Anda di halaman 1dari 133

PENGANTAR PERPAJAKAN

I. PENDAHULUAN

A. Pengantar
..
B. Tujuan Intruksional Umum
Mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara adalah mahasiswa
kedinasan di bawah naungan Departemen Keuangan yang nantinya lulusannya
akan ditempatkan di Departemen Keuangan maupun instansi pemerintah lainnya.
Ketika menimba ilmu di STAN, mahasiswa diharapkan dapat fokus dalam
menekuni pendidikannya karena pada masa yang akan datang mahasiswa akan
ikut berperan sebagai bagian dari pejabat pengambil keputusan dan pembuat
kebijakan di Departemen Keuangan. Oleh karena itu para mahasiswa sudah
seharusnya:
a. Memahami masalah pengantar perpajakan sebagai dasar untuk
mempelajari mata kuliah perpajakan lebih jauh;
b. Memahami ketentuan-ketentuan yang dijadikan dasar pemungutan pajak;
c. Memahami alasan-alasan mengapa harus ada pemungutan pajak dalam
kehidupan bernegara;
d. Mengetahui peran dan fungsi pajak dalam pembangunan; dan tentunya
e. Mengetahui sejarah pengenaan pajak di Indonesia.

C. Tujuan Intruksional Khusus


Setelah mempelajari mata kuliah Pengantar Perpajakan, para mahasiswa
diharapkan mampu:
a. Berperan aktif maupun pasif dalam pengembangan ilmu perpajakan;
b. Menganalisis secara benar dan rasional permasalahan di bidang
perpajakan; dan
c. Dapat mengaplikasikan ilmu yang didapatnya demi kemaslahatan
keuangan negara.
II. KEGIATAN BELAJAR 1
SEJARAH PEMUNGUTAN PAJAK
1) Uraian dan Contoh

A. Terbentuknya Negara

B. Sejarah Perpajakan
Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma)
namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus
dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa. Saat itu,
rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa
padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain.
Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk keperluan atau
kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang
dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan
sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang
lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.
Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi
hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan
rakyat itu sendiri. Artinya pemberian kepada rakyat atau penguasa digunakan untuk
kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan,
pembangun saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan umum
lainnya.
Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian) yang
semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian
dibuat suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada,
namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur keadilan inilah
maka rakyat diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak,
yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.
Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan
cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu
sebagai berikut:
a. Ordonansi Pajak Rumah Tangga;
b. Aturan Bea Meterai;
c. Ordonansi Bea Balik Nama;
d. Ordonansi Pajak Kekayaan;
e. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor;
f. Ordonansi Pajak Upah;
g. Ordonansi Pajak Potong;
h. Ordonansi Pajak Pendapatan;
i. Undang-undang Pajak Radio;
j. Undang-undang Pajak Pembangunan I;
k. Undang-undang Pajak Peredaran.
Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara lain:
a. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;
b. UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan Undang-
undang No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti;
c. UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;
d. UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
e. UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs
atau Tata Cara MPS-MPO.
Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan
masyrakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa
undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa
keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983,
Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan
reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-
undang yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan
yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan
duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih
diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah
menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah:
a. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP);
b. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
c. UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM;
d. UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih menggunakan official
assessment);
e. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).
Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian
mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu
dengan undang-undang, yaitu:
a. UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;
b. UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994;
c. UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;
d. UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;

Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang


yang berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang
sudah ada, yaitu:
a. UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak;
b. UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
c. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
d. UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
e. UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan


untuk memberikan rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, maka pada
tahun 2000 pemerintah kembali mengubah undang-undang perpajakan, yaitu:
a. UU No. 16 Tahun 2000 tentang KUP;
b. UU No. 17 Tahun 2000 tentang PPh;
c. UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM;
d. UU No. 19 Tahun 2000 tentang PPSP;
e. UU No. 21 Tahun 2000 tentang BPHTB;
f. UU No. 34 Tahun 2000 tentang PDRD; serta
g. Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea
Meterai.

Kemudian pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan Penyelesaian


Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah
Agung maka dibentuklah suatu Pengadilan Pajak dengan UU No. 14 Tahun 2002
sebagai pengganti UU No. 17 Tahun 1997.
Perubahan terakhir undang-undang perpajakan baru-baru ini dilakukan pada
tahun 2007 dan 2008 yang menghasilkan UU KUP No. 28 Tahun 2007 yang berlaku
mulai tahun 2008 dan UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai tahun 2009.
Namun, dilatarbelakangi adanya sunset policy beberapa waktu lalu, maka UU KUP
diperbaharui lagi dengan adanya UU No. 16 Tahun 2009 sebagai penetapan Perpu
No. 5 Tahun 2008 yang hanya mengubah satu bunyi ketentuan Pasal 37A ayat (1)
UU KUP No. 28 Tahun 2007.UU PPN/PPNBM No. 42 tahun 2009 yg berlaku I
April 2010.

C. Pengertian Pajak dan Retribusi

1. Pengertian Pajak
Negara dalam menyelenggarakan pemerintahan mempunyai kewajiban
untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan,
keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan kehidupannya. Hal ini sesuai
dengan tujuan Negara yang dicantumkan di dalam Pembukaan UUD 1945 pada
alinea keempat yang berbunyi melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan keadilan sosial. Negara memerlukan dana untuk mewujudkan
tujuan tersebut, sehingga diperlukan dana yang tentunya didapat dari rakyat itu
sendiri melalui pemungutan pajak.
Kemudian dalam Pasal 23A UUD 1945 hasil amandemen disebutkan
bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara
diatur dengan undang-undang. Dengan kata lain, pajak harus berlandaskan
undang-undang, berarti pemungutan pajak tersebut telah mendapat persetujuan
dari rakyat melalui perwakilannya di DPR yang biasa disebut berdasarkan
yuridis. Asas ini telah memberikan jaminan hukum yang tegas akan hak
Negara dalam memungut pajak.
Dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1, disebutkan bahwa
pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Definisi mengenai pajak ini
baru diatur dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007. Dalam UU KUP sebelumnya,
tidak pernah diterangkan secara lugas mengenai pengertian pajak sebagai
kontribusi wajib kepada Negara.
Ada lima unsur yang melekat dalam pengertian pajak tersebut, yaitu:
a. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang;
b. Sifatnya dapat dipaksakan;
c. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh
pembayar pajak;
d. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat
maupun daerah;
e. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah
bagi kepentingan masyrakat umum.
Sifat pemungutan pajak yang dapat dipaksakan dapat dijelaskan dimana
uang yang dikumpulkan dari pajak akan dikembalikan kepada rakyat dalam
bentuk pembangunan serta pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Supaya
ada kepastian dalam proses pengumpulannya dan berjalannya pembangunan
secara berkesinambungan, maka sifat pemaksaannya harus ada dan rakyat itu
sendiri telah menyetujuinya dalam bentuk undang-undang. Unsur pemaksaan di
sini berarti apabila Wajib Pajak tidak mau membayar pajak, pemerintah dapat
melakukan upaya paksa dengan mengeluarkan suatu surat paksa agar Wajib
Pajak mau melunasi utang pajaknya.
Pertanyaannya adalah mengapa swasta tidak diperbolehkan melakukan
pemungutan pajak? Pertanyaan ini dapat dijawab bahwa yang menjalankan
roda pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat adalah pemerintah (baik
pusat maupun daerah). Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan tidak
ada maksud untuk mencari keuntungan, sedangkan swasta dalam melakukan
kegiatan usahanya bisa dikatakan selalu bersifat mencari keuntungan. Selain
itu, apa yang telah dilakukan pemerintah selalu dipertanggungjawabkan kepada
rakyat pada kurun waktu tertentu. Uang yang dikumpulkan dari pajak dan
pengeluarannya dilakukan melalui mekanisme kontrol setiap tahun yang
dikenal dengan nama APBN/APBD. Dari APBN/APBD tersebut dapat
diketahui untuk keperluan apa saja uang pajak itu digunakan.
2. Pengertian Retribusi
Pungutan lain yang bersifat memaksa seperti retribusi pada dasarnya
memiliki ciri yang sama dengan pajak, kecuali dalam hal imbalannya yang
langsung dapat dirasakan oleh pembayar retribusi. Unsur yang melekat pada
pengertian retribusi adalah:
a. Pungutan retribusi harus berdasarkan undang-undang;
b. Sifat pungutannya dapat dipaksakan;
c. Pemungutannya dilakukan oleh Negara;
d. Digunakan untuk pengeluaran bagi masyarakat umum; dan
e. Kontra-prestasi (imbalan) langsung dapat dirasakan oleh pembayar
retribusi.

Umumnya pungutan atas retribusi diberikan atas pembayaran berupa jasa


atau pemberian izin tertentu yang disediakan oleh pemerintah kepada setiap
orang atau badan. Karena kontra-prestasinya langsung dapat dirasakan, maka
dari sudut sifat paksaanya lebih mengarah pada hal yang bersifat ekonomis.
Apabila manfaat ekonomisnya telah dirasakan tetapi retribusinya tidak dibayar,
maka secara yuridis pelunasannya dapat dipaksakan seperti halnya pajak.

D. Peran dan Fungsi Pajak dalam Pembangunan

1. Peran Pajak
Mengapa kita harus membayar pajak? Jawaban yang bisa timbul adalah
kita membayar pajak agar tersedia sarana (fasilitas) umum yang dapat
digunakan bersama atau kita membayar pajak karena kita sudah terlebih
dahulu menikmati sarana umum tersebut.
Penyediaan sarana dan prasarana publik yang kita manfaatkan hanya
dapat terjadi karena peran pemerintah yang membutuhkan pengorbanan besar
mengumpulkan dana guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kemakmuran
generasi mendatang sangat tergantung pada investasi generasi sekarang ini
berupa padaberupa penyediaan segala macam sarana dan prasarana yang
dibutuhkan untuk menggerakkan roda ekonomi. Semua sarana dan prasarana
umum tersebut hanya dapat tersedia bila ada pajak.
Hanya melalui sumber pembiayaan dari pajak maka Negara dapat
menyediakan sarana dan prasarana untuk masyarakatnya. Swasta tidak
mungkin bisa melakukan apa yang dapat dilakukan oleh Negara, karena konsep
bisnis atau usaha yang dilakukan oleh swasta hanya untuk kepentingan
sekelompok mereka saja. Untuk itu pembayaran pajak yang kita lakukan adalah
guna meningkatkan tingkat kehidupan generasi mendatang. Dengan kata lain,
kemajuan suatu bangsa amat ditentukan melalui kesadaran memahami dan
membayar pajak dengan benar.
Dalam APBN yang dibuat oleh pemerintah terdapat tiga sumber
penerimaan yang menjadi pokok andalan, yaitu:
a. Penerimaan dari sektor pajak;
b. Penerimaan dari sektor migas; dan
c. Penerimaan dari sektor bukan pajak.

Penerimaan dari sektor pajak merupakan salah satu sumber penerimaan


terbesar Negara. Penerimaan dari migas, yang dahulu selalu menjadi andalan
penerimaan Negara, sekarang ini sudah tidak bisa diharapkan sebagai sumber
penerimaan keuangan Negara yang terus menerus karena sifatnya yang tidak
dapat diperbarui (non renewable resources). Penerimaan migas pada suatu
waktu akan habis sedangkan pemnerimaan pajak selalu dapat diperbarui sesuai
dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat itu sendiri.
Besarnya peranan pajak kiranya perlu ditanamkan dalam diri setiap orang
agar dalam pelaksanaannya dapat menjadi suatu kebanggaan tersendiri karena
telah ikut serta memberikan kontribusinya dalam pembangunan nasional.
2. Fungsi Pajak
Dalam dunia perpajakan, sering disebutkan bahwa fungsi pajak ada dua
yaitu fungsi budgeter dan regulerend. Namun dalam perkembangannya fungsi
pajak tersebut dapat dikembangkan dan ditambah dua fungsi lagi yaitu fungsi
demokrasi dan fungsi redistribusi.
Fungsi budgeter adalah fungsi yang letaknya di sektor publik, yaitu
fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan
peraturan-peraturan yang berlaku, yang pada waktunya akan digunakan untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara.
Fungsi regulerend adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan
digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang
letaknya di luar bidang keuangan. Dalam hal ini, pajak berfungsi sebagai alat
pengatur keadaan sosial dan ekonomi. Salah satu contohnya yaitu adanya
pengenaan pajak dengan tarif yang tinggi untuk PPnBM.
Fungsi demokrasi dari pajak adalah suatu fungsi yang merupakan salah
satu penjelmaan atau wujud sistem gotong royong dalam kegiatan
pemerintahan dan pembangunan demi kemaslahatan manusia. Fungsi
demokrasi pada masa sekarang ini sering dikaitkan dengan hak seseorang
dalam memperoleh pelayanan dari pemerintah. Apabila seseorang telah
melakukan kewajiban membayar pajak kepada Negara sesuai ketentuan yang
berlaku, maka ia mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari
pemerintah. Bila pemerintah tidak memberikan pelayanan yang baik, pembayar
pajak bisa melakukan protes (complaint) terhadap pemerintah.
Fungsi redistribusi yaitu fungsi yang lebih menekankan pada unsur
pemerataan dan keadilan dalam masyrakat. Hal ini dapat terlihat misalnya
dengan adanya tarif progresif pada undang-undang pajak yang mengenakan
pajak lebih besar kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan besar dan
pajak yang lebih kecil kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan lebih
sedikit (kecil).

2) Latihan
1. Ada 4 (empat) perubahan pokok yang terjadi di dalam reformasi perundang-
undangan perpajakan Tahun 1983. Jelaskan keempat perubahan pokok tersebut dan
perkembangan terbarunya saat ini, baik yang sudah diundangkan maupun yang masih
berupa rancangan undang-undang!
2. Jelaskan seberapa perlu memahami sejarah hukum pajak bagi para pelaksana hukum
pajak!
3. Jelaskan pengertian dan fungsi dari pajak dan retribusi!
4. Dalam definisi pajak, kita dapat mengetahui 5 (lima) cirri yang melekat pada pajak.
Sebutkan dan jelaskan kelima cirri tersebut!
5. Mengapa pengertian pajak baru disebutkan pada UU KUP No. 28 Tahun 2007 dan
tidak pernah disebutkan pada UU KUP sebelum-sebelumnya. Berikan alasan dan
pendapat Anda mengenai hal ini!
III. KEGIATAN BELAJAR 2

DASAR PERPAJAKAN

1) Uraian dan Contoh

A. Pengertian
Hukum pajak, dalam bahasa Inggris, disebut tax law. Dalam bahasa Belanda,
hukum pajak disebut belasting recht. Di Indonesia, selain digunakan istilah hukum
pajak, juga digunakan istilah hukum fiskal. Sebenarnya hukum pajak dengan hukum
fiskal memiliki substansi yang berbeda. Hukum pajak hanya sekadar membicarakn
tentang pajak sebagai objek kajiannya, sedangkan hukum fiskal meliputi pajak dan
sebagian keuangan Negara sebagai objek kajiannya.
Hukum pajak dalam arti luas adalah hukum yang berkaitan dengan pajak. Hukum
pajak dalam arti sempit adalah seperangkat kaidah hukum tertulis yang memuat sanksi
hukum. Hukum pajak sebagai bagian ilmu hukum tidak lepas dari sanksi hukum sebagai
substansi di dalamnya agar Pejabat Pajak maupun Wajib Pajak menaati kaidah hukum.
Sanksi hukum yang dapat diterapkan berupa sanksi administrasidan sanksi pidana.
Hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara
pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak (Rochmat
Soemitro, 1979:2425). Dengan kata lain, hukum pajak menerangkan :
a. Siapa-siapa Wajib Pajak (subjek pajak);
b. Objek-objek apa yang dikenakan pajak (objek pajak);
c. Kewajiban Wajib Pajak terhadap pemerintah;
d. Timbulnya dan hapusnya utang pajak;
e. Cara penagihan pajak;
f. Cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan pajak
Undang-undang No. 28 Tahun 2007 (UU KUP) tidak menyebutkan pengertian
hukum pajak, melainkan hanya menyatakan kedudukannya sebagai ketentuan umum
bagi peraturan perundang-undangan perpajakan yang lain. UU KUP merupakan
kaderwet yang berfungsi sebagai payung terhadap undang-undang pajak yang sifatnya
sektoral.
Pengertian hukum pajak dapat memberi petunjuk bagi penegak hukum pajak dalam
menggunakan wewenang dan kewajibannya untuk menegakkan hukum pajak.
Sebaliknya, dapat dijadikan pedoman bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban
dan menggunakan hak dalam rangka memperoleh perlindungan hukum sebagai
konsekuensi dari penegakan hukum pajak.
Penegakan hukum pajak di dalam lembaga peradilan dilakukan melalui lembaga
peradilan pajak mauapun lembaga peradilan umum. Penegakkan hukum pajak melalui
lembaga peradilan pajak tertuju pada penyelesaian sengketa pajak dan dilakukan dalam
Lembaga Keberatan, Pengadilan Pajak, dan Mahkamah Agung, atau hanya Pengadilan
Pajak dan Mahkamah Agung saja. Penegakan hukum pajak melalui lembaga peradilan
umum tertuju pada penyelesaian tindak pidana pajak dan dilakukan oleh Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Sedangkan penegakan hukum pajak
di luar lembaga peradilan dilakukan oleh Pejabat Pajak dengan menggunakan wewenang
berupa menerbitkan surat ketetapan pajak dan surat keputusan yang terkait dengan
penagihan pajak.

B. Sumber Hukum Pajak


Dalam ilmu hukum, sumber hukum dapat berbentuk tertulis maupun tidak tertulis,
yang meliputi:
1. Sumber hukum Material
Yaitu faktor-faktor yang membantu pembentukan hukum (hukum pajak), misalnya
faktor-faktor yang berupa hubungan sosial, politik, ekonomi, maupun hubungan
internasional.
2. Sumber hukum Formal
Yaitu sumber dari mana suatu peraturan hukum memperoleh kekuatan hukum atau
cara yang menyebabkan peraturan hukum tersebut berlaku secara formal. Misalnya,
peraturan perundang-undangan (asas Pancasila, UUD 1945, dll), kebiasaan, traktat
(Tax Treaty), Yurisprudensi, dan Doktrin.
Namun, dalam hukum pajak tidak dikenal sumber hukum yang tidak tertulis karena
bedasarkan pengertian hukum pajak, kaidah hukum pajak hanya lahir karena tertulis dan
tidak dilakukan secara kebiasaan. Dengan demikian, kebiasaan sebagai sumber hukum
pada umumnya tidak dikenal dalam hukum pajak.
Pancasila merupakan sumber hukum dasar nasional yang menjiwai peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. Pancasila memiliki kedudukan sebgai alat
penguji terhadap sumber hukum tertulis, apakah sudah sesuai atau malah bertentangan
dengan Pancasila. Pancasila merupakan tolok ukur untuk menentukan kebenaran
substansi hukum yang terkandung dalam setiap Undang-undang Pajak.
Sumber hukum pajak yang sifatnya tertulis, terdiri dari:
1. UUD 1945
Sebelum amandemen UUD 1945, ketentuan mengenai pajak diatur pada Pasal
23 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi segala pajak untuk keperluan negara harus
berdasarkan undang-undang. Ketentuan ini mengandung asas legalitas yang
meletakkan kewenangan pada negara untuk memungut pajak apabila negara
membutuhkannya, tetapi dengan syarat harus berdasarkan undang-undang. Tidak ada
pajak tanpa persetujuan antara rakyat melalui wakilnya di dalam Dewan Perwakilan
Rakyat dengan Pemerintah yang diatur dengan undang-undang atau No taxation
without representation.
Setelah UUD 1945 diamandemen, ternyata ketentuan mengenai pajak
mengalami perubahan yang sangat prinsipil. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 23A
UUD 1945 yag berbunyi pajak dan pugutan yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang. Terdapat perubahan yang
prinsipil karena bukan hanya pajak, melainkan pungutan yang bersifat memaksa juga
harus diatur dengan undang-undang. Hal ini merupakan suatu perkembangan positif
agar tidak ada kesewenang-wenangan dalam pembebanan pungutan yang bersifat
memaksa kepada warga negara.

2. Perjanjian Perpajakan
Tiap negara memiliki peraturan pajak yang berbeda dengan negara lain yang
menyebabkan mudahnya terjadi pengenaan pajak ganda internasional sehingga
menimbulkan beban yang tinggi terhadap Wajib Pajak. Untuk mengatasi hal tersebut,
negara-negara yang berkepentingan mengadakan perjanjian penghindaran pajak
internasional agar Wajib pajak dari tiap negara yang bersangkutan tidak dikenakan
pajak ganda. Selain itu, perjanjian perpajakan juga dapat mencegah terjadinya
penghindaran pajak (tax avoidance) dan penyelundupan pajak (tax evasion).
Wujud perjanjian perpajakan yang dilakukan Indonesia adalah dalam bentuk
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), baik perjanjian itu bersifat bilateral
maupun multilateral, mengenai tarif atas bunga, deviden, royalti, dan sebagainya.
Contoh kasus:
Berdasarkan ketentuan Pasal 26 UU PPh, tarif pemotongan pajak atas bunga
yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri adalah sebesar 20% dari bunga
bruto. Sementara itu, berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (2) Perjanjian
Penghindaran Pajak Ganda antara Indonesia dengan Polandia, besarnya tarif
pemotongan adalah 10% dari jumlah kotor bunga. Maka, sesuai dengan asas lex
specialis derogate legi generalis, yang diberlakukan adalah Ketentuan dalam Pasal 11
ayat (2) P3B tersebut.
3. Yurisprudensi Perpajakan
Yurisprudensi perpajakan adalah putusan pengadilan mengenai perkara pajak
yang meliputi sengketa pajak dan tindak pidana pajak yang telah memiliki kekuatan
hukum yang tetap. Putusan pengadilan yang terkait dengan sengketa pajak adalah
Putusan Pegadilan Pajak maupun Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan
hukum mengikat para pihak yang bersengketa, sedangkan putusan pengadilan yang
terkait dengan tindak pidana pajak adalah Putusan Pengadilan dalam Lingkungan
Peradilan Umum maupun Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum
mengikat.

4. Doktrin Perpajakan
Agar doktrin dapat menjadi sumber hukum pajak, substansinya harus berada
dalam konteks di bidag perpajakan yang dikemukakan ahli hukum pajak, mengingat
substansi hukum yang terkandung dalm hukum pajak memiliki perbedaan yang
sangat prinsipil dengan hukum lainnya karena hukum pajak memiliki ciri khas
tersendiri.
Pendapat ahli hukum pajak, untuk saat ini, belum dapat diharapkan untuk
menunjangpengembngan hukum pajak. Hal ini disebabkan karena kelangkaan ahli
hukum pajak yang dapat memberi corak tersendiri dalam perkembangan hukum
pajak.

C. Kedudukan Hukum Pajak


Pembagian hukum sesuai civil law system (sistem hukum Romawi/ Eropa
Kontinental) memberikan pemisahan yang tegas antara hukum privat dan hukum publik.
Hukum privat mengatur sekalian perkara yang berisi hubungan antara sesama warga
negara dalam kedudukasn yang sederajat, seperti masalah perkawinan, waris, keluarga,
dan perjanjian. Sedangkan hukum publik mengatur kepentingan umum, seperti hubungan
antara warga negara dengan negara. Hukum publik berurusan dengan hal-hal yang
berhubungan dengan masalah kenegaraan serta bagaimana negara itu melaksanakan
tugasnya.
Hukum yang masuk ke dalam bagian hukum privat, misalnya hukum perdata,
hukum dagang, hukum perkawinan, dan sebagainya. Hukum yang masuk ke dalam
hukum publik, misalnya hukum tata negara, hukum administrasi (hukum tata usaha
negara), hukum pidana, dan hukum internasional. Berdasarkan pembagian hukum
tersebut, ternyata hukum pajak tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam kandungan
hukum administrasi sebagai bagian dari hukum publik.
Hukum pajak merupakan bagian dari hukum administrasi, yang merupakan
segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan serta
wewenang dari lembaga-lembaga negara serta aparaturnya dalam melaksanakan tugas
administrasi. Jika hukum publik mengatur hubungan antara pemerintah (selaku penguasa)
dengan rakyatnya, hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah selaku pemungut
pajak dengan rakyatnya sebagai Wajib Pajak.
Dalam kenyataannya, tidak dapat dipungkiri bahwa berdasarkan perkembangan dan
kebutuhan negara akan pajak, Undang-undang Pajak mengalami perubahan (tax reform).
Sebagai konsekuensinya, ternyata tidak disadari hukum pajak telah memisahkan diri dari
hukum administrasi. Secara tegas dikatakan, bahwa hukum pajak bukan lagi bagian
hukum administrasi, melainkan kedudukannya sama dalam kajian ilmu hukum. Dasar
pemisahan hukum pajak dari hukum administrasi dapat ditinjau dari faktor-faktor berikut:
a. Sumber hukum pajak berbeda dengan sumber hukum administrasi;
b. Objek kajian hukum pajak adalah pajak, sedangkan objek kajian hukum administrasi
adalah ketetapan yang bersegi satu yang ditetapkan oleh pejabat tata usaha negara
(administrasi negara);
c. Subjek hukum pajak adalah Wajib Pajak, sedangkan subjek hukum admiistrasi adalah
pejabat tata usaha negara yang menerbitkan ketetapan yang menimbulkan sengketa;
d. Penyelesaian sengketa pajak merupakan kompetensi absolut Pengadilan Pajak,
sedangkan penyelesaian sengketa administrasi merupakan kompetensi absolut
Pengadilan Tata Usaha Negara;
e. Hukum acara yang digunakan adalah hukum acara peradilan pajak, sedangkan
hukum acara yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa tata usaha adalah
hukum acara peradilan tata usaha negara.
Sebagai disiplin ilmu hukum yang telah memisahkan diri dengan hukum
administrasi, substansi dalam hukum pajak menimbulkan pembidangan yang mencakup
hukum pajak ketatanegaraan, hukum pajak administrasi, hukum pajak kepidanaan (tindak
pidana pajak), hukum pajak formal (hukum penyelesaian sengketa pajak), dan hukum
pajak interasional.
Substansi yang terkandung dalam hukum pajak juga menampakkan ciri khasnya
sebagai bagian ilmu hukum yang merupakan hukum fungsional, dengan fungsi mengatur
pendapatan dan perekonomian negara/ daerah, dan mempunyai instrumen berupa sanksi
administrasi dan sanksi pidana dalam penegakannya.

D. Tugas Hukum Pajak


Tugas umum yang harus diemban oleh hukum pajak adalah:
1. Menelaah keadaan masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak;
2. Merumuskannya kedalam peraturan-peraturan hukum;
3. Menafsirkan peraturan-peraturan hukum tersebut;
4. Mengatur ketentuan-ketentuan pidana;
5. Mengatur ketentuan-ketentuan administrasi;
6. Mengatur ketentuan peradilan administrasi dan peradilan pajak.

Tugas Khusus hukum pajak adalah sebagai alat kebijaksanaan untuk menentukan politik
perekonomian ataupun tugas di luar kepentingan keuangan negara.

E. Fungsi Hukum Pajak


Fungsi hukum pajak berkaitan erat dengan fungsi dari negara. Beberapa fungsi dari
negara seperti:
a. Mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat
Negara yang sukses dan maju adalah negara yang bisa membuat masyarakat bahagia
secara umum dari sisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
b. Melaksanakan ketertiban
Untuk menciptakan suasana dan lingkungan yag kondusif dan damai diperlukan
pemeliharaan ketertiban umum yang didukung penuh oleh masyarakat.
c. Pertahanan dan keamanan
Negara harus bisa memberi rasa aman serta menjaga dari segala macam gangguan
dan ancaman baik yang datang dari dalam maupun dari luar.
d. Menegakkan keadilan
Negara membentuk lembaga-lembaga peradilan sebagai tempat warga meminta
keadilan di segala bidang.
Untuk menjalankan fungsi tersebut di atas, negara membutuhkan biaya yang besar
jumlahnya dan sifatnya rutin. Biaya tersebut harus ditanggung oleh setiap warganya yang
dinilai mampu memberikan sumbangsih yang kemudian dikenal sebagai pajak.
Sumbangsih dari warga negara tersebut harus dibuat aturan yang jelas dalam
pelaksanaannya, sehingga dibuatlah hukum pajak yang berfungsi mengatur perpindahan
harta dari masyarakat (wajib pajak) kepada publik (dengan melalui kas negara) tersebut
berjalan dengan baik, teratur, tertib dan adil serta tidak menimbulkan kesewenang-
wenangan dari pelaksana hukum.
Melalui fungsi dari hukum pajak, maka diharapkan fungsi budgetair (mengisi kas
negara untuk kemudian digunakan membiayai pengeluaran negara/melaksanakan
pembangunan) dari pemungutan pajak dapat terlaksana dengan baik dan adil.
Dalam pembentukan hukum pajak harus nampak pula fungsi regulerent
(mengatur) sehingga pemerintah dapat mengatur pertumbuhan ekonomi melalui
kebijaksanaan pajak seperti menggiring penanaman modal baik dalam negeri maupun luar
dengan pemberian berbagai keringanan pajak.

F. Tujuan Hukum Pajak


Hukum pajak bertujuan memberikan:
a. keadilan,
b. kemanfaatan, atau
c. kepastian hukum bagi Wajib Pajak.

Keadilan sebagai tujuan hukum pajak tercermin dalam pengenaan pajak kepada Wajib
Pajak. Jika Wajib Pajak dianggap memiliki objek pajak, tetapi tidak tergolong sebagai objek
kena pajak, Wajib Pajak tersebut tidak dikenakan pajak. Apalagi kalau Wajib Pajak sama
sekali tidak memiliki objek pajak karena secara hukum dinyatakan pailit, maka tidak adil
jika Wajib Pajak tersebut dikenakan pajak.
Kemanfaatan sebagai tujuan hukum pajak tercermin dari penggunaan pajak unutk
membiayai pemerintahan dan pembangunan sebagai upaya mengurangi batas pemisah antara
orang kaya dan orang miskin. Pajak yang dipungut dari Wajib Pajak dikembalikan ke
masyarakat agar dapat dinikmati oleh Wajib Pajak maupun bukan Wajib Pajak.
Kepastian hukum sebagai tujuan hukum pajak diterapkan dalam pengihan pajak
maupun penyelesaian sengketa pajak. Penagihan pajak tidak boleh dilakukan oleh siapapun,
kecuali yang telah ditentukan. Bentuk, cara, dan jangka waktu penagihan harus dipenuhi
agar tergolong sebagai penagihan pajak yang sah. Dalam penyelesain sengketa pajak
terdapat lembaga peradilan pajak yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa pajak.
Di samping itu, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi Wajib Pajak untuk mengajuka
keberatan, banding, dan gugatan. Sebaliknya, pihak yang menyelesaikan sengket pajak juga
harus menaati persyaratan penyelesaian sengketa pajak yang telah ditentukan agar
putusannya bisa diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Hukum pajak tidak selalu dapat mewujudkan tujuannya secara sekaligus dalam suatu
penyelesaian sengketa pajak. Walaupun tidak dapat terlaksana secara keseluruhan,
diupayakan agar keadilan dan kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum, atau
kemanfaatan dan kepastian hukum tercermin dalam setiap keputusan yang diambil.

G. Ruang Lingkup Hukum Pajak


Sebagai bagian dari ilmu hukum, hukum pajak memiliki ruang lingkup dari segi
berlakunya maupun materi yang dikandungnya. Ditinjau dari berlakunya, hukum pajak
dibedakan atas hukum pajak nasional dan hukum pajak internasional. Ditinjau dari
materinya, hukum pajak dibedakan atas hukum pajak materiil dan hukum pajak formal.

Hukum pajak nasional adalah hukum pajak yang diterapkan oleh suatu negara dan
berlaku dalam wilayah negara yang menetapkannya. Dalam hukum pajak nasional
terdapat hukum pajak daerah dan yang ditetapkan oleh suatu daerah tertentu dalam
wilayah negara dan berlaku hanya pada daerah yang bersangkutan. Sedangkan hukum
pajak internasional adalah hukum pajak yang ditetapkan oleh dua negara atau lebih dan
berlaku pada wilayah yang terikat dari perjanjian yang diadaka untuk itu. Hukum pajak
internasional dibedakan atas hukum pajak internasional dalam arti sempit dan hukum
pajak internasional dlam arti luas.

Hukum pajak internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaidah pajak
yang berdasarkan hukum antar negara seperti traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan
sebagainya dengan berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima
dan mempunyai tujuan mengatur persoalan perpajakan antara negara-negara yang saling
mempunyai kepentingan tersebut. Hukum pajak internasionl dalam arti sempit ini semata-
mata berdasrkan sumber-sumber asing.

Hukum pajak internasional dalam arti luas ialah keseluruhan kaidah, baik yang
berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip hukum pajak yang diterima,
maupun kaidah-kaidah nasional yang dalam objek pengenaan pajaknya terdapat unsur-
unsur asing, yang dapat menimbulkan bentrokan hukum antar dua negara atau lebih.
Ruang lingkup hukum pajak yang meliputi hukum pajak materiil dan hukum pajak
formal dikaji berdasarkan Undang-undang Pajak sebagai bagian dari hukum positif.
Hukum pajak materiil adalah kumpulan kaidah hukum yang mengatur tentang keadaan-
keadaan, perbuatan-perbuatan, dan peirstiwa-peristiwa yang terkait dengan objek pajak,
subjek pajak, wajib pajak, dasar pengenaan pajak, tarif pajak, masa pajak, dan tahun
pajak.

Hukum pajak materiil tidak dapat lepas dari hukum pajak formal. Dalam
melaksanakan hukum pajak materiil diperlukan keberadaan hukum pajak formal. Kaidah
hukum pajak materiil dapat ditemukan dalam:
secara keseluruhan terdapat dalam UU PPh dan UU PPN;
sebagian terdapat dalam UU PBB, UU BPHTB, UU KPB, UU CK, UU BM, UU
PDRD.
Hukum pajak formal adalah kumpulan kaidah hukum yang mengatur tentang
bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hukum pajak materiil. Sebenarnya,
hukum pajak formal berupaya untuk menjamin agar kaidah hukum pajak materiil
ditegakkan. Hukum pajak formal pada hakikatnya bersifat mengabdi pada hukum pajak
materiil, artinya keberadaan hukum pajak formal menyesuaikan dengan kebutuhan yang
dikehendaki untuk berlakunya hukum pajak materiil secara efektif. Kaidah hukum pajak
formal dapat ditemukan dalam:
secara keseluruhan terdapat dalam UU KUP;
sebagian terdapat dalam UU PBB, UU BPHTB, UU KPB, UU CK, UU BM, UU
PDRD.
Saat ini pemisahan secara tegas (tidak menggabungkan antara hukum materiil dan
hukum formal sekaligus dalam satu Undang-undang Pajak), sangat diperlukan, mengingat
bahwa pemisahan tersebut sebagai konsekuensi untuk menghindari perubahan-perubahan
terhadap setiap Undang-undang Pajak yang hanya berlaku dalam jangka waktu tidak
terlalu lama.

2) Latihan
1. Apa yang dibahas dalam hukum pajak dan apa bedanya dengan hukum fiskal? Jelaskan!
2. Jelaskan mengapa memahami landasan filosofis dari peraturan perundang-undangan
perpajakan merupakan hal yang sangat penting bagi para pelaksana hukum pajak?
3. Jelaskan sumber hukum pajak dan apa saja yang dijadikan sumber hukum pajak di
Indonesia?
4. Apa saja tugas dari hukum pajak?
5. Sebutkan fungsi dan tujuan hukum pajak?
6. Bagaimana kedudukan hukum pajak dalam tatanan hukum di Indonesia?
7. Apa yang menjadi ruang lingkup dari hukum pajak?
IV. KEGIATAN BELAJAR 3

Asas-Asas Pemungutan Pajak

1) Uraian dan Contoh

A. Dasar Hukum Pemungutan Pajak


Pemungutan pajak tidak boleh dilakukan oleh Negara sebelum ada hukum
yang mengaturnya karena Negara Indonesia adalah Negara hukum. Pemungutan
pajak oleh Negara tanpa memiliki dasar hukum yang sah, berarti Negara melalui
pejabat pajak melakukan perampasan dan bahkan merupakan perampokan bagi
kekayaan warganya sebagai wajib pajak.
Pengaturan pajak, pada awalnya, diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945
yang menyatakan bahwa segala pajak untuk keperluan Negara harus berdasarkan
undang-undang. Setelah UUD 1945 diamandemen, Pasal 23 ayat (2) diganti UUD
1945 diganti dengan Pasal 23A UUD 1945 yang menegaskn bahwa pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan
undang-undang. Ketentuan ini secara tegas memisahkan antara pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa. Termasuk dalam pengertian pungutan lain yang
bersifat memaksa adalah retibusi, iuran, dan sebagainya.
Pasal 23A UUD 1945 merupakan dasar konstitusional bagi Negara untuk
memungut pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa kepada warganya,
termasuk warga Negara asing, yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia, atau memiliki, menguasai, atau memanfaatkan segala objek pajak yang
berada di Indonesia.
Dalam pemungutan pajak terdapat asas bahwa yang berwenang melakukan
pemungutan pajak adalah Negara dan tidak boleh dilimpahkan kepada pihak
swasta. Hanya pemerintah saja, termasuk aparatnya selaku wakil Negara, yang
berwenang mealkuakn pemungutan pajak. Pihak swasta tidak diperkenankan atau
dilarang melakukan pemungutan pajak karena masalah pajak melibatkan rakyat
sebagai wajib pajak untuk menyerahkan sebagian kekayaannya kepada Negara
sehingga tidak ada ketentuan huku yang berlaku yang membolehkan pihak swasta
melakukan pemungutan pajak.
Namun demikian, pemungutan pajak tidak selalu dilakukan oleh petugas
pajak, sepanjang Undang-undang pajak memberikan kekhususan kepada orang
pribadi tau badan untuk memungut pajak seperti halnya yang terjadi pada
pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan yang dilakukan oleh aparat pemerintah daerah di lingkungan
Departemen Dalam Negeri. Demikian halnya dengan Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dilakukan oleh
pemotong atau pemungut yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

B. Dasar Teori Pemungutan Pajak


Berikut ini merupakan beberapa teori yang berhubungan dengan hak negara
untuk memungut pajak, antara lain adalah:
a. Teori Asuransi
Teori Asuransi diartikan dengan suatu kepentingan masyarakat
(seseorang) yang harus dilindungi negara. Masyarakat seakan
mempertanggungkan keselamatan dan keamanan jiwanya pada negara. Dengan
adanya kepentingan dari masyarakat itu sendiri, maka masyarakat harus
membayar premi pada negara.
Namun, istilah premi sebenarnya kurang tepat jika disamaartikan dengan
pajak. Sebab, mendapat balas jasa secara langsung sedangkan pajak tidak.
Teori ini sebenarnya tidak dapat dipergunakan untuk menunjukkan hak
negara memungut pajak dari warganya, karena tidak semua kerugian warga,
misalnya kebanjiran ataupun perampokan, negara memberikan ganti rugi.

b. Teori Kepentingan
Teori kepentingan diartikan sebagai negara yang melindungi kepentingan
harta benda dan jiwa warga negara dengan memperhatikan pembagian beban
pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduknya. Segala biaya atau
pengeluaran yang akan dikeluarkan oleh negara dibebankan kepada seluruh
warga berdasarkan kepentingan dari warga negara yang ada. Warga negara yang
memiliki harta yang banyak membayar pajak lebih besar kepada negara untuk
melindungi kepentingan dari warga negara yang bersangkutan. Demikian
sebaliknya, warga negara yang memiliki harta benda sedikit membayar pajak
yang lebih kecil untuk melindungi kepentingan warga negara tersebut.
Namun, pada kenyataannya warga negara yang memiliki penghasilan
sedikit mempunyai kepentingan yang lebih besar dalam hal-hal tertentu,
misalnya dalam perlindungan jaminan sosial, sehingga sebagai konsekuensi,
seharusnya ia membayar pajak lebih banyak dan ini adalah suatu hal yang
bertentangan dengan kenyataan.
Landasan teori ini pun seakan sama dengan pengertian retribusi dan
bukan pajak karena berkaitan dengan adanya kontra prestasi secara langsung.

c. Teori Gaya Pikul


Menurut teori ini, pemungutan pajak berlandaskan asas keadilan yaitu
setiap orang yang dikenakan pajak harus sama beratnya. Pajak yang harus
dibayar adalah menurut gaya pikul seseorang yang ukurannya adalah besarnya
penghasilan dan besarnya pengeluaran yang dilakukan.
Yang harus diperlukan dalam kehidupan seseorang tidak dimasukkan
dalam pengertian gaya pikul. Kekuatan (gaya pikul) untuk membayar pajak baru
dilakukan setelah kebutuhan primer seseorang telah terpenuhi. Kebutuhan
primer ini merupakan asas minimum bagi kehidupan seseorang. Jika telah
terpenuhi barulah pembayaran pajak dilakukan. Dalam konteks UU PPh, asas
minimum kehidupan di atas bisa disebut dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP). Apabila seseorang punya penghailan di bawah PTKP berarti orang
tersebut tidk perlu membayar pajak, atau gaya pikulnya adalah nihil. Sedangkan
jika penghasilannya di atas PTKP barulah terkena gaya pikul untuk membayar
pajak sesuai ketentuan yang berlaku.
d. Teori Gaya Beli
Menurut teori ini, maka fungsi pemungutan pajak dipandang sebagai
gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil
gaya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara dan
kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat dengan maksud untuk
memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu. Teori
ini mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang
dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak bukan kepentingan
individu dan juga bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat
yang meliputi keduanya itu. Dapatlah kiranya disimpulkan bahwa teori ini
menitikberatkan ajarannya pada fungsi pajak sebagai pengatur (regulerent)
Menurut para penganutnya, termasuk juga Prof. Adriani, teori ini berlaku
sepanjang masa, baik dalam masa ekonomi bebas, maupun dalam masa ekonomi
terpimpin, bahkan juga dalam masyarakat yang sosialistis, walaupun tidak luput
dari adanya variasi dalam coraknya. Tidak demikian halnya dengan teori-teori
yang diuraikan sebelumnya, yang hanya berlaku selama masa tertentu saja.

e. Teori Bakti (Teori Kewajiban Pajak Mutlak)


Berlawanan dengan teori asuransi, teori kepentingan dan teori gaya pikul,
yang tidak mengutamakan kepentingan-kepentingan negara di atas kepentingan
warganya, maka teori ini berdasarkan atas paham-paham Organische Staatler
yang mengajarkan bahwa sifat negara sebagai suatu organisasi (perkumpulan)
dari individu-individu (masyarakat) maka timbul hak mutlak negara untuk
memungut pajak.
Teori bakti ini bisa dikatakan sebagai adanya perjanjian dalam masyarakat
(tiap-tiap individu) untuk membentuk negara dan menyerahkan sebagian
kekuasaannya kepada negara untuk memimpin masyarakat. Karena adanya
kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada negara, maka pembayaran pajak
yang dilakukan negara merupakan bakti dari masyarakat kepada negara, karena
negaralah yang bertugas menyelenggarakan kepentingan masyarakatnya.

C. Yurisdiksi Pemungutan Pajak


Negara, dalam melakukan pemungutan pajak, terikat pada yurisdiksi dari
Negara yang bersangkutan. Yurisdiksi adalah batas kewenangan yang dapat
dilakukan oleh suatu Negara dalam memungut pajak terhadap warga negaranya,
agar pemungutannya tidak menjadi berulang-ulang yang bisa memberatkan orang
yang dikenakan pajak.
1. Berdasarkan Asas Sumber
Berdasarkan yurisdiksi ini, pemungutan pajak tidak dapat dilepaskan dari
sumber atau tempat objek pajak itu berada. Jika objek pajak itu berada di Negara
Indonesia, Negara Indonesia berwenang memungut pajak terhadap terhjadap
orang pribadi atau badan yang memiliki objek pajak tersebut. Misalnya,
terhadap objek Pajak Bumi dan Bangunan yang berada di Indonesia, Negara
Indonesia memiliki kewenangan untuk mengenakan dan memungut pajak bagi
wajib pajak yang memiliki, menguasai, atau memperoleh manfaat atas objek
pajak yang dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
2. Berdasarkan Asas Kewarganegaraan
Menurut asas ini, yurisdiksi pemungutan pajak dikenakan bukan
berdasarkan tempat objek pajak, melainkan berdasarkan status atau kedudukan
warga Negara dari setiap orang pribadi yang berasal dari Negara yang
mengenakan pajak. Walaupun orang pribadi yang bersangkutan tidak bertempat
tinggal atau berkedudukan pada Negara yang hendak melakukan pemungutan
pajak, tetapi orang pribadi itu merupakan warga Negara tersebut, maka tetap
dapat dilakukan pemungutan pajak terhadap yang bersangkutan. Misalnya,
untuk Indonesia yang juga menganut asas kewarganegaraan, pemungutan pajak
bukan hanya dilakukan pada warga negaranya yang bertempat tiggal atau
berkedudukan di Indonesia, tetatpi termasuk juga yang bertempat tinggal atau
berkedudukan di luar Indonesia.
3. Berdasarkan Asas Tempat Tinggal
Berdasarkan yurisdiksi ini, pemungutan pajak dilakukan oleh Negara
berdasarkan tempat tinggal atau kedudukan dari wajib pajak. Negar berwenang
memungut pajak pada wajib pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan
pada Negara yang bersangkutan. Segala objek pajak yang dimiliki, dikuasai,
atau dimanfaatkan oleh wajib pajak yang bertempat tinggal tau berkedudukan
pada Negara yang bersangkutan dikenakan pajak.
Misalnya, warga Negara Australia yang bertempat tinggal atau
berkedudukan di Indonesia memperoleh atau mendapat penghasilan di
Indonesia. Maka, atas penghasilan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan.

Ketiga jenis asas pemungutan pajak tersebut selama ini diadopsi dalam
rangka pemungutan pajak di Indonesia, baik terhadap pajak langsung maupun
pajak tidak langsung. Khusus terhadap asas tempat tinggal, UU PPh ( UU No. 36
Tahun 2008) menegaskan adanya batasan waktu untuk bertempat tinggal atau
berada di Indonesia yaitu lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Keberadaan lebih dari 183 hari tidaklah harus
berturut-turut tetapi ditentukan oleh jumlah hari seseorang berada di Indonesia
dalam jangka waktu 12 bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
Untuk asas kewarnegaraan dan asas sumber yaitu bahwa terhadap setiap
warga Negara Indonesia di manapun dia berada akan dikenakan pajak oleh Negara
Indonesia, demikian pula bila seseorang bukan warga Negara Indonesia namun
memperoleh penghasilan dari Indonesia, maka Negara Indonesia mempunyai hak
untuk mengenakan pajak kepada setiap orang yang memperoleh penghasilan dari
sumber penghasiln tersebut berada.

D. Sistem Pemungutan Pajak


Negara menentukan sistem pemungutan pajak yang akan digunakan atau
diterapkan dalam melakukan pemungutan pajak. Hal ini disesuaikan dengan situasi
dan kondisi Negara dengan tidak mengabaikan kewajiban dan hak wajib pajak
dalam berperan serta di bidang pembiayaan pengelolaan Negara.
Tata cara pemungutan pajak dapat beraneka ragam, tergantung dari system
pemungutan pajak yang digunakan. Sistem pemungutan pajak hanya bergantung
pada kehendak Negara untuk menerapkannya dalam setiap Undang-undang Pajak,
sepanjang masih dimungkinkan berdasarkan substansi hukumyang responsif.
1. Sistem Self Assessment
Berdasarkan sistem self assessment, wajib pajak memiliki hak yang tidak
boleh diintervensi oleh pejabat pajak. Pejabat pajak hanya bersifat pasif dan
wajib pajak bersifat aktif. Keaktifan wajib pajak adalah untuk menghitung,
memperhitungkan, melaporkan, dan menyetor jumlah pajak yang terutang.
Pejabat pajak tidak terlibat dalam penentuan jumlah pajak yang terutang
sebagai beban yang dipikul oleh wajib pajak, melainkan hanya mengarahkan
cara (memberikan bimbingan) bagaimana wajib pajak memenuhi kewajiban
dan menjalankan hak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
agar tidak terjadi pelanggaran hukum.
2. Sistem Official Assessment
Dalam sistem official assessment, terdapat campur tangan pejabat pajak
dalam penentuan pajak yang terutang bagi wajib pajak. Yaitu berupa
keterlibatan pejabat pajak dalam menerbitkan ketetapan pajak yang berisikan
utang pajak dan bahkan dapat memuat sanksi hukum. Pajak yang terutang
dalam ketetapan pajak merupakan inisiatif dari pejabat pajak berdasarkan objek
pajak yang diterima, dimiliki, atau dimanfaatkan oleh wajib pajak.
Undang-Undang PBB merupakan contoh penerapan sistem official
assessment di Indonesia, yang memberi kepercayaan kepada pejabat pajak
untuk menentukan besarnya pajak yang wajib dibayar lunas oleh wajib pajak
terhadap objek pajak bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, atau
dimanfaatkannya.
3. Sistem Semi Self Assessment
Menurut sisitem semi self assessment, terdapat kerja sama antara wajib
pajak dan pejabat pajak untuk menentukan jumlah pajak yang wajib dibayar
lunas oleh wajib pajak kepada Negara. Pada awal tahun pajak, wajib pajak
menetukan sendiri jumlah pajak yang terutang untuk tahun berjalan sebagai
angsuran yang disetor sendiri. Kemudian pada akhir tahun pajak, ditentukan
kembali oleh pejabat pajak jumlah pajak yang sebenarnya, berdasarkan data
yang disampaikan oleh wajib pajak. Pejabat pajak, dalam hal ini, bertindak
sebagai pengawas terhadap wajib pajak untuk menilai sejauh mana kejujurn
wajib pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang terutang.
Sistem ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dalam penerapannya,
bahkan dapat menimbulkan kompromi pajak antara wajib pajak dan pejabat
pajak pada akhir tahun pajak sehingga akan beresiko tinggi pada peneriman
Negara.
4. Sistem With Holding
Sistem with holding memberi kepercayaan kepada pihak ketiga untuk
melakukan pemungutan pajak atas objek pajak yang diterima atau diperoleh
wajib pajak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Pihak ketiga ditempatkan
sebagai pihak yang berwenang untuk memotong atau memungut pajak tertentu
dan menyetor serta melaporkan kepada pejabat pajak. Pejabat pajak hanya
berwenang melakukan control atau pengawasan terhadap pelaksanaan
pemotongan atu pemungutan pajak sampai kepada pelaporan pajak yang telah
ditentukan.
Pemotong atau pemungut pajak tidak boleh melakukan pelanggaran
hukum dalam melakukan pemotongan atau pemungutan pajak, termasuk dalam
melakukan pelporan pajak yang dipotong atau dipungut kepada pejabat pajak.
Penerapan sistem with holding dalam Undang-undang Pajak dapat dilihat
pada ketentuan Pajak Penghasilan Pasal 21 serta dalam Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Materai, dan Bea Masuk
dan Cukai.

E. Pelimpahan Wewenang Pemungutan Pajak


Pemungutan pajak Negara tidak selalu dilakukan oleh petugas pajak yang
diangkat oleh pejabat pajak dalam lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, tetapi
dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang khusus diangkat berdasarkan ketentuan
hukum pajak yang berlaku. Pajak Bumi dan Bangunan sebagai pajak Negara,
pemungutannya dilimpahkan kepada gubernur kepala daerah dan/atau
bupati/walikota. Pelimpahan wewenng untuk memungut Pajak Bumi dan Bangunan
didasarkn pada Pasal 14 UU PBB yang menyatakan bahwa Menteri Keuangan
dapat melimpahkan kewenangan penagihan pajak kepada gubernur kepala daerah
tingkat I dan/atau bupati/walikotamadya kepala daerah tingkat II. Pelimpahan
wewenang penagihan pajak tersebut bukan dalam hal penagihan, tetapi hanya
sebagai pemungut pajak, sedangkan pendataan objek pajak dan penetapan pajak
yang terutang tetap menjadi kewenangan Menteri Keuangan.
Pelimpahan wewenang ini tidak mencakup penagihan Pajak Bumi dan
Bangunan karena pengihan dengan pemungutan pajak memiliki substansi hukum
yang berbeda. Penagihan pajk tertuju pad wewenang untuk menerbitkan surat
pemberitahuan pajak terutan (SPPT), surat ketetapan pajak (SKP), dan surat
tagihan pajak (STP) terhadap Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang. Pemugutan
Pajak Bumi dan Bangunan hanya tertuju pada kegiatan memungut pajak yang
dilakukan oleh petugs pajak. Dengan kata lain, tidak ada pemungutan pajak tanpa
didasarkan pada penagihan pajak dari pejabat pajak karena pejabat pajak yang
menerbitkan dasar penagihan pajak, sepeti SPPT, SKP, dan STP.
Pertimbangan dilimpahkannya pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan
kepada gubernur kepala daerah atau bupati/walikota adalah karena memiliki aparat
atau petugas di tingkat kelurahan maupun desa. Aparat atau petugas tersebut
memiliki data yang lengkap tentang objek Pajak Bumi dan Bangunan serta Wajib
Pajak Bumi dan Bangunan yang bertempat tinggal di kelurahan atau desa tersebut.
F. Pembagian Hasil Pajak
Pembagian hasil pajak Negara diserahkan kepada daerah melalui pemberian
Dana Alokasi Umum (DAU) yang wajib dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah. Hasil pajak yang telah dipungut maupun ditagih tersebut
dibagi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah mengingat objek pajak
dan wajib pajak selaku pihak yang membayar pajak bertempat tinggal atau
berkedudukan di daerah.
Hasil Pajak Negara yang dapat dibagi adalah hasil dari Pajak Penghasilan,
Pajak Bumi dan Bangunan, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Sedangkan hasil pajak-pajak yang lain belum dapat dibagi dengan pemerintah
daerah.
Sebagai contoh adalah pembagian hasil Pajak Penghasilan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah yang terkait dengan Pajak Penghasilan Pasal 21
yang dipotong atau dipungut oleh pemberi kerja. Tata cara pembagian adalah 80%
untuk pemerintah pusat dan 20% untuk pemerintah daerah. Kemudian pembagian
antara pemenrintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota
masih memerlukan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan pemerintah.
Dalam hal ini masih terdapat campur tangan pemerintah pusat untuk mengatur
pembagian hasil dari Pajak Penghasilan Pasal 21 yang diperoleh pemerinth daerah,
baik pemerintah daerah provinsi maupun pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pembagian hasil Pajak Bumi dan Bangunan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, didasarkan atas perimbangan sebesar 10% untuk pemerintah
pusat dan sebesar 90% untuk pemerintah daerah setelah dikurangi sebesar 10%
sebagai biaya pemungutan. Selajutnya dilakukan lagi pembagian sebesar 20%
untuk pemerintah daerah provinsi dan 80% untuk pemerintah daerah
kabupaten/kota. Hasil pembagian itu sebagai pendapatan daerah yang setiap
tahunnya ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah yang
bersngkutan.
Sedangkan pembagian hasil Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dengan perimbangan sebesar
20% untuk pemerintah pusat dan sebesar 80% untuk pemerintah daerah. Bagian
sebesar 80% untuk pemerintah daerah dibagi antara pemerintah daerah provinsi
dengan pemerintah daerah kabupaten/kota, dimana pemerintah provinsi
memeperoleh bagian sebesar 16% dari 80% dan pemerintah kabupaten/kota
memperoleh bagian 64% dari 80%.
Pembagian hasil pajak Negara merupakan komitmen pemerintah pusat untuk
mendukung pelaksanaan otonomi daerah mengingat jika hanya mengandalkan dari
hasil pajak daerah saja, pemerintah daerah tidak akan mampu melaksanakan
otonomi daerah dengan baik, kecuali daerah tertentu yang memang memiliki
sumber daya manusia dan sumber daya alam yang sangat potensial, sehingga dapat
diolah secara maksimal untuk menutupi kekurangan pembiayaan yang dihadapi
oleh daerah yang bersangkutan.

2) Latihan
1. Apa yang dijadikan dasar hukum pemungutan pajak di Indonesia?
2. Jelaskan beberapa teori yang mengesahkan hak Negara memungut pajak!
3. Jelaskan dengan lengkap apa itu teori gaya pikul dan bagaimana aplikasinya dalam
perundang-undangan perpajakan Indonesia!
4. Teori gaya pikul bersifat kualitatif, artinya kemampuan seseorang antara satu dan
lainnya adalah tidak sama, dan banyak faktor yang mempengaruhinya. Jelaskan
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi teori gaya pikul tersebut!
5. Asas pemungutan pajak antara lain adalah asas tempat tinggal dan asas sumber.
Jelaskan kedua asas tersebut dan apa akibatnya dan bagaimana pemecahannya?
6. Apa perbedaan System Official Assessment dan system Self Assessment baik ditinjau
dari Wajib Pajak dan Fiskus maupun ditinjau dari timbulnya Utang Pajak?
V. KEGIATAN BELAJAR 4
TATA CARA PENAFSIRAN HUKUM PAJAK

1) Uraian dan Contoh

A. Pengertian
Penafsiran hukum (Rechtsinterpretatie) adalah salah satu metode penemuan hukum
yang memberi penjelasan atas ketidakjelasan mengenai teks undang-undang agar ruang
lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Ketidakjelasan
suatu peraturan bisa disebabkan karena adaya kesenjangan antara peraturan tertulis dengan
kesadaran hukum suatu masyarakat yang ada, atau karena memang peraturan yang tertulis
tidak dapat dimengerti atau bahkan mempunyai pengertian yang bermacam-macam
menurut bahasa yang ada (secara tertulis) yang dibaca oleh pembaca peraturan tersebut.
Penafsiran (interpretasi) peraturan perundang-undangan sendiri merupakan suatu
cara mencari dan menetapkan pengertian pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan
sesuai dengan keadaan dimana peraturan perundang-undangan tersebut dilaksanakan
dengan tidak menyimpang dari yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat
undang-undang. Penafsiran hukum ini merupakan suatu kebutuhan yang diperlukan
khususnya dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
undang-undang.
Jadi, penafsiran hukum pajak adalah suatu upaya atau usaha untuk menerangkan,
menjelaskan, menegaskan baik dalam arti memperluas ataupun membatasi atau
mempersempit pengertian hukum pajak yang ada dalam rangka memecahkan masalah
yang dihadapi. Hukum pajak yang dimaksud adalah hukum tertulis, meliputi; peraturan
perundang-undangan, perjanjian perpajakan, yurisprudensi perpajakan, dan doktrin
perpajakan.

Apabila suatu peraturan menimbulkan berbagai penafsiran menurut pembacanya,


maka yang berwenang memutuskan penafsirannya adalah hakim, yaitu dalam hal terjadi
sengketa yang diajukan ke pengadilan.
Penafsiran hakim hanya mengikat pihak yang bersengketa saja dan tidak mengikat
umum.
B. Cara Penafsiran
Dalam pelaksanaannya, ada beberapa cara penafsiran hukum pajak, yakni:
1. Cara penafsiran secara subjektif dan objektif
a. Penafsiran subjektif adalah penafsiran yang dilakukan sejalan dengan apa yang
dikehendaki oleh pembuat undang-undang. Misalnya, dalam Pasal 1 angka 29
UU. No 28 Tahun 2007, pengertian penutupan buku bagi yang
menyelenggarakan pembukuan dilakukan pada setiap Tahun Pajak berakhir.
b. Penafsiran objektif adalah penafsiran yang dilakukan terlepas dari pendapat
pembuat undang-undang (penafsiran yang sesuai dengan adat pengertian
sehari-hari). Misalnya, dalam kebiasaan usaha, pengertian penutupan buku
dilakukan pada setiap Tahun Buku barakhir.
2. Cara penafsiran secara sempit (restriktif) dan secara luas (ekstentif)
a. Penafsiran secara sempit yakni apabila pasal yang ditafsirkan diberi pengertian
yang sangat dibatasi. Misalnya, pengertian Wajib Pajak dalam ketentuan
material perpajakan (UU Pajak Penghasilan) disebutkan bahwa Wajib Pajak
adalah subjek pajak yang memiliki objek pajak berupa penghasilan. Cara
penafsiran ini hanya berlaku sepanjang menyangkut pelaksanaan ketentuan
Pajak Penghasilan.
b. Penafsiran secara luas, maka pengertian Wajib Pajak dalam ketentuan
formal perpajakan (UU KUP), yakni Wajb Pajak adalah orang pribadi atau
badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.

C. METODE PENAFSIRAN
Inti dari upaya penafsiran ketentuan undang-undang adalah agar diperoleh
keadilan, sedangkan ketentuan pada pasal undang-undang ada kemungkinan tidak sesuai
lagi dengan keadaan pada waktu dilaksanakan. Pembuat undang-undang sendiri tidak
menetapkan suatu sistem tertentu yang harus dijadikan pedoman bagi pelaksanaan hukum
dalam penafsiran undang-undang. Oleh karena itu, hakim bebas melaksanakan penafsiran
pasal undang-undang menurut keyakinannya.
Ada beberapa metode penafsiran menurut ilmu hukum yang digunakan dalam
menafsirkan hukum pajak, yaitu sebagai berikut:
1. Penafsiran Tata Bahasa atau Gramatika (Taalkundig)
Penafsiran tata bahasa adalah cara penafsiran berdasarkan bunyi kata-kata
secara keseluruhan, dengan berpedoman pada arti kata-kata yang berhubungan satu
sama lain, dalam kalimat-kalimat yang disusun oleh pembuat undang-undang. Arti
perkataan itu semata-mata menurut tata bahasa atau kebiasaan, seperti arti dalam
pemakaian sehari-hari.
Pandangan para ahli hukum atas tafsiran gramatikal ini bervariasi. Sebagian
ahli hukum mengatakan bahwa tafsiran gramatikal ini merupakan tafsiran yang paling
utama, artinya jika kata-kata undang-undang sudah cukup jelas, maka hakim tidak
boleh lagi menggunakan cara-cara penafsiran lainnya sehingga menyimpang dari kata-
kata undang-undang, meskipun maksud dari pembuat undang-undang tidak sama
dengan arti kata-kata tersebut. Sebagian ahli hukum lain menyatakan bahwa penafsiran
gramatikal memiliki kedudukan yang lemah karena arti kata-kata dalam undang-
undang bisa berbeda antara orang yang satu dengan lainnya .
Oleh karena itu, penafsiran peraturan perpajakan sebaiknya dicari cara
penafsiran mana yang paling tepat. Penafsiran secara tata bahasa (gramatika)
merupakan penafsiran dasar atau awal untuk mengetahui maksud pembuat undang-
undang kemudian dilanjutkan dengan penafsiran otentik yakni menurut pembuat
undang-undang sebagaimana tercantum dalam memori penjelasan, dan kemudian
diteruskan ke penafsiran-penafsiran yang lain.
Inilah pentingnya pembuat undang-undang untuk memilih kata-kata dalam
menyusun suatu kalimat menjadi suatu aturan agar tidak menimbulkan salah
pengertian bagi pembacanya.
Contoh penafsiran gramatika di dalam pelaksanaan hukum pajak, antara lain,
ada pada ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU KUP yang menyatakan: Dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut. . .
Redaksi kata dapat disini mengandung arti tidak harus atau tidak wajib,
sehingga penerbitan Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) tersebut bukan
merupakan keharusan atau undang-undang mengamanahkan adanya alternatif selain
bentuk SKPKB, dan itu harus dicari di dalam pasal-pasal yang ada.
2. Penafsiran Otentik
Penafsiran otentik adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang
dengan melihat pada apa yang telah dijelaskan dalam undang-undang tersebut.
Biasanya dalam suatu undang-undang terdapat suatu pasal mengenai ketentuan umum,
biasanya ada pada Pasal 1, yang isinya menjelaskan arti atau maksud dari ketentuan
yang telah diatur. Ketentuan umum demikian sering disebut dengan terminologi untuk
menjelaskan hal-hal yang dianggap perlu. Terminologi inilah yang dimaksudkan
dengan penafsiran otentik. Sedangkan penjelasan dari suatu pasal yang dimuat dalam
Tambahan Lembaran Negara (TLN) bukan merupakan penafsiran otentik, tetapi hanya
suatu penjelasan semata atas isi suatu pasal.

3. Penafsiran Historis
Penafsiran historis adalah penafsiran atas undang-undang dengan melihat pada
sejarah dibuatnya suatu undang-undang. Untuk dapat memahami penafsiran historis
yang demikian, tentu hanya dapat diketahui dari dokumen-dokumen rapat pada waktu
dibuatnya undang-undang, seperti draft RUU, risalah rapat para pembuat undang-
undang, memori penjelasan umum dan pasal per pasal, jawaban pemerintah kepada
DPR, notulen sidang komisi, dan sebagainya. Dengan memahami dokumen-dokumen
tersebut, maka akan diketahui asbabun nuzul dari suatu aturan perpajakan.
Penafsiran menurut sejarah hukum juga dapat dilakukan dengan cara
menyelidiki apakah suatu peraturan itu datangnya dari sistem hukum yang terdahulu.
Sebagai contohnya adalah perkembangan pengertian pembayaran dalam Masa Pajak
dari Pajak Penghasilan , dari mulai sebelum reformasi perpajakan dijalankan yaitu
dengan official assessment dimana pembayaran masa berarti angsuran terhadap
Surat Ketetapan Pajak Sementara (Skp/s) yang diterbitkan oleh fiskus , yang
kemudian akan diperhitungkan didalam penetapan rampungnya (akhir tahun ).
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya model SKP/s tersebut dihapuskan dan
diganti dengan cara Menghitung Pajak Sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang
Lain(MPO), di sini pembayaran masa ditentukan sekian persen (misalnya 2%) dari
jumlah peredaran selama satu bulan. Dan sekarang, setelah reformasi perpajakan 1983
sistem yang dianut adalah self assessment, dengan cara penentuan besarnya
pembayaran masa yang berbeda.
4. Penafsiran Sistematik
Penafsiran sistematik adalah penafsiran dengan menghubungkan suatu pasal
dengan pasal yang lain dalam satu undang-undang yang sama atau mengaitkannya
dengan pasal-pasal undang-undang yang lain. Penafsiran ini memperhatikan peraturan-
peraturan lain yang terkait yang masih berhubungan. Hukum perpajakan yang terdiri
dari undang-undang sampai dengan Keputusan Dirjen Pajak sebenarnya merupakan
satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis sehingga penafsirannya harus
dikaitkan antara peraturan yang satu dengan lainnya.
Salah satu contoh penafsiran ini adalah penafsiran dari pengertian memenuhi
persyaratan dalam pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25
ayat (4) UU KUP, haruslah dikaitkan pula dengan pengertian keterangan tertulis
yang wajib diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal
26 ayat (6). Artinya apabila atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak
tidak memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan
pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak, maka sebenarnya
tidak ada hak bagi Direktur Jenderal Pajak untuk menanyakan kelengkapan persyaratan
di dalam pengajuan keberatan.

5. Penafsiran Sosilogis (Teleologis)


Penafsiran sosiologis adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-
undang yang disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat.
Seperti diketahui bahwa kehidupan suatu masyarakat selalu berkembang, sedangkan
undang-undang yang bentuknya tertulis tidak bisa selalu mengikuti kehidupan
masyarakat yang selalu lebih cepat perkembangannya. Oleh karena itu, perlu adanya
penyesuaian antara undang-undang yang sifatnya tertulis dengan perkembangan
kehidupan suatu masyarakat. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk lebih memberikan
rasa keadilan bagi masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisinya. Penafsiran
sosiologis diharapkan dapat membentuk perilaku tertentu di masyarakat. Namun,
jangan sampai Hakim badan peradilan pajak menafsirkan undang-undang secara
subyektif sehingga justru menimbulkan ketidakadilan.
Contoh:
Syarat-syarat pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(2) dan ayat (3) KUP atau syarat banding sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat
(3) KUP, yang tidak dapat dilakukan oleh Wajib Pajak yang buta huruf atau buta huruf
latin, maka pegawai pajak yang menanganinya maupun Sekretaris Pengadilan Pajak
harus bertindak seolah-olah sebagai panitera yang menuliskan maksud dari Wajib
Pajak dan membacakannya sebelum Wajib Pajak memberikan cap jarinya.

6. Penafsiran Perbandingan
Penafsiran perbandingan adalah penafsiran dengan membandingkan antara
ketentuan hukum yang lama dan ketentuan hukum yang berlaku saat ini, atau ketentuan
hukum nasional dan ketentuan hukum asing.
Contoh:
Kebijaksanaan yang perah dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak pada akhir
tahun 1980-an tentang penerimaan sumbangan dari Wajib Pajak apabila Surat
Pemberitahuan Wajib Pajak menyatakan Lebih Bayar; sering disebut juga dengan
istilah uang pembasuh batin. Ketentuan ini tidak dikenal dalam sistem self assessment
sekarang ini.

7. Penafsiran Doktriner
Penafsiran doktriner adalah penafsiran dengan cara mengambil pendapat dari
para ahli, khususnya ahli-ahli perpajakan dalam buku-buku karyanya. Penafsiran ini
biasanya berupa pendapat para saksi ahli di dalam sidang peradilan pajak.

8. Penafsiran Analogis
Dalam pelaksanaan hukum, ada kalanya terjadi suatu kekosongan atau
kevakuman hukum. Kekosongan hukum ini dapat diisi oleh Hakim dengan penafsiran
analogis atau penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang dengan cara
memberi kiasan pada kata-kata yang tercantum dalam undang-undang. Penafsiran ini
sama dengan penafsiran ekstensif (meluas) yang maksudnya memperluas suatu aturan
sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak termasuk dalam suatu ketentuan
menjadi termasuk dalam ketentuan yang ada berdasarkan analog yang dibuat.
Penafsiran analogis ini tidak dipakai dalam undang-undang pajak karena dapat
merugikan Wajib Pajak dan tidak adanya kepastian hukum terhadap peristiwa yang
terjadi. Aturan umum yang tidak ditulis dalam undang-undang pajak yang merupakan
aturan yang bersifat khusus menjadi berlaku, padahal pasal 23A UUD 1945
menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara harus diatur undang-undang.

9. Penafsiran A Contrario,
Penafsiran A Contrario adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-
undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan
soal yang diatur dalam pasal undang. Berdasarkan perlawanan pengertian itu ditarik
suatu kesimpulan bahwa soal yang dihadapi itu tidak diatur dalam pasal undang-
undangnya, atau dengan kata lain soal yang dihadapi berada di luar ketentuan pasal
suatu undang-undang.
Contoh:
Pada Pasal 4 Ayat (3) huruf g UU PPh menyatakan yang dikecualikan dari Objek
PPh adalah iuran pensiun kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disetujui oleh
Menteri Keuangan. Dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-545/PJ./2000 jo PER-
15/PJ/2006 diatur mengenai perlakuan perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun
yang sudah disahkan oleh Menteri Keuangan, tetapi tidak diatur mengenai perlakuan
perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun yang belum disahkan Menteri
Keuangan. Jika menggunakan penafsiran secara a contrario, maka perlakuan
perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun yang belum atau tidak disahkan oleh
Menteri Keuangan adalah sama dengan perlakuan perpajakan atas premi asuransi, yaitu
merupakan Objek PPh.
Penafsiran A Contrario di dalam bidang hukum pajak tidak diperbolehkan
karena merugikan Wajib Pajak dan menimbulkan ketidakpastian dalam hukum yang
sudah jelas pengaturnya.

2) Latihan
1. Apa yang dimaksud dengan penafsiran hukum dalam pelaksanaan hukum pajak?
2. Mengapa perlu dilaksanakan penafsiran hukum sebelum dilaksanakan?
3. Sebut dan jelaskan beberapa cara penafsiran hukum yang Saudara ketahui?
4. Ada beberapa metode penafsiran hukum pajak. Jelaskan dan berikanlah masing-masing
satu contoh dari metode penafsiran dimaksud yang berbeda dengan yang telah
diterangkan di atas?
5. Pejabat Tata Usaha Pajak dalam melaksanakan tugas sehari-hari kadang-kadang
menemukan suatu kekosongan hukum. Jelaskan langkah apa yang dapat dilakukan?
6. Berikan contoh kekosongan hukum yang ada dalam sistem perundang-undangan
perpajakan?
VI. KEGIATAN BELAJAR 5

PEMBAGIAN HUKUM PAJAK

1) Uraian dan Contoh

A. Pembagian Hukum Pajak


Hukum pajak dibagi ke dalam hukum pajak material dan hukum pajak formal.
1. Hukum Pajak Material
Hukum pajak material adalah hukum pajak yang memuat yang menerangkan tentang :
a. Keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan, dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus
dikenai pajak (obyek pajak) atau sasaran yang dikenai pajak;
b. Siapa-siapa yang harus dikenai pajak (subyek pajak);
c. Berapa besarnya pajak (tarif pajak);
d. Sanksi-sanksi dalam hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak.

Dengan perkataan lain, hukum pajak material adalah norma-norma yang menerangkan
tentang obyek, subyek, dan besarnya pajak yang terutang. Juga termasuk di dalamnya:
a. Peraturan-peraturan yang memuat kenaikan-kenaikan, denda-denda;
b. Peraturan-peraturan tentang hukuman-hukuman tentang pelanggaran ketentuan
pajak;
c. Peraturan-peraturan tentang tata cara pembebasan dan pengembalian pajak;
d. Peraturan-peraturan tentang hak mendahulu dan fiskus.

Ketentuan-ketentuan material hukum pajak ini harus dituangkan dalam undang-


undang. Landasan hukum dari pajak-pajak termuat dalam UUD 1945 Pasal 23A yang
berbunyi: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur
dengan undang-undang. Maka secara yuridis formal tidak mungkin dipungut pajak jika
tidak didasarkan undang-undang.
Menurut Prof. Dr. Rochmat Sumitro. SH, ketentuan-ketentuan hukum pajak material
mutlak harus diletakkan dalam undang-undang. Ketentuan hukum pajak material ini
meliputi obyek, subyek, dan besarnya pajak, sehingga dalam undang-undang ditentukan
secara tegas dan jelas siapa yang dikenakan pajak, apa yang dikenakan pajak, dan berapa
besarnya pajak. Kesemuanya ini adalah untuk memberikan kepastian hukum.
Termasuk dalam ketentuan hukum pajak material adalah:
a. Undang-undang Nomor 7 tahun 1983, tentang Pajak Penghasilan dan undang-undang
perubahannya.
b. Undang-undang Nomor 8 tahun 1983, tentang Pajak Pertambahan Nilai barang dan jasa
dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah, beserta undang-undang perubahannya.
Undang-undang selain UU PPh dan UU PPN, hukum material dan hukum folmalnya
masih tergabung dalam satu kitab undang-undang.

2. Hukum Pajak Formal


Hukum pajak formal adalah hukum pajak yang memuat tata cara untuk menjelmakan
atau mewujudkan hukum pajak material menjadi suatu kenyataan. Hukum pajak formal
memuat ketentuan-ketentuan tentang:
a. Tata cara (prosedur) penetapan jumlah hutang pajak;
b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan;
c. Kewajiban pembukuan;
d. Prosedur pelunasan hutang pajak;
e. Prosedur pengajuan surat keberatan dan sebagainya.
Tujuan hukum pajak formal adalah untuk melindungi baik fiscus maupun wajib pajak.
Jadi untuk memberi jaminan, bahwa hukum materialnya akan dapat terselenggara setepat-
tepatnya. Sering juga dikatakan bahwa hukum pajak formal mempunyai sifat mengabdi
pada hukum pajak materialnya.
Hukum pajak formal tidak mutlak harus dimasukkan dalam undang-undang, tetapi
tidak ada larangan untuk dimasukkan dalam undang-undang, bahkan ketentuan yang
sedemikian yang dimasukkan dalam undang-undang akan lebih memberikan kepastian
hukum yang lebih mantap.
Termasuk dalam ketentuan hukum pajak formal adalah Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983, tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan undang-undang
perubahannya.
(Catatan: UU KUP telah diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009 sebagai
penetapan atas Perpu No. 5 Tahun 2008 yang mengubah 1 (satu) ketentuan Pasal 37A ayat
(1) UU KUP No. 28 Tahun 2007).

B. Penggolongan Jenis Pajak


JENIS-
JENIS
PAJAK

Berdasarkan Berdasarkan
Berdasarkan
pihak yang sasaranya/ob
sifatnya
memungut jeknya

Pajak
Pajak Pajak Pajak Pajak Pajak
Tak
Langsung Pusat Daerah Subjektif Objektif
Langsung

Secara umum pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kategori,
antara lain :
1. Berdasarkan pihak yang menanggung, pajak terdiri dari dua macam pajak yaitu :
a. Pajak Langsung adalah pajak yang pembayarannya harus ditanggung sendiri oleh
wajib pajak dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain serta dikenakan secara
berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu..
Contoh : PPh, PBB.
b. Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pembayarannya dapat dialihkan kepada pihak
lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja.
Contoh : Pajak Penjualan, PPN, PPn-BM, Bea Materai, dan Cukai.
2. Berdasarkan sifatnya, pajak terdiri dari dua macam, antara lain :
a. Pajak Subjektif, yaitu pengenaan pajak dengan pertama-tama
memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak (subjeknya). Setelah diketahui keadaan
subjeknya barulah diperhatikan keadaan objektifnya sesuai gaya pikul apakah dapat
dikenakan pajak atau tidak. Misalnya perhitungan Pajak Penghasilan, jumlah
tanggungan dapat mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.
b. Pajak Obyektif, yaitu pengenaan pajak dengan pertama-tama
memperhatikan/melihat objeknya, baik berupa keadaan atau perbuatan atau peristiwa
yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah diketahui objeknya,
barulah dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hukum dengan objek yang telah
diketahui. Misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak memperhitungkan apakah
wajib pajak tersebut memiliki tanggungan atau tidak.

3. Berdasarkan pihak yang memungut pajak, terdiri dari dua macam, antara lain :
a. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal
ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan.
Adapun pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi:
Pajak Penghasilan (PPh)
PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud
dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi
atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan
demikian, maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium,
hadiah, dan lain sebagainya.
Pelaksanaan Pajak penghasilan di Indonesia dimulai Tahun 1984 melalui
Undang-undang No. 7 Tahun 1983 yang telah mengalami perubahan dan tambahn
terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008. UU No. 7 Tahun 1983 merupakan pengganti
dari dua ketentuan undang-undang yakni Ordonansi Pajak Pendapatan dan Ordonansi
Pajak Perseroan.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah
yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada
dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak,
kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
Perkembangan PPN di Indonesia dimulai dari:
a. Pajak Peredaran yag diberlakukan tahun1950.
b. Pajak Penjualan 1951 yang berdasarkan UU Darurat No. 19 Tahun 1951 dan
dikukuhkan dengan UU No. 35 Tahun 1953.
c. Yang terakhir degan UU No. 8 Tahun 1983 yang telah mengalami perubahan dan
tambahan terakhir dengan UU No. 18 Tahun 2000.

Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)


Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong
mewah, juga dikenakan PPnBM untuk mengurangi efek regresivitas PPN. Yang
dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi; atau
Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta
mengganggu ketertiban masyarakat.

Bea Meterai
Pengenaan Bea Meterai berdasarkan pada Undang-Undang nomor 13 tahun
1985 dan Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 2000. Bea Meterai adalah pajak
yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi
pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas
jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)


PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan
atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh
realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi
maupun Kabupaten/Kota. Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan adalah Undang-
Undang nomor 12 tahun 1994 sebagai pembaharuan atas ketentuan:
a. Ordonansi Pajak Kekayaan;
b. Ordonansi Pajak Rumah Tangga;
c. Ordonansi Verponding;
d. Ordonansi Pajak Jalan;
e. Iuran Pembangunan Daerah dan Pajak Hasil Bumi.
Yang dijadikan landasan pemikiran pengenaan PBB karena bumi dan atau
bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan social ekonomi yang lebih
baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atanya, atau memperoleh
manfaat dari padanya, oleh karena wajar apabila mereka diwajibkan memberikan
sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada Negara melalui
pajak.

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)


Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan berdasarkan Undang-
Undang nomor 20 tahun 2000. BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola
oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan
kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan
ketentuan.
b. Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di
tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Sesuai UU No. 18 Tahun 1997 tentan
PDRD yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda), antara lain :
Pajak Propinsi
Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
Pajak Kabupaten/Kota
Pajak Hotel;
Pajak Restoran;
Pajak Hiburan;
Pajak Reklame;
Pajak Penerangan Jalan;
Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
Pajak Parkir.
Retribusi Daerah
Retribusi Jasa Umum;
Retribusi Jasa Usaha;
Retribusi Perizinan Tertentu.

2) Latihan
1. Hukum pajak dibagi ke dalam hukum pajak material dan hukum pajak formal. Apa yang
membedakan antara hukum pajak formal dan hukum pajak material?
2. Bagaimanakah seharusnya antara ketentuan formal dan ketentuan material, dalam
penyusunan undang-undang pajak? Dipisahkan atau digabungkan? Berikan alasannya!
3. Jelaskan apa yang dimaksud pajak subjektif dan pajak objektif!
4. Apakah suatu pajak yang menurut sifatnya termasuk salah satu bentuk ( apakah pajak
objektif ataupun pajak subyektif) dapat berubah menjadi sebaliknya? Terlepas dari
jawaban Saudara, ya atau tidak, berikan penjelasannya!
5. Jelaskan apa yang dimaksud pajak langsung dan pajak tidak langsung!
VII. KEGIATAN BELAJAR 6
TARIF PAJAK

1) Uraian dan Contoh

A. Macam-macam Tarif Pajak


Tarif pajak yang besarnya harus dicantumkan dalam undang-undang pajak merupakan
salah satu unsur yang menentukan rasa keadilan dalam pemungutan pajak bagi Wajib Pajak.
Penentuan besarnya suatu tarif adalah hal yang krusial dimana kesalahan persepsi dalam
penentuannya dapat merugikan berbagai pihak termasuk Negara. Dalam pemungutan pajak,
terdapat beberapa jenis tarif pajak yang dikenal, antara lain:
a. Tarif Progresif (a progressive tax rate)
b. Tarif Proporsional (a proportional tax rate)
c. Tarif Degresif (a degressive tax rate)
d. Tarif Tetap (a fixed tax rate)

1. Tarif Progresif
Tarif progresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin besar
bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar.
Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Tarif pajak Progresif Progresif
Tarif pajak Progresif Progresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase
yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan
pajak, dan kenaikan presentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali naik.
b. Tarif pajak Progresif Proporsional
Tarif pajak Progresif Proporsional adalah tarif pemungutan pajak dengan
persentase yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar
pengenaan pajak, namun kenaikan presentase untuk setiap jumlah tertentu tetap.
c. Tarif pajak Progresif Degresif
Tarif pajak Progresif Degresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase
yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan
pajak, namun kenaikan presentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali menurun.

Contoh tarif pajak progresif adalah tarif untuk Pajak Penghasilan Orang Pribadi
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008,
sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00 5%
Di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00 15 %
Di atas Rp 250.000.000,00 s.d. Rp 500.000.000,00 25 %
Di atas Rp 500.000.000,00 30 %

Dengan demikian, tarif pajak menurut pasal 17 Undang-Undang nomor 36


Tahun 2008, pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi dalam negeri tersebut
termasuk tarif progresif degresif.

2. Tarif Degresif
Tarif degresif merupakan kebalikan dari tarif progresif. Tarif degresif adalah
tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin kecil bila jumlah yang dijadikan
dasar pengenaan pajak semakin besar. Namun, tidak berarti jika persentasenya
semakin kecil kemudian jumlah pajak yang terutang juga menjadi kecil. Akan tetapi
malah bisa menjadi lebih besar karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan
pajaknya juga semakin besar.
Contoh tarif pajak degresif:
Dasar Pengenaan
Tarif Pajak Pajak yang terutang
Pajak
Rp 10.000.000,- 15% Rp 1.500.000
Rp 25.000.000,- 13% Rp 3.250.000
Rp 50.000.000,- 11% Rp 5.500.000
Rp 60.000.000,- 10% Rp 6.000.000
Jumlah pajak terutang Rp 16.250.000

3. Tarif Proporsional
Tarif proporsional tidak lagi dipengaruhi oleh naik turunnya dasar objek yang
dikenakan pajak, karena tarifnya telah berlaku secara sebanding. Tarif proporsional
adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan persentase tetap tanpa
memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Semakin besar jumlah
yang dijadikan dasar pengenaan pajak, akan semakin besar pula jumlah pajak
terutang (yang harus dibayar). Tarif ini diterapkan dalam UU No. 18 Tahun 2000
(UU PPN dan PPnBM) yang menggunakan tarif proporsional sebesar 10%.
Contoh tarif pajak proporsional:

Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak Pajak yang terutang


a. Rp 15.000.000,- 10% Rp 1.500.000,-
b. Rp 25.000.000,- 10% Rp 2.500.000,-
c. Rp 40.000.000,- 10% Rp 4.000.000,-
d. Rp 60.000.000,- 10% Rp 6.000.000,-

4. Tarif Tetap
Tarif tetap adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa
memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Tarif ini diterapkan
dalam UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM). Dengan adanya PP No. 24
Tahun 2000, tarif yang digunakan adalah Bea Meterai dengan nilai nominal sebesar
Rp 3.000 dan Rp 6.000.

5. Tarif Advalorem
Tarif advalorem adalah suatu tarif dengan persentase tertentu yang dikenakan/
ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang.
Misalnya PT XZY mengimpor barang jenis A sebanyak 1500 unit dengan
harga per unit Rp 100.000. Jika tarif Bea Masuk atas Impor Barang tersebut 20%,
maka besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah:

Nilai Barang Impor = 1500 x Rp 100.000 = Rp 150.000.000


Tarif Bea Masuk 20%, maka
Bea Masuk yang harus dibayar = 20% x Rp 150.000.000
= Rp 30.000.000

6. Tarif Spesifik
Tarif spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis barang
tertentu atau suatu satuan jenis barang tertentu.
Misalnya PT ABC mengimpor barang jenis Z sebanyak 1500 unit dengan
harga per unit Rp 100.000. Jika tarif Bea Masuk atas impor barang Rp 10.000 per
unit, maka besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah:
Jumlah Barang Impor = 1500 unit
Tarif Bea Masuk Rp 10.000, maka
Bea Masuk yang harus dibayar = Rp 10.000 x 1500
= Rp 15.000.000

7. Tarif Efektif
Tarif efektif adalah tarif dimana jumlah pajak yang dibayarkan dibandingkan
dengan jumlah penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak.
Contoh: Tuan Andi mempunyai penghasilan kena pajak selama tahun 2008
sebesar Rp 750.000.000. Hitung besarnya pajak yang harus dibayar!
a. Dengan tarif progresif menurut UU No. 17 Tahun 2000
5% x Rp 25.000.000 = Rp 1.250.000
10% x Rp 25.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000
25% x Rp 100.000.000 = Rp 25.000.000
35% x Rp 550.000.000 = Rp 192.500.000
Jumlah pajak terutang Rp 228.750.000

b. Dengan tarif efektif


228.750.000 x 100% = 30,5%
750.000.000
Jika tarif efektif 30,5% tersebut dikalikan penghasilan kena pajak, maka akan
dihasilkan jumlah pajak yang sama jika digunakan tarif progresif dalam
perhitungannya.

2) Latihan
1. Apa yang dimaksud dengan tarif progresif?
2. Tarif apa saja yang digunakan dalam perundang-undangan perpajakan Indonesia?
3. Mengapa tariff degresif tidak digunakan dalam perundang-undangan perpajakan Indonesia?
4. Menurut Anda, lebih mencerminkan keadilan yang mana antara perhitungan pajak dengan
tarif progresif dengan adanya lapisan penghasilan kena pajak ataukah perhitungan pajak
dengan tarif efektif? Berikan alasan Anda!
VIII. KEGIATAN BELAJAR 7
UTANG PAJAK

1) Uraian dan Contoh

A. Pengertian
Salah satu kewajiban Wajib Pajak adalah melunasi utang pajak. Apabila kita
mempelajari undang-undang perpajakan, akan dibedakan antara pengertian Utang Pajak
dan Pajak yang Terutang. Pada hakikatnya, istilah utang pajak tidak berbeda dengan pajak
yang terutang sebagai suatu kewajiban yang wajib dibayar lunas oleh Wajib Pajak dalam
jangka waktu yang ditentukan.
Istilah utang pajak digunakan dalam UU PPSP (Pasal 1 angka 8) dengan pengertian
bahwa utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa
bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Utang pajak ini timbul berkaitan dengan
pelunasan surat ketetapan pajak dan atau pelaksanaan penagihan pajak.
Istilah pajak yang terutang digunakan dalam UU KUP (Pasal 1 angka 10) dengan pengertian
bahwa pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak,
dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Pengertian pajak yang terutang:
Pada suatu saat, misalnya pengenaan pajak atas penghasilan dari undian (kuis
berhadiah), di sini tidak mengenal masa pajak maupun tahun pajak.
Dalam Masa Pajak, misalnya pajak yang terutang atas PPh Masa yang dibayar
sendiri (PPh Pasal 25)
Dalam Tahun Pajak, misalnya pajak penghasilan dari hasil perhitungan tahunan.
Dalam Bagian Tahun Pajak, ada dua pengertian bagian tahun pajak, yakni mereka
yang datang ke Indonesia Dalam Tahun Berjalan, atau mereka yang akan
meninggalkan Indonesia Dalam Tahun Berjalan. Misalnya, Ny. Manohara yang
bertempat tinggal di Indonesia, pada 30 Juni 2009 pergi ke luar negeri untuk
selamanya. Maka, bagian tahun pajak Ny. Manohara untuk tahun 2009 dimulai per 1
Januari 2009 dan berakhir 30 Juni 2009. Sedangkan Tn. Fachry yang berasal dari
Malaysia, pada tanggal 1 Juli 2009 berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Maka, bagian tahun pajak Tn. Fachry untuk tahun 2009 dimulai per 1 Juli 2009 dan
berakhir 31 Desember 2009.
Untuk menghindari kesalahpahaman mengenai pengertian utang pajak dengan pajak
yang terutang, dalam penerapannya digunakan asas hukum lex specialis derogat legi
generali, yaitu aturan khusus (UU PPSP) mengesampingkan aturan yang umum (UU KUP).
Maka, yang paling tepat digunakan adalah pengertian yang terdapat pada UU PPSP karena
lebih luas cakupannya dibandingkan dengan pengertian utang pajak yang dimaksud dalam
UU KUP. Berarti utang pajak tidak hanya pajak yang kurang dibayar, tetapi juga termasuk
sanksi administrasinya.
Perbedaannya dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak dapat digambarkan sebagai berikut:
Pajak terutang Rp
Kredit pajak (Rp. )
Pajak yang kurang dibayar Rp
Sanksi Administrasi
Bunga/Denda/Kenaikan Rp
Yang masih harus dibayar Rp

B. Sifat Utang Pajak


Dalam penagihan pajak, objek yang ditagih berbeda dengan pelaksanaan perpajakan pada
umumnya. Objek yang ditagih bukan lagi Wajib Pajak, akan tetapi Penanggung Pajak, dan pengertian
utang pajak adalah utang pajak yang terdapat dalan surat ketetapan pajak, antara lain Surat Ketetapan
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Tagihan Pajak.
Adapun sifat-sifat utang pajak adalah :
1. Dapat dipaksakan
Seperti sifat pajak pada umumnya, utang pajak juga bersifat memaksa. Apabila
penanggung pajak belum juga melunasi pajak yang dibebankan pada waktu yang telah
ditentukan, penagihan dapat dilakukan dengan cara paksa melalui Surat Paksa (SP),
Surat Pemberitahuan Melaksanakan Penyitaan (SPMP), dan pelelangan harta
Penanggung Pajak berdasarkan UU PPSP No. 19 Tahun 1997 jo UU No. 19 Tahun 2000.
2. Dapat menunjuk orang lain untuk ikut membayarnya
Utang pajak yang dibebankan kepada Wajib Pajak dapat dialihkan, baik sebagian
ataupun seluruhnya kepada pihak lain yang berhubungan dengan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Ayat (1) dan Ayat (3) UU KUP No. 28 Tahun
2007., yaitu:
a. badan oleh pengurus, termasuk orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut
menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan;
b. badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
c. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
pemberesan;
d. badan dalam likuidasi oleh likuidator;
e. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya
atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
f. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau
pengampunya;
g. orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan
memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Wajib Pajak dan pihak lain yang berhubungan dengan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
di atas lazim disebut Penanggung Pajak.
3. Dapat ditagih seketika
Pajak yang terutang dapat dilakukan penagihan secara seketika dan sekaligus.
Pengertian seketika adalah dengan tidak menunggu waktu jatuh tempo pembayaran utang
pajak yang telah ditentukan. Pengertian sekaligus adalah bahwa penagihan dapat
dilakukan terhadap semua jenis utang pajak.
4. Mempunyai hak mendahului terhadap utang yang lain atau lebih utama pelunasannya
daripada utang yang lain
Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik
Penanggung Pajak. Kedudukan Negara sebagai kreditur preferen mempunyai hak
mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka
umum. Pelunasan utang pajak diprioritaskan daripada utang Penanggung Pajak kepada
pihak-pihak lain. Hak mendahulu atas utang pajak meliputi pokok pajak, sanksi
administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
5. Dapat dilakukan pencegahan atau penyanderaan terhadap Penanggung Pajak
Salah satu upaya penagihan utang pajak adalah dengan pencegahan atau
penyanderaan terhadap penanggung pajak. Pencegahan adalah larangan yang bersifat
sementara (selama-lamanya 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang selama 6 (enam)
bulan lagi) terhadap penanggung pajak tertentu untuk keluar dari wilayah NKRI
berdasarkan alasan tertentu sesuai undang-undang yang berlaku. Penyanderaan adalah
pengekangan untuk sementara waktu kebebasan penanggung pajak di tempat tertentu
(tempat penyanderaan).
Untuk menghindari kesewenang-wenangan fiskus dalam pelaksanaan pencegahan
dan penyanderaan, diberikan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain :
a. Syarat kuantitatif, yaitu apabila Penanggung Pajak mempunyai utang pajak
sekurang-kurangnya Rp. 100.000.000,00.
b. Syarat kualitatif, yaitu diragukannya itikad baik Penanggung Pajak dalam
melunasi utang pajaknya.

C. Sebab Timbulnya Utang Pajak


Kapan timbulnya utang pajak merupakan kajian dari hukum pajak untuk
menentukannya. Dalam hal ini terdapat dua teori yang mempersoalkannya, yakni teori
materiil dan teori formil, apakah cara timbulnya utang pajak karena bunyi undang-undang
pajak atau semata karena tindakan pejabat pajak.
1. Teori Materiil
Menurut teori materiil utang pajak timbul karena telah memenuhi syarat tatbestand
yang terdiri dari keadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa, atau perbuatan-perbuatan
tertentu, sehingga tidak memerlukan campur tangan pejabat pajak untuk menerbitkan
surat ketetapan pajak. Keberadaan surat ketetapan pajak tidak menimbulkan utang pajak.
Berdasarkan teori ini, surat ketetapan pajak memiliki fungsi, di antaranya:
a. dasar penagihan pajak, dan
b. menentukan jumlah utang pajak.
Jadi, utang pajak timbul karena undang-undang pajak sendiri. Hal ini terkait
dengan Pasal 12 Ayat (1) UU KUP yang menyatakan bahwa setiap Wajib Pajak wajib
membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan
pajak. Dalam penjelasannya juga dikatakan bahwa Pajak pada prinsipnya terutang pada
saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan
administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:
a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau
yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak
atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah; atau
c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.

Pejabat Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas
semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat
ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh
ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data
fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Teori materiil sebenarnya malah memberi keringanan tugas Pejabat Pajak dalam
melakukan pengawasan terhadap Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban dan
menjalankan hak-haknya sebagaimana ditur dalam perundang-undangan perpajakan.
Pejabat Pajak hanya bertugas melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan Wajib
Pajak. Apabila saat pemeriksaan ternyata ditemukan ketidakpatuhan Wajib Pajak, Pejabat
Pajak berwenang menjatuhkan sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan
atas jumlah pajak yang terutang.
Kelemahan teori materiil adalah pada saat timbulnya utang pajak, belum diketahui
dengan pasti berapa besarnya utang pajak karena kebanyakan Wajib Pajak tidak
memahami dan menguasai ketentuan undang-undang pajak, sehingga kurang mampu
menerapkannya.
Sebagai contoh, misalnya, syarat timbulnya utang pajak bagi si A menurut UU PPh, antara
lain, jika si A telah bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu dua belas bulan, dan jika si A telah mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP. Maka,
sudah timbul utang pajak bagi si A. Dia tidak perlu menunggu fiskus menerbitkan SKP.
2. Teori Formil
Teori formil merupakan kebalikan dari teori materiil. Menurut teori ini, timbulnya
utang pajak bukan karena undang-undang pajak. Walaupun telah dipenuhi tatbestand,
tetapi Pejabat Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, maka belum timbul utang
pajak. Dalam teori formil, surat ketetapan pajak memiliki fungsi, di antaranya:
a. menimbulkan utang pajak;
b. dasar penagihan pajak;
c. menentukan jumlah pajak yang terutang.
Jadi, selama belum ada surat ketetapan pajak, belum ada utang pajak, walaupun
syarat-syarat subjekif dan syarat-syarat objektif serta waktu telah terpenuhi.
Kelemahan teori formil ini yaitu besar sekali kemungkinan utang pajak ditetapkan
tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Selain itu, teori formil tidak dapat
diterapkan terhadap pajak tidak langsung karena pajak tidak langsung tidak
menggunakan surat ketetapan pajak. Teori ini hanya diterapkan dalam saat timbulnya
utang Pajak Bumi Bangunan.
Sebagai contoh, misalnya, utang pajak si A baru akan timbul sesudah fiskus menerbitkan
SKP. Secara ekstrim, si A tidak mempunyai kewajiban membayar pajak
penghasilan/pendapatannya jika fiskus belum menerbitkan SKP. Teori ini sangat lemah karena
banyak jenis pajak yang terutang dan dibayar tidak perlu menunggu diterbitkannya surat
ketetapan pajak, misalnya Bea Materai, PPh Pasal 21, dll.

D. Berakhirnya Utang Pajak


Utang pajak merupakan perikatan, yaitu perikatan antara Wajib Pajak dengan
Pemerintah sebagai pemungut pajak. Seperti halnya perikatan pada umumnya, utang pajak
juga akan berakhir pada saatnya. Ada beberapa cara yang dapat menyebabkan berakhirnya
utang pajak, antara lain:
1. Pelunasan
Pelunasan yakni Penanggung Pajak membayar lunas utang pajak dengan Surat
Setoran Pajak melalui bank persepsi atau tempat lain yang ditunjuk Menteri Keuangan.
Pembayaran pajak hanya dapat dilakukan dengan uang dan bukan dengan bentuk lainnya.
2. Keputusan Keberatan/Putusan Banding
Ada 2 cara yang menyebabkan keputusan keberatan atau putusan banding ini
menjadikan utang pajak berakhir, yaitu:
a. Keputusan keberatan atau putusan banding yang menerima seluruh keberatan Wajib
Pajak, sehingga utang pajak menjadi habis.
b. Keputusan keberatan atau putusan banding yang menerima sebagian permohonan
Keberatan atau Banding yang diajukan, dengan disertai pelunasan melalui
pembayaran atas jumlah yang tidak diterima/dikabulkan dalam keberatan/banding
tersebut.
Apabila wajib pajak telah membayar sebagian atau melunasi utang pajak, maka
jumlah yang telah dibayar tersebut dikembalikan, dan Negara membayar imbalan bunga
sebesar 2% per bulan, dihitung sejak saat pelunasan sampai dengan diterbitkannya
putusan keberatan atau banding.
3. Kompensasi
Kompensasi adalah suatu cara menghapus utang pajak yang dilakukan melalui cara
pemindahan kelebihan pajak pada suatu jenis pajak (pada tahun yang sama atau tahun
yang berbeda) dengan menutup kekurangan utang pajak atas jenis pajak yang sama atau
jenis pajak lainnya (juga pada tahun yang sama atau tahun yang berbeda).
4. Daluwarsa (Verjaring)
Menurut Pasal 1946 KUHPerdata, daluwarsa adalah alat untuk memperoleh suatu
hak atau dibebaskannya dari suatu kewajiban karena lampaunya suatu jangka waktu
sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dengan undang-undang. Dalam hukum pajak,
daluwarsa bisa terjadi karena lampaunya waktu penetapan pajak (penerbitan surat ketetapan
pajak) maupun karena lampaunya waktu proses penagihan pajak.
Menurut Pasal 13 dan Pasal 22 UU KUP No. 28 Tahun 2007, daluwarsa pajak adalah 5
(lima) tahun. Artinya setelah batas waktu tersebut, Wajib Pajak tidak lagi mempunyai kewajiban
untuk melunasi utang pajak. Sedangkan dalam sistem official assessment, jika terdapat utang
pajak yang daluwarsa penagihannya, maka Wajib Pajak dihimbau untuk membayar. Apabila
dibayar, pembayarannya juga bisa disebut uang pembasuh batin.

5. Penghapusan
Utang pajak juga akan berakhir jika diterbitkan Surat Keputusan Penghapusan
Utang Pajak dan penghapusan ini dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 24 UU KUP No. 28 Tahun 2007, kewenangannya diserahkan kepada
Menteri Keuangan. Menteri Keuangan mengatur tata cara penghapusan dan menentukan
besarnya jumlah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi, antara lain, karena:
a. Wajib Pajak telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan,
b. Wajib Pajak badan yang telah selesai proses pailitnya, atau
c. Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai subjek pajak dan hak untuk melakukan
penagihan pajak telah daluwarsa.
Melalui cara ini dapat diperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang pajak yang akan
dapat ditagih atau dicairkan.

2) Latihan
1. Apa yang Saudara ketahui mengenai utang pajaak? Jelaskan saat terjadinya dan saat
pembayarannya?
2. Apa perbedaan pengertian Pajak Terutang dengan Utang Pajak?
3. Jelaskan dua ajaran tentang penyebab timbulnya utang pajak?
4. Jelaskan sifat-sifat dari utang pajak?
5. Jelaskan beberapa cara yang dapat menyebabkan berakhirnya utang pajak?
IX. KEGIATAN BELAJAR 8
SUBJEK DAN OBJEK PAJAK

1) Uraian dan Contoh

A. Pengertian
Subjek Pajak adalah siapa saja yang dikenakan pajak. Objek Pajak adalah apa saja
yang dijadikan sasaran pajak.

B. Subjek Pajak
1. Subjek PPh
Subjek PPh terdiri dari:
a. Subjek pajak dalam negeri
b. Subjek pajak luar negeri

Subjek pajak dalam negeri meliputi:


a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia;
b. orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
c. orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
untuk bertempat tinggal di Indonesia;
d. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;
e. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Namun, tidak semua badan merupakan subjek PPh. Ada badan-badan pemerintah
tidak termasuk dalam Subjek pajak. Adapun karakteristik badan pemerintah yang tidak
termasuk sebagai Subjek Pajak:
a. dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
b. dibiayai dengan dana yang bersumber dari dari APBN atau APBD; dan
c. penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Daerah; dan
d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

Sedangkan subjek pajak luar negeri meliputi:


a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
b. orang pribadi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; dan
c. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
atau yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang
dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat
berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang
digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
j. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
k. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia.
Namun, tidak semua pihak asing termasuk sebagai Subjek Pajak Luar Negeri.
Tidak termasuk Subjek Pajak Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU PPh
No. 36 Tahun 2008 adalah:
a. badan perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada
dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar
jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan, dengan syarat:
1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak
menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia.
Perbedaan antara SPDN dengan SPLN
SPDN SPLN
a) Dikenakan pajak atas a) Dikenakan pajak atas penghasilan yang
penghasilan yang diperoleh bersumber dari Indonesia.
dari Indonesia.
b) Berdasarkan penghasilan b) Berdasarkan penghasilan bruto yang diterima
netto dengan tarif umum. dari Indonesia.
c) Wajib menyampaikan SPT. c) Tidak wajib menyampaikan SPT.
Kemudian setelah diketahui apa yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri
dan subjek pajak luar negeri, pertanyaan yang sering muncul adalah kapan saat bermula
dan berakhirnya kewajiban pajak pada subjek pajak? Saat bermula dan berakhirnya
kewajiban pajak pada subjek pajak untuk :
a. Subjek Pajak Orang Pribadi dalam negeri, yaitu:
Dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk
bertempat tinggal di Indonesia;
Berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-
lamanya.
b. Subjek Pajak Badan dalam negeri, yaitu:
Dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia;
Berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di
Indonesia.
c. Warisan yang belum terbag, yaitu:
Dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut;
Berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.
d. Subjek Pajak BUT, yaitu:
Dimulai pada saat orang pribadi atau badan luar negeri tersebut menjalankan
usaha atau atau melakukan kegiatan melalui But;
Berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui BUT.
e. Subjek Pajak Orang Pribadi atau badan luar negeri non-BUT, yaitu:
Dimulai pada saat orang pribadi atau badan luar negeri tersebut menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia;
Berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

2. Subjek PPN
Dalam Pasal 4, 16C dan 16D UU PPN 1984 dapat diketahui Subjek PPN
dikelompokan menjadi dua, yaitu:
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
2. Bukan Pengusaha Kena Pajak (Non PKP)

Pengusaha Kena Pajak yang merupakan subjek PPN, yaitu:


a. Pengusaha yang Menyerahkan BKP di dalam Daerah Pabean (ps 4 huruf a);
b. Pengusaha yang Menyerahkan JKP di dalam Daerah Pabean (Ps 4 huruf c);
c. Pengusaha yang Mengekspor BKP (Ps 4 huruf f); dan atau
d. Pengusaha yang Menyerahkan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan (Ps. 16D).

Contoh PKP sebagai subjek PPN yaitu:


a. Pabrikan,
b. Importir;
c. Eksportir;
d. Indentor;
e. Agen utama atau penyalur utama;
f. Pengusaha pemegang hak atau mengguanakn paten atau merek dagang BKP;
g. Pedagang besar;
h. Pedagang eceran besar;
i. Pemborong atau kontraktor;
j. Pengusaha jasa bidang telekomunikasi;
k. Pengusaha jasa angkutan udara dalam negeri;
l. Pengusaha lain yang ditetapkan DJP.

Sedangkan Non PKP yang merupakan subjek PPN yaitu Non PKP yang:
a. Mengimpor BKP (Ps 4 huruf b);
b. Memanfaatkan BKP tidak berwujud atau JKP dari Luar di dalam daerah Pabean
(Ps. 4 huruf d dan e); dan atau
c. Membangun Sendiri tidak dalam Kegiatan Usaha/Pekerjaan (Ps. 16C).
Yang dimaksud dengan Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 14 UU PPN 1984 yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-undang ini, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha kecil tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Namun diperbolehkan untuk menjadi PKP. Menurut Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 571/KMK.03/2003, Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang menyerahkan BKP
dan atau JKP tidak lebih dari Rp. 600.000.000,00.

3. Subjek PBB
Subjek PBB adalah orang atau badan yang mempunyai:
a. hak atas bumi;
b. memperoleh manfaat atas bumi;
c. memiliki, menguasai, memperoleh manfaat atas bangunan;

4. Subjek BPHTB
Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
atau bangunan.

5. Subjek Bea Meterai


Subjek Bea Meterai adalah pihak-pihak yang menggunakan dokumen-dokumen
yang disebutkan dalam Undang-undang No. 13 tahun 1985.

C. Objek Pajak
1. Objek PPh
Ketentuan mengenai objek PPh diatur dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
UU PPh. Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apa pun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi,
uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa
pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan social termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihakpihak yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak
yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan
imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan
hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran
berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang,
kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang
asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali
aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh
perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha
atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal
dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.

Sedangkan penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:


a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi
dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi
derivative yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura;
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau
bangunan; dan
e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.

Yang dikecualikan dari objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) UU
PPh adalah:
a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia,
yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang,diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak
yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan
usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang
disetor;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pension yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma,
dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
j. dihapus;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau
kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang
menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan,
yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali
dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya
sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan
n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

2. Objek PPN
Dalam Pasal 4:
1. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha ;
2. Impor BKP;
3. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
6. Ekspor BKP oleh Pengusaha Kena Pajak.

Dalam Pasal 16C, yaitu kegiatan membangun sendiri yang dilakukan


tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya
digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur
dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Dalam Pasal 16D, yaitu penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena


Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan,
sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat
dikreditkan.

Adapun syarat pengenaan PPN pada penyerahan barang atau jasa, adalah:
1. Yang diserahkan adalah BKP/JKP; dan
2. Dilakukan dalam daerah pabean;dan
3. Yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP); dan
4. Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha/pekerjaan PKP.

Namun, dalam keseharian ada juga Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan
barang/jasa dimana barang/jasa tersebut bukan merupakan barang kena pajak/jasa kena
pajak. Adapun Bukan Barang Kena Pajak dan Bukan Jasa Kena Pajak menurut Pasal 4A UU
PPN 1984 jo. PP.144 Tahun 2000, meliputi:
a. Semua barang adalah Barang Kena Pajak, kecuali (Bukan Barang Kena Pajak), yaitu
1. Hasil pertambangan atau hasil pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya,
yaitu:
- minyak mentah (crude oil), gas bumi, panas bumi;
- pasir dan kerikil;
- batubara sebelum jadi briket batubara; dan
- bijih besi, bijih timah, bijih emas, dll
2. Barang-barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat banyak beras, gabah,
jagung, sagu, kedelai; dan garam;
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel,restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya kecuali jasa catering,
4. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
b. Semua jasa adalah Jasa Kena Pajak, kecuali (Bukan Jasa Kena Pajak), yaitu
1. Jasa di bidang Pelayanan Kesahatan;
2. Jasa di bidang Pelayanan Sosial;
3. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;
4. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;
5. Jasa di bidang keagamaan;
6. Jasa di bidang pendidikan;
7. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
8. Jasa kesenian dan hiburan yang dikenakan pajak tontonan
9. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;
10. Jasa di bidang tenaga kerja;
11. Jasa di bidang perhotelan;
12. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum.

3. Objek PBB
Objek PBB adalah benda tidak bergerak yaitu berupa bumi dan bangunan. Bumi adalah
permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Bangunan adalah konstruksi teknik
yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik,
dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks
bangunan tersebut;
jalan TOL;
kolam renang;
pagar mewah;
tempat olah raga;
galangan kapal, dermaga;
taman mewah;
tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
fasilitas lain yang memberikan manfaat.
Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB, meliputi:
a. Objek Pajak yang digunakan semata-mata untuk melayanikepentingan umum di bidang
ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan
untuk memperoleh keuntungan.
b. Objek Pajak yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis
dengan itu;
c. Objek Pajka merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah Negara yang belum dibebani
suatu hak;
d. Objek Pajak yang digunakan oleh perwakilan diplomatic, konsulat, berdasarkan asas
perlakuan timbale balik;
e. Objek Pajak yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh Menteri Keuangan.

4. Objek BPHTB
Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan meliputi:
a. Pemindahan Hak, karena:
Jual beli;
Tukar menukar;
Hibah;
Hibah wasiat;
Waris;
Pemasukan dalam perseroan atau badab hokum lainnya;
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
Penunjukan pembeli dalam lelang;
Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hokum tetap;
Penggabungan usaha;
Peleburan usaha;
Pemekaran usaha;
Hadiah.
b. Pemberian hak baru, karena:
Kelanjutan pelepasan hak; dan
Di luar pelepasan hak.

Hak atas tanah itu sendiri meliputi:


a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun;
f. hak pengelolaan.

5. Objek Bea Meterai


Objek Bea Meterai yaitu :
a. Dokumen-dokumen yang telah disebutkan dalam Undang-undang tentang Bea Meterai,
seperti:
Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat
perdata;
Akta-akta notaris termasuk salinannya;
Akta-akta yang dibuat PPAT;
Surat yang memuat jumlah uang lebih dari satu juta rupiah;
Surat berharga;
Efek yang harag nominalnya lebih dari satu juta rupiah.

b. Dokumen-dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, seperti:


Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;
Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang laian, lain dari maksud
semula. Misalnya Surat Keterangan Dokter, Laporan Taksiran, Berita Acara
Pemeriksaan, Keterangan Hak Warisan, dan lain-lain.

2) Latihan
1. Apa yang dimaksud dengan subjek pajak dan objek pajak?
2. Siapa saja yang menjadi Subjek PPh?
3. Jelaskan sebenarnya apa yang dimaksud dengan penghasilan menurut UU PPh?
4. Jelaskan Objek Pajak dari PPN?
5. Siapa saja Subjek Pajak dar PPN?
6. Jelaskan beberapa bentuk dari Pemindahan Hak dan perolehan Hak yang menjadi objek
BPHTB?
7. Mengapa warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
dianggap sebagai Subjek Pajak?
8. Ny. Hapsari adalah seorang TKI di Malaysia. Apakah dia Subjek Pajak Indonesia?
Apakah dia Wajib Pajak Indonesia? Berikan alasan Anda!
9. Ny. Elizabeth seorang warga Negara Amerika yang bekerja pada Kedutaan Besar Amerika
di Jakarta.Dia juga bekerja sebagai pengajar pada salah satu sekolah internasional di
Jakarta. Apakah dia Subjek Pajak Indonesia? Berikan alasan Anda!
10. Ny. Murtini adalah seorang warga negara Indonesia yang yang bekerja pada Kedutaan
Besar Palestina di Jakarta? Apakah dia Subjek Pajak Indonesia? Apakah dia Wajib Pajak
Indonesia? Berikan alasan Anda!
X. KEGIATAN BELAJAR 9
KETETAPAN PAJAK

1) Uraian dan Contoh

A. Pengertian
Menurut Pasal 1 angka 15 UU KUP No. 28 Tahun 2007, Surat Ketetapan Pajak adalah
surat ketetapan yang meliputi:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar

B. Macam-macam Surat Ketetapan Pajak


1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan
pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih
harus dibayar. (Pasal 1 angka 16 UU KUP)
Penerbitan SKPKB
Menurut Pasal 13 ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007, dalam jangka waktu 5
(lima tahun) setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian
Tahun Pajak atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut :
a. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang
tidak atau kurang dibayar;
b. apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak
disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
c. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai PPN dan
PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak
seharusnya dikenai tarif 0 % (nol persen);
d. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak
dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yg terutang.
e. apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (4a).
Sanksi Administrasi
Penerbitan SKPKB akan diikuti dengan sanksi administrasi yang bisa berupa
denda maupun berupa kenaikan, sebagai berikut:
a. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah
dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) per bulan
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak
atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai
dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. {Pasal 13 (2) UU
KUP}
b. Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar :
50 % (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang
dibayar dalam satu Tahun Pajak;
100 % (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang
dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong
atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau
100 % (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar. {Pasal
13 (3) UU KUP}
Daluwarsa Penerbitan SKPKB
Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat
Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun
Pajak, tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.
Walaupun jangka waktu 5 (lima) tahun telah lewat, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 48 % dari jumlah pajak yg tidak atau kurang dibayar, apabila Wajib Pajak
setelah jangka waktu tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yg telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)


Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. (Pasal 1 angka 17 UU
KUP)
Penerbitan SKPKBT
Menurut Pasal 13 ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007, Direktur Jenderal
Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang
mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan
tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan.
Penerbitan SKPKBT dilakukan apabila ditemukan data baru (novum). Menurut
Penjelasan Pasal 15 UU KUP, yang dimaksud dengan data baru adalah data atau
keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya
jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada
waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-
lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada
waktu pemeriksaan.
Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum
terungkap, yaitu data yang:
a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta
lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau
b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak
mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar,
lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam
menghitung jumlah pajak yang terutang.
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan
atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila
memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga
membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang
secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang
seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum
terungkap.
Sanksi Administrasi
Dalam Pasal 15 ayat (2), jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak
tersebut.
Namun, dalam Pasal 15 ayat (3) disebutkan bahwa kenaikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib
Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai
melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan.
Daluwarsa Penerbitan SKPKBT
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya
pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila
ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang
setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan.
Apabila jangka waktu 5 (lima) tahun telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang
dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut
dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana
lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar


Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada
pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. (Pasal 1 angka 19 UU KUP)
Penerbitan SKPLB
Ada 2 cara dalam menerbitkan SKPLB sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat
(1) dan ayat (2) UU KUP, yaitu:
a. Menurut Pasal 17 ayat (1) UU KUP, Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan
pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah
kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah
pajak yang terutang. SKPLB akan diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan
atas SPT yang disampaikan WP yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih
bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak. Apabila WP setelah menerima SKPLB dan menghendaki
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib mengajukan permohonan
tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
b. Sedangkan dalam Pasal 17 ayat (2) UU KUP, berdasarkan permohonan Wajib
Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran
pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih
dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah
ditetapkan.
Batas Waktu Penerbitan SKPLB
SKPLB akan diterbitkan jika ada permohonan tertulis dari Wajib Pajak. Kepala
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) harus sudah menerbitkan SKPLB paling lambat 12
bulan sejak permohonan diterima, kecuali untuk kegiatan tertentu akan ditetapkan
lain oleh Direktur Jenderal Pajak. Apabila jangka waktu 12 bulan telah lewat, maka
permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan Wajib Pajak berhak memperoleh
pengembalian atas kelebihan pajaknya. Akan tetapi, jika Wajib Pajak masih
mempunyai utang pajak yang lain, makalebih dahulu digunakan untuk melunasi
utang pajaknya.
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil
Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan
tidak ada kredit pajak. (Pasal 1 angka 18 UU KUP)
Penerbitan SKPN
Menurut Pasal 17A UU KUP No. 28 Tahun 2007, Direktur Jenderal Pajak
setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila
jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang
terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada
pembayaran pajak.
Untuk Pajak Penghasilan, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang
terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
Untuk Pajak Pertambahan Nilai, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak
yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
Untuk PPnBM, jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang
terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak.

C. Surat Tagihan Pajak (STP)


Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi
administrasi berupa bunga dan/atau denda. (Pasal 1 angka 20 UU KUP)
Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan
pajak sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.
Menurut Pasal 14 (1) UU KUP , Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat
Tagihan Pajak apabila :
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis
dan/atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
d. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat
faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
e. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP yang tidak mengisi faktur pajak secara
lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984 dan
perubahannya, selain: 1. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(5) huruf b UU PPN 1984 dan perubahannya; atau 2. identitas pembeli serta nama dan
tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g UU
PPN 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh PKP pedagang
eceran;
f. PKP melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak; atau
g. PKP yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) UU PPN 1984 dan perubahannya. (Pasal
9 ayat (6a) UU PPN 1984 masih merupakan pasal dalam RUU PPN Perubahan ketiga
yang belum diberlakukan)
Penerbitan Surat Tagihan Pajak akan ditambah dengan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat
terutangnya pajak atau bagian tahun pajak sampai dengan diterbitkannya STP.

2) Latihan
1. Apa yang dimaksud dengan Surat Ketetapan Pajak?
2. Dalam hal apa sajakah dapat diterbitkan SKPKB?
3. Jelaskan mengapa dapat diterbitkan SKPKBT?
4. Apa saja sanksi administrasi yang dapat diberikan dalam hal penerbitan SKPKB dan
SKPKBT?
5. Kapan daluwarsa penerbitan SKPKB dan SKPKBT?
6. Apa yang menyebakan dapat diterbitkannya SKPKB dan SKPN?
7. Dalam hal apa saja dapat diterbitkan STP?
XI. KEGIATAN BELAJAR 10
PENAGIHAN PAJAK

1) Uraian dan Contoh

A. Pengertian
Dengan adanya sistem self assessment , telah diberikan kepercayaan penuh kepada
masyarakat Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan
pajaknya sendiri. Tetapi dalam kenyataannya, terdapat cukup banyak masyarakat yang
dengan sengaja atau dengan berbagai alasan tidak melaksanakan kewajiban membayar
pajaknya sesuai ketetapan pajak yang diterbitkan sehingga terjadi tunggakan pajak. Oleh
karena itu, dilakukanlah tindakan penagihan pajak berdasarkan UU No. 19 Tahun 1997
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19
Tahun 2000.
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang
pajaknya dan biaya penagihan pajak dengan cara menegur atau memperingatkan,
melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan
pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang-
barang yang telah disita.
Landasan Hukum :
- Pasal 18 sampai dengan Pasal 24 UU KUP .
- UU No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa .
Dasar Penagihan Pajak:
- STP,
- SKPKB,
- SKPKBT,
- SK Pembetulan,
- SK Keberatan ,
- Putusan Banding, serta
- Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus
dibayar bertambah.

B. Jurusita Pajak
Jurusita Pajak adalah pelaksana tindak Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan
Seketika dan Sekaligus serta pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
Jurusita Pajak diangkat dan diberhentikan oleh Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
untuk penagihan pajak pusat, Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk penagihan pajak daerah.
Jurusita bertugas:
a. Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus.
b. Memberitahukan Surat Paksa.
c. Melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan.
d. Melaksanakan Penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan

C. Macam Penagihan Pajak


1. Penagihan Pajak Pusat
Yang dimaksud dengan pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah
Pusat, antara lain Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, serta Bea Masuk dan Cukai.
Menteri Keuangan berwenang menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak pusat. Yang
dimaksud dengan Pejabat untuk penagihan pajak pusat antara lain Kepala Kantor
Pelayanan Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Menteri
Keuangan menunjuk:
a. Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai Pejabat untuk penagihan Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
b. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Pejabat untuk
penagihan Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.

2. Penagihan Pajak Daerah


Yang dimaksud dengan pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh
Pemerintah Daerah, antara lain Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Penerangan Jalan, dan
Pajak Kendaraan Bermotor. Kepala Daerah berwenang menunjuk Pejabat untuk
penagihan pajak daerah. Yang dimaksud dengan Pejabat untuk penagihan pajak daerah
misalnya Kepala Dinas Pendapatan Daerah.
Pejabat penagihan pajak pusat dan penagihan pajak daerah berwenang:
a. Mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak.
b. Menerbitkan:
1) Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis.
2) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus.
3) Surat Paksa.
4) Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
5) Surat Perintah Penyanderaan.
6) Surat Pencabutan Sita.
7) Pengumuman Lelang.
8) Surat Penentuan Harga Limit.
9) Pembatalan Lelang dan surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan
penagihan pajak.

D. Jenis Penagihan Pajak


1. Penagihan pajak pasif (Pasal 18 ayat 1 UU KUP)
Yaitu penagihan pajak yang dilakukan dengan STP, SKPKB, SKPKBT, SK
Keberatan, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali yang membuat pajak yang masih harus dibayar menjadi bertambah.
2. Penagihan pajak aktif
Yaitu penagihan yang dilakukan dengan peran aktif dari fiskus yaitu dimulai dari
menyampaikan surat teguran sampai dilakukannya lelang terhadap barang yang disita.

E. Tahap-tahapan Penagihan
Tindakan penagihan dilakukan baik secara persuasif maupun represif. Tindakan
penagihan diawali dengan keluarnya Surat Teguran. Namun, jika Wajib Pajak tidak
mengindahkannya, barulah dilakukan tindakan secara paksa melalui tindakan-tindakan
berikut ini.

1. Surat Teguran
Surat Teguran adalah surat yg diterbitkan untuk menegur atau memperingatkan
Wajib Pajak agar melunasi utang pajaknya. Apabila Penanggung Pajak tidak melunasi
utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran , tindakan Penagihan
Pajak diawali dengan penerbitan Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang
sejenis oleh Pejabat atau kuasa yang ditunjuk oleh Pejabat tersebut setelah 7 (tujuh) hari
sejak saat jatuh tempo pembayaran yang tercantum dalam surat ketetapan pajak. Surat
Teguran tidak diterbitkan kepada Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya.
Penerbitan Surat Teguran bisa disamakan dengan istilah somasi, yaitu suatu surat
yang bersifat memberi peringatan kepada pihak lain agar melakukan sesuatu yang
diinginkan oleh pemberi somasi. Surat Teguran lebih bersifat persuasif, kekuatan
hukumnya lemah. Pemberian Surat Teguran ini bermaksud apabila Wajib Pajak tidak
mengindahkan Surat Teguran tersebut, maka akan dilakukan tindakan represif dengan
menerbitkan surat lain yang mempunyai kekuatan hukum yang lebih memaksa seperti
Surat Paksa.

2. Surat Paksa
Apabila jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh
Penanggung Pajak setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak saat
diterbitkannya Surat Teguran, Pejabat segera menerbitkan Surat Paksa. Surat Paksa
diterbitkan apabila:
a. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan
Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis.
b. Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus.
c. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam
keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Surat Paksa sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak.
b. Dasar Penagihan.
c. Besarnya Utang Pajak.
d. Perintah untuk membayar.

Surat Paksa yang diterbitkan oleh Pejabat (Kepala Kantor Pelayanan Pajak/
Kepala KPPBB) mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama
dengan grosse akte, yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Oleh karena itu, pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak
oleh Jurusita Pajak harus dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan
kedua belah pihak menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Surat Paksa (yang
sekurang-kurangnya memuat hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa, nama
Jurusita Pajak, nama yang menerima, dan tempat pemberitahuan Surat Paksa) sebagai
pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan. Selanjutnya salinan Surat Paksa
diserahkan kepada Penanggung Pajak, sedangkan Surat Paksa yang asli disimpan di
kantor Pejabat.

Apabila terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat, misalnya kecurian, kebanjiran,


kebakaran, atau gempa bumi yang menyebabkan Surat Paksa yang asli rusak,tidak
terbaca, atau oleh sebab lain, misalnya Surat Paksa hilang atau tidak dapat ditemukan
lagi, Pejabat karena jabatan dapat menerbitkan Surat Paksa pengganti yang mempunyai
kekuatan dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat Paksa. Surat Paksa pengganti
mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat
Paksa.
Surat Paksa tidak bisa diterbitkan tanpa didahului Surat Teguran. Apabila terhadap
Wajib Pajak tidak pernah diterbitkan Surat Teguran atau surat lain yang sejenis namun
langsung diterbitkan dan diberikan Surat Paksa, maka secara yuridis Surat Paksa
tersebut dianggap tidak ada karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU
PPSP. Namun, Wajib Pajak yang kepadanya tidak pernah diterbitkan Surat Teguran
karena telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya, misalnya
Wajib Pajak yang mengalami kesulitan likuiditas, maka Surat Paksa dapat diterbitkan
langsung tanpa Surat Teguran.

Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
a. Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang
memungkinkan.
b. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha
Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat
dijumpai.
c. Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta
peninggalannya, apabila wajib pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum
dibagi.
d. Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah
dibagi. Terhadap Wajib Pajak yang meninggal dunia dan meninggalkan warisan yang
telah dibagi, Surat Paksa diterbitkan dan diberitahukan kepada masing-masing ahli
waris.Surat Paksa dimaksud memuat antara lain jumlah Utang Pajak yang telah
dibagi sebanding dengan besarnya warisan yang diterima oleh masing-masing ahli
waris. Dalam hal ahli waris belum dewasa, Surat Paksa diserahkan kepada wali atau
pengampunya.

Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:


a. Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik
di tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di
tempat lain yang memungkinkan.
b. Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan
apabila Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud
dalam huruf a.
Jika Wajib Pajak sudah dinyatakan pailit, maka Surat Paksa harus disampaikan
kepada Kurator, Hakim Pengawas, atau Balai Harta Peninggalan. Bila Wajib Pajak
dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa disampaikan kepada orang atau
badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator. Namun, jika Wajib
Pajak telah menunjuk seorang kuasa, maka Surat Paksa disampaikan kepada penerima
kuasa. Bila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak sudah tidak diketahui lagi alamatnya,
Surat Paksa akan ditempel pada papan pengumuman di kantor pajak yang menerbitka
Surat Paksa tersebut. Jika Penanggung Pajak menolak menerima Surat Paksa, maka
Jurusita Pajak bisa meninggalkan Surat Paksa di tempat Penanggung Pajak dan
mencatatnya dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat
Paksa.

Wajib Pajak dapat menolak (verzet) Surat Paksa atau dapat mengajukan gugatan
kepada badan Pengadilan Pajak, apabila terdapat hal-hal yang bersifat formal sebagai
berikut:
a. Surat Paksa disampaikan oleh seorang petugas yang bukan Jurusita Pajak yang telah
disumpah,
b. Surat Paksa dikirim melalui kantor pos, atau
c. Surat Paksa tidak ditandatangani oleh pejabat yang berwenang menerbitkan Surat
Paksa.

3. Penyitaan
Penyitaan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak untuk menguasai
barang Penanggung Pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut
peraturan perundang-unddangan yang berlaku.
Penyitaan tersebut dapat dilakukan baik terhadap barang bergerak maupun barang
tidak bergerak. Penyitaan barang bergerak meliputi mobil, perhiasan, uang tunai, dan
deposito berjangka, tabungan,saldo rekening koran, giro, obligasi, saham, atau surat
berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain. Penyitaan barang
tidak bergerak meliputi tanah, bangunan, dan kapal yang bobotnya 20 m3 atau lebih.
Pelaksanaan penyitaan terhadap barang bergerak lebih memprioritaskan pada proses
penagihan pajak dengan melakukan penyitaan asset Penanggung Pajak berupa monetary
assets seperti deposito berjangka, saldo rekening Koran, giro, piutang, obligasi, saham dan
surat berharga lainnya.
Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan pada barang bergerak, tetapi jika
barang bergerak yang dijumpai tidak mempunyai nilai atau harga yang memadai, maka
penyitaan dapat dilakukan terhadap barang tidak bergerak.
Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak Orang Pribadi termasuk
penyitaan terhadap barang milik istri, dan atau milik anak-anak yang masih menjadi
tanggungannya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi penghindaran penyitaan
terhadap barang-barang yang sebenarnya adalah milik Penanggung Pajak sendiri tetapi
diatasnamakan istri atau anaknya.
Penyitaan terhadap badan pada dasarnya dilaksanakan terhadap barang milik
perusahaan. Namun, apabila nilai barang tersebut tidak mencukupi, atau barang milik
perusahaan tidak dapat ditemukan, atau karena kesulitan dalam melaksanakan penyitaan
terhadap barang milik perusahaan, maka penyitaan dapat dilakukan terhadap barang-barang
milik pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, atau
ketua yayasan. Penyitaan dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan
cukup oleh Jurusita Pajak untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
Setiap melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan
Sita, yang merupakan pemberitahuan kepada Penanggung Pajak dan masyarakat bahwa
peguasaan barang Penanggung Pajak telah berpindah dari Penanggung Pajak kepada Pejabat,
yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak, dan saksi-saksi.

Dalam hal Penanggung Pajak menolak untuk meandatangani Berita Acara


Pelaksanaan Sita, Jurusita Pajak harus mencantumkan penolakan tersebut pada Berita Acara
Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan saksi-saksi. Walaupun
Penanggung Pajak tidak hadir, penyitaan tetap dapat dilaksanakan dengan syarat ada seorang
saksi yang berasal dari Pemerintah Daerah setempat. Berita Acara Pelaksanaan Sita itu
ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan saksi-saksi.

Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita dapat ditempelkan pada barang bergerak
maupun tidak bergerak yang disita, atau di tempat barang-barang itu berada, atau di tempat-
tempat umum. Barang yang disita tersebut diberi segel sita sebagai pengumuman bahwa
penyitaan telah dilaksanakan, baik dihadiri maupun tidak oleh Penanggung Pajak. Segel sita
memuat sekurang-kurangnya:
(i) kata DISITA;
(ii) Nomor dan tanggal Berita Acara Pelaksanaan Sita;
(iii) Larangan untuk memindahtangankan, memindahkan hak, meminjamkan, dan
merusak barang yang disita.
Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan kepada:
a. Penanggung Pajak.
b. Polisi, untuk barang bergerak yang kepemilikannya terdaftar.
c. Badan Pertanahan Nasional, untuk tanah yang kepemilikannya sudah terdaftar.
d. Pemerintah Daerah dan Pengadilan Negeri setempat, untuk tanah yang
kepemilikannya belum terdaftar.
e. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, untuk kapal.

Namun, dalam pelaksanaannya, ada barang milik penanggung pajak yang


dikecualikan dari penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU No. 19 Tahun 1997,
yaitu:
a. Pakaian dan tempat tidur serta perlengkapannya yang digunakan oleh penanggung pajak
dan keluarga yang menjadi tanggungannya;
b. Persediaan mekanan dan minuman untuk keperluan satu bulan besrta peralatan masak
yang berada di rumah;
c. Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari Negara;
d. Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan penanggung pajak dan alat-alat
yang digunakan untuk pendidikan, kebudayaan, dan keilmuan;
e. Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan
atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari 20 juta rupiah;
f. Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang
menjadi tanggungannya.

Apabila pihak lain (seperti, Pengadilan Negeri atau Panitia Urusan Piutang Negara)
telah melakukan penyitaan , maka Jurusita Pajak hanya menyampaikan Surat Paksa kepada
instansi yang melakukan penyitaan tersebut dan tidak melakukan penyitaan lagi.
Jurusita Pajak dapat melakukan penyitaan tambahan apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
a. Nilai barang yang disita nilainya tidak cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak;
b. Hasil dari lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi utang pajak dan
biaya penagihan pajak.

Terhadap barang yang sudah disita, dapat dicabut apabila terjadi salah satu dari tiga
hal berikut ini:
a. Penanggung pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak;
b. Ada putusan pengadilan atau ada putusan badan peradilan pajak;
c. Ada ketentuan lain yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan
Kepala Daerah. Misalnya ada objek sita yang terbakar, hilang, atau musnah
.
Yang dimaksudkan di atas dengan putusan pengadilan adalah putusan hakim dari
peradilan umum, misalnya putusan atas sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang
yang disita, sedangkan putusan badan peradilan pajak, misalnya putusan atas gugatan
Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan sita.

4. Pelelangan
Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum yang dipimpin oleh Pejabat
Lelang dengan carapenawaran harga secara terbuka/ lisan dan atau tertutup/tertulis yng
didahului dengan pengumuman lelang.
Pengumuman lelang dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah penyitaan.
Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan satu kali dan untuk barang tidak
bergerak dilakukan dua kali. Pelaksanaan lelangnya dilakukan sekurang-kurangnya 14 hari
setelah pemgumuman lelang. pejabat dan jurusita pajak beserta keluarganya tidak
diperbolehkan membeli barang sitaan yang dilelang.
Pelaksanaan lelang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara. Lelang tidak dilaksanakan
apabila penanggung pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak atau
berdasarkan putusan pengadilan atau putusan badan peradilan pajak atau objek lelang
musnah.
Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan
pajakyang belum dibayar dan sisanya untuk membayar utang pajak. Apabila hasil lelang
sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak,
maka pelaksanaan lelang dihentikan dan sisa barang kelebihan uang hasil lelang
dikembalikan oleh pejabat kepada penangung pajak paling lambat tiga hari setelah
pelaksanaan lelang.
Tidak semua objek yang telah disita dapat dilakuka lelang. Pasal 2 PP No. 136 Tahun
2000 menyebutkan adanya objek sita yang dikecualikan dari lelang, yaitu:
a. Uang tunai;
b. Surat-surat berharga berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran,
obligasi, saham, atau suratberharga lainnya, piutang an penyertaan modal pada
perusahaan lain;
c. Barang mudah rusak atau cepat busuk.

Barang yang disita yang dikecualikan dari penjualan secara lelang digunakan untuk
membayar biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan cara:
a. Uang tunai disetor ke kas Negara atau kas daerah
b. Deposito berjangka, tabungan, saldo rekening Koran, giro, atau bentuk lainnya
yang disamakan dengan itu dipindakkan ke kas Negara atau kas daerah atas
permintaan pejabat kepada bank yang bersangkutan
c. Obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan di bursa efek
di jual di bursa efek atas permintaan pejabat
d. Obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di bursa
efek segera dijual oleh pejabat
e. piutang yang hak menagihnya beralih kepada Pejabat berdasarkan berita acara
persetujuan pengalihan hak, dijual oleh Pejabat kepada pembeli;
f. penyertaan modal pada perusahaan lain yang penguasaannya beralih kepada
Pejabat berdasarkan akte persetujuan pengalihan hak, dijual oleh Pejabat kepada
pembeli;
g. hasil penjualan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada huruf c, huruf d, dan
huruf e disetor ke kas negara atau kas daerah;

Lelang tetap dapat dilaksanakan meskipun tidak ada dokumen-dokumen bukti


kepemilikan sepanjang dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita disebutkan bahwa dokumen
idak dapat disita dan adanya pernyataan tertulis dari Pejabat selaku pemohon lelang bahwa
memang dokumennya tidak dapat disita. Namun, khusus untuk lelang berupa tanah dan atau
bangunan, meskipun tidak ada dokumennya, tetap harus ada dokumen lain berupa Surat
Keterangan Tanah (SKT).
Setelah lelang dilaksanakan, pembeli diberika dokumen Risalah Lelang yang memuat
keterangan tentang barang sitaan yang telah terjual. Risalah lelang ini merupakan bukti
otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak, yang akan memberikan perlindungan
hukum terhadap hak pembeli lelang.
5. Hak Mendahulu
Hak mendahulu pajak (hak preferen) diatur dalam Pasal 21 UU KUP No. 28 Tahun
2007 yangberbunyi sebagai berikut:
Ayat (1): Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik
Penanggung Pajak.
Ayat (2): Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya
penagihan pajak.
Ayat (3): Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali
terhadap:
a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatupenghukuman untuk melelang
suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu
warisan.
Ayat (3a): Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator,
likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan
dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi
kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta
tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.
Ayat (4): Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal
diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
Ayat (5): Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut:
a. dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka
waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak
pemberitahuan Surat Paksa; atau
b. dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran
pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas
akhir penundaan diberikan.
Hak mendahulu memberikan kesempatan kepada Negara (Direktur Jenderal Pajak)
untuk mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditor lain atas hasil pelelangan barang
milik Penanggung Pajak. Setelah utang pajak dilunasi, barulah diselesaikan pembayaran
kepada kreditor lainnya.

6. Penagihan Seketika dan Sekaligus


Penagihan seketika adalah penagihan yang dilakukan segera tanpa menunggu
tanggal jatuh tempo pembayaran. Penagihan sekaligus adalah penagihan yang meliputi
seluruh utang pajak dari semua jenis pajak dan tahun pajak.
Jurusita Pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu
tanggal jatuh tempo pembayaran berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan
Sekaligus yang diterbitkan oleh Pejabat, apabila:
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat
untuk itu.
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasainya dalam
rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang
dilakukannya di Indonesia.
c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan
usahanya,atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau
memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan
perubahan bentuk lainnya.
d. Badan Usaha akan dibubarkan oleh Negara.
e. Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-
tanda kepailitan.
Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah penagihan pajak tanpa menunggu tanggal
jatuh tempo pembayaran terhadap seluruh Utang Pajak dan semua jenis pajak, masa pajak,
dan tahun pajak. Surat Perintah Penagihan Seketika ini diterbitkan:
a. Sebelum jatuh tempo pembayaran.
b. Tanpa didahului Surat Teguran.
c. Dikirim sebelum jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak Surat Teguran
diterbitkan.
d. Sebelum penerbitan Surat Paksa.

Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sekurang-kurangnya memuat:


a. Nama Wajib Pajak atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak.
b. Besar Utang Pajak.
c. Perintah untuk membayar.
d. Saat pelunasan Utang Pajak.

7. Pencegahan dan Penyanderaan


1) Pencegahan
Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap penanggung pajak
tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan
tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pencegahan diperlukan sebagai salah satu upaya penaihan pajak. Namun agar
pelaksanaan pencegahan tidak sewenang-wenang, maka pelaksanaan pecegahan sebagai
upaya penagihan pajak harus memenuhi:
a. Syarat kuantitatif, yakni harus memenuhi utang pajak dalam jumlah tertentu,
sekurang-kurangnya sebesar Rp 100.000.000, 00 (seratus juta rupiah);
b. Syarat kualitatif, yakni diragukan iktikad baiknya dalam melunasi utang pajak,
sehingga pencegahan hanya dilaksanakan secara selektif dan hati-hati.
Jangka waktu pencegahan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang
untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan.
Pelaksanaan pencegahan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 9 Tahun 1992
tentang Keimigrasian yang antara lain menentukan bahwa yang berwenang dan
bertanggung jawab atas pencegahan adalah Menteri Keuangan kepada Menteri
Kehakiman, sepanjang menyangkut urusan piutang Negara.

2) Penyanderaan
Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak
dengan menempatkannya di tempat tertentu. Masa penyanderaan paling lama 6 (enam)
bulan dan dapat diperpanjang selama lamanya 6 (enam) bulan.

Syarat syarat terjadinya penyanderaan adalah:


1. Mempunyai Utang Pajak sekurang-sekurangnya sebesar Rp 100.000.000,00
2. Diragukan itikad baiknya dalam melunasi Utang Pajak
3. Telah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal Surat Paksa
diberitahukan kepada Penanggung Pajak, dan
4. Telah mendapat surat izin tertulis dari Menteri Keuangan Republik Indonesia.

Sandera (paksa badan) termasuk lingkup hukum eksekusi yang hanya dapat
dijalankan setelah ada putusan pengadilan dalam pokok perkara perdata. Sandera
dimaksudkan untuk mengugah rasa malu seseorang atau keluarganya.
Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam hal Penanggung Pajak sedang
beribadah, atau sedang mengikuti sidang resmi, atau sedang mengikuti pemilihan umum.
Penyanderaan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan
yang diterbitkan oleh Pejabat (Kepala KPP/KPPBB) setelah memperoleh izin dari
Menteri Keuangan untuk penagihan pajak pusat atau dari Gubernur untuk penagihan
pajak daerah.
Segala biaya yang terjadi seperti biaya hidup selama dalam penyanderaan di
rumah tahanan Negara dan biaya penangkapan menjadi bebang Penanggung Pajak dan
akan diperhitungkan sebagai biaya penagihan pajak.
Penanggung pajak yang disandera dapat dilepas apabila:
1. Utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas,
2. Jangka waktu yang ditetapkan dalam surat perintah penyanderaan itu telah terpenuhi,
3. Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap,
4. Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan atau Gubernur.
5.
Penanggung pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap
pelaksanaan penyanderaan hanya ke Pengadilan Negeri. Dalam hal gugatan Penanggung
pajak dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
Penanggung Pajak dapat memohon rehabilitasi nama baik dang anti rugi atas masa
penyanderaan yang telah dijalaninya sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) setiap
hari. Penanggung pajak tidak dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan
penyanderaan setelah masa penyanderaan berakhir.

8. Gugatan
Gugatan adalah suatu upaya hukum terhadap pelaksanaan penagihan pajak dan
kepemilikan barang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Gugatan
terhadap pelaksanaan penagihan pajak ini hanya meliputi gugatan atas pelaksanaan Surat
Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, lelang, maupun penyanderaan. Penanggung
Pajak dapat mengajukan gugatan atas pelaksanaan penagihan pajaknya kepada Pengadilan
Pajak. Sedangkan gugatan atas kepemilikan barang yang disita diajukan ke Pengadilan
Negeri.
Gugatan diajukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak Surat Paksa, Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau pengumuman lelang dilaksanakan. Jangka waktu 14
hari dihitung sejak dilakukannya pemberitahuan Surat Paksa. Untuk sita, dihitung sejak
pembuatan Berita Acara Pelaksanaan Sita. Untuk lelang, dihitung sejak Pengumuman
Lelang.

9. Penghapusan Piutang Pajak


Ada beberapa alasan piutang pajak bisa dihapus dari data administrasi kantor pajak.
Piutang pajak untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak dapat atau tidak mungkin
ditagih lagi, disebabkan beberapa hal, yaitu:
a. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan atau meninggal dunia dengan
tidak meninggalkan warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat
ditemukan;
b. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajk tidak mempunyai harta kekayan lagi;
c. Penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian Salinan Surat
Paksa kepada Penanggung Pajk melalui Pemerintah Daerah Setempat;
d. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa;
e. Sebab lain sesuia hasil penelitian.

Piutang pajak untuk Wajib Pajak Badan yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih
lagi, disebabkan beberapa hal, yaitu:
a. Wajib Pajak bubar,likuidasi, atau pailit dan pengurus, direksi, komisaris, pemegang
saham, pemilik modal, atau pihak lain yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau
likuidator, atau kurator tidak dapat ditemukan;
b. Wajib Pajak dan.atau Penanggung Pajak tidak mempunyai harta kekayan lagi;
c. Penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian Salinan Surat
Paksa kepada dan pengurus, direksi, likuidator , kurator, pengadilan negeri, pengadiln
niaga, atau Pemerintah Daerah Setempat;
d. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa;
e. Sebab lain sesuia hasil penelitian.
Apabila Wajib Pajak yang meninggal dunia meninggalkan harta warisan da
mempunyai ahli waris, mak tindakan penagihannya dapat dirujukan kepada ahli warisnya
atau kepad apelaksan surat wasiat. Namun apabila yang meninggal dunia meningglkan harta
warisan tetapi tidak mempunyai ahli waris, maka harta warisan akan dikeola oleh Balai
Harta Peninggalan (BHP), dengan demikian penagihannya dapat ditujukan kepada Balai
Harta Peniggalan. Kemungkinan lain bila Wajib Pajka yang meninggal dunia tidak
meninggalkan harta warisan tetapi mempunyai ahli waris, tindakan penagihannya tetap
dilakukan kepada ahli warisnya.
Penelitian yang dapat dilakukan adalah penelitian setempat atu penelitian
administrasi. Penelitian setempat dilakukan dengan mendatangi alamat dan kondisi nyata
Wajib Pajak. Penelitian administrasi dilakuakn berdasarkan data yang ada di kantor pajka
saja, tanpa perlu melihat keberadaan alamat dan kondisi nyata Wajib Pajak.
Tata cara penghapusan piutang pajak sendiri diatur dalam KEP-625/PJ./2001, yang berisi:
a. Setiap bulan wajib dilakukan inventarisasi piutang-piutang pajak yang diperkirakan tidak
dapat ditagih lagi. Atas piutang tersebut dilakukan penelitian yang hasilnya dituangkan
dalam Laporan Hasil Penelitian Setempat atau Laporan Hasil Penelitian Administrasi.
b. Setiap akhir tahun takwim, Kepala KPP mengirim Daftar Usulan Penghapusan Piutang
Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kanwil DJP, paling lambat tang 10
Januari tahun takwim berikutnya.
c. Kemudian Dirjen Pajak membuat dan menyampaikan Konsep Keputusan Menteri
Keuangan dan Lampirannya kepada Menteri Keuanagan.
d. Setelah Menteri Keuangan menandatangani keputusan dimaksud, maka Kepala KPP
membuat petikan Keputusan Menteri Keuangan tentang pengahapusan Piutang pajak
dari Salinan Keputusan Menteri Keuangan yang diterimanya.
Jadi, yang berwenang untuk menghapuskan piutang pajak adalah Menteri Keuangan.

10. Daluwarsa Penagihan Pajak


Daluwarsa penagihan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kepastian hukum bagi
Wajib Pajak terhadap suatu utang pajak untuk tidak ditagih lagi. Daluwarsa penagihan
merupakan suatu batasan waktu yang ditentukan oleh undang-undang bahwa fiskus tidak
mempunyai hak lagi untuk melakukan penagihan. Dalam Penjelasan Pasal 22 UU KUP No.
28 Tahun 2007 diatur:
Ayat (1): Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan
biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun
terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta
Putusan Peninjauan Kembali.
Ayat (2): Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh
apabila:
a. diterbitkan Surat Paksa;
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak
langsung;
c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau;
d. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

2) Latihan
1. Apa yang menjadi dasar hukum penagihan pajak dan mengapa penagihan pajak disebut
benteng terakhir (kaitkan dengan sistem pemungutan pajak)?
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Surat Paksa dalam penagihan pajak! Apa fungsi
penagihan pajak dengan surat paksa?
3. Di dalam penagihan pajak, maka subjek yang ditagih adalah Penanggung Pajak. Coba
jelaskan apa yang dimaksud dengan Penanggung Pajak dan mengapa demikian ketentuan
mengaturnya?
4. Jelaskan apakah setiap penagihan pajak harus selalu diakhiri dengan pelelangan harta
penanggung pajak apabila utang pajak tidak dilunasi?
5. Jelaskan tentang tindakan pencegahan dan tindakan penyanderaan dalam pelaksanaan
penagihan pajak!
6. Jelaskan pengertian serangkaian dalam pelaksanaan tindakan penagihan pajak!
7. Gambarkan bagan penagihan pajak dengan surat paksa beserta tenggang waktunya, dari
terbitnya SKP sampai dengan Pelelangan!
XII. KEGIATAN BELAJAR 11

PEMERIKSAAN PAJAK
1) Uraian dan Contoh

A. Pengertian Pemeriksaan
Definisi pemeriksaan menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, adalah sebagai berikut:
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia
sekarang ini menuntut Direktorat Jenderal Pajak untuk selalu melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap Wajib Pajak. Salah satu bentuk pengawasan tersebut adalah melalui
pemeriksaan. Kewenangan Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan tersebut
diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan. Pemeriksaan merupakan salah satu bentuk tindakan hukum yang dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam hal terdapat dugaan bahwa Wajib Pajak tidak
memenuhi kewajiban perpajakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Walaupun Direktorat Jenderal Pajak diberikan kewenangan untuk melakukan
pemeriksaan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, namun ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan juga membatasi kewenangan tersebut agar
pemeriksaan tersebut tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Oleh sebab itu terdapat 2
(dua) hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pemeriksaan pajak, yaitu:
a. Kebijakan umum pemeriksaan pajak;
b. Tata Cara Pemeriksaan, yang diatur dalam:
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 199/PMK.03/2007 tanggal 28
Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak;
Dengan peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Direktur Jenderal Pajak, yaitu sebagai
berikut:
1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 19/PJ/2008 tanggal 2 Mei 2008 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan;
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 20/PJ/2008 tanggal 2 Mei 2008 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Kantor;

B. Tujuan Pemeriksaan Pajak


Tujuan pemeriksaan yaitu untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
a. Pemeriksaan yang bertujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan perpajakan dapat
dilakukan dalam hal Wajib Pajak:
Harus dilakukan:
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP.
Dapat dilakukan, dalam hal Wajib Pajak:
1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, termasuk
yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak;
2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi;
3. Tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi melampaui
jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Surat Teguran;
4. Melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau
akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; atau
5. Menyampaikan Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan
hasil analisis risiko (risk based selection) mengindikasikan adanya kewajiban
perpajakan Wajib Pajak yang tidak dipenuhi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.

Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan kewajiban


perpajakan dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan
atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan
keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak, yang dilakukan dengan:
Menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang lazim digunakan dalam
pemeriksaan pada umumnya, yang dinamakan Pemeriksaan Lengkap;
Menerapkan teknik-teknik dan kedalaman yang sederhana sesuai dengan ruang
lingkup pemeriksaan baik dilakukan di kantor maupun di lapangan, yang
dinamakan Pemeriksaan Sederhana.

b. Pemeriksaan dengan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-


undangan perpajakan, yang dilakukan dalam hal :
1. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
2. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
3. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
4. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
5. Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Netto;
6. Pencocokan data dan/atau alat keterangan;
7. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
8. Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
9. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
10. Penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi
kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/atau
11. Memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda.

C. Jenis dan Ruang Lingkup Pemeriksaan


Pemeriksaan pajak dibagi menjadi dua yaitu:
a. Pemeriksaan Kantor
Adalah pemeriksaan yang dilakukan di Kantor Direktorat Jenderal Pajak.
b. Pemeriksaan Lapangan
Adalah pemeriksaan yang dilakukan di tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha atau
pekerjaaan bebas, tempat tinggal Wajib Pajak, atau tempat lain yang ditentukan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Ruang Lingkup pemeriksaan pajak meliputi :
1. Tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan perpajakan
Meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa Masa
Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak dalam tahun-tahun lalu maupun tahun
berjalan.
2. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan perpajakan
Meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan
tujuan pemeriksaan.
Pembatasan ruang lingkup dilakukan diawal pemeriksaan dan tidak boleh dilanggar
oleh pemeriksa. Wajib Pajak dapat mengajukan gugatan atas penerbitan surat ketetapan
pajak (sebagai hasil dari pemeriksaan), apabila dalam penerbitannya tidak sesuai dengan
prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, kepada badan peradilan pajak yaitu Pengadilan Pajak.
Apabila dalam Pemeriksaan Kantor ditemukan indikasi adanya transaksi yang terkait
dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa
transaksi keuangan, maka lingkup pemeriksaan ditingkatkan menjadi pemeriksaan lapangan.
Apabila dalam Pemeriksaan Lapangan ditemukan transfer pricing /transaksi khusus
lainnya yang berindikasi ada rekayasa, Pemeriksaan Lapangan dilaksanakan paling lama 2
(dua) tahun.
Dalam hal pemeriksaan terhadap permohonan lebih bayar (Pasal 17B) maka harus
memperhatikan jangka waktu penerbitan SKP.

D. Jangka Waktu Pemeriksaan


Berdasarkan tujuan pemeriksaan pajak yang telah disebutkan diatas maka jangka
waktu untuk masing-masing tujuan pemeriksaan adalah:
a. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan.
1. Untuk pemeriksaan kantor jangka waktu yang paling lama adalah 3 (tiga) bulan dan
dapat diperpanjang menjadi 6 (enam) bulan yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak
datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan
tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan;
2. Untuk pemeriksaan lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat)
bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan yang dihitung
sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil
Pemeriksaan.
b. Pemeriksaan untuk tujuan lain.
1. Jangka waktu Pemeriksaan Kantor terkait dengan Pemeriksaan untuk tujuan lain
adalah paling lama 7 (tujuh) hari dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 14
(empat belas) hari yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi surat
panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil
Pemeriksaan;
2. Jangka waktu Pemeriksaan Lapangan terkait dengan Pemeriksaan untuk tujuan lain
adalah paling lama 2 (dua) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 4
(empat) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan sampai
dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.

E. Pembatalan Pemeriksaan
Hasil Pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan dapat dibatalkan
apabila pemeriksaannya dilaksanakan tanpa:
a. Penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;atau
b. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan
Pembatalan tersebut diatas dapat dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Pajak baik
secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Atas pembatalan tersebut, proses pemeriksaannya harus dilanjutkan dengan
melaksanakan prosedur penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan dan/atau
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
Kelanjutan pemeriksaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan dan/atau Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dilaksanakan setelah
diterimanya surat keputusan pembatalan.
Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan, yaitu 1 (satu) bulan untuk pemeriksaan lapangan atau 3
(tiga) minggu untuk pemeriksaan kantor. Apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan, tim
pemeriksa sudah mengalami perubahan, harus diterbitkan Surat Tugas.

F. Produk pemeriksaan untuk tujuan menguji kepatuhan


a. SKPKB, jika setelah dilakukan pemeriksaan ternyata ditemukan pokok pajak lebih besar
dari kredit pajak.
b. SKPLB, jika setelah dilakukan pemeriksaan ternyata ditemukan pokok pajak lebih kecil
dari kredit pajak.
c. SKPN , jika setelah dilakukan pemeriksaan ternyata ditemukan pokok pajak sama dengan
kredit pajak.
d. SKPKBT, jika setelah dilakukan pemeriksaan ternyata ditemukan data baru & utang
pajak.
e. STP, jika setelah dilakukan pemeriksaan ternyata ditemukan adanya sanksi administrasi.
f. Bukti Permulaan, jika setelah dilakukan pemeriksaan ternyata ditemukan bukti permulaan
sebagai dasar dilakukannya tindakan penyidikan pajak.
G. Hak dan Kewajiban dalam Pemeriksaan Pajak
1. Kewajiban dan Kewenangan Pemeriksa Pajak
Kewajiban Pemeriksa Pajak Dalam Pelaksanaan Pemeriksaan Untuk
Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
a. Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa Pajak wajib:
1. Menyampaikan pemberitahuan secara tertulis tentang akan dilakukan
Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
2. Memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah
Pemeriksaan kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan;
3. Menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
4. Memperlihatkan Surat Tugas kepada Wajib Pajak apabila susunan tim
Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
5. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
6. Memberikan hak hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Akhir
Hasil Pemeriksaan dalam batas waktu yang telah ditentukan;
7. Melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan;
8. Mengembalikan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling
lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan; dan
9. Merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka
Pemeriksaan.
b. Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak wajib:
1. Memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah
Pemeriksaan kepada Wajib Pajak pada waktu Pemeriksaan;
2. Menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan
diperiksa;
3. Memperlihatkan Surat Tugas kepada Wajib Pajak apabila susunan tim
Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
4. Memberitahukan secara tertulis hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
5. Melakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan apabila Wajib Pajak hadir
dalam batas waktu yang telah ditentukan;
6. Memberi petunjuk kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya agar pemenuhan kewajiban perpajakan dalam tahun-tahun
selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan;
7. Mengembalikan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling
lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan; dan
8. Merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka
Pemeriksaan.
Kewajiban Pemeriksa Pajak Dalam Pelaksanaan Pemeriksaan Untuk
Tujuan Lain
a. Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa Pajak wajib:
1. Memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah
Pemeriksaan kepada Wajib Pajak pada waktu Pemeriksaan;
2. Mernberitahukan secara tertulis tentang dilakukannya Pemeriksaan untuk
tujuan lain kepada Wajib Pajak;
3. Menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan
diperiksa;
4. Menunjukkan Surat Tugas kepada Wajib Pajak apabila susunan Tim
Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
5. Membuat Kertas Kerja Pemeriksaan sebagai dasar penyusunan Laporan
Hasil Pemeriksaan;
6. Mengembalikan buku, catatan, dan dokumen pendukung lainnya yang
dipinjam dari Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan
Hasil Pemeriksaan; dan/atau
7. Merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka
Pemeriksaan.

b. Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak Wajib:


1. Menyampaikan surat panggilan tentang dilakukannya Pemeriksaan untuk
tujuan lain kepada Wajib Pajak;
2. Memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah
Pemeriksaan kepada Wajib Pajak pada waktu Pemeriksaan;
3. Menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan
diperiksa;
4. Memperlihatkan Surat Tugas kepada Wajib Pajak apabila terdapat
perubahan susunan Tim Pemeriksa Pajak;
5. Membuat Kertas Kerja Pemeriksaan sebagai dasar penyusunan Laporan
Hasil Pemeriksaan;
6. Mengembalikan buku, catatan, dan dokumen pendukung lainnya yang
dipinjam dari Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan
Hasil Pemeriksaan; dan/atau
7. Merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka
Pemeriksaan.
Kewenangan Pemeriksa Pajak Dalam Pelaksanaan Pemeriksaan Untuk
Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
a. Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa Pajak berwenang:
1. Melihat dan/atau meminjam buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak,
atau objek yang terutang pajak;
2. Mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
3. Memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak
bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku
atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan,
dokumen lain, uang dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak,
atau objek yang terutang pajak;
4. Meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran
Pemeriksaan, antara lain berupa:
menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila
dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan
peralatan dan/atau keahlian khusus;
memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang
bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau
menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan
Lapangan dalam hal jumlah buku, catatan, dan dokumen sangat banyak
sehingga sulit untuk dibawa ke kantor Direktorat Jenderal Pajak;
5. Melakukan penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak
dan/atau tidak bergerak;
6. Meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan
7. Meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang
mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit
pelaksana Pemeriksaan.
Pemeriksa Pajak berwenang melakukan penyegelan untuk memperoleh atau
mengamankan buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik,
dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa agar tidak dipindahkan, dihilangkan,
dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau dipalsukan. Penyegelan dilakukan pada
saat dilakukan Pemeriksaan Lapangan. Tata Cara Penyegelan Dalam Rangka
Pemeriksaan Perpajakan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan yaitu Peraturan
Menteri Keuangan Nomor PMK- 198/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007
tentang Tata Cara Penyegelan Dalam Rangka Pemeriksaan Perpajakan

b. Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak berwenang:


1. Memanggil Wajib Pajak untuk datang ke kantor Direktorat Jenderal Pajak
dengan menggunakan surat panggilan;
2. Melihat dan/atau meminjam buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola
secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh,
kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
3. Meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran
Pemeriksaan;
4. Meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak;
5. Meminjam kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik melalui
Wajib Pajak; dan
6. Meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang
mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit
pelaksana Pemeriksaan.
Kewenangan Pemeriksa Pajak Dalam Pelaksanaan Pemeriksaan Untuk
Tujuan Lain
a. Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa Pajak berwenang:
1. Meminjam dan memeriksa buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain, yang berhubungan dengan
tujuan Pemeriksaan;
2. Mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
3. Memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak
bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau
catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen
lain, dan/atau barang, yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan;
4. Meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan/atau
5. Meminta keterangan dan/atau data yang diperIukan dari pihak ketiga yang
mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit
pelaksana Pemeriksaan.

b. Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak berwenang:


1. Meminjam dan memeriksa buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola
secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh,
kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
2. Meminta keterangan lisan dan/ atau tertulis dari Wajib Pajak; dan/atau
3. Meminta keterangan dan/atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang
mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit
pelaksana Pemeriksaan.

2. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak


Hak Wajib Pajak Dalam Pelaksanaan Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
a. Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak berhak:
1. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa
Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan;
2. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan pemberitahuan secara
tertulis sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan;
3. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan
tujuan Pemeriksaan;
4. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Surat Tugas apabila
susunan Tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
5. Menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;
6. Menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam jangka waktu yang telah
ditentukan;
7. Mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan oleh Tim Pembahas, dalam
hal terdapat perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak dalam
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan
8. Memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa
Pajak melalui pengisian formulir kuesioner Pemeriksaan

b. Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak berhak:


1. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa
dan Surat Perintah Pemeriksaan;
2. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan
tujuan Pemeriksaan;
3. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Surat Tugas apabila
susunan Pemeriksa Pajak mengalami pergantian;
4. Menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;
5. Menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam jangka waktu yang telah
ditentukan;
6. Mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan oleh Tim Pembahas, dalam
hal terdapat perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa dalam
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
7. Memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa
Pajak melalui pengisian Formulir Kuesioner Pemeriksaan;

Hak Wajib Pajak Dalam Pelaksanaan Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain


a. Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak berhak:
1. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal
Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Wajib Pajak pada waktu
Pemeriksaan;
2. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan pemberitahuan secara
tertulis sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan;
3. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan
tujuan Pemeriksaan;
4. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Surat Tugas apabila
terdapat perubahan susunan Tim Pemeriksa Pajak; dan/atau
5. Memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa
Pajak melalui pengisian formulir Kuesioner Pemeriksaan.
b. Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak berhak:
1. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperIihatkan Tanda Pengenal
Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Wajib Pajak pada waktu
Pemeriksaan;
2. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan
tujuan Pemeriksaan;
3. Meminta kepada Pemeriksa Paiak untuk memperlihatkan Surat Tugas apabila
terdapat perubahan Susunan Tim Pemeriksa Pajak; dan/atau
4. Memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa
Pajak melalui pengisian formulir Kuesioner Pemeriksaan
Terkait dengan temuan hasil pemeriksaan, dalam rangka menanggapinya:
Wajib Pajak berhak untuk mendapatkan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan dan
Wajib Pajak berhak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil Pemeriksaan dalam
batas waktu yang ditentukan.
Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam batas waktu yang ditentukan, hasil
pemeriksaan ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.

Kewajiban Wajib Pajak Dalam Pelaksanaan Pemeriksaan Untuk Menguji


Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
a. Pemeriksaan Lapangan Wajib Pajak berkewajiban:
1. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau
objek yang terutang;
2. Memberi kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola
secara elektronik;
3. Memberi kesempatan untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan, barang
bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga yang digunakan
untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi
petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas
Wajib Pajak, atau objek terutang pajak serta meminjamkannya kepada Pemeriksaan
Pajak;
4. Memberi bantuan guna kelancaran, antara lain:
Menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam
mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau
keahlian khusus;
Memberikan kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang
bergerak dan/atau tidak bergerak;
Menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan
dalam hal jumlah buku, catatan, dan dokumen sangat banyak sehingga sulit
untuk dibawa ke kantor Direktorat Jenderal Pajak;
5. Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan;
6. Memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.

b. Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib:


1. Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu
yang ditentukan;
2. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola
secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan
usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
3. Memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
4. Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan;
5. Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik; dan
6. Memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.
Kewajiban Wajib Pajak Dalam Pelaksanaan Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain
a. Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib:
1. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain berhubungan dengan
tujuan Pemeriksaan;
2. Memperlihatkan dan meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain, yang berhubungan dengan
tujuan Pemeriksaan;
3. Memberi kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola
secara elektronik;
4. Memberi kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang penyimpanan buku atau
catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain,
dan/atau barang, yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan serta
meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak; dan/atau
5. Memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis serta memberikan data dan/atau
keterangan lain yang diperlukan.

b. Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib:


1. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain berhubungan dengan
tujuan Pemeriksaan;dan/atau
2. Memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis serta memberikan data dan/atau
keterangan lain yang diperlukan.

2)Latihan
1. Apa yang menjadi objek pemeriksaan?
2. Apa yang menjadi tujuan dari pemeriksaan?
3. Apakah di dalam sistem perpajakan ayng menganut sistem self assessment, Direktur
Jenderal Pajak bebas untuk melakukan pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak?
4. Mengapa Surat Pemberitahuan Lebih Bayar (dalam rangka penerbitan SKPLB) harus
dilakukan melalui pemeriksaan pajak? Jelaskan!
5. Jelaskan apa yang menjadi hak Wajib Pajak yang diperiksa dalam pemeriksaan pajak?
6. Jelaskan apa yang menjadi kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa dalam pemeriksaan
pajak?
7. Berapa lamakah jangka waktu pemeriksaan pajak, baik pemeriksaan kantor maupun
pemeriksaan lapangan?
XIII. KEGIATAN BELAJAR 12
PERADILAN ADMINISTRASI PAJAK
1) Uraian dan Contoh

A. Pengertian
Peradilan administrasi pajak adalah upaya hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak
dalam rangka mencari keadilan terhadap surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh:
1. Direktur Jenderal Pajak, untuk pajak-pajak pusat, antara lain
a. SKPKB;
b. SKPKBT;
c. SKPLB;
d. SKPN;
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.
2. Kepala Daerah, untuk pajak-pajak daerah
a. Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD);
b. SKPDKB;
c. SKPDKBT;
d. SKPDLB;
e. SKPN;
f. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.

Peradilan administrasi pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu:


1. Peradilan Administrasi Tidak Murni
Peradilan administrasi ini disebut tidak murni karena dalam peradilan ini hanya
melibatkan dua pihak, yaitu pihak Wajib Pajak dan fiskus tanpa melibatkan pihak ketiga
yng independen. Fiskus sebagai pihak yang bersengketa sekaligus menjadi pihak yang
mengambil keputusan dalam persilisihan pajak yang bersangkutan.
Contoh peradilan administrasi tidak murni dapat dilihat dalam pengajuan keberatan
yang diatur dalam Pasal 25 dan 26 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir kali dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
Wajib Pajak mengajukan keberatan (doleansi ) karena adanya perselisihan
mengenai besarnya jumlah utang pajak, oleh karena itu, ada dua hal yang harus
diperhatikan:
1. Terhadap surat keberatan yang masuk harus diambil keputusan
2. Pihak yang mengambil keputusan adalah aparatur pajak (Dirjen Pajak, Kakanwil
Pajak, Kepala KPP) yang disebut sebagai hakim doleansi
2. Peradilan Administrasi Murni
Peradilan administrasi murni adalah peradilan yang melibatkan tiga pihak, yaitu
Wajib Pajak, Fiskus, dan Hakim yang mengadili. Wajib pajak dan Fiskus adalah pihak
yang bersengketa, sedangkan Hakim atau Majelis Hakim adalah pihak yang akan
memutuskan sengketa tersebut.

Dalam system perundang-undangan perpajakan ada beberapa bentuk peradilan


administrasi, yaitu:
1. Pengajuan Surat Keberatan;
2. Pengajuan Banding ke Pengadilan Pajak;
3. Gugatan;
4. Peninjauan Kembali.

B. Sengketa Pajak
Upaya mencari keadilan dengan peradilan administrasi pajak timbul karena adanya
sengketa pajak antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak. Sengketa pajak ini
dijadikan sebagai dasar-dasar umum di dalam pengajuan ke Peradilan Administrasi Pajak.
Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib
Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan
berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. (Pasal 1 angka 5 UU No.
14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak)
Sengketa Pajak timbul dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak atau diterbitkannya
surat tindakan penagihan pajak. Penerbitan SKPKB seringkali menimbulkan sengketa,
Namun penerbitan SKPLB dan SKPN pun juga dapat menimbulkan sengketa jika fiskus
menerbitkan SKPLB dengan nilai lebih kecil dari nilai SKPLB yang diharapkan Wajib
Pajak. Penerbitan SKPN juga demikian apabila menurut perhitungan Wajib Pajak seharusnya
diterbitkan SKPLB.
Selain itu sengketa pajak juga bisa timbul karena adanya pemotongan atau pemungutan
yang dilakukan oleh pihak ketiga.
Upaya hukum untuk menyelesaikan sengketa pajak yang dapat dilakukan oleh Wajib
Pajak adalah:

1. Keberatan
Dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
kemungkinan terjadi bahwa wajib pajak (WP) merasa kurang puas atas suatu ketetapan
pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan pihak ketiga. Dalam
hal ini WP dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak melalui KPP dimana Wajib
Pajak tersebut terdaftar.
Upaya hukum keberatan dilakukan masih berada dalam lingkungan lembaga yang
sama yaitu Direktorat Jenderal Pajak. Peradilan administrasi seperti ini lazim disebut
quasi peradilan/peradilan doleansi (peradilan administrasi tidak murni), dimana:
a. Tidak ada sidang peradilan;
b. Tidak ada panitera sidang;
c. Tidak ada saksi maupun saksi ahli;
d. Tidak mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa;
e. Tidak ada pembacaan keputusan; dan
f. Keputusan dibuat oeh Pejabat yang menerbitkan surat ketetapan.
Ketentuan mengenai keberatan diatur dalam Pasal 25 UU KUP dengan peraturan
pelaksanaannya pada Peraturan Menteri Keuangan No.194/PMK.03/2007. Pasal 25 UU
KUP No. 28 Tahun 2007 secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
Ayat (1): Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal
Pajak atas suatu:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
Ayat (2): Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau
dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan
disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.
Ayat (3): Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau
pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib
Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi
karena keadaan di luar kekuasaannya.
Ayat (3a): Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak,
Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
Ayat (4): Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan
sehingga tidak dipertimbangkan.
Ayat (5): Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat
Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda
pengiriman surat keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau
melalui cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
Ayat (6): Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan,
Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal
yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan
atau pemungutan pajak.
Ayat (7): Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah
pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai
dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
Ayat (8): Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
Ayat (9): Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib
Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan
pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Ayat (10): Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi
berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada
ayat (9) tidak dikenakan.

Pihak yang mengajukan keberatan adalah:


a. Bagi WP Badan oleh Pengurus
b. Bagi WP orang pribadi oleh WP yang bersangkutan
c. Pihak yang dipotong/dipungut oleh pihak ketiga
d. Kuasa yang ditunjuk oleh mereka di atas dengan surat kuasa khusus pengajuan
keberatan.
Syarat syarat mengajukan keberatan
a. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b. mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau
dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-
alasan yang menjadi dasar penghitungan;
c. 1 (satu) surat keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1
(satu) pemotongan Pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak.
d. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah
yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan;
e. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan
pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga
kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan wajib Pajak (force majeur);dan
f. surat keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal surat keberatan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat keberatan tersebut harus dilampiri
dengan surat kuasa khusus.

Dalam hal surat keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak belum memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf f,
Wajib Pajak dapat menyampaikan perbaikan surat keberatan dengan melengkapi
persyaratan yang belum dipenuhi sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e terlampaui.
Dalam hal WP menyampaikan perbaikan surat keberatan, tanggal
penyampaian perbaikan surat keberatan merupakan tanggal surat keberatan
diterima.
Pengajuan keberatan yang tidak memenuhi persyaratan di atas, maka bukan
merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat
Keputusan Keberatan.

Jangka waktu pengajuan keberatan:


a. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim
surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak kecuali
apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
b. Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke KPP, maka jangka waktu 3
bulan dihitung sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak dilakukan
pemotongan atau pemungutan pajak kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan
bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar
kekuasaannya.
c. Untuk surat keberatan yang disampaikan melalui pos (harus dengan pos tercatat),
maka jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau
sejak dilakukan pemotongan atau pemungutan pajak kecuali apabila Wajib Pajak
dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena
keadaan di luar kekuasaannya.

Keputusan Keberatan
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang
diajukan.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan
seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang
masih harus dibayar.
Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak
tidak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, keberatan yang diajukan Wajib Pajak
dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan Surat
Keputusan Keberatan sesuai dengan keberatan Wajib Pajak.
Apabila Dirjen Pajak mengeluarkan keputusan menolak keberatan Wajib Pajak,
maka pilihannya hanya ada dua, yaitu Wajib Pajak harustetap melunasi utang pajak
sebesar yang tercantum dalam keputusan keberatan atau Wajib Pajak dapat
mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.

2. Banding
Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau
penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Wajib Pajak dapat
mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat
Keputusan Keberatan.
Landasan hukum upaya banding adalah berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak dan Pasal 27 UU KUP No. 28 Tahun 2007. Pengadilan Pajak
adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi WP atau
penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Tugas Pengadilan
adalah memutuskan Sengketa pajak.
Menurut Pasal 27 ayat (2) UU KUP No. 28 Tahun 2007, putusan Pengadilan Pajak
merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Artinya, tidak dimungkinkan lagi Wajb Pajak mengajukan gugatan atas keputusan
keberatan maupun Pengadilan Pajak ke PTUN. Meskipun demikian, Wajib Pajak dapat
mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
Pasal 27 UU KUP No. 28 Tahun 2007 secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
Ayat (1): Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan
peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1).
Ayat (2): Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan
peradilan tata usaha negara.
Ayat (3): Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan
diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
Ayat (4): Dihapus.
Ayat (4a): Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan
banding, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara
tertulis halhal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang
diterbitkan.
Ayat (5): Dihapus.
Ayat (5a): Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat
(7), atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan,
tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan
Banding.
Ayat (5b): Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
Ayat (5c): Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding
belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding
diterbitkan.
Ayat (5d): Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib
Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen)
dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan
pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Ayat (6): Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal
23 ayat (2) diatur dengan undang-undang.

3. Gugatan
Gugatan adalah upaya hukum Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap
pelaksanaan penagihan pajak terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 23 ayat (2) UU KUP menyatakan bahwa Gugatan Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak terhadap:
a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman
Lelang;
b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang
ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
d. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam
penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam
ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan,
hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.

Syarat pengajuan Gugatan:


a. Gugatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kapada Pengadilan
Pajak.Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap pelaksana penagihan
pajak adalah 14 hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.
b. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan selain gugatan
adalah 30 hari sejak tanggal diterimanya keputusan yang digugat.
c. Jangka waktu sebagaimana dimaksud diatas tidak mengikat. Apabila jangka
waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat,
maka dapat dimohonkan perpanjangan jangka waktu.
d. Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas adalah 14 hari
terhitung sejak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat.
e. Terhadap saatu pelaksanaan penagihan atau satu keputusan diajukan satu surat
gugatan.
Gugatn dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa
hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal diterima,
pelaksanaan penagihan, atau keputusan yang digugat dan dilampirkan salinan dokumen
yang digugat. Apabila selama proses gugatan, penggugat meninggal dunia, gugatan
dapat diajukan oleh ahli warisnya, pengampunya dalam hal pemohon banding pailit.
Apabila selama proses gugatan, pemohon banding melakukan penggabungan, peleburan,
pemecahan/ pemekaran usaha, atau likuidasi, pemohon dimaksud dapat dilanjutkan oleh
pihak yang menerima pertangungjawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan/
pemekaran usaha, atau likuidasi yang dimaksud.

Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak atau


kewajiban perpajakan.

Pemeriksaan dan Pembuktian dalm Persidangan


1. Pemeriksaan
Proses pemeriksaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Pemeriksaan dengan acara biasa
dilakukan oleh majelis
sebelum pemeriksaan dilakukan pemeriksaan mengenai kelengkapan dan atau
kejelasan banding/gugatan
banding/gugatan tidak lengkap/tidak jelas sepanjang bukan persyaratan,
kelengkapan dan atau kejelasan dapat diberikan dalam persidangan
biaya untuk kedatangan saksi ke persidangan yang diminta pihak
bersangkutan dibebankan ke pihak yang meminta
b. Pemeriksaan dengan acara cepat.
dilakukan oleh majelis/hakim tunggal
dilakukan terhadap:
- sengketa pajak tertentu
- gugatan tidak putus dlm jangka waktu 6 bulan sejak gugatan diterima
- tdk dipenuhinya salah 1 dalam putusan pengadilan pajak atau kesalahan
tulis dan atau kesalahan hitung
- sengketa yang berdasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan
wewenang pengadilan pajak
2. Pembuktian
Alat bukti yang diperlukan dalam persidangan, terdiri dari:
surat/tulisan
keterangan ahli
keterangan para saksi
pengakuan para pihak
pengetahuan hakim

4. Peninjauan Kembali (PK)


Peninjauan kembali ke Mahkamah Agung merupakan upaya hukum luar biasa
setelah adanya puusan yang berkekuatan hukum tetap atau ada ha lain yang ditentukan
undang-undang.
Ketentuan Pasal 91 UU Pengadilan Pajak menyatakan bahwa permohonan PK
hanya dapat diajukan berdasarkan lima alasan, yaitu:
a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang
apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan
keputusan yang berbeda;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang
dituntut, kecuali yang diputuskan berdasarkan Pasal 80 ayat 1 huruf b dan c;
d. Apabila mengetahui suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya;
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana


dimaksud di atas huruf a dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan terhitung
sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pengadilan
pidana memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud pada huruf b dilakukan pada jangka waktu paling lambat 3 bulan terhitung
sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan
dibawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.
Pengajuan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud di pada
huruf c, d, dan e dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan terhitung sejak
putusan dikirim.
Mahkamah Agung memeriksa dan memutuskan permohonan peninjauan
kembali dengan ketentuan:
a. Dalam jangka 6 bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh MA
telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui
pemeriksaan acara biasa.
b. Dalam jangka waktu 1 bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh
MA telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan
melalui pemeriksaan acara cepat.

Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada


Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Apabila di tempat tinggal atau tempat
kedudukan pemohon belum ada Pengadilan Pajak, permohonan diajukan ke PTUN.
Apabila PTUN juga belum ada, maka dapat diajukan ke Pengadilan Negeri. Permohonan
peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan
Pengadilan Pajak.

2) Latihan
1. Jelaskan beberapa upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dan kemana
tuntutan tersebut harus diajukan?
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan sengketa pajak dan meliputi apa saja sengketa
pajak itu!
3. Jelaskan syarat-syarat pengajuan keberatan dan banding!
4. Apa saja yang dapat diajukan keberatan? Bagaimana tatacara mengajukan keberatan?
Kapan batas waktu penyelesaian keberatan?
5. Mengapa proses peradilan administrasi atas keberatan Wajib Pajak adalah suatu
bentuk quasi perasilan?
6. Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan Peninjauan Kembali?
XIV. KEGIATAN BELAJAR 13
PERADILAN PIDANA PAJAK

1) Uraian dan Contoh

A. Pengertian Tindak Pidana Pajak


Masalah tindak pidana di bidang perpajakan merupakan hal yang sangat penting
khususnya dalam rangka penegakkan hukum (law enforcement) yag harus dilaksanakan agar
ketentuan undang-undang dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, terlebih dalam
memenuhi rasa keadilan di masyarakat dan kepastian hukum itu sendiri.
Tindak pidana itu sendiri adalah suatu peristiwa atau tindakan melanggar hukum atau
undang-undang pajak yang dilakukan oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat
dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang pajak telah dinyatakan sebagai suatau
perbuatan pidana yang dapat dihukum.

B. Subjek Tindak Pidana Pajak


Subjek tindak pidana pajak ada dua macam, yaitu Setiap orang yang. (Pasal 38
dan Pasal 39 UU KUP) dan Pejabat yang. (Pasal 42 UU KUP). Sehingga berdasarken
ketentuan tersebut, terdapat 3 (tiga) bentuk subjek yang dapat dituduh melakukan tindak
pidana pajak, yaitu:
1. Wajib Pajak yang melakukan tindak pidana. Pengertian Wajib Pajak disini adalah
termasuk orang yang mewakili Wajib Pajak di dalam menjalankan kewajiban perpajakan
(Penanggung Pajak), misalnya:
a. badan oleh pengurus, termasuk orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut
menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan
perusahaan;
b. badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
c. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
pemberesan;
d. badan dalam likuidasi oleh likuidator;
e. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana
wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
f. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau
pengampunya;
g. orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan
memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Pejabat atau Pejabat Tata Usaha Pajak atau penyelenggara Negara di dalam pemungutan
pajak. Termasuk dalam pengertian ini adalah tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur
Jenderal Pajak. Tindak Pidana yang dilakuka oleh pejabat ini adalah termasuk dalam
pengertian delik aduan (bukan pidana umum), artinya perbuatan pejabat tersebut sebagai
tindak pidana didasarkan pada adanya pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan/
Wajib Pajak.
3. Pihak ketiga. Pengertian pihak ketiga adalah orang lain bukan Wajib Pajak yang menurut
ketentuan perundang-undangan perpajakan diwajibkan memberikan keterangan di dalam
pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam pemeriksaan pajak
maupun penyidikan pajak.

C. Sifat Pidana Pajak


Dalam UU KUP, ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 38, Pasal 39, Pasal 39A,
Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 41B membedakan adanya sifat pidana yang bisa dilakukan yaitu
sifat kealpaan dan sifat kesengajaan. Pasal-pasal tersebut selengkapnya menyatakan
sebagai berikut:
Pasal 38
Setiap orang yang karena kealpaannya:
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap,
atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah
perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling
sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling
banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana
kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

(Catatan: Pasal 13A berbunyi sebagai berikut, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya
tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana
apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut
wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang
kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.)

Pasal 39
Ayat (1): Setiap orang yang dengan sengaja:
a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak
atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap;
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29;
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya;
g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan
data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan
secara program aplikasi online di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (11); atau
i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar.
Ayat (2): Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2
(dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di
bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya
menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
Ayat (3): Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksudpada ayat (1) huruf d, dalam
rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau
pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah
restitusi yang dimohonkan dan/ataukompensasi atau pengkreditan yang dilakukan
dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.
Pasal 39A
Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang
sebenarnya; atau
b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam)
tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling
banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil,
kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut
serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan. Sehingga yang dipidana karena melakukan perbuatan tindak pidana di
bidang perpajakan tidak terbatas pada Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, kuasa Wajib Pajak,
pegawai Wajib Pajak, Akuntan Publik, Konsultan Pajak, atau pihak lain, tetapi juga
terhadap mereka yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang
menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Pasal 41
Ayat (1): Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima
juta rupiah).
Ayat (2): Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang
menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Ayat (3): Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.

Pasal 41A
Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau
memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

Pasal 41B
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

D. Penyidikan Tindak Pidana Pajak


Dalam Pasal 1 angka 31 UU KUP No. 28 Tahun2007 menyatakan bahwa penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Penyidik
adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang
diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tujuan Penyidikan Tindak Pidana Pajak adalah:
1. Agar masalah tindak pidana perpajakan menjadi terang dan jelas
2. Menemukan tersangka
3. Mengetahui besarnya jumlah pajak yang digelapkan
Wewenang Penyidik Pajak sebagaiaman dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) UU KUP
meliputi:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut
menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan
tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan
dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat
pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda,
dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun, dalam pelaksanaan penyidikan, penyidik pajak dapat menghentikan penyidikannya
apabila salah satu dari empat hal berikut dipenuhi, yaitu:
a. Tidak terdapat cukup bukti ; atau
b. Peristiwanya bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
c. Peristiwanya telah daluwarsa; atau
d. Tersangka meninggal dunia.
Selain penyidik pajak, dalam Pasal 44B UU KUP disebutkan bahwa Menteri Keuangan
dan Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan atas
dasar untuk kepentingan penerimaan Negara paling lama dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan sejak tanggal surat permintaan.. Penghentian dimaksud hanya dilakukan setelah
Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya
dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
Ketentuan ini sebenarnya menunjukkan bahwa skala prioritas perpajakan lebih ditekankan
pada optimalisasi penerimaan Negara, bukan pada aspek sanksi pidana.
Menurut Pasal 40 UU KUP, tindak pidana di bidang perpajakn itu sendiiri daluwarsa
(tidak dapat dituntut) setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya pajak,
berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak
yang bersangkutan.

E. Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahakan perkara ke
Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan.
Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Sebelum berkas perkara dilimpahkan ke Pengadilan, penuntut umum mempelajari
berkas perkara dan dalam waktu 7 (tujuh) hari memberitahukan kepada penyidik apakah
hasil penyidikan telah siap dilimpahkan ke pengadilan atau masih harus dilengkapi lagi.
Apabila belum lengkap, maka berkas perkara dikembalikan ke penyidik untuk diengkapi
dengan dijelaskan hal-hal yang dianggap kurang. Jika kemudian telah lengkap dan
memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke pengadilan, maka penuntut umum segera
melimpahkan berkas perkara ke pengadilan dan memohon kepada pengadilan agar segera
diadili dengan disertai Surat Dakwaan. Turunan surat pelimpahan perkara beserta Surat
Dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasa hukumnya atau penasehat hukumnya
dann kepada penyidik.

F. Putusan Pengadilan dan Upaya Hukumnya


Dalam Pasal 1 butir 11 KUHP, ditegaskan adanya 3 (tiga) jenis putusan hakim dalam
perkara pidana, yaitu:
a. Penjatuhan pidana;
b. Putusan bebas;
c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Setelah hakim megucapkan putusannya, maka terdakwa diberikan kesempatan untuk
mengajukan upaya hukum berupa banding atau kasasi atau permohonan peninjauan kembali
dalam hal serta menurt cara yang diatur dalam undang-undang.
Jika hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti bersalah, maka Hakim mengambil
putusan menjatuhkan pidana dengan pidana penjara atau kurungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 39A UU KUP.
Jika hakim berpendapat bahwa dakwaan yang dilakukan penuntut umum kepada
terdakwa tidak terbukti secara sah dan hakim tidak mendapat keyakinan bahwa terdakwa
bersalah, maka hakim akan menjatuhkan putusan bebas.
Jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti
dalam sidang pengadilan tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana, hakim akan
menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dan atas
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat diajukan permintaan
Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.

2) Latihan
1. Siapa saja yang menjadi subjek dari tindak pidana di bidang perpajakan?
2. Jelaskan jenis-jenis tindak pidana di bidang perpajakan?
3. Siapa penyidik di dalam pelaksanaan penyidikan pajak?
4. Apakah di dalam peradilan pidana pajak seorang penyidik pajak sekaligus juga bertindak
sebagai penuntut perkara?
XV. KEGIATAN BELAJAR 14

PERJANJIAN PERPAJAKAN INTERNASIONAL


(TAX TREATY)

1) Uraian dan Contoh


A. Pengertian
Pajak internasional adalah hukum pajak nasional yang terdiri atas kaedah, baik
berupa kaedah-kaedah nasioal maupun kaedah yang berasal dari traktat antarnegara dan
dari prinsip yang telah diterima baik oleh Negara-negara di dunia, untuk mengatur soal-
soal perpajakan dan dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subjek
maupun mengenai objeknya.
Setiap Negara memiliki peraturan perundang-undangan perpajakan nasional sendiri-
sendiri atau yang disebut dengan yurisdiksi nasional, yang masing-masing peraturan
perundang-undangan dimaksud memiliki landasan dan filosofi hukum yang berbeda
dengan Negara-negara lainnya.
Dalam rangka melakukan investasi di Negara lain maupun dalam rangka suatu
Negara menerima investasi dari Negara lain pasti akan terjadi beberapa konflik
kepentingan. Sebagai contoh, Indonesia menganut konsep pengakuan penghasilan, yaitu
konsep tambahan kemampuan ekonomis atau juga disebut world wide income. Artinya
peraturan perundang-undangan pajak penghasilan tidak mempermasalahkan darimana
datangnya penghasilan, bagaimana penghasilan tersebut diterima atau diperoleh, dan
dalam bentuk apa penghasilan tersebut.
Semua adalah objek pajak penghasilan yang harus dikenakan Pajak Penghasilan bagi
Wajib Pajak Indonesia, baik Wajib Pajak orang pribadi, badan, maupun Bentuk Usaha
Tetap. Sehingga ada kemungkinan terjadi benturan (konflik) dalam pengenaan pajak
dengan Negara lainyang menganut asas pemajakan berbeda dengan Indonesia, nisalnya
Negara yang menganut asas pemajakan kebangsaan (kewarganegaraan). Negara yang
menganut asas kebangsaan tidak mempermasalahkan dari mana penghasilan diterima atau
diperoleh, seseorang tetap diwajibkan membayar pajak di Negara di mana dia
berkebangsaan.
Untuk mengurangi resiko kemungkinan pengenaan pajak berganda sebagai akibat
timbulnya konflik tersebut, maka ada beberapa metode yang biasa dilakukan, di antaranya:
a. Metode perjanjian pengenaan pajak berganda internasional, yang antara lain dapat
dilakukan dengan:
Traktat yang bersifat multilateral, yakni perjanjian yang dilakukan oleh beberapa
Negara dalam suatu perjanjian;
Traktat yang bersifat bilateral, yakni perjanjian yang menyangkut dua Negara.
b. Metode unilateral atau sepihak
Cara ini ditempuh oleh Negara secara sepihak melauli yurisdiksi nasionalnya,
yakni dengan cara memasukkan ketentuan-ketentuan yang kemungkinan dapat
menimbulkan pengenaan pajak berganda kedalam yurisdiksi nasionalnya, misalnya
Pasal 24 Undang-Undang Pajak Penghasilan tentang kredit pajak luar negeri. Tata cara
pengkreditan luar negeri terbagi menjadi dua, yaitu:
Kredit penuh, yakni pembayaran pajak diluar negeri dikreditkan sebesar jumlah
yang dibayarkan di luar negeri; dan
Kredit terbatas, yakni tata cara pengkreditan pajak yang dibayar di luar negeri
menurut jumlah yang paling rendah antara yang dibayar di luar negeri dengan
jumlah pajak apabila dikenakan menurut tarif di Indonesia, sebagaimana dianut
Pasal 24 Undang-Undang PPh.
c. Metode Pembebasan
Metode ini adalah dengan cara memberikan kebebasan terhadap penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari luar negeri. Ada dua cara pembebasan yang dapat
ditempuh, yaitu:
Memberikan pembebasan sepenuhnya terhadap penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari Negara sumber. Artinya penghasilan dari Negara sumber tidak
dimasukkan dalam perhitungan pajak Negara domisili. Metode ini juga sering
disebut dengan pembebasan penuh atau full exemption;
Cara pembebasan penghitungan pajak yang terutang hanya atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh di dalam negeri, tetapi menerapkan tarif rata-rata atas
seluruh penghasilan, baik dari dalam negeri atau dari luar negeri, atau disebut juga
pembebasan dengan progresi atau exemption with progression.
B. Sumber- Sumber Hukum Pajak Internasional
1. Hukum pajak nasional (unilateral) yang mengandug unsur asing
Contoh:
Pasal 5 UU PPh mengenai Bentuk Usaha Tetap (BUT);
Pasal 26 UU PPh mengenai penghasilan-penghasilan yang diterima Wajib Pajak
Luar Negeri yang dikenakan pajak sebesar 20%;
Pasal 4 UU PPN mengenai pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean
di dalam daerah pabean yang dikenakan PPN sebesar 10%.
2. Traktat, yaitu perjanjian pajak dengan Negara lain baik secara bilateral maupun
multilateral.
3. Keputusan HakimNasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak
internasional.
C. Subjek Tax Treaty
Subjek Pajak dalam pajak internasional dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Subjek Pajak Dalam Negeri yang mendapat (memperoleh) penghasilan dari sumber-
sumber di luar negeri; dan
2. Subjek Pajak Luar Negeri yang mendapat (memperoleh) penghasilan dari sumber-
sumber di dalam negeri.
D. Objek Tax Treaty
Objek dari penghindaran pengenaan pajak berganda adalah penduduk dari Negara-
negara yang melakukan perjanjian penghindaran pengenaan pajak berganda tersebut.
Pengertian penduduk ini adalah meliputi orang atau badan dan Bentuk Usaha Tetap yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dianggap Wajib Pajak dalam negeri.
Rumusan pengertian penduduk ini, misalnya:
Untuk Wajib pajak badan, suatu Negara bisa menganut asas registrasi di dalam
menentukan tempat kedudukan, sedangkan Negara yang lain menganut asas tempat
kedudukan. Jadi, dimungkinkan badan tersebut memiliki dual residensi dimana dia
menjalankan usaha di tempat dia terdaftar. Jika terjadi demikian, cara pemecahannya di
dalam perjanjian adalah dimana kedudukan manajemen yang sebenarnya.
Untuk orang pribadi, peraturan perundang-undangan masing-masing Negara mengatur
pengertian penduduk yang berbeda. Sehingga ada kemungkinan seseorang dikenakan
pajak secara berganda di masing-masing Negara apabila masing-masing Negara
menganggap seseorang tersebut adalah penduduknya. Oleh karena itu, dalam
menentukan rumusan tentang pengertian penduduk di dalam perjanjian pajak berganda
haruslah jelas, yakni:
a. Seseorang dianggap penduduk di suatu Negara apabila dia memiliki tempat
tinggal tetap yang status penduduk ditentukan di Negara mana dia memiliki
hubungan ekonomi yang lebih dekat;
b. Apabila tempat kedudukan kepentingan pokoknya tidak dapat ditentukan maka
dia akan dianggap penduduk dimana dia biasa bertempat tinggal;
c. Apabila dia mempunyai lebih dari satu tempat di mana dia biasanya bertempat
tinggal maka dia dianggap penduduk dari Negara tempat dia memperoleh
kewarganegaraan;
d. Apabila bukan warga Negara dari kedua Negara yang melakukan perjanjian maka
pejabat yang berwenang dari kedua Negara akan memutuskan hal itu melalui
persetujuan perjanjian.

E. Sebab Terjadinya Pajak Berganda Internasional


Pajak berganda internasional terjadi apabila pengenaan pajak dari dua Negara atau
lebih saling menindih, sedemikian rupa sehingga orang-orang yang dikenakan pajak di
Negara-negara yang lebih dari satu memikul beban pajak yang lebih besar daripada jika
mereka dikenakan pajak di satu Negara saja, karena dua Negara atau lebih tersebut secara
bersamaan memungut pajak atas objek dan subjek yang sama.
Ada beberapa sebab terjadinya Pajak Berganda Internasional, yakni sebagai berikut:
a. Subjek Pajak yang sama dikenanakan pajak yang sama di beberapa Negara (benturan
titik pertautan subjektif) yang dapat terjadi karena adanya:
Domisili rangkap.
Misalnya Tuan X Wajib Pajak warga Negara A berada di Negara B selama 16
bulan. Apabila menurut ketentuan Negara A, Wajib Pajak yang meninggalkan Negara
A tidak lebih dari 18 bulan masih dianggap sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri dari
Negara A, sedangkan Negara B dalam ketentuannya menganggap orang yang
bertempat tinggal di Negara B lebih dari 12 bulan adalah Wajib Pajak negaranya,
maka status Tuan X secara bersamaan dianggap mempunyai dua domisili yang akan
dikenakan pajak baik oleh Negara A maupun Negara B atas seluruh penghasilannya.
Kewarganegaraan rangkap
Misalnya Tuan Z dianggap sebagai warga Negara C karena dilahirkan dari
seseorang yang yang berwarga negara D (ius sanguinis), sedangkan Negara C
menganggap juga bahwa Tuan Z adalalah warga Negara D karena Tuan Z dilahirkan
di wilayah Negara D (ius soli).
Benturan asas domisili dan asas kewarganegaraan
Misalnya Tuan X warga Negara B bertempat tinggal di Negara A. Karena
Negara A menganut asas domisili, maka Tuan X akan dikenakan pajak oleh Negara A
tersebut atas seluruh penghasilannya, sedangkan Negara B yang menganut asas
kewarganegaraan juga akan mengenakan pajak kepada Tuan X karena Tuan X adalah
warga Negarnya.
b. Objek Pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa Negara (benturan titik
pertautan objektif).
Misalnya, Tuan X bertempat tinggal di Negara A, melakukan usaha di Negara B
dengan suatu BUT. Selanjutnya BUT tersebut memberikan know-how (kemampuan
teknologi) kepada relasinya di Negara C. Maka Negara C dapat mengenakan pajak
karena di negaranya digunakan know-how tersebut. Begitu juga Negara B dapat
mengenakan pajak karena BUT tersebut ada di Negara B.
c. Subjek pajak yang sama dikenakan pajak di Negara tempat tinggal berdasarkan asas
world wide income, sedangkan di Negara domisili dikenakan pajak berdasarkan asas
sumber (benturan titik pertautan subjektif da objektif).
Misalnya, Tuan X bertempat tinggal di negara A dan melakukan usaha di Negara
B. Jika Negara A menganut asas domisili, maka Negara A akan mengeakan pajak
kepada Tuan X berdasarkan personal jurisdiction atas selutuh penghasilannya,
sedangkan Negara B yang menganut asas sumber juga berhak mengenakan pajak atas
penghasilan yang diperoleh Tuan X dari sumber penghasilannya yang ada di Negara B
tersebut.
F. Cara Penghindaran Pajak Berganda
Terdapat 2 (dua) cara yang digunakan peraturan perundang-undangan Indonesia
untuk menghindari pajak berganda internasional, yaitu cara unilateral (sepihak) dan cara
bilateral atau multilateral.
1. Cara Unilateral
Dilakukan dengan memasukkan ketentuan-ketentuan untuk menghindarkan pajak
berganda ke dalam undang-undang suatu Negara dengan suatu prosedur yang jelas.
Yang dimasukkan ke dalam undang-undang suatu Negara adalah prinsp-prinsip yang
sudah menjadi kelaziman internasional, seperti ketentuan tentang pembebasan pajak
para wakil diplomatik, wakil-wakil organisasi internasional. Pembebasan pajak ini
biasanya disyaratkan adanya asas resiprositas atau timbale balik yang artinya bahwa
Negara yang bersangkutan baru akan memberikan pembebasan apabila sebaliknya
Negara lainnya juga memberikan pembebasan atas dasar syrat yang sama.
Undang-undang PPh Indonesia menganut cara penghindaran pajak berganda
dengang suatu metode yang disebut dengan metode kredit pajak. Pasal 24 UU PPh No.
36 Tahun 2008 menyebutkan bahwa:
Ayat (1): Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar
negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh
dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undangundang ini
dalam tahun pajak yang sama.
Ayat (2): Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi
tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan
Undang-undang ini.
Ayat (3): Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber
penghasilan ditentukan sebagai berikut:
a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari
pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan
yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan;
b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan
penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar
atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan
atau berada;
c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak
gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak;
d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani
imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;
e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha
tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
f. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan
atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan
berada;
g. keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta
tetap berada; dan
h. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu
bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.
Ayat (4): Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang
dimaksud pada ayat tersebut.
Ayat (5): Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata
kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang
menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada
tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
Ayat (6): Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan
dari luar negeri diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
2. Cara Bilateral atau Multilateral
Dilakukan melalui suatu peundingan antarnegara yang berkepentingan untuk
menghindarkan terjadinya pajak berganda. Perjanjian secar bilateral dilakukan oleh dua
Negara, sedangkan multilateral dilakukan oleh lebih dari dua Negara. Perjanjian ini
lazim disebut dengan istilah tax treaty atau P3B (agreement for avoidance of double
taxation and the prevention of tax evasion).
Masing-masing Negara mempunyai prinsip pemajakannya masing-masing sesuai
dengan kedaulatan negaranya sendiri. Sehiingga penghindaran pajak cara bilateral
adalah yang paling banyak dilakukan oleh suatu Negara. Sedanfkan perjanjian
penghindaran pajak berganda (P3B) yang dilakukan dengan cara multilateral jarang
sekali terjadi karena disebabkan sulitnya melakukan pembicaraan secara intensif
dengan beberapa Negara sekaligus.
G. Fungsi Perjanjian Perpajakan
Fungsi perjanjian perpajakan, di antaranya yaitu:
a. Untuk penghindaran pajak ganda dan pencegahan penyelundupan pajak;
b. Jika dilihat dari sudut kepentingan negara yang sedang berkembang, untuk mendorong
arus pennaman modal, tekolgi, keahlian, dan perdagangan ke negaranya;
c. Jika dilihat dari kepentingan Wajib Pajak, adanya suatu kepastian untuk beberapa hal
penting;
d. Adanya pemecahan mengenai alokasi penghasilan dengan memberikan suatu metode
pemajakan yang disederhanakan;
e. Adanya pembagian penerimaan negara di antara negara-negara yang paling berkaitan
dalam pemajakan suatu penghasilan;
f. Menambah pengalaman teknis dan memperluas pengetahuan, khususnya dalam hukum
pjak internasional bagi pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua negara
(pengembangan SDM).
H. Model Perjanjian Perpajakan
Dalam perpajakan internasional, dikenala dua model penyusunan perjanjian
perpajakan internasional, yakni, antara lain:
a. Model OECD atau Organization for Economic Cooperation and Development Model.
Model ini dikembangkan oleh Negara Eropa Barat, oleh karena itu, prinsip-prinsip
yang terkandung dalam model ini lebih mementingkan Negara-negara industri atau
Negara-negara maju.
b. Model Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nation Model, yakni model yang
dikembangkan oleh PBB dengan tujuan untuk melindungi dan memperjuangkan
kepentingan Negara-negara berkembang. Oleh karena itu, prinsip revenue oriented dari
Negara sumber jelas terlihat dalam model ini.
I. Kedudukan Hukum Tax Treaty
Jika terjadi konflik antara tax treaty dengan undng-undang perpajakan nasional, maka
berlaku asas yang menyatakan bahwa ketentuan yang bersifat khusus (lex specialis)
mengalahkan ketentuan yang bersifat umum (lex generalis). Dengan demikian, apabila
terdapat ketentuan dalam perjanjian perpajakan dan dalam undang-undang perpajakan
nasionl yang sama-sama mengatur mengenai suatu masalah yang sama , maka ketentuan
yang brsifat khusus yang akan berlaku. Sehingga, ketentuan yang bersifat khusus akan
mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum.

2) Latihan
1. Apa yang dimaksud dengan pajak internasional? Apa yang dimaksud dengan tax treaty
(P3B)?
2. Jelaskan beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengurangi resiko kemungkinan
pengenaan pajak berganda?
3. Sebutkan sumber-sumber hukum pajak internasional?
4. Sebutkan subjek dan objek tax treaty?
5. Jelaskan sebab-sebab terjadinya pajak berganda internasional?
6. Jelaskanlah cara-cara yang bisa ditempuh untuk menghindari pajak berganda
internasional?
7. Bagaimana kedudukan tax treaty dalam tatanan hukum pajak di Indonesia?
5. Apa saja wewenang penyidik pajak?
6. Bagaimana menurut pendapat Anda mengenai sifat kealpaan dalam tindak pidana pajak
jika dikaitkan dengan Pasal 13A UU KUP?
7. Sebutkan 5 (lima) hal yang dapat menyebabkan penghentian penyidikan pajak?
8. Kapan daluwarsa tindak pidana di bidang perpajakan?

Anda mungkin juga menyukai