Anda di halaman 1dari 11

PENGARUH KEPATUHAN PAJAK TERHADAP KESEJAHTERAAN

MASYARAKAT DI KOTA BANJARMASIN

Khatimi Hatiani

190105010230

Hamdan

Program Studi Ekonomi Perpajakan, Jurusan Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi


dan Bisnis Islam, Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin

ABSTRAK

PENDAHULUAN

Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun


1945 (UUD 1945) tercantum tujuan Negara Indonesia yaitu untuk melindungi
segenap Bangsa Indonesia dan seluruh Tumpah Darah Indonesia, dan untuk
memajukan Kesejahteraan Umum, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, dan ikut
melaksanakan Ketertiban Dunia. Pokok pikiran dari pembukaan antara lain
Negara Republik Indonesia hendak mewujudkan Keadilan Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk mencapai tujuan tersebut
memerlukan dana yang sangat besar. Salah satu sektor pendapatan terbesar negara
Indonesia ialah pajak.

Pendapatan dari sektor pajak dalam negeri diantaranya di dapat dari Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Cukai, dan pajak
lainnya. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 yang telah
beberapa kali diubah dan terakhir yaitu Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2009 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan
menyebutkan bahwa definisi pajak adalah setoran wajib yang dikenakan pada
orang pribadi atau badan usaha bersifat memaksa berdasar Undang-Undang,
imbalan yang diperoleh tidak diterima secara langsung dan digunakan untuk
kepentingan umum.

Pemungutan pajak di Indonesia dengan menerapkan Self Assesment


System, yaitu menggunakan sistem memberikan wewenang kepada Wajib Pajak
untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Penerapan Self
Assesment System akan efektif jika kepatuhan suka rela (Voluntary Compliance)
pada masyarakat telah terbentuk (Suhendra, 2013).

Faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan Wajib Pajak


diantaranya adalah kesadaran Wajib Pajak dan persepsi Wajib Pajak tentang
sanksi perpajakan. Untuk mencapai target pajak maka ditumbuhkan kepatuhan
Wajib Pajak dan kesadaran untuk memenuhi kebutuhan pajak sesuai ketentuan
yang berlaku serta ada pemeriksaan dan sanksi perpajakan.

METODE PENELITIAN

PEMBAHASAN DAN ANALISIS

A. Pengertan Pajak dan Wajib Pajak


Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sebagai pembanding, definisi pajak berikut disajikan dari beberapa
sarjana, yaitu: 1). Definisi Francis, berbunyi: "Pajak adalah bantuan, baik
secara langsung atau tidak langsung diberlakukan oleh kekuatan publik dari
populasi atau dari barang untuk menutupi pengeluaran pemerintah." 2).
Definisi Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919) berbunyi: "Pajak
adalah hutang insidental atau secara berkala (tanpa pencapaian prestasi), yang
dipungut oleh badan bersyarat publik (negara bagian), untuk mendapatkan
penghasilan, di mana ada sebuah tatbestand (Target perpajakan), yang
disebabkan oleh hukum telah menimbulkan hutang pajak. " 3). Kemudian,
Edwin R.A. Seligman berbunyi: "Pajak adalah kontribusi wajib dari orang
tersebut, kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran yang terjadi untuk
kepentingan bersama semua, tanpa merujuk pada manfaat khusus yang
diberikan". Setelah itu, banyak mendengar keberatan terhadap frasa "tanpa
referensi" karena toh uang pajak digunakan untuk produksi barang dan jasa,
sehingga manfaat yang diberikan kepada publik tidak mudah untuk
ditampilkan apalagi secara individual.[311]
Pajak merupakan sumber utama penerimaan Negara. Tanpa pajak,
sebagian besar kegiatan Negara tidak dapat dilaksanakan. Penggunaan uang
pajak meliputi: Pembayaran gaji aparatur negara seperti Pegawai Negeri Sipil
(PNS), Tentara Nasional Indonesia, dan Polisi Negara Republik Indonesia
sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan; Subsidi Bahan
Bakar Minyak (BBM), Subsidi Listrik, Subsidi Pupuk, Bantuan Langsung
Sementara Masyarakat (BLSM) atau sejenisnya, Pengadaan Beras Miskin
(Raskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas); Pembangunan sarana
umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor
polisi; Pembiayaan lainnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bagi
seluruh lapisan masyarakat. [buku lebih dekat]
Ismawan (2001:82) dalam Ni Luh Supadmi (2007) mengemukakan prinsip
administrasi perpajakan yang diterima secara luas menyatakan bahwa tujuan
yang ingin dicapai adalah kepatuhan sukarela. Kepatuhan sukarela merupakan
tulang punggung self assessment di mana Wajib Pajak bertanggung jawab
menetapkan sendiri kewajiban pajaknya dan kemudian secara akurat dan tepat
waktu membayar dan melaporkan pajak tersebut.
Kepatuhan dalam hal perpajakan berarti keadaan Wajib Pajak yang
melaksanakan hak, dan khususnya kewajibannya, secara disiplin, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan serta tata cara perpajakan yang
berlaku. Menurut Kiryanto yang dikutip oleh Eliyani (1999), kepatuhan Wajib
Pajak didefinisikan sebagai memasukkan dan melaporkan pada waktunya
informasi yang diperlukan, mengisi dengan benar jumlah pajak yang terutang,
dan membayar pajak tepat waktu, tanpa ada tindakan pemeriksaan. Sedangkan
definisi kepatuhan menurut Nurmantu (2003:148) dalam Yulia (2008) adalah
sebagai suatu keadaan Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan
dan melaksanakan hak perpajakannya. Secara konsep, kepatuhan diartikan
dengan adanya usaha dalam mematuhi peraturan hukum oleh seseorang atau
organisasi. [20]
Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.[buku
perpajakan]
Pada dasarnya setiap orang pribadi baik Warga Negara Indonesia/Warga
Negara Asing yang bertempat tinggal di Indonesia dan badan yang
didirikan/berkedudukan di Indonesia merupakan Wajib Pajak, kecuali
ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan lain. Mengingat
sifatnya yang wajib, maka orang atau suatu badan yang menurut peraturan
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban
perpajakan disebut sebagai Wajib Pajak (WP).
Wajib Pajak dapat dibedakan menjadi dua, pertama yaitu Orang Pribadi,
Orang Pribadi adalah mereka yang telah mempunyai penghasilan di atas
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sesuai batasan PTKP telah ditentukan
oleh Undang-Undang Pajak Penghasilan. Kedua ialah Badan, yaitu
sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan Iainnya, badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk
apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap. [buku lebih dekat]

B. Syarat Pemungutan Pajak


Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hanmbatan atau perlawanan,
maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan) Sesuai dengan tujuan
hukum, yakni mencapai keadilan, Undang Undang dan pelaksanaan
pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan di antaranya
mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesusikan dengan
kemampuan masing-masing, sedang adil dalam pelaksanaan yakni dengan
memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan,
penundaan dalam pembayaran, dan mengajukan banding kepada Majelis
Pertimbangan Pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang Undang ( Syarat Yuridis)
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan
bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan undang-undang. Hal ini memberikan jaminan hukum
untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya
3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis) Pemungutan tidak
boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan
sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat
4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial) Sesuai fungsi
budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih
rendah dari hasil pemungutannya.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana. Sistem pemungutan yang
sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh
undang undang perpajakan yang baru. [buku perpajakan]

C. Sanksi Keterlambatan Pembayaran Pajak


Atas keterlambatan pembayaran pajak, dikenakan sanksi denda
administrasi bunga 2% (dua persen) sebulan dari pajak terutang dihitung dari
jatuh tempo pembayaran.[buku ajar]

D. Jenis Pajak
Berdasarkan lembaga yang mengelolanya, pajak dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu:
1. Pajak Pusat
Pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat, yang dalam hal ini dikelola
oleh Direktorat Jenderal Pajak antara lain:
a. Pajak Penghasilan (PPh)
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
c. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
d. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Perkebunan, Perhutanan, dan
Pertambangan (P3)
e. Bea Meterai.
2. Pajak Daerah
Pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah, dalam hal ini ditangani oleh
Dinas Pendapatan Daerah atau instansi yang menangani pemungutan pajak
daerah, antara lain:
a. Provinsi:
1. Pajak Kendaraan Bermotor
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
4. Pajak Air Permukaan
5. Pajak Rokok
b. Kabupaten/Kota:
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan
6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
7. Pajak Parkir
8. Pajak Air Tanah
9. Pajak Sarang Burung Walet
10. Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (mulai
tahun 2011 atau selambat-lambatnya tahun 2014)
11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) (mulai
berlaku 1 Januari 2011).

Pajak daerah merupakan salah satu sumber pendanaan yang paling bisa
diandalkan dalam pembiayaan pembangunan daerah. Menurut Mardiasmo
(2009:12), pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang,
yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelanggaraan pemerintahan
daerah dan pembangunan daerah Jenis-jenis Pajak Daerah menurut
Undangundang Nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagai berikut: Jenis Pajak
Provinsi Terdiri Dari: Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air
Permukaan; dan Pajak Rokok Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, memberikan peluang kepada
daerah kabupaten/provinsi untuk memungut jenis pajak daerah lain yang
dipandang memenuhi syarat, selain kesebelas jenis pajak
kabupaten/provinsi yang telah ditetapkan. Penetapan jenis pajak lainnya
ini harus benar-benar bersifat spesifik dan potensial di daerah. Hal ini
dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah
kabupaten/provinsi dalam mengantisipasi situasi dan kondisi serta
perkembangan perekonomian daerah pada masa mendatang yang
mengakibatkan perkembangan potensi pajak dengan tetap memperhatikan
kesederhanaan jenis pajak dan aspirasi masyarakat serta memenuhi kriteria
yang telah ditetapkan.

Dasar Hukum Pajak Daerah Setiap jenis pajak dan retribusi daerah
yang diberlakukan di Indonesia harus berdasarkan dasar hukum yang kuat
untuk menjamin kelancaran pengenaan dan pemungutannya. Hal ini juga
berlaku untuk pajak daerah. Dewasa ini yang menjadi dasar hukum
pemungutan pajak daerah di Indonesia adalah sebgaimana dibawah ini
(Ilyas,2010): 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, yang diundangkan di Jakarta dan mulai
berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu 23 Mei 1997 2. Undang-undang
Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan Undang-undang Nomor 18
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang
diundangkan di Jakarta dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu
20 Desember 2000. 3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
perubahan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, yang diundangkan di Jakarta dan mulai berlaku
pada tanggal diundangkan, yaitu 1 Januari 2010. 4. Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri Dalam Negeri, Keputusan Menteri Keuangan,
peraturan daerah provinsi, dan peraturan daerah kabupaten/provinsi di
bidang pajak daerah. 5. Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Dalam
Negeri, Keputusan Menteri Keuangan, peraturan daerah provinsi, dan
peraturan daerah kabupaten/provinsi dibidang retribusi daerah.

E. Keuangan Daerah
Masalah perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
merupakan salah satu tuntutan reformasi, mengingat dibentuknya UU No 33
Tahun 2004 mengenai Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah adalah sebagai konsekuensi keuangan dengan
diberikannya hak otonomi pada daerah otonom untuk mengatur urusan rumah
tangga daerahnya. Jadi, tingkat keberhasilan UU No 33 Tahun 2004 akan
sangat berpengaruh terhadap UU No 32 Tahun 2004 dan pada gilirannya akan
berpengaruh terhadap perjalanan pemerintah republik Indonesia. (Rahayu,
2008:15) Adapun sumber-sumber pendapatan daerah berdasarkan Bab VIII
pasal 157 UU No 32 Tahun 2004 mengenai Pendapatan Daerah antara lain : 1.
Pendapatan Asli Daerah (PAD), terdiri dari : a.) Hasil Pajak Daerah, b.) Hasil
Retribusi Daerah, c.) Hasil Pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan
d.) Lain-lain pendapatan yang sah. Hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah akan dikatakan ideal apabila jumlah PAD lebih besar
dibanding jumlah dana subsidi, dengan kondisi seperti ini diharapkan daerah
akan lebih leluasa melaksanakan hak otonominya. Dalam era otonomi daerah
seperti sekarang ini, setiap daerah diberikan kewenangan yang lebih besar
untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri, yang tidak lain bertujuan
untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat dan
memudahkan masyarakat untuk dapat mengontrol penggunaan dana yang
bersumber dari APBD (Susanto, 2004: 185-187). Pelimpahan wewenang ini
juga harus disertai pelimpahan dalam bidang keuangan (desentralisasi fiskal),
karena tanpa adanya hal ini maka pelaksanaan otonomi daerah akan menjadi
sia-sia. Perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam rangka desentralisasi
fiskal disini maksudnya adalah bahwa masing-masing daerah diberi
kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangannya sendiri tapi juga
dibantu oleh perimbangan keuangan pusat dan daerah. Idealnya, suatu
perimbangan pusat dan daerah akan terjadi jika setiap daerah dapat mandiri
dalam membiayai pengeluaran masing-masing. Artinya, peran PAD dalam
rangka pembiayaan tugas dan wewenangan tersebut sangat penting[192]

F. Fungsi Pajak
Fungsi pajak ada dua yaitu fungsi budgetair dan regulerend. Fungsi
regulerend, yang berfungsi untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan
pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Fungsi budgetair, yaitu fungsi
untuk mengisi kas negara sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku dan
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Berdasarkan
fungsi pajak sebagai budgetair, maka sangat diperlukan adanya kesadaran dan
kedisiplinan masyarakat untuk memahami dan mematuhi kewajiban
perpajakan sebagai warga negara Indonesia. Penyebab kurangnya kesadaran
membayar pajak antara lain asas perpajakan yaitu bahwa hasil pemungutan
pajak tersebut tidak secara langsung dinikmati oleh para wajib pajak. Hal ini
terjadi karena masyarakat tidak pernah tahu wujud konkret imbalan dari uang
yang dikeluarkan untuk membayar pajak (Nugroho, 2016). Pemerintah
menggunakan penerimaan pajak untuk pelayanan publik dan pembangunan
infrastruktur, berupa jalan raya, jembatan, fasilitas kesehatan, fasilitas
pendidikan, dan berbagai kepentingan umum lainnya guna membarikan
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Pratama Banjarmasin selama tahun 2016 menargetkan penerimaan
pembayaran pajak sebesar Rp 3,82 triliun namun realisasinya Rp 2,663 triliun
atau sekitar 69 persen, Kepala KPP Pratama Banjarmasin, Junaidi ketika
dihubungi Senin (16/1/2017) mengatakan realisasi penerimaan pajak pada
tahun 2016 mengalami peningkatan apabila dibanding penerimaan pada tahun
sebelumnya (2015) yang realisasinya sebesar Rp 2,61 triliun atau naik sekitar
2 persen. Junaidi menyebutkan tidak tercapainya target penerimaan pajak itu
karena banyak faktor yang mempengaruhi antaranya, menurutnya bisnis
pertambangan batubara sebagai andalan penerimaan devisa, sehingga sangat
berdampak terhadap kegiatan ekonomi daerah. Kebijakan pemerintah
menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) juga sangat
berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Pada tahun 2015, batas PTKP
sebesar Rp 36.000.000.000, pada 2016 PTKP naik menjadi Rp 54.000.000.
Penerimaan pajak dari PPh 21 ini kontribusinya sekitar 10-15 persen. Tahun
2015, penerimaan pajak dari PPh 21 sekitar Rp 391 miliar, sedangkan realisasi
pada tahun 2016 dikutip dari PPh 21 sekitar Rp 338 miliar atau turun sekitar
13 persen. Untuk itulah, lanjut Junaidi pihaknya terus melakukan upaya untuk
meningkatkan penerimaan pajak serta diversifikasi pajak. Menurut Sudarti
dalam situsnya https://Banjarmasin.tribunnews.com/ 2017/01/16/penerimaan-
pajak-kpppratama-banjarmasin-rp-266triliun/,”Penerimaan Pajak KPP
Pratama Banjarmasin Rp. 2,66 Triliun.” Menurut Mardiasmo (2009)
menyatakan pengetahuan pajak adalah kemampuan Wajib Pajak dalam
mengetahui peraturan perpajakan baik itu soal tarif pajak yang akan mereka
bayar berdasarkan undang-undang maupun manfaat pajak yang akan berguna
bagi kehidupan mereka. Semakin tinggi kesadaran wajib pajak dalam hal
membayar pajak maka akan semakain tinggi pula tingkat kemauan membayar
pajak begitupun sebaliknya, sehingga penerimaan pajak oleh KPP juga
semakin meningkat, selanjutnya semakin tinggi tingkat pengetahuan maka
akan semakin tinggi pula kesadaran dan kemauannya dalam melaksanakan
kewajiban perpajakan, sehingga penerimaan pajak oleh KPP juga semakin
meningkat. Hardiningsih dan Yulianawati (2011) hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa variabel kesadaran membayar pajak berpengaruh positif
terhadap kemauan membayar pajak, sedangkan variabel pengetahuan
peraturan perpajakan tidak berpengaruh terhadap kemauan membayar pajak.
Munawaroh, Wibisono, Immanuela (2014) hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan variabel kesadaran membayar pajak berpengaruh terhadap
kemauan membayar pajak, sedangkan variabel pengetahuan peraturan
perpajakan tidak berpengaruh terhadap kemauan membayar pajak. [151]
Dari fungsi pajak dapat dirincikan yaitu antara lain:
1. Fungsi penerimaan (budgetair) yaitu pajak sebagai sumber dana bagi
pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2. Fungsi pengatur (regulerend) yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
3. Mendanai penerimaan anggaran pemerintah daerah.[527779]
4. Uang pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran publik, sehubungan
dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan
5. Sejak sekolah dasar kita telah menikmati pajak yang telah terkumpul
sehingga biaya sekolah dapat terjangkau sampai ke perguruan tinggi
6. Sejak bayi kita telah menikmati Pajak Contoh : Imunisasi
7. Transportasi umum disediakan untuk memudahkan kita dalam mencapai
tujuan (sekolah, tempat kerja). Hal ini pun disubsidi oleh pemerintah
8. Keamanan dan ketertiban dapat terjaga sehingga kita merasa aman selama
bepergian
9. Fasilitas & infrastruktur umum dibangun untuk kenyamanan kita seperti:
jalan, jembatan, kebersihan, taman, pasar, dan sebagainya, juga dibiayai
oleh pemerintah [bukulebihdekat]

G. Keperluan Pajak dalam Kehidupan Manusia


Menurut Aristoteles, manusia itu pada dasarnya merupakan Zoon Politicon
atau makhluk sosial? Makhluk sosial berarti peduli pada sesama dan saling
bekerja sama sehingga diperlukan hubungan timbal balik di antara yang kuat
dan yang lemah, serta yang kaya dan yang tidak mampu. Hal tersebut juga
sejalan dengan gagasan ahli Filsafat Indonesia, Nicolaus Driyarkara (1913-
1967), yang mengemukakan bahwa manusia juga merupakan homo homini
socius, yang memiliki arti bahwa manusia menjadi sahabat bagi sesamanya.
Gagasan homo homini socius dikemukakan untuk menunjukkan bahwa pada
hakikatnya manusia itu memiliki sifat kebersamaan sosial. Di sisi lain,
manusia juga sebagai makhluk ekonomi (homo economicus) yang memiliki
arti bahwa manusia menilai dan memilih sesuatu hanya berdasarkan
pertimbangan pribadi (individualis) sebagaimana yang diungkapkan tokoh
ekonomi, Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya An Inquiry into the
Nature and Causes of the Wealth of Nations (Marwoto, dkk, 2004: 107-108).
Oleh karena itu, menurut adagium Thomas Hobbes, apabila tidak
dikendalikan, manusia dapat berubah menjadi homo homini lupus atau
manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Pajak merupakan sarana untuk
mendekatkan manusia yang satu dengan manusia yang lain dalam bentuk
kewajiban berbagi. Dengan demikian, kedudukan manusia sebagai homo
homini socius dapat mengatasi nafsu keserakahan manusia sebagai mahluk
homo homini lupus. Konsep pajak pada dasarnya adalah adanya kesediaan
untuk berbagi dengan sesama. Namun, pengungkapan kesediaan untuk berbagi
antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dapat berbeda-beda
sehingga dibutuhkan pengaturan, baik berupa peraturan perundang-undangan
maupun lembaga yang menjalankan peraturan itu sendiri. Oleh karena itu,
pajak dibutuhkan sebagai sarana redistribusi kekayaan dalam kehidupan
manusia sebagai makhluk sosial. Peran pajak menjadi faktor yang sangat
penting bagi peningkatan kesejahteraan bersama, bukan hanya kesejahteraan
ekonomi individual belaka. Pajak merupakan sebuah terminologi yang
mengundang beragam opini, persepsi, dan pemikiran di sebagian besar
masyarakat. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, yaitu Pertama, faktor
ketidaktahuan tentang apa yang dimaksud dengan pajak dan untuk apa pajak
itu dipungut, sehingga menimbulkan opini yang beragam. Kedua, kecurigaan
yang ditimbulkan oleh pihak-pihak tertentu terhadap pemungutan pajak yang
dianggap rawan untuk diselewengkan oleh pihak pemungut pajak. Hal tersebut
menimbulkan pemikiran untuk tidak mau menjalankan kewajiban sebagai
pembayar pajak. Ketiga, anggapan bahwa pajak itu memberatkan sehingga
menimbulkan berbagai cara atau strategi untuk menghindari pembayaran
pajak. Keempat, menyadari pentingnya urgensi pajak bagi keberlangsungan
hidup berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara. Faktor-faktor penyebab
tersebut mengandung implikasi yang berbeda-beda, sehingga diperlukan
penanganan dan penanggulangan yang berbeda pula. Implikasi pertama,
terkait dengan ketidaktahuan tentang apa yang dimaksud dengan pajak dapat
ditanggulangi dengan cara penyuluhan dan pendidikan kesadaran perpajakan
yang menjelaskan tentang apa manfaat pajak bagi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Implikasi kedua, terkait dengan kecurigaan adanya
penyelewengan pemungutan pajak dapat ditanggulangi dengan akuntabilitas
sebagai bentuk pertanggungjawaban aparatur negara, disertai sanksi yang
tegas terhadap petugas yang melakukan penyelewengan, sehingga lembaga
pemungut pajak bersih dari oknum yang tidak bertanggung jawab. Implikasi
ketiga, terkait dengan pihak yang melakukan strategi menghindari pembayaran
pajak dapat dilakukan dengan penegakan hukum dan sanksi yang tegas
(punishment) terhadap para pengemplang pajak, disertai penghargaan (reward)
terhadap pembayar pajak yang setia dalam menunaikan kewajibannya pada
negara. Faktor keempat merupakan sebuah kondisi ideal, karena masyarakat
pembayar pajak sudah memiliki kesadaran tentang perlunya pajak. Kondisi
ideal itu perlu dipelihara dan dikembangkan melalui berbagai cara dan strategi
yang tepat, sehingga pelanggaran dalam masalah perpajakan dapat
diminimalisir. Pembangunan sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sumber dana pembangunan dapat diperoleh dari
sumber daya alam (SDA), aktivitas usaha pemerintah (BUMN/BUMD),
pinjaman, hibah, dan pajak. Di antara sumber-sumber tersebut, pajak
merupakan salah satu sumber yang sangat penting karena melibatkan
partisipasi warga negara untuk pembangunan, baik fisik maupun non fisik,
serta meningkatkan kemandirian bangsa. Pada hakikatnya, pajak merupakan
sarana untuk menyejahterakan rakyat. Oleh karena itu, negara harus
mewujudkan keadilan berbagi atau distributif bagi masyarakat. Keadilan
berbagi dapat diwujudkan apabila diikuti dengan ketaatan atau kepatuhan
rakyat pada pemerintah dalam bentuk pembayaran pajak. Dengan demikian,
pajak merupakan sarana berbagi dari masyarakat yang mampu melalui tangan
pemerintah. Campur tangan pemerintah dalam menerapkan distribusi pajak
sangat diperlukan dan mengandung dua dimensi. Pertama, sifat memaksa yang
diperlukan untuk memberikan sanksi kepada warga negara yang mampu agar
menunaikan kewajibannya membayar pajak sesuai dengan hukum yang
berlaku. Kedua, sifat kerelaan dari warga negara sebagai implementasi nilai
kebersamaan, kepedulian, saling berbagi, dan kasih sayang sesama warga
negara.[bukuMTKPPT]

Anda mungkin juga menyukai