Anda di halaman 1dari 68

RESUME MATERI PERPAJAKAN

DOSEN PENGASUH:

YAYA SONJAYA, SE., M.Si.

DISUSUN OLEH:

MUHAMAD PRAYOGA BALUNTU 21111072

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

2023
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
penerimaan negara pada tahun 2016 dari sektor pajak memberikan kontribusi yang sangat
besar, yaitu 74,6 % dari total pendapatan negara. Hal ini memberi indikasi bahwa sektor
perpajakan memiliki peran sangat penting dalam menjamin keberlangsungan kehidupan
bangsa kita, khususnya dalam mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, sejahtera, adil,
dan damai. Oleh karena itu, untuk memastikan pemasukan dari sektor perpajakan, setiap
warga negara sudah seharusnya memiliki kesadaran tentang pajak. Kesadaran pajak setiap
warga negara merupakan modal psikososial untuk menunaikan kewajibannya sebagai
pembayar pajak dan juga sebagai penikmat pajak.
Secara kurikuler capaian pembelajaran (learning outcomes) tentang kesadaran pajak, dapat
dikembangkan sebagai program pendidikan melalui inklusi kesadaran pajak dalam Mata
Kuliah Wajib Umum (vide Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi). Untuk menjamin terwujudnya inklusi kesadaran pajak tersebut, diperlukan program
pembelajaran yang dirancang secara inklusif dalam pembelajaran MKWU guna mewujudkan
pencapaian tujuan pendidikan.
Dalam konteks nation and character building, pendidikan kesadaran pajak yang diinklusikan
ke dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan memiliki
fungsi dan peran yang sangat penting, antara lain sebagai upaya untuk mengembangkan
kesadaran pajak dalam diri peserta didik. Pendidikan kesadaran pajak saling menguatkan
dengan rasa kebangsaan dan cinta tanah air yang bersumber dari nilai dan moral Pancasila.
Dalam konteks ini, pendidikan kesadaran pajak yang inklusif dalam MKWU diharapkan
berkontribusi terhadap pengembangan keadaban warga negara yang sadar pajak (civic
virtue).

BAB 1
BAGAIMANA PAJAK DALAM KEHIDUPAN
SEHARI-HARI?

Bab ini mendeskripsikan pajak dalam kehidupan sehari-hari. Materi esensial terdiri atas
praktik pemungutan pajak, perbedaan pajak dengan pungutan lain, penggolongan pajak,
pentingnya pajak, dan data penerimaan pajak secara nasional. Tujuan dari bab ini adalah
mendekatkan para mahasiswa dengan pajak melalui peningkatan pemahamannya terhadap
praktik pemungutan pajak dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai tujuan tersebut,
digunakan pendekatan berbasis proses keilmuan (scientific approach) sebagai berikut: (1)
mengamati praktik pemungutan pajak dalam kehidupan sehari-hari; (2) menanya perbedaan
pajak dengan pungutan lain; (3) mengumpulkan informasi tentang penggolongan pajak
menurut pemungutnya; (4) membangun argumen pentingnya pajak bagi negara; dan (5)
mengomunikasikan data penerimaan pajak secara nasional.
Sejumlah ahli telah mengemukakan pengertian pajak dari sudut pandang keilmuannya
masing-masing. Berikut dikemukakan definisi dari empat orang ahli, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar negeri. Telaahlah secara seksama keempat definisi tentang
pajak tersebut. Adakah kesamaan ataupun perbedaan makna dari keempat definisi tersebut.

1. Leroy Beaulieu(1899)
“Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh
kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah”.

2. P. J. A. Adriani (1949)
Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas
negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

3. Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH (1988)


Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut
kemudian dikoreksinya yang berbunyi Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat
kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk
public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.

4. Ray M. Sommerfeld, Herschel M. Anderson, dan Horace R. Brock (1972)


Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan
akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar
pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintah.
Keempat definisi tersebut mengandung 2 (dua) perspektif tentang pajak, yakni pajak dilihat
dari perspektif ekonomi dan dari perspektif hukum. Dapatkan Anda menangkap makna pajak
dari dua perspektif tersebut? Coba Anda diskusikan bersama teman belajar! Jika masih
mendapatkan kesulitan menjawabnya, coba Anda bertanya pada dosen pengampu mata
kuliah Perpajakan atau dosen lain yang memahami ihwal perpajakan.
Dari perspektif ekonomi, pajak dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat
kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak
menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu
dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua,
bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik
yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak, antara lain:
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan
ketiga
UUD 1945 Pasal 23A yang menyatakan, "pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa
untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."
2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi) yang dapat ditunjukkan secara
langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak, secara tidak langsung akan
menerima manfaat dalam bentuk seperti rasa aman karena mendapat perlindungan
negara. Perlindungan negara didapatkan karena negara mampu membiayai
operasional
kemanan (baik dari institusi Polri maupun TNI) yang didapat dari uang pajak yang
dibayarkan.
3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah
dalam
rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila Wajib Pajak
tidak
memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan.
5. Selain fungsi budgeter (anggaran), yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran
Negara
yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak
juga
berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam
sektor ekonomi dan sosial (fungsi mengatur/regulatif).

Jenis-jenis pungutan resmi lainnya, yaitu retribusi, cukai, bea masuk, dan sumbangan.
1. Retribusi
Retribusi adalah iuran rakyat yang disetorkan melalui kas negara atas dasar
pembangunan tertentu dari jasa atau barang milik negara yang digunakan oleh
orang-
orang tertentu.
2. Cukai
Cukai adalah iuran rakyat atas pemakaian barang-barang tertentu, seperti minyak
tanah,
bensin, minuman keras, rokok, atau tembakau.
3. Bea Masuk
Bea masuk adalah bea yang dikenakan terhadap barang-barang yang dimasukkan
ke dalam daerah pabean Indonesia dengan maksud untuk dikonsumsi di dalam
negeri.
4. Sumbangan
Sumbangan adalah iuran orang-orang atau golongan orang tertentu yang harus
diberikan kepada negara untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran negara yang
sifatnya tidak memberikan prestasi kepada umum, dan pengeluarannya tidak dapat
diambil dari kas negara
Ditinjau dari segi lembaga pemungutnya, pajak dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu
pajak pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah
pusat, yangterdiri atas:
1. Pajak Penghasilan (PPh);
2. Pajak Pertambahan Nilai(PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM);
3. Bea Meterai;
4. Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Pertambangan, dan Perhutanan
(PBB Sektor P3)
5. Pajak Ekspor
6. Bea Masuk;
7. Cukai.
Sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
jenis Pajak Daerah, antara lain:
1. Pajak Provinsi, terdiri atas:
a. Pajak Kendaraan Bermotor
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d. Pajak Air Permukaan dan
e. Pajak Rokok.
2. Pajak Kabupaten/Kota, terdiri atas:
a. Pajak Hote
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Hiburan
e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
g. Pajak Parkir
h. Pajak Air Tanah
i. Pajak Sarang Burung Walet
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Membangun Argumen Pentingnya Pajak Bagi Negara.


Berdasarkan data penerimaan negara dalam 5 (lima) tahun terakhir, penerimaan dari
perpajakan merupakan bagian terbesar dari penerimaan negara kita. Dengan demikian,
pajak sangat penting bagi kelangsungan kehidupan bernegara.
Dari perspektif ekonomi, sebagaimana telah kita maklumi bahwa pajak dipahami
sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini
memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah.
Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk
kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan
negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian, pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan
bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan
sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran
pembangunan.
Pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu fungsi anggaran (budgetair) dan fungsi mengatur
(regulerend).
1. Fungsi Anggaran (Budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan
melaksanakan
pembangunan, negara membutuhkan sumber pembiayaan.
Di dalam fungsi anggaran, terdapat fungsi demokrasi, dimana pajak merupakan
salah satu penjelmaan dari sistem kekeluargaan dan kegotongroyongan rakyat yang
sadar akan baktinya kepada negara.

2. Fungsi Mengatur (Regulerend)


Pemerintah dapat mengatur kebijakan di bidang ekonomi dan sosial melalui
kebijakan fiskal. Dalam menjalankan fungsi mengatur, pajak dapatdigunakan sebagai
alat untuk mencapai tujuan negara. Contohnya, dalam rangka mendorong
penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai
macam fasilitas keringanan pajak.

BAB 2
MENGAPA PAJAK DIPERLUKAN?

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu bentuk negara yang sistem
pemerintahannya berdasarkan ideologi Pancasila.

Salah satu tujuan dari berdirinya Republik Indonesia adalah terwujudnya masyarakat
yang adil dan sejahtera. Visi keadilan dan kesejahteraan rakyat ini mendapat
perhatian yang besar dari para pendiri negara. Mereka menyadari bahwa tujuan dan
cita-cita negara berdasar Pancasila harus mampu mengakomodir kepentingan
rakyat. Oleh karena itu, konsep negara kesejahteraan menjadi sesuatu yang
diharapkan.

Amanat negara kesejahteraan ini dapat direalisasikan manakala pemerintah dalam


membangun bangsa dan negara ini, baik secara fisik maupun non-fisik, memiliki
kewenangan untuk mengumpulkan pajak sebagaimana terdapat dalam Pasal 23A
UUD Tahun 1945.

Menelusuri Konsep dan Urgensi Diperlukannya Pajak dalam Kehidupan Manusia.

Menurut Aristoteles, manusia itu pada dasarnya merupakan Zoon Politicon


atau makhluk sosial? Makhluk sosial berarti peduli pada sesama dan saling bekerja
sama sehingga diperlukan hubungan timbal balik di antara yang kuat dan yang
lemah, serta yang kaya dan yang tidak mampu.

Di sisi lain, manusia juga sebagai makhluk ekonomi (homo economicus) yang
memiliki arti bahwa manusia menilai dan memilih sesuatu hanya berdasarkan
pertimbangan pribadi (individualis) sebagaimana yang diungkapkan tokoh ekonomi,
Adam Smith.

Pajak merupakan sarana untuk mendekatkan manusia yang satu dengan manusia
yang lain dalam bentuk kewajiban berbagi. Konsep pajak pada dasarnya adalah
adanya kesediaan untuk berbagi dengan sesama. Namun, pengungkapan kesediaan
untuk berbagi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dapat berbeda-
beda sehingga dibutuhkan pengaturan, baik berupa peraturan perundang-undangan
maupun lembaga yang menjalankan peraturan itu sendiri.

Oleh karena itu, pajak dibutuhkan sebagai sarana redistribusi kekayaan dalam
kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Peran pajak menjadi faktor yang sangat
penting bagi peningkatan kesejahteraan bersama, bukan hanya kesejahteraan
ekonomi individual belaka.

Pajak merupakan sebuah terminologi yang mengundang beragam opini, persepsi,


dan
pemikiran di sebagian besar masyarakat. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, yaitu
Pertama, faktor ketidaktahuan tentang apa yang dimaksud dengan pajak dan untuk
apa pajak itu dipungut, sehingga menimbulkan opini yang beragam. Kedua,
kecurigaan yang ditimbulkan oleh pihak-pihak tertentu terhadap pemungutan pajak
yang diangga rawan untuk diselewengkan oleh pihak pemungut pajak. Hal tersebut
menimbulkan pemikiran untuk tidak mau menjalankan kewajiban sebagai pembayar
pajak. Ketiga, anggapan bahwa pajak itu memberatkan sehingga menimbulkan
berbagai cara atau strategi untuk menghindari pembayaran pajak. Keempat,
menyadari pentingnya urgensi pajak bagi keberlangsungan hidup berbangsa,
bermasyarakat, dan bernegara.

Faktor-faktor penyebab tersebut mengandung implikasi yang berbeda-beda,


sehingga
diperlukan penanganan dan penanggulangan yang berbeda pula. Implikasi pertama,
terkait dengan ketidaktahuan tentang apa yang dimaksud dengan pajak dapat
ditanggulangi dengan cara penyuluhan dan pendidikan kesadaran perpajakan yang
menjelaskan tentang apa manfaat pajak bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Implikasi kedua, terkait dengan kecurigaan adanya penyelewengan
pemungutan pajak dapat ditanggulangi dengan akuntabilitas sebagai bentuk
pertanggungjawaban aparatur negara,

Pihak-pihak yang terlibat dalam sistem perpajakan, meliputi negara,


badan/lembaga/institusi, perorangan atau warga negara. Pihak pertamaadalah
negara
sebagai organisasi politik yang mengatur penyelenggaraan kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengelola atau
organisator, negara membutuhkan dana untuk menjalankan roda organisasi.

Pihak kedua adalah badan/lembaga/institusi yang melaksanakan kegiatan usaha


sebagai pendukung roda perekonomian dalam sebuah negara, baik
badan/lembaga/institusi milik negara maupun badan/lembaga/institusi milik swasta.
Ada berbagai badan/lembaga/institusi yang memainkan peran penting dalam sistem
perekonomian disuatu negara.

Pihak ketiga adalah warga negara atau perorangan yang bekerja atau berusaha
sehingga memperoleh penghasilan. Mereka ini memiliki kewajiban untuk
menyisihkan sebagian penghasilan yang diperoleh itu untuk dikembalikan kepada
negara dalam bentuk pajak penghasilan.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan


Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009, “pajak merupakan kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan undang- undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Alasan Mengapa Pajak Diperlukan Dalam Kehidupan Manusia Pada Umumnya dan
Kehidupan Bernegara Pada Khususnya.

Manusia sebagai mahluk sosial membutuhkan beberapa komponen pendukung,


antara lain suka bergaul, suka bekerjasama, hidup berkelompok, memiliki kepedulian
terhadap orang lain.

1. Bagaimana Hubungan antara Suka Bergaul dengan Kewajiban Membayar Pajak.


Suka bergaul pada hakikatnya merupakan sifat alamiah manusia sebagai mahluk
sosial, karena dengan bergaul itu pula, manusia dapat berkomunikasi antar
sesama. Pergaulan membutuhkan komunikasi, baik verbal maupun non verbal.

2. Bagaimana Relasi Antara Suka Bekerja Sama dengan Kewajiban Membayar


Pajak?
Suka bekerjasama dan bergotong royong termasuk sifat dasar manusia sebagai
mahluk sosial. Melalui kerjasama, manusia dapat memikul beban bersama,
“berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Kerjasama membutuhkan toleransi
(tepo seliro) sebagai perekat kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Kewajiban membayar pajak merupakan bentuk
toleransi, karena Wajib Pajak (kelompok masyarakat yang mampu) berpartisipasi
membantu pemerintah untuk menyediakan fasilitas umum untuk orang yang tidak
mampu.

Suka bekerjasama merupakan bentuk jalinan kehidupan bermasyarakat yang


paling tua dalam sejarah peradaban manusia. Suka bekerjasama juga sekaligus
sebagai bentuk kehidupan masyarakat yang paling realistis untuk mengelola
kehidupan menjadi lebih baik dan sejahtera.

3. Bagaimana Hubungan Antara Hidup Berkelompok dengan Kewajiban Membayar


Pajak?
Hidup berkelompok merupakan ciri khas manusia sebagai makhluk sosial.
Dengan hidup berkelompok, manusia dapat mengatur dan mengelola kehidupan
menjadi lebih baik. Hidup berkelompok membutuhkan aturan main dan
kerjasama yang tepat sehingga terjalin suasana hidup yang harmonis.
Kewajiban membayar pajak sebagai bentuk amanat undang-undang merupakan
aturan main dalam hidup berkelompok dalam suatu negara. Setiap anggota
kelompok harus terlibat dalam mendukung kehidupan yang harmonis, sesuai
dengan kemampuannya.

4. Bagaimana Hubungan Antara Memiliki Kepedulian dengan Kewajiban Membayar


Pajak?
Kepedulian merupakan suatu wujud kesadaran atas apa yang dirasakan orang
lain. Rasa peduli memiliki arti kemampuan mengindahkan, memperhatikan,
menghiraukan orang lain. Rasa peduli terhadap orang lain akan menghasilkan
bentuk simpati dan empati dalam kehidupan sosial. Kepedulian pada sesama
tidak hanya diwujudkan dalam bentuk ucapan (simpati), tetapi juga dalam bentuk
tindakan konkrit (empati). Kewajiban membayar pajak adalah bentuk tindakan
konkrit rasa peduli terhadap sesama.

Menggali Sumber Historis, Sosiologis, dan Politi tentang Alasan Keberadaan Pajak
Diperlukan.
1. Sumber Historis
Alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi
”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Republik
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka ...”. Sebagaimana dijelaskan dalam
alinea keempat pembukaan UUD Tahun 1945 tersebut, tujuan negara antara lain:
a. memajukan kesejahteraan umum, yang merupakan salah satu cita-cita
perekonomian para pendiri bangsa yang memperjuangkan terwujudnya
masyarakat adil dan makmur. Kesejahteraan di sini dapat diartikan
sebagai kondisi yang cukup, baik sandang, pangan, maupun papan, serta
terjaminnya fasilitas kesehatan bagi rakyat Indonesia. Hal ini berarti
pemerintah harus mengupayakan seluruh sumber daya dan kekayaan
yang dimiliki negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat
Indonesia sebagai upaya negara dalam menciptakan kesejahteraan bagi
seluruh warga negara.
b. mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan upaya untuk
mengembangkan pendidikan yang dapat mengangkat harkat dan
martabat bangsa dari kebodohan.

Kedua tujuan negara tersebut saling melengkapi satu sama lain. Cita-cita
mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan
sumber daya manusia Indonesia. Hal tersebut diharapkan akan mampu
meningkatkan kesejahteraan umum (rakyat Indonesia), membangun bangsa
yang mandiri (memiliki ketahanan nasional yang tinggi), dan mampu
berkiprah di dunia internasional sehingga dapat sejajar dengan bangsa-
bangsa lain.
2. Sumber Sosiologis
Apabila digali dari sumber sosiologis, masyarakat Indonesia dalam kehidupan
sehari-hari sudah mengenal pajak dalam berbagai bentuk. Pada acara-acara
tertentu yang membutuhkan dana besar, biaya penyelenggaraan acara biasanya
dipikul bersama sebagai perwujudan semangat gotong royong antara anggota
keluarga dan tetangga.

Sumber sosiologis di Indonesia memperlihatkan bahwa sebagian besar


masyarakat memiliki keterikatan pada kelompoknya, sehingga berupaya untuk
berpartisipasi dalam berbagai acara kelompok atau upacara adat dengan
berbagai bentuk. Salah satu bentuk partisipasi adalah melalui dukungan dana.

3. Sumber Politis
Selama berabad-abad sejak lahirnya ilmu politik sebagai sebuah gagasan
tersendiri, politik telah dipakai untuk menjelaskan konsep-konsep pokok yang
berkaitan dengan tata kelola pemerintahan, meliputi negara, kekuasaan, dan
kebijakan. Politik sendiri secara etimologis bersumber dari kata polis dalam
bahasa Yunani yang berarti kota. Aristoteles kemudian menafsirkan bahwa politik
adalah urusan antarpolis. Bertitik tolak dari sini, politik kemudian dimaknai
sebagai interaksi antarwilayah dalam batas-batas pemerintahan.

Miriam Budiardjo memberikan definisi umum mengenai politik sebagai berbagai


kegiatan dalam sebuah sistem yang berkaitan dengan proses penentuan dan
pelaksanaan tujuan sistem tersebut. Berdasarkan definisi umum tersebut,
terdapat beberapa poin utama yang perlu digarisbawahi sebagai konsep dasar
politik, yakni negara, kekuasaan, pengambilan keputusan (decision making),
kebijakan (policy), dan pembagian atau alokasi sumber daya.

Pertama, aktor dalam sistem itu sendiri adalah negara yang terdiri atas individu-
individu. Beberapa diantaranya menjadi otoritas yang memiliki kekuasaan dan
kewenangan atas individu-individu lain (rakyat) dalam batas-batas
negara/wilayah tertentu. Kedua, tujuan politik yakni mencapai tujuan bersama
(public goals). Ketiga, fungsi politik yakni menentukan kebijakan yang
berhubungan dengan distribusi sumber daya bersama. Keempat, cara yang
dilakukan untuk mencapai tujuan bersama itu ialah melalui manuver politik, baik
yang dilakukan oleh partai politik maupun perorangan.

BAB 3
BAGAIMANA PAJAK DALAM KONTEKS INDONESIA?

Pajak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah peradaban


manusia. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa usaha menghimpun dana
lewat pajak merupakan hal yang sangat penting bagi negara. Negara dan pajak
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara membutuhkan pajak
untuk menjalankan program programnya untuk kepentingan masyarakat.
Pemungutan pajak juga harus dilakukan oleh negara berdasarkan
undang-undang yang berlaku agar tidak menjadi pungutan liar dan
pemanfaatannya
menjadi lebih optimal.
Pelaksanaan dan Problem Pajak yang Dihadapi Pada Tiap Masa

A. Sejarah Pajak di Era Kerajaan


Pada masa kerajaan tradisional, bukan hanya negara yang memungut pajak dari
rakyat, tetapi juga lembaga agama (Onghokham,1985: 74-75 ). 2 Pada masa
kerajaan tradisional, rakyat menganggap pajak sebagai suatu kewajiban yang
dipaksakan, serta dipungut dan digunakan secara sewenang-wenang. Oleh
karena itu, rakyat sering menentangnya dalam berbagai bentuk gerakan protes
atau perlawanan secara fisik.

Ada dua bentuk kesatuan politik dari kerajaan yang terdapat di Indonesia, yaitu
kerajaan agraris dan kerajaan maritim. Kerajaan agraris, seperti Mataram Kuno
(abad IX-XII), Kediri (abad XI), Majapahit (abad XII-XIV), Pajang (abad XV),
Mataram Islam (abad XV-XVII). Kerajaan agraris memiliki pusat kerajaan yang
ditentukan berdasarkan kondisi perekonomian agraris. Dalam tradisi kerajaan
agraris, terdapat kewajiban membayar pajak dan kewajiban bekerja.

Berbeda dengan kerajaan agraris, kerajaan maritim memiliki dasar perekonomian


perdagangan dan perkapalan.Pada kerajaan maritim, rakyat tidak dikenakan
pajak, baik dalam bentuk uang dan barang, maupun dalam bentuk kewajiban
bekerja. Di kerajaan maritim, raja atau negara memang tidak mengandalkan
dana dari rakyat melainkan dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan
atau dari pajak atas kapal yang melakukan perdagangan yang melintasi wilayah
kekuasaan kerajaan tersebut.

B. Sejarah Pajak Era Kolonial


Sebelum kedatangan pemerintah kolonial, sistem pemungutan pajak lebih
banyak dikenakan terhadap tanah. Sejak dibentuknya Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC sebagai badan perdagangan, jenis pajak mulai diperluas. VOC
tidak memungut pajak pada penduduk, kecuali di kota-kota atau di daerah yang
dikuasainya secara langsung, seperti Batavia, Maluku, dan lain-lain. Di tempat
yang dikuasai VOC tersebut, para penduduk Cina, Barat, dan pedagang dari
golongan lain dikenakan pajak. Selain itu, untuk penduduk kota, dikenakan pajak
usaha, pajak pintu (rumah), pajak kepala, dan lain-lain.

Sejak masuknya pemerintahan kolonial Inggris pada periode 1811-1816, sistem


perpajakan mulai dirancang. Sir Thomas Stanford Raffles adalah penguasa
bangsa Eropa pertama yang merancang sistem perpajakan. Sistem perpajakan
yang dirancang oleh Raffles dikenal dengan nama pajak tanah (landrent). Pada
masa Raffles, diterapkan pungutan pajak tanah yang dibebankan kepada desa
dan bukan kepada perseorangan. Pembayaran pajak tanah tidak selalu dilakukan
dengan uang, tetapi juga dengan barang.

Setelah kolonial Inggris berakhir dan digantikan oleh pemerintahan kolonial


Hindia Belanda, sistem pajak tanah masih terus dilaksanakan. Namun, terdapat
perbedaan antara sistem pemungutan pajak tanah oleh pemerintah kolonial
Inggris dan pemerintah kolonial Belanda. Pemerintahan kolonial Belanda
memberikan kedudukan para bupati sebagai pemungut pajak yang bertanggung
jawab terhadap pungutan atas pajak tanah kepada rakyat.

Pada negara modern di awal abad ke-20, terdapat konsepsi lain tentang hakikat
dan fungsi pajak. Pajak tidak dianggap sebagai sesuatu yang bersifat paksaan
melainkan bersifat kewajiban.
C. Sejarah Pajak di Era Kemerdekaan
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, konsep dan peraturan tentang pajak
masih
sederhana sebagaimana terdapat pada masa kerajaan dan penjajahan di
Indonesia. Sumber
tertulis terkait dengan isu pajak dan kebijakan perpajakan pada awal
kemerdekaan Indonesia
belum banyak ditemukan. Namun, terdapat beberapa sumber hukum tertulis
berkaitan
dengan pajak, antara lain:
1. Undang-Undang Pajak Penjualan (PPn) Tahun 1951 yang diubah dengan
undang-ndang Nomor 2 Tahun 1968 tentang Perobahan/Tambahan undang-
undang Pajak Penjualan (PPn) Tahun 1951.

2. Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing

3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1959 tentang Pajak Devidenyang diubah


dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga,
Dividen, dan Royalti

4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara


dengan Surat Paksa.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia dan memasuki era pemerintah Orde
Lama dibawah pemerintahan Presiden Soekarno, kebijakan pemerintah tentang
pajak belum banyak dilakukan. Hal ini terjadi karena kondisi pemerintahan yang
belum stabil.

Pada masa Orde Lama memiliki fungsi antara lain;


1. mengumpulkan dana untuk pembiayaan rutin pemerintah;
2. berusaha menjamin adanya stabilitas perekonomian negara;
3. memupuk modal untuk pembangunan
4. mengurangi perbedaan keadaan sosial yang menyolok dalam masyarakat
yang dirasakan sebagai ketidakadilan.

D. Sejarah Pajak Era Orde Baru


Setelah berakhirnya pemerintahan Orde Lama pada tahun 1966 yang ditandai
dengan pergantian kepemimpinan dari Presiden Soekarno kepada Presiden
Soeharto, 17 tahun kemudian, pemerintahan Soeharto mencoba untuk melakukan
reformasi terhadap undang-undang atau peraturan tentang perpajakan yang berlaku
pada masa Orde Lama. Perubahan yang terjadi pada sistem perpajakan di Indonesia
dapat dilacak dari struktur kelembagaan perpajakan yang mengalami banyak
perubahan yang disebabkan oleh dinamika politik dan ekonomi yang berkembang
pada masa itu.

Melalui Keputusan Presidium Kabinet Ampera Republik Indonesia pada 3 November


1966, Presiden Soeharto membuat susunan ulang organisasi pajak. Susunan
organisasi Direktorat Jenderal Pajak terdiri atas Direktur Jenderal, Sekretaris
Direktorat Jenderal, Direktorat Pajak Langsung, Direktorat Pajak Tidak Langsung,
Direktorat Perencanaan dan Pengusutan serta Direktorat Pembinaan Wilayah.
Pada masa pemerintahan Orde Baru beberapa Undang-Undang terkait dengan pajak
dicabut dan diganti dengan Undang-Undang yang baru, antara lain:
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
dan Pajak penjualan atas Barang Mewah (PPnBM);
4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB);
5. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).

Kebijakan perpajakan pada masa pemerintahan Orde Baru masih banyak yang
mengacu pada kebijakan pemerintahan sebelumnya. Perubahan yang dijalankan
lebih mengarah pada penyempurnaan dalam hal teknis, ketentuan tarif, struktur
kebijakan, dan proses administrasi.

Pada tahun 1994, Pemerintahan Orde Baru melakukan perubahan lagi atas Undang-
Undang Perpajakan, Pada akhir Pemerintahan Orde Baru tahun 1997, Pemerintah
juga membuat beberapa Undang-Undang yang berkaitan dengan masalah
perpajakan.

E. Sejarah Pajak Era Reformasi


Setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru melalui gerakan Reformasi 1998/1999,
terjadi berbagai perubahan sosial dan ekonomi pada masyarakat Indonesia. Pada
masa pemerintahan transisi dari Presiden Soeharto ke B.J Habibie, kebijakan terkait
perpajakan belum banyak berubah.

Perubahan kebijakan mulai dilakukan pada tahun 2000 yang ditunjukkan dengan
diterbitkannya beberapa perubahan atas peraturan perundang-undangan
perpajakan, antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 yang merupakan perubahan kedua atas


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP)
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 yang merupakan perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 yang merupakan perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas
UndangUndang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan
5. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas
UndangUndang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Dae
6. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea
Meterai.

Pada tahun 2002, dibentuklah Pengadilan Pajak melalui Undang-Undang Nomor


14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak sebagai pengganti Undang-Undang
Nomor 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak.

Pada tahun 2004, era otonomi daerah (desentralisasi) mulai digulirkan melalui
Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pergeseran
paradigma tentang perpajakan semakin tampak dengan lahirnya sistem
pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pemerintah Daerah merupakan


titik tolak berkembangnya pajak dan pungutan lainnya yang dilakukan oleh
pemerintah daerah. Dalam peraturan tersebut, muncul istilah pajak daerah dan
retribusi daerah.

BAB 4

BAGAIMANA FUNGSI PAJAK DALAM PEMBANGUNAN?

Menelusuri Konsep Pajak Dalam Pembangunan

Ditinjau dari fungsinya, pajak memiliki salah satu fungsi, yaitu fungsi budgetair
(sumber penerimaan negara). Pajak merupakan sumber utama pendapatan negara.
Pentingnya fungsi pajak ini merupakan kaidah universal di berbagai negara bahkan dari
zaman ke zaman. Lahirnya Magna Charta 1215 di Inggris merupakan salah satu bukti
historis bahwa pajak sangat strategis bagi negara. Oleh karena itu, raja Inggris, berdasarkan
piagam tersebut, diperbolehkan memungut pajak setelah mendapat persetujuan kaum
bangsawan.

Selain memiliki fungsi budgetair, pajak juga merupakan salah satu alat untuk mencapai
suatu tujuan tertentu di luar bidang keuangan yang lazimnya disebut kebijakan fiskal (Fiscal
policy). Istilah fiskal dalam arti luas adalah segala sesuatu yang bertalian dengan keuangan
negara dan bukan semata-mata mengenai pajak. Istilah fiskal adalah sinonim dari istilah
fiscus (bahasa Yunani), atau fisc(bahasa Perancis), yang berarti “keranjang uang” atau kas
negara.

Tidak dapat dibayangkan bagaimana kondisi keuangan negara tanpa kontribusi dari pajak
sebagai sumber utama penghasilan bagi keuangan negara. Pembangunan tidak dapat
dijalankan apabila sumber pendanaannya tidak tersedia. Kesulitan pendanaan
pembangunan akan mengakibatkan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat sulit
diwujudkan.

Menurut Brotodihardjo (2013: 6-7), terdapat 5 (lima) ciri yang melekat pada pengertian
pajak, yaitu:

a. pajak dipungut berdasarkan ketentuan undang-undang


b. dalam pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi kepada
individual oleh pemerintah
c. pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
d. pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Apabila dari
pemasukannya masih terdapat surplus, maka dipergunakan untuk membiayai
investasi publik (public investment)
e. pajak juga digunakan sebagai alat untuk mengatur (regulerand).
Mengkaji Alasan Mengapa Pajak Diperlukan untuk Pembangunan

1. Pengertian, Visi, Misi, dan Sasaran Pembangunan Nasional


Pembangunan Nasional, menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, adalah upaya yang
dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan
bernegara. Definisi ini menjelaskan bahwa aktor pembangunan bukan hanya
pemerintah, melainkan tanggung jawab seluruh komponen bangsa.

2. Sasaran Pokok Pembangunan Nasional


Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019, ditentukan bahwa
sesuai dengan visi pembangunan, yaitu “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat,
Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”, maka Pembangunan
Nasional 2015-2019 akan diarahkan untuk mencapai sasaran utama yang
mencakup.

3. Pajak Sebagai Sumber Terpenting Pendapatan Negara


Untuk mewujudkan visi, misi, strategi, dan 9 (sembilan) Agenda Prioritas (Nawacita)
tersebut dibutuhkan sumber pembiayaan pembangunan yang tidak sedikit. Hal ini
berarti diperlukan adanya peningkatan sumber-sumber pendapatan negara untuk
membiayai kegiatan pembangunan tersebut.

4. Fungsi Pajak dalam Pembangunan


Pajak erat sekali hubungannya dengan pembangunan. Hampir seluruh negara di
dunia, baik negara maju maupun negara berkembang, menempatkan pajak sebagai
sumber penting untuk membiayai pembangunan di negaranya.
Pajak dapat mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi budgetair dan fungsi mengatur atau
regulerend.

a. Fungsi Anggaran (Budgetair)


Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan,
negara membutuhkan sumber pembiayaan. Sumber pembiayaan ini, salah
satunya dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Pajak sebagai fungsi budgetair
merupakan suatu alat atau suatu sumber untuk memasukkan uang ke dalam kas
negara, yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin negara.

b. Fungsi Mengatur (regulerend/regulating)


Berkaitan dengan fungsi mengatur, pajak digunakan sebagai suatu alat untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal ini, Djojohadikoesomo (dalam
Soemitro, 1988: 109) menyatakan bahwa “Fiscal Policy sebagai suatu alat
pembangunan harus mempunyai tujuan bersamaan, yaitu secara langsung
menemukan dana yang akan digunakan untuk public investment dan secara
tidak langsung digunakan untuk menyalurkan private saving ke arah sektor-
sektor produktif, maupun digunakan untuk mencegah pengeluaran-pengeluaran
yang menghambat pembangunan”.
BAB 5

BAGAIMANA PAJAK BERPERAN SEBAGAI PERWUJUDAN SILA-SILA


PANCASILA?

Hakikat Pancasila Sebagai Ideologi Negara

sebagai mahasiswa tentu sudah mengetahui bahwa Pancasila adalah Ideologi


Negara Indonesia. Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia mengandung sistem nilai
yang khas pada setiap silanya karena setiap ideologi mengandung cita-cita dan tujuan untuk
hidup bersama. Berikut ini akan dikemukakan secara singkat tentang hakikat sila-sila
Pancasila sebagai Ideologi tersebut.

1. Hakikat dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa


Ketuhanan berasal dari kata Tuhan, dengan penambahan awalan ke- dan akhiran -
an. Ketuhanan mengandung pengertian dan keyakinan adanya Tuhan yang Maha
Esa, pencipta alam semesta, beserta isinya. Keyakinan itu bukanlah suatu dogma
atau kepercayaan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya melalui akal pikiran,
melainkan suatu kepercayaan yang berakar pada pengetahuan yang benar yang
dapat diuji atau dibuktikan melalui kaidah kaidah logika.

Atas keyakinan tersebut, Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan


yang Maha Esa yang memberikan jaminan kebebasan kepada setiap penduduk
untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya. Indonesia tidak
memperbolehkan terdapat sikap dan perbuatan yang anti Ketuhanan yang Maha
Esa, anti keagamaan, serta tidak boleh terdapat paksaan dalam memeluk agama
dan beribadah. Dengan kata lain, Negara Indonesia meniadakan atheisme (tidak
memiliki Tuhan).

2. Hakikat dari sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab


Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yaitu mahluk berbudi yang mempunyai
potensi pikir, rasa, karsa, dan cipta. Potensi inilah yang membuat manusia
menduduki martabat yang tinggi dengan akal budinya dan menjadi berkebudayaan
dengan budi nuraninya. Adil mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan
didasarkan atas norma-norma yang objektif, tidak subjektif, apalagi sewenang-
wenang. Beradab berasal dari kata adab, yang berarti budaya, serta mengandung
arti bahwa sikap hidup, keputusan, dan tindakan selalu berdasarkan nilai budaya,
terutama norma sosial dan kesusilaan. Adab mengandung pengertian tata
kesopanan kesusilaan atau moral.

Jadi, kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kesadaran sikap dan perbuatan
manusia yang didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungan
dengan normanorma dan kebudayaan umumnya baik terhadap diri pribadi, sesama
manusia maupun terhadap alam dan hewan.

Di dalam sila kedua, Kemanusian yang Adil dan Beradab telah tersimpul cita-cita
kemanusiaan yang lengkap, yang adil dan beradab.

Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab berangkat dari kesadaran historis bangsa
Indonesia”... penjajahan di atas dunia itu harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Bung Hatta sebagai salah seorang
pendiri negara menegaskan bahwa pengakuan kepada dasar Ketuhanan yang Maha
Esa mengajak manusia melaksanakan harmoni di alam dengan memupuk
persahabatan, persaudaraan antar manusia dan bangsa.

3. Hakikat dari Sila Persatuan Indonesia


Persatuan berasal dari kata satu yang berarti utuh tidak terpecah belah. Persatuan
berarti bersatunya bermacam corak yang beraneka ragam menjadi satu kesatuan.
Jadi, Persatuan Indonesia adalah persatuan bangsa yang mendiami wilayah
Indonesia. Bangsa yang mendiami wilayah Indonesia bersatu karena didorong untuk
mencapai kehidupan yang bebas dalam wadah Negara yang merdeka dan berdaulat.
Persatuan Indonesia bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan perdamaian dunia yang abadi.

Sila Persatuan Indonesia bertitik tolak dari kesadaran bahwa diperlukan kemampuan
untuk mengelola keanekaragaman menjadi suatu kekuatan persatuan (unity).
Persatuan Indonesia merupakan starting point kesadaran nasionalisme bangsa
Indonesia untuk menggalang semangat kebersamaan (Mitsein).

4. Hakikat Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


Permusyawaratan Perwakilan
Kerakyatan berasal dari kata rakyat, yang berarti sekelompok manusia dalam suatu
wilayah tertentu. Kerakyatan dalam hubungan dengan sila keempat bahwa
“kekuasaan yang tertinggi berada di tangan rakyat. Hikmat kebijaksanaan berarti
penggunaan pikiran atau rasio yang sehat dengan selalu mempertimbangkan
persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan
sadar, jujur dan bertanggung jawab. Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas
kepribadian Indonesia untuk merumuskan dan memutuskan sesuatu hal berdasarkan
kehendak rakyat hingga mencapai keputusan yang berdasarkan kebulatan pendapat
atau mupakat. Perwakilan adalah suatu sistem dalam arti tata cara (prosedura)
mengusahakan turut sertanya rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara
melalui badan-badan perwakilan.

Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan


Perwakilan bertitik tolak dari kesadaran bahwa kebijaksanaan adalah sikap jiwa
filosofis yang mempertemukan pendirian pribadi dengan orang lain dalam sebuah
ruang publik, yakni wadah yang di dalamnya keyakinan dan pendapat dapat
ditampung dan dibicarakan secara bebas dan bertanggung jawab. Semangat
musyawarah --- Syirtu al-’asal yang artinya mengeluarkan madu dari wadahnya --
Dalam sila keempat ini mengarah pada suasana dialogis dalam suatu komunikasi
atau pengambilan keputusan, sehingga pendirian pribadi mencair dengan keputusan
yang diambil bersama. Komponen kecerdasan ideologis dalam sila keempat ini
terletak pada kemampuan untuk berkomunikasi dengan semangat musyawarah.

5. Hakikat sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.


Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang
kehidupan, baik material maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia berarti setiap
orang yang menjadi rakyat Indonesia, baik yang berdiam di wilayah kekuasaan
Republik Indonesia maupun warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri.

Jadi, sila kelima berarti bahwa setiap orang Indonesia berhak mendapat perlakuan
yang adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Sila
Keadilan sosial adalah tujuan dari empat sila yang mendahuluinya, serta merupakan
tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara, yang perwujudannya dilaksanakan
dengan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan nilai-nilai
Pancasila.
Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia bertitik tolak dari kesadaran
bahwa adil merupakan cita-cita yang didambakan setiap insan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keadilan pada hakikatnya merupakan
suatu bentuk keseimbangan antara apa yang seharusnya (Das Sollen) dengan apa
yang sebenarnya (Das Sein). Komponen kecerdasan ideologis dalam sila keadilan
terletak pada dua hal, yaitu kemampuan memperlakukan orang lain seperti
memperlakukan dirinya sendiri, dan kemampuan menemukan aspek keseimbangan
antara nilai ideal dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan nilai
kenyataan dalam tindakan atau keputusan yang diambil.

Keadilan dalam sila kelima harus sesuai dengan hakikat adil, yaitu pemenuhan hak
dan kewajiban pada kodrat manusia. Hakikat keadilan ini berkaitan dengan hidup
manusia, yaitu hubungan keadilan antara manusia satu dengan manusia lainnya,
manusia dengan Tuhannya, dan manusia dengan dirinya sendiri.

Keadilan ini sesuai dengan makna yang terkandung dalam pengertian sila kedua,
yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Selanjutnya, hakikat adil sebagaimana
yang terkandung dalam sila kedua ini terjelma dalam sila kelima, yaitu memberikan
kepada siapapun juga apa yang telah menjadi haknya.

Menanya Kaitan Sumber Historis, Sosiologis, Yuridis, dan Politis tentang Pajak
Sebagai Perwujudan Nilai Nilai Pancasila

Berdasarkan penelusuran kepustakaan tidak ditemukan naskah yang secara eksplisit


mengemukakan sumber historis, sosiologis, dan politis tentang pajak sebagai
perwujudan nilai-nilai Pancasila. Namun demikian, jika dikaji secara umum, pajak
merupakan salah satu hal penting dalam pengamalan nilai-nilai Pancasila. Berikut ini
akan dipaparkan tentang sumber historis, sosiologis, politis tentang Pancasila
sebagai Ideologi negara.

Sumber historis Pancasila sebagai Ideologi Negara

1. Pancasila sebagai ideologi negara dalam masa pemerintahan presiden Soekarno.


Pada masa pemerintahan presiden Soekarno, Pancasila ditegaskan sebagai pemersatu
bangsa. Penegasan ini dikumandangkan oleh Soekarno dalam berbagai pidato politiknya
dalam kurun waktu 1945-1960. Namun seiring dengan berjalannya waktu, pada rentang
waktu 1960--1965, Soekarno lebih mementingkan konsep Nasakom (Nasionalisme,
Agama, dan Komunisme) sebagai landasan politik bagi bangsa Indonesia. Berdasarkan
hal ini, maka Soekarno lebih memiliki pandangan kegotongroyongan dalam membangun
bangsa.

2. Pancasila sebagai ideologi dalam masa pemerintahan Presiden Soeharto.


Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, Pancasila dijadikan sebagai asas
tunggal bagi Organisasi Politik dan Organisasi Kemasyarakatan. Periode ini
diawali dengan keluarnya TAP MPR Nomor II/1978 tentang pemasyarakatan
nilai-nilai Pancasila. TAP MPR ini menjadi landasan bagi dilaksanakannya
penataran P-4 bagi semua lapisan masyarakat. Akibat dari cara-cara rezim
dalam memasyarakatkan Pancasila memberi kesan bahwa tafsir ideologi
Pancasila adalah produk rezim Orde Baru (monotafsir ideologi) yang berkuasa
pada waktu itu.
3. Pancasila sebagai ideologi dalam masa pemerintahan presiden Habibie Presiden
Habibie menggantikan Presiden Soeharto yang mundur pada tanggal 21 Mei
1998. Atas desakan berbagai pihak Habibie menghapus penataran P-4. Pada
masa sekarang ini, resonansi Pancasila kurang bergema karena pemerintahan
Habibie lebih disibukkan masalah politis, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Di samping itu, lembaga yang bertanggung jawab terhadap sosialisasi nilai-nilai
Pancasila dibubarkan berdasarkan Keppres Nomor 27 tahun 1999 tentang
pencabutan Keppres Nomor 10 tahun 1979 tentang Badan Pembinaan
Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(BP-7). Sebenarnya, dalam Keppres tersebut dinyatakan akan dibentuk lembaga
serupa, tetapi lembaga khusus yang mengkaji, mengembangkan, dan mengawal
Pancasila hingga saat ini belum ada.

4. Pancasila sebagai Ideologi dalam masa pemerintahan presiden Abdurrahman


Wahid.
Pada masa pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid muncul wacana tentang
penghapusan TAP NO.XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan PKI dan
penyebarluasan ajaran komunisme. Di masa ini, yang lebih dominan adalah
kebebasan berpendapat sehingga perhatian terhadap ideologi Pancasila
cenderung melemah.

5. Pancasila sebagai ideologi dalam masa pemerintahan Presiden Megawati.


Pada masa ini, Pancasila sebagai ideologi semakin kehilangan formalitasnya
dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang tidak mencantumkan pendidikan Pancasila sebagai
mata pelajaran wajib dari tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi.

6. Pancasila sebagai ideologi dalam masa pemerintahan presiden Susilo Bambang


Yudhoyono (SBY)
Pada awal pemerintahannya, Pemerintahan SBY yang berlangsung dalam dua
periode tidak terlalu memperhatikan pentingnya Pancasila sebagai ideologi
negara. Hal ini dapat dilihat dari belum adanya upaya untuk membentuk suatu
lembaga yang berwenang untuk menjaga dan mengawal Pancasila sebagai
dasar negara dan ideologi negara sebagaimana diamanatkan oleh Keppres No.
27 tahun 1999. Suasana politik lebih banyak ditandai dengan pertarungan politik
dengan meraih suara sebanyak-banyaknya dalam Pemilu. Mendekati akhir masa
jabatannya, Presiden SBY menandatangani Undang-Undang Nomor 12 tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi yang mencantumkan mata kuliah Pancasila
sebagai mata kuliah wajib pada pasal 35 ayat (3).

Sumber Sosiologis Pancasila sebagai Ideologi Negara

Pada bagian ini, akan dilihat Pancasila sebagai ideologi negara berakar dalam
kehidupan masyarakat. Unsur-unsur sosiologis yang membentuk Pancasila sebagai ideologi
negara meliputi hal-hal sebagai berikut.

1. Sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat ditemukan dalam kehidupan beragama
masyarakat Indonesia dalam berbagai bentuk kepercayaan dan keyakinan terhadap
adanya kekuatan gaib.
2. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dapat ditemukan dalam hal saling
menghargai dan menghormati hak-hak orang lain, tidak bersikap sewenang-wenang.
3. Sila Persatuan Indonesia dapat ditemukan dalam bentuk solidaritas, rasa setia
kawan, rasa cinta tanah air yang berwujud pada mencintai produk dalam negeri.
4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dapat ditemukan dalam bentuk menghargai pendapat
orang lain, semangat musyawarah dalam mengambil keputusan.
5. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia tercermin dalam sikap suka
menolong, menjalankan gaya hidup sederhana, tidak menyolok atau berlebihan.

Sumber Politis Pancasila sebagai Ideologi Negara

Pada bagian ini, mahasiswa diajak untuk melihat Pancasila sebagai ideologi negara
dalam kehidupan politik di Indonesia. Unsur-unsur politis yang membentuk Pancasila
sebagai ideologi negara meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Sila Ketuhanan yang Maha Esa diwujudkan dalam bentuk semangat toleransi
antar umat beragama;
b. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab diwujudkan penghargaan terhadap
pelaksanaan Hak dan Kewajiban Asasi Manusia di Indonesia;
c. Sila Persatuan Indonesia diwujudkan dalam mendahulukan kepentingan bangsa
dan negara daripada kepentingan kelompok atau golongan, termasuk partai;
d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan diwujudkan dalam mendahulukan pengambilan
keputusan berdasarkan musyawarah daripada voting.
e. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia diwujudkan dalam bentuk
tidak menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) untuk memperkaya diri atau
kelompok karena penyalahgunaan kekuasaan itulah yang menjadi faktor pemicu
terjadinya korupsi.

Menggali Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Dasar Pembentukan Pribadi Yang Bermartabat

Manusia dalam hidupnya selain sebagai makhluk individu mandiri juga merupakan
makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Lebih dari itu, manusia juga adalah makhluk
Tuhan, yang memberikan kehidupan dan rezeki kepadanya. Manusia hanya dapat menjadi
bermartabat dalam hidupnya manakala ia mampu mengharmoniskan hubungannya dengan
sesama manusia dan tentu juga dengan Tuhan. Berikut ini akan dikemukakan secara
singkat penggalian nilai-nilai Pancasila sebagai dasar pembentukan pribadi yang
bermartabat.

Nilai-nilai dalam Sila Ketuhanan yang Maha Esa

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah keyakinan terhadap adanya Tuhan yang
mengandung nilai-nilai sebagai berikut.

1. Nilai Syukur
Syukur adalah rasa terima kasih atas segala kenikmatan yang diterima dari Sang
Maha Pemberi Rezeki. Rasa bersyukur diwujudkan dalam beberapa aspek:
a. secara lisan dalam bentuk ucapan yang lahir dari kesadaran untuk berterima
kasih atas segala nikmat yang diperoleh;
b. secara tindakan dalam bentuk menyalurkan kelebihan rezeki yang diperolehnya
kepada pihak yang membutuhkan. Contohnya warga negara yang mampu
memberikan bantuan kepada orang yang tidak mampu melalui pembayaran
pajak.

2. Nilai Toleransi
Toleransi adalah semangat untuk saling memahami perbedaan antara warga negara
yang satu dengan warga negara yang lain. Toleransi dalam konteks kehidupan
beragama adalah semangat untuk memahami perbedaan keyakinan antara
komunitas yang satu dengan komunitas yang lain, sehingga menghindari terjadinya
konflik antar umat beragama. Toleransi dalam konteks kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara adalah semangat untuk saling berbagi antara yang
mampu dengan yang tidak mampu. Dalam hal ini, negara berperan sebagai fasilitator
untuk menjembatani kesenjangan antara yang mampu dengan yang tidak mampu.
Hal ini dianalogikan dengan warga negara yang mempunyai pendapatan di atas
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), diwajibkan membayar pajak.

Fungsi utama toleransi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara


meliputi antara lain:
a. mencegah konflik yang ditimbulkan oleh kecemburuan sosial dari komunitas
yang tidak mampu terhadap komunitas yang mampu;
b. menciptakan kehidupan yang harmonis antara sesama warga negara, baik
komunitas yang mampu maupun yang tidak mampu.

Nilai toleransi yang bertujuan untuk mencegah konflik dan menciptakan kehidupan
yang harmonis pada hakikatnya merupakan wujud kesadaran sosial. Seseorang
yang menjalankan kewajibannya dalam membayar pajak telah mewujudkan
kesadaran sosial tersebut dalam ranah publik sehingga dapat meredam sikap-sikap
egosentris.

3. Nilai Kedermawanan
Kedermawanan adalah suatu sikap suka berbagi antara yang mampu kepada yang
tidak mampu, dengan cara menyisihkan sebagian penghasilan yang diperolehnya
kepada pihak lain, antara lain dengan cara menyisihkan sebagian penghasilan untuk
pembayaran pajak. Negara dalam hal ini berperan sebagai mediator antara
komunitas yang mampu dengan yang tidak mampu.

Fungsi utama kedermawanan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan


bernegara, antara lain:
a. mengungkapkan kemurahan hati antar sesama warga negara, sehingga
melahirkan kehidupan bermasyarakat yang dapat menimbulkan ketenteraman
dan kebahagiaan;
b. menciptakan rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara karena komunitas yang tidak mampu merasa diperhatikan sehingga
mereka tidak terjerumus ke dalam tindakan kriminal dan anarkis.

4. Nilai Kerendahhatian
Kerendahhatian adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan diri untuk
tidak bergaya hidup mewah yang dapat memancing kecemburuan sosial dalam
kehidupan bersama.

Fungsi utama kerendahhatian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan


bernegara, antara lain:
a. melahirkan suasana kedamaian dalam kehidupan bersama, kerena pihak yang
mampu tidak memamerkan kekayaannya secara berlebihan kepada lingkungan
sekitarnya;
b. menciptakan perasaan simpati dan empati dari kedua belah pihak dalam bentuk
hubungan yang dilandasi oleh semangat kekeluargaan.

5. Nilai Keikhlasan
Keikhlasan adalah suatu perasaan rela untuk berbagi kepada pihak lain tanpa
mengharapkan balasan dari pihak yang diberi. Artinya, seseoarang dikatakan ikhlas
ketika ia membantu pihak lain tanpa mengharapkan balasan, yang dalam terminologi
Immanuel Kant disebut dengan “imperatif kategoris”, artinya melakukan perbuatan
baik tanpa syarat, berbuat baik dengan tulus.

Fungsi utama keikhlasan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan


bernegara, antara lain:
a. melahirkan suasana kehidupan bermasyarakat yang alamiah, artinya pihak yang
mampu ketika membantu pihak yang tidak mampu sebagai kewajiban yang harus
dilakukan sesuai dengan tuntutan hari nurani;
b. melahirkan ketenangan batin yang tulus bagi pihak yang mampu karena ia telah
menunaikan kewajibannya.
Nilai-nilai dalam Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mengandung nilai pentingnya sikap saling
menghormati dalam hidup bersama, dan tidak menzalimi pihak lain. Komponen kecerdasan
ideologis dalam sila kedua ini terletak pada kemampuan menjalin harmoni kehidupan
berbangsa dan bernegara melalui sikap persahabatan dan persaudaraan.

1. Nilai Kemanusiaan Universal


Nilai kemanusiaan universal terwujud antara lain dalam bentuk ungkapan sebagai
berikut:
a. “Jika kamu ingin hidup untuk dirimu, maka kamu harus hidup untuk orang lain”
(alteri vivas oportet, si vis tibi vivere). Ungkapan ini mengandung makna bahwa
manusia tidak dapat hidup sendiri, karena ia membutuhkan kehadiran orang lain.
Fungsi utama nilai hidup untuk sesama adalah kesadaran bahwa manusia itu
adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Artinya, sebagai makhluk
individu manusia dapat melakukan sesuatu secara mandiri, namun dalam waktu
yang bersamaan manusia membutuhkan orang lain untuk mendukung segala
aktivitasnya.
b. “Kepada semua orang kasih sayang itu harus sama” (Amor omnibus idem).
Ungkapan ini mengandung makna bahwa tidak boleh ada perbedaan antara
orang yang mampu dengan orang yang tidak mampu, karena pada hakikatnya
semua orang itu membutuhkan perhatian dan kasih sayang.

2. Nilai Keadilan
Dalam nilai keadilan terdapat 3 (tiga) tolok ukur, antara lain:
a. nilai kesetiakawanan, artinya orang yang mampu harus memiliki sikap solidaritas
terhadap orang yang tidak mampu;
b. nilai skandal sosial, artinya kalau sampai ada orang yang kaya tidak mau berbagi
dengan dengan orang yang miskin, maka hal ini merupakan perbuatan yang
menurunkan dan merendahkan martabat orang kaya tersebut;
c. kemiskinan itu sifatnya tidak alamiah, artinya setiap manusia dapat
memperjuangkan haknya untuk hidup secara layak dan bermartabat.

3. Nilai Keadaban
Nilai keadaban mengacu kepada kehalusan dan kebaikan budi pekerti, kesopanan,
dan akhlak.

Nilai-Nilai dalam Sila Persatuan Indonesia

Sila Persatuan Indonesia mengandung nilai solidaritas, senasib sepenanggungan,


dan rasa cinta tanah air. Berikut akan dikemukakan secara singkat makna nilai-nilai yang
terkandung dalam sila ketiga.

1. Rasa memiliki
Rasa memiliki adalah kesadaran untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Beberapa aspek yang terkandung dalam
rasa memiliki, antara lain:
a. kesadaran atas hak sebagai warga negara;
b. kesadaran atas kewajiban sebagai warga negara.

2. Rasa Mencintai Tanah Air


Daoed Joesoef (1987) mengatakan bahwa rasa mencintai tanah air ada 3 (tiga)
jenis, yaitu:
a. cinta tanah air dalam arti riil, yaitu rasa cinta terhadap negara dalam arti yang
fisik, misalnya mencintai tanah kelahiran;
b. cinta tanah air dalam arti formal, yaitu kesadaran atas hak dan kewajiban dalam
konteks hukum, misalnya ketaatan dalam menjalankan peraturan
perundangundangan dan melaksanakan kewajiban kenegaraan melalui
pembayaran pajak sebagai salah satu wujud bela negara secara nonfisik;
c. cinta tanah air secara mental, yaitu seperangkat nilai-nilai ideologis yang
mempengaruhi cara berpikir dan bertindak dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

3. Nasionalisme
Nasionalisme sebagai rasa syukur, terdiri dari dari dua aspek, yaitu:
a. Negatif Defensif
Nasionalisme sebagai rasa syukur yang bersifat negatif defensif adalah
kemampuan setiap warga negara untuk melawan musuh-musuh negara dan
keburukan yang dilakukan oleh orang-orang terhadap negara, contohnya
melawan korupsi, melawan free rider (menikmati hasil pembangunan tanpa ikut
berkontribusi), dan lain-lain.
b. Positif Progresif
Nasionalisme sebagai rasa syukur yang bersifat positif progresif adalah
kemampuan setiap warga negara untuk mengolah potensi dan sumber daya
yang dimiliki untuk kemakmuran dan kejayaan bangsa (temukan dalam buku
Yudi Latif (2011), yang berjudul “Negara Paripurna”). Sebagai contoh adalah
kontribusi warga negara dalam membayar pajak sehingga negara memiliki
sumber daya yang cukup menciptakan kemakmuran dan kejayaan bangsa.

Nilai-nilai dalam Sila Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan Perwakilan

Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan


Perwakilan mengandung nilai-nilai yang berkaitan dengan kesediaan untuk menerima
pendapat orang lain dan menerima keputusan bersama yang telah disepakati. Nilai-nilai
dalam sila keempat diwujudkan dalam bentuk, antara lain:

1. mempertemukan pendirian pribadi dengan orang lain dalam suasana dialogis ialah
sikap jiwa filosofis untuk menemukan harmoni antara pendapat pribadi dengan
kebutuhan orang lain. Sebagai contoh sikap mengalah atau diam untuk menghindari
konflik;
2. menciptakan suasana dialogis dalam komunikasi artinya kemampuan untuk
memadukan pendapat pribadi dengan pandangan orang lain, sehingga melahirkan
rasa kebersamaan;
3. semangat musyawarah untuk mencapai mufakat adalah mengutamakan kepentingan
umum dari pada kepentingan pribadi atau golongan.
Nilai-nilai dalam Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia mengandung nilai-nilai keadilan
yang berhubungan dengan kesejahteraan bersama. Dalam lingkup nasional, realisasi
keadilan sosial ini diwujudkan dalam 3 (tiga) segi (keadilan segitiga), yaitu:

1. keadilan distributif, yaitu hubungan keadilan antara negara dengan warganya.


Negara wajib memenuhi keadilan terhadap warganya dengan cara membagi-bagikan
terhadap warganya apa yang telah menjadi haknya;
2. keadilan bertaat (legal), yaitu hubungan keadilan antara warga negara terhadap
negara. Jadi, dalam pengertian keadilan legal ini, warga negara merupakan pihak
yang wajib memenuhi keadilan terhadap negaranya;
3. keadilan komutatif, yaitu keadilan antara warga negara yang satu dengan yang
lainnya, atau dengan perkataan lain hubungan keadilan antara warga negara.

BAB 6

BAGAIMANA KEWAJIBAN PERPAJAKAN WARGA NEGARA?

Menelusuri Konsep dan Urgensi Pajak Sebagai Kewajiban Warga Negara

Kewajiban warga negara dapat ditelusuri dalam konstitusi yang berlaku di negara
tersebut. Bagi Indonesia, kewajiban warga negara diatur dalam konstitusi yang berlaku saat
ini, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun
1945). Terdapat 6 (enam) jenis kewajiban sebagai warga negara yang diatur dalam UUD
1945 tersebut, yakni kewajiban membela atau mempertahankan keamanan negara,
kewajiban membayar pajak dan retribusi, kewajiban menaati peraturan dan hukum yang
berlaku, menghormati hak asasi manusia, tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang, dan kewajiban mengikuti pendidikan dasar.

Kewajiban sebagai warga negara dalam membela atau mempertahankan keamanan negara
diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (1). Kewajiban sebagai warga negara
dalam membela negara yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) berbunyi, “Setiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.” Kewajiban mempertahankan
keamanan negara juga diatur dalam Pasal 30 ayat (1) berbunyi, “Tiap-tiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”

Kewajiban sebagai warga negara dalam membayar pajak dan retribusi diatur dalam Pasal
23A yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan undang-undang”.

Kewajiban menaati peraturan dan hukum yang berlaku diatur dalam Pasal 27 ayat (1) yang
berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”

Kewajiban menghormati hak asasi manusia diatur dalam Pasal 28J ayat (1) yang berbunyi,
“Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Kewajiban tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang diatur dalam
Pasal 28J ayat (2) yang berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Kewajiban mengikuti pendidikan dasar diatur dalam Pasal 31 ayat (2) yang berbunyi sebagai
berikut: “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.”

Itulah kewajiban-kewajiban warga negara yang diatur dalam UUD Tahun 1945 setelah
sejumlah mengalami perubahan. Dari sejumlah kewajiban tersebut, yang tidak dapat
diabaikan dan menempati posisi yang sangat penting adalah kewajiban membayar pajak.
Kewajiban warga negara membayar pajak terhadap negara merupakan kewajiban yang
sangat umum bagi setiap negara. Artinya, setiap negara telah memberlakukan aturan yang
memaksa kepada setiap warganya untuk membayar pajak. Bahkan, pajak telah menjadi
andalan negara dalam pembangunan nasional masing-masing negara.

Menanya Alasan Mengapa Ada Kewajiban Perpajakan Warga Negara

Sebagaimana telah diuraikan pada subbab sebelumnya, warga negara mempunyai


sejumlah kewajiban, satu di antaranya adalah kewajiban membayar pajak.

Diakui bahwa membayar pajak bagi warga negara merupakan suatu keharusan bukan
hanya di negara kita tetapi juga hampir di seluruh negara. Secara historis sejak zaman
kerajaan, semua rakyat wajib membayar pajak. Hal ini menunjukkan bahwa membayar
pajak sudah menjadi hukum umum atau hukum alam sebagai konsekuensi hidup
berorganisasi, berbangsa dan bernegara.

Namun, sudah menjadi hukum umum pula bahwa kewajiban warga negara beriringan
dengan hak warga negara. Artinya, bahwa setiap kewajiban pajak yang harus dibayar oleh
warga negara membawa dampak prestasi yang berhak diterima oleh warga negara
walaupun secara tidak langsung. Permasalahan kesenjangan atau ketimpangan antara
kewajiban membayar dan hak yang diterima oleh warga negara menjadi masalah tersendiri
yang menarik untuk dikaji. Namun, sebelum membahas masalah tersebut hal yang tidak
kalah menarik adalah mencari argumen dan alasan mengapa pajak menjadi kewajiban
warga negara.

Beberapa permasalahan yang terkait dengan kewajiban membayar pajak adalah:


1. masih terdapat warga negara baik masyarakat biasa dan pengusaha, maupun aparat
pemerintahan yang belum memiliki kesadaran moral sebagai wajib pajak yang baik
dan terpuji, seperti masih ada praktik Korupsi,Kolusi,dan Nepotisme (KKN),
mengemplang pajak, praktik suap, dan perilaku lain yang tidak terpuji;
2. masih terdapat anggota masyarakat yang belum memahami pentingnya pajak,
kebijakan penggunaan, dan manfaatnya bagi bangsa dan negara;
3. masih terdapat kasus aparatur negara yang tidak memberikan contoh keteladanan
dalam kewajiban membayar pajak.

masih terdapat kasus aparatur negara yang tidak memberikan contoh keteladanan
dalam kewajiban membayar pajak

Anda diharapkan telah mengerti bahwa upaya meningkatkan kesadaran warga


negara membayar pajak sangat terkait erat dengan masalah karakter individu maupun
anggota masyarakat negara-bangsa, serta keteladanan dari aparatur negara.
Anda diharapkan telah mengenal dan memahami bahwa salah satu karakter warga negara
yang baik adalah warga negara yang mengetahui hak dan kewajiban sebagai warga negara,
serta mau melaksanakan hak dan kewajiban tersebut tanpa kecuali.

Salah satu kewajiban warga negara tersebut adalah kewajiban membayar pajak.
Pemenuhan kewajiban ini memiliki dampak yang luas bagi kelangsungan bahkan eksistensi
Negara Republik Indonesia sebagai negara dan bangsa yang merdeka, bersatu, adil, dan
makmur. Oleh karena itu, pemenuhan kewajiban membayar pajak akan berdampak pula
terhadap pemenuhan tujuan Negara Republik Indonesia, yakni “melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan
mencerdaskan kehidupan bangsa serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”

1. Sumber Historis
Secara historis, kewajiban perpajakan di tanah air telah diberlakukan sejak zaman
kerajaan nusantara (seperti Mataram Kuno, Majapahit, Mataram Islam), dan jaman
sebelum kemerdekaaan dari jaman penjajahan Belanda (seperti zaman Daendels,
jaman Raffles, Hindia Belanda), sampai pada zaman pendudukan militer Jepang.
Namun, perlu ditekankan disini bahwa makna pajak pada jaman penjajahan berbeda
dari pajak pada zaman kemerdekaan. Pada jaman penjajahan, pajak lebih banyak
dimaksudkan untuk kepentingan penjajah sedangkan pada jaman kemerdekaan
pajak dimaksudkan untuk pembangunan nasional.

Pada masa kolonial Perancis dan Belanda {Gubernur Jenderal Willem Daendels
(1808- 1811)}, serta Inggris {Sir Thomas Stanford Raffles (1811-1816)}, pajak telah
dimanfaatkan sebagai cara yang efektif dalam membangun sistem keuangan dan
menancapkan konsep “negara” modern di wilayah nusantara yang sekaligus
menghapus pemungutan pajak ala sistem feodal yang dikembangkan oleh kerajaan
tradisional (hlm. ix). Pada tahun 1870, sebagai fase ekonomi liberal yang ditandai
oleh munculnya sejumlah perusahaanperusahaan asing, maka pemerintah dengan
mudah memanfaatkan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Namun, praktik
pemungutan pajak pada masa penjajahan berakhir dengan gejolak sosial. Rakyat
memberontak kepada Pemerintah karena pajak telah menjadi beban yang sangat
memberatkan rakyat sementara imbalan yang diterima rakyat tidak sebanding.

Pada masa pendudukan militer Jepang, terdapat praktik pemungutan yang dikenal
beragam jenis pajak, seperti pajak tanah, kewajiban serah padi, pajak jual beli
barang kiriman dengan kapal, pajak anjing, dan pajak sepeda. Peraturan tentang
kewajiban perpajakan yang diberlakukan oleh pemerintahan militer Jepang pada
dasarnya adalah melanjutkan praktik perpajakan yang telah diberlakukan oleh
Penjajah Belanda. Pajak dan retribusi, seperti tarif pos, kawat telekomunikasi
merupakan sumber penghasilan untuk kepentingan penjajah.

Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, ketentuan pajak tentang kewajiban


warga negara Indonesia berkembang secara bertahap dan belum banyak ditemukan
ketentuan perpajakan yang baru selain Undang-Undang Darurat Nomor 19 tahun
1951 tentang tentang Pajak Penjualan (PPn) yang diubah dengan Undang-Undang
Nomor 2 tahun 1968. Pada akhir masa Orde Lama mulai ditemukan sejumlah
peraturan perundangan-undangan yang mengatur tentang perpajakan di tanah air.
Pada masa ini, ketentuan tentang perpajakan yang mewajibkan warga negara
membayar pajak masih banyak mengacu kepada peraturan warisan Pemerintahan
Kolonial Belanda. Pada akhir pemerintahan Orde lama, Presiden Soekarno
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1965 yang berisi pengampunan
pajak yang akan berakhir pada 17 Agustus 1965.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, terjadi banyak perubahan dalam struktur
kelembagaan perpajakan karena adanya dinamika politik dan ekonomi saat itu.
Kemajuan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan adalah lahirnya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (PPh), dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM)

Undang-undang ini telah mempertimbangkan bahwa Negara Republik Indonesia


adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara karena menempatkan
perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan bagi para
warganya yang merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan
pembangunan nasional.

Pada masa reformasi sampai dengan saat ini, sistem perpajakan tidak banyak
berubah, namun tetap memperhatikan perkembangan kondisi sosial, ekonomi, dan
politik. Hal ini diwujudkan dengan perubahan dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan beserta peraturan turunannya, agar tetap menjaga keadilan
dalam pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara.

2. Sumber Sosio-Politik
Secara sosio-politik, kewajiban warga negara dalam membayar pajak kepada negara
dapat ditelusuri dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk politik
yang selalu hidup berkelompok, bermasyarakat, dan berorganisasi. Manusia sejak
lahir merupakan makhluk yang lemah, yang memerlukan pertolongan orang lain
untuk dapat hidup sebagai manusia. Untuk menjadi manusia, ia memerlukan
perlakuan secara manusiawi karena hampir dapat dipastikan manusia tidak dapat
hidup tanpa bantuan manusia lain. Oleh karena itu, sejak lahir individu manusia
selalu hidup dalam kelompok dan memerlukan interaksi, komunikasi, partisipasi atau
campur tangan manusia lainnya.

Banyak ahli yang melihat manusia dari sudut pandang yang berbeda-beda.
Rousseau, misalnya, lebih dari tiga ratus tahun yang lalu memandang manusia
sebagai makhluk yang berbudi luhur dan lembut. Selain itu, Thomas Hobbes, lebih
dari empat ratus tahun yang lalu, memandang manusia sebagai makhluk yang ganas
dan destruktif. Kata-kata Hobbes yang terkenal “Homo homini lupus” (Manusia
adalah serigala bagi manusia lainnya). Manusia adalah makhluk yang senang
berperang, bahkan saling menaklukan satu kelompok manusia oleh kelompok
manusia lainnya.

Dalam konteks pajak ini, amanah yang disepakati antara pihak pemerintah dan
rakyat adalah beban kewajiban dan tanggung jawab yang dipikul pemerintah untuk
melayani rakyat sebagai akibat iuran wajib berupa pajak yang diberikan oleh rakyat.
“Dalam arti inilah pemerintah membutuhkan kekuatan politis untuk membentuk militer
guna menjaga keamanan dan menjamin kesejahteraan rakyatnya” (Wattimena,
2003). Kekuatan politisyang diperoleh oleh pemerintah berasal dari partisipasi rakyat
dalam arti yang luas. Partisipasi rakyat tersebut termasuk salah satunya dalam
bentuk pajak.

Membangun Argumen Tentang Dinamika Dan Tantangan Kewajiban Perpajakan


Warga Negar

Setelah Anda menelusuri sejumlah peraturan perundang-undangan tentang perpajakan di


Indonesia dari masa ke masa, apakah tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini?
Dapatkah Anda mengemukakan contoh dinamika kehidupan yang sekaligus menjadi tantangan
terkait dengan masalah perpajakan di Indonesia? Coba Anda perhatikan sejumlah kasus dan
peristiwa dalam kehidupan sehari-hari seperti yang pernah kita lihat pada subbab di atas sebagai
berikut:
1. masih terdapat perilaku warga negara khususnya oknum aparatur dan anggota
masyarakat yang belum baik dan terpuji, terbukti masih ada praktik ketidakjujuran
dalam pengelolaan dan kepatuhan dalam pembayaran pajak, praktik suap, dan
perilaku lain yang tidak terpuji;
2. masih terdapat tingkat pemahaman yang rendah bagi sebagian warga negara dalam
kewajiban perpajakan sehingga diperlukan proses sosialisasi dan pendidikan secara
terus menerus dari pihak pemerintah bagi warga negara
3. pendapatan negara dari sektor pajak masih menjadi andalan utama bagi pemerintah
Indonesia untuk membiayai pembangunan nasional sehingga diperlukan upaya yang
sungguh-sungguh dalam memanfaatkan potensi bangsa dalam perpajakan.

Banyaknya kasus perilaku warga negara sebagai Wajib Pajak, baik yang bersifat
perorangan maupun korporasi/perusahaan, yang melakukan penyimpangan dalam
perpajakan menunjukkan bahwa sosialisasi dan pendidikan tentang kewajiban
perpajakan masih diperlukan. Hal ini dapat dikatakan bahwa tingkat kesadaran sebagian
warga negara masih rendah.

Dalam beberapa kasus, masyarakat dihadapkan pada ketidakpastian apakah pajak yang
telah dibayar kepada pemerintah telah dimanfaatkan dengan benar. Kekhawatiran ini
bertolak dari fakta yang terlihat dan dirasakan oleh warga negara ketika memperhatikan
fasilitas publik yang dibiayai dari pajak ternyata kondisinya tidak baik, misalnya fasilitas
jalan raya yang rusak, alat transportasi umum tidak memadai, bangunan sekolah yang
rusak, dan ruang publik yang kurang memadai. Dalam hal ini, diperlukan adanya
tindakan pengawasan terhadap pemerintah dalam penggunaan atau pemanfaatan pajak.
Oleh karena itu, partisipasi warga negara secara langsung sangat diperlukan seiring
dengan era demokratisasi.

Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pajak Sebagai Kewajiban Warga Negara

Pernahkah Anda berpikir apa yang akan terjadi seandainya di sebuah negara-
bangsa yang merdeka dan berdaulat tidak memiliki sistem perpajakan dan peraturan
tentang kewajiban perpajakan? Atau mungkin peraturan tentang perpajakan sudah ada,
namun apa yang akan terjadi apabila di negara tersebut warga negaranya tidak mau
membayar pajak? Benarkah pajak itu penting dan diperlukan oleh negara-bangsa termasuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, bahwa pajak sudah sejak zaman
kerajaankerajaan di nusantara (seperti Mataram Kuno, Majapahit, Mataram Islam). Praktik
pemungutan pajak dari rakyat oleh pihak kerajaan telah berlangsung berabad-abad. Dalam
buku “Jejak Pajak Indonesia” dijelaskan bahwa pajak pada masa Kerajaan Mataram telah
menjadi tumpuan hidup keraton untuk mencukupi keperluan, biaya perbaikan jalan, biaya
hidup pejabat, bahkan untuk rumput kuda milik raja. Kerajaan Mataram pada masa
kekuasaan Sultan Agung dapat berjaya dan mampu menyerang Kompeni Batavia karena
memiliki keuangan yang kuat yang diperoleh dari pajak.
Negara seperti Jepang dan Australia menjadi maju karena didukung oleh pemberlakuan tarif
pajak yang tinggi baik pajak perusahaan (30%) maupun perorangan (dalam rentang 5%
sampai dengan 40%). Tarif pajak badan dan perorangan di Jepang lebih tinggi daripada tarif
pajak di Indonesia, namun mereka merasa sangat bangga ketika membayar pajak karena
mereka dapat mewujudkan rasa cintanya kepada negara. Warga negara Australia pun mau
membayar pajak dengan penuh tanggung jawab karena pajak yang mereka bayarkan akan
digunakan untuk membangun sektor-sektor strategis bagi kesejahteraan hidup warga
negara Australia.

Dari fakta tersebut, sangat jelas bahwa keberadaan hukum perpajakan dan upaya
penegakannya sangat penting. Ketiadaan penegakan hukum, terlebih tidak adanya aturan
hukum, akan mengakibatkan kehidupan masyarakat menjadi “kacau” (chaos). Negara dan
Bangsa Indonesia sebagai negara modern telah menganut sistem demokrasi konstitusional,
serta telah memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan, lembaga-lembaga hukum,
badan-badan lainnya, dan aparatur penegak hukum. Namun, demi kepastian hukum untuk
memenuhi rasa keadilan masyarakat, upaya penegakan hukum harus selalu dilakukan
secara terus menerus termasuk dalam penegakan hukum perpajakan.

BAB 7

BAGAIMANA NEGARA MENGELOLA PAJAK?

Bab ini akan mengkaji lebih lanjut bagaimana negara mengelola pajak agar dapat
menjalankan fungsi-fungsi seperti di atas. Negara melalui pemerintah berkewajiban
menjalankan pemerintahan, termasuk dalam hal mengelola pajak. Bab ini mendeskripsikan
tentang bagaimana negara mengelola pajak untuk pembiayaan negara. Esensi materi
meliputi (1) lembaga pengelola pajak dan jenis pajaknya; (2) alasan mengapa negara yang
mengelola pajak;(3) informasi tentang pengelolaan pajak oleh negara;(4) argumen tentang
tantangan pengelolaan pajak oleh negara; dan (5) esensi dan urgensi pengelolaan pajak
oleh negara. Tujuan penulisan bab ini adalah mahasiswa memahami pengelolaan pajak oleh
negara. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan proses pembelajaran melalui pendekatan
saintifik/berbasis proses keilmuan, yaitu: (1) menelusuri lembaga pengelola pajak dan jenis
pajaknya; (2) menanya alasan mengapa negara yang mengelola pajak; (3) menggali
informasi tentang pengelolaan pajak oleh negara; (4) membangun argumen tentang
tantangan pengelolaan pajak oleh negara; dan (5) mendeskripsikan esensi dan urgensi
pengelolaan pajak oleh negara. Bab ini diakhiri dengan rangkuman dan tugas belajar lanjut
melalui Proyek Belajar Sadar Pajak.Sebelum mengkaji bab ini, mari kita simak pemberitaan
dari sebuah media mengenai pajak sebagai berikut.

Menelusuri Konsep Lembaga Negara yang Mengelola Pajak dan Jenis Pajak

Tahukah Anda, apa itu lembaga negara? Lembaga negara dapat disebut juga
sebagai badan negara atau organ negara. Lembaga negara dibentuk oleh negara untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsi negara. Lembaga dapat dikatakan sebagai wadah yang
menyelenggarakan fungsi, sedangkan negara adalah organisasi kekuasaan yang memiliki
unsur rakyat, wilayah, dan pemerintahan. Apa itu pemerintahan?

Pembagian Lembaga Pemerintahan di Indonesia

Indonesia menganut pembagian kekuasaan pemerintahan, baik secara horisontal


maupun vertikal. Secara horisontal, pemerintahan terdiri atas lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif yang memiliki kedudukan sederajat. Di sisi lain, berdasar
pembagian secara vertikal, pemerintahan terdiri atas pemerintahan yang ada di
tingkat pusat disebut pemerintah pusat dan pemerintahan yang ada di daerah
otonom yang disebut pemerintahan daerah.

Istilah pemerintahan bisa diartikan secara luas dan sempit. Dalam arti luas,
pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan-badan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif di suatu negara dalam rangka mencapai tujuan
penyelenggaraan negara.

Dalam arti sempit, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang hanya


dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan
penyelenggaraan negara. Pemerintahan di Indonesia menurut UUD Tahun 1945
menganut sistem pemerintahan presidensiil. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 4 Ayat 1
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut UndangUndang Dasar”. Presiden Indonesia
adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden juga berada di
luar pengawasan langsung DPR, tetapi tidak bertanggung jawab kepada DPR.

Berdasar UUD Tahun 1945, kita mengenal berbagai lembaga negara, baik
berdasarkan fungsi maupun hierarkinya. Dilihat dari fungsinya, lembaga negara ada
yang bersifat utama/primer (primary constitutional organs) dan bersifat
penunjang/sekunder (auxiliary state organs). Selain itu, dari hirarkinya, lembaga
negara dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu:
a. lembaga tinggi negara, yaitu lembaga yang nama, fungsi, dan
kewenangannya dibentuk berdasarkan UUD Tahun 1945;
b. lembaga negara, yaitu lembaga yang sumber kewenangannya berasal
dari UUD Tahun 1945, undang-undang, regulator, atau pembentuk
peraturan dibawah undang-undang;
c. lembaga daerah, yaitu lembaga negara yang terdapat di daerah, yang
terdiri dari pemerintahan daerah provinsi/kabupaten/kota,
gubernur/bupati/walikota, DPRD provinsi/kab./kota.

Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya


menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan konkuren adalah
urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota. Urusan Pemerintahan konkuren dibagi lagi menjadi urusan
pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan Pemerintahan Wajib
adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh semua Daerah,
sedangkan Urusan Pemerintahan Pilihan adalah urusan pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah. Urusan
pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Presiden sebagai kepala pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut;

Pajak Pusat dan Pajak Daerah


Dengan adanya pembagian urusan pemerintahan ini, urusan pajak dibedakan pula
pengelolaannya, yakni pajak yang dikelola pemerintah pusat yang disebut sebagai
pajak pusat, serta pajak yang dikelola pemerintah daerah yang disebut sebagai pajak
daerah. Kegiatan mengelola pajak mencakup kegiatan mengadministrasikan pajak
dan mendistribusikan hasil pajak untuk kepentingan belanja negara. Baik pemerintah
pusat maupun daerah, sama-sama mewakili negara bertugas mengelola pajak dari
rakyat.
Kewenangan mengadministrasikan pajak pusat diberikan kepada Direktorat
Jenderak Pajak (DJP), yang berada di bawah Kementrian Keuangan. Direktorat
Jenderal Pajak memiliki tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan
standardisasi teknis di bidang perpajakan, serta memiliki fungsi, antara lain:

a. perumusan kebijakan di bidang perpajakan;


b. pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan;
c. penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang perpajakan;
d. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perpajakan;
e. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pajak.

Menanya Alasan Mengapa Negara Mengelola Pajak

Berdasar asas desentralisasi, negara Republik Indonesia memiliki dua


pemerintahan, yakni pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Urusan pajak dikelola oleh
dua lembaga yakni pemerintah pusat yang mengelola pajak pusat dan pemerintah daerah
yang mengelola pajak daerah. Mengelola pajak mencakup kegiatan mengadministrasikan
pajak dan mendistribusikan hasil pajak untuk kepentingan umum.

Kegiatan mengadministrasikan pajak, dilakukan melalui 3 (tiga) fungsi utama, yakni fungsi
pelayanan, pengawasan dan penegakan hukum. Fungsi pelayanan, misalnya registrasi
NPWP dan pelaporan SPT. Fungsi pengawasan, misalnya pemeriksaan pajak dan
ekstensifikasi Wajib Pajak baru. Fungsi penegakan hukum, misalnya penagihan dan
penyidikan tindak pidana perpajakan.

Kegiatan mendistribusikan pajak meliputi kegiatan mengalokasikan besaran anggaran untuk


tiap-tiap sektor pembangunan dan/atau kementrian/lembaga atau dinas daerah. Selanjutnya
kementrian atau lembaga dan dinas daerah menggunakan anggaran tersebut untuk
melaksanakan program-programnya.

Menggali Informasi tentang Pengelolaan Pajak oleh Negara

Kebijakan Pemerintah dalam hal Pajak

Kebijakan pemerintah dalam hal pajak, yang selanjutnya dapat disebut kebijakan
perpajakan, termasuk bagian dari kebijakan publik (public policy).Kebijakan (policy) adalah
sekumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam
usahamemilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut (Budiardjo,
2008). Lalu apa yang dimaksud kebijakan publik (public policy)?

Menurut Thomas R Dye (dalam Riant Nugroho, 2012), “Public Policy is whatever the
government choose to do or not to do“ (kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu). Mengapa suatu kebijakan harus
dilakukan? Apa manfaat kebijakan publik bagi kehidupan bersama? Apa yang harus menjadi
pertimbangan holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi
warganya dan tidak menimbulkan persoalan yang merugikan?
Salah satu kebijakan publik adalah kebijakan di bidang perpajakan.Kebijakan perpajakan
(tax policy) adalah kebijakan mengenai perubahan sistem perpajakan yang sesuai dengan
perkembangan, tujuan ekonomi, politik, dan sosial pemerintah. Dengan adanya kebijakan
perpajakan, pemerintah mengharapkan terjadi peningkatan penerimaan dari sektor pajak,
dalam rangka mencapai kemandirian pembiayaan dan pembangunan (Prakosa, 2003).
Kebijakan perpajakan merupakan salah satu bagian dari instrumen kebijakan fiskal yang
bertujuan untuk mempengaruhi perekonomian negara, mengatur perekonomian negara,
meningkatkan penerimaan negara,dan mendorong investasi, serta menciptakan keadilan.
Beberapa contoh kebijakan perpajakan, misalnya:

a. peningkatan kepatuhan Wajib Pajak, terutama kepatuhan WP orang pribadi


usaha (nonkaryawan) dan WP badan;
b. peningkatan tax ratio dan tax buoyancy, melalui kegiatan ekstensifikasi,
intensifikasi, peningkatan efektivitas penegakan hukum, perbaikan administrasi,
penyempurnaan regulasi, dan peningkatan kapasitas Direktorat Jenderal Pajak
(DJP);
c. peningkatan atascoverage melalui penggalian potensi perpajakan pada beberapa
sektor unggulan seperti sektor pertambangan, sektor industri pengolahan, sektor
perdagangan, dan sektor konstruksi serta sektor jasa keuangan;
d. penguatan dan perluasan basis data perpajakan, baik data internal maupun
eksternal, melalui:
1) digitalisasi SPT dan implementasi e-SPT&e-filing;
2) implementasi e-tax invoice di seluruh Indonesia;
3) implementasi cash register dan electronic data capturing (EDC) yang online
denganadministrasi perpajakan; dan
4) implementasi penghimpunan data dari instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak
lain.

Negara berwenang mengelola pajak, yang di dalamnya terdapat kegiatan


mengadministrasikan penerimaan pajak dan mendistribusikan hasil pajak untuk keperluan
pembangunan. Hal ini didasarkan pada amanat UUD Tahun 1945 Pasal23A yang
menyatakan“Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang”. Kewenangan negara itu didasarkan pada undang-undang yang
sekaligus mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat, bahwa undang-undang merupakan
produk hukum sebagai persetujuan bersama antara pemerintah dengan DPR selaku wakil
rakyat.

Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum


dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UndangUndang Nomor 16 Tahun 2009, dinyatakan bahwa “Pajak adalah kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undangdengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Penerimaan negara terdiri atas 3 (tiga) sumber, yakni penerimaan perpajakan, penerimaan
negara bukan pajak, dan penerimaan hibah. Pajak menjadi sumber pendapatan yang besar
bagi negara Indonesia saat ini. Penerimaan Perpajakan terdiri dari penerimaan pajak dan
penerimaan dari bea dan cukai. Penerimaan pajak berkontribusi sekitar 74,6% dari seluruh
penerimaan negara untuk keperluan pembiayaan pembangunan.

Pengelolaan Pajak
Negara berwenang mengelola pajak, yang di dalamnya terdapat kegiatan
mengadministrasikan penerimaan pajak dan mendistribusikan hasil penerimaan pajak untuk
keperluan pembangunan. Hal ini didasarkan pada amanat UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 23A yang menyatakan “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Kewenangan negara tersebut
didasarkan pada undang-undang yang sekaligus mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat,
bahwa undang-undang merupakan produk hukum sebagai persetujuan bersama antara
pemerintah dengan DPR selaku wakil rakyat.

Kewenangan negara ini didasarkan atas pendekatan “Benefit Approach” atau pendekatan
manfaat. Pendekatan ini mendasarkan pada suatu falsafah “oleh karena negara
menciptakan manfaat yang dinikmati oleh seluruh warga negara, maka negara
berwewenang memungut pajak dari rakyat dengan cara yang dapat dipaksakan
berdasarkan undangundang”.

Pengadministrasian Pajak

Pajak diadministrasikan oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun


pemerintah daerah. Hal ini terkait dengan adanya kebijakan otonomi bahwa pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi secara vertikal atas pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Oleh karena itu, pajak terbagi atas Pajak Pusat dan Pajak Daerah.

1. Pajak Pusat
Pajak Pusat diadministrasikan oleh pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) bersama unit kerja di bawahnya. Kegiatan administrasi pajak pusat oleh
DJP dilakukan melalui 3 (tiga) fungsi utama, yakni fungsi pelayanan, pengawasan,
dan penegakan hukum. Fungsi pelayanan, misalnya registrasi NPWP dan pelaporan
SPT. Fungsi pengawasan, misalnya pemeriksaan pajak dan ekstensifikasi Wajib
Pajak baru. Fungsi penegakan hukum, misalnya penagihan dan penyidikan tindak
pidana perpajakan.

Pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak
Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan, Perkebunan, dan Perhutanan (PBB
Sektor P3), dan Bea Meterai. Penjelasan untuk masing-masing pajak adalah sebagai
berikut:

1) Pajak Penghasilan (PPh)


PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak. Yang
dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat
digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan
dalam bentuk apapun. Dengan demikian, penghasilan dapat berupa keuntungan
usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya. Pajak Penghasilan diatur
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008.

2) Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak (BKP) atau
Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan,
maupun pemerintah yang mengonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang
PPN. Tarif PPN adalah tarif tunggal, yaitu sebesar 10%. Dalam hal ekspor, tarif
PPN adalah 0%. Yang dimaksud dengan Pabean adalah wilayah Republik
Indonesia yang meliputi wilayah darat, peraian, dan ruang udara di atasnya. PPN
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.

3) Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)


Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong
mewah, juga dikenakan PPnBM. Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
memiliki ciri-ciri, yaitu:
a. barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
b. barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
c. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi;
d. barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta
mengganggu ketertiban masyarakat

Pengenaan PPnBM diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.

4) Bea Meterai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat
perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek,
yang memuat jumlah uang atau nominal di atas jumlah tertentu sesuai dengan
ketentuan.

Pengenaan Bea Meterai dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13


Tahun 1985 tentang Bea Meterai, serta berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 65/PMK.03/2014 tentang Bentuk, Ukuran, dan Warna Benda
Meterai dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2014 tentang Tata
Cara Pemeteraian Kemudian.

5) Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Pertambangan dan


Perhutanan (PBB Sektor P3)
PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan
atau bangunan. Sekarang ini, PPB yang terkait dengan Perkebunan,
Pertambangan dan Perhutanan dikelola oleh Pemerintah Pusat, sedangkan PPB
Sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB Sektor P2) dikelola oleh Pemerintah
Daerah. Dasar hukum pengenaan PBB Sektor P3 adalah Undang-undang Nomor
12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.

2. Pajak Daerah
Pajak Daerah adalah pajak yang diadministrasikan oleh Pemerintah Daerah
(provinsi, kota, atau kabupaten) dan digunakan untuk membiayai keperluan rumah
tangga daerah yang bersangkutan. Contoh Pajak Daerah adalah pajak hiburan,
pajak restoran, pajak reklame, pajak hotel, pajak pengambilan dan pengolahan
bahan galian golongan C, dan lain-lain. Jadi, wewenang pemungutannya ada pada
Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) atau nama lain yang memiliki
fungsi sejenis.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan


Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah adalah kontribusi wajib
kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung,
dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Adapun pajak yang diadministrasikan oleh Pemerintah Daerah
provinsi/kabupaten/kota, meliputi :

1) Pajak Provinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor, yakni pajak atas kepemilikan dan/atau
penguasaan kendaraan bermotor.
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, yakni pajak atas penyerahan hak
milik kendaraan bermotornsebagai akibat perjanjian dua pihak atau
perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar
menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor yakni pajak atas penggunaan
bahan bakar kendaraan bermotor.
d. Pajak Air Permukaan, yakni pajak atas pengambilan dan/atau
pemanfaatan air permukaan.
e. Pajak Rokok, yakni pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh
Pemerintah.

2) Pajak Kabupaten/Kota
a. Pajak Hotel, yakni pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
b. Pajak Restoran, yakni pajak atas pelayanan yang disediakan oleh
restoran.
c. Pajak Hiburan, yakni pajak atas penyelenggaraan hiburan.
d. Pajak Reklame, yakni pajak atas penyelenggaraan reklame.
e. Pajak Penerangan Jalan, yakni pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik
yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
f. Pajak Parkir, yaitu pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar
badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha
maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan
tempat penitipan kendaraan bermotor.
g. Pajak air Tanah, yakni pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air
tanah.
h. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yakni pajak atas kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di
dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
i. Pajak Sarang Burung Walet, yakni pajak atas kegiatan pengambilan
dan/atau pengusahaan sarang burung wallet.
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, yakni pajak atas
bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan
oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk
kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yakni pajak atas
perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Pendistribusian Pajak
Kegiatan mendistribusikan pajakmeliputi kegiatan mengalokasikan besaran
anggaran untuk tiap-tiap sektor pembangunan dan/atau kementrian/lembaga atau dinas
daerah. Selanjutnya, kementerian atau lembaga dan dinas daerah menggunakan anggaran
tersebut untuk melaksanakan program-programnya.

Perlu dipahami bahwa fungsi mendistribusikan pajak bagi pembangunan bukanlah tugas
lembaga yang mengadministrasikan pajak, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak selaku
pengadministrasi pajak pusat maupun Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset
Daerah selaku pengadministrasi pajak daerah. Kedua lembaga tersebut terbatas pada
fungsi mengadministrasikan pajak, yakni kegiatan memungut pajak dan mengumpulkan
hasil pajak.

Fungsi mendistribusikan hasil pajak pusat sebagai salah satu sumber pembangunan ada
pada DPR, pemerintah pusat dan kementerian terkait yang terdokumentasi dalam
undangundang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Demikian pula,
pendistribusian hasil pajak daerah, diatur dan ditetapkan oleh suatu peraturan daerah
perihal Anggaran Pembangunan Belanja Daerah (APBD) yang merupakan kesepakatan
bersama antara Pemerintah Daerah dengan DPRD.

Penggunaan pajak untuk pembiayaan pembangunan nasional tersebut, tertuang dalam


Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) pada tiap daerah otonom.

APBN mempunyai peran strategis untuk melaksanakan fungsi ekonomi Pemerintah, yaitu
fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi berkaitan dengan
alokasi anggaran Pemerintah untuk tujuan pembangunan nasional, terutama dalam
melayani kebutuhan masyarakat dan mendukung penciptaan akselerasi pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan berkualitas. Fungsi distribusi berkaitan dengan distribusi
pendapatan dan subsidi dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, sedangkan fungsi
stabilisasi berkaitan dengan upaya untuk menjaga stabilitas dan akselerasi kinerja ekonomi
sehingga perekonomian tetap pada kondisi yang produktif, efisien, dan stabil. Anggaran
Belanja Negara pada APBN Tahun 2016 berjumlah Rp.2095,7 Triliun yang didistribusikan
sebagaimana gambar VII.8.

Transfer ke Daerah adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian, dengan
rincian sebagai berikut:
a. Transfer Dana Perimbangan, meliputi:
1) Transfer Dana Bagi Hasil Pajak;
2) Transfer Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam;
3) Transfer Dana Alokasi Umum; dan
4) Transfer Dana Alokasi Khusus.
b. Transfer Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian, meliputi:
1) Transfer Dana Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat;
2) Transfer Dana Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam; dan
3) Transfer Dana Penyesuaian

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, ada beberapa jenis pajak yang dikelola oleh
pemerintah daerah yang selanjutnya disebut pajak daerah. Pajak daerah menjadi sumber
penerimaan daerah guna membiayai pengeluaran termasuk pembangunan di daerah yang
bersangkutan. Dalam naskah APBD, setiap tahunnya dimuat rancangan penerimaan daerah
dan pengeluaran daerah, termasuk besaran pajak daerah yang dijadikan salah satu sumber
penerimaan daerah.
BAB 8

BAGAIMANA PROSEDUR PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN?

Perkembangan peranan pajak sebagai kebutuhan utama dalam kehidupan


berbangsa dan bernegara semakin meningkat dari masa ke masa. Hal tersebut dapat dilihat
dari peningkatan target penerimaan pajak dari tahun ke tahun. Kecenderungan kenaikan
tersebut seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan meningkatnya kebutuhan
belanja negara. Hal ini membuat pemerintah melalui DJP harus melakukan upaya
intensifikasi dan ekstensifikasi subjek dan objek pajak untuk memenuhi kebutuhan
pembiayaan tersebut.

Untuk mencapai target penerimaan pajak yang terus meningkat, peran dan dukungan
masyarakat menjadi sangat penting, terlebih karena membayar pajak juga merupakan salah
satu kewajiban warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD Tahun 1945.
Untuk menjadi warga negara yang baik, salah satunya dapat ditunjukkan dengan kesadaran
dan kepatuhan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Oleh sebab itu, kesadaran dan
kepatuhan semua pihak perlu ditingkatkan mengingat pentingnya peranan pajak.

Menelusuri Konsep Pemenuhan Kewajiban Perpajakan

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, selalu ada peraturan


yang mengaturnya, salah satunya yaitu hukum. Hukum mengatur hak dan kewajiban
manusia supaya kehidupan berjalan dengan baik, tertib, dan lancar. Hak dan kewajiban
harus berjalan secara seimbang. Hak yang diterima oleh seseorang akan membawa
konsekuensi adanya pemenuhan kewajiban, begitu pula sebaliknya. Sebagai contoh, hak
perolehan gaji atau upah dari suatu pekerjaan akan membawa konsekuensi adanya
pemenuhan kewajiban untuk bekerja atau menghasilkan sesuatu. Demikian juga dengan
pajak, hak untuk mencari dan memperoleh penghasilan akan membawa konsekuensi
adanya pemenuhan kewajiban untuk menyerahkan sebagian penghasilan tersebut kepada
negara dalam bentuk pajak. Begitu pula hak untuk memperoleh dan memiliki gedung/rumah,
mobil dan barang-barang lain, membawa kewajiban untuk membayar pajak kepada negara.

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
1. kontribusi wajib kepada negara;
2. merupakan utang pribadi atau badan;
3. pembayaran bersifat memaksa;
4. sifat memaksa tersebut berdasarkan undang-undang;
5. tidak disertai imbalan secara langsung;
6. digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Perpajakan Indonesia secara umum menganut sistem self assessment yang memberikan
kepercayaan dan tanggung jawab penuh kepada masyarakat Wajib Pajak untuk memenuhi
kewajiban perpajakannya. Dalam sistem tersebut, masyarakat Wajib Pajak diberi
kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan
melaporkan sendiri pajak yang menjadi tanggungannya.
Dengan dianutnya sistem self assessment tersebut, maka pengetahuan perpajakan yang
memadai merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh Wajib Pajak agar dapat
memenuhi kewajiban perpajakannya secara baik dan benar.

Pertanyaan berikutnya adalah siapakah yang digolongkan sebagai Wajib Pajak?


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 Tentang Ketentuan Umum Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 dinyatakan bahwa Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar
pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu
apabila telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.

1. Persyaratan Subjektif
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai
subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dan perubahannya.

2. Persyaratan Objektif
Persyaratan Objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang telah menerima atau
memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan
pemotongan/pemungutan. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, persyaratan objektif
terpenuhi apabila Wajib Pajak mempunyai penghasilan yang melebihi Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP), sedangkan untuk Wajib Badan persyaratan objektif
terpenuhi apabila badan atau perusahaan tidak mengalami kerugian.

Menanya Kewajiban dan Hak Perpajakan

Sebagaimana telah diuraikan pada bagian di atas, bahwa untuk dapat dikenakan
pajak, maka Wajib Pajak harus memenuhi persyaratan subjektif dan objektif tersebut
sekaligus pada saat yang bersamaan.

Hak Perpajakan Bagi Wajib Pajak


Dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan di bidang perpajakan yaitu antara
keseimbangan hak negara dan hak warga Negara pembayar pajak, maka Undang-Undang
Perpajakan yaitu Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
mengakomodir mengenai berbagai hak-hak Wajib Pajak.

1. Hak Atas Kelebihan Pembayaran Pajak


Dalam hal pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari
jumlah kredit pajak, atau dengan kata lain pembayaran pajak yang dibayar atau
dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang, maka Wajib Pajak
mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut.

Wajib Pajak dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran


pajak melalui dua cara, yaitu melalui Surat Pemberitahuan (SPT) dan/atau dengan
mengirimkan surat permohonan yang ditujukan kepada Kepala KPP. Apabila
Direktorat Jenderal Pajak terlambat mengembalikan kelebihan pembayaran yang
semestinya dilakukan, maka Wajib Pajak berhak menerima bunga 2% per bulan
maksimum 24 bulan

2. Hak Kerahasiaan Bagi Wajib Pajak


Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan atas segala
sesuatu informasi yang telah disampaikannya kepada Direktorat Jenderal Pajak
dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Disamping itu, pihak lain yang
melakukan tugas di bidang perpajakan juga dilarang mengungkapkan kerahasiaan
Wajib Pajak, termasuk tenaga ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, pengacara yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang
perpajakan. Kerahasiaan Wajib Pajak antara lain:

a. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan dokumen lainnya yang dilaporkan


oleh Wajib Pajak;
b. data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
c. dokumen atau rahasia Wajib Pajak lainnya sesuai ketentuan perpajakan yang
berlaku.

Namun demikian dalam rangka penyidikan, penuntutan atau dalam rangka


kerjasama dengan instansi pemerintah lainnya, keterangan atau bukti tertulis dari
atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

3. Hak untuk Pengangsuran Atau Penundaan Pembayaran


Dalam hal-hal atau kondisi tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
menunda pembayaran pajak.

4. Hak untuk Penundaan Pelaporan SPT Tahuna


Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat menyampaikan perpanjangan
penyampaian SPT Tahunan, baik PPh Badan maupun PPh Orang Pribadi.

5. Hak untuk Pengurangan PPh Pasal 25


Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan pengurangan
besarnya angsuran PPh Pasal 25.

6. Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada
hubungannya dengan subjek pajak atau karena sebab-sebab tertentu lainnya serta
dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam dan juga bagi Wajib Pajak
anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan, dapat
mengajukan permohonan pengurangan atas pajak terutang.

Khusus untuk Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang
sudah dialihkan ke Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten), pengurusan untuk
pengurangan PBB tidak lagi di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tetapi di Kantor Dinas
Pendapatan Kota/kabupaten setempat.

7. Hak untuk Pembebasan Pajak


Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
pembebasan atas pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan.

8. Hak Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak


Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagai Wajib Pajak Patuh dapat
diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam jangka
waktu paling lambat 1 (satu) bulan untuk PPN dan 3 (tiga) bulan untuk PPh sejak
tanggal permohonan.

9. Hak untuk Mendapatkan Pajak Ditanggung Pemerintah


Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau
dana pinjaman luar negeri, PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh
kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah.
10. Hak untuk Mendapatkan Insentif Perpajakan
Di bidang PPN, untuk Barang Kena Pajak tertentu atau kegiatan tertentu diberikan
fasilitas pembebasan PPN atau PPN Tidak Dipungut. BKP tertentu yang dibebaskan
dari pengenaan PPN antara lain Kereta Api, Pesawat Udara, Kapal Laut, Buku-buku,
perlengkapan TNI/POLRI yang diimpor maupun yang penyerahannya di dalam
daerah pabean oleh Wajib Pajak tertentu. Perusahaan yang melakukan kegiatan di
kawasan tertentu seperti Kawasan Berikat mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut
antara lain atas impor dan perolehan bahan baku.

Kewajiban Perpajakan Bagi Wajib Pajak


Diskusi pada bagian ini akan lebih fokus membahas tentang kewajiban perpajakan
yang dimiliki oleh setiap orang atau badan usaha yang telah memenuhi persyaratan subjektif
dan objektif sekaligus pada saat yang bersamaan. Kewajiban perpajakan tersebut antara
lain adalah kewajiban mendaftarkan diri, kewajiban menghitung, membayar dan
melaporkan. Apa yang dimaksud kewajiban mendaftarkan diri, menghitung,
memperhitungkan, memotong/membayar dan melaporkan pajak. Diskusikanlah terlebih
dahulu dengan teman Anda sebelum membaca uraian berikut ini.

1. Kewajiban Mendaftarkan Diri


Berdasarkan sistem self assessment, maka Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk
mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). NPWP adalah
nomor identitas yang diberikan kepada Wajib Pajak (WP) sebagai sarana
administrasi dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan.

2. Kewajiban Menghitung Pajak


Apa itu menghitung pajak? Menghitung berarti proses menentukan pajak yang harus
dibayar. Secara umum untuk menghitung pajak digunakan sistem self assessment,
dimana Wajib Pajak menghitung sendiri pajak yang terhutang. Penghitungan pajak
secara self assesment lebih banyak diterapkan dalam pemenuhan kewajiban
perpajakan tahunan (SPT Tahunan, baik orang pribadi maupun badan). Secara garis
besar, item-item yang dipertimbangkan dalam penghitungan pajak secara self
assesment, yaitu:

a. Penghasilan
b. pengurang penghasilan;
c. penghasilan netto;
d. penghasilan kena pajak;
e. tarif pajak;
f. besarnya pajak terutang;

Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau


diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Pengurang penghasilan adalah biaya-biaya terkait dengan kegiatan untuk


mendapatkan penghasilan tersebut. Biaya-biaya ini harus dipisahkan antara
penghasilan dari bukan objek pajak, dari objek final, dari objek bukan final (yang
dikenakan tarif umum), maupun yang mendapat fasilitas perpajakan.

Penghasilan netto adalah hasil pengurangan penghasilan bruto dikurangi dengan


pengurang penghasilan bruto. Dalam hal penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak tidak mengeluarkan biaya-biaya maka dapat dikatakan bahwa
penghasilan neto merupakan penghasilan bruto itu saja. Biasanya penghitungannya
dikenal dengan before tax misalnya bagi Wajib Pajak yang mendapatkan
penghasilan dari royalti, pada saat mendapatkan penghasilan tersebut tidak
membutuhkan biaya-biaya.

Penghasilan Kena Pajak adalah Penghasilan neto setelah dikurangi kompensasi


kerugian. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Penghasilan Kena Pajak adalah
penghasilan neto setelah dikurang kompensasi kerugian dikurangi lagi dengan
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Tarif pajak adalah persentase besaran tertentu yang ditetapkan berdasarkan


Undang Undang sebagaimana tercantum dalam pasal 17 UU PPh.

Pajak terutang adalah pajak yang harus dibayar dalam suatu masa pajak atau tahun
pajak, yang diperoleh dengan cara mengalikan antara Penghasilan Kena Pajak
(PhKP) dikalikan dengan tarif pajak sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

Disamping sistem sefl assessment, diterapkan juga official system, yaitu suatu
sistem yang memberi tanggung jawab kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang olah Wajib Pajak. Sistem ini pada umumnya
diterapkan pada pengenaan pajak langsung. Dalam hal ini Wajib Pajak bersifat pasif
karena utang pajak baru timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

Sistem ini diterapkan seperti dalam conoth pelunasan Pajak Bumi Bangunan (PBB),
dimana Otoritas Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak mengenai
besarnya PBB yang terutang setiap tahun. Jadi, Wajib Pajak tidak perlu menghitung
sendiri, tapi cukup membayar PBB berdasarkan Surat Pembayaran Pajak Terutang
(SPPT) yang dikeluarkan olek KPP dimana tempat objek pajak tersebut terdaftar.

Menghitung pajak juga bisa dilakukan dengan with holding system. Sistem ini
merupakan sistem perpajakan dimana pihak ketiga baik Wajib Pajak Orang Pribadi
maupun Wajib Pajak Badan Dalam Negeri diberi kepercayaan oleh peraturan
perundang-undangan untuk melaksanakan kewajiban memotong atau memungut
pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada penerimaan penghasilan.

3. Kewajiban Membayar Pajak


Setelah diketahui jumlah pajak yang terhutang, kewajiban selanjutnya adalah
membayar pajak terhutang tersebut dengan mekanisme sebagai berikut:
1) Membayar sendiri pajak yang terutang:
a. Pembayaran angsuran setiap bulan (PPh Pasal 25)
Pembayaran PPh Pasal 25, yaitu pembayaran pajak penghasilan secara
angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam
melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak diwajibkan
untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun dengan
membayar sendiri angsuran pajak setiap bulan.

b. Pembayaran PPh Pasal 29 pada saat penyampaian SPT Tahunan;


Pembayaran PPh Pasal 29 yaitu pelunasan pajak penghasilan yang
dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak pada akhir tahun pajak apabila pajak
terutang untuk suatu tahun pajak lebih besar dari jumlah total pajak yang
dibayar sendiri dan pajak yang dipotong atau dipungut pihak lain sebagai
kredit pajak yang dapat diperhitungkan.
2) Melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh
Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26). Pihak lain disini berupa
:
a. Pemberi penghasilan;
b. Pemberi kerja; atau
c. Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.
3) Pemungutan PPN oleh Pengusaha Kena Pajak atau oleh pihak lain yang ditunjuk
pemerintah.

4) Pembayaran Pajak-pajak lainnya.


a. Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT). Untuk daerah Jakarta, pembayaran PBB sudah dapat
dilakukan dengan menggunakan ATM di Bank-bank tertentu.
b. Pembayaran BPHTB yaitu pelunasan pajak atas perolehan hak atas tanah
dan bangunan.
c. Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang dapat
dilakukan dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai tempel
atau kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan mesin
teraan.

Sarana yang dipakai untuk membayar bisa dilakukan dengan Surat Setoran Pajak
(SSP) yang dapat dilihat melalui link berikut
“http://www.pajak.go.id/mts_download_tree/page/48”. Pembayaran dan penyetoran
pajak dilakukan ke Kas Negara, dengan cara:
1) menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) melalui layanan pada loket/teller (over
the counter) pada Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank
Persepsi Mata Uang Asing; atau
2) pembayaran pajak secara elektronik melalui e-billing yang dapat diakses pada
situs djponline.pajak.go.id.

4. Kewajiban Melaporkan
Untuk mempertanggungjawabkan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam satu
masa pajak atau tahun pajak, maka Wajib Pajak melaporkan kepada otoritas pajak
menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT). Surat Pemberitahuan adalah surat yang
oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran
pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Bentuk dari SPT,
baik SPT Masa maupun SPT 162 Tahunan.

SPT disampaikan oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak atau tempat lain yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, dengan cara:
1) disampaikan secara langsung;
2) melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
3) perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
4) saluran tertentu yang ditetapkan oleh DirekturJenderal Pajak sesuai dengan
perkembangan teknologi informasi (e-Filing).

Jenis SPT dapat dibedakan menjadi SPT Tahunan dan SPT Masa yang dapat
dijelaskan, sebagai berikut:

a. SPT Masa, yaitu SPT yang digunakan untuk melakukan pelaporan atas
pembayaran pajak bulanan, terdiri dari:
a) SPT Masa PPh Pasal 21, adalah SPT Masa yang digunakan oleh pemberi
kerja dalam pemotongan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan;
b) PPh Pasal 22, adalah SPT Masa yang digunakan oleh pemungut tertentu,
antara lain:
 Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah
dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran
atas penyerahan barang;
 Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan
dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
 Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong
sangat mewah.
c) SPT Masa PPh Pasal 23, adalah SPT Masa yang digunakan untuk
melaporkan pemotongan pajak atas penghasilan yang berasal dari modal,
penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong
PPh Pasal 21
d) SPT Masa PPh Pasal 26, adalah SPT Masa yang digunakan untuk
pemotongan PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber
dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri
selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia ,
e) SPT Masa PPN (1111, 1111DM, dan 1107) dan PPnBM, adalah SPT Masa
yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak, pengusaha tertentu, maupun
pemungut untuk melaporkan jumlah PPN yang terutang dalam suatu masa
pajak. SPT Masa PPN 1111 digunakan oleh PKP, 1111DM digunakan oleh
PKP tertentu, 1107 digunakan oleh pemungut, antara lain bendahara
pemerintah, BUMN, dan lain-lain.

b. SPT Tahunan, yaitu SPT yang digunakan untuk pelaporan tahunan, terdapat dua
jenis SPT Tahunan, yaitu SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi (1770SS,
1770S, dan 1770) dan SPT Tahunan Wajib Pajak Badan (1771).

Keterlambatan penyampaian SPT dapat dikenakan sanksi administrasi sebagaimana


terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, yaitu denda
sebesar:
1) Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai;
2) Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya;
3) Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Badan;
4) Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.

Untuk kepentingan penegakan hukum, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi
dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan
data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi
online wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat
kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan
Wajib Pajak badan.

Menggali Cara Pemenuhan Kewajiban Perpajaka


Setelah Anda mempertanyakan apakah kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak,
selanjutnya mari menggali lebih mendalam cara pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut.

Cara Pemenuhan Kewajiban Mendaftarkan Diri


Bagaimana cara memperoleh NPWP? Apakah susah dan mahal? Tidak, memperoleh
NPWP itu MUDAH dan GRATIS, tetapi tentunya Anda tetap harus memenuhi syarat yang
diperlukan.

Permohonan pendaftaran NPWP dapat Anda sampaikan dengan salah satu dari tiga cara
berikut:
1. mendaftarkan diri secara online dengan sistem Aplikasi e-Registration melalui laman
Direktorat Jenderal Pajak (http://www.pajak.go.id/);
2. mendaftarkan diri secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor
Penyuluhan, Pelayanan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP);
3. mengirimkan formulir pendaftaran dan melampirkan persyaratan administrasi melalui
pos tercatat atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir ke KPP atau KP2KP
yang sesuai dengan tempat tinggal atau kedudukan atau kegiatan usaha WP.

Bagi UMKM baik perseorangan maupun badan (PT, CV, BUMD, firma, kongsi, koperasi,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik) yang
memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak, wajib mendaftarkan sendiri ke KPP atau K2KP untuk
memperoleh NPWP. UMKM milik perseorangan yang wajib memiliki NPWP adalah yang
telah memenuhi persyaratan subjektif dan persyaratan objektif. Syarat subjektifnya adalah
orang pribadi, sedangkan syarat objektifnya adalah memiliki penghasilan yang akan
dikenakan pajak melebihi PTKP.

BAB 9

BAGAIMANA PAJAK DAN PENEGAKAN HUKUMNYA

1 Menelusuri Konsep Penegakan Hukum


Pelanggaran terjadi karena adanya niat dan kesempatan. Niat timbul dari kurang/tidak
adanya kesadaran pajak, sedang kesempatan timbul akibat penegakan dan perlindungan
hukum yang belum optimal. Penegakan hukum bagi yang Wajib Pajak melanggar dan
perlindungan hukum bagi Wajib Pihak yang telah patuh dan warga masyarakat yang
seharusnya menerima manfaat dari dana pajak.
Upaya penegakan hukum tidak selalu berbanding lurus dengan tujuannya, yakni agar
masyarakat mematuhi hukum. Butuh proses dan penyadaran kepada semua pihak bahwa
proses penegakan hukum itu harus dilaksanakan agar tercipta keteraturan di dalam
masyarakat, bangsa dan Negara. Apabila belum ada kesadaran perlunya penegakan
hukum, maka proses penegakan hukum yang dilakukan akan terkendala.
Untuk memahami konsep penegakan hukum khususnya hukum pajak, harus dijelaskan
terlebih dahulu mengenai konsep hukum dan penegakan hukum secara umum. Negara
Indonesia adalah negara hukum (rechstaat), terdapat beberapa pengertian atau definisi
hukum berikut ini :
a. menurut Aristoteles: “hukum adalah sesuatu yang berbeda daripada sekedar mengatur
dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi dan hukum berfungsi untuk mengatur
tingkahlaku para hakim dan putusannya di pengadilan untuk menjatuhkan hukuman
terhadap pelanggar”;
b. menurut Karl von Savigny: “hukum adalah aturan yang terbentuk melalui kebiasaan dan
perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum
berakar pada sejarah manusia, di mana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan,
dan kebiasaan warga masyarakat”;
c. menurut Hans Kelsen: “hukum adalah suatu perintah terhadap tingkah laku manusia.
Hukum adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi”;
Dari beberapa definisi, dapat dipahami : hukum merupakan pengekspresian tata laku yang
berfungsi mengatur; adanya sanksi; terdapat lembaga yang menegakkan hukum.
Berikut beberapa teori mengapa seseorang mematuhi hukum :
a. Teori Kedaulatan Tuhan, Teori ini mengemukakan bahwa hukum merupakan kehendak
atau perintah Tuhan sehingga manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya harus mematuhi
kehendak atau perintah tersebut.
b. Teori Kedaulatan Negara, Menurut teori ini, negara memegang kendali atas
masyarakatnya sehingga hukum yang dibuat negara akan dipatuhi masyarakat karena
masyarakat merasa memiliki kewajiban untuk mentaatinya.
c. Teori Kedaulatan Hukum, Teori ini didasarkan pada pendapat bahwa yang memiliki
kekuasaan tertinggi adalah hukum. Masyarakat merasa memiliki kewajiban untuk mematuhi
hukum.
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa: “... gangguan terhadap penegakan hukum mungkin
terjadi, apabila ada ketidakserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah dan pola perilaku.
Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang
berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang-siur, dan pola
perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian hidup.”
Jadi, sesungguhnya masalah penegakan hukum bukan hanya mengenai tidak patuhnya
masyarakat terhadap peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Namun, dapat saja
bermula dari nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat yang tidak sesuai, kemudian peraturan
yang ditetapkan pemerintah yang tidak mengakomodir nilai-nilai yang ideal dalam formula
yang tepat, dan setiap individu hidup dengan mengikuti keinginannya masing-masing tanpa
mengindahkan keharmonisan dengan individu lainnya (masyarakat).
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa ada lima faktor yang saling mempengaruhi dalam
masalah penegakan hukum, yakni : faktor hukumnya sendiri; faktor penegak hukum; faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung ketertiban hukum; faktor masyarakat; dan faktor
kebudayaan.
Hukum pajak merupakan bagian dari konsep hukum secara umum. Hukum pajak
didefinisikan sebagai keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang
pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada
masyarakat melalui kas Negara, sehingga hukum pajak tersebut merupakan hukum publik
yang mengatur hubungan Negara dan orang-orang atau badan-badan hukum yang
berkewajiban membayar pajak. Hukum pajak mengatur kontrak sosial antara negara dan
warganya. Dengan demikian, proses pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan dan
penegakan hukumnya harus berdasarkan hukum melalui peraturan perundang-undangan.
9.2 Menanya Alasan Mengapa Diperlukan Penegakan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto, “manusia adalah makhluk yang menginginkan hidup dalam
keteraturan”. Namun, perspektif keteraturan yang dimiliki oleh setiap individu berbeda. Oleh
karena itu, diperlukan suatu lembaga/organisasi yang dapat menyelaraskan keteraturan
yang dapat diterima oleh masyarakat, lembaga/organisasi tersebut adalah Negara. Apabila
rakyat tidak tunduk pada peraturan yang diberlakukan, maka negara dapat menjatuhkan
sanksi terhadap pelanggar tersebut. Sanksi yang dikenakan harus melalui proses peradilan
yang sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Ketika negara memaksakan
ditegakkannya suatu aturan yang sudah dibuat, maka suatu tahapan yang disebut
penegakan hukum dimulai.
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum adalah
“proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara
nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara”.
Dari pandangan Soerjono Soekanto dan Jimly Asshiddiqie diatas, dapat kita simpulkan
bahwa penegakan hukum diperlukan untuk penyelarasan keteraturan hidup. Penyelarasan
tersebut diformulasikan oleh negara ke dalam bentuk peraturan sehingga keteraturan hidup
yang diinginkan setiap individu dapat terwujud.
Sejalan dengan pemikiran di atas, setiap warga negara mengingikan adanya ketenteraman,
kenyamanan, dan kesejahteraan. Namun, kondisi sebaliknya akan terjadi apabila Warga
Negara diminta untuk membayar pajak. Masih banyak Warga negara, walaupun sudah
mengerti arti pentingnya pajak, berusaha mengindari kewajiban tersebut. Oleh karena itu,
agar proses pemungutan pajak berjalan lancar, maka diperlukan penegakan hukum pajak.
Dengan adanya penegakan hukum pajak, negara mengharapkan timbulnya kesadaran dan
kesukarelaan dari warga negara yang patuh, serta bagi warga negara yang tidak patuh,
mereka dikenakan sanksi sesuai dengan kadar ketidakpatuhannya. Penegakan hukum ini
akan lebih efektif apabila pengawasannya tidak hanya dilakukan oleh aparatur pemerintah
saja, tetapi juga pengawasan bersama dari masyarakat. Pengawasan bersama ini dapat
dilakukan dengan cara saling mengingatkan akan kewajiban perpajakan dari masing-
masing individu di masyarakat.
9.3 Menggali Informasi Tentang Penegakan Hukum
9.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Menurut Soekanto ada 5 (lima) faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yakni faktor
hukum (undang-undang), faktor penegak hukum, faktor sarana, faktor masyarakat, dan
faktor kebudayaan.
Sehubungan dengan faktor hukum (undang-undang), beliau mengidentifikasi 3 hal yang
dapat menyebabkan terjadinya gangguan penegakan hukum: undang-undang dibuat tanpa
mengindahkan asas-asas berlakunya undang-undang; undang-undang sudah dibuat tetapi
peraturan pelaksana yang dibutuhkan didalam teknis pelaksanaan belum dibuat; atau kata-
kata yang digunakan didalam undang-undang kurang jelas sehingga tidak dapat dipahami
dengan tepat.
Faktor kedua, yakni penegak hukum. Soekanto menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
penegak hukum adalah “mereka yang bertugas di bidang-bidang kehakiman, kejaksaan,
kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan”. Gangguan penegakan hukum yang
dapat terjadi sehubungan dengan faktor ini adalah ketika penegak hukum tidak dapat
melaksanakan tugasnya sebagaimana yang diatur didalam peraturan perundangundangan.
Faktor selanjutnya adalah sarana. Beberapa contoh sarana yang dimaksud adalah: “tenaga
manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup, dan seterusnya.”
Faktor selanjutnya adalah masyarakat. Masyarakat merupakan titik sentral penegakan
hukum. Soekanto menyatakan bahwa “Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan
bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat.” Apabila kita melihat fenomena
yang terjadi di dalam masyarakat di Indonesia, maka masyarakat kita memiliki
kecenderungan mematuhi hukum bukan dikarenakan ingin ikut serta didalam penegakan
hukum (motivasi dari diri sendiri), tetapi lebih dikarenakan adanya aparat penegak hukum
yang memaksakan dilaksanakannya suatu peraturan.
Faktor yang terakhir adalah faktor kebudayaan. Kebudayaan merupakan kebiasaan dan
nilai-nilai yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam suatu masyarakat.
Dari beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut, Soerjono Soekanto
menyatakan bahwa sesungguhnya yang paling vital adalah faktor penegak hukum. Menurut
beliau, hal ini dikarenakan “oleh karena undang-undang disusun oleh penegak hukum,
penerapannya dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegak hukum dianggap sebagai
golongan panutan hukum oleh masyarakat luas”.
Penegakan Hukum Pajak
Penegakan hukum pajak tidak serta merta dimulai dengan pengenaan sanksi administrasi.
Namun, pada tahap awal, proses penegakan hukum ini dimulai dari upaya untuk
mengingatkan warga negara yang telah memiliki kewajiban perpajakan (Wajib Pajak)
dengan penyampaian surat himbauan dan surat teguran. Kewajiban perpajakan dimulai dari
pendaftaran NPWP, penghitungan jumlah pajak yang terutang, pembayaran pajak, dan
pelaporan pajak melalui (SPT).
Upaya pertama (Level I) mengingatkan warga negara untuk segera mendaftarkan diri
sebagai Wajib Pajak. Apabila warga negara telah terdaftar sebagai Wajib Pajak, maka
tahap pengawasan berikutnya adalah pelaporan SPT (baik SPT Tahunan maupun SPT
Masa). Sebagaimana kewajiban mendaftarkan diri, apabila Wajib Pajak belum
menyampaikan SPT, khususnya SPT Tahunan, maka kantor pajak akan menyampaikan
Surat Teguran untuk segera menyampaikan SPT. Pada kedua tahapan di atas, kantor pajak
sebagai administator pengumpulan pajak belum mengenakan sanksi administrasi. Sanksi
administrasi baru akan dikenakan apabila Wajib Pajak tidak mengindahkan surat himbauan
dan surat teguran tersebut.
Apabila upaya pertama tersebut belum berhasil, maka kantor pajak akan meningkatkan
level tindakan yang dilakukan menjadi Level II. Pada level II ini, kantor pajak mulai
mengenakan Sanksi Administrasi akibat pelanggaran yang dilakukan Wajib Pajak. Apabila
warga negara yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan memiliki objek pajak tidak
bersedia mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak maka kantor pajak akan menerbitkan
NPWP secara jabatan disertai sanksi administrasi baik berupa denda, kenaikan, maupun
bunga, dengan terlebih dahulu dilakukan verifikasi oleh petugas pajak. Apabila telah
berstatus sebagai Wajib Pajak tetapi tidak bersedia melaporkan SPT, maka kantor pajak
akan mengenakan sanksi administrasi, baik berupa denda maupun bunga. Sarana untuk
mengenakan sanksi administrasi perpajakan adalah melalui Surat Tagihan Pajak (STP).
Upaya penegakan hukum Level III, yaitu Pemeriksaan. Pemeriksaan bertujuan untuk
menguji kepatuhan kewajiban perpajakan, baik dalam hal pendaftaran, pembayaran pajak,
maupun pelaporan pajak. Hasil akhir dari proses pemeriksaan ini adalah Laporan Hasil
Pemeriksaan Pajak yang menjadi dasar untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak. Surat
Ketetapan Pajak yang diterbitkan kantor pajak dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB) apabila masih terdapat kekurangan pembayaran pajak, Surat Ketetapan
Pajak Nihil (SKPN) apabila jumlah pajak terutang sama dengan nilai pembayaran pajaknya,
atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) apabila jumlah pajak terutang lebih kecil
daripada nilai pembayaran pajaknya.
Level tertinggi adalah Level IV dilakukan apabila Wajib Pajak melakukan pelanggaran tindak
pidana perpajakan. Penegakan hukum ini dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) bersifat pro-justitia dan mengikuti seluruh tahapan dari proses pemeriksaan bukti
permulaan, penyidikan, penuntutan dan apabila telah diputus hakim dan dinyatakan secara
sah dan meyakinkan bersalah, maka dilakukan proses pemidanaan.
Dari keseluruhan level penegakan hukum tersebut, tidak menjamin warga negara yang
menjadi Wajib Pajak mau membayar pajaknya. Apabila kondisi tersebut terjadi, maka
Negara dapat melakukan pemaksaan pembayaran pajak.
Proses pemaksaan Wajib Pajak membayar pajaknya dinamakan Penagihan Pajak.
Penagihan Pajak ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu penagihan pasif dan
penagihan aktif. Penagihan pasif dilakukan sebatas penerbitan STP untuk pengenaan
sanksi bunga. Sementara untuk proses penagihan aktif dilakukan dari penerbitan surat
teguran, surat paksa, surat sita dan diakhiri dengan proses lelang atas harta kekayaan
Wajib Pajak. Proses pemaksaan pembayaran pajak lebih terasa apabila Negara melakukan
penagihan aktif. Selain proses penagihan aktif normal (dari surat tegoran s.d. lelang),
Negara juga dapat melakukan pemblokiran rekening Wajib Pajak sampai dengan
Penyanderaan (gizjeling) (penempatan wajib pajak ditempat tertentu, biasanya Lembaga
Pemasayarakatan).
Sebagai negara hukum tentu keseluruhan proses penegakan hukum dan penagihan pajak
harus berdasarkan undang-undang. Undang-undang yang mengatur proses penegakan
hukum dan penagihan pajak adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan
UndangUndang Nomor 16 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Pajak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2000.
Sengketa Perpajakan
Tujuan dari hukum diantaranya adalah keadilan dan kepastian hukum. Upaya untuk
memperoleh keadilan dan kepastian hukum dapat dilakukan melalui admintrator
perpajakan, lembaga peradilan pajak, dan lembaga peradilan umum.
Administrator Perpajakan
Administrator pajak merupakan lembaga yang mengelola pengumpulan dan pengawasan
pajak, baik pajak pusat maupun pajak daerah. Upaya hukum yang dapat dilakukan melalui
administrator perpajakan adalah: pembetulan atas produk hukum lembaga administrator
perpajakan; penghapusan, pengurangan sanksi dan/atau pembatalan ketetapan pajak; dan
keberatan atas surat ketetapan pajak atau kesalahan pemotongan/pemungutan pajak.
Pembetulan dilakukan apabila administrator pajak salah tulis, salah hitung, dan salah
penafsiran ketentuan perpajakan yang tidak menimbulkan sengketa antara Wajib Pajak dan
administrator pajak. Penghapusan, pengurangan sanksi dan/atau pembatalan ketetapan
pajak dapat diajukan oleh Wajib Pajak atas surat tagihan pajak atau surat ketetapan pajak,
sedangkan keberatan hanya dapat diajukan atas suatu ketetapan pajak atau kesalahan
pemotongan/pemungutan pajak.
Lembaga Peradilan Pajak
Lembaga peradilan yang menangani sengketa pajak yang diajukan oleh Wajib Pajak atau
penganggung pajak adalah Pengadilan Pajak. Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan
Pajak adalah Mahkamah Agung. Kekuasaan Pengadilan Pajak adalah memutus Sengketa
Pajak berupa banding atas suatu Surat Keputusan Keberatan dan gugatan atas
pelaksanaan penagihan pajak, keputusan pembetulan Keputusan pembetulan atau
Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009. Apabila
Wajib Pajak tidak puas terhadap Putusan Pengadilan Pajak, maka Wajib Pajak dapat
mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Lembaga peradilan pajak tidak
mengenal istilah kasasi. Hal tersebut dikarenakan “Putusan Pengadilan Pajak merupakan
putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap” (inkracht van gewijsde).
Lembaga Peradilan Umum
Lembaga peradilan umum menangani sengketa yang diajukan oleh Wajib Pajak terkait
dengan penyanderaan (gijzeling) dan apabila Wajib Pajak didakwa melakukan tindak pidana
perpajakan.
Mendeskripsikan Esensi Penegakan Hukum Pajak
Esensi Penegakan Hukum Pajak
Tujuan hukum pajak sebagaimana disampaikan oleh Saidi (2007) berupa keadilan,
kemanfaatan, kepastian hukum, dan perlindungan hukum. Penegakan hukum atas pajak
menjadi salah satu cara untuk agar tujuan hukum pajak dapat terwujud. Sebagaimana telah
dijelaskan di atas bahwa tujuan dari penegakan hukum adalah “tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara”
(Jimly Assiddiqie,makalah). Demikian juga dengan tujuan hukum pajak, dengan adanya
penegakan hukum pajak, Wajib Pajak yang tidak bersedia melaksanakan kewajiban pajak
akan dipaksa untuk melaksanakan kewajiban tersebut ditambah dangan sanksi. Hal
tersebut akan mendorong peningkatan kepatuhan sukarela dari Wajib Pajak. Wajib Pajak
yang telah patuh akan termotivasi untuk tetap patuh, sedangkan untuk Wajib Pajak yang
tidak patuh akan terdorong untuk menjadi patuh atau paling tidak akan meminimalkan
ketidakpatuhannya. Apabila dirasa bahwa proses penegakan hukum tidak berjalan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, Wajib Pajak dapat melakukan upaya hukum, baik melalui
proses di pengadilan pajak maupun di peradilan umum. Hal tersebut akan menciptakan
kondisi yang lebih adil, serta memberi kepastian hukum dan perlindungan hukum. Dengan
kondisi yang lebih adil, serta memberi kepastian hukum dan perlindungan hukum, maka
diharapkan akan tercipta ketentraman dan kenyamanan di masyarakat.
Urgensi Penegakan Hukum Pajak
“Mengapa Pajak Diperlukan” manusia merupakan homo homini socius sekaligus homo
homini lupus. Apabila homo homini lupus yang lebih menonjol, maka dia akan memiliki
kecenderungan menjadi free rider dalam masyarakat. Dalam konteks pajak, Wajib Pajak
dengan karakter homo homini lupus memiliki kecenderungan untuk menikmati manfaat
pajak semaksimal mungkin, tetapi apabila diminta untuk membayar akan berusaha untuk
membayar seminimal mungkin, atau malah tidak bersedia membayar sama sekali.
Penegakan hukum pajak berperan untuk mengingatkan Wajib Pajak yang memiliki karakter
homo homini lupus lebih kuat agar tidak merusak tatanan sosial yang telah ada di
masyarakat. Dari sisi manusia sebagai makhluk ekonomi, penegakan hukum akan
menguatkan pemahaman bahwa selain maksimalisasi utilitas individu, setiap anggota
masyarakat juga berkewajiban memaksimalkan utilitas bersama untuk penyediaan barang
publik.
Sudah sepatutnya bahwa penegakan hukum, khususnya di bidang perpajakan, tidak
dimaknai hanya sebatas upaya Negara untuk memaksa warga negara dalam memenuhi
kewajibannya. Namun lebih dari itu, penegakan hukum juga berperan untuk mengingatkan
setiap warga negara bahwa mereka seharusnya memiliki kontribusi dalam upaya untuk
mencapai kesejahteraan bersama. Penegakan hukum bukan hanya berupa pengenaan
sanksi bagi mereka yang melanggar, tetapi juga sekaligus perlindungan hukum bagi Wajib
Pajak yang telah patuh, serta terlebih lagi adalah memastikan bahwa dana pajak dapat
terkumpul untuk penyediaan layanan umum yang bermafaat bagi kita semua.

Rangkuman
Negara memiliki kekuatan memaksa. Namun demikian, paksaan yang dilaksanakan oleh
negara tidak boleh berdasarkan kesewenang-wenangan. UUD Tahun 1945 menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga negara dalam melaksanakan
wewenangnya (yang dapat memaksakan sesuatu kepada warga negara) harus berdasarkan
hukum yang berlaku. Tujuan penegakan hukum sebagaimana tujuan hukum itu sendiri
adalah untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, kepastian dan perlindungan hukum. Faktor
terpenting dari terciptanya hukum yang berkeadilan adalah ada di penegak hukumnya,
sebab mereka yang menyusun dan menegakan hukum tersebut.
Sama halnya dengan penegakan hukum secara umum, penegakan hukum pajak juga
bertujuan untuk menciptkan keadilan, kemanfaatan, kepastian dan perlindungan hukum.
Negara dalam memungut pajak harus berdasarkan hukum dan proses penegakan hukum
pajak juga harus berlandaskan hukum. Proses penegakan hukum pajak tidak hanya
terfokus pada pengenaan saksi bagi yang melanggar, tetapi juga perlu upaya untuk
penyadaran mengapa mereka yang melanggar dikenai sanksi. Dengan adanya penegakan
hukum pajak, maka akan mendorong mereka yang melanggar untuk patuh dan memberi
keadilan bagi Wajib Pajak yang telah patuh. Untuk menjamin proses penegakan hukum
telah dilaksanakan secara berkeadilan, maka hukum pajak juga menyediakan institusi/pihak
yang bertugas untuk menyelesaian sengketa terkait dengan perpajakan, yaitu melalui
administrator perpajakan, lembaga peradilan pajak, dan lembaga peradilan umum.

BAB X
BAGAIMANA HUBUNGAN MEMBAYAR PAJAK DENGAN BELA NEGARA?

10.1 Menelusuri Konsep Hak dan Kewajiban WNI, Bela Negara dan Hankam
Setiap orang memiliki hak yang biasanya diperoleh setelah melaksanakan kewajibannya.
Hak setiap orang dibatasi oleh hak orang lain. Dalam konteks kehidupan bernegara, hak
warga negara dilindungi di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Bukan hanya
hak saja yang diatur dengan peraturan perundang-undangan, perihal kewajiban juga
demikian. Hal ini demi terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai dan
tentram. Di negara Republik Indonesia, hak dan kewajiban warga negara diatur di dalam
konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Salah satu kewajiban yang harus ditunaikan
oleh warga negara adalah membayar pajak.
Pajak merupakan kewajiban warga negara. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa
hak dan kewajiban di negara kita dicantumkan di dalam konstitusi dan peraturan
perundangundangan lainnya. Diantara hak dan kewajiban Warga Negara (WN) yang
tercantum di dalam konstitusi Negara Republik Indonesia tertera hak dan kewajiban untuk
ikut serta dalam upaya bela negara dan ikut serta dalam usaha mempertahankan
pertahanan dan keamanan negara. Berikut ini pemaparan mengenai kewajiban warga
negara dalam konsep bela negara.
10.1.1 Konsep Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia (WNI)
Siapa yang dimaksud warga negara sebagaimana dinyatakan di dalam konstitusi : “Yang
menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orangorang bangsa lain
yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.” Dapat disimpulkan bahwa
yang menjadi warga negara menurut konstitusi tidak hanya orang-orang asli Indonesia tapi
orang asing pun bisa menjadi warga negara asalkan sudah mendapatkan pengesahan
berdasarkan undang-undang (pewarganegaraan). Berikut beberapa contoh orang yang
dinyatakan sebagai WNI sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 :
a. setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau
berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain
sebelum UU ini berlaku, sudah menjadi WNI;
b. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu WNI;
c. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu
WNA;
d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan ibu
WNI;

Manusia biasanya sangat senang memikirkan, mendiskusikan, atau menuntut haknya. Gaji,
upah atau honor adalah contoh konkret dari apa yang disebut hak. Hak ini akan diterima
oleh seseorang setelah melaksanakan kewajibannya, yakni melakukan suatu pekerjaan.
Merupakan hal yang sangat menyenangkan ketika kita menerima hak, misalnya gaji. Di sisi
lain, hal yang biasanya dianggap kurang menyenangkan adalah ketika harus menunaikan
kewajiban. Dalam hukum ekonomi disebutkan bahwa ketika melakukan sesuatu, kita
usahakan melakukan pengorbanan seminimal mungkin untuk mendapatkan keuntungan
semaksimal mungkin. Namun, jika didudukkan kembali kepada hakikat hak dan kewajiban,
maka seharusnya hak dan kewajiban dilaksanakan secara seimbang.
Definisi hak dalam konteks hak dan kewajiban, berdasarkan definisi yang diberikan oleh
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI online) adalah: 1) Kewenangan; 2) Kekuasaan untuk
berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dan sebagainya); 3)
Kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu; dan 4) Wewenang
menurut hukum, sedangkan definisi kewajiban menurut KBBI online adalah: 1) (sesuatu)
yang diwajibkan; sesuatu yang harus dilaksanakan; keharusan; 2) Pekerjaan; tugas; dan 3)
Tugas menurut hukum.
Di dalam definisi hak dan kewajiban di atas, terdapat kata-kata “menurut hukum”. Oleh
karena itu, untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai hak dan kewajiban
diperlukan juga uraian definisi hak dan kewajiban menurut hukum. Hans Kelsen
menyatakan bahwa penekanan atas hak dan kewajiban menurut hukum dan moral berbeda.
Di dalam hukum, hak didahulukan dibandingkan kewajiban, sedangkan di dalam aspek
moral, kewajiban lebih ditekankan dibandingkan hak.
Definisi hak menurut Satjipto Rahardjo adalah “kekuasaan yang diberikan oleh hukum
kepada seseorang dengan maksud untuk melindungi kepentingan seseorang tersebut”.
Marwan Mas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kewajiban adalah : “Kewajiban
sesungguhnya merupakan beban yang diberikan oleh hukum kepada orang atau badan
hukum (subjek hukum), misalnya kewajiban seseorang atau badan hukum untuk membayar
pajak dan lahirnya karena ketentuan undang-undang.”
Berdasarkan yang tercantum di dalam konstitusi, hak dan kewajiban WNI dapat
diidentifikasi sebagai berikut :
1. Beberapa Hak dasar WNI :
a. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Menyatakan diri sebagai
penduduk dan warga negara Indonesia atau ingin menjadi warga negara
suatu negara.
b. Setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam bidang
pemerintahan. Bersama kedudukan di dalam hukum dan pemerintah.
c. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
d. Setiap orang berhak atas jaminan sosial, hidup sejahtera lahir dan batin,
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
e. Setiap orang berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.
f. Setiap orang berhak hidup dan mendapatkan perlindungan dari yang bersifat
diskriminatif. Memperoleh jaminan dan perlindungan dalam pelaksanaan
berbagai bidang hak asasi manusia.
g. Setiap orang berhak bebas memeluk agama dan beribadah menurut
agamanya. Jaminan memeluk salah satu agama dan pelaksanaan ajaran
agamanya masingmasing.

2. Beberapa Kewajiban Dasar WNI :


a. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dan keadilan.
b. Menghargai nilai-nilai persatuan, kemerdekaan dan kedaulatan bangsa.
c. Menjunjung tinggi dan setia kepada konstitusi negara dan dasar negara.
d. Setia membayar pajak untuk negara.
e. Wajib menjunjung tinggi hukum dam pemerintahan dengan tidak ada
kecualinya.
f. Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
g. Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.

10.1.2 Konsep Bela Negara


Bangsa Indonesia mengalami penjajahan fisik selama kurang lebih 350 tahun oleh bangsa
Belanda dan kurang lebih 3,5 tahun oleh bangsa Jepang. Ketika masa penjajahan tersebut,
para pahlawan melawan dengan menggunakan senjata. Sikap rela berkorban membela
tanah air dan bangsa menunjukkan kecintaan mereka terhadap negeri ini yang kelak
diwarisi oleh generasi penerusnya.
Di dalam konstitusi kita diatur bahwa setiap warga negara diberikan hak dan kewajiban
dalam upaya membela negara. Hal ini tercantum di dalam Pasal 27 Ayat (3) UUD Tahun
1945. Ketentuan mengenai bela negara ini diatur lebih lanjut di dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002).
Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 menyatakan bahwa “Setiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam
penyelenggaraan pertahanan negara.”
Pasal 9 ayat (1) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2002 : “Upaya bela negara adalah sikap
dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam
menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Upaya bela negara, selain sebagai
kewajiban dasar manusia, juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang
dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan rela berkorban dalam
pengabdian kepada negara dan bangsa.”
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa upaya bela negara dilakukan
agar negara Indonesia tetap berdiri kokoh. Penting untuk diingat bahwa upaya bela negara
selain merupakan kewajiban, juga merupakan hak bagi setiap warga negara. Bentuk-bentuk
bela negara yang dapat dilakukan oleh WNI dicantumkan di dalam Pasal 9 ayat (2)
UndangUndang Nomor 3 Tahun 2002 : “Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela
negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan melalui: pendidikan
kewarganegaraan; pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; pengabdian sebagai prajurit
Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan pengabdian sesuai
dengan profesi.”
Lebih lanjut mengenai keikutsertaan WNI di dalam upaya bela negara melalui pendidikan
kewarganegaraan adalah karena materi mengenai kesadaran bela negara sesungguhnya
sudah tercantum di dalam pendidikan kewarganegaraan.
Akhmad Zamroni mengemukakan bahwa warga negara dapat berpartisipasi dalam upaya
bela negara melalui :
1. bergabung menjadi: TNI dan Polri; Satpol PP; Polisi Kehutanan; anggota organisasi
pertahanan wilayah/rakyat terlatih; anggota pengamanan swakarsa; menjadi anggota
organisasi pemberi bantuan kemanusiaan; anggota organisasi pemberantasan korupsi dan
penyalahgunaan narkoba; anggota Resimen Mahasiswa; anggota kepanduan dan patroli
keamanan;
2. berpartisipasi secara umum. Misalnya sebagai pelajar, kita dapat berpartisipasi dengan
cara menjadi pelajar yang rajin dan tekun belajar, mengamalkan nilai-nilai Pancasila, dan
menjaga perilaku yang sesuai dengan norma-norma bangsa.
10.1.3 Konsep Ketahanan Nasional
Ketahanan nasional merupakan perwujudan geostrategi. “Geostrategi diartikan sebagai
metode atau aturan-aturan untuk mewujudkan citacita dan tujuan melalui proses
pembangunan yang memberikan arahan tentang bagaimana membuat strategi
pembangunan dan keputusan yang terukur dan terimajinasi guna mewujudkan masa depan
yang lebih baik, lebih aman, dan bermartabat.”
Geostrategi merupakan strategi suatu bangsa dalam mempertahankan keutuhan bangsa
dan negara berdasarkan pertimbangan keadaan negaranya secara geografis. Bangsa lain
ada yang menggunakan geostrategi untuk kepentingan militernya. Namun, negara kita
berbeda karena negara Indonesia mengembangkan geostrateginya untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Negara kita memformulasikan geostrategi nasional ke dalam konsep yang dinamakan
ketahanan nasional. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Soekarno pada
tahun 1960-an. Berikut yang dimaksud dengan ketahanan nasional menurut Sutarman :
“Kondisi yang dinamis yang merupakan integrasi dan kondisi tiap aspek kehidupan bangsa
dan negara yang berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional, di dalam menghadapi dan mengatasi segala
ancaman, baik dari dalam maupun dari luar negeri yang langsung maupun tidaklangsung
membahayakan identitas, keutuhan, kelangsungan hidup bangsa dan negara, serta dalam
mencapai tujuan nasionalnya.”
Di dalam Pasal 30 ayat (1) UUD Tahun 1945 dinyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.” Sistem yang
digunakan di dalam usaha pertahanan dan keamanan negara kita adalah sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Pasal 30 ayat (2) UUD Tahun 1945). TNI dan
Polri merupakan kekuatan utamanya dan rakyat merupakan kekuatan pendukung.
Ketentuan mengenai pertahanan dan keamanan negara diatur juga di dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Di dalam undang-undang
tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Pertahanan negara adalah: “Pertahanan
negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan
gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.”
Pertahanan negara adalah suatu usaha untuk mempertahankan kondisi bangsa agar tetap
utuh. Selain itu, warga negara dapat hidup dengan aman, adil, dan sejahtera. Kondisi yang
demikian disebut sebagai ketahanan nasional. Mengenai hubungan antara ketahanan
nasional dengan bela Negara, dijabarkan oleh Sutarman sebagai berikut : “Ketahanan
Nasional pada hakekatnya adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk dapat
menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan bangsa dan negara. Dengan demikian
lahirnya konsepsi Ketahanan Nasional tersebut, maka konsekuensinya adalah bahwa bela
negara itu identik dengan Ketahanan Nasional, maka bentuk bela negara harus diwujudkan
dalam segenap aspek kehidupan nasional bangsa Indonesia yang mencakup di bidang
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan.”
10.2 Menanya Alasan Mengapa Membayar Pajak Termasuk Bela Negara?
Atlet-atlet Indonesia berlaga di dalam ajang kompetisi nasional maupun internasional. Atlet
yang memenangkan berbagai kompetisi di tingkat nasional biasanya akan dikirim untuk
berlaga ditingkat internasional. Hal yang mengharukan dan membanggakan adalah ketika
Bendera Merah Putih dikibarkan diiringi lagu Indonesia Raya pada saat atlet Indonesia
memenangkan pertandingan internasional. Rasa nasionalisme kita menjadi bangkit kembali.
Untuk dapat memiliki atlet-atlet yang profesional dan handal tentunya diperlukan pembinaan
yang memerlukan pembiayaan. Demikian juga pengiriman para atlet ke luar negeri atau
penyelenggaraan berbagai ajang olahraga di dalam negeri, yang tentunya membutuhkan
pembiayaan. Dana yang digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan tersebut berasal
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang salah satu sumber utama
pendanaannya berasal dari pajak.
Sebagaimana telah dipaparkan di dalam bagian Konsep Bela Negara, dijelaskan bahwa
bela negara adalah suatu usaha yang dilakukan oleh WNI yang salah satu caranya dapat
dilakukan melalui profesi masing-masing. Contoh di atas, yaitu atlet melakukan usaha bela
negara melalui profesi mereka. Walaupun bukan atlet, sebagai warga negara yang cinta
tanah air, kita tetap dapat melaksanakan hak dan kewajiban bela negara, yaitu dengan cara
membayar pajak. Melalui pajak yang kita bayarkan tersebut, kita dapat mendukung
pelaksanaan upaya bela negara yang dilakukan oleh para atlet Indonesia tersebut dalam
bentuk pendanaan secara tidak langsung.
10.3 Menggali Informasi Tentang Ketahanan Nasional dan Pajak
Ketahanan nasional adalah suatu keadaan negara dimana negara dapat mempertahankan
kesatuan wilayah dan bangsanya dalam keadaan damai dan sejahtera dengan segala
dinamika yang dihadapi. Dinamika tersebut dapat berupa Ancaman, Gangguan, Hambatan
dan Tantangan (AGHT). AGHT dapat datang dari luar atau dari dalam negeri. Sejak negara
kita berdiri sudah banyak AGHT yang dihadapi. Beberapa di antaranya adalah lepasnya
Timor Timur (yang kemudian menjadi negara) dan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan (yang
menjadi milik Malaysia). Beberapa kendala yang dihadapi dalam mempertahankan Timor
Timur (yang dulunya merupakan salah satu provinsi negara kita) dan juga kedua pulau
tersebut adalah karena kurangnya perhatian pemerintah baik secara kesejahteraan ataupun
melakukan penjagaan atas pertahanan dan keamanan.
Dengan kondisi wilayah kepulauan, pemerintah kita menghadapi tantangan yang tidak
mudah di dalam melaksanakan pembangunan yang merata demi mensejahterakan semua
rakyatnya. Untuk melakukan pembangunan tentu dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Dana
tersebut bisa didapatkan dari penerimaan negara yang berasal dari 3 jenis penerimaan,
yakni: penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak dan pendapatan hibah.
Namun, dari ketiga jenis penerimaan tersebut ternyata dana yang terkumpul masih kurang
(defisit) dibandingkan jumlah yang diperlukan. Maka diperlukan pembiayaan yang berasal
dari dalam negeri (perbankan dan non perbankan) dan pembiayaan luar negeri (penarikan
pinjaman luar negeri, penerusan pinjaman dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri)
(Nota Keuangan).
Dengan melihat besarnya jumlah dana yang diperlukan untuk menyelenggarakan
pemerintahan demi menjaga ketahanan nasional dan jenis-jenis pendapatan negara, paling
tidak ada satu jenis pendapatan negara yang dapat kita bantu, yakni melalui pajak.
Sehubungan dengan pajak, di dalam pokok-pokok kebijakan pendapatan negara terdapat
tiga poin yang berkaitan dengan pajak, yakni (Nota Keuangan RI): “(1) kebijakan perpajakan
diarahkan untuk optimalisasi penerimaan perpajakan tanpa mengganggu iklim investasi
dunia usaha; (2) kebijakan perpajakan yang diarahkan untuk menjaga stabilitas ekonomi
nasional dengan tetap mempertahankan daya beli masyarakat, meningkatkan daya saing
dan nilai tambah industri nasional; dan (3) kebijakan perpajakan yang diarahkan untuk
mengendalikan konsumsi barang kena cukai.”
Untuk mewujudkan visi pembangunan nasional tahun 2015-2019, yaitu “Terwujudnya
Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-Royong”
sebagaimana yang tertuang di dalam RPJMN, pemerintah menetapkan 7 (tujuh) kebijakan :
“(1) mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang
kemandirian ekonomi dengan menggunakan sumber daya maritim, dan mencerminkan
kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan; (2) mewujudkan masyarakat maju,
berkeseimbangan, dan demokratis berlandaskan negara hukum; (3) mewujudkan politik luar
negeri bebas aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim; (4) mewujudkan
kualitas manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera; (5) mewujudkan bangsa yang
berdaya saing; (6) mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat,
dan berbasiskan kepentingan nasional; dan (7) mewujudkan masyarakat yang
berkepribadian dalam berkebudayaan.”
Dalam usaha mempertahankan kedaulatan negara, TNI dan Polri merupakan kekuatan
utama dan rakyat merupakan kekuatan pendukungnya. Di dalam upaya menjalankan tugas
tersebut, tentunya diperlukan peralatan, perlengkapan, dan anggota TNI dan Polri yang
handal. Di dalam Pasal 25 ayat (1) undangundang pertahanan negara dinyatakan bahwa
pertahanan negara mendapatkan alokasi dana yang dimasukkan di dalam APBN. Dalam
mewujudkan ketahanan nasional, tidak hanya diperlukan langkah pertahanan saja, tetapi
juga hal-hal lain demi mewujudkan kesejahteraan. Semua jenis belanja pemerintah pusat
adalah biaya yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan nasional. Untuk pemerataan
pembangunan di seluruh wilayah RI, terdapat juga alokasi dana yang ditransfer oleh
pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Sebagai warga negara, tentu kita mendambakan negara yang aman, tenteram, damai, dan
sejahtera. Keadaan yang demikian dapat terwujud apabila pemerintah dapat menjalankan
fungsinya dengan baik sebagai penyelenggara negara. Namun, sesungguhnya tanggung
jawab untuk mempertahankan negara tidak hanya terletak di tangan pemerintah saja, tetapi
juga berada di tangan kita semua. Sebagaimana tercantum di dalam bagian menimbang
huruf c undang-undang pertahanan negara dinyatakan bahwa “dalam penyelenggaraan
pertahanan negara setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk ikut serta
dalam upaya pembelaan negara sebagai pencerminan kehidupan kebangsaan yang
menjamin hak-hak warga negara untuk hidup setara, adil, aman, damai, dan sejahtera”.
10.4 Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Bela Negara Dengan Membayar Pajak
10.4.1 Esensi Bela Negara dengan Membayar Pajak
Bela negara dapat dibedakan menjadi dua, yakni bela negara secara fisik dan bela negara
non fisik. Bela negara secara fisik adalah usaha mempertahankan eksistensi negara melalui
perjuangan secara fisik. Di dalam peraturan perundang-undangan, bela negara secara fisik
dalam usaha pertahanan negara dilakukan oleh TNI dan Polri (sebagai kekuatan utama)
dan rakyat (sebagai kekuatan cadangan). Dalam keadaan negara yang cenderung stabil,
maka rakyat Indonesia tidak terlalu diperlukan untuk ikut serta bela negara secara fisik.
Bentuk bela negara yang sangat diperlukan adalah upaya bela negara dalam bentuk non
fisik. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa sebuah negara layaknya rumah tangga
juga memerlukan pembiayaan dalam operasionalnya. Negara dibiayai dari tiga jenis
pendapatan negara dan juga pembiayaan (dalam dan luar negeri). Jadi, apabila kita taat
membayar pajak, maka artinya kita sudah ikut serta dalam upaya bela negara secara non
fisik.
10.4.2 Urgensi Bela Negara dengan Membayar Pajak
Membayar pajak merupakan bela negara secara non fisik karena dengan membayar pajak
berarti kita telah ikut serta menjamin kelangsungan negara. Hal ini berkaitan dengan fungsi
budgetair pajak dimana pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran negara seperti
membangun infrastruktur dan lain-lain. Sampai saat ini, negara kita masih memerlukan
pinjaman dana baik dari dalam maupun dari luar negeri, hal ini dikarenakan jumlah
pendapatan negara masih kurang untuk membiayai pengeluaran. Saat ini, penerimaan
negara dari sektor pajak memberikan kontribusi sekitar 74,6%. Namun, belum semua
penanggung pajak membayar kewajibannya kepada negara, sebagaimana dinyatakan
sebagai berikut : “Sebagai informasi, berdasarkan data pada tahun 2014, jumlah penduduk
Indonesia yang memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) ada
sebanyak 44,8 juta orang. Namun demikian, baru 26,8 juta orang diantaranya yang telah
terdaftar sebagai Wajib Pajak. Dari jumlah tersebut, hanya 10,8 juta Wajib Pajak yang
menyampaikan SPT. Hal serupa juga terjadi dengan Wajib Pajak Badan. Dari 1,2 juta
perusahaan yang terdaftar sebagai Wajib Pajak Badan, hanya sekitar 45,8 persen atau 550
ribu perusahaan yang menyampaikan SPT.”
Dari pernyataan di atas, masih ada peluang untuk menambah pendapatan negara melalui
pajak. Hal ini merupakan salah satu latar belakang dicanangkannya Tahun Pembinaan
Wajib Pajak Tahun 2015. Diharapkan, semakin tingginya jumlah penanggung pajak yang
membayar pajak, maka negara kita dapat membiayai pembangunan secara mandiri.

10.5 Rangkuman
Bela negara adalah hak dan kewajiban setiap WNI. Bentuk bela negara dapat dibedakan
menjadi dua yakni bela negara secara fisik dan bela negara secara non fisik. Sesungguhnya
bela negara merupakan suatu upaya untuk mempertahankan eksistensi negara. Negara kita
memiliki strategi dalam mempertahankan eksistensi negara melalui konsep yang dinamakan
ketahanan nasional. Dengan dinamika negara kita yang sejak berdiri sudah melalui
berbagai macam ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan maka bela negara adalah
suatu keharusan.
Negara kita terus melaksanakan pembangunan. Pembangunan yang dilaksanakan
merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Untuk
melaksanakan pembangunan diperlukan biaya yang besar. Salah satu faktor yang
menentukan ketahanan suatu negara adalah faktor finansialnya. Pendapatan negara salah
satunya berasal dari pajak. Sehingga merupakan hal yang penting membayar pajak sebagai
salah satu upaya bela negara demi mempertahankan keutuhan bangsa dan negara.

BAB XI
MENGAPA MASYARAKAT PERLU TERLIBAT DALAM AMNESTI PAJAK?

11.1 Menelusuri Konsep Amnesti Pajak


11.1.1 Latar Belakang Amnesti Pajak
Pertumbuhan ekonomi nasional dalam beberapa tahun terakhir cenderung mengalami
perlambatan yang berdampak pada turunnya penerimaan pajak dan juga telah mengurangi
ketersediaan likuiditas dalam negeri yang sangat diperlukan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Di sisi lain, banyak Harta warga negara Indonesia yang
ditempatkan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), baik dalam
bentuk likuid maupun nonlikuid, yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menambah
likuiditas dalam negeri yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Terapat
permasalahan bahwa sebagian dari Harta yang berada di luar wilayah NKRI tersebut belum
dilaporkan oleh pemilik Harta dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
(SPT Tahunan PPh) sehingga terdapat konsekuensi perpajakan yang mungkin timbul
apabila dilakukan pembandingan dengan Harta yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan
PPh yang bersangkutan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan para
pemilik Harta tersebut merasa ragu untuk membawa kembali atau mengalihkan Harta
mereka dan untuk menginvestasikannya dalam kegiatan ekonomi di Indonesia.
Selain itu, keberhasilan pembangunan nasional sangat didukung oleh pembiayaan yang
berasal dari masyarakat, yaitu penerimaan pembayaran pajak. Agar peran serta ini dapat
terdistribusikan dengan merata tanpa ada pembeda, perlu diciptakan sistem perpajakan
yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum. Untuk itu, perlu diterapkan langkah khusus
dan terobosan kebijakan untuk mendorong pengalihan Harta ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sekaligus memberikan jaminan keamanan bagi warga negara
Indonesia yang ingin mengalihkan dan mengungkapkan Harta yang dimilikinya dalam
bentuk Pengampunan Pajak (Amnesti Pajak).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, amnesti
pajak merupakan program pengampunan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Wajib
Pajak meliputi penghapusan pajak yang seharusnya terutang, penghapusan sanksi
administrasi perpajakan, serta penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan atas harta
yang diperoleh pada tahun 2015 dan sebelumnya yang belum dilaporkan dalam SPT,
dengan cara melunasi seluruh tunggakan pajak yang dimiliki dan membayar uang tebusan.
Terobosan kebijakan berupa Amnesti Pajak atas pengalihan Harta ini juga didorong oleh
semakin kecilnya kemungkinan untuk menyembunyikan kekayaan di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia karena semakin transparannya sektor keuangan global dan
meningkatnya intensitas pertukaran informasi antarnegara. Kebijakan Amnesti Pajak
dilakukan dalam bentuk pelepasan hak negara untuk menagih pajak yang seharusnya
terutang. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika Wajib Pajak diwajibkan untuk membayar
Uang Tebusan atas Pengampunan Pajak yang diperolehnya apabila ingin memperoleh
pengampunan. Dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini, penerimaan Uang Tebusan
diperlakukan sebagai penerimaan Pajak Penghasilan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
Pengampunan pajak dapat menjembatani agar Harta yang diperoleh dari aktivitas yang
tidak dilaporkan dapat diungkapkan secara sukarela sehingga data dan informasi atas Harta
tersebut masuk ke dalam sistem administrasi perpajakan dan dapat dimanfaatkan untuk
pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan di masa yang akan datang.
Dengan berpegang teguh pada prinsip atau asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan,
dan kepentingan nasional, tujuan Amnesti Pajak antara lain:
a. mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan Harta,
yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik,
perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi;
b. mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan
serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan
terintegrasi; dan
c. meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk
pembiayaan pembangunan.

11.1.2 Siapa yang Berhak Memanfaatkan Amnesti Pajak?


Amnesti pajak merupakan hak yang dapat dimanfaatkan oleh setiap Wajib Pajak yang
mempunyai kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh, baik Wajib Pajak Orang Pribadi,
Wajib Pajak Badan, Wajib Pajak UMKM, serta Orang Pribadi atau Badan yang belum
menjadi Wajib Pajak. Namun, terdapat Wajib Pajak yang tidak berhak untuk memanfaatkan
program amnesti pajak, antara lain:
a. Wajib Pajak yang sedang dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah
dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
b. Wajib Pajak yang sedang dalam proses peradilan atas Tindak Pidana di Bidang
Perpajakan
c. Wajib Pajak yang sedang menjalani hukuman pidana atas Tindak Pidana di Bidang
Perpajakan

Selain itu, terdapat dua kategori wajib pajak yang tidak wajib mengikuti amnesti pajak.
Pertama, masyarakat berpenghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang
saat ini sebesar Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta sebulan. Yang termasuk dalam
kelompok ini antara lain masyarakat berpenghasilan rendah, seperti buruh, pembantu
rumah tangga, nelayan, dan petani. Lalu, pensiunan yang hanya memiliki penghasilan
semata-mata dari uang pensiun. Kategori ini juga termasuk subjek pajak warisan belum
terbagi yang berpenghasilan di bawah PTKP pada tahun pajak terakhir. Selain itu, penerima
harta warisan namun tidak memiliki penghasilan atau memiliki penghasilan di bawah PTKP
juga tidak diwajibkan. Kedua, Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di luar negeri
lebih dari 183 hari dalam setahun dan tidak mendapatkan penghasilan dari Indonesia juga
tidak diwajibkan mengikuti program ini. Jika masyarakat berpenghasilan rendah dan WNI di
luar negeri tersebut tidak menggunakan haknya untuk mengikuti pengampunan pajak,
ketentuan Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan
Pajak, tidak diterapkan. Artinya, wajib pajak ini terhindar dari kemungkinan harta yang tak
dilaporkan ditemukan datanya oleh Dirjen Pajak dan diperlakukan sebagai penghasilan
tambahan, sehingga harus membayar pajak dan sanksi denda.
11.1.3 Apa saja yang Menjadi Objek Amnesti Pajak?
Amnesti Pajak diberikan kepada Wajib Pajak melalui pengungkapan Harta yang dimilikinya
dalam Surat Pernyataan. Surat Pernyataan adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak
untuk melaporkan Harta, Utang, nilai Harta Bersih, penghitungan dan pembayaran Uang
Tebusan. Nilai Harta yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan meliputi:
a. nilai Harta yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Terakhir; dan
b. nilai Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam
SPT Tahunan PPh Terakhir.

Dikecualikan dari objek amnesti pajak adalah harta warisan dan/atau harta hibahan yang
diterima keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat yang belum atau belum
seluruhnya dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh yang:
a. diterima oleh ahli waris dan/atau penerima hibah yang tidak memiliki
penghasilan atau memiliki penghasilan di bawah PTKP; atau
b. atas harta warisan dan/atau harta hibahan tersebut sudah dilaporkan dalam
SPT Tahunan PPh pewaris/pemberi hibah, serta

11.1.4 Periode Program dan Tarif Uang Tebusan


Amnesti Pajak berlaku sejak 1 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017, dan terbagi kedalam 3 (tiga)
periode, yaitu:
1. Periode I: Dari tanggal 1 Juli 2016 s.d 30 September 2016
2. Periode II: Dari tanggal 1 Oktober 2016 s.d 31 Desember 2016
3. Periode III: Dari tanggal 1 Januari 2017 s.d 31 Maret 2017

Tarif uang tebusan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak dalam rangka memanfaatkan
program amnesti pajak diatur dengan ketentuan:
1. Tarif uang tebusan atas harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) atau harta yang berada di luar wilayah NKRI yang
dialihkan ke dalam wilayah NKRI dan diinvestasikan di dalam wilayah NKRI dalam
jangka waktu paling singkat 3 tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar:
a. 2% untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai
dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
b. 3% untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung
sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016
dan
c. 5% untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari
sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.

2. Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah sebesar:
a. 4% untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai
dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
b. 6% untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung
sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016
dan
c. 10% untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari
sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.

3. Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan
Rp4,8 milyar pada Tahun Pajak Terakhir adalah sebesar:
a. 0,5% bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan Rp10
milyar dalam Surat Pernyataan atau
b. 2% bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp10 milyar dalam
Surat Pernyataan.

11.1.5 Dimana Tempat Penyampaian Surat Pernyataan?


Wajib Pajak dapat mengajukan surat pernyataan untuk mengikuti amnesti Ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat lain yang ditentukan oleh
Menteri dengan membawa Surat Pernyataan, antara lain:
1. Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak
2. Kantor Wilayah di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
3. Kantor Pusat Bank Mandiri, Corporate Lounge Lobby Utara, Gedung Plaza Mandiri,
Jalan Jenderal Gatot Subroto Kavling 36-38, Jakarta
4. Kantor Cabang Khusus Bank Rakyat Indonesia (BRI), Sentra Layanan Prioritas,
Jalan Jenderal Sudirman Kavling 44-46, Jakarta
5. Kantor Cabang Bank Negara Indonesia (BNI) Jakarta Pusat, Jalan Jenderal
Sudirman Kavling 1, Jakarta
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat lain yang ditentukan oleh
Menteri juga tempat awal yang harus dituju untuk meminta penjelasan mengenai pengisian
dan pemenuhan kelengkapan dokumen yang harus dilampirkan dalam Surat Pernyataan.
11.1.6 Apa saja Fasilitas Perpajakan bagi Wajib Pajak yang Memanfaatkan Amnesti Pajak?
Fasilitas Amnesti Pajak yang akan didapat oleh Wajib Pajak yang mengikuti program
Amnesti Pajak, antara lain:
a. penghapusan pajak yang seharusnya terutang (PPh dan PPN dan/atau PPn
BM), sanksi administrasi, dan sanksi pidana, yang belum diterbitkan
ketetapan pajaknya;
b. penghapusan sanksi administrasi atas ketetapan pajak yang telah
diterbitkan;
c. tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan
penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan;
d. penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan
penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dalam hal Wajib Pajak
sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan
penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; dan
e. Penghapusan PPh Final atas pengalihan Harta berupa tanah dan/atau
bangunan serta saham

11.1.7 Apa saja Persyaratan untuk Mengikuti Amnesti pajak?


WP yang menyampaikan Surat Pernyataan harus memenuhi persyaratan :
a. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
b. membayar Uang Tebusan
c. melunasi seluruh Tunggakan Pajak
d. melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya
dikembalikan bagi WP yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan
dan/ atau penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
e. menyampaikan SPT Pajak Penghasilan (PPh) Terakhir bagi WP yang telah
memiliki kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan
PPh dan
f. dalam hal WP sedang mengajukan permohonan dan/atau pengajuan dan
belum diterbitkan surat keputusan atau putusan, WP mencabut permohonan
dan/ atau pengajuan :
i. pengembalian kelebihan pembayaran pajak
ii. pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dalam surat
ketetapan pajak (SKP) dan/ atau Surat Tagihan Pajak (STP)
iii. pengurangan atau pembatalan SKP yang tidak benar 4) pengurangan
atau pembatalan STP yang tidak benar
iv. keberatan
v. pembetulan atas STP, SKP dan/ atau surat keputusan
vi. banding
vii. gugatan dan/ atau
viii. peninjauan kembali

11.1.8 Apa Konsekuensi Bagi yang Mengikuti dan Tidak Mengikuti Amnesti Pajak?
Sebagai wajib pajak yang baik, masyarakat harus mengenali risiko dan konsekuensi yang
didapatkan jika memutuskan ikut atau tidak ikut dalam program ini. Jika wajib pajak memilih
ikut amnesti pajak namun tidak jujur, maka harus berhati-hati. Pasalnya, harta yang tidak
diungkap saat ikut program ini dan ditemukan oleh kantor pajak sampai dengan 1 Juli 2019,
akan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai pajak sesuai ketentuan dan
sanksi 200 persen dari pajak yang terutang.
Sementara di sisi lain, jika wajib pajak memilih tidak ikut amnesti pajak dan terdapat harta
yang diperoleh sejak 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum
dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh, dianggap tambahan penghasilan dan dikenai pajak
dan sanksi sesuai Undang-Undang (UU) yang berlaku, kecuali bagi Wajib Pajak yang
memang diperbolehkan untuk tidak ikut program amnesti pajak.
Wajib Pajak yang memilih tidak ikut amnesti pajak harus segera menyampaikan pembetulan
SPT sebelum 31 Maret 2017. Jadi ,semua pilihan mempunyai risiko dan konsekuensi,
termasuk jika mengacu ke UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Dengan
demikian, wajib pajak yang memilih ikut maupun tidak ikut program amnesti pajak dituntut
untuk jujur. Jika tidak, maka akan dikenai sanksi yang memberatkan. UU Pengampunan
Pajak justru dimaksudkan menjadi sarana rekonsiliasi antara pemerintah dan masyarakat
wajib pajak. Perpajakan memiliki sifat gotong royong yang hanya bisa terwujud jika ada
saling percaya. Melalui amnesti pajak justru pemerintah merelakan kewenangannya
melakukan penegakan hukum yang keras dan memberi kesempatan bagi semua warga
negaranya untuk berpartisipasi.
11.2 Menanya Alasan Mengapa Masyarakat Mengikuti Program Amnesti Pajak
Kebijakan Amnesti Pajak adalah terobosan kebijakan yang didorong oleh semakin kecilnya
kemungkinan untuk menyembunyikan kekayaan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia karena semakin transparannya sektor keuangan global dan meningkatnya
intensitas pertukaran informasi antarnegara. Kebijakan Amnesti Pajak juga tidak akan
diberikan secara berkala. Setidaknya, hingga beberapa puluh tahun ke depan, kebijakan
Amnesti Pajak tidak akan diberikan lagi. Ikut serta dalam Amnesti Pajak juga membantu
Pemerintah mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan
Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik,
perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi; merupakan
bagian dari reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta
perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi; dan
meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan
pembangunan.
Kebijakan Amnesti Pajak, dalam penjelasan umum Undang-Undang Pengampunan Pajak,
hendak diikuti dengan kebijakan lain seperti penegakan hukum yang lebih tegas dan
penyempurnaan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan, Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta kebijakan strategis
lain di bidang perpajakan dan perbankan sehingga membuat ketidakpatuhan Wajib Pajak
akan tergerus di kemudian hari melalui basis data kuat yang dihasilkan oleh pelaksanaan
UndangUndang ini.
11.3 Menggali Sumber Historis Pelaksanaan Program Amnesti Pajak
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang pernah melaksanakan pengampunan
pajak. Sejak Tahun 1964 sampai dengan Tahun 2008, tercatat Indonesia telah melakukan 4
(empat) kali pengampunan pajak, yaitu pada Tahun 1964, Tahun 1984, Tahun 2008, dan
Tahun 2015.
11.3.1 Pengampunan Pajak Tahun 1964
Pengampunan pajak yang pertama kali diadakan di Indonesia diberlakukan di masa
pemerintahan Presiden Soekarno. Penetapan kebijakan ini dilakukan dengan penerbitan
Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1964 tentang Peraturan
Pengampunan Pajak. Pemerintah memiliki beberapa alasan yang kuat untuk mengeluarkan
peraturan pengampunan pajak, yaitu :
a. Keadaan ekonomi pada saat itu tidak begitu baik dimana inflasi berkembang
dari tahun ke tahun. Hal tersebut mudah untuk dijadikan alasan bagi para
Wajib Pajak untuk menghindarkan sebagian besar laba, pendapatan dan
kekayaan-nya dari peraturanperaturan pajak atas laba, pendapatan dan
kekayaan yang saat itu berlaku;
b. Sistem pembukuan yang lengkap dan benar pada saat itu tidak mudah untuk
dilaksanakan. Indonesia menganut sistem laba fiskal, yang meliputi pula laba
inflasi. Hal tersebut memberikan dorongan bagi Wajib Pajak untuk melanggar
peraturan pajak;
c. Tarif Pajak Pendapatan pada saat itu merupakan tarif progresif yang
dianggap sangat berat atau tinggi oleh Wajib Pajak. Hal tersebut dianggap
oleh masyarakat sebagai hukuman berat. Pendapatan yang diperoleh
sebagai hasil kerja keras Wajib Pajak tidak terlalu bisa dirasakan manfaatnya
karena faktor inflasi. Selain itu, terdapat proporsi tertentu dari pendapatan
yang harus diserahkan kepada negara dalam bentuk Pajak Pendapatan. Hal
ini dapat memotivasi Wajib Pajak untuk mengelak dari kewajiban
perpajakannya;
d. Negara Kesatuan Republik Indonesia pada saat itu memerlukan dana yang
besar untuk membiayai ’Revolusi Nasional Indonesia’, pelaksanaan Dwikora,
dan melanjutkan Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang menjadi
salah satu konsep dalam pemerintahan Soekarno.

Kebijakan pengampunan pajak digunakan oleh pemerintah pada Tahun 1964 untuk menarik
dana dari masyarakat yang potensial tetapi belum dikenai pajak. Pada saat yang sama
dengan ditetapkannya pengampunan pajak, dikeluarkan paket kebijaksanaan ekonomi dan
keuangan atau fiskal di bawah kendali Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE).
Bentuk pengampunan pajak pada Tahun 1964 adalah pengampunan pajak tipe
investigation amnesty. Investigation amnesty menurut Sawyer adalah Pengampunan yang
menjanjikan tidak akan menyelidiki sumber penghasilan yang dilaporkan pada tahun-tahun
tertentu dan terdapat sejumlah ”uang pengampunan” (amnesty fee) yang harus dibayar.
Sesuai dengan konsep tersebut, pengampunan pajak tahun 1964 mewajibkan subjek
pengampunan untuk membayar uang tebusan sejumlah 10% dan atau 5% (tarif reduksi).
Pertanyaan, penyelidikan, dan pemeriksaan tentang asal-usul kekayaan yang dilaporkan
tidak dilakukan. Pengampunan Pajak Tahun 1964 dikatakan oleh banyak pihak tidak sesuai
dengan target dan harapan pemerintah. Jumlah dana yang dihasilkan tidak cukup dan
program pengampunan pajak dirancang tanpa melalui suatu pemikiran yang matang.
Berdasarkan hal di atas dapat dikatakan bahwa pengampunan pajak Tahun 1964 tidak
berhasil. Ketidakberhasilan tersebut terlihat dari jumlah dana yang dihasilkan tidak cukup.
Hal ini mengindikasikan kurangnya kegiatan kampanye pengampunan pajak yang dilakukan
pemerintah, tapi hal ini tidak dapat dibuktikan oleh penulis karena keterbatasan data.
Ketidakberhasilan pengampunan pajak Tahun 1964 dikarenakan tidak adanya perbaikan
struktural paska pengampunan pajak.
11.3.2 Pengampunan Pajak Tahun 1984
Pengampunan pajak pada Tahun 1984 diberlakukan pada saat Presiden Soeharto menjadi
kepala pemerintahan di Indonesia. Pemberlakuan pengampunan pajak pada saat itu
diperintahkan secara langsung oleh presiden dengan penerbitan Keputusan Presiden
Nomor 26 Tahun 1984. Berturut-turut setelah itu dibuat peraturan pelaksana berupa
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 345/KMK.04/1984 tentang Pelaksanaan
Pengampunan Pajak jo. Keputusan Menteri Keuangan No 966/KMK.04/1983 tentang Faktor
Penyesuaian Untuk Penghitungan Pajak Penghasilan. Pengampunan Pajak Tahun 1984
ditetapkan sebagai pelengkap dari pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan Nomor 6, 7,
dan 8 Tahun 1983. Latar belakang pemerintah dalam menetapkan kebijakan pengampunan
pajak Tahun 1984 adalah:
a. diberlakukannya sistem perpajakan yang baru yang berbasis self assesment.
Oleh karena itu, Pemerintah mengharapkan peningkatan peran serta
masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
b. diperlukan adanya pangkal tolak yang bersih berdasarkan kejujuran dan
keterbukaan dari masyarakat. Namun, keinginan Wajib Pajak untuk
membuka diri tampaknya masih diliputi oleh keraguan terhadap akibat hukum
yang mungkin timbul;
c. diperlukan dukungan sepenuhnya dari masyarakat, baik yang telah terdaftar
maupun yang selama ini belum memunculkan diri sebagai Wajib Pajak.

Pengampunan pajak Tahun 1984 memiliki bentuk yang sama dengan pengampunan pajak
Tahun 1964, yaitu investigation amnesty. Pengampunan pajak Tahun 1984 memungkinkan
Wajib Pajak bebas dari pengusutan fiskal dan laporan tentang kekayaan dalam rangka
pengampunan pajak tidak akan dijadikan dasar penyidikan dan penuntutan pidana dalam
bentuk apapun terhadap Wajib Pajak. Selain itu, mekanisme untuk mendapatkan
pengampunan mewajibkan Wajib Pajak untuk membayar sejumlah uang tebusan.
Pengampunan pajak Tahun 1984 termasuk dalam temporary amnesty yang memberikan
pengampunan dalam Periode pengampunan pajak dari 18 April 1984 sampai 30 Juni 1985.
Periode tersebut sebenarnya telah diperpanjang, sebelumnya periode tersebut hanya
sampai dengan 31 Desember 1984. Periode pengampunan pajak Tahun 1984 cukup
panjang, yaitu 14 bulan. Namun, penerimaan pajak yang dihasilkan tidak signifikan.
Pengampunan pajak Tahun 1984 telah dirancang cukup baik. Namun, pengampunan pajak
tersebut tidak cukup berhasil sebagai instrumen penarikan pajak. Sosialisasi mengenai tata
cara dan prosedur untuk mendapatkan pengampunan pajak relatif terbatas. Wajib Pajak
pada waktu itu banyak yang masih ”buta” terhadap pajak dan tidak mengetahui seluk beluk
perpajakan. Kurangnya sosialisasi mengenai perpajakan dan prosedur pengampunan pajak
membuat Wajib Pajak melakukan hal yang merugikan. Hal tersebut ditunjukkan dari adanya
Wajib Pajak, maupun calon Wajib Pajak yang datang untuk mencatatkan diri lalu kemudian
mundur dan tidak mengisi tiga berkas serta tidak mengembalikan tiga berkas yang harus
diisi untuk mendapatkan pengampunan pajak.

11.3.3 Kebijakan Sunset Policy 2008


Sebagai upaya pemerintah untuk melakukan penggalian potensi di sektor perpajakan dan
menciptakan kepatuhan Wajib Pajak, pada tahun 2008 Direktorat Jenderal Pajak telah
mengeluarkan kebijakan berupa fasilitas penghapusan sanksi pajak penghasilan orang
pribadi atau badan berupa bunga atas kekurangan pembayaran pajak yang dapat dinikmati
oleh masyarakat baik yang belum memiliki NPWP maupun yang telah memiliki NPWP pada
tanggal 1 Januari 2008 yang dikenal dengan sunset policy. Sunset Policy merupakan salah
satu upaya pemerintah untuk menanggulangi rendahnya minat masyarakat dalam
memenuhi kewajiban perpajakan dan merupakan bagian dari program intensifikasi dan
ekstensifikasi pajak, yaitu dengan program penghapusan sanksi administrasi Pajak
Penghasilan sebagai bentuk pemberian fasilitas perpajakan yang diatur berdasarkan Pasal
37A UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pada dasarnya sunset policy bertujuan untuk membantu pemerintah dalam hal penerimaan
pajak agar terus meningkat dan mendorong wajib pajak agar lebih jujur, patuh, dan
konsisten dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak di masa yang akan datang dan
sukarela dalam melaksanakan kewajiban pajaknya. Peraturan perundangan yang mengatur
sunset policy ini hanya berlaku dalam periode waktu tertentu, yaitu pada tahun 2008,
setelah itu peraturan tersebut tidak berlaku lagi. Jika Wajib Pajak patuh mengikuti program
sunset policy, yaitu dengan memperbaiki Surat Pemberitahuan (SPT) secara benar atau
mendaftarkan diri secara sukarela sebagai wajib pajak dan memperoleh NPWP, maka
mereka akan memperoleh banyak keuntungan, karena di samping tidak dikenakannya
sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar, terhadap
mereka juga tidak akan dilakukan pemeriksaan pajak, selain itu juga mereka akan
memperoleh kemudahan-kemudahan dalam pengurusan pajak lainnya yang kesemuanya
itu didasarkan pada landasan hukum yang kuat, yaitu berupa Pasal 37A UU Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Program sunset policy atau keringanan atas sanksi administrasi pajak yang digelar
pemerintah berhasil mengumpulkan 804.814 SPT atau 44,7 persen dari jumlah Surat
Pemberitahuan (SPT) terkait sunset policy. Pemerintah juga berhasil menghimpun
penerimaan Rp 7,46 triliun. Dari jumlah itu, perinciannya jumlah SPT yang terkumpul adalah
556.194 SPT diterima sampai dengan 31 Desember 2008 dan sebanyak 248.620 SPT
diterima dari 1 Januari - 28 Februari 2009. dDari SPT Tahunan Pajak Penghasilan kurang
bayar yang disampaikan dalam masa sunset policy sampai 28 Februari 2009, pemerintah
memperoleh tambahan penerimaan pajak Rp 7,46 triliun. Dari total penerimaan itu, sebesar
Rp 5,56 triliun diperoleh dari periode sepanjang 2008. Sedangkan untuk periode 1 Januari -
28 Februari 2009 diperoleh penerimaan Rp 1,9 triliun. Kebijakan Sunset Policy tahun 2008
juga berhasil memperbesar jumlah Wajib Pajak terdaftar secara cukup signifikan.
11.3.4 Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015
Melalui Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015 ini, Wajib Pajak yang belum melaporkan SPT
dengan benar dan lengkap untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya serta Masa Pajak
Desember 2014 dan sebelumnya, memiliki kesempatan untuk terbebas dari sanksi pidana
di atas. Syaratnya, Wajib Pajak harus melaporkan pembetulan SPTnya di tahun 2015 ini,
sekaligus melunasi pajak yang terutang sesuai laporan pembetulan tersebut. Dalam
kebijakan yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015
tersebut, Wajib Pajak dapat menikmati fasilitas pembebasan sanksi administrasi yang timbul
karena pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) maupun keterlambatan penyetoran pajak
akibat pembetulan SPT. Sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku, atas keterlambatan
penyampaian SPT maupun keterlambatan penyetoran pajak akan diberikan sanksi
administrasi melalui penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) kepada Wajib Pajak baru.
Namun demikian, sanksi administrasi dalam STP akan dihapuskan melalui program ini
dengan mengajukan surat permohonan.
Melalui fasilitas ini, dengan adanya penyampaian permohonan tersebut, tindakan penagihan
pajak atas STP yang disampaikan kepada Wajib Pajak juga ditunda, sehingga Wajib Pajak
dilindungi dan diberikan keleluasaan untuk membetulkan SPT atas Tahun Pajak 2014 dan
sebelumnya serta Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya.
11.3.5 Pengampunan Pajak (Amnesti Pajak) Tahun 2016
Pengampunan pajak (amnesti pajak) menjadi titik sentral pemberitaan di media massa
tahun 2016. Program amnesti pajak memiliki arti sangat penting, bahkan menjadi
pertaruhan pemerintah, sehingga Presiden Joko Widodo pun turun tangan langsung
sosialisasi ke sejumlah kota. Amnesti pajak dilakukan seiring dengan upaya pemerintah
untuk mendongkrak penerimaan pajak dengan mendorong repatriasi dana yang disimpan di
luar negeri. Selain itu, amnesti pajak yang dilakukan pada tahun 2016 ini, juga merupakan
bagian dari reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta
perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi; dan
meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan
pembangunan.
Amnesti pajak pada periode ini berlaku sejak 1 Juli 2016 dan berakhir 31 Maret 2017.
Pemerintah menargetkan perolehan uang tebusan sebesar Rp 165 triliun untuk program ini,
dengan dana yang direpatriasi dari luar negeri mencapai Rp 1.000 triliun dan dana yang
dideklarasi sebesar Rp 4.000 triliun, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Amnesti
pajak terbagi menjadi 3 (tiga) periode, yaitu periode 1 (1 Juli 2016-30 September2016),
Periode 2 (1 Oktober 2016-31 Desember 2017), dan periode 3 (1 Januari 2017-31 Maret
2017). Diawali start lambat pada awal periode diberlakukannya program, kebijakan amnesti
pajak putaran pertama dan awal putaran kedua menghasilkan capaian yang cukup
memuaskan. Setidaknya, separuh target uang tebusan yang diharapkan pemerintah, telah
terpenuhi pada spertiga periode dilaksanakannya amnesti.
Berdasarkan data dashboard Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan,
Jumat (20/10/2016), pukul 12.20 WIB, nilai pernyataan harta berdasarkan Surat Pernyataan
Harta (SPH) mencapai Rp 3.859 triliun. Komposisi nilai pernyataan berdasarkan SPH itu
antara lain deklarasi dalam negeri sebesar Rp 2.734 triliun, deklarasi luar negeri sebesar Rp
982 triliun, dan dana repatriasi Rp 143 triliun. Sedangkan uang tebusan berdasarkan SPH
yang disampaikan mencapai Rp 93,9 triliun. Komposisinya, wajib pajak orang pribadi non-
UMKM sebesar Rp 80,2 triliun, badan non-UMKM sebesar Rp 10,3 triliun, OP UMKM
sebesar Rp 3,17 triliun, dan badan UMKM sebesar Rp 204 miliar. Sementara itu, komposisi
realisasi berdasarkan Surat Setoran Pajak (SSP) tercatat Rp 97,7 triliun. Komposisinya
antara lain pembayaran tebusan Rp 94,2 triliun, pembayaran tunggakan Rp 3,06 triliun, dan
pembayaran bukti permulaan Rp 393 miliar.
Setoran uang tebusan peserta Amnesti Pajak di Indonesia merupakan yang tertinggi
dibandingkan negara-negara lain yang pernah menerapkan kebijakan serupa. Sementara
untuk pencapaian uang tebusan tax amnesty di Indonesia sebesar Rp 93,9 triliun hingga
periode 28 September 2016. Angka ini pun mengungguli negara lain yang menjalankan
program serupa. Diberlakukannya kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty sejak
Juli 2016 lalu juga memberikan angin segar kepada kinerja bursa saham Indonesia. Hal ini
terlihat dari peningkatan secara signifikan pada kinerja Bursa Efek Indonesia (BEI). Rata-
rata nilai transaksi efek saat ini sekitar Rp6,6 triliun-Rp7 triliun per hari, naik sekitar 20
persen dari 2015 lalu Rp5,7 triliun, karena amnesti pajak. Selain memberikan keuntungan
bagi wajib pajak, program ini juga akan membawa efek positif bagi perekonomian lebih luas
termasuk bagi pembangunan infrastruktur likuiditas sistem keuangan, dan pertumbuhan
ekonomi. Dari hasil kompilasi CITA, total deklarasi amnesti pajak di Indonesia menduduki
peringkat pertama dengan perolehan Rp2.514 triliun per 28 September 2016.
11.4 Membangun Argumen tentang Pentingnya Amnesti Pajak Dalam Mendorong
Pembangunan Negara
Seiring dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak (Amnesti Pajak) oleh Presiden RI tanggal 1 Juli 2016, amnesti pajak
diharapkan akan menjadi momentum penting bagi perbaikan ekonomi nasional. Melalui
kebijakan ini Pemerintah bertekad untuk memperbaiki kondisi perekonomian, mempercepat
pembangunan, dan mengurangi pengangguran, kemiskinan, serta kesenjangan. Amnesti
Pajak harus dilihat sebagai kebijakan ekonomi yang bersifat mendasar, tidak semata-mata
kebijakan terkait fiskal, apalagi khusus pajak. Kebijakan ini mempunyai dimensi lebih luas.
Dari sisi pajak, ada potensi penerimaan yang akan menambah Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), baik saat ini maupun tahun-tahun mendatang sehingga membuat
APBN lebih berkelanjutan.
Dari sisi moneter, Amnesti Pajak dapat menyediakan tambahan likuiditas bagi sistem
keuangan dalam negeri, menambah cadangan devisa dan membantu memperkuat nilai
tukar rupiah. Tidak kalah penting adalah peranan amnesti pajak sebagai instrumen untuk
meningkatkan investasi dalam negeri, menciptakan lapangan pekerjaan hingga mendorong
pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, kebijakan ini sangat strategis karena dampaknya
yang makro, menyeluruh, dan fundamental bagi perekonomian Indonesia.
Keberhasilan pembangunan nasional sangat didukung oleh pembiayaan yang berasal dari
masyarakat, yaitu penerimaan pajak. Agar peran serta ini dapat terdistribusikan dengan
merata tanpa ada pembeda, perlu diciptakan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan
berkepastian hukum. Kebijakan amnesti pajak dilakukan dalam bentuk pelepasan hak
negara untuk menagih pajak yang seharusnya terutang. Oleh karena itu, sudah sewajarnya
jika Wajib Pajak diwajibkan untuk membayar uang tebusan atas pengampunan pajak yang
diperolehnya. Pengertian amnesti pajak sendiri adalah penghapusan pajak yang
seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di
bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan.
Amnesti Pajak terbuka bagi seluruh masyarakat, baik wajib pajak badan maupun orang
pribadi, termasuk wajib pajak yang tergolong dalam UMKM dengan tarif yang sangat
rendah. Program ini didukung oleh semua unsur penegak hukum. Bahkan, dalam berbagai
sosialisasi Presiden Joko Widodo secara langsung mengajak seluruh masyarakat untuk
memanfaatkan program amnesti pajak, yang hanya berlaku sampai dengan 31 Maret 2017
dan tidak akan diperpanjang atau ditawarkan lagi di masa yang akan datang. Amnesti pajak
merupakan momentum yang tepat untuk mendukung Pemerintah memperbaiki kondisi
perekonomian nasional dengan memanfaatkan amnesti pajak dan memaksimalkan
kontribusi kepada Negara. Ingat, kurang dari dua tahun ke depan akan semakin kecil
kemungkinan untuk menyembunyikan harta di luar negeri karena semakin transparannya
sektor keuangan global dan meningkatnya intensitas pertukaran informasi antarnegara.
Selain itu, adanya era keterbukaan data bagi perpajakan menjadi peringatan bagi siapapun
untuk tidak lagi menyembunyikan hartanya dari otoritas pajak.
11.5 Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Amnesti Pajak oleh Warga Negara
Amnesti Pajak (Tax Amnesty) merupakan instrumen pemerintah yang tidak semata-mata
berfungsi sebagai sumber pendapatan negara (budgeter), namun ia memiliki fungsi lebih
untuk memindahkan harta (regulern) dari orang kaya kepada orang miskin, memindahkan
harta dari negara lain ke Indonesia (repatriasi), menaman modal (investasi) baru yang akan
menciptakan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi akan membuka
peluang usaha baru yang otomatis akan menyerap tenaga kerja. Meningkatnya aktifitas
kerja akan menaikkan daya beli masyarakat, sehingga permintaan (demand) akan ikut
meningkat. Peningkatan permintaan tentu akan memunculkan subjek pajak dan objek pajak
baru (ekstensifikasi) yang tentunya akan meningkatkan penerimaan pajak dimasa yang
akan datang.
Amnesti Pajak memanggil putra bangsa untuk mengembalikan harta yang banyak tersebar
di berbagai negara untuk pulang ke Indonesia. Negara ini butuh dana yang besar untuk
membangun. Jika kita memiliki kemampuan sendiri, untuk apa meminta kepada bangsa
lain. Amnesti Pajak membutuhkan orang-orang yang berjiwa besar untuk mengungkap harta
yang selama ini mungkin lupa dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Hal
ini bukanlah sebuah tindakan bodoh dan sia-sia karena pengungkapan ini dilindungi
UndangUndang. Data yang diungkap ada jaminan tidak akan diperiksa kembali dan adanya
kepastian hukum dari sisi perpajakan melalui Surat Keterangan Pengampunan Pajak.
Amnesti Pajak juga memanggil putra bangsa di dalam negeri untuk ikut berperan
mengungkap harta yang belum diungkap di SPT untuk melaporkannya dalam SPT dan
menebus kekhilafannya itu melalui Surat Setoran Pajak (SSP) di Bank persepsi/Kantor Pos.
Amnesti Pajak peluang terakhir untuk menebus kesalahan, karena hanya diberi kesempatan
hingga 31 Maret 2017. Jika data yang masih disembunyikan terungkap maka akan
dilakukan proses tindakan perpajakan sesuai aturan berlaku dan sanksi kenaikan berupa
denda 200% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar. Bangsa Indonesia
membutuhkan orang yang berjiwa besar untuk membangun negeri ini. Mari kita sambut
Amnesti Pajak ini dengan segera mengungkap harta, menebusnya dan memperoleh
kelegaaan.

Anda mungkin juga menyukai