I. PENDAHULUAN
A. Pengantar
..
B. Tujuan Intruksional Umum
Mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara adalah mahasiswa
kedinasan di bawah naungan Departemen Keuangan yang nantinya lulusannya
akan ditempatkan di Departemen Keuangan maupun instansi pemerintah lainnya.
Ketika menimba ilmu di STAN, mahasiswa diharapkan dapat fokus dalam
menekuni pendidikannya karena pada masa yang akan datang mahasiswa akan
ikut berperan sebagai bagian dari pejabat pengambil keputusan dan pembuat
kebijakan di Departemen Keuangan. Oleh karena itu para mahasiswa sudah
seharusnya:
a. Memahami masalah pengantar perpajakan sebagai dasar untuk
mempelajari mata kuliah perpajakan lebih jauh;
b. Memahami ketentuan-ketentuan yang dijadikan dasar pemungutan pajak;
c. Memahami alasan-alasan mengapa harus ada pemungutan pajak dalam
kehidupan bernegara;
d. Mengetahui peran dan fungsi pajak dalam pembangunan; dan tentunya
e. Mengetahui sejarah pengenaan pajak di Indonesia.
A. Terbentuknya Negara
B. Sejarah Perpajakan
Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma)
namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus
dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa. Saat itu,
rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa
padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain.
Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk keperluan atau
kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang
dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan
sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang
lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.
Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi
hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan
rakyat itu sendiri. Artinya pemberian kepada rakyat atau penguasa digunakan untuk
kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan,
pembangun saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan umum
lainnya.
Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian) yang
semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian
dibuat suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada,
namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur keadilan inilah
maka rakyat diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak,
yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.
Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan
cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu
sebagai berikut:
a. Ordonansi Pajak Rumah Tangga;
b. Aturan Bea Meterai;
c. Ordonansi Bea Balik Nama;
d. Ordonansi Pajak Kekayaan;
e. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor;
f. Ordonansi Pajak Upah;
g. Ordonansi Pajak Potong;
h. Ordonansi Pajak Pendapatan;
i. Undang-undang Pajak Radio;
j. Undang-undang Pajak Pembangunan I;
k. Undang-undang Pajak Peredaran.
Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara lain:
a. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;
b. UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan Undang-
undang No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti;
c. UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;
d. UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
e. UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs
atau Tata Cara MPS-MPO.
Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan
masyrakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa
undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa
keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983,
Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan
reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-
undang yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan
yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan
duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih
diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah
menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah:
a. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP);
b. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
c. UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM;
d. UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih menggunakan official
assessment);
e. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).
Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian
mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu
dengan undang-undang, yaitu:
a. UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;
b. UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994;
c. UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;
d. UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;
1. Pengertian Pajak
Negara dalam menyelenggarakan pemerintahan mempunyai kewajiban
untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan,
keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan kehidupannya. Hal ini sesuai
dengan tujuan Negara yang dicantumkan di dalam Pembukaan UUD 1945 pada
alinea keempat yang berbunyi melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan keadilan sosial. Negara memerlukan dana untuk mewujudkan
tujuan tersebut, sehingga diperlukan dana yang tentunya didapat dari rakyat itu
sendiri melalui pemungutan pajak.
Kemudian dalam Pasal 23A UUD 1945 hasil amandemen disebutkan
bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara
diatur dengan undang-undang. Dengan kata lain, pajak harus berlandaskan
undang-undang, berarti pemungutan pajak tersebut telah mendapat persetujuan
dari rakyat melalui perwakilannya di DPR yang biasa disebut berdasarkan
yuridis. Asas ini telah memberikan jaminan hukum yang tegas akan hak
Negara dalam memungut pajak.
Dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1, disebutkan bahwa
pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Definisi mengenai pajak ini
baru diatur dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007. Dalam UU KUP sebelumnya,
tidak pernah diterangkan secara lugas mengenai pengertian pajak sebagai
kontribusi wajib kepada Negara.
Ada lima unsur yang melekat dalam pengertian pajak tersebut, yaitu:
a. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang;
b. Sifatnya dapat dipaksakan;
c. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh
pembayar pajak;
d. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat
maupun daerah;
e. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah
bagi kepentingan masyrakat umum.
Sifat pemungutan pajak yang dapat dipaksakan dapat dijelaskan dimana
uang yang dikumpulkan dari pajak akan dikembalikan kepada rakyat dalam
bentuk pembangunan serta pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Supaya
ada kepastian dalam proses pengumpulannya dan berjalannya pembangunan
secara berkesinambungan, maka sifat pemaksaannya harus ada dan rakyat itu
sendiri telah menyetujuinya dalam bentuk undang-undang. Unsur pemaksaan di
sini berarti apabila Wajib Pajak tidak mau membayar pajak, pemerintah dapat
melakukan upaya paksa dengan mengeluarkan suatu surat paksa agar Wajib
Pajak mau melunasi utang pajaknya.
Pertanyaannya adalah mengapa swasta tidak diperbolehkan melakukan
pemungutan pajak? Pertanyaan ini dapat dijawab bahwa yang menjalankan
roda pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat adalah pemerintah (baik
pusat maupun daerah). Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan tidak
ada maksud untuk mencari keuntungan, sedangkan swasta dalam melakukan
kegiatan usahanya bisa dikatakan selalu bersifat mencari keuntungan. Selain
itu, apa yang telah dilakukan pemerintah selalu dipertanggungjawabkan kepada
rakyat pada kurun waktu tertentu. Uang yang dikumpulkan dari pajak dan
pengeluarannya dilakukan melalui mekanisme kontrol setiap tahun yang
dikenal dengan nama APBN/APBD. Dari APBN/APBD tersebut dapat
diketahui untuk keperluan apa saja uang pajak itu digunakan.
2. Pengertian Retribusi
Pungutan lain yang bersifat memaksa seperti retribusi pada dasarnya
memiliki ciri yang sama dengan pajak, kecuali dalam hal imbalannya yang
langsung dapat dirasakan oleh pembayar retribusi. Unsur yang melekat pada
pengertian retribusi adalah:
a. Pungutan retribusi harus berdasarkan undang-undang;
b. Sifat pungutannya dapat dipaksakan;
c. Pemungutannya dilakukan oleh Negara;
d. Digunakan untuk pengeluaran bagi masyarakat umum; dan
e. Kontra-prestasi (imbalan) langsung dapat dirasakan oleh pembayar
retribusi.
1. Peran Pajak
Mengapa kita harus membayar pajak? Jawaban yang bisa timbul adalah
kita membayar pajak agar tersedia sarana (fasilitas) umum yang dapat
digunakan bersama atau kita membayar pajak karena kita sudah terlebih
dahulu menikmati sarana umum tersebut.
Penyediaan sarana dan prasarana publik yang kita manfaatkan hanya
dapat terjadi karena peran pemerintah yang membutuhkan pengorbanan besar
mengumpulkan dana guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kemakmuran
generasi mendatang sangat tergantung pada investasi generasi sekarang ini
berupa padaberupa penyediaan segala macam sarana dan prasarana yang
dibutuhkan untuk menggerakkan roda ekonomi. Semua sarana dan prasarana
umum tersebut hanya dapat tersedia bila ada pajak.
Hanya melalui sumber pembiayaan dari pajak maka Negara dapat
menyediakan sarana dan prasarana untuk masyarakatnya. Swasta tidak
mungkin bisa melakukan apa yang dapat dilakukan oleh Negara, karena konsep
bisnis atau usaha yang dilakukan oleh swasta hanya untuk kepentingan
sekelompok mereka saja. Untuk itu pembayaran pajak yang kita lakukan adalah
guna meningkatkan tingkat kehidupan generasi mendatang. Dengan kata lain,
kemajuan suatu bangsa amat ditentukan melalui kesadaran memahami dan
membayar pajak dengan benar.
Dalam APBN yang dibuat oleh pemerintah terdapat tiga sumber
penerimaan yang menjadi pokok andalan, yaitu:
a. Penerimaan dari sektor pajak;
b. Penerimaan dari sektor migas; dan
c. Penerimaan dari sektor bukan pajak.
2) Latihan
1. Ada 4 (empat) perubahan pokok yang terjadi di dalam reformasi perundang-
undangan perpajakan Tahun 1983. Jelaskan keempat perubahan pokok tersebut dan
perkembangan terbarunya saat ini, baik yang sudah diundangkan maupun yang masih
berupa rancangan undang-undang!
2. Jelaskan seberapa perlu memahami sejarah hukum pajak bagi para pelaksana hukum
pajak!
3. Jelaskan pengertian dan fungsi dari pajak dan retribusi!
4. Dalam definisi pajak, kita dapat mengetahui 5 (lima) cirri yang melekat pada pajak.
Sebutkan dan jelaskan kelima cirri tersebut!
5. Mengapa pengertian pajak baru disebutkan pada UU KUP No. 28 Tahun 2007 dan
tidak pernah disebutkan pada UU KUP sebelum-sebelumnya. Berikan alasan dan
pendapat Anda mengenai hal ini!
III. KEGIATAN BELAJAR 2
DASAR PERPAJAKAN
A. Pengertian
Hukum pajak, dalam bahasa Inggris, disebut tax law. Dalam bahasa Belanda,
hukum pajak disebut belasting recht. Di Indonesia, selain digunakan istilah hukum
pajak, juga digunakan istilah hukum fiskal. Sebenarnya hukum pajak dengan hukum
fiskal memiliki substansi yang berbeda. Hukum pajak hanya sekadar membicarakn
tentang pajak sebagai objek kajiannya, sedangkan hukum fiskal meliputi pajak dan
sebagian keuangan Negara sebagai objek kajiannya.
Hukum pajak dalam arti luas adalah hukum yang berkaitan dengan pajak. Hukum
pajak dalam arti sempit adalah seperangkat kaidah hukum tertulis yang memuat sanksi
hukum. Hukum pajak sebagai bagian ilmu hukum tidak lepas dari sanksi hukum sebagai
substansi di dalamnya agar Pejabat Pajak maupun Wajib Pajak menaati kaidah hukum.
Sanksi hukum yang dapat diterapkan berupa sanksi administrasidan sanksi pidana.
Hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara
pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak (Rochmat
Soemitro, 1979:2425). Dengan kata lain, hukum pajak menerangkan :
a. Siapa-siapa Wajib Pajak (subjek pajak);
b. Objek-objek apa yang dikenakan pajak (objek pajak);
c. Kewajiban Wajib Pajak terhadap pemerintah;
d. Timbulnya dan hapusnya utang pajak;
e. Cara penagihan pajak;
f. Cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan pajak
Undang-undang No. 28 Tahun 2007 (UU KUP) tidak menyebutkan pengertian
hukum pajak, melainkan hanya menyatakan kedudukannya sebagai ketentuan umum
bagi peraturan perundang-undangan perpajakan yang lain. UU KUP merupakan
kaderwet yang berfungsi sebagai payung terhadap undang-undang pajak yang sifatnya
sektoral.
Pengertian hukum pajak dapat memberi petunjuk bagi penegak hukum pajak dalam
menggunakan wewenang dan kewajibannya untuk menegakkan hukum pajak.
Sebaliknya, dapat dijadikan pedoman bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban
dan menggunakan hak dalam rangka memperoleh perlindungan hukum sebagai
konsekuensi dari penegakan hukum pajak.
Penegakan hukum pajak di dalam lembaga peradilan dilakukan melalui lembaga
peradilan pajak mauapun lembaga peradilan umum. Penegakkan hukum pajak melalui
lembaga peradilan pajak tertuju pada penyelesaian sengketa pajak dan dilakukan dalam
Lembaga Keberatan, Pengadilan Pajak, dan Mahkamah Agung, atau hanya Pengadilan
Pajak dan Mahkamah Agung saja. Penegakan hukum pajak melalui lembaga peradilan
umum tertuju pada penyelesaian tindak pidana pajak dan dilakukan oleh Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Sedangkan penegakan hukum pajak
di luar lembaga peradilan dilakukan oleh Pejabat Pajak dengan menggunakan wewenang
berupa menerbitkan surat ketetapan pajak dan surat keputusan yang terkait dengan
penagihan pajak.
2. Perjanjian Perpajakan
Tiap negara memiliki peraturan pajak yang berbeda dengan negara lain yang
menyebabkan mudahnya terjadi pengenaan pajak ganda internasional sehingga
menimbulkan beban yang tinggi terhadap Wajib Pajak. Untuk mengatasi hal tersebut,
negara-negara yang berkepentingan mengadakan perjanjian penghindaran pajak
internasional agar Wajib pajak dari tiap negara yang bersangkutan tidak dikenakan
pajak ganda. Selain itu, perjanjian perpajakan juga dapat mencegah terjadinya
penghindaran pajak (tax avoidance) dan penyelundupan pajak (tax evasion).
Wujud perjanjian perpajakan yang dilakukan Indonesia adalah dalam bentuk
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), baik perjanjian itu bersifat bilateral
maupun multilateral, mengenai tarif atas bunga, deviden, royalti, dan sebagainya.
Contoh kasus:
Berdasarkan ketentuan Pasal 26 UU PPh, tarif pemotongan pajak atas bunga
yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri adalah sebesar 20% dari bunga
bruto. Sementara itu, berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (2) Perjanjian
Penghindaran Pajak Ganda antara Indonesia dengan Polandia, besarnya tarif
pemotongan adalah 10% dari jumlah kotor bunga. Maka, sesuai dengan asas lex
specialis derogate legi generalis, yang diberlakukan adalah Ketentuan dalam Pasal 11
ayat (2) P3B tersebut.
3. Yurisprudensi Perpajakan
Yurisprudensi perpajakan adalah putusan pengadilan mengenai perkara pajak
yang meliputi sengketa pajak dan tindak pidana pajak yang telah memiliki kekuatan
hukum yang tetap. Putusan pengadilan yang terkait dengan sengketa pajak adalah
Putusan Pegadilan Pajak maupun Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan
hukum mengikat para pihak yang bersengketa, sedangkan putusan pengadilan yang
terkait dengan tindak pidana pajak adalah Putusan Pengadilan dalam Lingkungan
Peradilan Umum maupun Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
4. Doktrin Perpajakan
Agar doktrin dapat menjadi sumber hukum pajak, substansinya harus berada
dalam konteks di bidag perpajakan yang dikemukakan ahli hukum pajak, mengingat
substansi hukum yang terkandung dalm hukum pajak memiliki perbedaan yang
sangat prinsipil dengan hukum lainnya karena hukum pajak memiliki ciri khas
tersendiri.
Pendapat ahli hukum pajak, untuk saat ini, belum dapat diharapkan untuk
menunjangpengembngan hukum pajak. Hal ini disebabkan karena kelangkaan ahli
hukum pajak yang dapat memberi corak tersendiri dalam perkembangan hukum
pajak.
Tugas Khusus hukum pajak adalah sebagai alat kebijaksanaan untuk menentukan politik
perekonomian ataupun tugas di luar kepentingan keuangan negara.
Keadilan sebagai tujuan hukum pajak tercermin dalam pengenaan pajak kepada Wajib
Pajak. Jika Wajib Pajak dianggap memiliki objek pajak, tetapi tidak tergolong sebagai objek
kena pajak, Wajib Pajak tersebut tidak dikenakan pajak. Apalagi kalau Wajib Pajak sama
sekali tidak memiliki objek pajak karena secara hukum dinyatakan pailit, maka tidak adil
jika Wajib Pajak tersebut dikenakan pajak.
Kemanfaatan sebagai tujuan hukum pajak tercermin dari penggunaan pajak unutk
membiayai pemerintahan dan pembangunan sebagai upaya mengurangi batas pemisah antara
orang kaya dan orang miskin. Pajak yang dipungut dari Wajib Pajak dikembalikan ke
masyarakat agar dapat dinikmati oleh Wajib Pajak maupun bukan Wajib Pajak.
Kepastian hukum sebagai tujuan hukum pajak diterapkan dalam pengihan pajak
maupun penyelesaian sengketa pajak. Penagihan pajak tidak boleh dilakukan oleh siapapun,
kecuali yang telah ditentukan. Bentuk, cara, dan jangka waktu penagihan harus dipenuhi
agar tergolong sebagai penagihan pajak yang sah. Dalam penyelesain sengketa pajak
terdapat lembaga peradilan pajak yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa pajak.
Di samping itu, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi Wajib Pajak untuk mengajuka
keberatan, banding, dan gugatan. Sebaliknya, pihak yang menyelesaikan sengket pajak juga
harus menaati persyaratan penyelesaian sengketa pajak yang telah ditentukan agar
putusannya bisa diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Hukum pajak tidak selalu dapat mewujudkan tujuannya secara sekaligus dalam suatu
penyelesaian sengketa pajak. Walaupun tidak dapat terlaksana secara keseluruhan,
diupayakan agar keadilan dan kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum, atau
kemanfaatan dan kepastian hukum tercermin dalam setiap keputusan yang diambil.
Hukum pajak nasional adalah hukum pajak yang diterapkan oleh suatu negara dan
berlaku dalam wilayah negara yang menetapkannya. Dalam hukum pajak nasional
terdapat hukum pajak daerah dan yang ditetapkan oleh suatu daerah tertentu dalam
wilayah negara dan berlaku hanya pada daerah yang bersangkutan. Sedangkan hukum
pajak internasional adalah hukum pajak yang ditetapkan oleh dua negara atau lebih dan
berlaku pada wilayah yang terikat dari perjanjian yang diadaka untuk itu. Hukum pajak
internasional dibedakan atas hukum pajak internasional dalam arti sempit dan hukum
pajak internasional dlam arti luas.
Hukum pajak internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaidah pajak
yang berdasarkan hukum antar negara seperti traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan
sebagainya dengan berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima
dan mempunyai tujuan mengatur persoalan perpajakan antara negara-negara yang saling
mempunyai kepentingan tersebut. Hukum pajak internasionl dalam arti sempit ini semata-
mata berdasrkan sumber-sumber asing.
Hukum pajak internasional dalam arti luas ialah keseluruhan kaidah, baik yang
berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip hukum pajak yang diterima,
maupun kaidah-kaidah nasional yang dalam objek pengenaan pajaknya terdapat unsur-
unsur asing, yang dapat menimbulkan bentrokan hukum antar dua negara atau lebih.
Ruang lingkup hukum pajak yang meliputi hukum pajak materiil dan hukum pajak
formal dikaji berdasarkan Undang-undang Pajak sebagai bagian dari hukum positif.
Hukum pajak materiil adalah kumpulan kaidah hukum yang mengatur tentang keadaan-
keadaan, perbuatan-perbuatan, dan peirstiwa-peristiwa yang terkait dengan objek pajak,
subjek pajak, wajib pajak, dasar pengenaan pajak, tarif pajak, masa pajak, dan tahun
pajak.
Hukum pajak materiil tidak dapat lepas dari hukum pajak formal. Dalam
melaksanakan hukum pajak materiil diperlukan keberadaan hukum pajak formal. Kaidah
hukum pajak materiil dapat ditemukan dalam:
secara keseluruhan terdapat dalam UU PPh dan UU PPN;
sebagian terdapat dalam UU PBB, UU BPHTB, UU KPB, UU CK, UU BM, UU
PDRD.
Hukum pajak formal adalah kumpulan kaidah hukum yang mengatur tentang
bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hukum pajak materiil. Sebenarnya,
hukum pajak formal berupaya untuk menjamin agar kaidah hukum pajak materiil
ditegakkan. Hukum pajak formal pada hakikatnya bersifat mengabdi pada hukum pajak
materiil, artinya keberadaan hukum pajak formal menyesuaikan dengan kebutuhan yang
dikehendaki untuk berlakunya hukum pajak materiil secara efektif. Kaidah hukum pajak
formal dapat ditemukan dalam:
secara keseluruhan terdapat dalam UU KUP;
sebagian terdapat dalam UU PBB, UU BPHTB, UU KPB, UU CK, UU BM, UU
PDRD.
Saat ini pemisahan secara tegas (tidak menggabungkan antara hukum materiil dan
hukum formal sekaligus dalam satu Undang-undang Pajak), sangat diperlukan, mengingat
bahwa pemisahan tersebut sebagai konsekuensi untuk menghindari perubahan-perubahan
terhadap setiap Undang-undang Pajak yang hanya berlaku dalam jangka waktu tidak
terlalu lama.
2) Latihan
1. Apa yang dibahas dalam hukum pajak dan apa bedanya dengan hukum fiskal? Jelaskan!
2. Jelaskan mengapa memahami landasan filosofis dari peraturan perundang-undangan
perpajakan merupakan hal yang sangat penting bagi para pelaksana hukum pajak?
3. Jelaskan sumber hukum pajak dan apa saja yang dijadikan sumber hukum pajak di
Indonesia?
4. Apa saja tugas dari hukum pajak?
5. Sebutkan fungsi dan tujuan hukum pajak?
6. Bagaimana kedudukan hukum pajak dalam tatanan hukum di Indonesia?
7. Apa yang menjadi ruang lingkup dari hukum pajak?
IV. KEGIATAN BELAJAR 3
b. Teori Kepentingan
Teori kepentingan diartikan sebagai negara yang melindungi kepentingan
harta benda dan jiwa warga negara dengan memperhatikan pembagian beban
pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduknya. Segala biaya atau
pengeluaran yang akan dikeluarkan oleh negara dibebankan kepada seluruh
warga berdasarkan kepentingan dari warga negara yang ada. Warga negara yang
memiliki harta yang banyak membayar pajak lebih besar kepada negara untuk
melindungi kepentingan dari warga negara yang bersangkutan. Demikian
sebaliknya, warga negara yang memiliki harta benda sedikit membayar pajak
yang lebih kecil untuk melindungi kepentingan warga negara tersebut.
Namun, pada kenyataannya warga negara yang memiliki penghasilan
sedikit mempunyai kepentingan yang lebih besar dalam hal-hal tertentu,
misalnya dalam perlindungan jaminan sosial, sehingga sebagai konsekuensi,
seharusnya ia membayar pajak lebih banyak dan ini adalah suatu hal yang
bertentangan dengan kenyataan.
Landasan teori ini pun seakan sama dengan pengertian retribusi dan
bukan pajak karena berkaitan dengan adanya kontra prestasi secara langsung.
Ketiga jenis asas pemungutan pajak tersebut selama ini diadopsi dalam
rangka pemungutan pajak di Indonesia, baik terhadap pajak langsung maupun
pajak tidak langsung. Khusus terhadap asas tempat tinggal, UU PPh ( UU No. 36
Tahun 2008) menegaskan adanya batasan waktu untuk bertempat tinggal atau
berada di Indonesia yaitu lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Keberadaan lebih dari 183 hari tidaklah harus
berturut-turut tetapi ditentukan oleh jumlah hari seseorang berada di Indonesia
dalam jangka waktu 12 bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
Untuk asas kewarnegaraan dan asas sumber yaitu bahwa terhadap setiap
warga Negara Indonesia di manapun dia berada akan dikenakan pajak oleh Negara
Indonesia, demikian pula bila seseorang bukan warga Negara Indonesia namun
memperoleh penghasilan dari Indonesia, maka Negara Indonesia mempunyai hak
untuk mengenakan pajak kepada setiap orang yang memperoleh penghasilan dari
sumber penghasiln tersebut berada.
2) Latihan
1. Apa yang dijadikan dasar hukum pemungutan pajak di Indonesia?
2. Jelaskan beberapa teori yang mengesahkan hak Negara memungut pajak!
3. Jelaskan dengan lengkap apa itu teori gaya pikul dan bagaimana aplikasinya dalam
perundang-undangan perpajakan Indonesia!
4. Teori gaya pikul bersifat kualitatif, artinya kemampuan seseorang antara satu dan
lainnya adalah tidak sama, dan banyak faktor yang mempengaruhinya. Jelaskan
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi teori gaya pikul tersebut!
5. Asas pemungutan pajak antara lain adalah asas tempat tinggal dan asas sumber.
Jelaskan kedua asas tersebut dan apa akibatnya dan bagaimana pemecahannya?
6. Apa perbedaan System Official Assessment dan system Self Assessment baik ditinjau
dari Wajib Pajak dan Fiskus maupun ditinjau dari timbulnya Utang Pajak?
V. KEGIATAN BELAJAR 4
TATA CARA PENAFSIRAN HUKUM PAJAK
A. Pengertian
Penafsiran hukum (Rechtsinterpretatie) adalah salah satu metode penemuan hukum
yang memberi penjelasan atas ketidakjelasan mengenai teks undang-undang agar ruang
lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Ketidakjelasan
suatu peraturan bisa disebabkan karena adaya kesenjangan antara peraturan tertulis dengan
kesadaran hukum suatu masyarakat yang ada, atau karena memang peraturan yang tertulis
tidak dapat dimengerti atau bahkan mempunyai pengertian yang bermacam-macam
menurut bahasa yang ada (secara tertulis) yang dibaca oleh pembaca peraturan tersebut.
Penafsiran (interpretasi) peraturan perundang-undangan sendiri merupakan suatu
cara mencari dan menetapkan pengertian pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan
sesuai dengan keadaan dimana peraturan perundang-undangan tersebut dilaksanakan
dengan tidak menyimpang dari yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat
undang-undang. Penafsiran hukum ini merupakan suatu kebutuhan yang diperlukan
khususnya dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
undang-undang.
Jadi, penafsiran hukum pajak adalah suatu upaya atau usaha untuk menerangkan,
menjelaskan, menegaskan baik dalam arti memperluas ataupun membatasi atau
mempersempit pengertian hukum pajak yang ada dalam rangka memecahkan masalah
yang dihadapi. Hukum pajak yang dimaksud adalah hukum tertulis, meliputi; peraturan
perundang-undangan, perjanjian perpajakan, yurisprudensi perpajakan, dan doktrin
perpajakan.
C. METODE PENAFSIRAN
Inti dari upaya penafsiran ketentuan undang-undang adalah agar diperoleh
keadilan, sedangkan ketentuan pada pasal undang-undang ada kemungkinan tidak sesuai
lagi dengan keadaan pada waktu dilaksanakan. Pembuat undang-undang sendiri tidak
menetapkan suatu sistem tertentu yang harus dijadikan pedoman bagi pelaksanaan hukum
dalam penafsiran undang-undang. Oleh karena itu, hakim bebas melaksanakan penafsiran
pasal undang-undang menurut keyakinannya.
Ada beberapa metode penafsiran menurut ilmu hukum yang digunakan dalam
menafsirkan hukum pajak, yaitu sebagai berikut:
1. Penafsiran Tata Bahasa atau Gramatika (Taalkundig)
Penafsiran tata bahasa adalah cara penafsiran berdasarkan bunyi kata-kata
secara keseluruhan, dengan berpedoman pada arti kata-kata yang berhubungan satu
sama lain, dalam kalimat-kalimat yang disusun oleh pembuat undang-undang. Arti
perkataan itu semata-mata menurut tata bahasa atau kebiasaan, seperti arti dalam
pemakaian sehari-hari.
Pandangan para ahli hukum atas tafsiran gramatikal ini bervariasi. Sebagian
ahli hukum mengatakan bahwa tafsiran gramatikal ini merupakan tafsiran yang paling
utama, artinya jika kata-kata undang-undang sudah cukup jelas, maka hakim tidak
boleh lagi menggunakan cara-cara penafsiran lainnya sehingga menyimpang dari kata-
kata undang-undang, meskipun maksud dari pembuat undang-undang tidak sama
dengan arti kata-kata tersebut. Sebagian ahli hukum lain menyatakan bahwa penafsiran
gramatikal memiliki kedudukan yang lemah karena arti kata-kata dalam undang-
undang bisa berbeda antara orang yang satu dengan lainnya .
Oleh karena itu, penafsiran peraturan perpajakan sebaiknya dicari cara
penafsiran mana yang paling tepat. Penafsiran secara tata bahasa (gramatika)
merupakan penafsiran dasar atau awal untuk mengetahui maksud pembuat undang-
undang kemudian dilanjutkan dengan penafsiran otentik yakni menurut pembuat
undang-undang sebagaimana tercantum dalam memori penjelasan, dan kemudian
diteruskan ke penafsiran-penafsiran yang lain.
Inilah pentingnya pembuat undang-undang untuk memilih kata-kata dalam
menyusun suatu kalimat menjadi suatu aturan agar tidak menimbulkan salah
pengertian bagi pembacanya.
Contoh penafsiran gramatika di dalam pelaksanaan hukum pajak, antara lain,
ada pada ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU KUP yang menyatakan: Dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut. . .
Redaksi kata dapat disini mengandung arti tidak harus atau tidak wajib,
sehingga penerbitan Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) tersebut bukan
merupakan keharusan atau undang-undang mengamanahkan adanya alternatif selain
bentuk SKPKB, dan itu harus dicari di dalam pasal-pasal yang ada.
2. Penafsiran Otentik
Penafsiran otentik adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang
dengan melihat pada apa yang telah dijelaskan dalam undang-undang tersebut.
Biasanya dalam suatu undang-undang terdapat suatu pasal mengenai ketentuan umum,
biasanya ada pada Pasal 1, yang isinya menjelaskan arti atau maksud dari ketentuan
yang telah diatur. Ketentuan umum demikian sering disebut dengan terminologi untuk
menjelaskan hal-hal yang dianggap perlu. Terminologi inilah yang dimaksudkan
dengan penafsiran otentik. Sedangkan penjelasan dari suatu pasal yang dimuat dalam
Tambahan Lembaran Negara (TLN) bukan merupakan penafsiran otentik, tetapi hanya
suatu penjelasan semata atas isi suatu pasal.
3. Penafsiran Historis
Penafsiran historis adalah penafsiran atas undang-undang dengan melihat pada
sejarah dibuatnya suatu undang-undang. Untuk dapat memahami penafsiran historis
yang demikian, tentu hanya dapat diketahui dari dokumen-dokumen rapat pada waktu
dibuatnya undang-undang, seperti draft RUU, risalah rapat para pembuat undang-
undang, memori penjelasan umum dan pasal per pasal, jawaban pemerintah kepada
DPR, notulen sidang komisi, dan sebagainya. Dengan memahami dokumen-dokumen
tersebut, maka akan diketahui asbabun nuzul dari suatu aturan perpajakan.
Penafsiran menurut sejarah hukum juga dapat dilakukan dengan cara
menyelidiki apakah suatu peraturan itu datangnya dari sistem hukum yang terdahulu.
Sebagai contohnya adalah perkembangan pengertian pembayaran dalam Masa Pajak
dari Pajak Penghasilan , dari mulai sebelum reformasi perpajakan dijalankan yaitu
dengan official assessment dimana pembayaran masa berarti angsuran terhadap
Surat Ketetapan Pajak Sementara (Skp/s) yang diterbitkan oleh fiskus , yang
kemudian akan diperhitungkan didalam penetapan rampungnya (akhir tahun ).
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya model SKP/s tersebut dihapuskan dan
diganti dengan cara Menghitung Pajak Sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang
Lain(MPO), di sini pembayaran masa ditentukan sekian persen (misalnya 2%) dari
jumlah peredaran selama satu bulan. Dan sekarang, setelah reformasi perpajakan 1983
sistem yang dianut adalah self assessment, dengan cara penentuan besarnya
pembayaran masa yang berbeda.
4. Penafsiran Sistematik
Penafsiran sistematik adalah penafsiran dengan menghubungkan suatu pasal
dengan pasal yang lain dalam satu undang-undang yang sama atau mengaitkannya
dengan pasal-pasal undang-undang yang lain. Penafsiran ini memperhatikan peraturan-
peraturan lain yang terkait yang masih berhubungan. Hukum perpajakan yang terdiri
dari undang-undang sampai dengan Keputusan Dirjen Pajak sebenarnya merupakan
satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis sehingga penafsirannya harus
dikaitkan antara peraturan yang satu dengan lainnya.
Salah satu contoh penafsiran ini adalah penafsiran dari pengertian memenuhi
persyaratan dalam pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25
ayat (4) UU KUP, haruslah dikaitkan pula dengan pengertian keterangan tertulis
yang wajib diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal
26 ayat (6). Artinya apabila atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak
tidak memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan
pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak, maka sebenarnya
tidak ada hak bagi Direktur Jenderal Pajak untuk menanyakan kelengkapan persyaratan
di dalam pengajuan keberatan.
6. Penafsiran Perbandingan
Penafsiran perbandingan adalah penafsiran dengan membandingkan antara
ketentuan hukum yang lama dan ketentuan hukum yang berlaku saat ini, atau ketentuan
hukum nasional dan ketentuan hukum asing.
Contoh:
Kebijaksanaan yang perah dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak pada akhir
tahun 1980-an tentang penerimaan sumbangan dari Wajib Pajak apabila Surat
Pemberitahuan Wajib Pajak menyatakan Lebih Bayar; sering disebut juga dengan
istilah uang pembasuh batin. Ketentuan ini tidak dikenal dalam sistem self assessment
sekarang ini.
7. Penafsiran Doktriner
Penafsiran doktriner adalah penafsiran dengan cara mengambil pendapat dari
para ahli, khususnya ahli-ahli perpajakan dalam buku-buku karyanya. Penafsiran ini
biasanya berupa pendapat para saksi ahli di dalam sidang peradilan pajak.
8. Penafsiran Analogis
Dalam pelaksanaan hukum, ada kalanya terjadi suatu kekosongan atau
kevakuman hukum. Kekosongan hukum ini dapat diisi oleh Hakim dengan penafsiran
analogis atau penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang dengan cara
memberi kiasan pada kata-kata yang tercantum dalam undang-undang. Penafsiran ini
sama dengan penafsiran ekstensif (meluas) yang maksudnya memperluas suatu aturan
sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak termasuk dalam suatu ketentuan
menjadi termasuk dalam ketentuan yang ada berdasarkan analog yang dibuat.
Penafsiran analogis ini tidak dipakai dalam undang-undang pajak karena dapat
merugikan Wajib Pajak dan tidak adanya kepastian hukum terhadap peristiwa yang
terjadi. Aturan umum yang tidak ditulis dalam undang-undang pajak yang merupakan
aturan yang bersifat khusus menjadi berlaku, padahal pasal 23A UUD 1945
menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara harus diatur undang-undang.
9. Penafsiran A Contrario,
Penafsiran A Contrario adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-
undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan
soal yang diatur dalam pasal undang. Berdasarkan perlawanan pengertian itu ditarik
suatu kesimpulan bahwa soal yang dihadapi itu tidak diatur dalam pasal undang-
undangnya, atau dengan kata lain soal yang dihadapi berada di luar ketentuan pasal
suatu undang-undang.
Contoh:
Pada Pasal 4 Ayat (3) huruf g UU PPh menyatakan yang dikecualikan dari Objek
PPh adalah iuran pensiun kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disetujui oleh
Menteri Keuangan. Dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-545/PJ./2000 jo PER-
15/PJ/2006 diatur mengenai perlakuan perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun
yang sudah disahkan oleh Menteri Keuangan, tetapi tidak diatur mengenai perlakuan
perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun yang belum disahkan Menteri
Keuangan. Jika menggunakan penafsiran secara a contrario, maka perlakuan
perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun yang belum atau tidak disahkan oleh
Menteri Keuangan adalah sama dengan perlakuan perpajakan atas premi asuransi, yaitu
merupakan Objek PPh.
Penafsiran A Contrario di dalam bidang hukum pajak tidak diperbolehkan
karena merugikan Wajib Pajak dan menimbulkan ketidakpastian dalam hukum yang
sudah jelas pengaturnya.
2) Latihan
1. Apa yang dimaksud dengan penafsiran hukum dalam pelaksanaan hukum pajak?
2. Mengapa perlu dilaksanakan penafsiran hukum sebelum dilaksanakan?
3. Sebut dan jelaskan beberapa cara penafsiran hukum yang Saudara ketahui?
4. Ada beberapa metode penafsiran hukum pajak. Jelaskan dan berikanlah masing-masing
satu contoh dari metode penafsiran dimaksud yang berbeda dengan yang telah
diterangkan di atas?
5. Pejabat Tata Usaha Pajak dalam melaksanakan tugas sehari-hari kadang-kadang
menemukan suatu kekosongan hukum. Jelaskan langkah apa yang dapat dilakukan?
6. Berikan contoh kekosongan hukum yang ada dalam sistem perundang-undangan
perpajakan?
VI. KEGIATAN BELAJAR 5
Dengan perkataan lain, hukum pajak material adalah norma-norma yang menerangkan
tentang obyek, subyek, dan besarnya pajak yang terutang. Juga termasuk di dalamnya:
a. Peraturan-peraturan yang memuat kenaikan-kenaikan, denda-denda;
b. Peraturan-peraturan tentang hukuman-hukuman tentang pelanggaran ketentuan
pajak;
c. Peraturan-peraturan tentang tata cara pembebasan dan pengembalian pajak;
d. Peraturan-peraturan tentang hak mendahulu dan fiskus.
Berdasarkan Berdasarkan
Berdasarkan
pihak yang sasaranya/ob
sifatnya
memungut jeknya
Pajak
Pajak Pajak Pajak Pajak Pajak
Tak
Langsung Pusat Daerah Subjektif Objektif
Langsung
Secara umum pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kategori,
antara lain :
1. Berdasarkan pihak yang menanggung, pajak terdiri dari dua macam pajak yaitu :
a. Pajak Langsung adalah pajak yang pembayarannya harus ditanggung sendiri oleh
wajib pajak dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain serta dikenakan secara
berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu..
Contoh : PPh, PBB.
b. Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pembayarannya dapat dialihkan kepada pihak
lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja.
Contoh : Pajak Penjualan, PPN, PPn-BM, Bea Materai, dan Cukai.
2. Berdasarkan sifatnya, pajak terdiri dari dua macam, antara lain :
a. Pajak Subjektif, yaitu pengenaan pajak dengan pertama-tama
memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak (subjeknya). Setelah diketahui keadaan
subjeknya barulah diperhatikan keadaan objektifnya sesuai gaya pikul apakah dapat
dikenakan pajak atau tidak. Misalnya perhitungan Pajak Penghasilan, jumlah
tanggungan dapat mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.
b. Pajak Obyektif, yaitu pengenaan pajak dengan pertama-tama
memperhatikan/melihat objeknya, baik berupa keadaan atau perbuatan atau peristiwa
yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah diketahui objeknya,
barulah dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hukum dengan objek yang telah
diketahui. Misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak memperhitungkan apakah
wajib pajak tersebut memiliki tanggungan atau tidak.
3. Berdasarkan pihak yang memungut pajak, terdiri dari dua macam, antara lain :
a. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal
ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan.
Adapun pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi:
Pajak Penghasilan (PPh)
PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud
dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi
atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan
demikian, maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium,
hadiah, dan lain sebagainya.
Pelaksanaan Pajak penghasilan di Indonesia dimulai Tahun 1984 melalui
Undang-undang No. 7 Tahun 1983 yang telah mengalami perubahan dan tambahn
terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008. UU No. 7 Tahun 1983 merupakan pengganti
dari dua ketentuan undang-undang yakni Ordonansi Pajak Pendapatan dan Ordonansi
Pajak Perseroan.
Bea Meterai
Pengenaan Bea Meterai berdasarkan pada Undang-Undang nomor 13 tahun
1985 dan Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 2000. Bea Meterai adalah pajak
yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi
pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas
jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.
2) Latihan
1. Hukum pajak dibagi ke dalam hukum pajak material dan hukum pajak formal. Apa yang
membedakan antara hukum pajak formal dan hukum pajak material?
2. Bagaimanakah seharusnya antara ketentuan formal dan ketentuan material, dalam
penyusunan undang-undang pajak? Dipisahkan atau digabungkan? Berikan alasannya!
3. Jelaskan apa yang dimaksud pajak subjektif dan pajak objektif!
4. Apakah suatu pajak yang menurut sifatnya termasuk salah satu bentuk ( apakah pajak
objektif ataupun pajak subyektif) dapat berubah menjadi sebaliknya? Terlepas dari
jawaban Saudara, ya atau tidak, berikan penjelasannya!
5. Jelaskan apa yang dimaksud pajak langsung dan pajak tidak langsung!
VII. KEGIATAN BELAJAR 6
TARIF PAJAK
1. Tarif Progresif
Tarif progresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin besar
bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar.
Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Tarif pajak Progresif Progresif
Tarif pajak Progresif Progresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase
yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan
pajak, dan kenaikan presentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali naik.
b. Tarif pajak Progresif Proporsional
Tarif pajak Progresif Proporsional adalah tarif pemungutan pajak dengan
persentase yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar
pengenaan pajak, namun kenaikan presentase untuk setiap jumlah tertentu tetap.
c. Tarif pajak Progresif Degresif
Tarif pajak Progresif Degresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase
yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan
pajak, namun kenaikan presentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali menurun.
Contoh tarif pajak progresif adalah tarif untuk Pajak Penghasilan Orang Pribadi
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008,
sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00 5%
Di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00 15 %
Di atas Rp 250.000.000,00 s.d. Rp 500.000.000,00 25 %
Di atas Rp 500.000.000,00 30 %
2. Tarif Degresif
Tarif degresif merupakan kebalikan dari tarif progresif. Tarif degresif adalah
tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin kecil bila jumlah yang dijadikan
dasar pengenaan pajak semakin besar. Namun, tidak berarti jika persentasenya
semakin kecil kemudian jumlah pajak yang terutang juga menjadi kecil. Akan tetapi
malah bisa menjadi lebih besar karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan
pajaknya juga semakin besar.
Contoh tarif pajak degresif:
Dasar Pengenaan
Tarif Pajak Pajak yang terutang
Pajak
Rp 10.000.000,- 15% Rp 1.500.000
Rp 25.000.000,- 13% Rp 3.250.000
Rp 50.000.000,- 11% Rp 5.500.000
Rp 60.000.000,- 10% Rp 6.000.000
Jumlah pajak terutang Rp 16.250.000
3. Tarif Proporsional
Tarif proporsional tidak lagi dipengaruhi oleh naik turunnya dasar objek yang
dikenakan pajak, karena tarifnya telah berlaku secara sebanding. Tarif proporsional
adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan persentase tetap tanpa
memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Semakin besar jumlah
yang dijadikan dasar pengenaan pajak, akan semakin besar pula jumlah pajak
terutang (yang harus dibayar). Tarif ini diterapkan dalam UU No. 18 Tahun 2000
(UU PPN dan PPnBM) yang menggunakan tarif proporsional sebesar 10%.
Contoh tarif pajak proporsional:
4. Tarif Tetap
Tarif tetap adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa
memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Tarif ini diterapkan
dalam UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM). Dengan adanya PP No. 24
Tahun 2000, tarif yang digunakan adalah Bea Meterai dengan nilai nominal sebesar
Rp 3.000 dan Rp 6.000.
5. Tarif Advalorem
Tarif advalorem adalah suatu tarif dengan persentase tertentu yang dikenakan/
ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang.
Misalnya PT XZY mengimpor barang jenis A sebanyak 1500 unit dengan
harga per unit Rp 100.000. Jika tarif Bea Masuk atas Impor Barang tersebut 20%,
maka besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah:
6. Tarif Spesifik
Tarif spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis barang
tertentu atau suatu satuan jenis barang tertentu.
Misalnya PT ABC mengimpor barang jenis Z sebanyak 1500 unit dengan
harga per unit Rp 100.000. Jika tarif Bea Masuk atas impor barang Rp 10.000 per
unit, maka besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah:
Jumlah Barang Impor = 1500 unit
Tarif Bea Masuk Rp 10.000, maka
Bea Masuk yang harus dibayar = Rp 10.000 x 1500
= Rp 15.000.000
7. Tarif Efektif
Tarif efektif adalah tarif dimana jumlah pajak yang dibayarkan dibandingkan
dengan jumlah penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak.
Contoh: Tuan Andi mempunyai penghasilan kena pajak selama tahun 2008
sebesar Rp 750.000.000. Hitung besarnya pajak yang harus dibayar!
a. Dengan tarif progresif menurut UU No. 17 Tahun 2000
5% x Rp 25.000.000 = Rp 1.250.000
10% x Rp 25.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000
25% x Rp 100.000.000 = Rp 25.000.000
35% x Rp 550.000.000 = Rp 192.500.000
Jumlah pajak terutang Rp 228.750.000
2) Latihan
1. Apa yang dimaksud dengan tarif progresif?
2. Tarif apa saja yang digunakan dalam perundang-undangan perpajakan Indonesia?
3. Mengapa tariff degresif tidak digunakan dalam perundang-undangan perpajakan Indonesia?
4. Menurut Anda, lebih mencerminkan keadilan yang mana antara perhitungan pajak dengan
tarif progresif dengan adanya lapisan penghasilan kena pajak ataukah perhitungan pajak
dengan tarif efektif? Berikan alasan Anda!
VIII. KEGIATAN BELAJAR 7
UTANG PAJAK
A. Pengertian
Salah satu kewajiban Wajib Pajak adalah melunasi utang pajak. Apabila kita
mempelajari undang-undang perpajakan, akan dibedakan antara pengertian Utang Pajak
dan Pajak yang Terutang. Pada hakikatnya, istilah utang pajak tidak berbeda dengan pajak
yang terutang sebagai suatu kewajiban yang wajib dibayar lunas oleh Wajib Pajak dalam
jangka waktu yang ditentukan.
Istilah utang pajak digunakan dalam UU PPSP (Pasal 1 angka 8) dengan pengertian
bahwa utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa
bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Utang pajak ini timbul berkaitan dengan
pelunasan surat ketetapan pajak dan atau pelaksanaan penagihan pajak.
Istilah pajak yang terutang digunakan dalam UU KUP (Pasal 1 angka 10) dengan pengertian
bahwa pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak,
dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Pengertian pajak yang terutang:
Pada suatu saat, misalnya pengenaan pajak atas penghasilan dari undian (kuis
berhadiah), di sini tidak mengenal masa pajak maupun tahun pajak.
Dalam Masa Pajak, misalnya pajak yang terutang atas PPh Masa yang dibayar
sendiri (PPh Pasal 25)
Dalam Tahun Pajak, misalnya pajak penghasilan dari hasil perhitungan tahunan.
Dalam Bagian Tahun Pajak, ada dua pengertian bagian tahun pajak, yakni mereka
yang datang ke Indonesia Dalam Tahun Berjalan, atau mereka yang akan
meninggalkan Indonesia Dalam Tahun Berjalan. Misalnya, Ny. Manohara yang
bertempat tinggal di Indonesia, pada 30 Juni 2009 pergi ke luar negeri untuk
selamanya. Maka, bagian tahun pajak Ny. Manohara untuk tahun 2009 dimulai per 1
Januari 2009 dan berakhir 30 Juni 2009. Sedangkan Tn. Fachry yang berasal dari
Malaysia, pada tanggal 1 Juli 2009 berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Maka, bagian tahun pajak Tn. Fachry untuk tahun 2009 dimulai per 1 Juli 2009 dan
berakhir 31 Desember 2009.
Untuk menghindari kesalahpahaman mengenai pengertian utang pajak dengan pajak
yang terutang, dalam penerapannya digunakan asas hukum lex specialis derogat legi
generali, yaitu aturan khusus (UU PPSP) mengesampingkan aturan yang umum (UU KUP).
Maka, yang paling tepat digunakan adalah pengertian yang terdapat pada UU PPSP karena
lebih luas cakupannya dibandingkan dengan pengertian utang pajak yang dimaksud dalam
UU KUP. Berarti utang pajak tidak hanya pajak yang kurang dibayar, tetapi juga termasuk
sanksi administrasinya.
Perbedaannya dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak dapat digambarkan sebagai berikut:
Pajak terutang Rp
Kredit pajak (Rp. )
Pajak yang kurang dibayar Rp
Sanksi Administrasi
Bunga/Denda/Kenaikan Rp
Yang masih harus dibayar Rp
Pejabat Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas
semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat
ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh
ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data
fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Teori materiil sebenarnya malah memberi keringanan tugas Pejabat Pajak dalam
melakukan pengawasan terhadap Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban dan
menjalankan hak-haknya sebagaimana ditur dalam perundang-undangan perpajakan.
Pejabat Pajak hanya bertugas melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan Wajib
Pajak. Apabila saat pemeriksaan ternyata ditemukan ketidakpatuhan Wajib Pajak, Pejabat
Pajak berwenang menjatuhkan sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan
atas jumlah pajak yang terutang.
Kelemahan teori materiil adalah pada saat timbulnya utang pajak, belum diketahui
dengan pasti berapa besarnya utang pajak karena kebanyakan Wajib Pajak tidak
memahami dan menguasai ketentuan undang-undang pajak, sehingga kurang mampu
menerapkannya.
Sebagai contoh, misalnya, syarat timbulnya utang pajak bagi si A menurut UU PPh, antara
lain, jika si A telah bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu dua belas bulan, dan jika si A telah mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP. Maka,
sudah timbul utang pajak bagi si A. Dia tidak perlu menunggu fiskus menerbitkan SKP.
2. Teori Formil
Teori formil merupakan kebalikan dari teori materiil. Menurut teori ini, timbulnya
utang pajak bukan karena undang-undang pajak. Walaupun telah dipenuhi tatbestand,
tetapi Pejabat Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, maka belum timbul utang
pajak. Dalam teori formil, surat ketetapan pajak memiliki fungsi, di antaranya:
a. menimbulkan utang pajak;
b. dasar penagihan pajak;
c. menentukan jumlah pajak yang terutang.
Jadi, selama belum ada surat ketetapan pajak, belum ada utang pajak, walaupun
syarat-syarat subjekif dan syarat-syarat objektif serta waktu telah terpenuhi.
Kelemahan teori formil ini yaitu besar sekali kemungkinan utang pajak ditetapkan
tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Selain itu, teori formil tidak dapat
diterapkan terhadap pajak tidak langsung karena pajak tidak langsung tidak
menggunakan surat ketetapan pajak. Teori ini hanya diterapkan dalam saat timbulnya
utang Pajak Bumi Bangunan.
Sebagai contoh, misalnya, utang pajak si A baru akan timbul sesudah fiskus menerbitkan
SKP. Secara ekstrim, si A tidak mempunyai kewajiban membayar pajak
penghasilan/pendapatannya jika fiskus belum menerbitkan SKP. Teori ini sangat lemah karena
banyak jenis pajak yang terutang dan dibayar tidak perlu menunggu diterbitkannya surat
ketetapan pajak, misalnya Bea Materai, PPh Pasal 21, dll.
5. Penghapusan
Utang pajak juga akan berakhir jika diterbitkan Surat Keputusan Penghapusan
Utang Pajak dan penghapusan ini dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 24 UU KUP No. 28 Tahun 2007, kewenangannya diserahkan kepada
Menteri Keuangan. Menteri Keuangan mengatur tata cara penghapusan dan menentukan
besarnya jumlah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi, antara lain, karena:
a. Wajib Pajak telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan,
b. Wajib Pajak badan yang telah selesai proses pailitnya, atau
c. Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai subjek pajak dan hak untuk melakukan
penagihan pajak telah daluwarsa.
Melalui cara ini dapat diperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang pajak yang akan
dapat ditagih atau dicairkan.
2) Latihan
1. Apa yang Saudara ketahui mengenai utang pajaak? Jelaskan saat terjadinya dan saat
pembayarannya?
2. Apa perbedaan pengertian Pajak Terutang dengan Utang Pajak?
3. Jelaskan dua ajaran tentang penyebab timbulnya utang pajak?
4. Jelaskan sifat-sifat dari utang pajak?
5. Jelaskan beberapa cara yang dapat menyebabkan berakhirnya utang pajak?
IX. KEGIATAN BELAJAR 8
SUBJEK DAN OBJEK PAJAK
A. Pengertian
Subjek Pajak adalah siapa saja yang dikenakan pajak. Objek Pajak adalah apa saja
yang dijadikan sasaran pajak.
B. Subjek Pajak
1. Subjek PPh
Subjek PPh terdiri dari:
a. Subjek pajak dalam negeri
b. Subjek pajak luar negeri
Namun, tidak semua badan merupakan subjek PPh. Ada badan-badan pemerintah
tidak termasuk dalam Subjek pajak. Adapun karakteristik badan pemerintah yang tidak
termasuk sebagai Subjek Pajak:
a. dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
b. dibiayai dengan dana yang bersumber dari dari APBN atau APBD; dan
c. penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Daerah; dan
d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
2. Subjek PPN
Dalam Pasal 4, 16C dan 16D UU PPN 1984 dapat diketahui Subjek PPN
dikelompokan menjadi dua, yaitu:
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
2. Bukan Pengusaha Kena Pajak (Non PKP)
Sedangkan Non PKP yang merupakan subjek PPN yaitu Non PKP yang:
a. Mengimpor BKP (Ps 4 huruf b);
b. Memanfaatkan BKP tidak berwujud atau JKP dari Luar di dalam daerah Pabean
(Ps. 4 huruf d dan e); dan atau
c. Membangun Sendiri tidak dalam Kegiatan Usaha/Pekerjaan (Ps. 16C).
Yang dimaksud dengan Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 14 UU PPN 1984 yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-undang ini, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha kecil tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Namun diperbolehkan untuk menjadi PKP. Menurut Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 571/KMK.03/2003, Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang menyerahkan BKP
dan atau JKP tidak lebih dari Rp. 600.000.000,00.
3. Subjek PBB
Subjek PBB adalah orang atau badan yang mempunyai:
a. hak atas bumi;
b. memperoleh manfaat atas bumi;
c. memiliki, menguasai, memperoleh manfaat atas bangunan;
4. Subjek BPHTB
Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
atau bangunan.
C. Objek Pajak
1. Objek PPh
Ketentuan mengenai objek PPh diatur dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
UU PPh. Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apa pun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi,
uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa
pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan social termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihakpihak yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak
yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan
imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan
hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran
berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang,
kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang
asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali
aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh
perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha
atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal
dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.
Yang dikecualikan dari objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) UU
PPh adalah:
a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia,
yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang,diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak
yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan
usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang
disetor;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pension yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma,
dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
j. dihapus;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau
kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang
menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan,
yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali
dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya
sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan
n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
2. Objek PPN
Dalam Pasal 4:
1. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha ;
2. Impor BKP;
3. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
6. Ekspor BKP oleh Pengusaha Kena Pajak.
Adapun syarat pengenaan PPN pada penyerahan barang atau jasa, adalah:
1. Yang diserahkan adalah BKP/JKP; dan
2. Dilakukan dalam daerah pabean;dan
3. Yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP); dan
4. Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha/pekerjaan PKP.
Namun, dalam keseharian ada juga Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan
barang/jasa dimana barang/jasa tersebut bukan merupakan barang kena pajak/jasa kena
pajak. Adapun Bukan Barang Kena Pajak dan Bukan Jasa Kena Pajak menurut Pasal 4A UU
PPN 1984 jo. PP.144 Tahun 2000, meliputi:
a. Semua barang adalah Barang Kena Pajak, kecuali (Bukan Barang Kena Pajak), yaitu
1. Hasil pertambangan atau hasil pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya,
yaitu:
- minyak mentah (crude oil), gas bumi, panas bumi;
- pasir dan kerikil;
- batubara sebelum jadi briket batubara; dan
- bijih besi, bijih timah, bijih emas, dll
2. Barang-barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat banyak beras, gabah,
jagung, sagu, kedelai; dan garam;
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel,restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya kecuali jasa catering,
4. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
b. Semua jasa adalah Jasa Kena Pajak, kecuali (Bukan Jasa Kena Pajak), yaitu
1. Jasa di bidang Pelayanan Kesahatan;
2. Jasa di bidang Pelayanan Sosial;
3. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;
4. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;
5. Jasa di bidang keagamaan;
6. Jasa di bidang pendidikan;
7. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
8. Jasa kesenian dan hiburan yang dikenakan pajak tontonan
9. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;
10. Jasa di bidang tenaga kerja;
11. Jasa di bidang perhotelan;
12. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum.
3. Objek PBB
Objek PBB adalah benda tidak bergerak yaitu berupa bumi dan bangunan. Bumi adalah
permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Bangunan adalah konstruksi teknik
yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik,
dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks
bangunan tersebut;
jalan TOL;
kolam renang;
pagar mewah;
tempat olah raga;
galangan kapal, dermaga;
taman mewah;
tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
fasilitas lain yang memberikan manfaat.
Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB, meliputi:
a. Objek Pajak yang digunakan semata-mata untuk melayanikepentingan umum di bidang
ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan
untuk memperoleh keuntungan.
b. Objek Pajak yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis
dengan itu;
c. Objek Pajka merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah Negara yang belum dibebani
suatu hak;
d. Objek Pajak yang digunakan oleh perwakilan diplomatic, konsulat, berdasarkan asas
perlakuan timbale balik;
e. Objek Pajak yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh Menteri Keuangan.
4. Objek BPHTB
Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan meliputi:
a. Pemindahan Hak, karena:
Jual beli;
Tukar menukar;
Hibah;
Hibah wasiat;
Waris;
Pemasukan dalam perseroan atau badab hokum lainnya;
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
Penunjukan pembeli dalam lelang;
Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hokum tetap;
Penggabungan usaha;
Peleburan usaha;
Pemekaran usaha;
Hadiah.
b. Pemberian hak baru, karena:
Kelanjutan pelepasan hak; dan
Di luar pelepasan hak.
2) Latihan
1. Apa yang dimaksud dengan subjek pajak dan objek pajak?
2. Siapa saja yang menjadi Subjek PPh?
3. Jelaskan sebenarnya apa yang dimaksud dengan penghasilan menurut UU PPh?
4. Jelaskan Objek Pajak dari PPN?
5. Siapa saja Subjek Pajak dar PPN?
6. Jelaskan beberapa bentuk dari Pemindahan Hak dan perolehan Hak yang menjadi objek
BPHTB?
7. Mengapa warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
dianggap sebagai Subjek Pajak?
8. Ny. Hapsari adalah seorang TKI di Malaysia. Apakah dia Subjek Pajak Indonesia?
Apakah dia Wajib Pajak Indonesia? Berikan alasan Anda!
9. Ny. Elizabeth seorang warga Negara Amerika yang bekerja pada Kedutaan Besar Amerika
di Jakarta.Dia juga bekerja sebagai pengajar pada salah satu sekolah internasional di
Jakarta. Apakah dia Subjek Pajak Indonesia? Berikan alasan Anda!
10. Ny. Murtini adalah seorang warga negara Indonesia yang yang bekerja pada Kedutaan
Besar Palestina di Jakarta? Apakah dia Subjek Pajak Indonesia? Apakah dia Wajib Pajak
Indonesia? Berikan alasan Anda!
X. KEGIATAN BELAJAR 9
KETETAPAN PAJAK
A. Pengertian
Menurut Pasal 1 angka 15 UU KUP No. 28 Tahun 2007, Surat Ketetapan Pajak adalah
surat ketetapan yang meliputi:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
2) Latihan
1. Apa yang dimaksud dengan Surat Ketetapan Pajak?
2. Dalam hal apa sajakah dapat diterbitkan SKPKB?
3. Jelaskan mengapa dapat diterbitkan SKPKBT?
4. Apa saja sanksi administrasi yang dapat diberikan dalam hal penerbitan SKPKB dan
SKPKBT?
5. Kapan daluwarsa penerbitan SKPKB dan SKPKBT?
6. Apa yang menyebakan dapat diterbitkannya SKPKB dan SKPN?
7. Dalam hal apa saja dapat diterbitkan STP?
XI. KEGIATAN BELAJAR 10
PENAGIHAN PAJAK
A. Pengertian
Dengan adanya sistem self assessment , telah diberikan kepercayaan penuh kepada
masyarakat Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan
pajaknya sendiri. Tetapi dalam kenyataannya, terdapat cukup banyak masyarakat yang
dengan sengaja atau dengan berbagai alasan tidak melaksanakan kewajiban membayar
pajaknya sesuai ketetapan pajak yang diterbitkan sehingga terjadi tunggakan pajak. Oleh
karena itu, dilakukanlah tindakan penagihan pajak berdasarkan UU No. 19 Tahun 1997
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19
Tahun 2000.
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang
pajaknya dan biaya penagihan pajak dengan cara menegur atau memperingatkan,
melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan
pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang-
barang yang telah disita.
Landasan Hukum :
- Pasal 18 sampai dengan Pasal 24 UU KUP .
- UU No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa .
Dasar Penagihan Pajak:
- STP,
- SKPKB,
- SKPKBT,
- SK Pembetulan,
- SK Keberatan ,
- Putusan Banding, serta
- Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus
dibayar bertambah.
B. Jurusita Pajak
Jurusita Pajak adalah pelaksana tindak Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan
Seketika dan Sekaligus serta pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
Jurusita Pajak diangkat dan diberhentikan oleh Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
untuk penagihan pajak pusat, Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk penagihan pajak daerah.
Jurusita bertugas:
a. Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus.
b. Memberitahukan Surat Paksa.
c. Melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan.
d. Melaksanakan Penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan
E. Tahap-tahapan Penagihan
Tindakan penagihan dilakukan baik secara persuasif maupun represif. Tindakan
penagihan diawali dengan keluarnya Surat Teguran. Namun, jika Wajib Pajak tidak
mengindahkannya, barulah dilakukan tindakan secara paksa melalui tindakan-tindakan
berikut ini.
1. Surat Teguran
Surat Teguran adalah surat yg diterbitkan untuk menegur atau memperingatkan
Wajib Pajak agar melunasi utang pajaknya. Apabila Penanggung Pajak tidak melunasi
utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran , tindakan Penagihan
Pajak diawali dengan penerbitan Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang
sejenis oleh Pejabat atau kuasa yang ditunjuk oleh Pejabat tersebut setelah 7 (tujuh) hari
sejak saat jatuh tempo pembayaran yang tercantum dalam surat ketetapan pajak. Surat
Teguran tidak diterbitkan kepada Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya.
Penerbitan Surat Teguran bisa disamakan dengan istilah somasi, yaitu suatu surat
yang bersifat memberi peringatan kepada pihak lain agar melakukan sesuatu yang
diinginkan oleh pemberi somasi. Surat Teguran lebih bersifat persuasif, kekuatan
hukumnya lemah. Pemberian Surat Teguran ini bermaksud apabila Wajib Pajak tidak
mengindahkan Surat Teguran tersebut, maka akan dilakukan tindakan represif dengan
menerbitkan surat lain yang mempunyai kekuatan hukum yang lebih memaksa seperti
Surat Paksa.
2. Surat Paksa
Apabila jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh
Penanggung Pajak setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak saat
diterbitkannya Surat Teguran, Pejabat segera menerbitkan Surat Paksa. Surat Paksa
diterbitkan apabila:
a. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan
Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis.
b. Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus.
c. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam
keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Surat Paksa sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak.
b. Dasar Penagihan.
c. Besarnya Utang Pajak.
d. Perintah untuk membayar.
Surat Paksa yang diterbitkan oleh Pejabat (Kepala Kantor Pelayanan Pajak/
Kepala KPPBB) mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama
dengan grosse akte, yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Oleh karena itu, pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak
oleh Jurusita Pajak harus dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan
kedua belah pihak menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Surat Paksa (yang
sekurang-kurangnya memuat hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa, nama
Jurusita Pajak, nama yang menerima, dan tempat pemberitahuan Surat Paksa) sebagai
pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan. Selanjutnya salinan Surat Paksa
diserahkan kepada Penanggung Pajak, sedangkan Surat Paksa yang asli disimpan di
kantor Pejabat.
Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
a. Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang
memungkinkan.
b. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha
Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat
dijumpai.
c. Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta
peninggalannya, apabila wajib pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum
dibagi.
d. Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah
dibagi. Terhadap Wajib Pajak yang meninggal dunia dan meninggalkan warisan yang
telah dibagi, Surat Paksa diterbitkan dan diberitahukan kepada masing-masing ahli
waris.Surat Paksa dimaksud memuat antara lain jumlah Utang Pajak yang telah
dibagi sebanding dengan besarnya warisan yang diterima oleh masing-masing ahli
waris. Dalam hal ahli waris belum dewasa, Surat Paksa diserahkan kepada wali atau
pengampunya.
Wajib Pajak dapat menolak (verzet) Surat Paksa atau dapat mengajukan gugatan
kepada badan Pengadilan Pajak, apabila terdapat hal-hal yang bersifat formal sebagai
berikut:
a. Surat Paksa disampaikan oleh seorang petugas yang bukan Jurusita Pajak yang telah
disumpah,
b. Surat Paksa dikirim melalui kantor pos, atau
c. Surat Paksa tidak ditandatangani oleh pejabat yang berwenang menerbitkan Surat
Paksa.
3. Penyitaan
Penyitaan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak untuk menguasai
barang Penanggung Pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut
peraturan perundang-unddangan yang berlaku.
Penyitaan tersebut dapat dilakukan baik terhadap barang bergerak maupun barang
tidak bergerak. Penyitaan barang bergerak meliputi mobil, perhiasan, uang tunai, dan
deposito berjangka, tabungan,saldo rekening koran, giro, obligasi, saham, atau surat
berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain. Penyitaan barang
tidak bergerak meliputi tanah, bangunan, dan kapal yang bobotnya 20 m3 atau lebih.
Pelaksanaan penyitaan terhadap barang bergerak lebih memprioritaskan pada proses
penagihan pajak dengan melakukan penyitaan asset Penanggung Pajak berupa monetary
assets seperti deposito berjangka, saldo rekening Koran, giro, piutang, obligasi, saham dan
surat berharga lainnya.
Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan pada barang bergerak, tetapi jika
barang bergerak yang dijumpai tidak mempunyai nilai atau harga yang memadai, maka
penyitaan dapat dilakukan terhadap barang tidak bergerak.
Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak Orang Pribadi termasuk
penyitaan terhadap barang milik istri, dan atau milik anak-anak yang masih menjadi
tanggungannya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi penghindaran penyitaan
terhadap barang-barang yang sebenarnya adalah milik Penanggung Pajak sendiri tetapi
diatasnamakan istri atau anaknya.
Penyitaan terhadap badan pada dasarnya dilaksanakan terhadap barang milik
perusahaan. Namun, apabila nilai barang tersebut tidak mencukupi, atau barang milik
perusahaan tidak dapat ditemukan, atau karena kesulitan dalam melaksanakan penyitaan
terhadap barang milik perusahaan, maka penyitaan dapat dilakukan terhadap barang-barang
milik pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, atau
ketua yayasan. Penyitaan dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan
cukup oleh Jurusita Pajak untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
Setiap melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan
Sita, yang merupakan pemberitahuan kepada Penanggung Pajak dan masyarakat bahwa
peguasaan barang Penanggung Pajak telah berpindah dari Penanggung Pajak kepada Pejabat,
yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak, dan saksi-saksi.
Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita dapat ditempelkan pada barang bergerak
maupun tidak bergerak yang disita, atau di tempat barang-barang itu berada, atau di tempat-
tempat umum. Barang yang disita tersebut diberi segel sita sebagai pengumuman bahwa
penyitaan telah dilaksanakan, baik dihadiri maupun tidak oleh Penanggung Pajak. Segel sita
memuat sekurang-kurangnya:
(i) kata DISITA;
(ii) Nomor dan tanggal Berita Acara Pelaksanaan Sita;
(iii) Larangan untuk memindahtangankan, memindahkan hak, meminjamkan, dan
merusak barang yang disita.
Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan kepada:
a. Penanggung Pajak.
b. Polisi, untuk barang bergerak yang kepemilikannya terdaftar.
c. Badan Pertanahan Nasional, untuk tanah yang kepemilikannya sudah terdaftar.
d. Pemerintah Daerah dan Pengadilan Negeri setempat, untuk tanah yang
kepemilikannya belum terdaftar.
e. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, untuk kapal.
Apabila pihak lain (seperti, Pengadilan Negeri atau Panitia Urusan Piutang Negara)
telah melakukan penyitaan , maka Jurusita Pajak hanya menyampaikan Surat Paksa kepada
instansi yang melakukan penyitaan tersebut dan tidak melakukan penyitaan lagi.
Jurusita Pajak dapat melakukan penyitaan tambahan apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
a. Nilai barang yang disita nilainya tidak cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak;
b. Hasil dari lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi utang pajak dan
biaya penagihan pajak.
Terhadap barang yang sudah disita, dapat dicabut apabila terjadi salah satu dari tiga
hal berikut ini:
a. Penanggung pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak;
b. Ada putusan pengadilan atau ada putusan badan peradilan pajak;
c. Ada ketentuan lain yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan
Kepala Daerah. Misalnya ada objek sita yang terbakar, hilang, atau musnah
.
Yang dimaksudkan di atas dengan putusan pengadilan adalah putusan hakim dari
peradilan umum, misalnya putusan atas sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang
yang disita, sedangkan putusan badan peradilan pajak, misalnya putusan atas gugatan
Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan sita.
4. Pelelangan
Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum yang dipimpin oleh Pejabat
Lelang dengan carapenawaran harga secara terbuka/ lisan dan atau tertutup/tertulis yng
didahului dengan pengumuman lelang.
Pengumuman lelang dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah penyitaan.
Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan satu kali dan untuk barang tidak
bergerak dilakukan dua kali. Pelaksanaan lelangnya dilakukan sekurang-kurangnya 14 hari
setelah pemgumuman lelang. pejabat dan jurusita pajak beserta keluarganya tidak
diperbolehkan membeli barang sitaan yang dilelang.
Pelaksanaan lelang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara. Lelang tidak dilaksanakan
apabila penanggung pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak atau
berdasarkan putusan pengadilan atau putusan badan peradilan pajak atau objek lelang
musnah.
Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan
pajakyang belum dibayar dan sisanya untuk membayar utang pajak. Apabila hasil lelang
sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak,
maka pelaksanaan lelang dihentikan dan sisa barang kelebihan uang hasil lelang
dikembalikan oleh pejabat kepada penangung pajak paling lambat tiga hari setelah
pelaksanaan lelang.
Tidak semua objek yang telah disita dapat dilakuka lelang. Pasal 2 PP No. 136 Tahun
2000 menyebutkan adanya objek sita yang dikecualikan dari lelang, yaitu:
a. Uang tunai;
b. Surat-surat berharga berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran,
obligasi, saham, atau suratberharga lainnya, piutang an penyertaan modal pada
perusahaan lain;
c. Barang mudah rusak atau cepat busuk.
Barang yang disita yang dikecualikan dari penjualan secara lelang digunakan untuk
membayar biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan cara:
a. Uang tunai disetor ke kas Negara atau kas daerah
b. Deposito berjangka, tabungan, saldo rekening Koran, giro, atau bentuk lainnya
yang disamakan dengan itu dipindakkan ke kas Negara atau kas daerah atas
permintaan pejabat kepada bank yang bersangkutan
c. Obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan di bursa efek
di jual di bursa efek atas permintaan pejabat
d. Obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di bursa
efek segera dijual oleh pejabat
e. piutang yang hak menagihnya beralih kepada Pejabat berdasarkan berita acara
persetujuan pengalihan hak, dijual oleh Pejabat kepada pembeli;
f. penyertaan modal pada perusahaan lain yang penguasaannya beralih kepada
Pejabat berdasarkan akte persetujuan pengalihan hak, dijual oleh Pejabat kepada
pembeli;
g. hasil penjualan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada huruf c, huruf d, dan
huruf e disetor ke kas negara atau kas daerah;
2) Penyanderaan
Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak
dengan menempatkannya di tempat tertentu. Masa penyanderaan paling lama 6 (enam)
bulan dan dapat diperpanjang selama lamanya 6 (enam) bulan.
Sandera (paksa badan) termasuk lingkup hukum eksekusi yang hanya dapat
dijalankan setelah ada putusan pengadilan dalam pokok perkara perdata. Sandera
dimaksudkan untuk mengugah rasa malu seseorang atau keluarganya.
Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam hal Penanggung Pajak sedang
beribadah, atau sedang mengikuti sidang resmi, atau sedang mengikuti pemilihan umum.
Penyanderaan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan
yang diterbitkan oleh Pejabat (Kepala KPP/KPPBB) setelah memperoleh izin dari
Menteri Keuangan untuk penagihan pajak pusat atau dari Gubernur untuk penagihan
pajak daerah.
Segala biaya yang terjadi seperti biaya hidup selama dalam penyanderaan di
rumah tahanan Negara dan biaya penangkapan menjadi bebang Penanggung Pajak dan
akan diperhitungkan sebagai biaya penagihan pajak.
Penanggung pajak yang disandera dapat dilepas apabila:
1. Utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas,
2. Jangka waktu yang ditetapkan dalam surat perintah penyanderaan itu telah terpenuhi,
3. Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap,
4. Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan atau Gubernur.
5.
Penanggung pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap
pelaksanaan penyanderaan hanya ke Pengadilan Negeri. Dalam hal gugatan Penanggung
pajak dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
Penanggung Pajak dapat memohon rehabilitasi nama baik dang anti rugi atas masa
penyanderaan yang telah dijalaninya sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) setiap
hari. Penanggung pajak tidak dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan
penyanderaan setelah masa penyanderaan berakhir.
8. Gugatan
Gugatan adalah suatu upaya hukum terhadap pelaksanaan penagihan pajak dan
kepemilikan barang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Gugatan
terhadap pelaksanaan penagihan pajak ini hanya meliputi gugatan atas pelaksanaan Surat
Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, lelang, maupun penyanderaan. Penanggung
Pajak dapat mengajukan gugatan atas pelaksanaan penagihan pajaknya kepada Pengadilan
Pajak. Sedangkan gugatan atas kepemilikan barang yang disita diajukan ke Pengadilan
Negeri.
Gugatan diajukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak Surat Paksa, Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau pengumuman lelang dilaksanakan. Jangka waktu 14
hari dihitung sejak dilakukannya pemberitahuan Surat Paksa. Untuk sita, dihitung sejak
pembuatan Berita Acara Pelaksanaan Sita. Untuk lelang, dihitung sejak Pengumuman
Lelang.
Piutang pajak untuk Wajib Pajak Badan yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih
lagi, disebabkan beberapa hal, yaitu:
a. Wajib Pajak bubar,likuidasi, atau pailit dan pengurus, direksi, komisaris, pemegang
saham, pemilik modal, atau pihak lain yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau
likuidator, atau kurator tidak dapat ditemukan;
b. Wajib Pajak dan.atau Penanggung Pajak tidak mempunyai harta kekayan lagi;
c. Penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian Salinan Surat
Paksa kepada dan pengurus, direksi, likuidator , kurator, pengadilan negeri, pengadiln
niaga, atau Pemerintah Daerah Setempat;
d. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa;
e. Sebab lain sesuia hasil penelitian.
Apabila Wajib Pajak yang meninggal dunia meninggalkan harta warisan da
mempunyai ahli waris, mak tindakan penagihannya dapat dirujukan kepada ahli warisnya
atau kepad apelaksan surat wasiat. Namun apabila yang meninggal dunia meningglkan harta
warisan tetapi tidak mempunyai ahli waris, maka harta warisan akan dikeola oleh Balai
Harta Peninggalan (BHP), dengan demikian penagihannya dapat ditujukan kepada Balai
Harta Peniggalan. Kemungkinan lain bila Wajib Pajka yang meninggal dunia tidak
meninggalkan harta warisan tetapi mempunyai ahli waris, tindakan penagihannya tetap
dilakukan kepada ahli warisnya.
Penelitian yang dapat dilakukan adalah penelitian setempat atu penelitian
administrasi. Penelitian setempat dilakukan dengan mendatangi alamat dan kondisi nyata
Wajib Pajak. Penelitian administrasi dilakuakn berdasarkan data yang ada di kantor pajka
saja, tanpa perlu melihat keberadaan alamat dan kondisi nyata Wajib Pajak.
Tata cara penghapusan piutang pajak sendiri diatur dalam KEP-625/PJ./2001, yang berisi:
a. Setiap bulan wajib dilakukan inventarisasi piutang-piutang pajak yang diperkirakan tidak
dapat ditagih lagi. Atas piutang tersebut dilakukan penelitian yang hasilnya dituangkan
dalam Laporan Hasil Penelitian Setempat atau Laporan Hasil Penelitian Administrasi.
b. Setiap akhir tahun takwim, Kepala KPP mengirim Daftar Usulan Penghapusan Piutang
Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kanwil DJP, paling lambat tang 10
Januari tahun takwim berikutnya.
c. Kemudian Dirjen Pajak membuat dan menyampaikan Konsep Keputusan Menteri
Keuangan dan Lampirannya kepada Menteri Keuanagan.
d. Setelah Menteri Keuangan menandatangani keputusan dimaksud, maka Kepala KPP
membuat petikan Keputusan Menteri Keuangan tentang pengahapusan Piutang pajak
dari Salinan Keputusan Menteri Keuangan yang diterimanya.
Jadi, yang berwenang untuk menghapuskan piutang pajak adalah Menteri Keuangan.
2) Latihan
1. Apa yang menjadi dasar hukum penagihan pajak dan mengapa penagihan pajak disebut
benteng terakhir (kaitkan dengan sistem pemungutan pajak)?
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Surat Paksa dalam penagihan pajak! Apa fungsi
penagihan pajak dengan surat paksa?
3. Di dalam penagihan pajak, maka subjek yang ditagih adalah Penanggung Pajak. Coba
jelaskan apa yang dimaksud dengan Penanggung Pajak dan mengapa demikian ketentuan
mengaturnya?
4. Jelaskan apakah setiap penagihan pajak harus selalu diakhiri dengan pelelangan harta
penanggung pajak apabila utang pajak tidak dilunasi?
5. Jelaskan tentang tindakan pencegahan dan tindakan penyanderaan dalam pelaksanaan
penagihan pajak!
6. Jelaskan pengertian serangkaian dalam pelaksanaan tindakan penagihan pajak!
7. Gambarkan bagan penagihan pajak dengan surat paksa beserta tenggang waktunya, dari
terbitnya SKP sampai dengan Pelelangan!
XII. KEGIATAN BELAJAR 11
PEMERIKSAAN PAJAK
1) Uraian dan Contoh
A. Pengertian Pemeriksaan
Definisi pemeriksaan menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, adalah sebagai berikut:
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia
sekarang ini menuntut Direktorat Jenderal Pajak untuk selalu melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap Wajib Pajak. Salah satu bentuk pengawasan tersebut adalah melalui
pemeriksaan. Kewenangan Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan tersebut
diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan. Pemeriksaan merupakan salah satu bentuk tindakan hukum yang dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam hal terdapat dugaan bahwa Wajib Pajak tidak
memenuhi kewajiban perpajakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Walaupun Direktorat Jenderal Pajak diberikan kewenangan untuk melakukan
pemeriksaan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, namun ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan juga membatasi kewenangan tersebut agar
pemeriksaan tersebut tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Oleh sebab itu terdapat 2
(dua) hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pemeriksaan pajak, yaitu:
a. Kebijakan umum pemeriksaan pajak;
b. Tata Cara Pemeriksaan, yang diatur dalam:
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 199/PMK.03/2007 tanggal 28
Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak;
Dengan peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Direktur Jenderal Pajak, yaitu sebagai
berikut:
1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 19/PJ/2008 tanggal 2 Mei 2008 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan;
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 20/PJ/2008 tanggal 2 Mei 2008 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Kantor;
E. Pembatalan Pemeriksaan
Hasil Pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan dapat dibatalkan
apabila pemeriksaannya dilaksanakan tanpa:
a. Penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;atau
b. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan
Pembatalan tersebut diatas dapat dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Pajak baik
secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Atas pembatalan tersebut, proses pemeriksaannya harus dilanjutkan dengan
melaksanakan prosedur penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan dan/atau
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
Kelanjutan pemeriksaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan dan/atau Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dilaksanakan setelah
diterimanya surat keputusan pembatalan.
Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan, yaitu 1 (satu) bulan untuk pemeriksaan lapangan atau 3
(tiga) minggu untuk pemeriksaan kantor. Apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan, tim
pemeriksa sudah mengalami perubahan, harus diterbitkan Surat Tugas.
2)Latihan
1. Apa yang menjadi objek pemeriksaan?
2. Apa yang menjadi tujuan dari pemeriksaan?
3. Apakah di dalam sistem perpajakan ayng menganut sistem self assessment, Direktur
Jenderal Pajak bebas untuk melakukan pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak?
4. Mengapa Surat Pemberitahuan Lebih Bayar (dalam rangka penerbitan SKPLB) harus
dilakukan melalui pemeriksaan pajak? Jelaskan!
5. Jelaskan apa yang menjadi hak Wajib Pajak yang diperiksa dalam pemeriksaan pajak?
6. Jelaskan apa yang menjadi kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa dalam pemeriksaan
pajak?
7. Berapa lamakah jangka waktu pemeriksaan pajak, baik pemeriksaan kantor maupun
pemeriksaan lapangan?
XIII. KEGIATAN BELAJAR 12
PERADILAN ADMINISTRASI PAJAK
1) Uraian dan Contoh
A. Pengertian
Peradilan administrasi pajak adalah upaya hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak
dalam rangka mencari keadilan terhadap surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh:
1. Direktur Jenderal Pajak, untuk pajak-pajak pusat, antara lain
a. SKPKB;
b. SKPKBT;
c. SKPLB;
d. SKPN;
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.
2. Kepala Daerah, untuk pajak-pajak daerah
a. Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD);
b. SKPDKB;
c. SKPDKBT;
d. SKPDLB;
e. SKPN;
f. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.
B. Sengketa Pajak
Upaya mencari keadilan dengan peradilan administrasi pajak timbul karena adanya
sengketa pajak antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak. Sengketa pajak ini
dijadikan sebagai dasar-dasar umum di dalam pengajuan ke Peradilan Administrasi Pajak.
Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib
Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan
berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. (Pasal 1 angka 5 UU No.
14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak)
Sengketa Pajak timbul dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak atau diterbitkannya
surat tindakan penagihan pajak. Penerbitan SKPKB seringkali menimbulkan sengketa,
Namun penerbitan SKPLB dan SKPN pun juga dapat menimbulkan sengketa jika fiskus
menerbitkan SKPLB dengan nilai lebih kecil dari nilai SKPLB yang diharapkan Wajib
Pajak. Penerbitan SKPN juga demikian apabila menurut perhitungan Wajib Pajak seharusnya
diterbitkan SKPLB.
Selain itu sengketa pajak juga bisa timbul karena adanya pemotongan atau pemungutan
yang dilakukan oleh pihak ketiga.
Upaya hukum untuk menyelesaikan sengketa pajak yang dapat dilakukan oleh Wajib
Pajak adalah:
1. Keberatan
Dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
kemungkinan terjadi bahwa wajib pajak (WP) merasa kurang puas atas suatu ketetapan
pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan pihak ketiga. Dalam
hal ini WP dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak melalui KPP dimana Wajib
Pajak tersebut terdaftar.
Upaya hukum keberatan dilakukan masih berada dalam lingkungan lembaga yang
sama yaitu Direktorat Jenderal Pajak. Peradilan administrasi seperti ini lazim disebut
quasi peradilan/peradilan doleansi (peradilan administrasi tidak murni), dimana:
a. Tidak ada sidang peradilan;
b. Tidak ada panitera sidang;
c. Tidak ada saksi maupun saksi ahli;
d. Tidak mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa;
e. Tidak ada pembacaan keputusan; dan
f. Keputusan dibuat oeh Pejabat yang menerbitkan surat ketetapan.
Ketentuan mengenai keberatan diatur dalam Pasal 25 UU KUP dengan peraturan
pelaksanaannya pada Peraturan Menteri Keuangan No.194/PMK.03/2007. Pasal 25 UU
KUP No. 28 Tahun 2007 secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
Ayat (1): Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal
Pajak atas suatu:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
Ayat (2): Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau
dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan
disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.
Ayat (3): Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau
pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib
Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi
karena keadaan di luar kekuasaannya.
Ayat (3a): Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak,
Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
Ayat (4): Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan
sehingga tidak dipertimbangkan.
Ayat (5): Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat
Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda
pengiriman surat keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau
melalui cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
Ayat (6): Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan,
Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal
yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan
atau pemungutan pajak.
Ayat (7): Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah
pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai
dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
Ayat (8): Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
Ayat (9): Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib
Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan
pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Ayat (10): Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi
berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada
ayat (9) tidak dikenakan.
Dalam hal surat keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak belum memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf f,
Wajib Pajak dapat menyampaikan perbaikan surat keberatan dengan melengkapi
persyaratan yang belum dipenuhi sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e terlampaui.
Dalam hal WP menyampaikan perbaikan surat keberatan, tanggal
penyampaian perbaikan surat keberatan merupakan tanggal surat keberatan
diterima.
Pengajuan keberatan yang tidak memenuhi persyaratan di atas, maka bukan
merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat
Keputusan Keberatan.
Keputusan Keberatan
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang
diajukan.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan
seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang
masih harus dibayar.
Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak
tidak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, keberatan yang diajukan Wajib Pajak
dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan Surat
Keputusan Keberatan sesuai dengan keberatan Wajib Pajak.
Apabila Dirjen Pajak mengeluarkan keputusan menolak keberatan Wajib Pajak,
maka pilihannya hanya ada dua, yaitu Wajib Pajak harustetap melunasi utang pajak
sebesar yang tercantum dalam keputusan keberatan atau Wajib Pajak dapat
mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.
2. Banding
Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau
penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Wajib Pajak dapat
mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat
Keputusan Keberatan.
Landasan hukum upaya banding adalah berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak dan Pasal 27 UU KUP No. 28 Tahun 2007. Pengadilan Pajak
adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi WP atau
penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Tugas Pengadilan
adalah memutuskan Sengketa pajak.
Menurut Pasal 27 ayat (2) UU KUP No. 28 Tahun 2007, putusan Pengadilan Pajak
merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Artinya, tidak dimungkinkan lagi Wajb Pajak mengajukan gugatan atas keputusan
keberatan maupun Pengadilan Pajak ke PTUN. Meskipun demikian, Wajib Pajak dapat
mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
Pasal 27 UU KUP No. 28 Tahun 2007 secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
Ayat (1): Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan
peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1).
Ayat (2): Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan
peradilan tata usaha negara.
Ayat (3): Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan
diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
Ayat (4): Dihapus.
Ayat (4a): Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan
banding, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara
tertulis halhal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang
diterbitkan.
Ayat (5): Dihapus.
Ayat (5a): Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat
(7), atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan,
tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan
Banding.
Ayat (5b): Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
Ayat (5c): Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding
belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding
diterbitkan.
Ayat (5d): Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib
Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen)
dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan
pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Ayat (6): Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal
23 ayat (2) diatur dengan undang-undang.
3. Gugatan
Gugatan adalah upaya hukum Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap
pelaksanaan penagihan pajak terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 23 ayat (2) UU KUP menyatakan bahwa Gugatan Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak terhadap:
a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman
Lelang;
b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang
ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
d. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam
penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam
ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan,
hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
2) Latihan
1. Jelaskan beberapa upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dan kemana
tuntutan tersebut harus diajukan?
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan sengketa pajak dan meliputi apa saja sengketa
pajak itu!
3. Jelaskan syarat-syarat pengajuan keberatan dan banding!
4. Apa saja yang dapat diajukan keberatan? Bagaimana tatacara mengajukan keberatan?
Kapan batas waktu penyelesaian keberatan?
5. Mengapa proses peradilan administrasi atas keberatan Wajib Pajak adalah suatu
bentuk quasi perasilan?
6. Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan Peninjauan Kembali?
XIV. KEGIATAN BELAJAR 13
PERADILAN PIDANA PAJAK
(Catatan: Pasal 13A berbunyi sebagai berikut, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya
tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana
apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut
wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang
kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.)
Pasal 39
Ayat (1): Setiap orang yang dengan sengaja:
a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak
atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap;
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29;
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya;
g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan
data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan
secara program aplikasi online di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (11); atau
i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar.
Ayat (2): Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2
(dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di
bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya
menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
Ayat (3): Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksudpada ayat (1) huruf d, dalam
rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau
pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah
restitusi yang dimohonkan dan/ataukompensasi atau pengkreditan yang dilakukan
dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.
Pasal 39A
Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang
sebenarnya; atau
b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam)
tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling
banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil,
kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut
serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan. Sehingga yang dipidana karena melakukan perbuatan tindak pidana di
bidang perpajakan tidak terbatas pada Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, kuasa Wajib Pajak,
pegawai Wajib Pajak, Akuntan Publik, Konsultan Pajak, atau pihak lain, tetapi juga
terhadap mereka yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang
menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Pasal 41
Ayat (1): Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima
juta rupiah).
Ayat (2): Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang
menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Ayat (3): Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
Pasal 41A
Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau
memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 41B
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
E. Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahakan perkara ke
Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan.
Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Sebelum berkas perkara dilimpahkan ke Pengadilan, penuntut umum mempelajari
berkas perkara dan dalam waktu 7 (tujuh) hari memberitahukan kepada penyidik apakah
hasil penyidikan telah siap dilimpahkan ke pengadilan atau masih harus dilengkapi lagi.
Apabila belum lengkap, maka berkas perkara dikembalikan ke penyidik untuk diengkapi
dengan dijelaskan hal-hal yang dianggap kurang. Jika kemudian telah lengkap dan
memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke pengadilan, maka penuntut umum segera
melimpahkan berkas perkara ke pengadilan dan memohon kepada pengadilan agar segera
diadili dengan disertai Surat Dakwaan. Turunan surat pelimpahan perkara beserta Surat
Dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasa hukumnya atau penasehat hukumnya
dann kepada penyidik.
2) Latihan
1. Siapa saja yang menjadi subjek dari tindak pidana di bidang perpajakan?
2. Jelaskan jenis-jenis tindak pidana di bidang perpajakan?
3. Siapa penyidik di dalam pelaksanaan penyidikan pajak?
4. Apakah di dalam peradilan pidana pajak seorang penyidik pajak sekaligus juga bertindak
sebagai penuntut perkara?
XV. KEGIATAN BELAJAR 14
2) Latihan
1. Apa yang dimaksud dengan pajak internasional? Apa yang dimaksud dengan tax treaty
(P3B)?
2. Jelaskan beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengurangi resiko kemungkinan
pengenaan pajak berganda?
3. Sebutkan sumber-sumber hukum pajak internasional?
4. Sebutkan subjek dan objek tax treaty?
5. Jelaskan sebab-sebab terjadinya pajak berganda internasional?
6. Jelaskanlah cara-cara yang bisa ditempuh untuk menghindari pajak berganda
internasional?
7. Bagaimana kedudukan tax treaty dalam tatanan hukum pajak di Indonesia?
5. Apa saja wewenang penyidik pajak?
6. Bagaimana menurut pendapat Anda mengenai sifat kealpaan dalam tindak pidana pajak
jika dikaitkan dengan Pasal 13A UU KUP?
7. Sebutkan 5 (lima) hal yang dapat menyebabkan penghentian penyidikan pajak?
8. Kapan daluwarsa tindak pidana di bidang perpajakan?