh pemerintah di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN).4 Pajak juga merupakan Penerimaan Pendapatan dan Belanja Negara
yang atau sering dikenal dengan Sebutan (APBN) sehingga dapat dikatakan
bahwa pajak sebagai roda penggerak utama yang sangat dominan. Pembangunan
nasional pada dasarnya mempunyai tujuan untuk memajukan kesejahteraan rakyat
melalui sistem pemberdayaan ekonomi yang ditangani dan dikerjakan oleh rakyat
5
dan memihak kepada kepentingan rakyat.

Pajak adalah sumber terpenting dalam penerimaan negara dan dipungut


berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan untuk
melaksanakannya dikeluarkanlah Keputusan Menteri Keuangan sampai
Keputusan Direktorat Jenderal Pajak (selanjutnya disebut Ditjen Pajak) sebagai
lembaga pemerintah yang mengemban tugas dan tanggung jawab menghimpun
penerimaan dalam negeri dari sektor pajak guna membiayai anggaran
penyelenggaraan pemerintah, pelayanan umum dan pembangunan nasional. Ditjen
Pajak mempunyai tugas yang sangat berat, karena hampir seluruh penerimaan
negara dipikul dari pajak-pajak yang dikelola oleh Ditjen Pajak.6

Terdapat 5 (lima unsur) yang melekat dalam pengertian pajak, yaitu :7

1. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang.


2. Sifatnya dapat dipaksakan.
3. Tidak ada kontra prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh
pembayar pajak.
4. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat
maupun daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta).

4
Diajeng Kusuma Ningrum, dkk , Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Di Bidang
Perpajakan Sebagai Upaya Peningkatan Penerimaan Negara, Jurnal Law Reform, Vol.12, No. 2,
Tahun 2016, Hlm. 210.
5
Ida Ayu Rhadana Satvikarani M, dkk, Upaya Pemungutan Pajak Terhadap Netflix Yang
Masih Belum Berbadan Usaha Tetap, Diversi Jurnal Hukum, Vol. 6, No. 2, Desember 2020, Hlm.
119.
6
Sarwini, Implementasi Restorative Justice Dalam Penegakan Hukum Pajak, Yuridika,
Vol. 29 No. 3, September-Desember 2014, Hlm. 381.
7
Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, (Jakarta : Salemba Empat, 2007), Hlm. 6.
5. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat
umum.

Pajak yang dipungut oleh pemerintah terbagi atas dua bagian, yaitu: pajak
pusat dan pajak daerah. Pajak pusat dipungut oleh Pemerintah Pusat, sedangkan
pajak daerah dipungut oleh Pemerintah Daerah.8 Untuk fungsi pajak sendiri
terdapat dua fungsi, atara lain fungsi budgetair yakni pajak sebagai seumber dana
bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya, dan fungsi
mengatur yakni pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.9 Pemungutan pajak
diwajibkan menggunakan undang-undang, sebab pajak merupakan peralihan
kekayaan dari rakyat kepada pemerintah yang tidak ada imbalannya yang secara
langsung dapat ditunjuk. Peralihan kekayaan demikian itu dalam kata sehari-hari
hanya dapat berupa penggarongan, perampokan, pencopetan (dengan paksa), atau
pemberian hadiah dengan sukarela dan ikhlas (tanpa paksaan). Oleh karena itu
pemungutan pajak harus berlandaskan pada undang-undang.10

Perpajakan, perlu mempertimbangkan hal-hal berikut: (1) dalam


pemungutan pajak, pelaksanaannya tidak selayaknya memfokuskan pada
pemaksaan karena prinsipnya pajak merupakan wujud kesadaran masyarakat
dalam memberikan kontribusi kepada negara; (2) model pemungutan pajak tidak
mengutamakan pemaksaan agar pendefinisian pajak menjadi lebih netral dan tidak
berkonotasi negatif, terutama untuk membedakan antara negara merdeka dan
negara yang masih terjajah yang harus membayar pajak kepada negara yang
menjajahnya; (3) pajak harus dikembalikan ke masyarakat, sehingga seharusnya
hasil penerimaan pajak tidak digunakan semata-mata untuk membayar hutang atau
menutup defisit anggaran; (4) pajak memiliki pengukuran manfaat yang diterima

8
Putera Astomo, Farhanuddin, Politik Hukum Pajak Daerah Di Kabupaten Polewali
Mandar Sulawesi Barat, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 20, No. 3, Desember 2018, Hlm. 512.
9
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2006, (Yogyakarta : Penerbit Andi, 2006), Hlm. 1-
2.
10
Binsar Sitorus, Independensi Hakim Dalam Sistem Peradilan Pajak Di Indonesia,
Yuridika, Vol. 28 No. 1, Januari-April 2013, Hlm. 30.
masyakat, setidaknya adanya transparansi pemerintah menunjukkan bahwa hasil
pajak digunakan untuk membangun infrastruktur, subsidi pendidikan, pelayanan
dan investasi publik lainnya.11

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani menyatakan bahwa dengan adanya


kebijakan keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan,
diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara khususnya dari sektor pajak.
Salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak adalah kebijakan yang
mendasari pelaksanaan kebijakan itu sendiri, karena pajak dan pungutan lainnya
yang bersifat memaksa untuk kepentingan negara diatur dengan undang-undang.12

Salah satu pajak yang diterapkan di Indonesia yakni pajak karbon. Pajak
karbon adalah pajak yang dikenakan terhadap kandungan karbon yang terdapat
pada bahan bakar, atau dengan kata lain pajak karbon merupakan pajak yang
dikenakan terhadap emisi karbon dioksida dari hasil pembakaran bahan bakar
fossil. Emisi karbon adalah penyebab terbesar dari perubahan iklim dunia Emisi
karbon atau sering juga disebut dengan gas rumah kaca adalah output dari
tindakan keseharian manusia. Pada dasarnya, Bumi telah memiliki gas rumah kaca
secara alamiah di lapisan atmosfer Gas rumah kaca ini memiliki fungsi yang
sangat penting, yakni untuk menyerap sebagian energi panas matahari dan
menyalurkannya ke permukaan bumi, serta memantulkan sebagian lainnya dari
energi panas matahari ke luar permukaan bumi sehingga suhu di permukaan bumi
tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin.

Seiring berlalunya waktu, keharusan tindakan iklim menjadi semakin


penting- dan terutama jika kita ingin mencapai tujuan yang ditetapkan dari
Perjanjian Paris. Namun, tindakan kebijakan yang tepat harus diambil untuk
memastikan bahwa gas rumah kaca berkurang baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Untungnya bagi para peneliti, semakin banyak kebijakan terkait

11
Maria R.U.D. Tambunan, Haula Rosdiana, Review Atas Pelaksanaan Ketentuan Pajak
Penerangan Jalan Di Indonesia, Masalah-Masalah Hukum, Jilid 49 No.4, Oktober 2020, Hlm.
411.
12
Putri Anggia, The Influence of International Tax Policy on the Indonesian Tax Law,
Yuridika, Vol. 35 No. 2, May 2020, Hlm. 345.
iklim yang telah diberlakukan, sehingga secara kolektif meningkatkan
kemampuan kita untuk menentukan kebijakan mana yang efektif dan tidak efektif
dalam memitigasi faktor-faktor penyebab perubahan iklim.13

Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations melalui United Nations


Framework Conventions of Climate Change telah menyeragamkan aksi dari
seluruh negara di dunia dengan membuat sebuah perjanjian untuk menekan
produksi emisi karbon. Perjanjian ini ditanda-tangani oleh 195 negara anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk Indonesia, di Kota Paris, Prancis
pada tanggal 23 April Tahun 2016 lalu. Perjanjian inilah yang kemudian dikenal
dengan istilah Paris Agreement. Perjanjian ini meminta agar setiap negara anggota
PBB untuk mengurangi produksi emisi gas rumah kaca. Pemerintah Indonesia
melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada saat itu, Dr. Siti
Nurbaya, mewakili Presiden Republik Indonesia juga ikut menandatangani
Perjanjian Paris tersebut.

Untuk menindaklanjuti Perjanjian Paris ini, Pemerintah Indonesia telah


meratifikasi perjanjian paris yakni dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2016. Di dalam Perjanjian Paris, Indonesia telah menyatakan sebuah
proposal atau janji dimana Indonesia akan menurunkan emisi gas rumah kaca
sebesar 29% pada tahun 2030, dengan basis emisi gas rumah kaca tahun 2010,
dengan upaya sendiri, dan akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 41%
jika dibantu oleh negara lain.14 Janji atau komitmen ini dinyatakan oleh
pemerintah melalui Nationally Determined Contribution (NDC).

Perjanjian paris pun telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan


Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan paris Agreement to
the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris
atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan
Iklim). Perjanjian Paris dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 adalah bukti

13
Andres Arcila, John D. Baker, Evaluating Carbon Tax Policy: A Methodological
Reassessment Of A Natural Experiment, Energy Economics, 111, 2022, Hlm. 1.
14
Rahmi Selvi, Rachmatulloh, I, Urgensi Penerapan Pajak Karbon Di Indonesia, Jurnal
Reformasi Administrasi, Vol. 7 No.1, 2020. Hlm. 29–34.
bahwa Pemerintah Indonesia ikut berpartisipasi dalam menekan produksi gas
rumah kaca. Di dalam Penjelasan UU HPP disebutkan bahwa Pemerintah
Indonesia akan mulai mengenakan pajak karbon sejak tahun 2022 untuk
memenuhi komitmen Indonesia yang dibuat melalui Nationally Determined
Contribution (NDC) tahun 2016 lalu. Dengan demikian dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa pengenaan pajak karbon diberlakukan bukan tanpa alasan,
melainkan didukung oleh dasar yang sangat kuat, yakni untuk menekan emisi
karbon dan untuk mempertahankan keberlangsungan makhluk hidup di bumi serta
sekaligus untuk memenuhi komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengatasi isu
lingkungan.

Pajak karbon adalah mekanisme berbasis pasar yang dapat secara efektif
mengurangi emisi karbon. Pajak karbon berbentuk Pigouvian, sehingga besaran
pajak sebanding dengan emisi karbon yang dihasilkan dari proses produksi. Tarif
pajak karbon yang dikenakan bervariasi di seluruh negara yang
memberlakukannya. Berdasarkan data Bank Dunia (2020), tarif pajak karbon
berkisar dari $3 hingga $130 per ton emisi CO2. Beberapa negara juga telah
mengusulkan kenaikan tarif pajak karbon tahunan. Kebijakan perpajakan karbon
menyebabkan pasar menghasilkan tingkat konsumsi yang efisien dan
meminimalkan biaya dalam jangka pendek, menghasilkan pengurangan emisi
yang signifikan dalam jangka panjang. Kebijakan penetapan harga karbon secara
langsung berdampak pada sektor ekonomi dan lingkungan negara-negara yang
menggunakan pendekatan tersebut dan secara tidak langsung mempengaruhi
negara lain melalui perubahan di pasar internasional untuk barang dan jasa.15

Pajak karbon bukanlah pajak yang baru. Sebelum Indonesia telah banyak
negara-negara lainyang telah mengenakan pajak karbon. Finlandia adalah negara
pertama di dunia yang mengenakan pajak karbon, tepatnya sejak tahun 1990 dan
kemudian diikuti oleh 16 negara Eropa lainnya.Tidak ingin ketinggalan, Indonesia
secara resmi juga akan mulai mengenakan pajak karbon secara bertahap, yakni

15
Dwi Pangestu Ramadhani, Yoonmo Koo, Comparative Analysis Of Carbon Border Tax
Adjustment And Domestic Carbon Tax Under General Equilibrium Model: Focusing On The
Indonesian Economy, Journal of Cleaner Production, 377, 2022, Hlm. 2.
sejak April tahun 2022. Penerapan pajak karbon telah diatur di dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU
HPP) yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 06
Oktober tahun 2021 lalu. Penerapan pajak karbon ini diharapkan mampu
menjawab isu perubahan iklim yang telah mengakibatkan banyak masalah
terhadap berbagai negara di dunia, yakni dengan menekan dan mengurangi
produksi emisi karbon dari Indonesia.

Tujuan utama dari pengenaan pajak karbon adalah untuk mengurangi


produksi gas rumah kaca serta menstimulus masyarakat untuk beralih dari bahan
bakar fosil menjadi bahan bakar ramah lingkungan. Meskipun demikian, harus
disadari bahwa mengenakan pajak karbon juga akan memberi dampak yang
negatif terhadap perekonomian. Dimana pengenaan pajak karbon akan membuat
harga dari barang yang mengandung karbon dan jasa terkait akan mengalami
kenaikan Dengan demikian pengenaan pajak karbon harus dirancang sebaik
mungkin agar dampak positif yang dihasilkan mampu menutup dampak
negatifnya. Akan tetapi, Pemerintah Indonesia belum memiliki pengalaman dalam
pengenaan pajak karbon. Semua yang dinyatakan dalam UU HPP hanyalah
rancangan yang telah disiapkan.

Tujuan Perbandingan

Dalam melakukan perbandingan hukum (comparative law) maka terlebih


dahulu harus dijelaskan tujuan dari perbandingan hukum tersebut. Terdapat 3
tujuan dalam melakukan perbandingan hukum, yakni:
 In Making Law (bagaimana comparative law digunakan dalam membuat
hukum atau legal reform).
 Interpretasi Hukum (bagaimana comparative law sebagai alat untuk
melakukan konstruksi/rekonstruksi dalam ketidakpastian/keraguan dan
pembentukan hukum akibat kekosongan hukum).
 In the Unification of the Law (penyesuaian/harmonisasi dengan standar
internasional sesuai kesepakatan internasional).
Diantara ketiga tujuan perbandingan hukum tersebut, apabila
menyesuaikan isu hukum yang akan dibahas, maka tujuan hukum yang ingin
dicapai adalah sebagai Legal Reform atau pembaruan hukum yang sudah ada agar
menjadi lebih baik dan lebih menekankan keadilan. Perbandingan hukum juga
berperan melihat perbedaan aturan yang lebih baik dan dapat diterapkan serta
mencari persamaan-persamaan dan keadilan, sehingga dapat ditemukan sebuah
solusi alternatif yang didapat bisa sesuai dengan rasa keadilan yang diinginkan.
Namun Indonesia sebagai negara hukum juga harus melihat kepada landasan
yuridisnya yaitu UU HPP, di dalam undang-undang ini memang mengatur konsep
penerapan pajak karbon di Indonesia. Akan tetapi harus disadari bahwa
mengenakan pajak karbon juga akan memberi dampak yang negatif terhadap
perekonomian. Dimana pengenaan pajak karbon akan membuat harga dari barang
yang mengandung karbon dan jasa terkait akan mengalami kenaikan. Selain itu,
pemerintah Indonesia belum memiliki pengalaman dalam pengenaan pajak
karbon. Semua yang dinyatakan dalam UU HPP hanyalah rancangan yang telah
disiapkan.

.
Pendekatan Perbandingan
Pendekatan dalam perbandingan hukum dibagi atas 2 pendekatan, yaitu:
pendekatan perbandingan makro (macro-comparability), dan pendekatan
perbandingan mikro (micro-comparability). Meskipun pendekatan makro dan
mikro saling berkaitan erat, keduanya dibedakan dan dipisahkan untuk mencapai
hasil maksimal Pendekatan dalam perbandingan hukum ini berfungsi agar
perbandingan hukum yang dilakukan dalam level yang sama. Pada pendekatan
makro, substansi perbandingan berada pada legal system. Sedangkan dalam
pendekatan mikro, substansi perbandingan berada pada aspek substansi aturan
hukum16.
Pada perbandingan makro, perhatian lebih difokuskan pada gambar besar
dari sebuah sistem hukum yang berlaku dalam suatu negara. Dengan demikian,

16
Ratno Lukito, Perbandingan Hukum Perdebatan Teori dan Metode, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2019, hlm. 27.
kajian perbandingan hukum dalam aspek ini lebih ditujukan untuk melihat sistem
hukum yang berlaku dalam suatu negara tersebut dalam lingkup hubungannya
dengan sistem hukum di negara lain. Aspek persamaan dan perbedaan antara
kedua sistem hukum yang berbeda diteliti sedemikian rupa sehingga dapat
ditangkap kelebihan maupun kelemahan dari masing-masing sistem, yang
dengannya perbandingan itu dapat memberikan hasil teoretis maupun praktis bagi
pengembangan keillmuan hukum. Satu hal yang perlu menjadi perhatian dalam
hal ini adalah aspek makro menitikberatkan pada sebuah sistem hukum,
sedangkan aspek mikro menitikberatkan kepada lex specialist yang mengisi
sistem17.
Pendekatan makro terdiri dari 7 macam pendekatan, yakni:
1. Legal organizations (organisasi hukum)
Pendekatan ini digunakan untuk membandingkan bagaimana
organisasi tersebut bekerja dengan meliuhat pada kedudukan lembaga,
dan bagaimana legitimasi pembentukan organisasi tersebut.
2. Legal system (system hukum)
Pendekatan ini digunakan untuk membandingkan sistem hukum suatu
negara/yurisdiksi untuk melihat bagaimana hukum tersebut di bentuk
maupun di interpretasi serta bagaimana sistem hukum suatu negara
mempengaruhi hukum bekerja di sistem hukum tersebut.
3. Mentalities (mentalitas)
Pendekatan ini digunakan untuk membandingkan bagaimana
mentalitas di negara didalam legal system tersebut. Mentalitas di suatu
negara akan mempengaruhi budaya hukum di negara tersebut jika
dilakukan secara terus-menerus.
4. Juristic styles (gaya berpikir yuris)
Pendekatan ini digunakan untuk membandingkan cara berpikir/mind
set di negara tersebut dengan melihat bagaimana hukum bekerja
dengan cara berpikir di suatu negara. Pendekatan ini dipengaruhi
dengan latar belakang historis dan sumber hukum.
17

Ibid., hlm. 28.


5. Legal philosophies (filosofi hukum)
Pendekatan ini digunakan untuk membandingkan apakah hukum di
negara tersebut bebas dari kepentingan-kepentingan penguasa dan
penegakan hukum di negara tersebut dapat di implementaskan dengan
netral secara filosofis.
6. Legal traditions (tradisi hukum)
Pendekatan ini digunakan untuk membandingkan tradisi yang ada di
masing-masing negara. Dimana tradisi akan berkembang jadi budaya
jika diterapkan secara terus menerus.
7. Legal cultures (budaya hukum)
Pendekatan ini digunakan untuk membandingkan budaya hukum
dalam suatu negara termasuk organisasi hukum, sistem hukum,
mentalitias, jurist style, filosofi hukum, tradisi hukum.
Pendekatan mikro terdiri dari 6 macam pendekatan yakni:
1. Legal terms (terminologi hukum)
Istilah hukum (legal terms) adalah komponen terkecil dari setiap
norma hukum dan sebagai konsekuensinya dari seperangkat norma.
2. Legal concept (konsep hukum)
Konsep hukum (legal concepts) berarti sesuatu yang lebih dari di
denotasikan didalam kamus istilah hukum. itu mengacu pada semua
penggunaan istilah dan istilah serupa dalam semua konotasi yang bisa
dibayangkan.
3. Legal norms (norma hukum)
Norma hukum (legal norms) adalah aturan hukum yang mengatur atau
mengesahkan perilaku manusia tertentu, termasuk norma
kelembagaan. Oleh karena itu, standar harus mengandung setidaknya
dua istilah hukum: menggambarkan perilaku (boleh/tidak boleh) dan
yang lainnya melampirkan konsekuensi hukum.
4. Sources of norms (sumber norma)
Sumber Norma dilakukan dengan membandingkan konsep dan
mekanisme masing-masing masyarakat untuk menentukan validitas
norma.
5. Legal institutions (lembaga hukum)
Yang dimaksud dengan lembaga hukum adalah praktik, hubungan atau
organisasi yang signifikan dalam masyarakat hukum, seperti lembaga
perkawinan, perburuhan, atau properti.
6. Bodies of norms (satu undang-undang penuh)
ini adalah kumpulan standar yang lebih besar dari kumpulan yang
membentuk lembaga hukum. Biasanya norma yang dipelajari dipilih
dari beberapa hukum substantif.
Dari berbagai macam pendekatan dalam perbandingan hukum, pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan mikro, yakni perbandingan hukum terhadap
legal concept, yakni konsep penerapan pajak karbon di Indonesia dengan tujuan
legal reform. Pengaturan mengenai konsep penerapan pajak karbon di Indonesia
diperlukan untuk menentukan pengenaan pajak karbon dan penentuan tarif pajak
karbon, agar tujuan utama pengenaan pajak karbon dalam mengurangi produksi
gas rumah kaca serta menstimulus masyarakat untuk beralih dari bahan bakar fosil
menjadi bahan bakar ramah lingkungan dapat tercapai.
Meskipun pada dasarnya konsep konsep penerapan pajak karbon di
Indonesia yang diatur dalam UU HPP, terdapat beberapa pertimbangan yang
menjadi dasar pentingnya melakukan perbandingan legal concept dengan tujuan
legal reform ini yaitu:
1. Dimana pengenaan pajak karbon akan membuat harga dari barang yang
mengandung karbon dan jasa terkait akan mengalami kenaikan. Sehingga
dengan demikian diperlukan pengaturan pengenaan pajak karbon yang
pengenaan pajak karbon harus dirancang sebaik mungkin agar tetap dapat
mempertahankan kondisi perekonomian Indonesia.
2. Pemerintah Indonesia belum memiliki pengalaman dalam pengenaan pajak
karbon. Semua yang dinyatakan dalam UU HPP hanyalah rancangan yang
telah disiapkan. Sehingga masih sulit untuk menentukan tarif yang pas
untuk pajak karbon di Indonesia.
3. penerapan pajak karbon di Indonesia berdasarkan UU HPP hanya
membahas terkait urgensi penerapan pajak karbon dan perkiraan potensi
penerimaan perpajakan yang dapat diperoleh pemerintah dari pajak
karbon.
Oleh karena itu dengan adanya perbandingan melalui legal concept dengan
tujuan legal reform terkait isu konsep penerapan pajak karbon di Indonesia ini
mampu menjadi solusi alternatif sehingga hakekat perbandingan hukum sebagai
alat untuk legal problem solving, dan membantu perkembangan hukum nasional
juga tercapai.
Metode Perbandingan
Metode dalam perbandingan hukum berguna untuk menjustifikasi dengan
siapa kita melakukan perbandingan dan mengapa memilih negara tersebut agar
keabsahan perbandingan hukum terpenuhi dan perbandingannya apple to apple.
Metode perbandingan hukum terdiri atas 6 (enam), yaitu:
- Karena fungsinya (Functional Method).
Metode ini digunakan dalam hal ada norma/term/hukum di negara yamg
kita ingin melakukan perbandingan yang menyelesaikan masalah yang
sama dengan yang dihadapi walaupun dengan cara yang berbeda dan legal
system yang berbeda
- Karena strukturnya (structural Method)
Metode ini digunakan untuk kemiripan struktur hukumnya, dimana
struktur hukum tersebut mempengaruhi bagaimana hukum bekerja dengan
melihat hierarki dalam hukum tersebut.
- Analisa (Analytical Method)
Metode ini digunakan dengan dasar perbedaan legal system, dan akibat
dari perbe daan tersebut akan terlihat output dalam metode ini yaitu solusi
alternatifnya.
- Law in context method
Metode ini digunakan dengan dasar persamaan realita sosial, dimana
hukum tidak bisa dilepaskan dari realita sosial, dengan menggunakan
metode ini perlu melihat negara pembanding dengan realita sosial yang
kurang lebih sama.
- Sejarah (Historical Method)
Metode ini digunakan untuk melakukan perbandingan sejarah hukum
dimana negara yang ingin dilakukan perbandingan memiliki sejarah yang
sama, tujuan dari metode ini adalah interpretasi/konstruksi hukum.
- Commond core method
Metode ini digunakan untuk melihat kesamaan pada umunmnya dengan
melihat banyak kesamaan dan metode ini merupakan gabungan dari
fungisonal dan law in context dengan tujuan unifikasi/konstruksi hukum.
Dengan melihat penjabaran dari metode-metode di atas, iiantara berbagai
metode tersebut, metode yang digunakan adalah metode analisa yakni memilih
suatu legal system karena adanya perbedaan.
Penerapan pajak karbon di Indonesia telah diatur di dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU
HPP) yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 06
Oktober tahun 2021. Melalui pemberlakuan UU HPP Pemerintah Indonesia secara
resmi mulai mengenakan pajak karbon. Pasal 13 ayat 5 UU HPP menjelaskan
bahwa pajak karbon akan dikenakan terhadap orang pribadi atau badan yang
membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang
menghasilkan emisi karbon. Jadi, jika diuraikan akan terdapat 2 (dua) objek yang
akan dikenakan pajak karbon yakni “pembelian barang yang mengandung karbon”
dan “aktivitas yang menghasilkan emisi karbon”.
Untuk itu, apabila terdapat orang pribadi maupun badan membeli bahan
bakar fosil untuk digunakan bagi keperluannya, maka akan dikenakan pajak
karbon. Pasal 13 ayat 7 UU HPP menyebutkan bahwa atas pembelian barang yang
mengandung karbon akan terutang pajak karbon pada “saat pembeliannya”. Selain
itu, dalam hal terdapat orang pribadi maupun badan melakukan aktivitas industry
aktivitas yang menghasilkan barang dengan menggunakan mesin yang atas
aktivitas tersebut menghasilkan emisi karbon, maka akan dikenakan juga pajak
karbon. Pasal 13 ayat 7 UU HPP menyebutkan atas aktivitas yang menghasilkan
emisi karbon akan terutang pajak karbon pada “akhir tahun kalender” atau pada
“saat lain” yang diatur oleh Peraturan Pemerintah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Dasar Pengenaan Pajak
(DPP) Pajak Karbon adalah jumlah emisi karbon yang dihasilkan dari barang
yang mengandung karbon dan/atau dari aktivitas tertentu yang menghasilkan
emisi karbon. Untuk itu, besaran perkiraan jumlah emisi yang dihasilkan dari
barang atau aktivitas tersebut akan diukur dan ditentukan oleh Kementerian lain
yang memiliki wewenang dan kompetensi dalam menentukan besaran jumlah
emisi yang dihasilkan dari barang dan aktivitas tersebut. Pasal 13 ayat (10) UU
HPP menyebutkan bahwa DPP dari pajak karbon ini akan ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) setelah dikonsultasikan dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
Kemudian, besarnya nilai pajak karbon yang terutang akan dihitung
dengan mengalikan antara Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dengan tarif pajak
karbon. Pasal 13 ayat (8) UU HPP menyebutkan bahwa tarif pajak karbon yang
berlaku di Indonesia adalah “sama dengan harga karbon yang ada di pasar
karbon”. Jadi dapat diketahui bahwa penerapan pajak karbon di Indonesia akan
dilakukan bersamaan dengan penerapan pasar karbon dimana tarif pajak karbon
yang berlaku adalah sama dengan harga karbon di pasar karbon. Dengan
demikian, tarif pajak karbon akan terus berubah-ubah karena mengikuti
pergerakan harga karbon yang ada di pasar karbon. Untuk itulah, Pasal 13 ayat
(10) UU HPP juga menyebutkan bahwa ketentuan terkait penetapan tarif pajak
karbon ini akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri
Keuangan. Meskipun demikian, Pasal 13 ayat (9) UU HPP tetap memberikan
batasan terendah atas tarif pajak karbon ini. Dalam hal harga karbon yang ada di
pasar karbon kurang dari Rp30.000 per ton CO₂ ekuivalen atau Rp30 per
kilogram CO₂ ekuivalen.
Sementara itu dalam pengaturan pajak karbon di Swedia berdasarkan Lag
(1990:582) om koldioxidskatt:
Innehåll:
Övergångsbestämmelser
- 1 § Koldioxidskatt skall betalas till staten enligt denna lag för bränslen
som anges i bilaga till lagen och för bränsleblandningar som avses i 1 §
andra stycket lagen (1957:262) om allmän energiskatt.
Koldioxidskatt skall vidare betalas för de varuslag som är skattepliktiga
enligt 1 § lagen (1961:372) om bensinskatt, med undantag för
metylalkohol (metanol). Undantaget gäller även metanol eller etylalkohol
(etanol) som ingår i sådant annat motorbränsle som avses i 1 § första
stycket a) eller c) nämnda lag. Lag (1993:844).
- 2 § Koldioxidskatten för år 1994 tas ut, om inte annat följer av andra
stycket, för bränslen som avses i 1 § första stycket med i bilagan angivet
belopp för vikt- eller volymenhet. För varuslag som är skattepliktiga enligt
1 § andra stycket tas skatt ut med 77 öre per liter. För tiden efter utgången
av år 1994 och fram till och med år 1998 skall skatten tas ut med belopp
som omräknas enligt 2 a §. Därefter skall skatten tas ut med de belopp
som gäller vid utgången av år 1998.
För skattepliktiga bränsleblandningar skall skatt dock inte tas ut för den
del av bränslet som består av vegetabiliska eller animaliska fetter eller
oljor eller metyleller etylestrar av fettsyror från sådana fetter eller oljor.
För blandningen i övrigt tas skatten ut med belopp som gäller för
oljeprodukter. Lag (1993:1511).
Berdasarkan ketentuan diatas, pemerintah Swedia mengenakan pajak
karbon atas bahan bakar fosil yang digunakan untuk transportasi dan tujuan
pemanasan (heating purposes). Bahan bakar fosil yang dimaksud ini termasuk
bensin, batu bara dan minyak diesel. Meskipun demikian, sejak penerapannya di
tahun 1991, Swedia telah mengecualikan banyak sektor dari pengenaan pajak
karbon. Pengecualian ini dilakukan sebagai langkah untuk mempertahankan
kondisi perekonomian Swedia. Adapun beberapa contoh sektor yang dikecualikan
dari pengenaan pajak karbon adalah sektor industri, sektor pertambangan, sektor
pertanian, dan sektor perhutanan.
Dalam pengenaan pajak karbon ini, Swedia menetapkan 3 (tiga) Subjek
pajak, yakni Importir, distributor, dan konsumen besar (large consumer). Hal ini
karena Swedia tidak memiliki produsen atas bahan bakar fosil di negaranya
sehingga pengenaan pajak karbon dilakukan pada tingkat importir, distributor, dan
konsumen dengan jumlah besar. Misalnya, dalam hal importir mengimpor bahan
bakar gas dari negara lain untuk dijual kepada Stasiun Pengisian Bahan Bakar
Umum di Swedia maka pajak karbon akan dikenakan terhadap importir tersebut.
Meskipun demikian, beban pajak karbon yang dibayar oleh importir atau
distributor ini biasanya akan dibebankan atau dialihkan sebagian atau seluruhnya
kepada rantai berikutnya. Importir atau distributor akan membebankan biaya
pajak karbon sebagai komponen biaya sehingga akan membuat harga bahan bakar
menjadi meningkat.18
Regulasi terkait penerapan pajak karbon di Swedia ini sudah mengalami
perubahan berkali-kali dalam 30 tahun penerapannya. Pada awal penerapannya di
tahun 1991, Swedia menetapkan tarif pajak karbon sebesar US$26 per ton CO₂
ekuivalen. Tarif ini kemudian mengalami peningkatan drastis sejak tahun 2000
hingga tahun 2004. Dimana pada tahun 2000, pemerintah Swedia menaikkan tarif
pajak karbon dari US$26 menjadi US32 per ton CO₂ ekuivalen dan pada tahun
2004 kembali dinaikkan menjadi US$95 per ton CO₂ ekuivalen. Peningkatan tarif
ini kemudian terus dilakukan secara perlahan-lahan hingga pada tahun 2021
mencapai angka US$137 per ton CO₂ ekuivalen.19
Tingginya tarif pajak karbon yang diterapkan menghasilkan penerimaan
pajak karbon yang sangat tinggi pula bagi Swedia. Berdasarkan data penerimaan
pajak dari OECD (2019), diketahui bahwa per tahun 2019, Swedia berhasil
mengumpulkan penerimaan pajak karbon sebesar US$2,3 miliar atau setara
dengan 32,7 triliun rupiah. Seluruh penerimaan dari pajak karbon ini akan masuk
seluruhnya sebagai penerimaan pemerintah pusat dan tanpa dialokasikan ke hal-
hal tertentu.20
18
Eykel Bryken Barus, Suparna Wijaya, Penerapan Pajak Karbon Di Swedia Dan
Finlandia Serta Perbandingannya Dengan Indonesia, Jurnal Pajak Indonesia, Vol.5, No.2, 2021.
Hlm. 265-266.
19
Ibid, Hlm. 265.
20
Ibid, Hlm.266.
Swedia adalah contoh negara yang berhasil dalam menerapkan pajak
karbon. Swedia mampu merancang ketentuan pajak karbon yang mampu menekan
emisi karbon dan tidak memberikan dampak buruk bagi perekonomian Swedia.
Sejak awal penerapannya di tahun 1991 hingga tahun 2018, Swedia telah berhasil
menekan emisi karbon sebesar 27%, dimana penurunan terbesar terjadi di awal
tahun 2000. Penurun signifikan ini dipercaya terjadi akibat kenaikan yang
signifikan dari tarif pajak karbon di Swedia pada tahun 2000. Meskipun Swedia
menekan emisi karbon dengan menerapkan berbagai pungutan, utamanya dengan
penerapan pajak karbon yang tarifnya relatif sangat tinggi, namun perekonomian
Swedia terbukti tidak terpengaruh oleh kebijakan ini. Inilah alasan mengapa
penerapan pajak karbon di Swedia dapat dikatakan berhasil.21
untuk itu, sangat penting untuk melakukan perbandingan antara rencana
penerapan sebagaimana yang diatur dalam UU HPP dengan pengalaman negara
lain yang telah menerapkan pajak karbon terlebih dahulu. Perbandingan ini dapat
dilakukan dengan melihat perbedaan dari sisi tarif yang ditetapkan, sistem
pengenaan, dan dampak pengenaan pajak karbon terhadap emisi karbon serta
terhadap penerimaan perpajakan dari negara tersebut. Untuk itu, Swedia
digunakan sebagai negara pembanding. Swedia akan dipilih sebagai variabel
pembanding karena Swedia adalah negara dengan tarif pajak karbon tertinggi di
dunia per tahun 2021 serta bagaimana perekonomian Swedia tidak terpengaruh
oleh kebijakan ini.
Hasil perbandingan
Dengan melihat perbandingan antara kedua negara tersebut mengingat
Swedia adalah negara dengan tarif pajak karbon tertinggi di dunia per tahun 2021
serta bagaimana perekonomian Swedia tidak terpengaruh oleh kebijakan ini.
Indonesia dapat menerapkan solusi alternatif yakni mencontoh pengenaan tarif
pajak karbon yang diterapkan oleh Swedia. Akan tetapi harus tetap dengan
melihat keadaan masyarakat Indonesia, selain itu Indonesia juga dapat mencontoh
untuk mengecualikan beberapa sektor agar perekonomian di Indonesia tidak
terpengaruh oleh kebijakan pajak karbon tersebut.

21
Ibid, Hlm. 266.
DAFTAR BACAAN

Buku

Ilyas, Wirawan B. 2007. Hukum Pajak. Jakarta : Salemba Empat.

Lukito, Ratno. 2019. Perbandingan Hukum Perdebatan Teori dan Metode.


Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Mardiasmo. 2006. Perpajakan Edisi Revisi 2006. Yogyakarta : Penerbit Andi.

Sulaiman, M. Farouq. 2018. Hukum Pajak Indonesia Suatu Pengantar Ilmu


Hukum Terapan di Bidang Perpajakan. Jakarta : Prenadamedia Group.

Jurnal

Anggia, Putri. 2020. The Influence of International Tax Policy on the Indonesian
Tax Law, Yuridika. 35(2). Hlm. 345.

Arcila, Andres, John D. Baker. 2022. Evaluating Carbon Tax Policy: A


Methodological Reassessment Of A Natural Experiment, Energy
Economics. 111. Hlm. 1.

Astomo, Putera Farhanuddin. 2018. Politik Hukum Pajak Daerah Di Kabupaten


Polewali Mandar Sulawesi Barat. Kanun Jurnal Ilmu Hukum. 20(3). Hlm.
512.

Barus, Eykel Bryken, Suparna Wijaya. 2021. Penerapan Pajak Karbon Di Swedia
Dan Finlandia Serta Perbandingannya Dengan Indonesia. Jurnal Pajak
Indonesia. 5(2). Hlm. 265-266.

Hernawan, Mihwar Anshari. 2018. Keberlakuan Normatif Ketentuan Pidana


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.
Jurnal Kosmik Hukum. 18(1). Hlm. 54-55.

Lora, Vivian Bastari Mathon. 2021. Penelitian Formal Bukti Pemenuhan


Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan Final Pengalihan Hak Atas
Tanah Dan/Atau Bangunan. Jurnal Mercatoria. 14(1). Hlm. 30.
Ningrum, Diajeng Kusuma dkk. 2016. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Di
Bidang Perpajakan Sebagai Upaya Peningkatan Penerimaan Negara.
Jurnal Law Reform. 12(2). Hlm. 210.

Ramadhani, Dwi Pangestu, Yoonmo Koo. 2022. Comparative Analysis Of Carbon


Border Tax Adjustment And Domestic Carbon Tax Under General
Equilibrium Model: Focusing On The Indonesian Economy, Journal of
Cleaner Production. 377. Hlm. 2.

Sarwini. 2014. Implementasi Restorative Justice Dalam Penegakan Hukum Pajak.


Yuridika. 29(3). Hlm. 381.

Satvikarani, Ida Ayu Rhadana, dkk. 2020. Upaya Pemungutan Pajak Terhadap
Netflix Yang Masih Belum Berbadan Usaha Tetap. Diversi Jurnal Hukum.
6(2). Hlm. 119.

Selvi, Rahmi Rachmatulloh, I. 2020. Urgensi Penerapan Pajak Karbon Di


Indonesia. Jurnal Reformasi Administrasi. 7(1). Hlm. 29–34.

Sitorus, Binsar. 2013. Independensi Hakim Dalam Sistem Peradilan Pajak Di


Indonesia, Yuridika. 28 (1). Hlm. 30.

Tambunan, Maria R.U.D, Haula Rosdiana. Oktober 2020. Review Atas


Pelaksanaan Ketentuan Pajak Penerangan Jalan Di Indonesia, Masalah-
Masalah Hukum. 49(4). Hlm. 411.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan


Perpajakan

Anda mungkin juga menyukai