Anda di halaman 1dari 55

BAHAN AJAR

(MODUL)
MATA KULIAH HUKUM PAJAK

Dosen Pengampu
KOPRAWI NASUTION, SH. M.Pd

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(UMSU)
MEDAN
Untuk Perhatian : . Waktu penyerahan lembar jawaban UTS dan UAS mahasiswa di tugaskan
menyerahkan masing-masing 1 (satu) makalah dengan syarat sebagai berikut :
1. Judul Makalah untuk UTS adalah : Objek dan Subjek Pajak Dalam Perspektif
Hukum Indonesia
2. Judul Makalah untuk UAS adalah : Utang, Penagihan Utang dan Penyidikan Pajak
3. Kertas makalah adalah ukuran A4
4. Spasi berjarak 1,5, huruf Times New Romans 12, margin adalah :
Sebelah kiri = 4, atas = 4, kanan = 3 dan bawah 3.

1
5. Tuliskan logo UMSU, Dosen Pengampu Mata Kuliah dan tahun penulisan makalah
6. Dilampirkan Surat Pernyataan bahwa makalah tersebut tidak Copy Paste dari makalah
lain. Bubuhkan materai
Demikian untuk dilaksanakan. Selamat Bekerja….!

Pertemuan Perkuliahan 1.
MODUL 1
SEJARAH DAN PENGERTIAN HUKUM PAJAK

A. Sejarah Hukum Pajak


1. Sekitar Pajak
Pada awalnya, pajak bukanlah suatu pungutan, melainkan pemberian sukarela yang
diberikan oleh rakyat untuk raja yang telah memelihara kepentingan negara, menjaga
negara dari serangan musuh, membiayai pegawai kerajaan, dan lain sebagainya. Artinya
pada mulanya pajak itu hanya merupakan upeti. Yang dikutip pada zaman kolonial
Belanda hingga sebelum 1983. Pernah disebut sebagai Ordonansi pajak rumah tangga;
Aturan bea materai; Ordonansi bea balik nama; Ordonansi pajak upah; Ordonansi pajak
kendaraan bermotor; Ordonansi pajak perseroan; UU pajak radio; UU Pajak pembangunan;
UU pajak bumi dan terakhir dinamakan iuran pembangunan daerah (IPEDA);
Biasanya, warga negara yang tidak melakukan penyetoran dalam bentuk natura
diwajibkan untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan kepentingan umum
dalam kurun waktu yang ditentukan. Sementara, orang-orang yang memiliki status sosial
lebih tinggi dan memiliki cukup harta dapat terbebas dari kewajiban tersebut dengan
membayar uang ganti rugi. Di Indonesia, pajak awalnya merupakan suatu upeti atau
pemberian secara cuma-cuma oleh rakyat kepada raja atau penguasa. Namun, upeti ini
hanya digunakan untuk kepentingan penguasa saja, tidak dikembalikan ke rakyat.
Seiring dengan berjalannya waktu, upeti yang diberikan oleh rakyat tersebut tidak lagi
digunakan untuk kepentingan satu pihak, tetapi mulai mengarah ke kepentingan rakyat itu
sendiri. Jadi, harta yang dikeluarkan oleh rakyat akan digunakan untuk kepentingan rakyat
juga, misalnya untuk menjaga keamanan rakyat, membangun saluran air, membangun sarana
sosial, dan lain sebagainya.
Dalam perkembangannya, pemberian yang sebelumnya bersifat cuma-cuma dan lebih ke

2
arah memaksa ini pun dibuat suatu aturan yang lebih baik dengan memperhatikan unsur
keadilan. Karena itu, rakyat juga dilibatkan dalam membuat aturan-aturan pemungutan pajak
karena hasil pajak tersebut nantinya digunakan untuk kepentingan rakyat sendiri.
Sejak zaman kolonial Belanda telah diberlakukan cukup banyak Undang-Undang untuk
mengatur mengenai tentang pembayaran pajak, seperti :
a. Ordonansi Pajak Rumah Tangga; yang terdiri dari
1) Aturan Bea Meterai;
2) Ordonansi Bea Balik Nama;
3) Ordonansi Pajak Kekayaan;
4) Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor;
5) Ordonansi Pajak Upah;
6) Ordonansi Pajak Potong;
7) Ordonansi Pajak Pendapatan;
8) Undang-undang Pajak Radio;
b. Undang-undang Pajak Pembangunan I, yang terdiri dari ;
1) Undang-undang Pajak Peredaran. Kemudian diundangkan lagi beberapa Undang-
Undang, antara lain: 1) UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2
Tahun 1968;
2) UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan Undang-undang No.
10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti;
3) UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;
4) UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
5) UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs atau Tata Cara
MPS-MPO.
Tahun 1983, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat melakukan
reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang yang
ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang sifatnya lebih mudah
dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajak
dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official
assessment diubah menjadi self assessment.
Kelima undang-undang tersebut adalah:

3
a) UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
b) UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
c) UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM;
d) UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih menggunakan official assessment);
e) UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).
Namun pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang tersebut kemudian
mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan
undang-undang, yaitu:
(1) UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;
(2) UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994;
(3) UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;
(4) UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;
Tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang yang berkaitan dengan
masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah ada, yaitu:
(a) UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak;
(b) UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
(c) UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
(d) UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
(e) UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Tahun 2000 pemerintah kembali mengubah undang-undang perpajakan, yaitu:
(a) UU No. 16 Tahun 2000 tentang KUP;
(b) UU No. 17 Tahun 2000 tentang PPh;
(c) UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM;
(d) UU No. 19 Tahun 2000 tentang PPSP;
(e) UU No. 21 Tahun 2000 tentang BPHTB;
(f) UU No. 34 Tahun 2000 tentang PDRD; serta
(g) Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai.
Pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum
merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung maka dibentuklah suatu
Pengadilan Pajak dengan UU No. 14 Tahun 2002 sebagai pengganti UU No. 17 Tahun 1997.
Perubahan terakhir undang-undang perpajakan baru-baru ini dilakukan pada tahun 2007 dan

4
2008 yang menghasilkan UU KUP No. 28 Tahun 2007 yang berlaku mulai tahun 2008 dan UU
PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai tahun 2009.
Namun, dilatarbelakangi adanya sunset policy beberapa waktu lalu, maka UU KUP
diperbaharui lagi dengan adanya UU No. 16 Tahun 2009 sebagai penetapan Perpu No. 5
Tahun 2008 yang hanya mengubah satu bunyi ketentuan Pasal 37A ayat (1) UU KUP No. 28
Tahun 2007.UU PPN/PPNBM No. 42 tahun 2009 yg berlaku I April 2010.

2. Landasan Hukum Pajak


Setidaknya, ada delapan undang-undang yang menjadi landasan atau dasar hukum
pemungutan pajak di Indonesia, antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai.
b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
c. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Penghasilan.
e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang
dan Jasa dan Penjualan atas Barang Mewah.
f. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak  dengan Surat Paksa.
g. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan.
h. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak

3. Fungsi Hukum Pajak


Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, pajak memiliki sejumlah fungsi yang
didasarkan pada asas-asas yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyat. Adapun fungsi
hukum pajak adalah sebagai berikut:
1. Hukum pajak berfungsi sebagai acuan dalam menciptakan sistem pemungutan pajak yang
berlandaskan atas dasar keadilan, efisien, serta diatur sejelas-jelasnya dalam undang-
undang tentang hukum pajak itu sendiri.
2. Hukum pajak berfungsi sebagai sumber yang menerangkan tentang siapa subjek dan objek
yang perlu atau tidak perlu dijadikan sumber pemungutan pajak demi meningkatkan

5
potensi pajak secara keseluruhan.
Demikianlah penjelasan singkat mengenai pengertian hukum pajak, sejarah hukum pajak,
dasar hukum pajak, serta fungsi hukum pajak. Semoga bermanfaat!

B. Pengertian Hukum Pajak


1. Definisi Hukum Pajak menurut beberapa ahli
Hukum pajak atau hukum fiskal adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hak dan
kewajiban serta hubungan antara wajib pajak dan pemerintah selaku pemungut pajak.
Namun, arti mengenai dari hukum ini sebenarnya beragam. Berikut adalah penjelasan
mengenai hukum fiskal dari beberapa ahli :
a. Bohari
Pendapat senada juga diutarakan oleh Bohari. Menurutnya, hukum fiskal merupakan
kumpulan peraturan perundang-undangan yang mengatur rakyat selaku pihak yang
membayar pajak dengan pemerintah selaku pemungut perpajakan.
b. Erly Suandy
Erly Suandy juga mengungkapkan hal yang tidak jauh berbeda. Menurutnya, hukum
perpajakan atau hukum fiskal merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur
hubungan antara rakyat selaku wajib pajak dengan penguasa atau pemerintah selaku
pemungut perpajakan.
c. Hartono Hadisoeprapto
Hartono Hadisoeprapto menyatakan, hukum pajak adalah serangkaian peraturan yang
mengatur bagaimana pajak dipungut, atas keadaan atau peristiwa apa pajak tersebut
dikenakan, serta berapa besar atau jumlah pajak yang dikenakan.
d. Soeparman Soehamidjaja
Menurut Dr. Soeparman Soehamidjaja hukum fiskal adalah hukum yang mengatur
masalah perpajakan yang akan meringankan biaya produksi barang dan jasa untuk
mencapai kesejahteraan umum.
e. Santoso Brotodihardjo
Menurut Santoso Brotodihardjo, hukum perpajakan atau yang juga dikenal sebagai
hukum fiskal merupakan aturan-aturan yang meliputi wewenang atau hak pemerintah
dalam mengambil kekayaan seseorang dan memberikannya kembali ke masyarakat

6
melalui kas negara. Dalam hal ini, hukum ini merupakan hukum publik yang mengatur
hubungan orang pribadi atau badan hukum yang memiliki kewajiban untuk
menunaikan pajak (wajib pajak) dengan negara.
f. Rachmat Soemitro
Menurut Rachmat Soemitro, hukum perpajakan adalah kumpulan peraturan yang
mengatur hubungan rakyat selaku pembayar pajak dengan pemerintah selaku
pemungut
Berdasarkan pendapat para ahli perpajakan diatas dapat diketahui bahwa hukum
perpajakan atau hukum fiskal merupakan suatu bagian dari hukum publik yang mengatur
masalah perpajakan antara rakyat sebagai wajib pajak dan pemerintahan selaku pemungut
pajak.

2. Jenis-jenis Hukum Pajak


Jenis-jenis hukum perpajakan adalah sebagai berikut:
a. Hukum Pajak Formal
Hukum perpajakanyang memuat adanya ketentuan-ketentuan dalam mewujudkan
hukum pajak material menjadi kenyataan. Hukum perpajakan  formal memuat tata cara
atau prosedur penetapan jumlah utang perpajakan, hak-hak fiskus untuk mengadakan
evaluasi. Hukum perpajakan formal juga menentukan kewajiban wajib pajak untuk
mengadakan pembukuan, serta prosedur pengajuan surat keberatan maupun banding.
Contoh hukum perpajakan formal adalah Tata Cara Perpajakan.
b. Hukum Pajak Material
Hukum pajak yang memuat tentang ketentuan-ketentuan terhadap keadaan yang
dikenai pajak (objek pajak), siapa yang akan dikenakan pajak (subjek pajak) dan siapa
yang dikecualikan dengan pajak serta berapa jumlah yang harus dibayar (tarif pajak).
Contoh hukum perpajakan  material adalah pajak penghasilan (PPh) dan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN).
Sedangkan pembagian pajak itu sediri dibedakan menurut golongannya yaitu : 1. Pajak
Langsung 2. Pajak Tidak langsung; menurut sifatnya, yaitu 1. Pajak Subyektif 2. Pajak
Obyektif; serta menurut kewenangan pemungut yaitu 1. Pajak Pusat 2. Pajak Daerah yang
terdiri dari a. Pajak Propinsi dan b. Pajak Kabupaten/Kota

7
Pertemuan Perkuliahan 2
MODUL 2
FUNGSI PAJAK

Sebagaimana diketahui bahwa pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan Pajak adalah sumber
penerimaan terbesar di hampir semua negara di dunia. Pajak adalah pungutan wajib dari rakyat
untuk negara dengan maksud agar terlaksana fungsi pajak sebagaimana mestinya. Fungsi
pajak yakni guna membiayai pengeluaran-pengeluaran. Manfaat pajak digunakan untuk
melakukan pembangunan hingga membayar gaji pegawai negeri.
Pajak merupakan pungutan resmi yang dikelola oleh pemerintah dan diwajibkan
bagi semua warga negaranya karena pada dasarnya pajak ini memiliki sifat memaksa.
Pajak juga memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara karena
pungutan yang dibebankan bagi setiap Wajib Pajak di negara ini akan dipergunakan
untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, termasuk digunakan sebagai pendapatan
negara untuk membiayai semua pengeluaran, tak terkecuali pengeluaran yang bertujuan
dengan pembangunan negara.
Ada berbagai macam fungsi pajak yang perlu diketahui antara lain yaitu :.
1. Fungsi Anggaran (Budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan
pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan
pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai,
belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang
dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi
pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai
kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama
diharapkan dari sektor pajak.

8
2. Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pajak merupakan alat untuk melaksanakan atau mengatur kebijakan negara dalam
lapangan sosial dan ekonomi. Fungsi mengatur tersebut antara lain:
a. Pajak dapat digunakan untuk menghambat laju inflasi.
b. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong kegiatan ekspor, seperti pajak
c. ekspor barang.
d. Pajak dapat memberikan proteksi atau perlindungan terhadap barang produksi dari
e. dalam negeri, contohnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
f. Pajak dapat mengatur dan menarik investasi modal yang membantu perekonomian agar
g. semakin produktif.
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak.
Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar
negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi
produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar
negeri.
3. Fungsi Stabilitas (Staability)
Pajak dapat digunakan untuk menstabilkan kondisi dan keadaan perekonomian, seperti
untuk mengatasi inflasi, pemerintah menetapkan pajak yang tinggi, sehingga jumlah uang
yang beredar dapat dikurangi. Sedangkan untuk mengatasi kelesuan ekonomi atau deflasi,
pemerintah menurunkan pajak, sehingga jumlah uang yang beredar dapat ditambah dan deflasi
dapat di atasi.Tanggung jawab atas kewajiban membayar pajak berada pada anggota
masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut, sesuai dengan sistem self
assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia. 
Self assessment berarti wajib pajak menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan
melapor kewajiban perpajakannya sendiri. Jadi tidak memaksa wajib pajak membayar pajak
sebesar-besarnya, tapi sesuai dengan aturan perundang-undangan.
DJP sesuai fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penyuluhan, pelayanan, serta
pengawasan kepada masyarakat. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, DJP berusaha
sebaik mungkin memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai visi dan misinya..
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang

9
berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa
dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan
pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
4. Fungsi Redistribusi Pendapatan (Restribution)
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua
kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat
membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat.
Keempat fungsi pajak di atas merupakan fungsi dari pajak yang umum dijumpai di
berbagai negara. Di Indonesia, pemerintah lebih menitikberatkan pada dua fungsi
pajak sebagai pengatur dan budgeter. Lembaga pemerintah yang mengelola pajak negara di
Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang berada di bawah Kementerian
Keuangan

Pertemuan Perkuliahan 3
MODUL 3
JUSTIFIKASI PEMUNGUTAN PAJAK

Justifikasi adalah putusan, alasan, atau pertimbangan yang diambil berdasarkan hati


nurani. Dengan memahami justifikasi pemungutan pajak, maka dapat menemukan pembenaran
yang hakiki mengenai mengapa fiskus berhak dan harus memungut pajak kepada
masyarakatnya
Teori yang dipakai untuk menjustifikasi pemungutan pajak menurut R. Santoso
Brotodiharjo SH, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak menyebutkan ada beberapa
teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu:
1.) Teori asuransi
Menurut teori ini, fiskus berhak memungut pajak dari penduduknya, karena negara
dianggap identik dengan perusahaan asuransi, dan wajib pajak adalah tertanggung yang
wajib membayar premi dalam hal ini pajak. Negara berhak memungut pajak dari penduduk
karena Negara bertugas melindungi semua rakyat dan rakyat membayar premi pada negara.
Teori ini banyak ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan

10
asuransi. Namun teori ini mempunyai kelemahankelemahan, antara lain dengan eksistensi
imbalan yang akan diberikan negara jika tertanggung dalam hal ini wajib pajak menderita
risiko. Sebab sebagaimana kenyataannya, negara tidak pernah memberi uang santunan
kepada wajib pajak yang tertimpa musibah. Lagi pula kalau ada imbalan dalam pajak,
maka hal itu sebenarnya bertentangan dengan unsur dalam definisi pajak itu sendiri.
2) Teori kepentingan.
Menurut teori ini negara berhak memungut pajak dari penduduknya, karena penduduk
negara tersebut mempunyai kepentingan kepada negara. Makin besar kepentingan
penduduk kepada negara, maka makin besar pula perlindungan negara kepadanya.
Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat
kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori
ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan
orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial,
kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang yang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.
Sama dengan teori asuransi, teori ini mempunyai kelemahan antara lain tentang fungsi
negara untuk melindungi segenap rakyatnya. Negara tidak boleh memilih-milih dalam
melindungi penduduknya. Jika misalnya di suatu RT (Rukun Tetangga) terjadi kebakaran,
apakah hanya mereka yang sudah bayar pajak yang dibantu dan diselamatkan oleh petugas
mobil kebakaran? Di samping itu jika ditinjau dari unsur definisi pajak, maka adanya
hubungan langsung atau kontraprestasi (dalam hal ini kepentingan wajib pajak) telah
menggugurkan eksistensi pajak itu sendiri.
3.) Teori Daya Pikul.
Menurut teori ini sebenarnya tidak memberikan jawaban atas justifikasi pemungutan
pajak. Teori ini hanya mengusulkan supaya dalam memungut pajak pemerintah harus
memperhatikan daya pikul dari wajib pajak, beban pajak yang dikenakan harus sama
besarnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Jadi
wajib pajak membayar pajak sesuai dengan daya pikulnya. Ajaran teori ini ternyata masih
dapat bertahan sampai sekarang, yakni seorang wajib pajak tidak akan dikenakan pajak
penghasilan atas seluruh penghasilan kotornya. Suatu jumlah yang dibutuhkan untuk
mempertahankan hidupnya haruslah dikeluarkan terlebih dahulu sebelum dikenakan tarif
pajak. Jumlah yang dikeluarkan tersebut disebut penghasilan tidak kena pajak, minimum

11
kehidupan atau pendapatan bebas pajak minimum of subsistence.
4 ) Teori Bakti.
Adapun teori bakti dapat dikatakan sama dengan teori kedaulatan negara pada mata
kuliah Pengantar llmu Hukum. Penduduk harus tunduk atau patuh kepada negara, karena
negara sebagai suatu lembaga atau organisasi sudah eksis, sudah ada dalam kenyataan.
Teori bakti mengajarkan, bahwa penduduk adalah bagian dari suatu negara; oleh karena itu
penduduk terikat pada keberadaan negara dan karenanya wajib membayar pajak, dalam arti
wajib berbakti kepada negara. Dalam teori ini, dasar keadilan pemungutan pajak terletak
pada hubungan rakyat dengan negaranya. Penganut teori bakti menganjurkan untuk
membayar pajak kepada negara dengan tidak bertanya-tanya lagi apa yang menjadi dasar
bagi negara untuk memungut pajak. Karena organisasi atau lembaga yakni negara telah ada
sebagai suatu kenyataan, maka penduduknya wajib secara mutlak membayar pajak, wajib
berbakti kepada negara.
5 ) Teori Asas Daya Beli;
Menurut teori ini Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak, artinya
memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat rumah tangga
negara. Menurut teori ini yustifikasi pemungutan pajak terletak pada akibat pemungutan
pajak. Misalnya tersedianya dana yang cukup untuk membiayai pengeluaran umum negara,
karena akibat baik dari perhatian negara pada masyarakat maka pemungutan pajak adalah
juga baik.
6 ) Teori Pembangunan
Menurut teori ini pemungutan pajak yang paling tepat adalah untuk pembangunan
dalam arti membangun masyarakat yang adil dan makmur.
Selanjutnya perlu menjadi perhatian bahwa dalam berbagai literatur llmu Keuangan
Negara dan Pengantar llmu Hukum Pajak terdapat pembedaan atau penggolongan pajak
(classes of taxes, kind of taxes) serta jenis-jenis pajak. Pembedaan atau penggolongan
tersebut didasarkan pada suatu kriteria, seperti siapa yang membayar pajak; siapa yang
pada akhirnya memikul beban pajak; apakah beban pajak dapat dilimpahkan/dialihkan
kepada pihak lain atau tidak; siapa yang memungut; serta sifat-sifat yang melekat pada
pajak yang bersangkutan. Pada umumnya pajak digolongkan atas beberapa bagian seperti
Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung, penggolongan pajak pusat dan pajak daerah,

12
menurut golongan pajak, pajak subjektif dan objektif serta menurut pajak pribadi atau
menurut pajak kebendaan. OECD juga membuat penggolongan tersendiri atas kriteria
tertentu.

Pertemuan Perkuliahan 4.
MODUL 4
PRINSIP DAN AZAS PEMUNGUTAN PAJAK

A. Prinsip Pemungutan Pajak


Menurut Adam Smith prinsip umum yang digunakan dalam Pengenaan Pajak adalah:
1.) Distribusi dari beban pajak harus adil
2.) Pajak-pajak harus sedikit mungkin mencampuri keputusan-keputusan ekonomi
3.) Pajak-pajak haruslah memperbaiki ketidakefisienan yang terjadi di sektor swasta
4.) Struktur pajak haruslah mampu digunakan dalam kebijakan fiskal
5.) Sistem pajak harus dimengerti oleh wajib pajak
6.) Administrasi pajak dan biaya pelaksanaanya haruslah sesedikit mungkin
7.) Kepastian
8.) Dapat dilaksanakan
9.) Dapat diterima
Sedangkan Era Saligman mengatakan bahwa ada empat prinsip pemungutan pajak
adalah:
1). Prinsip fiskal: pajak yang dipungut negara adalah untuk memastikan stabilitas fiskal
nasional.
2). Prinsip ekonomis: pajak dipungut dengan memperhatiakan kekuatan ekonomi rakyat
wajib pajak.
3). Prinsip etika yaitu pungutan pajak diberlakukan secara luwes dan beretika sehingga tidak
menyinggung kehormatan dan martabat wajib pajak.
4). Prinsip administratif: menyangkut masalah administrasi perpajakan

Kini timbul pertanyaan : “Mengapa fiskus suatu negara berhak memungut pajak dari
penduduknya?”. Menurut teori asuransi, fiskus berhak memungut pajak dari penduduknya,

13
karena negara dianggap identik dengan perusahaan asuransi, dan wajib pajak adalah
tertanggung yang wajib membayar premi dalam hal ini pajak. Negara yang berhak memungut
pajak itu, menurut penganut teori ini, melindungi segenap rakyatnya.Namun teori ini
mempunyai kelemahan-kelemahan, antara lain dengan eksistensi imbalan yang akan diberikan
negara jika tertanggung dalam hal ini wajib pajak menderita risiko. Sebab sebagaimana
kenyataannya, negara tidak pernah memberi uang santunan kepada wajib pajak yang tertimpa
musibah. Lagi pula kalau ada imbalan dalam pajak, maka hal itu sebenarnya bertentangan
dengan unsur dalam definisi pajak itu sendiri. Para penganut teori ini mengatakan, bahwa
negara berhak memungut pajak dari penduduknya, karena penduduk negara tersebut
mempunyai kepentingan kepada negara. Makin besar kepentingan penduduk kepada negara,
maka makin besar pula perlindungan negara kepadanya.
Sama dengan teori asuransi, teori ini mempunyai kelemahan antara lain tentang fungsi negara
untuk melindungi segenap rakyatnya. Negara tidak boleh memilih-milih dalam melindungi
penduduknya. Jika misalnya di suatu RT (Rukun Tetangga) terjadi kebakaran, apakah hanya
mereka yang sudah bayar pajak yang dibantu dan diselamatkan oleh petugas mobil kebakaran?
Di samping itu jika ditinjau dari unsur definisi pajak, maka adanya hubungan langsung atau
kontraprestasi (dalam hal ini kepentingan wajib pajak) telah menggugurkan eksistensi pajak
itu sendiri.
Adapun teori bakti dapat dikatakan sama dengan teori kedaulatan negara pada mata kuliah
Pengantar llmu Hukum. Penduduk harus tunduk atau patuh kepada negara, karena negara
sebagai suatu lembaga atau organisasi sudah eksis, sudah ada dalam kenyataan. Teori bakti
mengajarkan, bahwa penduduk adalah bagian dari suatu negara; penduduk terikat pada
keberadaan negara, karenanya penduduk wajib membayar pajak, wajib berbakti kepada
negara. Penganut teori bakti menganjurkan untuk membayar pajak kepada negara dengan tidak
bertanya-tanya lagi apa yang menjadi dasar bagi negara untuk memungut pajak. Karena
organisasi atau lembaga yakni negara telah ada sebagai suatu kenyataan, maka penduduknya
wajib secara mutlak membayar pajak, wajib berbakti kepada negara.
Selain itu ada pula yang disebut dengan teori daya pikul sebenarnya tidak memberikan
jawaban atas justifikasi pemungutan pajak. Teori ini hanya mengusulkan supaya dalam
memungut pajak pemerintah harus memperhatikan daya pikul dari wajib pajak. Jadi wajib
pajak membayar pajak sesuai dengan daya pikulnya. Ajaran teori ini ternyata masih dapat
bertahan sampai sekarang, yakni seorang wajib pajak tidak akan dikenakan pajak penghasilan
atas seluruh penghasilan kotornya. Suatu jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan
hidupnya haruslah dikeluarkan terlebih dahulu sebelum dikenakan tarif pajak. Jumlah yang
dikeluarkan tersebut disebut penghasilan tidak kena pajak, minimum kehidupan atau

14
pendapatan bebas pajak minimum of subsistence.

B. Azas Pemungutan Pajak


Ada beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan
wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan.
Sedangkan ahli yang telah mengemukakan pendapat tentang asas pemungutan pajak, antara
lain:
a) Menurut Adam Smith
Dalam bukunya yang berjudul Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The Four
Maxims", mengatakan bahwa asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.
1). Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan):
pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan
penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib
pajak.
2). Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU,
sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
3). Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas
kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pakak (saat yang
paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat
wajib pajak menerima hadiah.
4). Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak
diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih
besar dari hasil pemungutan pajak.
b.) Menurut W.J. Langen
Mengatakan bahwa asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.
1). Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya
penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang
dibebankan.
2). Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatankegiatan
yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
3). Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan

15
kesejahteraan rakyat.
4). Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang
lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).
5). Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya
(serendah-rendahnya) jika dibandinglan sengan nilai obyek pajak. Sehingga tidak
memberatkan para wajib pajak.
c. Menurut Adolf Wagner,
Mengatakan bahwa asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
1). Asas politik finansial: pajak yang dipungut negara jumlahnya memadai sehingga dapat
membiayai atau mendorong semua kegiatan negara
2). Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat, agar pemungutan pajak jangan
sampai menghalangi produksi dan perekonomian rakyat Misalnya: pajak pendapatan,
pajak untuk barang-barang mewah
3). Asas keadilan yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk
kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
4). Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana harus
membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan
besarnya biaya pajak.
5). Asas yuridis segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang.
d. Menurut Era Saligman
Mengatakan bahwa ada empat asas atau prinsip pemungutan pajak yaitu:
1). sas fiskal: pajak yang dipungut negara adalah untuk memastikan stabilitas fiskal
nasional.
2). Asas ekonomis: pajak dipungut dengan memperhatiakan kekuatan ekonomi rakyat wajib
pajak.
3). Asas etika yaitu pungutan pajak diberlakukan secara luwes dan beretika sehingga tidak
menyinggung kehormatan dan martabat wajib pajak.
4). Asas administratif: menyangkut masalah administrasi perpajakan.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pemungutan pajak harus
memenuhi syarat-syarat: Syarat keadilan; Syarat Yuridis; Syarat ekonomis; Syarat
Finansial dan Sistem pemungutan yang sederhana.

16
Kenyataannya asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai
landasan untuk mengenakan pajak adalah:
1). Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle),
berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima
atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang
pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau
apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak
dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah
sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam system pengenaan pajak terhadap
penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep
pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan
yang diperoleh di luar negeri (world-wide income concept).
2). Asas sumber; negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila
penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi
atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas
ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang
memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah
objek pajak yang timbul atau berasal dari Negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja
di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh
pemerintah Indonesia.
3). Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan
(nationality /citizenship principle).
Asas ini menyatan bahwa yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status
kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas
ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal.
Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas
ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan
pajak atas world wide income.
Ada beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau kependudukan dengan
asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak

17
lainnya yaitu :.
a. Pertama, pada kedua asas yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan
kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan
pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili
(dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam asas nasionalitas). Di
sini, asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting.
Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah status objeknya,
yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari Negara itu atau tidak.
Status dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu
penting.
b. Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap
penghasilan yang diperoleh di mana saja (worldwide income), sedangkan pada asas
sumber, penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan-
penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara yang bersangkutan.
Kebanyakan negara, tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja, tetapi mengadopsi
lebih dari satu asas, bisa gabungan asas domisili dengan asas sumber, gabungan asas
nasionalitas dengan asas sumber, bahkan bisa gabungan ketiganya sekaligus. Indonesia,
dari ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, khususnya
yang mengatur mengenai subjek dan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia
menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya.
Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus dalam
ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi.
Jepang, misalnya untuk individu yang merupakan penduduk (resident individual)
menggunakan asas domisili, di mana berdasarkan asas ini seorang penduduk Jepang
berkewajiban membayar pajak penghasilan atas keseluruhan penghasilan yang
diperolehnya, baik yang diperoleh di Jepang maupun di luar Jepang. Sementara itu,
untuk yang bukan penduduk (non-resident) Jepang, dan badan-badan usaha luar negeri
berkewajiban untuk membayar pajak penghasilan atas setiap penghasilan yang diperoleh
dari sumber-sumber di Jepang. Australia, untuk semua badan usaha milik negara
maupun swasta yang berkedudukan di Australia, dikenakan pajak atas seluruh

18
penghasilan yang diperoleh dari seluruh sumber penghasilan. Semen¬tara itu, untuk
badan usaha luar negeri, hanya dikenakan pajak atas penghasilan dari sumber yang ada
di Australia

Pertemuan Perkuliahan 5
MODUL 5.
TARIF PAJAK

A. Pengertian Tarif Pajak


Tarif pajak adalah dasar pengenaan pajak atas segala objek pajak yang memang
menjadi tanggung jawab wajib pajak. Tarif pajak pada umumnya berupa besaran
persentase yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai acuan dalam pengenaan pajak.
Secara struktural, setidaknya ada 4 jenis tarif pajak yaitu antara lain adalah tarif
progresif, tarif degresif, tarif proporsional, tarif tetap atau regresif. Tarif pajak
merupakan dasar pengenaan pajak atas objek pajak yang menjadi tanggung jawab wajib pajak.
Biasanya tarif pajak berupa persentase yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Ada berbagai
jenis tarif pajak dan setiap jenis pajak pun memiliki nilai tarif pajak yang berbeda-beda. Dasar
pengenaan pajak merupakan nilai dalam bentuk uang yang dijadikan dasar untuk menghitung
pajak terutang.
Secara struktural, tarif pajak dibagi menjadi 4 jenis, antara lain:
1. Tarif Progresif (a progressive tax rate).yaitu merupakan tarif pungutan pajak yang mana
persentase akan naik sebanding dengan dasar pengenaan pajaknya.
Di Indonesia sendiri, tarif pajak progresif ini diterapkan untuk pajak penghasilan
(PPh) wajib pajak orang pribadi, seperti:
a. Lapisan penghasilan kena pajak (PKP) sampai Rp50 juta, tarif pajaknya 5%.
b. Lapisan PKP lebih dari Rp50 – Rp250 juta, tarif pajaknya 15%.
c. Lapisan PKP lebih dari Rp250 -Rp500 juta, tarif pajakya 25%.
d. Lapisan PKP di atas Rp500 juta, tarif pajaknya 30%.
2. Tarif Degresif (a degressive tax rate).yaitu Tarif degresif ini kebalikan dari tarif progresif.
Artinya, tarif pajak ini merupakan tarif pajak yang persentasenya akan lebih kecil dari

19
jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak tinggi. Atau, persentase tarif pajak akan
semakin rendah ketika dasar pengenaan pajaknya semakin meningkat.
Jadi, jika persentasenya semakin kecil, jumlah pajak terutang tidak ikut mengecil.
Melainkan bisa jadi lebih besar karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya
semakin besar.
3. Tarif Proporsional (a proportional tax rate).yaitu Tarif proporsional merupakan tarif yang
persentasenya tetap meski terjadi perubahan terhadap dasar pengenaan pajak. Jadi,
seberapa pun jumlah objek pajak, persentasenya akan tetap. Contohnya adalah Pajak
Pertambahan Nilai (10%) dan PBB (0,5%) dari berapa pun objek pajaknya.
4. Tarif Tetap/regresif (a fixed tax rate).yaitu Tarif tetap atau tarif pajak regresif adalah tarif
pajak yang nominalnya tetap tanpa memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan
pajaknya.
Tarif tetap juga dapat diartikan sebagai tarif pajak yang akan selalu tetap sesuai dengan
peraturan yang telah diberlakukan, seperti Bea Meterai dengan nilai atau nominal sebesar
Rp3.000 dan Rp6.000. Yang pasti, pada dasarnya tarif pajak dipungut berdasarkan atau sesuai
dengan pengelompokan jenis-jenis pajak.

B. Pengelompokkan Pajak
Pengelompokkan pajak dapat dibedakan atas :
1) Pengelompokkan Menurut golongannya, terdiri dari :
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak
dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak tidak langsung Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.
2) Pengelompokkan Menurut sifatnya, terdiri dari :
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam
arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan
keadaan diri Wajib Pajak. Contoh Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah.
3) Pengelompokkan Menurut lembaga pemungutnya, terdiri dari :
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk

20
membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Materai.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah daerah dan digunakan untuk
membaiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri atas:  Pajak Propinsi, contoh :
Pajak Kendaraan Bermotor dan pajak bahan Bakar Kendaraan Bermotor.  Pajak
Kabupaten/Kota, contoh Pajak Hotel, Pajak Restoran dan Pajak Hiburan.

Pertemuan Perkuliahan .6
MODUL 6
SUBYEK DAN OBYEK PAJAK

Secara sederhana, yang disebut dengan subjek pajak adalah perorangan atau badan


yang ditetapkan menjadi subjek pajak. Sedangkan objek pajak merupakan sumber pendapatan
yang dikenakan pajak. Setiap subjek pajak haruslah mempunyai objek pajak yang nantinya
dikenakan atas pajak yang berlaku.
A. Subjek Pajak
Menurut  UU Ri Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Bahwa yang menjadi subjek pajak adalah
1. Orang pribadi / perseorangan
2. Warisan yang belum dibagikan sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
3. Badan
4. Bentuk usaha tetap ( Subjek pajak yang perlakuannya dipersamakan dengan subjek
pajak badan )
Subjek pajak tersebut diatas juga digolongkan menjadi dua yaitu subjek pajak dalam
negeri dan subjek pajak luar negeri.
1. Subjek pajak dalam negeri
a. Seseorang / orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
tinggal di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan atau setahun, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun
pajak berada di Indonesia dan berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

21
b. Badan yang berdiri atau berkedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan
pemerintah dengan kriteria dibawah inia. Pembentukannya berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undanganb. Pembiayaannya bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
c. Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerahd. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
d. Warisan yang belum dibagikan sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2. Subjek Pajak Luar Negeri
 Orang pribadi yang tidak bermukim di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12  bulan atau setahun, dan badan
yang tidak berdiri dan tidak berkedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dalam bentuk usaha tetap di Indonesia.
 Seseorang yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, seseorang yang berada di
Indonesia kurang dari 183hari dalam jangka waktu 12 bulan atau setahun, dan badan
yang tidak berdiri dan tidak berkedudukan di Indonesia, yang menerima atau
mendapatkan penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

B. Objek Pajak
Objek pajak adalah penghasilan atau disebut juga setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia, yang dapat dikonsumsi atau meningkatkan harta kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk :
1. Penghasilan karena pekerjaan / jasa, gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun dan imbalan lainnya terkecuali ditentukan lain dalam Undang-
undang.
2. Hadiah undian, hadiah dari pekerjaan atau kegiatan dan hadiah penghargaan
3. Laba usaha
4. Keuntungan penjualan atau keuntungan dari pengalihan harta
5. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

22
6. Keuntungan yang diperoleh karena adanya pengalihan harta kepada para pemegang saham,
sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya seperti :
a. Keuntungan likuidasi, keuntungan penggabungan, keuntungan peleburan, keuntungan
pemekaran, keuntungan pemecahan, keuntungan pengambilalihan usaha atau
reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
b. Keuntungan dari pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
c. Keuntungan dari penjualan / pengalihan sebagian atau semuanya dari hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan.
d. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang sudah dibebankan menjadi biaya dan
pembayaran tambahan dari pengembalian pajak.
7. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang
8. Dividen, termasuk yang diberikan  perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian SHU ( Sisa Hasil Usaha ) koperasi.
9.  Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
10. Sewa dan penghasilan lain yang berhubungan dengan penggunaan harta
11. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
12. Keuntungan yang diperoleh karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
13. Keuntungan selisih kurs mata uang asing
14. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
15. Premi asuransi
16. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
17. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak

23
18. Penghasilan dari usaha berbasis syariah
19. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
20. Surplus Bank Indonesia.
C. Yang tidak termasuk dari objek pajak
1. Bantuan atau sumbangan, zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk dan/atau disahkan oleh pemerintah, dan zakat yang diterima oleh
penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk dan/atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi,
atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan
3. Warisan yang diwariskan pew2aris kepada ahli waris
4. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal
5. Imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima dalam bentuk natura atau
kenikmatan
6. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa
7. Dividen atau laba yang diterima PT ( perseroan terbatas ) sebagai Wajib Pajak dalam
negeri, Koperasi, BUMN ( Badan Usaha Milik Negara ) atau BUMD ( Badan Usaha
Milik Daerah ) dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
berkedudukan di Indonesia dengan syarat :
Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
Bagi PT, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan
yang memberikan dividen minimal 25% dari jumlah modal yang disetor.
8. Iuran dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang

24
dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
9. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada
huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan
10. Bagian keuntungan / Laba yang di terima para anggota dari Perseroan Komanditer dimana
modal yang disetorkan tidak dibagikan atas saham – saham, persekutuan, perkumpulan,
Firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba
dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
 Perusahaan UKM ( mikro, kecil dan menengah ) atau yang menjalankan kegiatan
dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan
 Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
12. Kelebihan atau sisa lebih yang diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan yang terdaftar pada instansi yang
membidanginya yang diterapkan kembali dalam bentuk sarana atau prasarana kegiatan
dibidang pendidikan dalam jangka waktu paling lama 4 tahun semenjak kelebihan atatu
sisa lebih tersebut diperoleh, yang ketentuannya diatur lebih lanjut berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan
13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada
Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.

Pertemuan Perkuliahan 7
MODUL 7
HUKUM PAJAK

25
A. Pengertian Hukum Pajak
Hukum Pajak atau lazim disebut dengan hukum fiskal adalah keseluruhan peraturan
yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan
menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas Negara. Hukum pajak
bertugas untuak menelaah keadaan masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan
pajak, merumuskannya dalam peraturan-peraturan dan menafsirkan peraturan-peraturan
hukum
dengan mempertim-bangkan latar belakang ekonomi dan keadaan yang terjadi dalam
masyarakat. Hukum pajak, dalam bahasa Inggris, disebut tax law. Dalam bahasa Belanda,
hukum pajak disebut belasting recht. Di Indonesia, selain digunakan istilah hukum pajak, juga
digunakan istilah hukum fiskal. Sebenarnya hukum pajak dengan hukum fiskal memiliki
substansi yang berbeda. Hukum pajak hanya sekadar membicarakan tentang pajak sebagai
objek kajiannya, sedangkan hukum fiskal meliputi pajak dan sebagian keuangan negara
sebagai objek kajiannya. Hukum pajak dalam arti luas adalah hukum yang berkaitan dengan
pajak. Hukum pajak dalam arti sempit adalah seperangkat kaidah hukum tertulis yang memuat
sanksi hukum. Hukum pajak sebagai bagian ilmu hukum tidak lepas dari sanksi hukum
sebagai substansi di dalamnya agar Pejabat Pajak maupun Wajib Pajak menaati kaidah hukum.
Sanksi hukum yang dapat diterapkan berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana.
Hukum pajak ialah hukum yang dapat menerangkan tentang: a) siapa-siapa wajib pajak
(subjek pajak); b) objek-objek apa yang dikenakan pajak (objek pajak); c) kewajiban Wajib
Pajak terhadap pemerintah; d) timbulnya dan hapusnya utang pajak; e) cara penagihan pajak;
dan f) cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan pajak. Perlu digarisbawahi
bahwa Undang-undang No. 28 Tahun 2007 (UU KUP) tidak menyebutkan pengertian hukum
pajak, melainkan hanya menyatakan kedudukannya sebagai “ketentuan umum” bagi peraturan
perundang-undangan perpajakan yang lain. UU KUP merupakan kaderwet yang berfungsi
sebagai payung terhadap undang-undang pajak yang sifatnya sektoral.
Pengertian hukum pajak dapat memberi petunjuk bagi penegak hukum pajak dalam
menggunakan wewenang dan kewajibannya untuk menegakkan hukum pajak. Sebaliknya,
dapat dijadikan pedoman bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban dan menggunakan
hak dalam rangka memperoleh perlindungan hukum sebagai konsekuensi dari penegakan
hukum pajak. Penegakan hukum pajak di dalam lembaga peradilan dilakukan melalui lembaga

26
peradilan pajak maupun lembaga peradilan umum. Penegakkan hukum pajak melalui lembaga
peradilan pajak tertuju pada penyelesaian sengketa pajak dan dilakukan dalam Lembaga
Keberatan, Pengadilan Pajak, dan Mahkamah Agung, atau hanya Pengadilan Pajak dan
Mahkamah Agung saja. Penegakan hukum pajak melalui lembaga peradilan umum tertuju
pada penyelesaian tindak pidana pajak dan dilakukan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi, dan Mahkamah Agung. Sedangkan penegakan hukum pajak di luar lembaga peradilan
dilakukan oleh Pejabat Pajak dengan menggunakan wewenang berupa menerbitkan surat
ketetapan pajak dan surat keputusanyang terkait dengan penagihan pajak.

B. Hukum Pajak Menurut Beberapa Ahli


Untuk memeudahkan pemahaman tentang apa itu Hukum Pajak, berikut diturunkan
rumusan tentang hukum pajak oleh pakar sebagai berikut :
1. Menurut Bohari
Hukum pajak merupakan kumpulan dari peraturan yang dimana mengatur hubungan
rakyat selaku pembayaran pajak dan pemerintah selaku pemungut dari pajak.
2. Menurut Rochmat Sumitro
Suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai
pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak.
3. Menurut Soeparman Soehamidjaja
Hukum pajak merupakan hukum yang mengatur masalah perpajakan, dimana pajak
tersebut yang akan meringankan biaya produksi barang dan jasa kolektif untuk
mencapai kesejahteraan umum.
4. Menurut Erly Suandy
Hukum pajak merupakan peraturan yang mengatur hubungan antara rakyat selaku
wajib pajak “pembayar pajak” dengan penguasa atau pemerintah selaku pihak
pemungut rakyat. Dan hukum pajak ialah bagian dari hkm publik.
5. Menurut Hartono Hadisoeprapto
Hukum pajak merupakan serangkaian peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana
pajak itu dipungut serta atas keadaan-keadaan atau peristiwa-peristiwa apa pajak itu
dikenakan dan berapa besarnya pajak yang harus dipungut.
6. Menurut Koprawi Nasution

27
Hukum Pajak adalah keseluruhan peraturan yang meliputi hsk dan wewenang
pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang atau kelompok dan menyerahkannya
kembali kepada masyarakat melalui kas negara sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan dengan peraturan yang berlaku.
7. Menurut Santoso Brotodihardjo
Keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk
mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat
dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik yang
mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-
badan yang berkewajiban membayar pajak.

C. Pembagian Hukum Pajak


Hukum pajak dapat dibedakan atas dua, yaitu Hukum Pajak Material dan Hukum
Pajak Formal. Hukum Pajak Material adalah hukum pajak yang memuat norma-norma
yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum
yang harus dikenakan pajak, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, berapa besarnya;
bagaimana timbulnya, besarnya dan hapusnya hutang pajak Atau dengan perkataan lain,
hukum pajak materil adalah hokum pajak yang mengatur tentang objek dari pajak dan
bagaimana subjeknya serta bagaimana cara pelaksanaannya atau proses pemungutannya.
Misalnya Dalam pajak pendapatan, dan di dalam pajak kekayaan. Dalam pajak pendapatan
pertama kali dicari objeknya yaitu pendapatan, orang yang dikenakan pajak, Sedangkan
dalam pajak kekayaan adalah:
1) dalam pajak kekayaan yang dikenakan adalah orangnya yang mempunyai kekayaan,
dalam pajak upah yang dikenakan adalah buruh;
2) dalam pajak upah, yang dikenakan adalah buruh-buruhnaya, sanksinya adalah jika
tidak membayar pajak dibeikan sanksi dalam bentuk denda dan atau hukuman pidana.
Hukum Pajak Formal adalah peraturan-peraturan mengenai cara untuk menjelmakan
hukum pajak material menjadi suatu kenyataan. Artinya mengatur bagaimana cara
menetapkan pajak, dan bagaimana cara menagihnya.
Perlu diketahui bahwa dalam rangka penarikan pajak harus terlebih dahulu diketahui
ciri-ciri apa yang dimiliki pajak dimaksud. Ciri-Ciri Pajak antara lain adalah : a) Dapat

28
berupa pajak langsung atau tidak langsung. B) Dapat dipungut sekaligus atau berulang-
ulang. c) Dapat dipaksakan. d) Tidak ada kontra prestasi secara langsung. e) Digunakan
untuk memasukkan uang ke kas negara. f) Dapat digunakan sebagai alat pengatur
(pendorong atau penghambat). Dan h) Dapat dikenakan atas orang atau barang.

Pertemuan Perkuliahan 8 Melaksanakan UTS Semester Ganjil


Judul Makalah untuk UTS adalah : Objek dan Subjek Pajak Dalam Perspektif Hukum
Indonesia

Pertemuan Perkuliahan 9
MODUL 9
PEMUNGUTAN PAJAK

A. Dasar Hukum Pemungutan Pajak


Dasar hukum pemungutan pajak di Negara Republik Indonesia adalah pasal 23 A
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang.. Ini berarti setiap pemungutan pajak
harus dengan ketentuan undang-undang dan oleh karenanya setiap pemungutan pajak yang
tidak ada undangundangnya dianggap tidak sah. Dasar hukum pemungutan pajak lainnya
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan/ UUKUTp” Undang-undang
No. 6/1983, diganti dengan Undang-undang no.16/2000; 2. “Undang-undang Pajak
Penghasilan/UU PPh”: Undang-undang No.7/1983, diubah dengan Undang-undang No.
17/2000;
3. Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah”/UU PPN/PPn BM ): Undang-undang No. 8/1983, diubah dengan Undang-
undang No.18/2000;
4. “Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan - UU PBB”): Undangundang No. 12/1985
diubah dengan Undang-undang No. 12/1994; 5. Undang-undang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa/UU PPSP”) Undang-undang No. 19/1997, diubah dengan Undang-undang
No.19/2000;
6. Undang-undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan/UU BPHTB”) Undang-

29
undang No. 21/1997 diubah dengan Undang-undang No. 20/2000; 7. Undang-undang
Pengadilan Pajak/UU PP”: Undang-undang No.14/2002; 8. Undang-undang Bea Meterai/UU
BM” pendek kata: Undang-undang No. 13 of 1985.

B. Azas-azas Pemungutan Pajak


Adam Smith dalam bukunya yang berjudul : An Inquiry Into Nature and Canoes of the
Sealth of Nations” mengajarkan azas pemungutan pajak yang terkenal dengan nama: “The
four Maxima” adalah sebagai berikut:
(1) azas equality, yaitu pembagian tekanan pajak diantara wajib pajak masing-masing
hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya yang dinikmatinya masing-masing;
(2) azas centainty, yaitu pajak yang harus dibayar seseorang harus terang dan ada kepastian
hukumnya;
(3) azas convencience, yaitu pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para
wajib pajak yaitu pada saat yang bersangkutan dekat dengan penerima atau penghasilan; dan
(4) azas efisiensi, yaitu pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya dan jangan
melebihi pemasukan pajaknya Menurut Adriani dalam Pasaribu (1981:17) menyatakan, pajak
semestinya adil dan merata. Adil dan merata maksudnya bahwa pemungutan pajak harus
diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga dapat diperoleh tekanan yang sama atas seluruh
rakyat.Oleh sebab itu, selain azas pemungutan pajak sebagaimana dikatakan Smith di atas
adalagi azas lain, yaitu:
a) Azas falsafah hukum, yaitu bahwa pembuat undangundang harus berpegang teguh pada
azas keadilan.
b) Azas yuridis, yaitu bahwa hukum pajak harus dapat memberi jaminan hukum yang perlu
untuk menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun warganya.Oleh sebab itu
pemungutan pakah harus diatur dengan undang-undang.
c) Azas ekonomi, yaitu bahwa pemungutan pajak jangan sampai menghambat lancarnya
produksi dan perdagangan dan juga tidak menghalangi rakyatnya menggapai kebahagiaan
melalui ekonomi.
d) Azas Pinansial, yaitu bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan fungsi budgetirnya.
Oleh sebab itu dalam memungut pajak harus diupayakan sekecil dan seringan mungkin.
Keempat azas di atas sama-sama mengacu kepada rasa keadilan bagi si pembayar pajak,

30
sehingga para wajib pajak tidak merasa dibebankan dengan adanya kewajiban membayar
pajak, melainkan justru merasa membutuhkan untuk membayar pajak. Sedangkan Sistem
hukum pajak yang berlaku di Indonesia saat ini adalah civil law system atau sistem eropa
kontinental. Didalam sistem ini hokum dibagi menjadi dua bagian, yaitu hukum privat dan
hukum publik.
Hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan antara sesama individu dalam
kedudukan yang sederajat, misalnya hukum perjanjian, hukum kewarisan, hukum keluarga,
dan hukum perkawinan. Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara
dengan warga negara atau dengan kata lain, hukum yang mengatur kepentingan umum.
Hukum publik ini berurusan dengan hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah
kenegaraan serta negara bagaimana melaksanakan tugasnya.

Pertemuan Perkuliahan 10.


MODUL 10
UTANG PAJAK
A. Pengertian Utang Pajak
Menurut pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa , pengertian utang pajak adalah pajak yang masih harus
dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum
dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan.  utang pajak adalah
suatu kewajiban pihak wajib pajak, baik itu yang berbentuk sanksi administrasi, denda,
ataupun bunga dan juga kenaikan yang tertulis di dalam surat ketetapan pajak yang
berdasarkan undang-undang perpajakan di Indonesia.
Bisa diartikan juga bahwa wajib pajak adalah individu atau badan yang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan sudah ditentukan untuk melakukan
kewajiban pajak, termasuk di dalamnya pemungut pajak atau pemotongan pajak tertentu.
Intinya utang pajak ini terjadi karena adanya peraturan. Pihak pemerintah bisa memaksa
pembayaran utang pada setiap wajib pajak. Negara dan juga rakyatnya tidak ada perikatan
sama sekali yang mendasari terkait utang tersebut. Hak dan juga kewajiban antar negara dan
juga rakyat tidaklah sama.

31
Berdasarkan pasal 1 ayat 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 yang membahas
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, utang pajak adalah pajak yang sifatnya harus
dibayar, termasuk didalamnya sanksi administrasi berbentuk denda, bunga ataupun
peningkatan yang tertulis di dalam surat ketetapan pajak ataupun surat sejenisnya dengan
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemicu Timbulnya Utang Pajak. Pada dasarnya, utang pajak bisa terjadi karena dua
faktor, yakni:
1. Kondisi Material. Artinya utang bisa muncul karena adanya peraturan perundang-
undangan. Contoh kondisi material yang bisa memicu adanya utang adalah pihak wajib
pajak memperoleh hadiah undian, mendirikan suatu bangunan, melakukan kegiatan ekspor
dan impor, sampai dengan mempunyai tanah ataupun bumi serta bangunan yang mampu
menghasilkan pendapatan.
2. Kondisi Formil. Artinya utang pajak bisa terjadi karena pihak petugas pajak sudah
mengeluarkan suatu ketetapan. Jumlah nominal utang tersebut menganut pada kebijakan
fiskal yang telah ditetapkan pada saat itu. Contoh dari kondisi formil yang mampu memicu
utang adalah kasus pelunasan pajak bumi dan bangunan atau PBB, kantor pelayanan pajak
akan menerbitkan surat ketetapan pajak yang berisi nominal pajak terutang di setiap
tahunnya.
Berdasarkan sifatnya, utang tersebut dibagi menjadi beberapa hal, yaitu:
1. Utang ini memiliki sifat paksaan, yang bisa dilakukan melalui surat paksa sampai
dengan pemberitahuan melakukan penyitaan.
2. Wajib pajak yang terutang bisa menunjuk orang lain untuk bisa melunasi utangnya.
3. Utang bisa ditagih secara bersamaan tanpa harus menunggu tanggal jatuh tempo.
4. Bisa dilakukan tindakan penyanderaan dan juga pencegahan untuk keluar dari zona
wilayah Indonesia dalam kurun waktu enam bulan atau bisa lebih lama lagi.

B. Dasar Hukum Penagihan Utang Pajak


Berdasarkan proses penagihan piutang terhadap kewajiban membayar pajak seperti
yang termuat dalam undang-undang, sudah diatur beberapa hal, yang diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Hak untuk melakukan kegiatan penagihan piutang, termasuk di dalamnya bunga,

32
denda, kenaikan dan juga biaya penagihan pajak yang dinyatakan kadaluarsa setelah
melampaui waktu 5 tahun lamanya semenjak penerbitan surat tagihan pajak, dll.
2. Kadaluarsa penagihan pajak seperti yang sudah tertuang dalam ayat 1 tertangguh jika
dikeluarkan surat pajak dan dilakukan tindakan penyidikan pidana di bidang
perpajakan.
Selanjutnya setelah diketahui beberapa hal di atas, timbul pertanyaan kapan suatu pihak bisa
dibebaskan dari jerat utang.
Pada dasarnya, terdapat beberapa kondisi yang membuat suatu pihak bisa dibebaskan
dari utang tersebut, yaitu:
a. Pembayaran Yaitu utang yang bisa dihapus karena pembayaran pajak yang dilakukan
pada kas negara.
b. Kompensasi. Yaitu keputusan yang ditujukan pada pihak wajib pajak yang mempunyai
tagihan diluar pajak yang tidak diperkenankan dari hasil bruto. Artinya suatu pihak
bisa dibebaskan dari jerat utang karena adanya kompensasi.
Contohnya adalah dividen yang diberikan oleh perusahaan asuransi pada para pemilik
polis dan biaya yang dibebankan ataupun dikeluarkan untuk keperluan pribadi para
pemilik saham. Kompensasi hanya bisa terjadi jika wajib pajak mempunyai tagihan
dalam bentuk kelebihan pembayaran pajak.
c. Kadaluarsa pajak. Yaitu suatu kondisi yang mana masa penagihan pajak sudah
melampaui waktu terutang pajak atau masa pajak atau tahun pajak tersebut. Dalam
kondisi kadaluarsa pajak ini, umumnya sudah tertulis kepastian secara hukum yang
membahas tentang kapan utang sudah tidak bisa ditagih lagi.
Kondisi ini bisa ditangguhkan jika sudah dikeluarkan surat teguran atau surat paksa
untuk melunasi utang tersebut.
d. Pembebasan. Yaitu bahwa utang pajak tidak bisa berakhir begitu saja, namun bisa
ditiadakan oleh suatu pihak. Pembebasan ini umumnya tidak diberikan pada pokok
pajaknya, namun pada sanksi administrasinya.
e. Penghapusan. Yaitu bahwa Sifat dari penghapusan ini sama dengan pembebasan,
namun diberikan pada pihak wajib pajak. Penghapusan utang atas kewajiban pajak ini
bisa disebabkan karena kondisi keuangan wajib pajak ataupun kematian.

33
C. Cara Menghapus Utang pajak
Pelunasan utang pajak pun bisa dilakukan oleh pihak lainnya yang bukan tergolong
wajib pajak. Sementara itu, kompensasi adalah suatu pemindahan kelebihan pajak khusus
untuk membayar kekurangan pada pajak lainnya.
Utang ini akan bisa terhapus karena adanya pemberian insentif pajak yang sudah
memenuhi ketentuan yang sudah ditetapkan. Contohnya seperti insentif pembebasan PPh
21 untuk para karyawan yang penghasilan gajinya di bawah Rp. 200.000.000 per tahun 
selama masa pandemi Covid19 berlangsung.
Penghapusan utang tersebut bisa terjadi jika pihak wajib pajak meninggal dan tidak
mempunyai warisan ataupun harta yang cukup untuk melakukan pelunasan utang. Selain
itu, bisa juga karena pihak wajib pajak badan sudah menyelesaikan proses pailitnya.
Berakhirnya suatu utang juga bisa dikarenakan adanya daluwarsa. Daluwarsa adalah
lampaunya proses penagihan pajak tersebut. Jangka waktu penagihan pajak umumnya
kurang dari lima tahun sejak tanggal terutang. Perlu diketahui bahwa adanya putusan
banding ataupun keberatan yang diajukan oleh pihak wajib pajak bisa dikabulkan, akan
menghapuskan utang wajib pajak miliknya. Dan contoh yang paling banyak terjadi dan
dialami oleh para wajib pajak adalah yang berkaitan dengan denda. Misalnya, denda telat
lapor SPT untuk pihak wajib pajak badan adalah sebesar Rp. 1.00.000 dan untuk wajib
pajak untuk orang pribadi atau individu adalah Rp. 10.000. Setelah dilakukan penyetoran
kas ke kantor pos atau bank terkait denda keterlambatan tersebut, maka pihak wajib pajak
baru bisa melakukan perpanjangan sertifikat elektronik.

Pertemuan Perkuliahan 11
MODUL 11
PENAGIHAN UTANG PAJAK

A. Pengertian Penagihan Pajak


Penagihan pajak adalah tindakan penagihan yang dilaksanakan oleh fiskus atau juru
sita pajak kepada penanggung pajak tanpa menunggu jatuh tempo pembayaran yang
meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak
Penagihan pajak adalah proses tindakan yang dilaksanakan terhadap penanggung pajak

34
agar membayar utang pajak serta biaya penagihan pajak.  Pengertian penagihan pajak
menurut Soemitro (1996), yaitu tindakan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak sebab
wajib pajak tidak mengikuti ketentuan Undang Undang pajak, terutama tentang
pembayaran pajak terutang.
Sementara itu menurut Rusdji (2004), penagihan pajak rangkaian tindakan yang
dilakukan agar wajib pajak membayar utang pajak serta biaya penagihan pajak dengan
peneguran ataupun peringatan, melaksanakan penagihan seketika & sekaligus
memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, menyita, menyandera, serta
menjual barang yang disita. Sementara itu, penanggung pajak adalah orang maupun badan
yang memiliki tanggung jawab atas pembayaran pajak. Lalu pejabat adalah orang yang
memiliki wewenang untuk mengangkat serta memberhentikan juru sita pajak, dan juru sita
pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang mencakup penagihan seketika &
sekaligus. 
Dasar hukum penagihan pajak telah dicantumkan dalam Undang Undang Nomor
19 Tahun 1997 mengenai Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Undang-undang ini mulai
diberlakukan sejak 23 Mei 1997. Undang-undang kemudian diamandemen dengan Undang
Undang Nomor 19 tahun 2000 yang mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2001.
Terdapat beberapa jenis penagihan, yakni penagihan pajak pasif dan aktif, ataupun
penagihan seketika.
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. Penagihan Pasif
Untuk jenis penagihan pajak pasif, DJP menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP),
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT), SK Pembetulan, SK Keberatan, serta Putusan Banding yang
mengakibatkan pajak terutang menjadi lebih besar. 
Dalam  jenis ini,, fiskus hanya menyampaikan kepada wajib pajak bahwa terdapat
pajak terutang. Apabila dalam jarak satu bulan sejak dikeluarkannya STP ataupun surat
sejenis lainnya, wajib pajak tidak membayar utang pajaknya, maka fiskus akan
menerapkan penagihan aktif.
 2. Penagihan Aktif
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, penagihan aktif adalah proses selanjutnya

35
setelah penagihan pasif tidak berhasil. Dalam penagihan aktif, fiskus dan juru sita pajak
memiliki hak dan berperan aktif untuk tindakan sita serta lelang.
 3. Penagihan Seketika & Sekaligus
Penagihan seketika & sekaligus ini adalah penagihan pajak yang dijalankan oleh
fiskus maupun juru sita pajak terhadap wajib pajak langsung tanpa menunggu tanggal
jatuh tempo pelunasan pajak. Penagihan pajak pun mencakup keseluruhan utang pajak
dari segala jenis pajak, masa pajak, serta tahun pajak. Tujuan penagihan pajak seketika &
sekaligus adalah guna mencegah terjadinya pajak terutang yang tidak dapat ditagih.
Apabila saat penagihan seketika & sekaligus wajib pajak tidak membayar, maka juru sita
pajak akan menunggu sampai tanggal jatuh tempo.
 
B. Tata Cara dan Proses Penagihan Pajak
Terdapat beberapa tindakan maupun langkah yang dijalankan oleh juru sita pajak
dalam menjalankan penagihan pajak. Berikut tata cara dan proses penagihan pajak serta 
penjelasannya. 
 1. Penagihan Pajak dengan Surat Teguran
Surat teguran atau biasa disebut juga surat peringatan adalah surat yang dikeluarkan
untuk melakukan penagihan pajak. Apabila dalam jangka waktu tujuh hari setelah tanggal
jatuh tempo penanggung pajak atau wajib pajak tidak melunasi pajak terutang, maka surat
teguran akan sampai ke tangan penanggung pajak.
Tujuan surat teguran adalah memberikan peringatan terhadap penanggung pajak agar
segera membayar utang pajak sehingga tidak perlu dilakukan penagihan secara paksa.
 2. Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Surat paksa adalah surat yang akan dikeluarkan apabila 21 hari setelah jatuh tempo
surat teguran, si penanggung jawab pajak belum melunasi utang pajaknya. Dengan
terbitnya surat paksa, wajib pajak harus membayar utang pajaknya dalam waktu 2 x 24
jam agar tidak ada tindakan pemblokiran rekening, pencegahan ke luar negeri, maupun
penyanderaan paksa badan (dengan catatan, diragukan itikad baiknya serta mempunyai
utang pajak minimal Rp100.000.000). Pengeluaran surat paksa ini dikenakan biaya
penagihan pajak sebesar Rp25.000.
 3. Penagihan Pajak dengan Surat Sita

36
Surat sita adalah surat yang dikeluarkan apabila dalam waktu 2 x 24 jam sejak
dikeluarkannya surat paksa, penanggung pajak tidak melunasi pajaknya. Terdapat biaya
penagihan pajak yang dibebankan untuk surat sita yaitu Rp75.000. Biaya yang
diperuntukkan untuk pelaksanaan sita. Penyitaan bukan semata-mata bertujuan untuk
memperdagangkan barang milik penanggung pajak, melainkan petugas memanfaatkan
barang-barang tersebut sebagai jaminan agar penanggung pajak membayar pajak
terutangnya.
Dengan demikian, penanggung pajak masih berkesempatan untuk membayar utang
pajaknya dalam waktu 14 hari sejak terhitung dari penyitaan harta penanggung pajak.
Apabila dalam 14 hari penanggung pajak belum melunasi utang pajaknya, maka akan
dikeluarkan pengumuman lelang. Penyitaan dilakukan oleh juru sita pajak yang disaksikan
oleh 2 orang yang dianggap sudah dewasa sebagai saksi, berkewarganegaraan Indonesia,
dikenal oleh juru sita pajak, serta dapat dipercaya.
 4. Penagihan Pajak dengan Lelang
Lelang akan dilaksanakan apabila dalam waktu 14 hari setelah dikeluarkannya
pengumuman lelang, penanggung pajak belum melunasi pajak terutangnya.
Penagihan pajak memiliki dasar untuk dapat disesuaikan dengan jenis pajak yang ingin
ditagih. Dasar penagihan pajak dibagi sesuai jenis pajaknya. Berikut dasar-dasar yang
perlu diketahui:
Dasar Penagihan PPh, PPN, PPnBM, serta Bunga Penagihan adalah Surat Tagihan Pajak. Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Surat
Keputusan Pembetulan. Surat Keputusan Pemberatan. Putusan Banding. Putusan Peninjauan
Kembali sehingga total pajak yang perlu dilunasi bertambah. Selanjutnya Dasar Penagihan Pajak
Bumi dan Bangunan terdiri dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang.
1. Surat Ketetapan.dan Surat Tagihan Pajak. Penagihan pajak seperti halnya obat
penyakit memiliki masa daluwarsa. Penagihan pajak disebut daluarsa apabila sudah melewati
batas waktu penagihan, yakni 5 tahun terhitung sejak diterbitkannya dasar penagihan pajak.
Jika sudah daluarsa, maka hal tersebut tidak dapat lagi dilakukan karena hak penagihan atas
utang pajak tersebut telah dianggap gugur.
Jadi, dapat tertangguh atau melampaui 5 tahun jika:
1) Diterbitkan Surat Paksa.

37
2) Terdapat pengakuan utang pajak dari wajib pajak baik langsung ataupun tidak
langsung, contohnya mengajukan permohonan pengangsuran/penundaan pelunasan.
3) Diterbitkannya SKPKB atau SKPKBT sebab wajib pajak melakukan tindak pidana
perpajakan serta tindak pidana lain yang merugikan pendapatan Negara.
4) Terdapat penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

C. Kewajiban Wajib Pajak dalam Penagihan


Setiap wajib pajak, selain dari memiliki hak juga memiliki kewajiban. Kewajiban para
wajib pajak ditentukan sebagai berikut :
1. Melakukan pelunasan utang pajak sebelum jatuh tempo.
2. Berkomitmen dalam membayar angsuran maupun penundaan pembayaran pajak.
3. Bersifat kooperatif dalam tindakan penagihan pajak.
4. Tidak melanggar UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa saat penagihan pajak yang
menyebabkan tindak pidana, misalnya memindahtangankan, menyembunyikan,
menghilangkan, maupun memindahkan hak atas barang yang disita.

Pertemuan Perkuliahan 12.


MODUL 12
KEBERADAAN DAN BANDING MENGENAI PAJAK

Adanya Banding atau Gugatan adalah berawal dari adanya sengketa pajak, yaitu perbedaan
pendapat antara wajib pajak dan fiskus. Kemudian Wajib Pajak mengajukan keberatan. Dalam
penyampaian perbedaan pendapat dan keberatan yang dimaksud harus dilakukan secara
tertulis sebagai bukti bagi upaya pembuktian selanjutnya kepada pengadilan pajak dengan
mekanisme Banding atau Gugatan atas Tagihan Pajak Terutang. Untuk menentukan Upaya
Hukum Banding atau Gugatan Perlu Kejelian dan Kecakapan seorang Tax Advisor dan Tax
Attorney. Untuk itu akan dijelaskan perbedaan Banding dan Gugatan.

A. Pengertian Banding dan Gugatan


1. Banding
Banding adalah: berdasarkan pasal 1 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia

38
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak adalah sebagai berikut: “Banding
adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, Berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku”.
a. Persyaratan Banding
Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan
Pajak. Banding diajukan dalam jangka waktu 3(tiga) bulan sejak tanggal diterima
keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan. Terhadap 1(satu) keputusan diajukan 1(satu) Surat Banding
Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas dan dicantumkan tanggal
diterima surat keputusan yang dibanding dan Pada Surat Banding dilampirkan Salinan
keputusan yang dibanding. Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang
dimaksud telah dibayar sebesar 50%
Yang dimaksud utang pajak aquo adalah sejumlah yang disetujui pada saat closing
conference

b. Proses Persidangan Banding


Setelah Permohonan Banding diterima, Pengadilan Pajak meminta Surat Uraian
Banding (SUB) dalam jangka waktu 14 hari kepada Fiskus (Terbanding).Salinan SUB
dikirim PP kepada Pemohon Banding dalam jangka waktu 14 hari. Terbanding
menyerahkan SUB kepada PP dalam waktu 3 bulan sejak tanggal kirim permintaan.
Salinan Bantahan dikirim PP kepada Pemohon Banding dalam waktu 14 hari sejak
diterima surat Bantahan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
Pada Surat Banding dilampirkan Salinan keputusan yang dibanding.
2. Gugatan
Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak definisi Gugatan adalah sebagai berikut “ Gugatan adalah upaya
hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap
pelaksanaan Penagihan Pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku”
a. Persyaratan Gugatan

39
Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak
Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak
adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.
Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan selain Gugatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 adalah 30(tiga puluh) hari sejak tanggal diterima
keputusan yang digugat. Terhadap 1(satu) pelaksanaan penagihan atau 1(satu)
keputusan diajukan 1(satu) Surat Gugatan
b. Proses Persidangan Gugatan
Setelah Gugatan diterima, Pengadilan Pajak meminta Surat Tanggapan dalam jangka
waktu 14 hari kepada Fiskus(Tergugat) .
Salinan Surat Tanggapan dikirim PP kepada Penggugat dalam jangka waktu 14 hari.
Tergugat menyerahkan Surat Tanggapan kepada PP dalam waktu 1 bulan sejak
tanggal kirim permintaan.
Penggugat menyerahkan Surat Bantahan atas Tanggapan Tergugat dalam jangka
waktu 30 hari, sejak tanggal diterima.
Salinan Bantahan dikirim PP kepada Penggugat dalam waktu 14 hari sejak diterima
surat Bantahan 
Untuk mengetahui lebih jelasnya perbedaan banding dengan gugatan dapat dilihat
tabel berikut :

Tabel 1.1
Perbedaan Banding dan Gugatan

No Banding Gugatan
1 Dasar hukum Pasal 27 UU KUP; Dasar Hukum Pasal 23 UU KUP;

2 Yang disengketakan adalah Surat Yang disengketakan prosedur


Keputusan Keberatan; pelaksanaan dan penerbitan surat-surat
keputusan

3 Surat balasan dari permohonan banding Surat balasan dari pengajuan Gugatan
adalah Surat Uraian Banding adalah Surat Tanggapan

4 Jangka waktu menyelesaikan Surat Jangka waktu menyelesaikan Surat


Uraian Banding adalah 3(tiga) bulan; Tanggapan adalah 1(satu) bulan;

40
5 Ada sanksi administrasi berupa denda Tidak ada sanksi;
sebesar 100% dari jumlah pajak
berdasarkan putusan banding apapun
keputusannya

6 Putusan jangka waktu 12 bulan Putusan jangka waktu 6 bulan

Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam


memeriksa dan memutus sengketa pajak, oleh karena itu upaya hukum yang dilakukan
terhadap putusan banding maupun putusan gugatan pengadilan pajak adalah Peninjauan
Kembali ke Mahkamah Agung. Upaya Penyelesaian Sengketa Pajak melalui Pengadilan Pajak
dengan Banding harus dilakukan setelah ada Surat Keputusan Keberatan, sedangkan gugatan
dapat dilakukan ke Pengadilan Pajak mengenai proses pelaksanaan penagihan atau terhadap
gugatan berdasarkan perundang-undangan perpajakan yang berlaku

Pertemuan Perkuliahan 13
MODUL 13.
PENERAPAN SANKSI DAN PERLAWANAN
TERHADAP PAJAK

A. Pengertian Penerapan Sanksi


1. Arti Penerapan
Penerapan atau Implementasi dalam kamus besar bahasa indonesia diartikan
dengan penerapan atau pelaksanaan, penerapan merupakan kemampuanan menggunakan
materi yang telah dipelajari kedalam situasi kongkret atau nyata.
Majone dan wildavski (1979) mengemukakan implementasi sebagai penilaian, Browne
dan Wildavski (1983) juga mengemukakan bahwa Implementasi adalah perluasan
aktifitas yang saling menyesuaikan. Pengertian ini memperlihatkan bahwa kata
implementasi bermuara pada aktifitas, adanya aksi, tindakan atau mekanisme suatu
sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa implementasi bukan sekedar
aktivitas, tetapi juga kegiatan dan terencana dan dilakukan secara sungguhsungguh

41
berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan (dalam Afrinal, 2009:
3).
Menurut Setiawan (2004) penerapan (implementasi) adalah perluasan aktivitas yang
saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta
memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif
Pengertian penerapan adalah perbuatan menerapkan. Sedangkan menurut beberapa ahli
berpendapat bahwa, penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekkan suatu teori,
metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang
diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun
sebelumnya.
2. Arti Sanksi
Sanksi adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh
seseorang sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan dan kesalahan. sanksi adalah
tindakan tindakan hukuman untuk memaksa seseorang menaati aturan atau menaati
undang-undang. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan sanksi sebagai tanggungan
(tindakan, hukuman, dan sebagainya) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau
menaati ketentuan 1022 undang-undang (anggaran dasar, perkumpulan dan sebagainya): 
tindakan (mengenai perekonomian dan sebagainya) sebagai hukuman kepada suatu
negara: 
a. imbalan negatif, berupa pembebanan atau penderitaan yang ditentukan dalam hukum; 
b. imbalan positif, yang berupa hadiah atau anugerah yang ditentukan dalam hukum;
Menurut  J.C. T Simongkir, Rudy T. Erwin dan AJ. T. Prasetyo
Sanksi yang berasal dari bahasa Belanda Sanctie, yang berarti ancaman hukuman, adalah alat
pemaksa untuk mematuhi aturan, undang undang, misalnya sanksi terhadap
pelanggaran undang undang.
Sanksi terdiri dari bermacam-macam bentuk yaitu :
1. Sanksi pidana, yaitu Menjatuhkan pada seseorang yang telah melanggar
ketentuan hukum pidana. Hukuman yang dikenakan oleh hukum pidana menyebabkan
perampasan kebebasan (penahanan), properti (penyitaan), martabat bahkan jiwa
seseorang (hukuman mati). Oleh karena itu penerapan hukum pidana harus didasarkan
pada hukum prosedural pidana yang jelas. Ini adalah tentang memberi seseorang hak

42
untuk membela diri dan menerapkan prinsip legalitas.
2. Sanksi perdata, yaitu sanksi yang dipaksakan pada seseorang yang telah melanggar
ketentuan hukum yang telah dibuatnya dalam sebuah perikatan. Sanksi
perdata dikenakan dalam bentuk ganti rugi dan denda.
3. Sanksi administrasi, yaitu bisa menjadi penolakan pemberian izin, setelah dikeluarkan
pemberian izin sementara, mencabut izin yang diberikan. Penerapan sanksi
administratif biasanya berkaitan dengan kegiatan usaha yang dianggap
sebagai pelanggaran.

B. Perlawanan Terhadap Pajak


Perlawanan terhadap pajak  atau disebut juga Penghindaran pajak adalah hambatan-
hambatan yang terjadi dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan berkurangnya
penerimaan kas negara. Ada 3 cara perlawanan aktif terhadap pajak
1. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
Penghindaran pajak terjadi sebelum SKP keluar. Dalam penghindaran pajak ini, wajib
pajak tidak secara jelas melanggar undang-undang sekalipun kadang-kadang dengan
jelas menafsirkan undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat
undang-undang. Penghindaran pajak dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
a. Menahan Diri, Wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak.
Contoh: Tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau, Tidak menggunakan
ikat pinggang dari kulit ular atau buaya agar terhindar dari pajak atas pemakaian
barang tersebur. Sebagai gantinya, menggunakan ikat pinggang dari plastik.
b. Pindah Lokasi, Wajib pajak memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang
tarif pajaknya tinggi ke loksi yang tarif pajaknya rendah. Contoh: Di Indonesia,
diberikan keringanan bagi investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia
Timur. Mereka harus memikirkan tentang transportasi, akomodasi, SDM, SDA, serta
fasilitas-fasilitar yang menunjang usaha mereka.
c. Penghindaran Pajak Secara Yuridis, Wajib pajak memanfaatkan kekosongan atau
ketidak jelasan undang-undang. Hal inilah yang memberikan dasar potensial
penghindaran pajak secara yuridis.
2. Pengelakan Pajak (Tax Evasion)

43
Pengelakan pajak terjadi sebelum SKP dikeluarkan. Hal ini merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari pajak/mengurangi dasar
penetapan pajak dengan cara menyembunyikan sebagian dari penghasilannya.
Wajib pajak di setiap negara terdiri dari:
a. Wajib pajak besar (berasal dari multinational corporation yang terdiri dari perusahaan-
perusahaan penting nasional).
b. Wajib pajak kecil (berasal dari profesional bebas yang terdiri dari dokter yang
membuka praktek sendiri, pengacara yang bekerja sendiri, dll).
c. Wajib pajak penghindar, melakukan penghindaran atau pengelakan pajak (dengan
asumsi negara yang mempunyai sistem penegakan hukum yang bagus dan orang-orang
yang tidak mudah disuap).
3. Melalaikan Pajak
Melalaikan pajak adalah menolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan menolak
memenuhi formalitas-formalitas yang harus dipenuhi oleh wajib pajak dengan cara
menghalangi penyitaan. Biasanya si wajib pajak melalaikan pajak terjadi setelah SKP keluar.
Untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah membuat aturan-aturan sebagai berikut :
a. Jika wajib pajak telah menerima SKP, maka dia harus membayar pajak sesuai dengan
SKP tersebut.
b. Jika wajib pajak tidak melakukannya, maka fiscus akan mengirim surat teguran.
c. Jika belum dibayar juga, maka diterbitkanlah surat paksa yang kekuatannya sama
dengan putusan pengadilan yang berlaku.
d. Setelah 2 x 24 jam wajib pajak belum membayar juga, maka diterbitkan surat
penyitaan yaitu surat perintah untuk melakukan penyitaan pada harta wajib pajak itu.
Menurut Alexandria (2014) penghindaran pajak yang dilakukan dengan memanfaatkan
celah-celah undang-undang perpajakan yang belum mengaturnya biasanya dilakukan dengan
menggunakan instrumen keuangan. Peraturan undang-undang perpajakan belum mengatur
mengenai instrumen keuangan sehingga perusahaan dapat mengintrepertasikan pengakuan
laba/rugi maupun hutang modal sesuai pertimbangan manajemen. Selanjutnya dikatakan
bahwa transaksi yang digunakan dalam memanfaatkan celah-celah undang-undang perpajakan
menggunakan instrumen keuangan yaitu:
1. Transaksi derivatif di luar bursa Celah penghindaran pajak dapat dilakukan dengan

44
mengakui rugi derivatif untuk spekulasi saat belum terealisasi dan hanya mengakui laba
saat terealisasi dengan dalil asas konservatif dalam akuntansi.
2. Transaksi saham di luar bursa Celah penghindaran pajak dapat dilakukan dengan
mengakui saham sebagai saham available to sale.
3. Pendanaan menggunakan Hybrid Instrument adalah investasi keuangan yang
bentuknya dapat dikategorikan baik sebagai modal (ekuitas) ataupun hutang. Celah
penghindaran pajak dapat dilakukan dengan menyuntikkan dana bagi anak perusahaan
dengan convertable bond dimana beban bunga dapat dibiayakan sampai akhir periode
jatuh tempo. Cara lain dengan membiayakan balas jasa bagi hasil dana syirkah
sebagaimana pembebanan bunga.
4. Pendanaan melalui back to back loan Pendanaan melalui back to back loan dilakukan
dengan menjaminkan hutang anak perusahaan pada pihak ketiga untuk menghindari
ketentuan DER (debt equity ratio) bagi hubungan istimewa seperti yang diatur UU PPh
pasal 18 ayat 1. Pada hakikatnya transaksi itu dapat dilakukan langsung memberi hutang
kepada anak perusahaannya tanpa pihak ketiga. Dengan terhindarnya ketentuan DER, anak
perusahaan dapat membiayakan bunga secara penuh yang akhirnya menurunkan laba kena
pajak

Pertemuan Perkuliahan 14.


MODUL 14
PENYELESAIAN PAJAK BERGANDA
A. Pengertian Pajak Berganda.
Pajak berganda adalah pengenaan pajak lebih dari satu kali oleh dua negara atau lebih
atas suatu penghasilan yang sama. Ketentuan ini berlaku bagi wajib pajak yang memiliki
bisnis atau penghasilan di luar negeri. Biasanya surat itu harus diserahkan kepada
kantor pajak di luar negeri sebagai tanda domisili wajib pajak. Dalam dunia perpajakan ada
istilah P3B yang merupakan singkatan dari Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang
oleh kalangan perpajakan sering disebut dengan Istilah  tax treaty.
P3B adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua negara yang
mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh

45
penduduk salah satu negara atau penduduk kedua negara dalam persetujuan itu .  Tujuan
P3B ini pada prinsipnya ditujukan untuk menentukan alokasi hak pemajakan yang timbul
dari suatu transaksi yang terjadi antara negara sumber (negara tempat sumber penghasilan
berasal) dan negara domisili (negara tempat wajib pajak tinggal atau menetap) (Martin
Hearson, 2016).
Ada lima tujuan perjanjian penghindaran pajak berganda, yaitu :
1. Tidak terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha
Adanya perjanjian penghindaran pajak berganda ini menjadikan pengenaan pajak
atas laba usaha tidak dapat dikenakan di kedua tempat, yaitu negara sumber atau negara
domisili. Jadi, laba usaha dikenakan pajak di tempat mereka berkedudukan. Harapannya,
dunia usaha bisa mendapatkan kepastian hukum karena membayar pajak hanya
dikenakan pada satu kali, yaitu di negara domisili.
2. Peningkatan investasi modal dari luar negeri
Perjanjian penghindaran pajak berganda diharapkan dapat menarik negara luar
untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sebab jika investasi berupa bunga, dividen
atau royalti dikenakan pajak yang tinggi, hal ini akan menimbulkan keraguan pada
negara luar. Tentunya, ini dapat memperlambat pertumbuhan investasi modal di
Indonesia dari luar negeri.
3. Peningkatan sumber daya manusia
Pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di negara tempat
menempuh pendidikan maupun pelatihan akan meningkatkan kemampuan mereka,
menjadikannya sebagai sumber daya manusia yang lebih kompeten. 
4. Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak
Pertukaran informasi di sini adalah kedua negara yang terlibat dalam perjanjian
penghindaran pajak berganda dapat mengetahui jika ada penduduk yang tidak
memenuhi kewajiban perpajakan sehingga dapat dideteksi sedini mungkin. Negara yang
terkait dengan P3B dapat melaporkan penghasilan penduduk asing di negara sumber,
misalnya dengan mengirimkan bukti penerimaan penghasilan dari negara sumber.
Informasi penghasilan tersebut seharusnya dilaporkan oleh penerima penghasilan di
negara domisili, dan diperhitungkan kembali di akhir tahun pajak.
5. Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara

46
P3B mengatur adanya pemajakan yang sama dan setara antar kedua negara dengan
prinsip saling menguntungkan serta tidak memberatkan penduduk asing antar kedua
negara dalam menjalankan usaha.

B. Penerapan Pajak Berganda (P3B)


P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda) atau yang biasa disebut sebagai
Tax Treaty merupakan perjanjian pajak antara dua negara yang mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh/diterima
oleh penduduk dari salah satu atau kedua pihak negara dengan tujuan untuk
meminimalisir terjadinya pengenaan pajak berganda dan untuk menarik investasi
modal asing ke dalam negeri. P3B digunakan untuk menentukan alokasi dari hak
pemajakan suatu transaksi yang terjadi diantara negara sumber dan negara domisili.
Dimana negara sumber adalah negara dengan tempat sumber penghasilan berasal dan
negara domisili adalah negara dengan tempat wajib pajak tinggal ataupun menetap.  
Adapun tujuan-tujuan yang dimiliki P3B seperti mencegah pengelakan pajak,
memberikan kepastian hukum, sebagai alat pertukaran informasi, penyelesaian
sengketa dalam P3B, non diskriminasi, dan sebagai bantuan dalam penagihan pajak.
Selanjutnya, dalam menerapkan perjanjian penghindaran pajak berganda ini, maka tahapan
prosedur yang perlu dilalui, antara lain adalah :
1. Mencari tahu jika subjek pajak, objek pajak, negara, dan ketentuan pemberlakukan
P3B yang dibahas termasuk dalam cakupan atau ruang lingkup dari perjanjian
penghindaran pajak yang bersangkutan.
2. Memastikan definisi penghasilan yang dibahas untuk memastikan penghasilan tersebut
akan masuk dalam ketentuan atau pasal substantif yang tepat.
3. Menentukan pasal substantif yang berlaku. Tahap ini penting karena akan menentukan
negara yang akan menerima hak pemajakan.
4. Menghilangkan dampak pajak berganda jika seandainya dalam pasal-pasal substantif
dalam perjanjian itu, masing-masing negara diberikan hak pemajakan dengan cara
mewajibkan negara domisili untuk memberikan keringanan pajak melalui metode
pembebasan (exemption method) atau metode kredit (credit method) yang diatur dalam
ketentuan domestiknya.

47
5. Jika masih terdapat perbedaan atau belum terbentuknya kesepakatan antar negara,
tahap terakhir dalam penerapan ini adalah menyelesaikan masalah pajak berganda
melalui prosedur persetujuan bersama atau mutual agreement procedure (MAP).
Sedangkan Syarat Memanfaatkan P3B ditentukan dalam PER-10/PJ/2017 tentang Tata
Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, pemungut/pemotong pajak dapat
memungut/memotong pajak sesuai dengan ketentuan dalam P3B dengan syarat sebagai
berikut:
1. Terdapat perbedaan antara ketentuan yang diatur dalam UU PPh dan ketentuan dalam
perjanjian penghindaran pajak berganda. 
Pada umumnya, tarif P3B dibuat lebih kecil daripada tarif aturan domestik. Untuk
memanfaatkan tarif ini, subjek pajak luar negeri (SPLN) harus menunjukkan Surat
Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Residence.
2. Penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia. 
Apabila penerima penghasilan merupakan subjek pajak dalam negeri, akan dikenakan
pemotongan PPh Pasal 21, Pasal 23, atau Pasal 4 ayat 2. Sedangkan menurut undang-
undang yang berlaku, pemotongan PPh untuk subjek pajak luar negeri adalah PPh
26 sebesar 20%. Namun, pemberi penghasilan di Indonesia boleh tidak menggunakan pasal
tersebut, tetapi menggunakan perjanjian penghindaran pajak berganda ini.
Penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek
pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B. Artinya, hanya negara yang
memiliki perjanjian dapat memanfaatkan tarif khusus ini. Negara lain di luar perjanjian
penghindaran pajak dengan Indonesia tidak dapat memanfaatkannya.
3. Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) menyampaikan SKD WPLN yang telah memenuhi
persyaratan administratif dan persyaratan tertentu lainnya.
Untuk memanfaatkan tarif P3B ini, SPLN perlu memperlihatkan SKD yang telah
memenuhi persyaratan lainnya, seperti menggunakan Form DGT. Ini adalah formulir yang
diisi oleh SPLN yang telah menyelesaikan double taxation convention (DTC) dengan
Indonesia. Formulir ini wajib dilengkapi dengan benar dan ditandatangani, serta
disertifikasi oleh pihak berwenang yang sah atau kantor pajak resmi di negara penerimaan
penghasilan sebelum diserahkan ke kustodian Indonesia. Selengkapnya tentang Form DGT
dapat Anda baca di artikel berikut, “Form DGT 1: Fungsi, Ketetapan Pengisian, dan Dasar

48
Hukumnya“.
Form DGT digunakan sesuai periode yang tercantum pada SKD dan disampaikan
bersamaan dengan penyampaian SPT Masa. 
4. Tidak terjadi penyalahgunaan P3B
Untuk menghindari pemanfaatan P3B tidak disalahgunakan oleh WPLN, diadakan
pembatasan antara lain :
a. Substansi ekonomi dalam pendirian entitas atau pelaksanaan transaksi.
b. Bentuk hukum yang sama dengan substansi ekonomi dalam pendirian entitas atau
pelaksanaan transaksi.
c. Kegiatan usaha yang dikelola oleh manajemen sendiri dan manajemen tersebur
mempunyai kewenangan yang cukup untuk melakukan transaksi.
d. Aset tetap dan aset tidak tetap yang cukup serta memadai untuk melaksanakan kegiatan
usaha di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B selain aset yang mendatangkan
penghasilan dari Indonesia.
e. Pegawai dalam jumlah yang cukup dan memadai dengan keahlian serta keterampilan
tertentu yang sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan perusahaan.
f. Kegiatan atau usaha aktif selain hanya menerima penghasilan berupa dividen, bunga,
dan/atau royalti yang bersumber dari Indonesia. 
5. Penerima penghasilan merupakan beneficial owner dalam hal dipersyaratkan dalam P3B
Masih menurut peraturan yang sama, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar
WPLN dianggap sebagai beneficial owner. Bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak
sebagai Agen atau Nominee. Sedangkan Bagi WPLN badan, tidak bertindak sebagai
Agen, Nominee, atau Conduit. Persyaratan WPLN badan ini agar dianggap sebagai
beneficial owner adalah:
a. Mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang
mendatangkan penghasilan dari Indonesia
b. Penghasilan badan yang digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain tidak
lebih dari 50%. Penghasilan badan yang dimaksud di sini adalah seluruh penghasilan
WPLN dengan nama dan dalam bentuk apapun serta dari sumber manapun, sesuai
dengan laporan keuangan non-konsolidasi WPLN.
c. Menanggung risiko atas aset, modal, atau kewajiban yang dimiliki dan tidak

49
mempunyai kewajiban (tertulis maupun tidak tertulis) untuk meneruskan sebagian atau
seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain.

Pertemuan Perkuliahan 15.


MODUL 15
PEMERIKSAAN DAN PENYIDIKAN PAJAK

A. Pengertian Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak


Pemeriksaan dilakukan guna menguji kepatuhan Wajib Pajak dan tujuan lain.
Sedangkan penyidikan pajak dilakukan guna menemukan bukti sekaligus tersangka yang
melakukan tindak pidana dalam perpajakan. Dengan tujuan yang berbeda, sehingga
keduanya memiliki prosedur yang sangat berbeda.
1. Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan,
dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu
standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
Untuk menjamin Wajib Pajak melakukan kewajiban perpajakan secara benar dan jujur,
petugas pajak akan melakukan dua jenis pemeriksaan pajak.
1). Pemeriksaan Lapangan
Pemeriksaan lapangan dilakukan di tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat bekerja
WP, serta tempat lain yang dianggap perlu. Dalam pelaksanaannya, Wajib Pajak diwajibkan
untuk:
a. Memperlihatkan buku atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan dokumen lain
yang berhubungan dengan penghasilan, kegiatan usaha, pekerjaan bebas WP, atau objek
yang terutang pajak. Memberi kesempatan untuk mengakses data yang dikelola secara
elektronik.
b. Memberi kesempatan memasuki dan memeriksa ruangan, barang bergerak atau tidak
bergerak yang diduga digunakan untuk menyimpan buku atau dokumen yang menjadi
dasar pembukuan, dokumen lain, uang atau barang yang memberi petunjuk penghasilan

50
yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas WP atau objek yang terutang pajak.
c. Memberi bantuan untuk kelancaran pemeriksaan, berupa:Menyediakan tenaga dan atau
peralatan atas biaya WP jika dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik
memerlukan peralatan dan atau keahlian khusus.
d. Memberikan kesempatan Pemeriksa Pajak membuka barang bergerak dan atau tidak
bergerak.
e. Menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan untuk
memeriksa buku, catatan, dan dokumen yang tidak memungkinkan dibawa ke Kantor
Direktorat Jenderal Pajak.
f. Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan.
g. Memberikan keterangan lisan atau tertulis yang diperlukan.
2) Pemeriksaan Kantor
Pemeriksaan Kantor dilakukan di Kantor Direktorat Jenderal Pajak atau Kantor
Pelayanan Pajak dengan ketentuan bahwa pada saat pelaksanaan pemeriksaan kantor,
Wajib Pajak diwajibkan untuk:
a. Memenuhi panggilan menghadiri pemeriksaan sesuai waktu yang ditentukan.
b. Memperlihatkan buku atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan dokumen
lain termasuk data yang dikelola secara elektronik, yang berhubungan dengan
penghasilan, kegiatan usaha, pekerjaan bebas WP, atau objek yang terutang pajak.
Memberi bantuan untuk kelancaran pemeriksaan.
c. Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan.
Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat Akuntan Publik.
d. Memberikan keterangan lisan atau tertulis yang diperlukan.
Sedangkan Hak Wajib Pajak Selama Pemeriksaan Pajak antara lain adalah sebagaia
berikut
1) Meminta Pemeriksa Pajak memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan
Surat Perintah Pemeriksaan.
2) Meminta Pemeriksa Pajak memberikan pemberitahuan tertulis pelaksanaan
Pemeriksaan Lapangan.
3) Meminta Pemeriksa Pajak memberikan penjelasan alasan dan tujuan Pemeriksaan.
4) Meminta Pemeriksa Pajak memperlihatkan Surat Tugas jika susunan Tim

51
Pemeriksa Pajak mengalami perubahan.
5) Menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan.
6) Menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam waktu yang ditentukan.
7) Mengajukan permohonan untuk dilakukannya pembahasan oleh Tim Pembahas jika
ada perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak dalam
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
8) Memberikan pendapat pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melalui
formulir Kuesioner Pemeriksa.
9) Mengajukan pengaduan jika kerahasiaan dibocorkan kepada pihak lain yang tidak
berhak.

2. Penyidikan Pajak
Penyidikan merupakan proses kelanjutan dari hasil pemeriksaan yang
mengindikasikan bukti permulaan. Secara sederhana, bukti permulaan merupakan keadaan,
bukti, atau benda yang memberi petunjuk adanya suatu tindak pidana perpajakan. 
Pasal 1 angka 31 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), penyidikan
pajak atau lebih tepatnya penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah
serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan
bukti.
Pengumpulan bukti itu ditujukan untuk membuat suatu tindak pidana perpajakan menjadi
terang atau jelas serta dapat ditemukan tersangkanya. Penyidikan tindak pidana perpajakan
ini dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Pidana.
Tujuan utama dari dilakukannya proses penyidikan adalah untuk menemukan bukti
sekaligus tersangka yang melakukan tindak pidana dalam perpajakan.
berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU KUP, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya
dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkungan DJP yang
diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.
Tugas utama dari penyidik adalah untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dapat
membuat suatu tindak pidana perpajakan menjadi jelas dan pada akhirnya dapat ditemukan
tersangkanya.
Pasal 44 ayat (2) UU KUP, dalam melaksanakan tugasnya penyidik memiliki 11 wewenang. 

52
Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan
tindak pidana perpajakan
1. Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi/badan
tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan terkait dengan tindak pidana perpajakan. 
2. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi/badan terkait dengan tindak
pidana perpajakan.
3. Memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana
perpajakan. 
4. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan,
dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut.
5. Meminta bantuan tenaga ahli dalam pelaksanaan tugas penyidikan. 
6. Menyuruh berhenti/melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat
pemeriksaan sedang berlangsung
7. Memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa.
8. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan. 
9. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi. 
10. Menghentikan penyidikan. 
11. Melakukan tindakan lain untuk kelancaran penyidikan.
Di sisi lain, penyidik harus memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan
hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur UU Hukum Acara Pidana. Apabila diperlukan,
penyidik juga dapat meminta bantuan dari aparat penegak hukum lainnya demi kelancaran
proses penyidikan. Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik pajak juga harus tunduk pada
norma penyidikan dan memperhatikan asas hukum yang ada.
Berdasarkan pasal 44A UU KUP , penyidikan akan dihentikan apabila tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa yang disidik bukan merupakan tindak pidana perpajakan.
Penyidikan juga dapat dihentikan apabila peristiwa tersebut telah daluwarsa atau tersangkanya
telah meninggal dunia. Yang dapat melakukan penghentian penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan paling lama 6 bulan sejak tanggal surat permintaan penghentian penyidikan
adalah Menteri Keuangan, dan Jaksa Agung.

53
Surat permintaan penghentian penyidikan disusun oleh Menteri Keuangan jika
menyetujui permohonan penghentian penyidikan yang diajukan wajib pajak. Namun, Jaksa
Agung hanya bisa menghentikan penyidikan sepanjang perkara pidana itu belum dilimpahkan
ke pengadilan. Selain itu, penghentian penyidikan hanya dilakukan setelah wajib pajak
melunasi utang pajak yang tidak/kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
Wajib pajak juga diharuskan membayar sanksi administrasi berupa denda yang besarnya 4 kali
lipat dari jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan. 

Pertemuan Perkuliahan 16 Ujian Akhir (UAS) Semester


Judul Makalah untuk UAS adalah : Utang, Penagihan Utang dan Penyidikan Pajak

DAFTAR PUSTAKA.

Abdul Kadir, Mansur. 1986. Perbandingan Agama Jilid I. Semarang:Almunawar.

Alesyanti. 2008. Pemahaman Awal Tentang Anthropologi Hukum Medan:USU Press

Azhary. 1985. Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Bustamam. 1978. UndangUndang Perkawinan. Jakarta: Aida.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1992. Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus.
Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.

Danosaputro, Sudradjat. 1981. Wawasan Nusantara Dalam Pendidikan dan Kebudayaan.


Bandung: Alumni.

Kusnardi, Mohd. 1983. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia Jakarta: Pusat Studi Hukum
Tatanegara.

Negoro, Adi. 1978. Kamus Pengetahuan Umum. Jakarta: Bulan Bintang.

Projodikoro, Wiryono. 1966. AsasAsas Hukum Perdata Bandung:Sumur.

Rasyidi, HM. 1992. Empat Kuliah Agama Islam Pada Perguruan Tinggi. Jakarta: Bulan
Bintang.

54
Stoddard, L. 1966. Dunia Baru Islam (The New World of Islam). Jakarta: Dunia Baru Islam.

Suroso, R. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Selayan, Abdul Wahid Dan Ridwan, Ahmad Fauzi. 1980. Pengertian Umum Bab Pertama
Tata Hukum Indonesia. Medan: Bintang.

Subekti, R. dan Citrosudibio, R. 1998. Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Jakarta:


Pradnya Paramitha.

Nasution, Koprawi 2020 Capita Selecta Tata Hukum Indonesia Bandung : Manggu
Makmur Tanjung Lestari

Susanto, R. 1980. Hukum Pertanahan (Agraria). Jakarta: Pradnya Paramita.

Suriasumantri, Jujun. S. 1999. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.

Utrecht. 1962. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II Bandung: Penerbitan Universitas.

Wijaya, A.W. 1991. Pedoman Pokok-Pokok dan materi Perkuliahan Pancasila Pada
Perguruan Tinggi. Jakarta: Akademika Presindo.

INTERNET

http://www.pengertianpakar.com/2014/11/pengertianhukumpajakmenurutpara.html

http://www.berandahukum.com/p/hukumpajakrochmatsoemitroadalah.htm

55

Anda mungkin juga menyukai