Khatimi Hatiani
190105010230
Hamdan
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Pendapatan dari sektor pajak dalam negeri diantaranya di dapat dari Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Cukai, dan pajak
lainnya. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 yang telah
beberapa kali diubah dan terakhir yaitu Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2009 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan
menyebutkan bahwa definisi pajak adalah setoran wajib yang dikenakan pada
orang pribadi atau badan usaha bersifat memaksa berdasar Undang-Undang,
imbalan yang diperoleh tidak diterima secara langsung dan digunakan untuk
kepentingan umum.
METODE PENELITIAN
D. Jenis Pajak
Berdasarkan lembaga yang mengelolanya, pajak dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu:
1. Pajak Pusat
Pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat, yang dalam hal ini dikelola
oleh Direktorat Jenderal Pajak antara lain:
a. Pajak Penghasilan (PPh)
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
c. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
d. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Perkebunan, Perhutanan, dan
Pertambangan (P3)
e. Bea Meterai.
2. Pajak Daerah
Pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah, dalam hal ini ditangani oleh
Dinas Pendapatan Daerah atau instansi yang menangani pemungutan pajak
daerah, antara lain:
a. Provinsi:
1. Pajak Kendaraan Bermotor
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
4. Pajak Air Permukaan
5. Pajak Rokok
b. Kabupaten/Kota:
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan
6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
7. Pajak Parkir
8. Pajak Air Tanah
9. Pajak Sarang Burung Walet
10. Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (mulai
tahun 2011 atau selambat-lambatnya tahun 2014)
11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) (mulai
berlaku 1 Januari 2011).
Pajak daerah merupakan salah satu sumber pendanaan yang paling bisa
diandalkan dalam pembiayaan pembangunan daerah. Menurut Mardiasmo
(2009:12), pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang,
yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelanggaraan pemerintahan
daerah dan pembangunan daerah Jenis-jenis Pajak Daerah menurut
Undangundang Nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagai berikut: Jenis Pajak
Provinsi Terdiri Dari: Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air
Permukaan; dan Pajak Rokok Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, memberikan peluang kepada
daerah kabupaten/provinsi untuk memungut jenis pajak daerah lain yang
dipandang memenuhi syarat, selain kesebelas jenis pajak
kabupaten/provinsi yang telah ditetapkan. Penetapan jenis pajak lainnya
ini harus benar-benar bersifat spesifik dan potensial di daerah. Hal ini
dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah
kabupaten/provinsi dalam mengantisipasi situasi dan kondisi serta
perkembangan perekonomian daerah pada masa mendatang yang
mengakibatkan perkembangan potensi pajak dengan tetap memperhatikan
kesederhanaan jenis pajak dan aspirasi masyarakat serta memenuhi kriteria
yang telah ditetapkan.
Dasar Hukum Pajak Daerah Setiap jenis pajak dan retribusi daerah
yang diberlakukan di Indonesia harus berdasarkan dasar hukum yang kuat
untuk menjamin kelancaran pengenaan dan pemungutannya. Hal ini juga
berlaku untuk pajak daerah. Dewasa ini yang menjadi dasar hukum
pemungutan pajak daerah di Indonesia adalah sebgaimana dibawah ini
(Ilyas,2010): 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, yang diundangkan di Jakarta dan mulai
berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu 23 Mei 1997 2. Undang-undang
Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan Undang-undang Nomor 18
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang
diundangkan di Jakarta dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu
20 Desember 2000. 3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
perubahan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, yang diundangkan di Jakarta dan mulai berlaku
pada tanggal diundangkan, yaitu 1 Januari 2010. 4. Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri Dalam Negeri, Keputusan Menteri Keuangan,
peraturan daerah provinsi, dan peraturan daerah kabupaten/provinsi di
bidang pajak daerah. 5. Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Dalam
Negeri, Keputusan Menteri Keuangan, peraturan daerah provinsi, dan
peraturan daerah kabupaten/provinsi dibidang retribusi daerah.
E. Keuangan Daerah
Masalah perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
merupakan salah satu tuntutan reformasi, mengingat dibentuknya UU No 33
Tahun 2004 mengenai Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah adalah sebagai konsekuensi keuangan dengan
diberikannya hak otonomi pada daerah otonom untuk mengatur urusan rumah
tangga daerahnya. Jadi, tingkat keberhasilan UU No 33 Tahun 2004 akan
sangat berpengaruh terhadap UU No 32 Tahun 2004 dan pada gilirannya akan
berpengaruh terhadap perjalanan pemerintah republik Indonesia. (Rahayu,
2008:15) Adapun sumber-sumber pendapatan daerah berdasarkan Bab VIII
pasal 157 UU No 32 Tahun 2004 mengenai Pendapatan Daerah antara lain : 1.
Pendapatan Asli Daerah (PAD), terdiri dari : a.) Hasil Pajak Daerah, b.) Hasil
Retribusi Daerah, c.) Hasil Pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan
d.) Lain-lain pendapatan yang sah. Hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah akan dikatakan ideal apabila jumlah PAD lebih besar
dibanding jumlah dana subsidi, dengan kondisi seperti ini diharapkan daerah
akan lebih leluasa melaksanakan hak otonominya. Dalam era otonomi daerah
seperti sekarang ini, setiap daerah diberikan kewenangan yang lebih besar
untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri, yang tidak lain bertujuan
untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat dan
memudahkan masyarakat untuk dapat mengontrol penggunaan dana yang
bersumber dari APBD (Susanto, 2004: 185-187). Pelimpahan wewenang ini
juga harus disertai pelimpahan dalam bidang keuangan (desentralisasi fiskal),
karena tanpa adanya hal ini maka pelaksanaan otonomi daerah akan menjadi
sia-sia. Perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam rangka desentralisasi
fiskal disini maksudnya adalah bahwa masing-masing daerah diberi
kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangannya sendiri tapi juga
dibantu oleh perimbangan keuangan pusat dan daerah. Idealnya, suatu
perimbangan pusat dan daerah akan terjadi jika setiap daerah dapat mandiri
dalam membiayai pengeluaran masing-masing. Artinya, peran PAD dalam
rangka pembiayaan tugas dan wewenangan tersebut sangat penting[192]
F. Fungsi Pajak
Fungsi pajak ada dua yaitu fungsi budgetair dan regulerend. Fungsi
regulerend, yang berfungsi untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan
pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Fungsi budgetair, yaitu fungsi
untuk mengisi kas negara sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku dan
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Berdasarkan
fungsi pajak sebagai budgetair, maka sangat diperlukan adanya kesadaran dan
kedisiplinan masyarakat untuk memahami dan mematuhi kewajiban
perpajakan sebagai warga negara Indonesia. Penyebab kurangnya kesadaran
membayar pajak antara lain asas perpajakan yaitu bahwa hasil pemungutan
pajak tersebut tidak secara langsung dinikmati oleh para wajib pajak. Hal ini
terjadi karena masyarakat tidak pernah tahu wujud konkret imbalan dari uang
yang dikeluarkan untuk membayar pajak (Nugroho, 2016). Pemerintah
menggunakan penerimaan pajak untuk pelayanan publik dan pembangunan
infrastruktur, berupa jalan raya, jembatan, fasilitas kesehatan, fasilitas
pendidikan, dan berbagai kepentingan umum lainnya guna membarikan
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Pratama Banjarmasin selama tahun 2016 menargetkan penerimaan
pembayaran pajak sebesar Rp 3,82 triliun namun realisasinya Rp 2,663 triliun
atau sekitar 69 persen, Kepala KPP Pratama Banjarmasin, Junaidi ketika
dihubungi Senin (16/1/2017) mengatakan realisasi penerimaan pajak pada
tahun 2016 mengalami peningkatan apabila dibanding penerimaan pada tahun
sebelumnya (2015) yang realisasinya sebesar Rp 2,61 triliun atau naik sekitar
2 persen. Junaidi menyebutkan tidak tercapainya target penerimaan pajak itu
karena banyak faktor yang mempengaruhi antaranya, menurutnya bisnis
pertambangan batubara sebagai andalan penerimaan devisa, sehingga sangat
berdampak terhadap kegiatan ekonomi daerah. Kebijakan pemerintah
menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) juga sangat
berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Pada tahun 2015, batas PTKP
sebesar Rp 36.000.000.000, pada 2016 PTKP naik menjadi Rp 54.000.000.
Penerimaan pajak dari PPh 21 ini kontribusinya sekitar 10-15 persen. Tahun
2015, penerimaan pajak dari PPh 21 sekitar Rp 391 miliar, sedangkan realisasi
pada tahun 2016 dikutip dari PPh 21 sekitar Rp 338 miliar atau turun sekitar
13 persen. Untuk itulah, lanjut Junaidi pihaknya terus melakukan upaya untuk
meningkatkan penerimaan pajak serta diversifikasi pajak. Menurut Sudarti
dalam situsnya https://Banjarmasin.tribunnews.com/ 2017/01/16/penerimaan-
pajak-kpppratama-banjarmasin-rp-266triliun/,”Penerimaan Pajak KPP
Pratama Banjarmasin Rp. 2,66 Triliun.” Menurut Mardiasmo (2009)
menyatakan pengetahuan pajak adalah kemampuan Wajib Pajak dalam
mengetahui peraturan perpajakan baik itu soal tarif pajak yang akan mereka
bayar berdasarkan undang-undang maupun manfaat pajak yang akan berguna
bagi kehidupan mereka. Semakin tinggi kesadaran wajib pajak dalam hal
membayar pajak maka akan semakain tinggi pula tingkat kemauan membayar
pajak begitupun sebaliknya, sehingga penerimaan pajak oleh KPP juga
semakin meningkat, selanjutnya semakin tinggi tingkat pengetahuan maka
akan semakin tinggi pula kesadaran dan kemauannya dalam melaksanakan
kewajiban perpajakan, sehingga penerimaan pajak oleh KPP juga semakin
meningkat. Hardiningsih dan Yulianawati (2011) hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa variabel kesadaran membayar pajak berpengaruh positif
terhadap kemauan membayar pajak, sedangkan variabel pengetahuan
peraturan perpajakan tidak berpengaruh terhadap kemauan membayar pajak.
Munawaroh, Wibisono, Immanuela (2014) hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan variabel kesadaran membayar pajak berpengaruh terhadap
kemauan membayar pajak, sedangkan variabel pengetahuan peraturan
perpajakan tidak berpengaruh terhadap kemauan membayar pajak. [151]
Dari fungsi pajak dapat dirincikan yaitu antara lain:
1. Fungsi penerimaan (budgetair) yaitu pajak sebagai sumber dana bagi
pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2. Fungsi pengatur (regulerend) yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
3. Mendanai penerimaan anggaran pemerintah daerah.[527779]
4. Uang pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran publik, sehubungan
dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan
5. Sejak sekolah dasar kita telah menikmati pajak yang telah terkumpul
sehingga biaya sekolah dapat terjangkau sampai ke perguruan tinggi
6. Sejak bayi kita telah menikmati Pajak Contoh : Imunisasi
7. Transportasi umum disediakan untuk memudahkan kita dalam mencapai
tujuan (sekolah, tempat kerja). Hal ini pun disubsidi oleh pemerintah
8. Keamanan dan ketertiban dapat terjaga sehingga kita merasa aman selama
bepergian
9. Fasilitas & infrastruktur umum dibangun untuk kenyamanan kita seperti:
jalan, jembatan, kebersihan, taman, pasar, dan sebagainya, juga dibiayai
oleh pemerintah [bukulebihdekat]