DOSEN PENGASUH:
DISUSUN OLEH:
2023
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
penerimaan negara pada tahun 2016 dari sektor pajak memberikan kontribusi yang sangat
besar, yaitu 74,6 % dari total pendapatan negara. Hal ini memberi indikasi bahwa sektor
perpajakan memiliki peran sangat penting dalam menjamin keberlangsungan kehidupan
bangsa kita, khususnya dalam mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, sejahtera, adil,
dan damai. Oleh karena itu, untuk memastikan pemasukan dari sektor perpajakan, setiap
warga negara sudah seharusnya memiliki kesadaran tentang pajak. Kesadaran pajak setiap
warga negara merupakan modal psikososial untuk menunaikan kewajibannya sebagai
pembayar pajak dan juga sebagai penikmat pajak.
Secara kurikuler capaian pembelajaran (learning outcomes) tentang kesadaran pajak, dapat
dikembangkan sebagai program pendidikan melalui inklusi kesadaran pajak dalam Mata
Kuliah Wajib Umum (vide Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi). Untuk menjamin terwujudnya inklusi kesadaran pajak tersebut, diperlukan program
pembelajaran yang dirancang secara inklusif dalam pembelajaran MKWU guna mewujudkan
pencapaian tujuan pendidikan.
Dalam konteks nation and character building, pendidikan kesadaran pajak yang diinklusikan
ke dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan memiliki
fungsi dan peran yang sangat penting, antara lain sebagai upaya untuk mengembangkan
kesadaran pajak dalam diri peserta didik. Pendidikan kesadaran pajak saling menguatkan
dengan rasa kebangsaan dan cinta tanah air yang bersumber dari nilai dan moral Pancasila.
Dalam konteks ini, pendidikan kesadaran pajak yang inklusif dalam MKWU diharapkan
berkontribusi terhadap pengembangan keadaban warga negara yang sadar pajak (civic
virtue).
BAB 1
BAGAIMANA PAJAK DALAM KEHIDUPAN
SEHARI-HARI?
Bab ini mendeskripsikan pajak dalam kehidupan sehari-hari. Materi esensial terdiri atas
praktik pemungutan pajak, perbedaan pajak dengan pungutan lain, penggolongan pajak,
pentingnya pajak, dan data penerimaan pajak secara nasional. Tujuan dari bab ini adalah
mendekatkan para mahasiswa dengan pajak melalui peningkatan pemahamannya terhadap
praktik pemungutan pajak dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai tujuan tersebut,
digunakan pendekatan berbasis proses keilmuan (scientific approach) sebagai berikut: (1)
mengamati praktik pemungutan pajak dalam kehidupan sehari-hari; (2) menanya perbedaan
pajak dengan pungutan lain; (3) mengumpulkan informasi tentang penggolongan pajak
menurut pemungutnya; (4) membangun argumen pentingnya pajak bagi negara; dan (5)
mengomunikasikan data penerimaan pajak secara nasional.
Sejumlah ahli telah mengemukakan pengertian pajak dari sudut pandang keilmuannya
masing-masing. Berikut dikemukakan definisi dari empat orang ahli, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar negeri. Telaahlah secara seksama keempat definisi tentang
pajak tersebut. Adakah kesamaan ataupun perbedaan makna dari keempat definisi tersebut.
1. Leroy Beaulieu(1899)
“Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh
kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah”.
2. P. J. A. Adriani (1949)
Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas
negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Jenis-jenis pungutan resmi lainnya, yaitu retribusi, cukai, bea masuk, dan sumbangan.
1. Retribusi
Retribusi adalah iuran rakyat yang disetorkan melalui kas negara atas dasar
pembangunan tertentu dari jasa atau barang milik negara yang digunakan oleh
orang-
orang tertentu.
2. Cukai
Cukai adalah iuran rakyat atas pemakaian barang-barang tertentu, seperti minyak
tanah,
bensin, minuman keras, rokok, atau tembakau.
3. Bea Masuk
Bea masuk adalah bea yang dikenakan terhadap barang-barang yang dimasukkan
ke dalam daerah pabean Indonesia dengan maksud untuk dikonsumsi di dalam
negeri.
4. Sumbangan
Sumbangan adalah iuran orang-orang atau golongan orang tertentu yang harus
diberikan kepada negara untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran negara yang
sifatnya tidak memberikan prestasi kepada umum, dan pengeluarannya tidak dapat
diambil dari kas negara
Ditinjau dari segi lembaga pemungutnya, pajak dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu
pajak pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah
pusat, yangterdiri atas:
1. Pajak Penghasilan (PPh);
2. Pajak Pertambahan Nilai(PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM);
3. Bea Meterai;
4. Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Pertambangan, dan Perhutanan
(PBB Sektor P3)
5. Pajak Ekspor
6. Bea Masuk;
7. Cukai.
Sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
jenis Pajak Daerah, antara lain:
1. Pajak Provinsi, terdiri atas:
a. Pajak Kendaraan Bermotor
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d. Pajak Air Permukaan dan
e. Pajak Rokok.
2. Pajak Kabupaten/Kota, terdiri atas:
a. Pajak Hote
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Hiburan
e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
g. Pajak Parkir
h. Pajak Air Tanah
i. Pajak Sarang Burung Walet
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
BAB 2
MENGAPA PAJAK DIPERLUKAN?
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu bentuk negara yang sistem
pemerintahannya berdasarkan ideologi Pancasila.
Salah satu tujuan dari berdirinya Republik Indonesia adalah terwujudnya masyarakat
yang adil dan sejahtera. Visi keadilan dan kesejahteraan rakyat ini mendapat
perhatian yang besar dari para pendiri negara. Mereka menyadari bahwa tujuan dan
cita-cita negara berdasar Pancasila harus mampu mengakomodir kepentingan
rakyat. Oleh karena itu, konsep negara kesejahteraan menjadi sesuatu yang
diharapkan.
Di sisi lain, manusia juga sebagai makhluk ekonomi (homo economicus) yang
memiliki arti bahwa manusia menilai dan memilih sesuatu hanya berdasarkan
pertimbangan pribadi (individualis) sebagaimana yang diungkapkan tokoh ekonomi,
Adam Smith.
Pajak merupakan sarana untuk mendekatkan manusia yang satu dengan manusia
yang lain dalam bentuk kewajiban berbagi. Konsep pajak pada dasarnya adalah
adanya kesediaan untuk berbagi dengan sesama. Namun, pengungkapan kesediaan
untuk berbagi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dapat berbeda-
beda sehingga dibutuhkan pengaturan, baik berupa peraturan perundang-undangan
maupun lembaga yang menjalankan peraturan itu sendiri.
Oleh karena itu, pajak dibutuhkan sebagai sarana redistribusi kekayaan dalam
kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Peran pajak menjadi faktor yang sangat
penting bagi peningkatan kesejahteraan bersama, bukan hanya kesejahteraan
ekonomi individual belaka.
Pihak ketiga adalah warga negara atau perorangan yang bekerja atau berusaha
sehingga memperoleh penghasilan. Mereka ini memiliki kewajiban untuk
menyisihkan sebagian penghasilan yang diperoleh itu untuk dikembalikan kepada
negara dalam bentuk pajak penghasilan.
Alasan Mengapa Pajak Diperlukan Dalam Kehidupan Manusia Pada Umumnya dan
Kehidupan Bernegara Pada Khususnya.
Menggali Sumber Historis, Sosiologis, dan Politi tentang Alasan Keberadaan Pajak
Diperlukan.
1. Sumber Historis
Alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi
”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Republik
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka ...”. Sebagaimana dijelaskan dalam
alinea keempat pembukaan UUD Tahun 1945 tersebut, tujuan negara antara lain:
a. memajukan kesejahteraan umum, yang merupakan salah satu cita-cita
perekonomian para pendiri bangsa yang memperjuangkan terwujudnya
masyarakat adil dan makmur. Kesejahteraan di sini dapat diartikan
sebagai kondisi yang cukup, baik sandang, pangan, maupun papan, serta
terjaminnya fasilitas kesehatan bagi rakyat Indonesia. Hal ini berarti
pemerintah harus mengupayakan seluruh sumber daya dan kekayaan
yang dimiliki negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat
Indonesia sebagai upaya negara dalam menciptakan kesejahteraan bagi
seluruh warga negara.
b. mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan upaya untuk
mengembangkan pendidikan yang dapat mengangkat harkat dan
martabat bangsa dari kebodohan.
Kedua tujuan negara tersebut saling melengkapi satu sama lain. Cita-cita
mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan
sumber daya manusia Indonesia. Hal tersebut diharapkan akan mampu
meningkatkan kesejahteraan umum (rakyat Indonesia), membangun bangsa
yang mandiri (memiliki ketahanan nasional yang tinggi), dan mampu
berkiprah di dunia internasional sehingga dapat sejajar dengan bangsa-
bangsa lain.
2. Sumber Sosiologis
Apabila digali dari sumber sosiologis, masyarakat Indonesia dalam kehidupan
sehari-hari sudah mengenal pajak dalam berbagai bentuk. Pada acara-acara
tertentu yang membutuhkan dana besar, biaya penyelenggaraan acara biasanya
dipikul bersama sebagai perwujudan semangat gotong royong antara anggota
keluarga dan tetangga.
3. Sumber Politis
Selama berabad-abad sejak lahirnya ilmu politik sebagai sebuah gagasan
tersendiri, politik telah dipakai untuk menjelaskan konsep-konsep pokok yang
berkaitan dengan tata kelola pemerintahan, meliputi negara, kekuasaan, dan
kebijakan. Politik sendiri secara etimologis bersumber dari kata polis dalam
bahasa Yunani yang berarti kota. Aristoteles kemudian menafsirkan bahwa politik
adalah urusan antarpolis. Bertitik tolak dari sini, politik kemudian dimaknai
sebagai interaksi antarwilayah dalam batas-batas pemerintahan.
Pertama, aktor dalam sistem itu sendiri adalah negara yang terdiri atas individu-
individu. Beberapa diantaranya menjadi otoritas yang memiliki kekuasaan dan
kewenangan atas individu-individu lain (rakyat) dalam batas-batas
negara/wilayah tertentu. Kedua, tujuan politik yakni mencapai tujuan bersama
(public goals). Ketiga, fungsi politik yakni menentukan kebijakan yang
berhubungan dengan distribusi sumber daya bersama. Keempat, cara yang
dilakukan untuk mencapai tujuan bersama itu ialah melalui manuver politik, baik
yang dilakukan oleh partai politik maupun perorangan.
BAB 3
BAGAIMANA PAJAK DALAM KONTEKS INDONESIA?
Ada dua bentuk kesatuan politik dari kerajaan yang terdapat di Indonesia, yaitu
kerajaan agraris dan kerajaan maritim. Kerajaan agraris, seperti Mataram Kuno
(abad IX-XII), Kediri (abad XI), Majapahit (abad XII-XIV), Pajang (abad XV),
Mataram Islam (abad XV-XVII). Kerajaan agraris memiliki pusat kerajaan yang
ditentukan berdasarkan kondisi perekonomian agraris. Dalam tradisi kerajaan
agraris, terdapat kewajiban membayar pajak dan kewajiban bekerja.
Pada negara modern di awal abad ke-20, terdapat konsepsi lain tentang hakikat
dan fungsi pajak. Pajak tidak dianggap sebagai sesuatu yang bersifat paksaan
melainkan bersifat kewajiban.
C. Sejarah Pajak di Era Kemerdekaan
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, konsep dan peraturan tentang pajak
masih
sederhana sebagaimana terdapat pada masa kerajaan dan penjajahan di
Indonesia. Sumber
tertulis terkait dengan isu pajak dan kebijakan perpajakan pada awal
kemerdekaan Indonesia
belum banyak ditemukan. Namun, terdapat beberapa sumber hukum tertulis
berkaitan
dengan pajak, antara lain:
1. Undang-Undang Pajak Penjualan (PPn) Tahun 1951 yang diubah dengan
undang-ndang Nomor 2 Tahun 1968 tentang Perobahan/Tambahan undang-
undang Pajak Penjualan (PPn) Tahun 1951.
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia dan memasuki era pemerintah Orde
Lama dibawah pemerintahan Presiden Soekarno, kebijakan pemerintah tentang
pajak belum banyak dilakukan. Hal ini terjadi karena kondisi pemerintahan yang
belum stabil.
Kebijakan perpajakan pada masa pemerintahan Orde Baru masih banyak yang
mengacu pada kebijakan pemerintahan sebelumnya. Perubahan yang dijalankan
lebih mengarah pada penyempurnaan dalam hal teknis, ketentuan tarif, struktur
kebijakan, dan proses administrasi.
Pada tahun 1994, Pemerintahan Orde Baru melakukan perubahan lagi atas Undang-
Undang Perpajakan, Pada akhir Pemerintahan Orde Baru tahun 1997, Pemerintah
juga membuat beberapa Undang-Undang yang berkaitan dengan masalah
perpajakan.
Perubahan kebijakan mulai dilakukan pada tahun 2000 yang ditunjukkan dengan
diterbitkannya beberapa perubahan atas peraturan perundang-undangan
perpajakan, antara lain:
Pada tahun 2004, era otonomi daerah (desentralisasi) mulai digulirkan melalui
Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pergeseran
paradigma tentang perpajakan semakin tampak dengan lahirnya sistem
pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik.
BAB 4
Ditinjau dari fungsinya, pajak memiliki salah satu fungsi, yaitu fungsi budgetair
(sumber penerimaan negara). Pajak merupakan sumber utama pendapatan negara.
Pentingnya fungsi pajak ini merupakan kaidah universal di berbagai negara bahkan dari
zaman ke zaman. Lahirnya Magna Charta 1215 di Inggris merupakan salah satu bukti
historis bahwa pajak sangat strategis bagi negara. Oleh karena itu, raja Inggris, berdasarkan
piagam tersebut, diperbolehkan memungut pajak setelah mendapat persetujuan kaum
bangsawan.
Selain memiliki fungsi budgetair, pajak juga merupakan salah satu alat untuk mencapai
suatu tujuan tertentu di luar bidang keuangan yang lazimnya disebut kebijakan fiskal (Fiscal
policy). Istilah fiskal dalam arti luas adalah segala sesuatu yang bertalian dengan keuangan
negara dan bukan semata-mata mengenai pajak. Istilah fiskal adalah sinonim dari istilah
fiscus (bahasa Yunani), atau fisc(bahasa Perancis), yang berarti “keranjang uang” atau kas
negara.
Tidak dapat dibayangkan bagaimana kondisi keuangan negara tanpa kontribusi dari pajak
sebagai sumber utama penghasilan bagi keuangan negara. Pembangunan tidak dapat
dijalankan apabila sumber pendanaannya tidak tersedia. Kesulitan pendanaan
pembangunan akan mengakibatkan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat sulit
diwujudkan.
Menurut Brotodihardjo (2013: 6-7), terdapat 5 (lima) ciri yang melekat pada pengertian
pajak, yaitu:
Jadi, kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kesadaran sikap dan perbuatan
manusia yang didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungan
dengan normanorma dan kebudayaan umumnya baik terhadap diri pribadi, sesama
manusia maupun terhadap alam dan hewan.
Di dalam sila kedua, Kemanusian yang Adil dan Beradab telah tersimpul cita-cita
kemanusiaan yang lengkap, yang adil dan beradab.
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab berangkat dari kesadaran historis bangsa
Indonesia”... penjajahan di atas dunia itu harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Bung Hatta sebagai salah seorang
pendiri negara menegaskan bahwa pengakuan kepada dasar Ketuhanan yang Maha
Esa mengajak manusia melaksanakan harmoni di alam dengan memupuk
persahabatan, persaudaraan antar manusia dan bangsa.
Sila Persatuan Indonesia bertitik tolak dari kesadaran bahwa diperlukan kemampuan
untuk mengelola keanekaragaman menjadi suatu kekuatan persatuan (unity).
Persatuan Indonesia merupakan starting point kesadaran nasionalisme bangsa
Indonesia untuk menggalang semangat kebersamaan (Mitsein).
Jadi, sila kelima berarti bahwa setiap orang Indonesia berhak mendapat perlakuan
yang adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Sila
Keadilan sosial adalah tujuan dari empat sila yang mendahuluinya, serta merupakan
tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara, yang perwujudannya dilaksanakan
dengan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan nilai-nilai
Pancasila.
Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia bertitik tolak dari kesadaran
bahwa adil merupakan cita-cita yang didambakan setiap insan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keadilan pada hakikatnya merupakan
suatu bentuk keseimbangan antara apa yang seharusnya (Das Sollen) dengan apa
yang sebenarnya (Das Sein). Komponen kecerdasan ideologis dalam sila keadilan
terletak pada dua hal, yaitu kemampuan memperlakukan orang lain seperti
memperlakukan dirinya sendiri, dan kemampuan menemukan aspek keseimbangan
antara nilai ideal dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan nilai
kenyataan dalam tindakan atau keputusan yang diambil.
Keadilan dalam sila kelima harus sesuai dengan hakikat adil, yaitu pemenuhan hak
dan kewajiban pada kodrat manusia. Hakikat keadilan ini berkaitan dengan hidup
manusia, yaitu hubungan keadilan antara manusia satu dengan manusia lainnya,
manusia dengan Tuhannya, dan manusia dengan dirinya sendiri.
Keadilan ini sesuai dengan makna yang terkandung dalam pengertian sila kedua,
yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Selanjutnya, hakikat adil sebagaimana
yang terkandung dalam sila kedua ini terjelma dalam sila kelima, yaitu memberikan
kepada siapapun juga apa yang telah menjadi haknya.
Menanya Kaitan Sumber Historis, Sosiologis, Yuridis, dan Politis tentang Pajak
Sebagai Perwujudan Nilai Nilai Pancasila
Pada bagian ini, akan dilihat Pancasila sebagai ideologi negara berakar dalam
kehidupan masyarakat. Unsur-unsur sosiologis yang membentuk Pancasila sebagai ideologi
negara meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat ditemukan dalam kehidupan beragama
masyarakat Indonesia dalam berbagai bentuk kepercayaan dan keyakinan terhadap
adanya kekuatan gaib.
2. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dapat ditemukan dalam hal saling
menghargai dan menghormati hak-hak orang lain, tidak bersikap sewenang-wenang.
3. Sila Persatuan Indonesia dapat ditemukan dalam bentuk solidaritas, rasa setia
kawan, rasa cinta tanah air yang berwujud pada mencintai produk dalam negeri.
4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dapat ditemukan dalam bentuk menghargai pendapat
orang lain, semangat musyawarah dalam mengambil keputusan.
5. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia tercermin dalam sikap suka
menolong, menjalankan gaya hidup sederhana, tidak menyolok atau berlebihan.
Pada bagian ini, mahasiswa diajak untuk melihat Pancasila sebagai ideologi negara
dalam kehidupan politik di Indonesia. Unsur-unsur politis yang membentuk Pancasila
sebagai ideologi negara meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Sila Ketuhanan yang Maha Esa diwujudkan dalam bentuk semangat toleransi
antar umat beragama;
b. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab diwujudkan penghargaan terhadap
pelaksanaan Hak dan Kewajiban Asasi Manusia di Indonesia;
c. Sila Persatuan Indonesia diwujudkan dalam mendahulukan kepentingan bangsa
dan negara daripada kepentingan kelompok atau golongan, termasuk partai;
d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan diwujudkan dalam mendahulukan pengambilan
keputusan berdasarkan musyawarah daripada voting.
e. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia diwujudkan dalam bentuk
tidak menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) untuk memperkaya diri atau
kelompok karena penyalahgunaan kekuasaan itulah yang menjadi faktor pemicu
terjadinya korupsi.
Manusia dalam hidupnya selain sebagai makhluk individu mandiri juga merupakan
makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Lebih dari itu, manusia juga adalah makhluk
Tuhan, yang memberikan kehidupan dan rezeki kepadanya. Manusia hanya dapat menjadi
bermartabat dalam hidupnya manakala ia mampu mengharmoniskan hubungannya dengan
sesama manusia dan tentu juga dengan Tuhan. Berikut ini akan dikemukakan secara
singkat penggalian nilai-nilai Pancasila sebagai dasar pembentukan pribadi yang
bermartabat.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah keyakinan terhadap adanya Tuhan yang
mengandung nilai-nilai sebagai berikut.
1. Nilai Syukur
Syukur adalah rasa terima kasih atas segala kenikmatan yang diterima dari Sang
Maha Pemberi Rezeki. Rasa bersyukur diwujudkan dalam beberapa aspek:
a. secara lisan dalam bentuk ucapan yang lahir dari kesadaran untuk berterima
kasih atas segala nikmat yang diperoleh;
b. secara tindakan dalam bentuk menyalurkan kelebihan rezeki yang diperolehnya
kepada pihak yang membutuhkan. Contohnya warga negara yang mampu
memberikan bantuan kepada orang yang tidak mampu melalui pembayaran
pajak.
2. Nilai Toleransi
Toleransi adalah semangat untuk saling memahami perbedaan antara warga negara
yang satu dengan warga negara yang lain. Toleransi dalam konteks kehidupan
beragama adalah semangat untuk memahami perbedaan keyakinan antara
komunitas yang satu dengan komunitas yang lain, sehingga menghindari terjadinya
konflik antar umat beragama. Toleransi dalam konteks kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara adalah semangat untuk saling berbagi antara yang
mampu dengan yang tidak mampu. Dalam hal ini, negara berperan sebagai fasilitator
untuk menjembatani kesenjangan antara yang mampu dengan yang tidak mampu.
Hal ini dianalogikan dengan warga negara yang mempunyai pendapatan di atas
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), diwajibkan membayar pajak.
Nilai toleransi yang bertujuan untuk mencegah konflik dan menciptakan kehidupan
yang harmonis pada hakikatnya merupakan wujud kesadaran sosial. Seseorang
yang menjalankan kewajibannya dalam membayar pajak telah mewujudkan
kesadaran sosial tersebut dalam ranah publik sehingga dapat meredam sikap-sikap
egosentris.
3. Nilai Kedermawanan
Kedermawanan adalah suatu sikap suka berbagi antara yang mampu kepada yang
tidak mampu, dengan cara menyisihkan sebagian penghasilan yang diperolehnya
kepada pihak lain, antara lain dengan cara menyisihkan sebagian penghasilan untuk
pembayaran pajak. Negara dalam hal ini berperan sebagai mediator antara
komunitas yang mampu dengan yang tidak mampu.
4. Nilai Kerendahhatian
Kerendahhatian adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan diri untuk
tidak bergaya hidup mewah yang dapat memancing kecemburuan sosial dalam
kehidupan bersama.
5. Nilai Keikhlasan
Keikhlasan adalah suatu perasaan rela untuk berbagi kepada pihak lain tanpa
mengharapkan balasan dari pihak yang diberi. Artinya, seseoarang dikatakan ikhlas
ketika ia membantu pihak lain tanpa mengharapkan balasan, yang dalam terminologi
Immanuel Kant disebut dengan “imperatif kategoris”, artinya melakukan perbuatan
baik tanpa syarat, berbuat baik dengan tulus.
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mengandung nilai pentingnya sikap saling
menghormati dalam hidup bersama, dan tidak menzalimi pihak lain. Komponen kecerdasan
ideologis dalam sila kedua ini terletak pada kemampuan menjalin harmoni kehidupan
berbangsa dan bernegara melalui sikap persahabatan dan persaudaraan.
2. Nilai Keadilan
Dalam nilai keadilan terdapat 3 (tiga) tolok ukur, antara lain:
a. nilai kesetiakawanan, artinya orang yang mampu harus memiliki sikap solidaritas
terhadap orang yang tidak mampu;
b. nilai skandal sosial, artinya kalau sampai ada orang yang kaya tidak mau berbagi
dengan dengan orang yang miskin, maka hal ini merupakan perbuatan yang
menurunkan dan merendahkan martabat orang kaya tersebut;
c. kemiskinan itu sifatnya tidak alamiah, artinya setiap manusia dapat
memperjuangkan haknya untuk hidup secara layak dan bermartabat.
3. Nilai Keadaban
Nilai keadaban mengacu kepada kehalusan dan kebaikan budi pekerti, kesopanan,
dan akhlak.
1. Rasa memiliki
Rasa memiliki adalah kesadaran untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Beberapa aspek yang terkandung dalam
rasa memiliki, antara lain:
a. kesadaran atas hak sebagai warga negara;
b. kesadaran atas kewajiban sebagai warga negara.
3. Nasionalisme
Nasionalisme sebagai rasa syukur, terdiri dari dari dua aspek, yaitu:
a. Negatif Defensif
Nasionalisme sebagai rasa syukur yang bersifat negatif defensif adalah
kemampuan setiap warga negara untuk melawan musuh-musuh negara dan
keburukan yang dilakukan oleh orang-orang terhadap negara, contohnya
melawan korupsi, melawan free rider (menikmati hasil pembangunan tanpa ikut
berkontribusi), dan lain-lain.
b. Positif Progresif
Nasionalisme sebagai rasa syukur yang bersifat positif progresif adalah
kemampuan setiap warga negara untuk mengolah potensi dan sumber daya
yang dimiliki untuk kemakmuran dan kejayaan bangsa (temukan dalam buku
Yudi Latif (2011), yang berjudul “Negara Paripurna”). Sebagai contoh adalah
kontribusi warga negara dalam membayar pajak sehingga negara memiliki
sumber daya yang cukup menciptakan kemakmuran dan kejayaan bangsa.
Nilai-nilai dalam Sila Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan Perwakilan
1. mempertemukan pendirian pribadi dengan orang lain dalam suasana dialogis ialah
sikap jiwa filosofis untuk menemukan harmoni antara pendapat pribadi dengan
kebutuhan orang lain. Sebagai contoh sikap mengalah atau diam untuk menghindari
konflik;
2. menciptakan suasana dialogis dalam komunikasi artinya kemampuan untuk
memadukan pendapat pribadi dengan pandangan orang lain, sehingga melahirkan
rasa kebersamaan;
3. semangat musyawarah untuk mencapai mufakat adalah mengutamakan kepentingan
umum dari pada kepentingan pribadi atau golongan.
Nilai-nilai dalam Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia mengandung nilai-nilai keadilan
yang berhubungan dengan kesejahteraan bersama. Dalam lingkup nasional, realisasi
keadilan sosial ini diwujudkan dalam 3 (tiga) segi (keadilan segitiga), yaitu:
BAB 6
Kewajiban warga negara dapat ditelusuri dalam konstitusi yang berlaku di negara
tersebut. Bagi Indonesia, kewajiban warga negara diatur dalam konstitusi yang berlaku saat
ini, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun
1945). Terdapat 6 (enam) jenis kewajiban sebagai warga negara yang diatur dalam UUD
1945 tersebut, yakni kewajiban membela atau mempertahankan keamanan negara,
kewajiban membayar pajak dan retribusi, kewajiban menaati peraturan dan hukum yang
berlaku, menghormati hak asasi manusia, tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang, dan kewajiban mengikuti pendidikan dasar.
Kewajiban sebagai warga negara dalam membela atau mempertahankan keamanan negara
diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (1). Kewajiban sebagai warga negara
dalam membela negara yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) berbunyi, “Setiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.” Kewajiban mempertahankan
keamanan negara juga diatur dalam Pasal 30 ayat (1) berbunyi, “Tiap-tiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”
Kewajiban sebagai warga negara dalam membayar pajak dan retribusi diatur dalam Pasal
23A yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan undang-undang”.
Kewajiban menaati peraturan dan hukum yang berlaku diatur dalam Pasal 27 ayat (1) yang
berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”
Kewajiban menghormati hak asasi manusia diatur dalam Pasal 28J ayat (1) yang berbunyi,
“Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Kewajiban tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang diatur dalam
Pasal 28J ayat (2) yang berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Kewajiban mengikuti pendidikan dasar diatur dalam Pasal 31 ayat (2) yang berbunyi sebagai
berikut: “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.”
Itulah kewajiban-kewajiban warga negara yang diatur dalam UUD Tahun 1945 setelah
sejumlah mengalami perubahan. Dari sejumlah kewajiban tersebut, yang tidak dapat
diabaikan dan menempati posisi yang sangat penting adalah kewajiban membayar pajak.
Kewajiban warga negara membayar pajak terhadap negara merupakan kewajiban yang
sangat umum bagi setiap negara. Artinya, setiap negara telah memberlakukan aturan yang
memaksa kepada setiap warganya untuk membayar pajak. Bahkan, pajak telah menjadi
andalan negara dalam pembangunan nasional masing-masing negara.
Diakui bahwa membayar pajak bagi warga negara merupakan suatu keharusan bukan
hanya di negara kita tetapi juga hampir di seluruh negara. Secara historis sejak zaman
kerajaan, semua rakyat wajib membayar pajak. Hal ini menunjukkan bahwa membayar
pajak sudah menjadi hukum umum atau hukum alam sebagai konsekuensi hidup
berorganisasi, berbangsa dan bernegara.
Namun, sudah menjadi hukum umum pula bahwa kewajiban warga negara beriringan
dengan hak warga negara. Artinya, bahwa setiap kewajiban pajak yang harus dibayar oleh
warga negara membawa dampak prestasi yang berhak diterima oleh warga negara
walaupun secara tidak langsung. Permasalahan kesenjangan atau ketimpangan antara
kewajiban membayar dan hak yang diterima oleh warga negara menjadi masalah tersendiri
yang menarik untuk dikaji. Namun, sebelum membahas masalah tersebut hal yang tidak
kalah menarik adalah mencari argumen dan alasan mengapa pajak menjadi kewajiban
warga negara.
masih terdapat kasus aparatur negara yang tidak memberikan contoh keteladanan
dalam kewajiban membayar pajak
Salah satu kewajiban warga negara tersebut adalah kewajiban membayar pajak.
Pemenuhan kewajiban ini memiliki dampak yang luas bagi kelangsungan bahkan eksistensi
Negara Republik Indonesia sebagai negara dan bangsa yang merdeka, bersatu, adil, dan
makmur. Oleh karena itu, pemenuhan kewajiban membayar pajak akan berdampak pula
terhadap pemenuhan tujuan Negara Republik Indonesia, yakni “melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan
mencerdaskan kehidupan bangsa serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
1. Sumber Historis
Secara historis, kewajiban perpajakan di tanah air telah diberlakukan sejak zaman
kerajaan nusantara (seperti Mataram Kuno, Majapahit, Mataram Islam), dan jaman
sebelum kemerdekaaan dari jaman penjajahan Belanda (seperti zaman Daendels,
jaman Raffles, Hindia Belanda), sampai pada zaman pendudukan militer Jepang.
Namun, perlu ditekankan disini bahwa makna pajak pada jaman penjajahan berbeda
dari pajak pada zaman kemerdekaan. Pada jaman penjajahan, pajak lebih banyak
dimaksudkan untuk kepentingan penjajah sedangkan pada jaman kemerdekaan
pajak dimaksudkan untuk pembangunan nasional.
Pada masa kolonial Perancis dan Belanda {Gubernur Jenderal Willem Daendels
(1808- 1811)}, serta Inggris {Sir Thomas Stanford Raffles (1811-1816)}, pajak telah
dimanfaatkan sebagai cara yang efektif dalam membangun sistem keuangan dan
menancapkan konsep “negara” modern di wilayah nusantara yang sekaligus
menghapus pemungutan pajak ala sistem feodal yang dikembangkan oleh kerajaan
tradisional (hlm. ix). Pada tahun 1870, sebagai fase ekonomi liberal yang ditandai
oleh munculnya sejumlah perusahaanperusahaan asing, maka pemerintah dengan
mudah memanfaatkan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Namun, praktik
pemungutan pajak pada masa penjajahan berakhir dengan gejolak sosial. Rakyat
memberontak kepada Pemerintah karena pajak telah menjadi beban yang sangat
memberatkan rakyat sementara imbalan yang diterima rakyat tidak sebanding.
Pada masa pendudukan militer Jepang, terdapat praktik pemungutan yang dikenal
beragam jenis pajak, seperti pajak tanah, kewajiban serah padi, pajak jual beli
barang kiriman dengan kapal, pajak anjing, dan pajak sepeda. Peraturan tentang
kewajiban perpajakan yang diberlakukan oleh pemerintahan militer Jepang pada
dasarnya adalah melanjutkan praktik perpajakan yang telah diberlakukan oleh
Penjajah Belanda. Pajak dan retribusi, seperti tarif pos, kawat telekomunikasi
merupakan sumber penghasilan untuk kepentingan penjajah.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, terjadi banyak perubahan dalam struktur
kelembagaan perpajakan karena adanya dinamika politik dan ekonomi saat itu.
Kemajuan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan adalah lahirnya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (PPh), dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM)
Pada masa reformasi sampai dengan saat ini, sistem perpajakan tidak banyak
berubah, namun tetap memperhatikan perkembangan kondisi sosial, ekonomi, dan
politik. Hal ini diwujudkan dengan perubahan dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan beserta peraturan turunannya, agar tetap menjaga keadilan
dalam pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara.
2. Sumber Sosio-Politik
Secara sosio-politik, kewajiban warga negara dalam membayar pajak kepada negara
dapat ditelusuri dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk politik
yang selalu hidup berkelompok, bermasyarakat, dan berorganisasi. Manusia sejak
lahir merupakan makhluk yang lemah, yang memerlukan pertolongan orang lain
untuk dapat hidup sebagai manusia. Untuk menjadi manusia, ia memerlukan
perlakuan secara manusiawi karena hampir dapat dipastikan manusia tidak dapat
hidup tanpa bantuan manusia lain. Oleh karena itu, sejak lahir individu manusia
selalu hidup dalam kelompok dan memerlukan interaksi, komunikasi, partisipasi atau
campur tangan manusia lainnya.
Banyak ahli yang melihat manusia dari sudut pandang yang berbeda-beda.
Rousseau, misalnya, lebih dari tiga ratus tahun yang lalu memandang manusia
sebagai makhluk yang berbudi luhur dan lembut. Selain itu, Thomas Hobbes, lebih
dari empat ratus tahun yang lalu, memandang manusia sebagai makhluk yang ganas
dan destruktif. Kata-kata Hobbes yang terkenal “Homo homini lupus” (Manusia
adalah serigala bagi manusia lainnya). Manusia adalah makhluk yang senang
berperang, bahkan saling menaklukan satu kelompok manusia oleh kelompok
manusia lainnya.
Dalam konteks pajak ini, amanah yang disepakati antara pihak pemerintah dan
rakyat adalah beban kewajiban dan tanggung jawab yang dipikul pemerintah untuk
melayani rakyat sebagai akibat iuran wajib berupa pajak yang diberikan oleh rakyat.
“Dalam arti inilah pemerintah membutuhkan kekuatan politis untuk membentuk militer
guna menjaga keamanan dan menjamin kesejahteraan rakyatnya” (Wattimena,
2003). Kekuatan politisyang diperoleh oleh pemerintah berasal dari partisipasi rakyat
dalam arti yang luas. Partisipasi rakyat tersebut termasuk salah satunya dalam
bentuk pajak.
Banyaknya kasus perilaku warga negara sebagai Wajib Pajak, baik yang bersifat
perorangan maupun korporasi/perusahaan, yang melakukan penyimpangan dalam
perpajakan menunjukkan bahwa sosialisasi dan pendidikan tentang kewajiban
perpajakan masih diperlukan. Hal ini dapat dikatakan bahwa tingkat kesadaran sebagian
warga negara masih rendah.
Dalam beberapa kasus, masyarakat dihadapkan pada ketidakpastian apakah pajak yang
telah dibayar kepada pemerintah telah dimanfaatkan dengan benar. Kekhawatiran ini
bertolak dari fakta yang terlihat dan dirasakan oleh warga negara ketika memperhatikan
fasilitas publik yang dibiayai dari pajak ternyata kondisinya tidak baik, misalnya fasilitas
jalan raya yang rusak, alat transportasi umum tidak memadai, bangunan sekolah yang
rusak, dan ruang publik yang kurang memadai. Dalam hal ini, diperlukan adanya
tindakan pengawasan terhadap pemerintah dalam penggunaan atau pemanfaatan pajak.
Oleh karena itu, partisipasi warga negara secara langsung sangat diperlukan seiring
dengan era demokratisasi.
Pernahkah Anda berpikir apa yang akan terjadi seandainya di sebuah negara-
bangsa yang merdeka dan berdaulat tidak memiliki sistem perpajakan dan peraturan
tentang kewajiban perpajakan? Atau mungkin peraturan tentang perpajakan sudah ada,
namun apa yang akan terjadi apabila di negara tersebut warga negaranya tidak mau
membayar pajak? Benarkah pajak itu penting dan diperlukan oleh negara-bangsa termasuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, bahwa pajak sudah sejak zaman
kerajaankerajaan di nusantara (seperti Mataram Kuno, Majapahit, Mataram Islam). Praktik
pemungutan pajak dari rakyat oleh pihak kerajaan telah berlangsung berabad-abad. Dalam
buku “Jejak Pajak Indonesia” dijelaskan bahwa pajak pada masa Kerajaan Mataram telah
menjadi tumpuan hidup keraton untuk mencukupi keperluan, biaya perbaikan jalan, biaya
hidup pejabat, bahkan untuk rumput kuda milik raja. Kerajaan Mataram pada masa
kekuasaan Sultan Agung dapat berjaya dan mampu menyerang Kompeni Batavia karena
memiliki keuangan yang kuat yang diperoleh dari pajak.
Negara seperti Jepang dan Australia menjadi maju karena didukung oleh pemberlakuan tarif
pajak yang tinggi baik pajak perusahaan (30%) maupun perorangan (dalam rentang 5%
sampai dengan 40%). Tarif pajak badan dan perorangan di Jepang lebih tinggi daripada tarif
pajak di Indonesia, namun mereka merasa sangat bangga ketika membayar pajak karena
mereka dapat mewujudkan rasa cintanya kepada negara. Warga negara Australia pun mau
membayar pajak dengan penuh tanggung jawab karena pajak yang mereka bayarkan akan
digunakan untuk membangun sektor-sektor strategis bagi kesejahteraan hidup warga
negara Australia.
Dari fakta tersebut, sangat jelas bahwa keberadaan hukum perpajakan dan upaya
penegakannya sangat penting. Ketiadaan penegakan hukum, terlebih tidak adanya aturan
hukum, akan mengakibatkan kehidupan masyarakat menjadi “kacau” (chaos). Negara dan
Bangsa Indonesia sebagai negara modern telah menganut sistem demokrasi konstitusional,
serta telah memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan, lembaga-lembaga hukum,
badan-badan lainnya, dan aparatur penegak hukum. Namun, demi kepastian hukum untuk
memenuhi rasa keadilan masyarakat, upaya penegakan hukum harus selalu dilakukan
secara terus menerus termasuk dalam penegakan hukum perpajakan.
BAB 7
Bab ini akan mengkaji lebih lanjut bagaimana negara mengelola pajak agar dapat
menjalankan fungsi-fungsi seperti di atas. Negara melalui pemerintah berkewajiban
menjalankan pemerintahan, termasuk dalam hal mengelola pajak. Bab ini mendeskripsikan
tentang bagaimana negara mengelola pajak untuk pembiayaan negara. Esensi materi
meliputi (1) lembaga pengelola pajak dan jenis pajaknya; (2) alasan mengapa negara yang
mengelola pajak;(3) informasi tentang pengelolaan pajak oleh negara;(4) argumen tentang
tantangan pengelolaan pajak oleh negara; dan (5) esensi dan urgensi pengelolaan pajak
oleh negara. Tujuan penulisan bab ini adalah mahasiswa memahami pengelolaan pajak oleh
negara. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan proses pembelajaran melalui pendekatan
saintifik/berbasis proses keilmuan, yaitu: (1) menelusuri lembaga pengelola pajak dan jenis
pajaknya; (2) menanya alasan mengapa negara yang mengelola pajak; (3) menggali
informasi tentang pengelolaan pajak oleh negara; (4) membangun argumen tentang
tantangan pengelolaan pajak oleh negara; dan (5) mendeskripsikan esensi dan urgensi
pengelolaan pajak oleh negara. Bab ini diakhiri dengan rangkuman dan tugas belajar lanjut
melalui Proyek Belajar Sadar Pajak.Sebelum mengkaji bab ini, mari kita simak pemberitaan
dari sebuah media mengenai pajak sebagai berikut.
Menelusuri Konsep Lembaga Negara yang Mengelola Pajak dan Jenis Pajak
Tahukah Anda, apa itu lembaga negara? Lembaga negara dapat disebut juga
sebagai badan negara atau organ negara. Lembaga negara dibentuk oleh negara untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsi negara. Lembaga dapat dikatakan sebagai wadah yang
menyelenggarakan fungsi, sedangkan negara adalah organisasi kekuasaan yang memiliki
unsur rakyat, wilayah, dan pemerintahan. Apa itu pemerintahan?
Istilah pemerintahan bisa diartikan secara luas dan sempit. Dalam arti luas,
pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan-badan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif di suatu negara dalam rangka mencapai tujuan
penyelenggaraan negara.
Berdasar UUD Tahun 1945, kita mengenal berbagai lembaga negara, baik
berdasarkan fungsi maupun hierarkinya. Dilihat dari fungsinya, lembaga negara ada
yang bersifat utama/primer (primary constitutional organs) dan bersifat
penunjang/sekunder (auxiliary state organs). Selain itu, dari hirarkinya, lembaga
negara dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu:
a. lembaga tinggi negara, yaitu lembaga yang nama, fungsi, dan
kewenangannya dibentuk berdasarkan UUD Tahun 1945;
b. lembaga negara, yaitu lembaga yang sumber kewenangannya berasal
dari UUD Tahun 1945, undang-undang, regulator, atau pembentuk
peraturan dibawah undang-undang;
c. lembaga daerah, yaitu lembaga negara yang terdapat di daerah, yang
terdiri dari pemerintahan daerah provinsi/kabupaten/kota,
gubernur/bupati/walikota, DPRD provinsi/kab./kota.
Kegiatan mengadministrasikan pajak, dilakukan melalui 3 (tiga) fungsi utama, yakni fungsi
pelayanan, pengawasan dan penegakan hukum. Fungsi pelayanan, misalnya registrasi
NPWP dan pelaporan SPT. Fungsi pengawasan, misalnya pemeriksaan pajak dan
ekstensifikasi Wajib Pajak baru. Fungsi penegakan hukum, misalnya penagihan dan
penyidikan tindak pidana perpajakan.
Kebijakan pemerintah dalam hal pajak, yang selanjutnya dapat disebut kebijakan
perpajakan, termasuk bagian dari kebijakan publik (public policy).Kebijakan (policy) adalah
sekumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam
usahamemilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut (Budiardjo,
2008). Lalu apa yang dimaksud kebijakan publik (public policy)?
Menurut Thomas R Dye (dalam Riant Nugroho, 2012), “Public Policy is whatever the
government choose to do or not to do“ (kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu). Mengapa suatu kebijakan harus
dilakukan? Apa manfaat kebijakan publik bagi kehidupan bersama? Apa yang harus menjadi
pertimbangan holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi
warganya dan tidak menimbulkan persoalan yang merugikan?
Salah satu kebijakan publik adalah kebijakan di bidang perpajakan.Kebijakan perpajakan
(tax policy) adalah kebijakan mengenai perubahan sistem perpajakan yang sesuai dengan
perkembangan, tujuan ekonomi, politik, dan sosial pemerintah. Dengan adanya kebijakan
perpajakan, pemerintah mengharapkan terjadi peningkatan penerimaan dari sektor pajak,
dalam rangka mencapai kemandirian pembiayaan dan pembangunan (Prakosa, 2003).
Kebijakan perpajakan merupakan salah satu bagian dari instrumen kebijakan fiskal yang
bertujuan untuk mempengaruhi perekonomian negara, mengatur perekonomian negara,
meningkatkan penerimaan negara,dan mendorong investasi, serta menciptakan keadilan.
Beberapa contoh kebijakan perpajakan, misalnya:
Penerimaan negara terdiri atas 3 (tiga) sumber, yakni penerimaan perpajakan, penerimaan
negara bukan pajak, dan penerimaan hibah. Pajak menjadi sumber pendapatan yang besar
bagi negara Indonesia saat ini. Penerimaan Perpajakan terdiri dari penerimaan pajak dan
penerimaan dari bea dan cukai. Penerimaan pajak berkontribusi sekitar 74,6% dari seluruh
penerimaan negara untuk keperluan pembiayaan pembangunan.
Pengelolaan Pajak
Negara berwenang mengelola pajak, yang di dalamnya terdapat kegiatan
mengadministrasikan penerimaan pajak dan mendistribusikan hasil penerimaan pajak untuk
keperluan pembangunan. Hal ini didasarkan pada amanat UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 23A yang menyatakan “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Kewenangan negara tersebut
didasarkan pada undang-undang yang sekaligus mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat,
bahwa undang-undang merupakan produk hukum sebagai persetujuan bersama antara
pemerintah dengan DPR selaku wakil rakyat.
Kewenangan negara ini didasarkan atas pendekatan “Benefit Approach” atau pendekatan
manfaat. Pendekatan ini mendasarkan pada suatu falsafah “oleh karena negara
menciptakan manfaat yang dinikmati oleh seluruh warga negara, maka negara
berwewenang memungut pajak dari rakyat dengan cara yang dapat dipaksakan
berdasarkan undangundang”.
Pengadministrasian Pajak
1. Pajak Pusat
Pajak Pusat diadministrasikan oleh pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) bersama unit kerja di bawahnya. Kegiatan administrasi pajak pusat oleh
DJP dilakukan melalui 3 (tiga) fungsi utama, yakni fungsi pelayanan, pengawasan,
dan penegakan hukum. Fungsi pelayanan, misalnya registrasi NPWP dan pelaporan
SPT. Fungsi pengawasan, misalnya pemeriksaan pajak dan ekstensifikasi Wajib
Pajak baru. Fungsi penegakan hukum, misalnya penagihan dan penyidikan tindak
pidana perpajakan.
Pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak
Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan, Perkebunan, dan Perhutanan (PBB
Sektor P3), dan Bea Meterai. Penjelasan untuk masing-masing pajak adalah sebagai
berikut:
Pengenaan PPnBM diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
4) Bea Meterai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat
perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek,
yang memuat jumlah uang atau nominal di atas jumlah tertentu sesuai dengan
ketentuan.
2. Pajak Daerah
Pajak Daerah adalah pajak yang diadministrasikan oleh Pemerintah Daerah
(provinsi, kota, atau kabupaten) dan digunakan untuk membiayai keperluan rumah
tangga daerah yang bersangkutan. Contoh Pajak Daerah adalah pajak hiburan,
pajak restoran, pajak reklame, pajak hotel, pajak pengambilan dan pengolahan
bahan galian golongan C, dan lain-lain. Jadi, wewenang pemungutannya ada pada
Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) atau nama lain yang memiliki
fungsi sejenis.
1) Pajak Provinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor, yakni pajak atas kepemilikan dan/atau
penguasaan kendaraan bermotor.
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, yakni pajak atas penyerahan hak
milik kendaraan bermotornsebagai akibat perjanjian dua pihak atau
perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar
menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor yakni pajak atas penggunaan
bahan bakar kendaraan bermotor.
d. Pajak Air Permukaan, yakni pajak atas pengambilan dan/atau
pemanfaatan air permukaan.
e. Pajak Rokok, yakni pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh
Pemerintah.
2) Pajak Kabupaten/Kota
a. Pajak Hotel, yakni pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
b. Pajak Restoran, yakni pajak atas pelayanan yang disediakan oleh
restoran.
c. Pajak Hiburan, yakni pajak atas penyelenggaraan hiburan.
d. Pajak Reklame, yakni pajak atas penyelenggaraan reklame.
e. Pajak Penerangan Jalan, yakni pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik
yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
f. Pajak Parkir, yaitu pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar
badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha
maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan
tempat penitipan kendaraan bermotor.
g. Pajak air Tanah, yakni pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air
tanah.
h. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yakni pajak atas kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di
dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
i. Pajak Sarang Burung Walet, yakni pajak atas kegiatan pengambilan
dan/atau pengusahaan sarang burung wallet.
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, yakni pajak atas
bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan
oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk
kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yakni pajak atas
perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Pendistribusian Pajak
Kegiatan mendistribusikan pajakmeliputi kegiatan mengalokasikan besaran
anggaran untuk tiap-tiap sektor pembangunan dan/atau kementrian/lembaga atau dinas
daerah. Selanjutnya, kementerian atau lembaga dan dinas daerah menggunakan anggaran
tersebut untuk melaksanakan program-programnya.
Perlu dipahami bahwa fungsi mendistribusikan pajak bagi pembangunan bukanlah tugas
lembaga yang mengadministrasikan pajak, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak selaku
pengadministrasi pajak pusat maupun Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset
Daerah selaku pengadministrasi pajak daerah. Kedua lembaga tersebut terbatas pada
fungsi mengadministrasikan pajak, yakni kegiatan memungut pajak dan mengumpulkan
hasil pajak.
Fungsi mendistribusikan hasil pajak pusat sebagai salah satu sumber pembangunan ada
pada DPR, pemerintah pusat dan kementerian terkait yang terdokumentasi dalam
undangundang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Demikian pula,
pendistribusian hasil pajak daerah, diatur dan ditetapkan oleh suatu peraturan daerah
perihal Anggaran Pembangunan Belanja Daerah (APBD) yang merupakan kesepakatan
bersama antara Pemerintah Daerah dengan DPRD.
APBN mempunyai peran strategis untuk melaksanakan fungsi ekonomi Pemerintah, yaitu
fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi berkaitan dengan
alokasi anggaran Pemerintah untuk tujuan pembangunan nasional, terutama dalam
melayani kebutuhan masyarakat dan mendukung penciptaan akselerasi pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan berkualitas. Fungsi distribusi berkaitan dengan distribusi
pendapatan dan subsidi dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, sedangkan fungsi
stabilisasi berkaitan dengan upaya untuk menjaga stabilitas dan akselerasi kinerja ekonomi
sehingga perekonomian tetap pada kondisi yang produktif, efisien, dan stabil. Anggaran
Belanja Negara pada APBN Tahun 2016 berjumlah Rp.2095,7 Triliun yang didistribusikan
sebagaimana gambar VII.8.
Transfer ke Daerah adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian, dengan
rincian sebagai berikut:
a. Transfer Dana Perimbangan, meliputi:
1) Transfer Dana Bagi Hasil Pajak;
2) Transfer Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam;
3) Transfer Dana Alokasi Umum; dan
4) Transfer Dana Alokasi Khusus.
b. Transfer Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian, meliputi:
1) Transfer Dana Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat;
2) Transfer Dana Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam; dan
3) Transfer Dana Penyesuaian
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, ada beberapa jenis pajak yang dikelola oleh
pemerintah daerah yang selanjutnya disebut pajak daerah. Pajak daerah menjadi sumber
penerimaan daerah guna membiayai pengeluaran termasuk pembangunan di daerah yang
bersangkutan. Dalam naskah APBD, setiap tahunnya dimuat rancangan penerimaan daerah
dan pengeluaran daerah, termasuk besaran pajak daerah yang dijadikan salah satu sumber
penerimaan daerah.
BAB 8
Untuk mencapai target penerimaan pajak yang terus meningkat, peran dan dukungan
masyarakat menjadi sangat penting, terlebih karena membayar pajak juga merupakan salah
satu kewajiban warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD Tahun 1945.
Untuk menjadi warga negara yang baik, salah satunya dapat ditunjukkan dengan kesadaran
dan kepatuhan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Oleh sebab itu, kesadaran dan
kepatuhan semua pihak perlu ditingkatkan mengingat pentingnya peranan pajak.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
1. kontribusi wajib kepada negara;
2. merupakan utang pribadi atau badan;
3. pembayaran bersifat memaksa;
4. sifat memaksa tersebut berdasarkan undang-undang;
5. tidak disertai imbalan secara langsung;
6. digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Perpajakan Indonesia secara umum menganut sistem self assessment yang memberikan
kepercayaan dan tanggung jawab penuh kepada masyarakat Wajib Pajak untuk memenuhi
kewajiban perpajakannya. Dalam sistem tersebut, masyarakat Wajib Pajak diberi
kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan
melaporkan sendiri pajak yang menjadi tanggungannya.
Dengan dianutnya sistem self assessment tersebut, maka pengetahuan perpajakan yang
memadai merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh Wajib Pajak agar dapat
memenuhi kewajiban perpajakannya secara baik dan benar.
1. Persyaratan Subjektif
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai
subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dan perubahannya.
2. Persyaratan Objektif
Persyaratan Objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang telah menerima atau
memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan
pemotongan/pemungutan. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, persyaratan objektif
terpenuhi apabila Wajib Pajak mempunyai penghasilan yang melebihi Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP), sedangkan untuk Wajib Badan persyaratan objektif
terpenuhi apabila badan atau perusahaan tidak mengalami kerugian.
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian di atas, bahwa untuk dapat dikenakan
pajak, maka Wajib Pajak harus memenuhi persyaratan subjektif dan objektif tersebut
sekaligus pada saat yang bersamaan.
6. Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada
hubungannya dengan subjek pajak atau karena sebab-sebab tertentu lainnya serta
dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam dan juga bagi Wajib Pajak
anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan, dapat
mengajukan permohonan pengurangan atas pajak terutang.
Khusus untuk Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang
sudah dialihkan ke Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten), pengurusan untuk
pengurangan PBB tidak lagi di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tetapi di Kantor Dinas
Pendapatan Kota/kabupaten setempat.
a. Penghasilan
b. pengurang penghasilan;
c. penghasilan netto;
d. penghasilan kena pajak;
e. tarif pajak;
f. besarnya pajak terutang;
Pajak terutang adalah pajak yang harus dibayar dalam suatu masa pajak atau tahun
pajak, yang diperoleh dengan cara mengalikan antara Penghasilan Kena Pajak
(PhKP) dikalikan dengan tarif pajak sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Disamping sistem sefl assessment, diterapkan juga official system, yaitu suatu
sistem yang memberi tanggung jawab kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang olah Wajib Pajak. Sistem ini pada umumnya
diterapkan pada pengenaan pajak langsung. Dalam hal ini Wajib Pajak bersifat pasif
karena utang pajak baru timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
Sistem ini diterapkan seperti dalam conoth pelunasan Pajak Bumi Bangunan (PBB),
dimana Otoritas Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak mengenai
besarnya PBB yang terutang setiap tahun. Jadi, Wajib Pajak tidak perlu menghitung
sendiri, tapi cukup membayar PBB berdasarkan Surat Pembayaran Pajak Terutang
(SPPT) yang dikeluarkan olek KPP dimana tempat objek pajak tersebut terdaftar.
Menghitung pajak juga bisa dilakukan dengan with holding system. Sistem ini
merupakan sistem perpajakan dimana pihak ketiga baik Wajib Pajak Orang Pribadi
maupun Wajib Pajak Badan Dalam Negeri diberi kepercayaan oleh peraturan
perundang-undangan untuk melaksanakan kewajiban memotong atau memungut
pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada penerimaan penghasilan.
Sarana yang dipakai untuk membayar bisa dilakukan dengan Surat Setoran Pajak
(SSP) yang dapat dilihat melalui link berikut
“http://www.pajak.go.id/mts_download_tree/page/48”. Pembayaran dan penyetoran
pajak dilakukan ke Kas Negara, dengan cara:
1) menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) melalui layanan pada loket/teller (over
the counter) pada Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank
Persepsi Mata Uang Asing; atau
2) pembayaran pajak secara elektronik melalui e-billing yang dapat diakses pada
situs djponline.pajak.go.id.
4. Kewajiban Melaporkan
Untuk mempertanggungjawabkan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam satu
masa pajak atau tahun pajak, maka Wajib Pajak melaporkan kepada otoritas pajak
menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT). Surat Pemberitahuan adalah surat yang
oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran
pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Bentuk dari SPT,
baik SPT Masa maupun SPT 162 Tahunan.
SPT disampaikan oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak atau tempat lain yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, dengan cara:
1) disampaikan secara langsung;
2) melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
3) perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
4) saluran tertentu yang ditetapkan oleh DirekturJenderal Pajak sesuai dengan
perkembangan teknologi informasi (e-Filing).
Jenis SPT dapat dibedakan menjadi SPT Tahunan dan SPT Masa yang dapat
dijelaskan, sebagai berikut:
a. SPT Masa, yaitu SPT yang digunakan untuk melakukan pelaporan atas
pembayaran pajak bulanan, terdiri dari:
a) SPT Masa PPh Pasal 21, adalah SPT Masa yang digunakan oleh pemberi
kerja dalam pemotongan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan;
b) PPh Pasal 22, adalah SPT Masa yang digunakan oleh pemungut tertentu,
antara lain:
Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah
dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran
atas penyerahan barang;
Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan
dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong
sangat mewah.
c) SPT Masa PPh Pasal 23, adalah SPT Masa yang digunakan untuk
melaporkan pemotongan pajak atas penghasilan yang berasal dari modal,
penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong
PPh Pasal 21
d) SPT Masa PPh Pasal 26, adalah SPT Masa yang digunakan untuk
pemotongan PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber
dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri
selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia ,
e) SPT Masa PPN (1111, 1111DM, dan 1107) dan PPnBM, adalah SPT Masa
yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak, pengusaha tertentu, maupun
pemungut untuk melaporkan jumlah PPN yang terutang dalam suatu masa
pajak. SPT Masa PPN 1111 digunakan oleh PKP, 1111DM digunakan oleh
PKP tertentu, 1107 digunakan oleh pemungut, antara lain bendahara
pemerintah, BUMN, dan lain-lain.
b. SPT Tahunan, yaitu SPT yang digunakan untuk pelaporan tahunan, terdapat dua
jenis SPT Tahunan, yaitu SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi (1770SS,
1770S, dan 1770) dan SPT Tahunan Wajib Pajak Badan (1771).
Untuk kepentingan penegakan hukum, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi
dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan
data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi
online wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat
kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan
Wajib Pajak badan.
Permohonan pendaftaran NPWP dapat Anda sampaikan dengan salah satu dari tiga cara
berikut:
1. mendaftarkan diri secara online dengan sistem Aplikasi e-Registration melalui laman
Direktorat Jenderal Pajak (http://www.pajak.go.id/);
2. mendaftarkan diri secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor
Penyuluhan, Pelayanan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP);
3. mengirimkan formulir pendaftaran dan melampirkan persyaratan administrasi melalui
pos tercatat atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir ke KPP atau KP2KP
yang sesuai dengan tempat tinggal atau kedudukan atau kegiatan usaha WP.
Bagi UMKM baik perseorangan maupun badan (PT, CV, BUMD, firma, kongsi, koperasi,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik) yang
memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak, wajib mendaftarkan sendiri ke KPP atau K2KP untuk
memperoleh NPWP. UMKM milik perseorangan yang wajib memiliki NPWP adalah yang
telah memenuhi persyaratan subjektif dan persyaratan objektif. Syarat subjektifnya adalah
orang pribadi, sedangkan syarat objektifnya adalah memiliki penghasilan yang akan
dikenakan pajak melebihi PTKP.
BAB 9
Rangkuman
Negara memiliki kekuatan memaksa. Namun demikian, paksaan yang dilaksanakan oleh
negara tidak boleh berdasarkan kesewenang-wenangan. UUD Tahun 1945 menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga negara dalam melaksanakan
wewenangnya (yang dapat memaksakan sesuatu kepada warga negara) harus berdasarkan
hukum yang berlaku. Tujuan penegakan hukum sebagaimana tujuan hukum itu sendiri
adalah untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, kepastian dan perlindungan hukum. Faktor
terpenting dari terciptanya hukum yang berkeadilan adalah ada di penegak hukumnya,
sebab mereka yang menyusun dan menegakan hukum tersebut.
Sama halnya dengan penegakan hukum secara umum, penegakan hukum pajak juga
bertujuan untuk menciptkan keadilan, kemanfaatan, kepastian dan perlindungan hukum.
Negara dalam memungut pajak harus berdasarkan hukum dan proses penegakan hukum
pajak juga harus berlandaskan hukum. Proses penegakan hukum pajak tidak hanya
terfokus pada pengenaan saksi bagi yang melanggar, tetapi juga perlu upaya untuk
penyadaran mengapa mereka yang melanggar dikenai sanksi. Dengan adanya penegakan
hukum pajak, maka akan mendorong mereka yang melanggar untuk patuh dan memberi
keadilan bagi Wajib Pajak yang telah patuh. Untuk menjamin proses penegakan hukum
telah dilaksanakan secara berkeadilan, maka hukum pajak juga menyediakan institusi/pihak
yang bertugas untuk menyelesaian sengketa terkait dengan perpajakan, yaitu melalui
administrator perpajakan, lembaga peradilan pajak, dan lembaga peradilan umum.
BAB X
BAGAIMANA HUBUNGAN MEMBAYAR PAJAK DENGAN BELA NEGARA?
10.1 Menelusuri Konsep Hak dan Kewajiban WNI, Bela Negara dan Hankam
Setiap orang memiliki hak yang biasanya diperoleh setelah melaksanakan kewajibannya.
Hak setiap orang dibatasi oleh hak orang lain. Dalam konteks kehidupan bernegara, hak
warga negara dilindungi di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Bukan hanya
hak saja yang diatur dengan peraturan perundang-undangan, perihal kewajiban juga
demikian. Hal ini demi terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai dan
tentram. Di negara Republik Indonesia, hak dan kewajiban warga negara diatur di dalam
konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Salah satu kewajiban yang harus ditunaikan
oleh warga negara adalah membayar pajak.
Pajak merupakan kewajiban warga negara. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa
hak dan kewajiban di negara kita dicantumkan di dalam konstitusi dan peraturan
perundangundangan lainnya. Diantara hak dan kewajiban Warga Negara (WN) yang
tercantum di dalam konstitusi Negara Republik Indonesia tertera hak dan kewajiban untuk
ikut serta dalam upaya bela negara dan ikut serta dalam usaha mempertahankan
pertahanan dan keamanan negara. Berikut ini pemaparan mengenai kewajiban warga
negara dalam konsep bela negara.
10.1.1 Konsep Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia (WNI)
Siapa yang dimaksud warga negara sebagaimana dinyatakan di dalam konstitusi : “Yang
menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orangorang bangsa lain
yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.” Dapat disimpulkan bahwa
yang menjadi warga negara menurut konstitusi tidak hanya orang-orang asli Indonesia tapi
orang asing pun bisa menjadi warga negara asalkan sudah mendapatkan pengesahan
berdasarkan undang-undang (pewarganegaraan). Berikut beberapa contoh orang yang
dinyatakan sebagai WNI sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 :
a. setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau
berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain
sebelum UU ini berlaku, sudah menjadi WNI;
b. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu WNI;
c. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu
WNA;
d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan ibu
WNI;
Manusia biasanya sangat senang memikirkan, mendiskusikan, atau menuntut haknya. Gaji,
upah atau honor adalah contoh konkret dari apa yang disebut hak. Hak ini akan diterima
oleh seseorang setelah melaksanakan kewajibannya, yakni melakukan suatu pekerjaan.
Merupakan hal yang sangat menyenangkan ketika kita menerima hak, misalnya gaji. Di sisi
lain, hal yang biasanya dianggap kurang menyenangkan adalah ketika harus menunaikan
kewajiban. Dalam hukum ekonomi disebutkan bahwa ketika melakukan sesuatu, kita
usahakan melakukan pengorbanan seminimal mungkin untuk mendapatkan keuntungan
semaksimal mungkin. Namun, jika didudukkan kembali kepada hakikat hak dan kewajiban,
maka seharusnya hak dan kewajiban dilaksanakan secara seimbang.
Definisi hak dalam konteks hak dan kewajiban, berdasarkan definisi yang diberikan oleh
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI online) adalah: 1) Kewenangan; 2) Kekuasaan untuk
berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dan sebagainya); 3)
Kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu; dan 4) Wewenang
menurut hukum, sedangkan definisi kewajiban menurut KBBI online adalah: 1) (sesuatu)
yang diwajibkan; sesuatu yang harus dilaksanakan; keharusan; 2) Pekerjaan; tugas; dan 3)
Tugas menurut hukum.
Di dalam definisi hak dan kewajiban di atas, terdapat kata-kata “menurut hukum”. Oleh
karena itu, untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai hak dan kewajiban
diperlukan juga uraian definisi hak dan kewajiban menurut hukum. Hans Kelsen
menyatakan bahwa penekanan atas hak dan kewajiban menurut hukum dan moral berbeda.
Di dalam hukum, hak didahulukan dibandingkan kewajiban, sedangkan di dalam aspek
moral, kewajiban lebih ditekankan dibandingkan hak.
Definisi hak menurut Satjipto Rahardjo adalah “kekuasaan yang diberikan oleh hukum
kepada seseorang dengan maksud untuk melindungi kepentingan seseorang tersebut”.
Marwan Mas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kewajiban adalah : “Kewajiban
sesungguhnya merupakan beban yang diberikan oleh hukum kepada orang atau badan
hukum (subjek hukum), misalnya kewajiban seseorang atau badan hukum untuk membayar
pajak dan lahirnya karena ketentuan undang-undang.”
Berdasarkan yang tercantum di dalam konstitusi, hak dan kewajiban WNI dapat
diidentifikasi sebagai berikut :
1. Beberapa Hak dasar WNI :
a. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Menyatakan diri sebagai
penduduk dan warga negara Indonesia atau ingin menjadi warga negara
suatu negara.
b. Setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam bidang
pemerintahan. Bersama kedudukan di dalam hukum dan pemerintah.
c. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
d. Setiap orang berhak atas jaminan sosial, hidup sejahtera lahir dan batin,
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
e. Setiap orang berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.
f. Setiap orang berhak hidup dan mendapatkan perlindungan dari yang bersifat
diskriminatif. Memperoleh jaminan dan perlindungan dalam pelaksanaan
berbagai bidang hak asasi manusia.
g. Setiap orang berhak bebas memeluk agama dan beribadah menurut
agamanya. Jaminan memeluk salah satu agama dan pelaksanaan ajaran
agamanya masingmasing.
10.5 Rangkuman
Bela negara adalah hak dan kewajiban setiap WNI. Bentuk bela negara dapat dibedakan
menjadi dua yakni bela negara secara fisik dan bela negara secara non fisik. Sesungguhnya
bela negara merupakan suatu upaya untuk mempertahankan eksistensi negara. Negara kita
memiliki strategi dalam mempertahankan eksistensi negara melalui konsep yang dinamakan
ketahanan nasional. Dengan dinamika negara kita yang sejak berdiri sudah melalui
berbagai macam ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan maka bela negara adalah
suatu keharusan.
Negara kita terus melaksanakan pembangunan. Pembangunan yang dilaksanakan
merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Untuk
melaksanakan pembangunan diperlukan biaya yang besar. Salah satu faktor yang
menentukan ketahanan suatu negara adalah faktor finansialnya. Pendapatan negara salah
satunya berasal dari pajak. Sehingga merupakan hal yang penting membayar pajak sebagai
salah satu upaya bela negara demi mempertahankan keutuhan bangsa dan negara.
BAB XI
MENGAPA MASYARAKAT PERLU TERLIBAT DALAM AMNESTI PAJAK?
Selain itu, terdapat dua kategori wajib pajak yang tidak wajib mengikuti amnesti pajak.
Pertama, masyarakat berpenghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang
saat ini sebesar Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta sebulan. Yang termasuk dalam
kelompok ini antara lain masyarakat berpenghasilan rendah, seperti buruh, pembantu
rumah tangga, nelayan, dan petani. Lalu, pensiunan yang hanya memiliki penghasilan
semata-mata dari uang pensiun. Kategori ini juga termasuk subjek pajak warisan belum
terbagi yang berpenghasilan di bawah PTKP pada tahun pajak terakhir. Selain itu, penerima
harta warisan namun tidak memiliki penghasilan atau memiliki penghasilan di bawah PTKP
juga tidak diwajibkan. Kedua, Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di luar negeri
lebih dari 183 hari dalam setahun dan tidak mendapatkan penghasilan dari Indonesia juga
tidak diwajibkan mengikuti program ini. Jika masyarakat berpenghasilan rendah dan WNI di
luar negeri tersebut tidak menggunakan haknya untuk mengikuti pengampunan pajak,
ketentuan Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan
Pajak, tidak diterapkan. Artinya, wajib pajak ini terhindar dari kemungkinan harta yang tak
dilaporkan ditemukan datanya oleh Dirjen Pajak dan diperlakukan sebagai penghasilan
tambahan, sehingga harus membayar pajak dan sanksi denda.
11.1.3 Apa saja yang Menjadi Objek Amnesti Pajak?
Amnesti Pajak diberikan kepada Wajib Pajak melalui pengungkapan Harta yang dimilikinya
dalam Surat Pernyataan. Surat Pernyataan adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak
untuk melaporkan Harta, Utang, nilai Harta Bersih, penghitungan dan pembayaran Uang
Tebusan. Nilai Harta yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan meliputi:
a. nilai Harta yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Terakhir; dan
b. nilai Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam
SPT Tahunan PPh Terakhir.
Dikecualikan dari objek amnesti pajak adalah harta warisan dan/atau harta hibahan yang
diterima keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat yang belum atau belum
seluruhnya dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh yang:
a. diterima oleh ahli waris dan/atau penerima hibah yang tidak memiliki
penghasilan atau memiliki penghasilan di bawah PTKP; atau
b. atas harta warisan dan/atau harta hibahan tersebut sudah dilaporkan dalam
SPT Tahunan PPh pewaris/pemberi hibah, serta
Tarif uang tebusan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak dalam rangka memanfaatkan
program amnesti pajak diatur dengan ketentuan:
1. Tarif uang tebusan atas harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) atau harta yang berada di luar wilayah NKRI yang
dialihkan ke dalam wilayah NKRI dan diinvestasikan di dalam wilayah NKRI dalam
jangka waktu paling singkat 3 tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar:
a. 2% untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai
dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
b. 3% untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung
sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016
dan
c. 5% untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari
sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
2. Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah sebesar:
a. 4% untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai
dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
b. 6% untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung
sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016
dan
c. 10% untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari
sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
3. Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan
Rp4,8 milyar pada Tahun Pajak Terakhir adalah sebesar:
a. 0,5% bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan Rp10
milyar dalam Surat Pernyataan atau
b. 2% bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp10 milyar dalam
Surat Pernyataan.
11.1.8 Apa Konsekuensi Bagi yang Mengikuti dan Tidak Mengikuti Amnesti Pajak?
Sebagai wajib pajak yang baik, masyarakat harus mengenali risiko dan konsekuensi yang
didapatkan jika memutuskan ikut atau tidak ikut dalam program ini. Jika wajib pajak memilih
ikut amnesti pajak namun tidak jujur, maka harus berhati-hati. Pasalnya, harta yang tidak
diungkap saat ikut program ini dan ditemukan oleh kantor pajak sampai dengan 1 Juli 2019,
akan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai pajak sesuai ketentuan dan
sanksi 200 persen dari pajak yang terutang.
Sementara di sisi lain, jika wajib pajak memilih tidak ikut amnesti pajak dan terdapat harta
yang diperoleh sejak 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum
dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh, dianggap tambahan penghasilan dan dikenai pajak
dan sanksi sesuai Undang-Undang (UU) yang berlaku, kecuali bagi Wajib Pajak yang
memang diperbolehkan untuk tidak ikut program amnesti pajak.
Wajib Pajak yang memilih tidak ikut amnesti pajak harus segera menyampaikan pembetulan
SPT sebelum 31 Maret 2017. Jadi ,semua pilihan mempunyai risiko dan konsekuensi,
termasuk jika mengacu ke UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Dengan
demikian, wajib pajak yang memilih ikut maupun tidak ikut program amnesti pajak dituntut
untuk jujur. Jika tidak, maka akan dikenai sanksi yang memberatkan. UU Pengampunan
Pajak justru dimaksudkan menjadi sarana rekonsiliasi antara pemerintah dan masyarakat
wajib pajak. Perpajakan memiliki sifat gotong royong yang hanya bisa terwujud jika ada
saling percaya. Melalui amnesti pajak justru pemerintah merelakan kewenangannya
melakukan penegakan hukum yang keras dan memberi kesempatan bagi semua warga
negaranya untuk berpartisipasi.
11.2 Menanya Alasan Mengapa Masyarakat Mengikuti Program Amnesti Pajak
Kebijakan Amnesti Pajak adalah terobosan kebijakan yang didorong oleh semakin kecilnya
kemungkinan untuk menyembunyikan kekayaan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia karena semakin transparannya sektor keuangan global dan meningkatnya
intensitas pertukaran informasi antarnegara. Kebijakan Amnesti Pajak juga tidak akan
diberikan secara berkala. Setidaknya, hingga beberapa puluh tahun ke depan, kebijakan
Amnesti Pajak tidak akan diberikan lagi. Ikut serta dalam Amnesti Pajak juga membantu
Pemerintah mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan
Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik,
perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi; merupakan
bagian dari reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta
perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi; dan
meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan
pembangunan.
Kebijakan Amnesti Pajak, dalam penjelasan umum Undang-Undang Pengampunan Pajak,
hendak diikuti dengan kebijakan lain seperti penegakan hukum yang lebih tegas dan
penyempurnaan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan, Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta kebijakan strategis
lain di bidang perpajakan dan perbankan sehingga membuat ketidakpatuhan Wajib Pajak
akan tergerus di kemudian hari melalui basis data kuat yang dihasilkan oleh pelaksanaan
UndangUndang ini.
11.3 Menggali Sumber Historis Pelaksanaan Program Amnesti Pajak
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang pernah melaksanakan pengampunan
pajak. Sejak Tahun 1964 sampai dengan Tahun 2008, tercatat Indonesia telah melakukan 4
(empat) kali pengampunan pajak, yaitu pada Tahun 1964, Tahun 1984, Tahun 2008, dan
Tahun 2015.
11.3.1 Pengampunan Pajak Tahun 1964
Pengampunan pajak yang pertama kali diadakan di Indonesia diberlakukan di masa
pemerintahan Presiden Soekarno. Penetapan kebijakan ini dilakukan dengan penerbitan
Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1964 tentang Peraturan
Pengampunan Pajak. Pemerintah memiliki beberapa alasan yang kuat untuk mengeluarkan
peraturan pengampunan pajak, yaitu :
a. Keadaan ekonomi pada saat itu tidak begitu baik dimana inflasi berkembang
dari tahun ke tahun. Hal tersebut mudah untuk dijadikan alasan bagi para
Wajib Pajak untuk menghindarkan sebagian besar laba, pendapatan dan
kekayaan-nya dari peraturanperaturan pajak atas laba, pendapatan dan
kekayaan yang saat itu berlaku;
b. Sistem pembukuan yang lengkap dan benar pada saat itu tidak mudah untuk
dilaksanakan. Indonesia menganut sistem laba fiskal, yang meliputi pula laba
inflasi. Hal tersebut memberikan dorongan bagi Wajib Pajak untuk melanggar
peraturan pajak;
c. Tarif Pajak Pendapatan pada saat itu merupakan tarif progresif yang
dianggap sangat berat atau tinggi oleh Wajib Pajak. Hal tersebut dianggap
oleh masyarakat sebagai hukuman berat. Pendapatan yang diperoleh
sebagai hasil kerja keras Wajib Pajak tidak terlalu bisa dirasakan manfaatnya
karena faktor inflasi. Selain itu, terdapat proporsi tertentu dari pendapatan
yang harus diserahkan kepada negara dalam bentuk Pajak Pendapatan. Hal
ini dapat memotivasi Wajib Pajak untuk mengelak dari kewajiban
perpajakannya;
d. Negara Kesatuan Republik Indonesia pada saat itu memerlukan dana yang
besar untuk membiayai ’Revolusi Nasional Indonesia’, pelaksanaan Dwikora,
dan melanjutkan Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang menjadi
salah satu konsep dalam pemerintahan Soekarno.
Kebijakan pengampunan pajak digunakan oleh pemerintah pada Tahun 1964 untuk menarik
dana dari masyarakat yang potensial tetapi belum dikenai pajak. Pada saat yang sama
dengan ditetapkannya pengampunan pajak, dikeluarkan paket kebijaksanaan ekonomi dan
keuangan atau fiskal di bawah kendali Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE).
Bentuk pengampunan pajak pada Tahun 1964 adalah pengampunan pajak tipe
investigation amnesty. Investigation amnesty menurut Sawyer adalah Pengampunan yang
menjanjikan tidak akan menyelidiki sumber penghasilan yang dilaporkan pada tahun-tahun
tertentu dan terdapat sejumlah ”uang pengampunan” (amnesty fee) yang harus dibayar.
Sesuai dengan konsep tersebut, pengampunan pajak tahun 1964 mewajibkan subjek
pengampunan untuk membayar uang tebusan sejumlah 10% dan atau 5% (tarif reduksi).
Pertanyaan, penyelidikan, dan pemeriksaan tentang asal-usul kekayaan yang dilaporkan
tidak dilakukan. Pengampunan Pajak Tahun 1964 dikatakan oleh banyak pihak tidak sesuai
dengan target dan harapan pemerintah. Jumlah dana yang dihasilkan tidak cukup dan
program pengampunan pajak dirancang tanpa melalui suatu pemikiran yang matang.
Berdasarkan hal di atas dapat dikatakan bahwa pengampunan pajak Tahun 1964 tidak
berhasil. Ketidakberhasilan tersebut terlihat dari jumlah dana yang dihasilkan tidak cukup.
Hal ini mengindikasikan kurangnya kegiatan kampanye pengampunan pajak yang dilakukan
pemerintah, tapi hal ini tidak dapat dibuktikan oleh penulis karena keterbatasan data.
Ketidakberhasilan pengampunan pajak Tahun 1964 dikarenakan tidak adanya perbaikan
struktural paska pengampunan pajak.
11.3.2 Pengampunan Pajak Tahun 1984
Pengampunan pajak pada Tahun 1984 diberlakukan pada saat Presiden Soeharto menjadi
kepala pemerintahan di Indonesia. Pemberlakuan pengampunan pajak pada saat itu
diperintahkan secara langsung oleh presiden dengan penerbitan Keputusan Presiden
Nomor 26 Tahun 1984. Berturut-turut setelah itu dibuat peraturan pelaksana berupa
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 345/KMK.04/1984 tentang Pelaksanaan
Pengampunan Pajak jo. Keputusan Menteri Keuangan No 966/KMK.04/1983 tentang Faktor
Penyesuaian Untuk Penghitungan Pajak Penghasilan. Pengampunan Pajak Tahun 1984
ditetapkan sebagai pelengkap dari pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan Nomor 6, 7,
dan 8 Tahun 1983. Latar belakang pemerintah dalam menetapkan kebijakan pengampunan
pajak Tahun 1984 adalah:
a. diberlakukannya sistem perpajakan yang baru yang berbasis self assesment.
Oleh karena itu, Pemerintah mengharapkan peningkatan peran serta
masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
b. diperlukan adanya pangkal tolak yang bersih berdasarkan kejujuran dan
keterbukaan dari masyarakat. Namun, keinginan Wajib Pajak untuk
membuka diri tampaknya masih diliputi oleh keraguan terhadap akibat hukum
yang mungkin timbul;
c. diperlukan dukungan sepenuhnya dari masyarakat, baik yang telah terdaftar
maupun yang selama ini belum memunculkan diri sebagai Wajib Pajak.
Pengampunan pajak Tahun 1984 memiliki bentuk yang sama dengan pengampunan pajak
Tahun 1964, yaitu investigation amnesty. Pengampunan pajak Tahun 1984 memungkinkan
Wajib Pajak bebas dari pengusutan fiskal dan laporan tentang kekayaan dalam rangka
pengampunan pajak tidak akan dijadikan dasar penyidikan dan penuntutan pidana dalam
bentuk apapun terhadap Wajib Pajak. Selain itu, mekanisme untuk mendapatkan
pengampunan mewajibkan Wajib Pajak untuk membayar sejumlah uang tebusan.
Pengampunan pajak Tahun 1984 termasuk dalam temporary amnesty yang memberikan
pengampunan dalam Periode pengampunan pajak dari 18 April 1984 sampai 30 Juni 1985.
Periode tersebut sebenarnya telah diperpanjang, sebelumnya periode tersebut hanya
sampai dengan 31 Desember 1984. Periode pengampunan pajak Tahun 1984 cukup
panjang, yaitu 14 bulan. Namun, penerimaan pajak yang dihasilkan tidak signifikan.
Pengampunan pajak Tahun 1984 telah dirancang cukup baik. Namun, pengampunan pajak
tersebut tidak cukup berhasil sebagai instrumen penarikan pajak. Sosialisasi mengenai tata
cara dan prosedur untuk mendapatkan pengampunan pajak relatif terbatas. Wajib Pajak
pada waktu itu banyak yang masih ”buta” terhadap pajak dan tidak mengetahui seluk beluk
perpajakan. Kurangnya sosialisasi mengenai perpajakan dan prosedur pengampunan pajak
membuat Wajib Pajak melakukan hal yang merugikan. Hal tersebut ditunjukkan dari adanya
Wajib Pajak, maupun calon Wajib Pajak yang datang untuk mencatatkan diri lalu kemudian
mundur dan tidak mengisi tiga berkas serta tidak mengembalikan tiga berkas yang harus
diisi untuk mendapatkan pengampunan pajak.