Anda di halaman 1dari 1

Nama : Muhammad Dzikri Akbar Syafi’i

NIM : 231221018
Mata Kuliah : Kapita Selekta Hukum Pidana

Restorative Justice Dalam Tindak Pidana Korupsi


Restorative Justice untuk tindak pidana korupsi dicantumkan dalam salah satu
poin pada Surat Edaran Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Nomor :
B113/F/Fd.1/05/2010 tanggal 18 Mei 2010 yakni menginstruksikan kepada seluruh
Kejaksaan Tinggi yang isinya himbauan agar dalam kasus dugaan tindak pidana
korupsi, masyarakat yang dengan kesadaran telah mengembalikan kerugian keuangan
negara perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti atas berlaku asas restorative
justice. Selanjutnya apabila melihat ketentuan Pasal 20 UU No 30 Tahun 2014, bahwa
jika berdasarkan hasil pengawasan APIP terdapat kesalahan administratif dan
menimbulkan kerugian keuangan negara yang terjadi karena adanya unsur
penyalahgunaan wewenang, maka dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara
yang dibebankan pada Pejabat Pemerintahan tersebut dalam tenggat waktu 10 hari
kerja. Berdasarkan ketentuan tersebut secara tidak langsung UU No. 30 Th. 2014
memberlakukan restorative justice dalam hal penyalahgunaan wewenang dengan
pengembalian kerugian keuangan negara dalam jangka waktu 10 hari kerja. Hal ini juga
didukung pernyataan dari Jaksa Agung ST. Burhanuddin yang menyampaikan
mekanisme penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan kerugian
keuangan negara dibawah 50 juta rupiah dapat diselesaikan dengan pengembalian
kerugian keuangan negara.
Dengan diterapkannya restorative justice dalam tindak pidana korupsi dengan
nominal kecil, kerugian keuangan negara dapat kembali tanpa harus negara
mengeluarkan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan kerugian tersebut untuk
memproses, memidana, dan memberi makan dan minum kepada terpidana korupsi
serta mencegah bertambahnya beban lapas yang saat ini sudah over capacity. Selain
memberikan manfaat, penerapan restorative justice dalam tindak pidana korupsi juga
memberikan keadilan dengan kembalinya kerugian keuangan negara dan pemberian
efek jera terhadap pelaku korupsi melalui sanksi administrative yang diatur dalam PP
No. 48 tahun 2016.
Penerapan restorative justice dalam tindak pidana korupsi pada dasarnya contra
legem dengan ketentuan Pasal 4 UU Tipikor yang memuat ketentuan bahwa
pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan pidananya pelaku
tindak pidana korupsi, pengembalian kerugian keuangan negara hanya merupakan
salah satu faktor yang meringankan. Meskipun bertentangan dengan Pasal 4 UU
Tipikor, menurut Rudolf Von Jhering hukum harus mendatangkan kemanfaatan, karena
jika tidak maka landasan filosofis hukum yang sedang digunakan tidaklah berarti.
Selanjutnya Gustav Radbruch mengatakan bahwa hukum yang baik tidak hanya
menjamin kepastian hukum semata, tetapi juga harus menjamin keadilan dan
kemanfaatan. Sebab keadilan adalah nilai dasar, kemanfaatan adalah nilai praktis,
sedangkan kepastian adalah nilai instrumen yang harus diletakkan paling akhir. Dengan
demikian penerapan restorative justice dalam tindak pidana korupsi dapat diterapkan
dengan melihat pada sisi kemanfaatan dan keadilan yang didapat.

Anda mungkin juga menyukai