Anda di halaman 1dari 29

PROPOSAL DISERTASI

HAK GANTI KERUGIAN TERHADAP KORBAN PENANGKAPAN YANG TIDAK SAH


DALAM PERKARA PIDANA

THE RIGHT OF COMPENSATION FOR THE VICTIM OF UNLAWFUL ARREST IN


CRIMINAL JUSTICE SYSTEM

OLEH :
MUHAMMAD IKRAM RISWANDI SAHABUDDIN
B013 2020 17

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM


SEKOLAH PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
 KUHAP wajib didasarkan pada falsafah/ pandangan hidup bangsa dan dasar negara, sehingga dalam pasal-
pasalnya harus mencerminkan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia serta kewajiban warga negara dalam
suatu negara hukum maupun Asas-asas perlindungan sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dengan perubahan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Antara lain : Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut
ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan
dan para pejabat penegak hukum, yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum
tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.
 Berdasarkan Salah Satu Asas tersebut maka jelas bahwa hukum Indonesia melindungi korban penangkapan tidak
sah dalam hal ini undang-undang menjamin untuk memberikan ganti kerugian dan rehabilitasi kepada korban
penangkapan tidak sah
 Penyidik dalam melakukan penangkapan harus benar-benar memperhatikan ketentuan atau aturan hukum yang
berlaku. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi penyidik ketika hendak melakukan penangkapan sebagaimana
diatur didalam Pasal 17 KUHAP haruslah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut, yaitu: (1) Seorang tersangka
yang diduga keras melakukan tindak pidana; dan (2) Dugaan yang kuat itu harus didasarkan pada permulaan
bukti yang cukup.
 Tersangka dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik berhak memberikan keterangan secara
bebas, harus dijauhkan dari rasa takut, oleh karenanya wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap
tersangka.
 Ketentuan ini jelas terdapat dalam Pasal 52 KUHAP, yang intinya menyatakan bahwa tujuan pemeriksaan
pendahuluan oleh penyidik bukan untuk mendapatkan pengakuan tersangka tetapi adalah untuk
mendapatkan keterangan tersangka mengenai kebenaran telah terjadi suatu perbuatan pidana yang
dipersangkakan kepada tersangka tersebut.
 Dibalik wewenang yang dimiliki penyidik, dalam praktiknya sering kali terjadi kasus–kasus penangkapan tidak
sah, Bagi pihak yang telah terlanjur diambil kebebasannya melalui proses penangkapan, tentu saja
menantikan putusan bebas (vrijspraak) dari hakim.
 Korban penangkapan tidak sah ini telah mengalami kerugian yang luar biasa seperti kehilangan pendapatan
maupun pekerjaan, keluargapun menjadi korban secara tidak langsung karena dijauhi oleh lingkungan akibat
label “kriminal” yang terlanjur disematkan, serta siksaan dan tekanan batin di dalam penjara selama
berhari-hari bahkan sampai bertahun-tahun.
 Pengajuan gugatan ganti kerugian atas prosedur keliru yang dijalankan oleh penegak hukum atas peristiwa
penangkapan tidak sah ini telah diatur dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP dan Peraturan Pemerintah Nomor 92
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan aturan ini, jumlah ganti kerugian dapat
mencapai Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah) bagi korban penangkapan tidak sah yang mengakibatkan
kematian dari aturan sebelumnya yang jumlah ganti kerugian setingi-tingginya hanya Rp 3.000.000 (tiga juta
rupiah).
 Jumlah diatas tentu tidak dapat memulihkan kembali keaadaan korban penangkapan tidak sah seperti
semula apalagi dibalik jumlah ganti kerugian tersebut masih ada proses hukum yang harus dilalui yaitu
praperadilan dan proses pencairan melalui Kementrian Keuangan yang tidak sederhana dan membutuhkan
waktu cukup lama.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut diatas, maka


rumusan masalah yang akan dibahas adalah :

 Bagaimanakah mekanisme ganti kerugian pada korban


penangkapan yang tidak sah dalam sistem perkara pidana?

 Apa sajakah bentuk kerugian yang dapat dituntut oleh korban


penangkapan yang tidak sah ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan yang telah Penulis kemukakan
maka tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimanakah mekanisme ganti kerugian
pada korban penangkapan yang tidak sah dalam perkara
pidana.
2. Untuk mengetahui apa sajakah bentuk kerugian yang dapat
dituntut oleh korban penangkapan yang tidak sah.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat, antara lain:
1. Manfaat Teoritis; Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi pemikiran atau informasi awal bagi peneliti
selanjutnya dalam rangka menguraikan prosedur pengajuan
gugatan ganti kerugian korban penangkapan yang tidak sah.
2. Manfaat Praktis; Penelitian ini diharapkan dapat menjadi
referensi yang berguna bagi kalangan akademisi, praktisi
hukum dan masyarakat luas dalam menyelesaikan
permasalahan hukum khususnya mengenai gugatan ganti
kerugian korban penangkapan yang tidak sah dalam perkara
pidana Indonesia.
D. Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan hasil penulusuran pustaka, penulis menemukan beberapa hasil penelitian yang berkaitan tentang hak korban untuk
menuntut ganti kerugian dalam bentuk tesis dari berbagai perguruan tinggi. Hasil penelusuran penulis berkaitan dengan kajian ini
adalah tesis berjudul:
1. Tesis oleh Tri Wahyu Widiastuti yang berjudul Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perlindungan Terhadap Korban Perkosaan,
Tahun 2008 pada Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Penelitian ini berfokus pada kebijakan perlindungan
terhadap korban perkosaan dalam hukum pidana positif Indonesia diatur dalam Pasal 98-101 KUHAP, Terhadap permohonan
tersebut, hakim dapat menolak atau menerima dan bila hakim menerima maka hanya untuk ganti kerugian terhadap biaya-
biaya yang dikeluarkan korban perkosaan (ganti kerugian yang bersifat materiil).
2. Tesis oleh Diah Astuti yang berjudul Tuntutan Ganti Kerugian Bagi Korban Tindak Pidana Dalam Penggabungan Perkara, Tahun
2011 pada Program Pasca Sarjana Universitas Andalas. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pengaturan masalah
ganti kerugian bagi korban tindak pidana, untuk mengetahui prosedur pemberian ganti kerugian bagi korban tindak pidana
dalam penggabungan perkara, untuk mengetahui relevansi antara pemberian ganti kerugian bagi korban tindak pidana dengan
tujuan pemidanaan.
 Pembeda yang tegas antara penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, pada penelitian ini peniliti berfokus pada
mekanisme ganti kerugian pada korban penangkapan tidak sah dalam sistem peradilan pidana dan bentuk kerugian yang dapat
dituntut oleh korban penangkapan tidak sah sebagaimana diatur dalam Pasal 95 KUHAP dan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
 Penelitian ini juga akan mengkaji tentang penegakan hukum atas hak ganti kerugian oleh korban penangkapan tidak sah sesuai
dengan sistem hukum pidana di Indonesia sehingga hasil penelitian ini dapat dipertimbangkan dalam membentuk aturan baru
khususnya mengenai mekanisme pemberian ganti kerugian pada korban penangkapan yang tidak sah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. HAK
1. Pengertian Hak

Istilah “Hak” dan “Hukum” dalam bahas Belanda dibedakan menjadi “Subjectief recht” untuk “Hak”
dan “Objectief recht” untuk “Hukum” atau peraturan-peraturan yang menimbulkan hak bagi
seseorang. Sedangkan dalam bahasa Inggris kata “Law” mengandung arti kata hukum atau
undang-undang dan kata “Right” berarti hak atau wewenang.
Pengertian hak dalam hukum seseorang yang mempunyai hak milik atas sesuatu benda
kepadanya diizinkan untuk menikmati hasil dari benda miliknya. Izin atau kekuasaan yang
diberikan oleh hukum tersebut disebut “Hak” atau “Wewenang”
Implikasi dari definisi tentang hak di atas antara lain sebagai berikut :
a) Hak adalah suatu kekuasaan (power), yaitu suatu kemampuan untuk memodifikasi keadaan.
b) Hak merupakan jaminan yang diberikan oleh hukum, yaitu eksistensinya diakui oleh hukum
dan penggunaannya didasarkan pada suatu jaminan oleh hukum sebagai suatu hal yang
dapat diterima beserta segala konsekuensinya.
c) Penggunaan hak menghasilkan suatu keadaan yang berkaitan langsung dengan kepentingan
pemilik hak
2. Jenis-Jenis Hak
Berdasarkan eksistensinya, hak dapat dibagi menjadi hak orisinal dan hak derivatif. Hak orisinil adalah hak
yang melekat pada manusia yang diciptakan satu paket oleh Tuhan dengan manusia itu sendiri. Sedangkan,
Hak derivatif adalah hak-hak yang merupakan bentukan hukum yang tercipta karena hukum.
Berdasarkan segi kehidupan bernegara, terdapat hak dasar dan hak politik. Hak dasar dibedakan menjadi
hak dasar bersifat klasik dan hak dasar sosial. Selain itu, Hak juga dapat dibedakan menjadi Hak Mutlak dan
(Hak Absolut) dan Hak Nisbi (Hak Relatif),
 Hak Mutlak ialah hak yang memberikan wewenang kepada seseorang untuk melakukan sesuatu
perbuatan, hak mana dapat dipertahankan terdapat siapapun dan setiap orang juga garus menghormati
hak tersebut. Hak mutlak kemudian dapat dibagi menjadi 3 golongan : (a) Hak Asasi Manusia, (b) Hak
Publik Mutlak , (c) Hak Keperdataan
 Hak Nisbi ialah hak yang memberikan wewenang kepada seseorang tertentu atau beberapa orang
tertentu untuk menuntut agar supaya seseorang atau beberapa orang memberikan sesuatu, melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu

Berdasarkan penjelasan pembagian jenis-jenis hak tersebut, maka dapat dipahami bahwa hak
seseorang untuk menuntut ganti kerugian akibat penangkapan tidak sah merupakan hak dasar
bersifat klasik yang dijamin oleh hukum. Hak dasar ini dimiliki oleh setiap warga negara dan dijamin
pelaksanaanya pemenuhan hak oleh pemerintah.
3. Hak Tersangka, Terdakwa dan Terpidana dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
a) Hak Tersangka : Beberapa hak-hak tersangka yang dapat ditemukan dalam KUHAP yaitu : Pasal 50 ayat
1 dan 2, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53 ayat 1 dan Pasal 177, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57,
Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 68 dan
pasal 95
b) Hak Terdakwa ; Beberapa hak-hak terdakwa yang dapat ditemukan dalam KUHAP, yaitu: Pasal 50 ayat
(3); Pasal 51 butir b. Pasal 52 Pasal 53 Pasal 54 dan Pasal 55 Pasal 56 ayat (1) dan (2) Pasal 57 ayat
(2)). Pasal 58 Pasal 59 dan Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64,Pasal 65,Pasal 66,Pasal 67,
Pasal 233, Pasal 244 dan Pasal 263 ayat (1) Pasal 68, Pasal 95 ayat (1), dan Pasal 97 ayat (1) ). Pasal
156 ayat (1) ).
c) Hak Terpidana ; Beberapa hak-hak terpidana yang dapat ditemukan dalam KUHAP, yaitu: Pasal 95,
Pasal 263, Pasal 196, selain itu Beberapa hak-hak terpidana juga dapat ditemukan dalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Berdasarkan penjelasan diatas maka hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana telah diatur secara jelas
maka aparat penegak hukum perlu menyadari dan menjiwai hal ini. Tindakan emosional, berorientasi pada
pelaku kejahatan, ataupun untuk cara-cara tidak manusiawi yang dilakukan untuk mendapatkan tujuan-tujuan
tertentu dapat ditekan seminimal mungkin. Walaupun tindakan penegakan hukum untuk mempertahankan
dan memperlindungi kepentingan masyarakat, penegakan hukum tidak boleh sampai mengorbankan hak
asasi seseorang atau juga sebaliknya demi untuk memperlindungi dan menjunjung harkat dan martabat
individu tidak boleh dikorbankan kepentingan masyarakat.
B. Upaya Paksa
Upaya Paksa adalah upaya yang dilakukan aparat penegak hukum berupa penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan dalam rangka melaksanakan
proses peradilan.
1. Penangkapan
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan
dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Tujuan
penangkapan adalah untuk mengamankan tersangka sebagai tindakan permulaan proses penyelidikan
untuk memperoleh bukti awal untuk proses selanjutnya penyidikan dan penahanan. Hak adalah suatu
kekuasaan (power), yaitu suatu kemampuan untuk memodifikasi keadaan. (Pasal 1 angka 20 KUHAP)
2. Penahanan
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut
umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini. (Pasal 1 angka 21 KUHAP)
3. Penggeledahan
Penggeledahan merupakan tindakan penyelidik/penyidik untuk mendapatkan barang bukti untuk
penyelidikan/penyidikan sebagai bukti permulaan cukup, agar tersangka dapat ditangkap/ditahan dan
prosesnya dapat dilanjutkan ke tingkat penuntutan dan tingkat pemeriksaan persidangan pengadilan
(Pasal 1 angka 17 KUHAP dan Pasal 1 angka 18 KUHAP)
4. Penyitaan
penyitaan adalah “serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. (Pasal 1 angka 16 KUHAP )

5. Pemeriksaan dan Penyitaan Surat


Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi
hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Surat-
surat yang dapat diperiksa dan disita adalah surat yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara
pidana yang sedang diperiksa
C. Korban Penangkapan tidak sah
Upaya Paksa adalah upaya yang dilakukan aparat penegak hukum berupa penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan dalam rangka melaksanakan proses peradilan.

1. Pengertian Korban
Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh
suatu tindak pidana (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban)

2. Hak-Hak Korban
Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan :
a) Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya.
b) Hak memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;
c) Hak memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;
d) Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
e) Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya;
f) Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan media;
g) Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari
tahanan;
h) Hak untuk mempeoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban
i) Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.
3. Tipe-Tipe Korban
Perkembangan ilmu viktimologi menjelaskan berbagai jenis korban, yaitu :
a) Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan.
b) Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban.
c) Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan.
d) Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban.
e) False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.

4. Pengertian Penangkapan tidak sah


 Penangkapan tidak sah adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka atau terdakwa tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang.
 KUHAP tidak memuat pengertian penangkapan tidak sah secara tegas, namun dapat ditemukan secara tersirat
pada Pasal 95 yaitu, orang yang ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-
undang atau kekeliruan mengenai orangnya. (error in persona)
 Error in persona adalah kekhilafan atau kesalahan mengenai orang yang menjadi tujuan dari perbuatan yang
dilarang
 Menurut M. Yahya Harahap kekeliruan dalam penangkapan mengenai orangnya diistilahkan dengan disqualification
in person yang berarti orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan, sedangkan orang yang ditangkap
tersebut telah menjelaskan bahwa bukan dirinya yang dimaksud hendak ditangkap atau ditahan. Sedangkan
menurut yurisprudensi dari Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor. 89 KP/PID/2008 terdapat istilah lain
tentang menangkap orang dan salah mendakwa orang yang disebut sebagai error in subjectif.
5. Perlindungan Hukum Korban Penangkapan tidak sah
Perlindungan hukum terhadap korban penangkapan tidak sah perlu menjadi perhatian, karena korban
tersebut telah dilanggar hak-haknya. Aturan mengenai perlindungan hukum korban penangkapan tidak
sah juga telah tertuang dalam Pasal 95 KUHAP, yaitu:
a) Ganti Kerugian : Ganti kerugian pada dasarnya sudah menjadi hak dari tersangka, terdakwa,
maupun terpidana dikarenakan berbagai hal atau alasan misalnya karena terjadi kekeliruan dalam
menangkap, menahan atau mengadili tersangka, terdakwa maupun terpidana tersebut. Kekeliruan
yang dimaksud tersebut bisa kekeliruan mengenai orangnya atau keliru dalam menerapkan
hukumnya (Pasal 95 KUHAP).
b) Rehabilitasi : Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan,
penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena alasan kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 1 Butir 23 dari Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981)
D. Ganti Kerugian
1. Pengertian Ganti Kerugian
Pengertian ganti kerugian menurut Pasal 1 butir (22) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) adalah merupakan hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah
uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang yang berlaku atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya menurut tata cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Terdapat 2 jenis tuntutan ganti kerugian yang diatur dalam KUHAP, yaitu:
a) Ganti kerugian yang ditujukan kepada aparat penegak hukum, yang diatur Bab XII Bagian kesatu;
b) Ganti kerugian yang ditujukan kepada pihak yang bersalah, yang merupakan penggabungan perkara pidana dengan perkara
gugatan ganti kerugian, yang diatur Bab XIII.

2. Daluarsa Tuntuntan Ganti Kerugian


Aturan mengenai daluarsa dapat ditemukan pada Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana :
1) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam waktu paling lama 3 (tiga)
bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima\
2) Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat
penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b KUHAP, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat tanggal
pemberitahuan penetapan praperadilan.
3. Jumlah Ganti Kerugian
Aturan mengenai jumlah ganti kerugian dapat ditemukan pada Pasal 9 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu:

1) Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan
Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2) Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang
mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti
kerugian paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
3) Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang
mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
E. Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Sistem Peradilan Pidana menurut Mardjono Reksodiputro adalah sistem dalam suatu
masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi berarti disini usaha
untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat

1. Model-Model Peradilan Pidana


 Herbert Packer pada tahun 1964 menyatakan bahwa terdapat dua model peradilan
pidana yaitu, Crime Control Model dan Due Process Model. Kedua model ini bertujuan
untuk menangani kejahatan dengan efektif, namun memiliki sistem dan nilai yang
berbeda.
 Pada Crime Control Model, menganut nilai-nilai yang lebih konservatif sedangkan nilai
yang dianut oleh Due Process Model lebih liberal
 Crime Control Model mendukung cara cepat dalam berurusan dengan pelaku kejahatan
sehingga tidak merasa perlu untuk melalui sistem peradilan pidana yang panjang.
 Due Process Model merupakan salah satu model yang mendukung sistem peradilan
pidana karena memisahkan wewenang dari berbagai badan dalam sistem peradilan
pidana
2. Proses Peradilan Pidana Indonesia
Proses peradilan pidana dimulai dengan tahap penyidikan dimana polisi dapat mempelajari
kemungkinan terjadinya kejahatan dalam dua cara dasar. Polisi dapat melakukan pengamatan
sendiri lalu menemu adanya pelanggaran atau bukti pelanggaran selain itu, polisi dapat menerima
laporan atau pengaduan dari orang lain. Setelah penangkapan dan penyusunan berita acara serta
pelampiran bukti-bukti pemeriksaan pendahuluan telah lengkap, tahap berikutnya yaitu tahap
adjudikasi atau penuntutan oleh jaksa. Jaksa memiliki kebijaksanaan yang luas untuk memilih
tuntutan. Jaksa juga dapat menolak untuk menlajutkan suatu kasus. Tahap selanjutnya adalah
sidang di pengadilan, dimana masing-masing pihak diberi kesempatan untuk memberikan bukti lalu
hakim akan memutus kasus tersebut.
F. Landasan Teori

1. Teori Efektivitas Hukum


 Teori Efektivitas hukum adalah teori yang mengkaji dan menganalisisi tentang
keberhasilan, kegagalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan dan
penerapan hukum. Ada tiga fokus dalam kajian teori ini, yang meliputi:
1) Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum.
2) Kegagalan didalam melaksakannya, dan
3) Faktor-faktor yang mempengaruhinya
2. Teori Penegakan Hukum
 Penegakan hukum merupakan suatu 1) Faktor Hukum.
usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, 2) Faktor Penegakan Hukum
kepastian hukum dan kemanfaatan sosial
menjadi kenyataan. Faktor faktor yang 3) Faktor Sarana atau Fasilitas
mempengaruhi penegakan hukum menurut Pendukung
Soerjono Soekanto adalah : 4) Faktor Masyarakat
5) Faktor Kebudayaan
G. Kerangka Pikir
Kerangka pikir atau kerangka teoritis (theoretical
framework) atau kerangka konseptual yaitu kerangka
berpikir dari peniliti yang bersifat teoritis mengenai
masalah yang akan diteliti, yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep atau variable yang
akan diteliti. Kerangka berfikir tersebut dilandasi oleh
teori yang sudah dirujuk sebelumnya untuk
menganalisis pemenuhan hak korban penangkapan
tidak sah menuntut ganti kerugian dalam sistem
peradilan pidana.
H. Definisi Operasional
Berikut adalah definisi operasional dari beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini:

1) Hak adalah posisi menguntungkan diberikan oleh hukum kepada seseorang untuk menikmati dan

menguasai hasil dari benda miliknya.

2) Korban penangkapan tidak sah adalah orang yang ditangkap, tanpa alasan yang berdasarkan undang-

undang atau kekeliruan mengenai orangnya.

3) Error in Persona adalah kekhilafan atau kesalahan mengenai orang yang menjadi tujuan dari perbuatan

yang dilarang.

4) Kerugian materiil adalah kerugian yang nyata-nyata ada yang diderita.

5) Kerugian Immateriil adalah kerugian atas manfaat yang kemungkinan akan diterima oleh seseorang di

kemudian hari atau kerugian dari kehilangan keuntungan yang mungkin diterima oleh seseorang di

kemudian hari.
6) Upaya paksa adalah upaya yang dilakukan aparat penegak hukum berupa penangkapan dalam rangka
melaksanakan proses peradilan.
7) Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan
dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
8) Ganti Kerugian adalah merupakan hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya
yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan
yang berdasarkan Undang-Undang yang berlaku atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkannya menurut tata cara yang diatur dalam Undang-Undang.
9) Kompensasi adalah bentuk ganti rugi yang diberikan negara kepada para korban atau keluarga korban
yang merupakan ahli waris sesuai dengan kemampuan keuangan negara.
10) Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan
dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan
karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena alasan kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang.
11) Sistem Peradilan Pidana adalah suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam
penanggulangan kejahatan.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis
sosiologis (sosilogical jurisprudence). Penelitian ini berbasis pada ilmu hukum nofmatif
(peraturan perundang-undangan), mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi
ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat. Penilitian ini dikategorikan sebagai
penilitian hukum doktrinal tentang hukum in concreto

B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Makassar dan Kementrian Keuangan Republik
Indonesia. Pertimbangan Penulis memilih lokasi penelitian tersebut, karena terdapat cukup data
yang relevan tentang tuntutan ganti kerugian korban salah tangkap, untuk kemudian dilakukan
analisis terhadap data tersebut dan Kementrian Keuangan Republik Indonesia sebagai
lembaga yang telah diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 untuk
melakukan pembayaran ganti kerugian kepada korban penangkapan tidak sah.
C. Jenis dan Sumber Data
 Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui wawancara dan penelitian secara langsung
dengan pihak-pihak terkait untuk memperoleh informasi guna melengkapi data.
 Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan cara membaca
buku-buku ilmiah, majalah, internet, surat kabar dan bacaan-bacaan lain yang berhubungan
dengan penelitian
D. Teknik dan Pengumpulan Data
 Penelitian Lapangan (Field Research) ; Dokumentasi dan Wawancara.
 Penelitian Kepustakaan (Library Research); Yurisprudensi; Karya ilmiah para sarjana;
Berbagai literatur; dan Sumber lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti oleh
Penulis.

E. Analisis Data

 Data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian baik primer maupun sekunder akan
dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menguraikan,
menjelaskan dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya
dengan penelitian ini.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai