BAB I
PENDAHULUAN
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara untuk kepentingan rakyat
pembangunan nasional dan pemerintahan, dalam arti sebagai pelaksanaan dan peningkatan
penerimaan negara dari sektor pajak yang bersumber dari kekayaan alam saat ini semakin
berkurang mengingat sudah semakin terbatas dan tidak dapat diperbaharui, untuk itu
pemerintah berkewajiban mencari sumber penerimaan diluar kekayaan alam. Pada umumnya
negara mempunyai sumber-sumber penerimaan yang terdiri atas 1) Bumi, air dan kekayaan
alam, 2) pajak-pajak, Bea dan Cukai, 3) Penerimaan Negara Bukan pajak (non-tax), 4) hasil
perusahaan negara, dan 5) sumber-sumber lain seperti percetakan uang dan pinjaman.1
Sumber penghasilan tersebut diharapkan dapat berperan sebagai sumber penerimaan untuk
mengisi kas negara dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan pengamalan
Ketentuan pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, disebutkan bahwa “Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Bumi, air dan kekayaan alam
merupakan kekayaan nasional dan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, termasuk dalam
persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur yang dapat dipunyai atas bagian
dari bumi, air dan kekayaan alam, menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-
1
Bohari, H, 2010, Pengantar Hukum Pajak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h 11
2
orang (subjek hukum) dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
negara bersama rakyat mempunyai tanggung jawab bersama untuk mewujudkan masyarakat
yang adil dan makmur, memberikan perlindungan terhadap rakyatnya dan menciptakan suatu
kepastian hukum dan kedudukan hukum yang jelas. Untuk menciptakan suatu kepastian
hukum didalam pengaturan dan pemungutan pajak kepada masyarakat sebagai wajib pajak,
harus berdasarkan Undang-undang dan berbagai regulasi yang berhubungan dengan tata cara
Pajak sebagai penerimaan negara dari rakyatnya dapat ditinjau dari dua aspek yakni,
aspek hukum dan aspek pajak. Dari aspek hukum, perpajakan merupakan masalah hukum
diberlakukan serta hasil pungutan pajak yang diatur dalam ketentuan perpajakan dapat
bermanfaat bagi segenap warga negara Indonesia. John L. Hutagaol mengemukakan sebagai
berikut:
“Since the income tax law of 1983 was enacted, there are some basic principle which
were followed under taxation in Indonesia. One of the basic principles is self
assessment, which means the taxpayer is given the truth and responsibility to compute,
pay report their tax obligation. In relation to the implementation of self assessment,
the tax officials should establish and supervise the accomplishment of the principle.”
(Sejak hukum pajak pendapatan tahun 1983 ditetapkan, ada beberapa princip dasar
yang diikuti dalam perpajakan di Indonesia. Salah satu prinsip-prinsip dasar itu adalah
penilaian individu/pribadi, yang berarti pembayar pajak diberi hak dan tanggungjawab
pajak yang dibayarkan. Dalam hubungannya dengan penilaian individu/pribadi, para
petugas pajak harus hadir dan membimbing keberhasilan dari princip itu). 2
Selanjutnya ditekankan hal yang penting, bahwa tidak cukup kepercayaan itu
diberikan kepada wajib pajak, hal yang lebih esiensial adalah bagaimana pemerintah
2
John L. Hutagaol, 2000, Manual for Taxation of Expatriates Working in Indonesia, Direktorat Pajak,
Jakarta, h. 15
3
memberikan pelayanan yang harus berpegang kepada ketentuan yang berlaku yakni adanya
kepastian hukum. Sedangkan dari aspek perpajakan, untuk mendorong kepatuhan wajib pajak
pajak bukan diperlakukan sebagai objek, yaitu dengan menumbuhkan kesadaran akan
kewajiban dilakukam secara tertib. Makna dari kata tertib tersebut menurut pendapat Frans
Limahelu yang mengemukakan “istilah tertib dalam pemahaman hukum merupakan elemen
pertama dan penting yaitu tertib hukum yang bermuara pada kepastian hukum”. 3
Sebagai negara hukum, maka semua ketentuan dan tata cara pelaksanaan kegiatan
perpajakan sebagaimana dinyatakan dalam UUD NRI Tahun 1945 yakni Pasal 23 A, yang
menyatakan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
terhadap negara apabila akan mengatur dan memungut pajak kepada rakyatnya, harus
pula pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-
undang. Disamping itu asas legalitas tetap ada bahkan dipertegas keberadaannya, sehingga
negara didalam melakukan pengaturan dan pemungutan pajak tidak bertentangan dengan
untuk mengatur dan memungut pajak yang bersifat memaksa kepada warga negara Indonesia,
termasuk warga negara asing yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia yang
menerima dan/atau memperoleh penghasilan, atau memiliki hak atas bumi dan/atau
3
Frans Limahelu, 2006, Kapita Selekta penegakan Hukum di Indonesia, Prestasi Pustaka Publiser,
Jakarta, h.163
4
memperoleh manfaat atas bumi, memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat terhadap
bangunan. Ketentuan ini mengandung alasan pembenaran pengaturan dan pemungutan pajak
oleh negara, sehingga tidak dianggap melakukan perampasan atau perampokan terhadap
Pengaturan dan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan pada jaman kolonial tertuang
dalam :
Staatsblad Tahun 1923 Nomor 425), sebagaimana telah diubah dengan Algemeene
Nomor 168) ;
Tahun 1928 Nomor 342) sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor
29 Tahun 1959;
Staatsblad Tahun 1932 Nomor 405), sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata Cara
Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925;
5. Ordonansi Pajak Jalan 1942 (Weggeld Ordonnantie 1942, Staatsblad Tahun 1941
6. Undang-Undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah,
Peraturan tersebut diatas dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dan diubah terakhir
Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam ketentuan peralihan dari
(IPEDA), Pajak kekayaan (PKk), Pajak Jalan dan Pajak Rumah Tangga (PRT) yang terhutang
untuk tahun pajak 1985 dan sebelumnya berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang lama sampai dengan tanggal 31 Desember 1990. Dengan berlakunya
undang-undang ini, peraturan pelaksanaan yang telah ada dibidang IPEDA berdasarkan
Undang Undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 tentang Pajak Hasil bumi tetap berlaku sampai
dengan tanggal 31 Desember 1990, sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan
perpajakan yang berlaku di Indonesia mengalami perubahan dari masa kemasa sesuai dengan
Perkembangan perpajakan itu sendiri pada mulanya belum merupakan suatu pungutan,
tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara
kepentingan negara, seperti menjaga keamanan negara terhadap serangan musuh dari luar,
membuat jalan untuk umum, membiayai pegawai kerajaan dan lain sebagainya. Sejalan
dengan perubahan masa saat ini, masyarakat yang menjadi wajib pajak didalam memenuhi
tersebut kewajiban rakyat yang dulu hanya bersifat sukarela, dengan perubahan regulasi
tentang perpajakan saat ini, rakyat berkewajiban membayar pajak demi kelangsungan
menurut Undang Undang Nasional yang tertuang dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983
falsafah Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, jelas berbeda dengan undang-undang pajak
yang lama. Perbedaan tersebut akan nyata terlihat dalam sistem dan mekanisme serta cara
pandang terhadap wajib pajak, dimana dalam undang-undang pajak yang baru wajib pajak
tidak dianggap sebagai objek, tetapi merupakan subjek yang harus dibina dan diarahkan agar
mau dan sadar memenuhi kewajiban kenegaraan, dengan demikian keikutsertaan masyarakat
dibidang pembiayaan pembangunan dapat dihasilkan penerimaan pajak yang nantinya juga
Masyarakat disisi lain dalam tuntutannya terhadap adanya aparatur perpajakan yang
makin mampu dan bersih, dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan
dalam undang-undang perpajakan ini. Perubahan dalam pelaksanaan perpajakan bukan saja
dilihat dari masyarakat yang menjadi wajib pajak sebagai subjek pajak, akan tetapi juga
7
aparatur pelaksana perpajakan yang dapat memberikan pelayanan yang baik sesuai harapan
masyarakat.
Prinsip tersebut dalam sistem perpajakan yang diadakan oleh negara berupa peraturan
perundang-undangan sebagai kaidah hukum tertulis atau hukum positif mempunyai tujuan
berupa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Ketiga tujuan tersebut bukan hanya
dalam bentuk kaidah hukum tertulis dalam undang-undang pajak, harus tercermin juga dalam
fungsional yang mengabdi kepada negara sebagai negara hukum dengan menampakkan tujuan
4
keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum bagi wajib pajak. Dalam negara hukum yang
menjadi pertanyaan dan diinginkan setiap orang adalah tujuan hukum itu sendiri apakah sudah
terkandung jaminan adanya keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat
wajib pajak. Kenyataannya ketiga tujuan hukum tersebut sering berada dalam suasana kurang
harmonis, contohnya :
a). Keadilan yang diinginkan menjadi disharmonis dengan kemanfaatan dan kepastian
hukum, karena bukan subjek pajak yang dipungut pajak, contohnya bayi yang
pesan keadilan dan kepastian hukum, karena yang bukan wajib pajak bisa
menikmati hasil pajak atau bahkan subjek pajak yang tidak membayar pajak juga
rumah sakit, fasilitas umum) belum tentu pembayar pajak yang patuh.
c). Kepastian hukum dapat berkurang seiring dengan aspek keadilan dan kemanfaatan
karena hanya terfokus pada ketentuan formal, contohnya dikenakan pajak kepada
4
Djafar Saidi.M, 2011, Pembaharuan Hukum Pajak, Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h 21
8
berprestasi, sehingga bagi yang berprestasi sebaiknya diberi apresiasi dengan tidak
Unsur dari suatu kepastian hukum adalah asas legalitas dimana undang-undang yang
mengatur tindakan yang berwenang sesuai dengan aturan dalam undang-undang yang
ditetapkan tersebut, sedangkan peraturan pelaksanaannya secara jelas dan tegas ditentukan
hal-hal yang menjadi hak, kewajiban dan sanksi bagi wajib pajak maupun petugas pajak yang
hukum dapat dilaksanakan oleh masyarakat secara adil. Kepastian memiliki arti ketentuan,
ketetapan, sedangkan jika kata kepastian itu digabungkan dengan kata hukum menjadi
kepastian hukum, yang memiliki arti sebagai suatu ketentuan atau ketetapan hukum suatu
negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Kepastian hukum
tidak selalu mempersoalkan hubungan hukum antara warga negara dan negara, atau tidak
semata-mata berkaitan dengan negara, karena esensi dari kepastian hukum adalah masalah
perlindungan dari tindakan sewenang-wenang, tindakan tersebut tidak terbatas pada negara
2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Bab VII tentang Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah, Bagian Kedua tentang Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pada Pasal 58,
menyebutkan :
h. Efisiensi;
i. Efektivitas; dan
j. Keadilan.
Asas penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut, salah satu bagian yang penting
adalah mengenai kepastian hukum. Dalam Penjelasan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun
“Yang dimaksud dengan Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang
Kepastian hukum dalam Undang undang tersebut, secara jelas berdasarkan atas asas
dalam negara hukum yang mengutamakan landasan perundangan dan keadilan dalam
merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga
pada negara untuk menjalankannya, dalam hal ini tampak relasi antara persoalan kepastian
5
hukum dengan negara. Soedikno Mertokusumo menyebutkan kepastian hukum sebagai
akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. 6 Dengan demikian
dalam pemungutan pajak hanya dilakukan oleh negara yaitu aparat selaku wakil negara yang
berwenang melakukannya adalah Direktorat Jenderal Pajak , sementara itu pihak ketiga atau
swasta tidak diperkenankan atau dilarang melakukan pemungutan pajak, sepanjang undang-
secara hukum.
5
E.Fernando M.Manulang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan
Antinomi Nilai, PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta, h. 94-95
6
Ibid
10
macam pungutan tentang pajak bumi dan bangunan terhadap tanah dan/atau bangunan, tarif
pajak dan cara pembayarannya, dapat meningkatkan kesadaran perpajakan dari masyarakat,
sehingga penerimaan pajak akan meningkat pula. Ini dapat terjadi pada pemungutan pajak
bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
yang dilakukan oleh aparat Pemerintah Daerah dilingkungan Kementrian Dalam Negeri dan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), seperti pemungutan dan pemotongan pengenaan pajak
penghasilan kepada wajib pajak, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang
mewah.
Paham negara kesejahteraan (welfare state) yaitu konsep pemerintahan, dimana suatu
negara memegang peranan kunci dalam perlindungan dan pemenuhan kesejahteraan ekonomi
dan sosial warganya. Lemaire dalam kaitan ini mengemukakan pemerintah dalam negara
kesejahteraan umum. 7Adanya campur tangan pemerintah dalam pemenuhan dan mewujudkan
pusat maupun ditingkat daerah, sehingga pembangunan dan peran serta masyarakat dapat
terselenggara dengan efektif, karena suatu pemerintahan negara diberi wewenang untuk
perwujudan dari cita hukum yang dianut dalam masyarakat. Dirumuskan dan dipahaminya
7
Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 40
11
adalah UUD NRI Tahun 1945 pada pembukaan tercermin pokok-pokok pikiran meliputi
Pokok-pokok pikiran itu mewujudkan cita hukum yang menguasai hukum dasar
9
negara, baik hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Tatanan hukum yang berlaku
dalam suatu masyarakat berkaitan erat dengan cita hukum yang dianut dalam masyarakat
hukum, perilaku penyelenggara negara. Cita hukum (rechts idee) mengandung arti bahwa
pada hakikatnya hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat berakar pada gagasan, rasa,
karsa, cipta dan pikiran dari masyarakat itu sendiri.10 Berkenaan dengan hukum atau persepsi
tentang makna hukum, yang dalam intinya terdiri atas tiga unsur : keadilan, kehasil-gunaan
(doelmatigheid) dan kepastian hukum, terbentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai
Proses pengkaidahan perilaku warga masyarakat yang mewujudkan tiga unsur tadi,
dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan dan cita hukum akan berpengaruh, dan berfungsi
sebagai asas umum, mempedomani norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang
perilaku hukum. Bangsa Indonesia memiliki suatu tata hukum nasional yang sesuai dengan
8
Bernard Arief Sidartha, 1996 Refeksi Tentang Fundasi dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan
Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, (Disertasi, Universitas Padjajaran), h. 214 – 215.
9
Atamimi.A, Hamid.S, 1996, Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia,
dalam Pancasila sebagai Idiologi dalam berbagai bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan
Bernegara, disunting Oetojo Oesman, BP 7 Pusat, Jakarta, h. 62, dinyatakan bahwa istilah cita sebagai padanan
kata idiologi, dalam kaitan dengan hukum tidak tepat mempergunakan istilah idiologi hukum, karena isitilah
idiologi mempunyai konotasi sosial politik, oleh karenanya lebih tepat dipakai istilah “cita hukum”
10
Rumusan hasil seminar, 1995, Temu Kenal Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas Hukum Nasional,
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional pada tanggal 22 – 24 Mei 1995 di Jakarta. Lihat Buku Badan
Pembinaan Hukum Nasional Dari Masa ke Masa, h. 246 – 247.
12
cita-citanya, yaitu hukum yang membawa keadilan sosial bagi seluruh rakyat, hukum yang
dapat mewujudkan suatu masyarakat adil makmur.11 Dalam rangka mewujudkan cita-cita
kemerdekaan sebagaimana dinyatakan tersebut, diperlukan adanya dana yang besar untuk
membiayai pembangunan dan pemerintahan, sementara itu sumber dana yang diperlukan
tidaklah dapat diandalkan dari kekayaan alam saja, melainkan ada sumber-sumber pendapatan
yang lain untuk penghasilan negara seperti pendapatan dari sektor pajak.
Sumber penghasilan negara dari sektor pajak yaitu pungutan pajak kepada rakyatnya
yang ada diwilayah negara, hal ini dipertegas oleh Rochmat Soemitro dan Dewi Kania
“Pajak-pajak sebenarnya merupakan jiwa negara, sebab tanpa pajak negara tidak akan
atau sukar hidup, kecuali apabila negara itu mempunyai pendapatan dari sumber-
sumber alam (minyak, gas bumi, tambang emas, bijih besi, magnesium, dan
sebagainya) dan/atau dari perdagangan/industry-industri. Jadi pajak-pajak pada
hakekatnya mengenai hidup negara secara ekonomis, bukan hidup secara manusiawi.
Banyak sedikitnya uang yang diperlukan oleh negara tergantung kepada tingkat
ekonomi negara serta rakyatnya. Pajak-pajak ditangan pemerintah digunakan untuk
meningkatkan ekonomi masyarakat, yang akan tercermin dalam tingkat kesejahteraan
rakyat. Lebih sejahtera, lebih makmur masyarakat, lebih tinggi tingkat ekonominya.
Maka dapat dikatakan bahwa pajak-pajak disamping untuk kelangsungan kehidupan
negara (dengan anggaran rutinnya) juga digunakan untuk pembangunan yang akan
mensejahterakan dan memakmurkan rakyat Indonesia (melalui anggaran
pembangunan). Dengan ini mudah dimengerti bahwa pajak-pajak pungutannya selalu
berdasarkan keadaan ekonomi rakyat dan hasilnya digunakan untuk meningkatkan
ekonomi rakyat, dan penghasilannya yang hanya cukup kebutuhan primer, tidak wajar
dikenakan pajak atas penghasilannya. Untuk itu berlaku asas daya pikul.” 12
sebagai sumber pendapatan negara merupakan jiwa negara dan bagian yang sangat penting
didalam mensejahterakan rakyat. Dengan demikian pengertian pajak pada umumnya adalah
11
Pranarka,A.M.W, 1979, Suatu Konstruksi Filsafat Hukum Dengan Latar Belakang Evolusi Pengetahuan
Dewasa Ini, (Bandung: Majalah Pro Justitia Universitas Katolik Parahyangan, No. 7), h. 447.
12
Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan 1, PT.Rafika
Aditama, Bandung, h. 43-44
13
iuran wajib dari orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang dapat
Pendapat tentang pengertian pajak oleh para sarjana dalam mengkaji pendapatnya di
fokuskan pada pajak, seterusnya dilakukan analisa-analisa antara lain dikemukakan oleh :
a. J.A Adriani
“pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang
wajib membayar menurut peraturan-peraturan dengan tidak dapat prestasi kembali
yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubungan dengan tugas pemerintah.”13
b. Rochmat Soemitro
“pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan
Undang-Undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapatkan imbalan
(tegenprestatie), yang secara langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan sebagai
alat pendorong, penghambat, atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada diluar
bidang keuangan negara.” 14
c. Soeparman Soemahamidjaya
“pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa
berdasarkan norma-norma hukum, guna menutupi biaya-biaya produksi barang-
barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.” 15
d. Fildmann, mengatakan bahwa
“belasting zijn aan de overhead, volgens algemene door haar vastgestelde normen,
verschuldigde afdwingbare praestaties waar geen tegen-prestatie tegenstaat, en
ultsluitend dienende totdekking van publieke ultgaven” (pajak adalah prestasi yang
terutang pada penguasa dan dipaksakan secara sepihak menurut norma-norma yang
ditetapkan oleh penguasa itu sendiri, tanpa ada jasa balik dan semata-mata guna
menutup pengeluaran-pengeluaran umum). 16
13
Bohari, 1985, Pengantar Perpajakan, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 31
14
Rochmat Soemitro, 1992, Hukum Pajak, PT. Eresco Bandung, h. 3
15
Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, 2013, Hukum Pajak : Teori, Analisis, dan Perkembangannya, Edisi 6,
Salemba Empat, Jakarta, h. 6
16
Djafar Saidi. M,2011, Op Cit, h. 27
17
Didik Budi Waluyo, 2010, Susunan dalam Satu Naskah Undang-Undang Perpajakan Indonesia,
PT.Gramedia, Jakarta, h. 3
14
Para sarjana tersebut penekanan pengertian tentang pajak dari berbagai pandangan,
yaitu JA. Adriani menekankan pada iuran kepada negara, Rochmat Soemitro menekankan
pajak sebagai peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik, Soeparman
Soemahadidjaya menekankan pajak sebagai iuran wajib, Fildmann menekankan pada pajak
sebagai prestasi yang terutang, serta Didik Budi Waluyo menekankan pajak sebagai
kontribusi wajib kepada negara. Dari difinisi para sarjana tersebut, dapat disimpulkan dan
1. Iuran dari rakyat kepada negara, bahwa pajak itu adalah iuran atau kewajiban
Undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang berlaku umum.
peraturan, maka ini tidak sah dan dianggap sebagai perampasan hak.
3. Tanpa jasa timbal atau kontra prestasi dari negara yang secara langsung dapat
ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi
prestasi dari negara tidak ada hubungan secara langsung. Prestasi tidak ditujukan
secara langsung kepada individu pembayar pajak, tetapi ditujukan secara kolektif
4. Bersifat memaksa, artinya perpindahan atau penyerahan iuran itu adalah bersifat
wajib, dalam arti bahwa bila kewajiban itu tidak dilaksanakan maka dengan
berguna untuk rakyat, seperti pembuatan jalan, jembatan, gedung dan sebagainya.
Meskipun difinisi atau batasan pajak yang telah dikemukakan oleh para pakar tidak
sama, namun pada dasarnya bermaksud merumuskan pengertian pajak sehingga mudah
dipahami. Perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang yang digunakan oleh masing-
masing pihak pada saat merumuskan pengertian pajak. Rochmat Soemitro memandang pajak
dapat ditinjau dari aspek ekonomis dan aspek hukum. Adapun pengertian pajak dari aspek
ekonomis adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-
undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapatkan imbalan (tegenprestatie), yang
secara langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan
yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat, atau pencegah untuk mencapai tujuan
Pengertian pajak dari aspek hukum adalah perikatan yang timbul karena undang-
undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang (tatsbentand) untuk membayar sejumlah uang kepada (kas) negara yang dapat
dipaksakan, tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang
yang digunakan sebagai alat (pendorong atau penghambat) untuk mencapai tujuan diluar
bidang keuangan negara. Pengertian pajak tersebut sebagai perikatan oleh wajib pajak dengan
negara tanpa tegenprestasi secara langsung dan bersifat memaksa dan merupakan perikatan
yang lahir dari undang-undang yang bernuansa publik sehingga bersifat memaksa, maka
penagihannya dapat bersifat dipaksakan, juga dengan ancaman hukuman berupa sanksi
18
administrasi maupun sanksi pidana. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
18
Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung, h. 12-13
16
perubahan Ketiga atas Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, dalam Pasal 1 angka 1, menyebutkan : Pajak adalah kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
Pajak berada dalam pengawasan dan pembinaan pejabat pajak sebagai pihak yang
mewakili negara, dan tidak ada tegenprestasi secara langsung kepada wajib pajak. Rumusan
pengertian pajak secara tegas memisahkan antara pajak yang bersifat memaksa dengan
pungutan yang bersifat retribusi. Pajak dan retribusi merupakan saudara kembar yang
merupakan bagian dari pemungutan kepada wajib pajak yang bersifat memaksa.
Memperhatikan unsur-unsur yang melekat pada pajak yang bersifat memaksa dengan
1. Pada pajak sifatnya berlaku umum, artinya berlaku bagi setiap orang yang
memenuhi syarat untuk dapat dikenakan pajak, sedangkan pada retribusi hanya
2. Pada pajak unsur paksaannya bersifat pidana dan administratif, sedangkan retribusi
unsur paksaannya bersifat ekonomis artinya kalau tidak membayar iuran maka
dari negara. Misalnya retribusi pasar, bagi mereka yang tidak membayar retribusi,
dagangannya.
3. Pada pajak tegen prestasinya bersifat tidak langsung dalam arti bahwa meskipun
wajib pajak telah membayar pajak belum tentu dapat langsung menikmati jasa
dari negara. Misalnya wajib pajak bayar pajak untuk membiayai salah satu irigasi
(pengairan) yang terletak disalah satu daerah lain. Antara pembuatan irigasi
17
dengan pembayaran pajak tadi boleh dikatakan tidak ada hubungannya karena kita
selaku pembayar pajak belum tentu dapat manfaat atau kegunaan dari irigasi itu.
Irigasi itu dibangun bukan ditujukan kepada mereka yang membayar pajak saja,
bahwa mereka yang tidak bayar pajakpun dapat menikmati irigasi yang dibiayai
dengan pajak itu, sedangkan retribusi tegen prestasi bersifat langsung, dalam arti
bahwa siapa yang membayar iuran maka ia berhak menikmati jasa negara,
negara.
Pengertian retribusi tersebut diatas, ternyata ditinjau dari aspek ekonomis bukan dari
aspek hukum, padahal yang dibutuhkan adalah pengertian retribusi ditinjau dari aspek hukum
yang tidak berbeda dengan sarana hukum dari pemungutan pajak itu sendiri, yaitu berupa
sanksi administrasi dan sanksi pidana, walaupun dalam retribusi, wajib pajak mendapatkan
tegenprestasi secara langsung dan dapat dipaksakan penagihannya, dengan demikian pajak
merupakan sumber penerimaan negara yang sangat besar, yang berpotensi untuk menambah
Pajak merupakan sumber penerimaan yang besar, salah satunya adalah dari Pajak
Bumi dan Bangunan yang diatur dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang telah
diubah dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam penjelasan dalam
Hakekat pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu sarana
keadilan dan kesederhanaan serta ditunjang oleh sistem administrasi perpajakan yang
pengubah tidak boleh mengesampingkan perlindungan hukum bagi wajib pajak, hal ini
dimaksudkan agar wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya dan hak-haknya tidak
mengalami kendala atau hambatan. Bahkan pejabat pajak dapat memberikan bantuan dan
pembinaan yang dibenarkan secara yurudis, sehingga tujuan reformasi hukum khususnya
dibidang hukum pajak dapat tercapai. Sebenarnya reformasi dibidang hukum pajak adalah
meningkatkan kesadaran hukum bagi wajib pajak untuk memenuhi kewajiban membayar atau
melunasi pajak yang terutang, guna dapat dipergunakan untuk pembiayaan pemerintahan dan
pada bulan September 2005 di Buenos Aires, Argentina, beberapa poin penting di antaranya
adalah :
1. Pajak tidak boleh memaksa, karena prinsipnya pajak merupakan wujud kesadaran
masyarakat dalam memberikan kontribusi terhadap negara. model pemungutan
pajak tidak boleh memaksa, sehingga difinisi pajak lebih netral dan tidak
berkonotasi negatif (untuk membedakan antara negara merdeka dan negara yang
masih terjajah yang harus membayar pajak kepada negara yang menjajah).
2. Pajak harus dikembalikan kepada masyarakat, sehingga seharusnya hasil
penerimaan pajak tidak boleh digunakan untuk membayar utang atau menutup
defisit negara.
3. Pembayar pajak mendapat benefit, terutama akses dari pemerintah baik akses
informasi maupun akses ekonomi.
19
Para guru besar yang tergabung dalam European Association of Tax Law Professors
Pertemuan yang diadakan di Caserta (Naples) pada tanggal 27 sampai dengan 29 Mei 2005
tersebut menghasilkan laporan akhir yang kemudian dibukukan dengan judul yang sama.
Beberapa poin penting yang dituangkan dalam buku tersebut antara lain simpulan bahwa
konsep pajak seharusnya tidak statis melainkan harus terus dikembangkan menyesuaikan
dengan perubahan. Tidak akan diketemukan difinisi pajak yang paling baik sepanjang masa
dan untuk semua negara, karena perubahan yang terjadi dalam masyarakat menyebabkan
peningkatan pelayanan kepada masyarakat sebagai wajib pajak dan transparansi administrasi
perpajakan termasuk pelaksana yang baik dan jujur dalam pemungutan pajak. Tujuan ini
tidak dapat dicapai bila pelaksana perpajakan dengan wajib pajak tidak mengikuti
dan pemungutan pajak harus diwujudkan untuk tercapainya keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum. Pajak bumi dan bangunan dalam hal ini tanah dan bangunan diatasnya
berkaitan erat dengan aspek ekonomi, yakni hukum sebagai sehimpunan sistem kaidah yang
Roscoe Pound, hal ini dijelaskan seperti berikut “......hukum dapat mencukupkan
keperluan sendiri telah ditinggalkan, dan orang mulai mencoba menghubungkan ilmu hukum
dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, yang lebih dulu menonjol ialah hubungan dengan ilmu
19
Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, 2012, Pengantar Ilmu Pajak, Kebijakan dan Implementasi di
Indonesia, Rajawali Pers, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 26-27
20
Ibid
20
ekonomi”.21 Untuk selalu menjaga agar perkembangan perekonomian dan hukum dapat
berjalan sesuai dengan kebijakan pembangunan, maka aspek perpajakan harus mendapatkan
suatu kepastian hukum dan keadilan dalam pengaturannya yang dituangkan kedalam
peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan kegiatan penerimaan dari sektor Pajak Bumi dan
kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, dilaksanakan secara adil dan
selaras dalam sistem negara kesatuan republik Indonesia. Kewenangan mengurus dan
ini didasari oleh prinsip-prinsip persamaan kesempatan, distribusi kemakmuran secara wajar
nyata oleh Edi Slamet Irianto melalui disertasinya yang berjudul “Desentralisasi Perpajakan
dalam Perspektif Demokratisasi di Indonesia”. Menurut Irianto dalam perspektif pajak, pajak
adalah saham politik rakyat atas negara sehingga rakyat memiliki hak-hak istimewa dalam
22
setiap proses politik untuk menentukan kebijakan negara. Gagasan demokratisasi
perpajakan menjadi penting untuk dikembangkan karena berbagai alasan. Pertama, semakin
terbukanya iklim politik di Indonesia dan perkembangan pasar bebas. Kedua, meningkatnya
21
Roscoe Pound, diterjemahkan oleh Mohamad Radjab, 1982, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta,
Bratara Karya Aksara, hal. 31
22
Edi Slamet Irianto, 2009, Pajak, Negara dan Demokrasi : Konsep dan Implementasinya di
Indonesia, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, h. 59
21
dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya, guna
maka pemerintah Indonesia dituntut untuk turut serta secara aktif (proaktif) dalam semua
aspek kehidupan dan penghidupan rakyat dalam kerangka sistem negara kesatuan. Negara
kesatuan yakni negara tunggal artinya terdiri dari satu negara, keluar atau kedalam
merupakan satu kesatuan, dengan demikian negara kesatuan itu pula hanya terdiri atas satu
kepala negara. Dalam negara kesatuan hanya ada satu pusat pemerintahan/kekuasaan dari
pusat sampai kedaerah-daerah, sehingga segala sesuatu dapat diatur secara sentral. Walaupun
demikian tidaklah berarti bahwa didalam negara kesatuan seluruh daerah dalam segala-
galanya hanya diatur dan diperitah langsung dari pusat, tetapi masih ada tempat bagi inisiatif
Penegasan seperti ini juga dikemukakan oleh Sunindhia Y.W yang berpendapat
“Negara Kesatuan bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dengan mendasarkan atas persatuan mewujudkan keadilan sosial
24
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Indonesia sebagai negara kesatuan merupakan negara
hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan
tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera dan berkeadilan. Untuk mendukung tata
kehidupan bangsa yang aman dan tertib, dalam ketentuan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945,
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
23
Ibid
24
Sunindhia Y.W, 1987, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Bina Aksara, Jakarta, h. 16
22
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur
dengan undang-undang”.
Pembagian daerah atas daerah provinsi, kabupaten dan kota, pemerintah daerah diakui
berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan. Otonomi pada hakekatnya mempunyai makna kebebasan atau
dua aspek, yakni berkaitan dengan pemberian tugas dalam arti melaksanakannya dan
menetapkan sendiri bagaimana menyelesaikan tugas itu.26 Adanya otonomi, menuntut kepada
Pemerintah Daerah untuk lebih kreatif didalam menggali sumber-sumber pendapatan daerah
untuk dapat membiayai pengeluaran atau belanja daerah serta diarahkan untuk mempercepat
pemberdayaan peran serta masyarakat, sehingga mampu meningkatkan daya saing dengan
memiliki hubungan timbal balik seperti dikemukakan Saukani, yakni “Kalau tidak ada
kewenangan, bagaimana memobilisasi sumber daya, termasuk sumber daya keuangan dan
“tindakan yang terus menerus atau kebijaksanaan, yang dengan menggunakan suatu rencana
maupun akal (rasio) dan tata cara tertentu, untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang
25
Abdurrahman, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, Media Sarana Press, Jakarta,
h.10, lihat juga RDH Koesoemahatmadja, 1979, Pengantar Kearah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia,
Binacipta, Bandung, h. 9
26
Moh. Mahmud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, h. 93
27
Saukani H, 2002, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 10
23
masyarakat dan pada sisi lain memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam pengendalian
(pemerintahan) tersebut. Dari pengertian tersebut, maka unsur pokok hukum administrasi
adalah Sturen (Sturing) hukum mengenai kekuasaan pemerintah, partisipasi (peran serta)
masyarakat, dan hukum mengenai organisasi publik sebagai perlindungan hukum bagi
29
masyarakat terhadap kekuasaan pemerintahan. Ketiga unsur pokok hukum administrasi
tersebut sekaligus merupakan dimensi normatif hukum administrasi sebagai hukum publik
instrumen. 30
Pengertian dan hakekat hukum administrasi yang diuraikan oleh Philipus M Hadjon
diatas sejalan dengan pendapat P.P. Craig dalam bukunya berjudul “Admitrative Law”,
bahwa pengertian hukum administrasi berfariasi, untuk itu dia tidak memberi pengertian
hukum adminstrasi secara pasti, namun secara diskriptif yang menunjukkan fariasi penekanan
“For some it is the law relating to the control of government power, the main object of
which is to protectindividual right. Others plese greater emphasis up on the rules
which are designed to unsure that the administration effektiveley performs the task
assigned to it. Yet other see the principal objectif of administrative law as ensuring
governmental accountability, and fostering participatioan by interested parties in the
decision making prosses”. (Sebagian berpendapat bahwa hukumlah yang
berhubungan dengan kontrol kekuatan pemerintah, yang objek utamanya adalah hak
perlindungan individual, yang lain memberi penekanan pada aturan-aturan yang
dibuat harus memberi keyakinan bahwa pemerintah secara efektif melakukan tugas
yang diberikan kepadanya. Bahkan yang lainnya lagi berpendapat bahwa tujuan dasar
28
Marbun S.F. dkk, 2001, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press,
Yogyakarta, h. 82
29
Philipus M Hadjon, 1993, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi, Fakultas Hukum,
Universitas Airlangga, h 3
30
Ibid. Asas Negara Hukum yang langsung berkaitan dengan jaminan perlindungan hukum bagi
masyarakat terhadap kekuasaan pemerintah adalah asas legalitas dalam pelaksanaan pemerintahan
(doelmatigheid van bestuur : asal kewenangan, prosedur dan substansi), perlindungan hak asasi (hak klasik dan
hak sosial), pembagian kekuasaan dibidang pemerintahan antara lain melalui desentralisasi fungsional maupun
teritorial.
24
PP Craig dalam pengertian tersebut diatas, tampak bahwa hukum administrasi adalah
hukum yang mengontrol kewenangan pemerintah, dan juga hukum yang dibentuk untuk
menjamin agar pemerintah dapat bekerja secara efektif sesuai dengan tugas yang telah
pemerintahan yang diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Semua sumber keuangan yang melekat setiap
urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah.
pendapatan dari pemanfaatan sumber alam yang ada, serta sumber dari sektor pajak, sehingga
mendorong upaya pemerintah untuk peningkatan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, dilaksanakan secara serasi,
adil dan selaras. Disamping itu, terdapat bagian urusan pemerintahan yang bersifat
kewenangannya, ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, dan ada
31
PP Craig, Adminstrative Law, Sweet and Maxwell limited of south Quay Plaza, London, h. 1
25
kepastian tersedianya pendanaan dari pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang
diserahkan sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Sumber keuangan dan
pendapatan daerah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah mengatur dan
memungut dari pajak daerah dan retribusi daerah, hak untuk mendapatkan bagi hasil dari
sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah, dana perimbangan lainnya, hak untuk
Sumber keuangan daerah dari penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur
dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997, yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
Undang undang ini mengatur tentang kewenangan pemerintah daerah dan jenis-jenis pajak
daerah dan retribusi daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah provinsi,
kabupaten dan kota. Dari jenis pajak daerah dan retribusi daerah, pemerintah daerah wajib
untuk memperhatikan hubungan timbal balik pemerintah dengan masyarakat, karena hakekat
pembayaran pajak itu merupakan kewajiban masyarakat sebagai wajib pajak serta mendapat
Sejalan dengan pengertian pajak pada umumnya, Pajak Daerah sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1 angka 10 disebutkan Pajak Daerah yang
selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib pajak kepada Daerah yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak
mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-
Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut diatas, telah menggariskan kebijakan
dalam Peraturan Daerah tentang perpajakan antara lain dalam rangka pengawasan, dimana
26
dalam Peraturan Daerah dapat ditetapkan jenis pajak yang memberikan keleluasan kepada
daerah dalam mengantisipasi situasi dan kondisi serta perkembangan perekonomian daerah
pada masa yang akan datang, yang mengakibatkan potensi pajak dengan tetap memperhatikan
kesederhanaan jenis pajak dan aspirasi masyarakat, serta memenuhi kreteria yang telah
a. Bersifat sebagai pajak bukan retribusi, bahkan pajak yang ditetapkan harus sesuai
b. Obyek dan pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum, ini
berarti bahwa pajak dimaksud untuk kepentingan bersama yang lebih luas antara
c. Potensinya memadai, berarti bahwa hasil pajak cukup besar sebagai salah satu
sumber pendapatan daerah dan laju pertumbuhan diperkirakan sejalan dengan laju
d. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif, bahwa pajak tidak mengganggu
alokasi sumber-sumber ekonomi secara efisien dan tidak merintangi arus sumber
pembayaran pajak dan dapat diperkirakan oleh wajib pajak yang bersangkutan,
kepada pemerintah daerah dan masyarakat untuk merusak lingkungan yang akan
Kreteria tersebut dapat disimak bahwa pengawasan terhadap pengaturan pajak bumi
dan bangunan yang telah diserahkan pusat kepada Kabupaten/Kota sangat diperhatikan,
karena dampak kegiatan tersebut menimbulkan pengaruh terhadap tanah-tanah adat di Bali
yang penguasaannya dikuasai oleh desa pakraman. Sebagaimana diketahui bahwa desa
pakraman memanfaatkan tanah adatnya adalah untuk memenuhi kewajiban dalam rangka
kegiatan upacara keagamaan dan kegiatan lainnya serta dilakukan untuk pemenuhan
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, merupakan kewenangan daerah pada tingkat
Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam pengaturan dan pemungutan yang dapat dilaksanakan di
masing-masing daerah sesuai dengan jenis-jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang
diaturnya. Pajak dan retribusi ini juga sebagai pemasukan pendapatan daerah guna
membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah dan pembangunan, hal ini sebagai salah satu
berupa Peraturan Daerah (Perda) tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
sebagai pelaksanaan dari perundang-undangan yang mengatur atau lebih tinggi, beberapa
Peraturan Daerah kabupaten/kota yang telah dibuat seperti Peraturan Daerah Kabupaten
Badung Nomor 3 Tahun 2012, Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem Nomor 12 Tahun
2012, Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 4 Tahun 2013, Peraturan Daerah
Kabupaten Jembrana Nomor 12 Tahun 2011, Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor
10 Tahun 2011, Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 4 Tahun 2012, Peraturan
Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 9 Tahun 2012, Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng
Nomor 5 Tahun 2013, dan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2012 tentang
28
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, serta Perubahan Peraturan Daerah dan
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009, membagi jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah pada tingkat Provinsi
dan Kabupaten/Kota ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), yaitu :
Retribusi Daerah meliputi pajak-pajak yang menjadi kewenangan daerah yang telah diatur
memungut Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) serta Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Kedua jenis pajak ini yaitu PBB P2 dan
29
BPHTB sebelumnya adalah pajak pusat, berarti pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah
kepada Kepala Daerah karena telah menjadi Pajak Daerah Kabupaten/Kota. Jenis-jenis pajak
atau penggolongan pajak daerah dan retribusi daerah telah bersifat final, karena telah diatur
Pengaturan dan pemungutan tentang pajak bumi dan bangunan sudah menjadi bagian
dari jenis pajak daerah di Kabupaten/Kota, juga menganut prinsip tertutup artinya daerah
dilarang memungut pajak dan retribusi selain jenis atau penggolongan pajak dan retribusi
yang telah diatur diatas. Dalam arti daerah tidak boleh mengatur dan mengadakan pajak
daerah dan retribusi daerah selain yang diatur dalam undang-undang. Ketika daerah mengatur
dan mengadakan pajak daerah dan retribusi daerah selain dari jenis pajak dan retribusi yang
ditetapkan undang-undang dalam bentuk peraturan daerah, berarti suatu perbuatan hukum
yang tidak sah, konsekwensi hukum yang timbul adalah peraturan daerah tentang pajak
daerah dan retribusi daerah itu batal demi hukum, berarti dari semula tidak pernah ada.
2009 yang memuat tentang nama, objek pajak dan subjek pajak, dasar pengenaan, tarif, dan
tata cara penghitungan pajak, wilayah pemungutan, masa pajak, penetapan, tata cara
penyidikan, ketentuan pidana, dan ketentuan penutup, serta penjelasan atas Peraturan Daerah.
Objek Pajak Bumi dan Bangunan perdesaan dan perkotaan sesuai dengan Pasal 77
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, adalah : Bumi dan/atau bangunan yang
dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan
Sedangkan dalam Pasal 77 ayat (3) disebutkan Objek pajak yang tidak dikenakan
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang :
Untuk memahami siapa yang merupakan subjek pajak dan wajib pajak bagi pajak
bumi dan bangunan, terdapat rumusan atau ketentuan dalam Pasal 78 yaitu :
(1) Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi
atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau
memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau
memperoleh manfaat bangunan.
(2) Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi
atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau
memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan.
Ketentuan Pasal 78 ini tidak membedakan subyek pajak dari pajak bumi dan
bangunan perdesaan dan perkotaan dengan wajib pajak dari pajak bumi dan bangunan
perdesaan dan perkotaan. Dalam arti tidak ada substansi hukum yang membedakannya,
misalnya muatan hukum tertuju kepada wajib pajak dari pajak bumi dan bangunan perdesaan
dan perkotaan untuk dikenakan pajak ketika telah memenuhi syarat-syarat objektif. Dengan
demikian terdapat perbedaan kedudukan antara subjek pajak dari pajak bumi dan bangunan
perdesaan dan perkotaan dengan wajib pajak dari pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan.
31
Wajib pajak bagi pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah orang
pribadi atau badan yang dikenakan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan,
Apabila ada objek pajak dari pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan yang
belum diketahui siapa subjek pajak atas objek pajak tersebut, pejabat pajak berwenang
menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak. Kewenangan pejabat pajak untuk menetapkan
subjek pajak sebagai wajib pajak bertujuan agar objek pajak itu dikenakan pajak bumi dan
bangunan perdesaan dan perkotaan. Akan tetapi subjek pajak tersebut dapat memberikan
keterangan kepada pejabat pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak yang
dimaksud.
Semua tanah dan bangunan yang berada diwilayah negara Indonesia ini bisa
dimasukkan sebagai objek pajak, namun terhadap tanah dan bangunan tertentu dapat
dikecualikan atau tidak dikenakan pungutan pajak bumi dan bangunan. Adapun objek pajak
atau tanah dan bangunan yang dikecualikan/tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan itu
adalah sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan, telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c menyebutkan : “merupakan hutan lindung, hutan
suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan
Objek pajak yang dikecualikan/tidak dipungut pajak bumi dan bangunan tersebut,
belum secara jelas menyebutkan tanah desa adat, hanya penyebutan terhadap tanah
pengembalaan yang dikuasai oleh “ desa.” Pengertian desa di Bali terdiri dari dua hal yakni,
pertama, desa yang hidup secara tradisional sebagai perwujudan daripada lembaga adat yang
disebut desa pakraman, desa ini dulu dikenal sebagai kepurbakala , kedua, desa administratif
atau desa dinas yang eksistensinya terkait dengan pemerintah daerah, dan sekarang disebut
32
dengan istilah desa dinas atau desa administratif. Perbedaan antara Desa Dinas dengan
Perbedaan tersebut jelas memperlihatkan desa dinas dengan desa adat berbeda dalam
hal ruang lingkup tugas dan fungsinya. Sebagaimana pengertian Desa sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa :
“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia”
Undang-undang ini dususun dengan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu
pengaturan masyarakat hukum adat, dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
yaitu :
32
Sirtha I Nyoman, 2003, Hukum Adat dan Sistem Pengamanan Tradisional dalam Mewujudkan
Masyarakat Patuh Hukum, Kerta Patrika Vol. 28 Nomor 1 Januari, h. 2
33
1) Memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan
Indonesia;
2) Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam sistem
rakyat Indonesia;
5) Membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta
bertanggung jawab;
masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari
ketahanan nasional;
Desa mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia, sedangkan
desa adat atau disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari desa
a). Kuatnya pengaruh adat dalam sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber
secara turun temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan
c). Memiliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak asal usul desa sejak desa
adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengah masyarakat.
d). Merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai
batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang
asal usul. Pada dasarnya kesatuan masyarakat hukum adat terbentuk berdasarkan
teritorial.
Pengaturan dalam undang-undang tentang desa ini terhadap desa adat, sebagai suatu
kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara genealogis dan teritorial.
Dalam kaitan itu, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. Implementasi dari kesatuan
masyarakat hukum adat tersebut telah ada dan hidup diwilayah negara kesatuan Republik
marga di Sumatera bagian selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa pakraman/desa adat di
Bali, lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan, dan negeri di Maluku.
Pasal 18 B UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan bahwa : “Negara mengakui dan
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
jiwa bangsa (volksgeist) masyarakat hukum adat itu sendiri yang merupakan pendukung dari
Bali mempunyai desa yang disebut dengan desa adat/desa pakraman yang sampai saat
ini masih kuat keberadaannya. Desa pakraman/desa adat sebagai masyarakat hukum adat
diatur dengan Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman,
terakhir diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang
Perubahan atas Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman, dalam Pasal 1 angka 4 disebutkan bahwa : “desa pakraman adalah kesatuan
masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata
karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan
Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan
Sebagai masyarakat hukum adat yang tumbuh dan berkembang di Bali, desa
pakraman/desa adat dijiwai oleh agama Hindu, oleh karena itu konsep-konsep dasar agama
Hindu dijadikan landasan dalam pengembangan dan pemberdayaan desa pakraman/desa adat
seperti Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) dan konsep Tri Hita Karana sebagai upaya dalam
pengembangan dan pelestarian adat istiadat dan agama Hindu yang didukung oleh krama
desa pakraman/adat melalui pembinaan dalam kehidupan adatnya. Mereka sepakat untuk
melakukan kerjasama dengan ikatan tertentu untuk mempermudah kehidupan mereka, pola
36
kehidupan masyarakat yang disebut “pakraman” ini telah tumbuh sejak Bali kuna. 33 Sebagai
pembinaan kepada krama desa pakraman/desa adat agar keberadaannya tetap ajeg dan lestari.
Bagus Mantra yang penting sekali artinya sebagai titik awal serta pedoman dalam membina
dan melestarikan adat istiadat Bali serta seyogyanya dipakai pula sebagai tolok ukur dalam
menilai hasil-hasil yang telah dicapai ataupun hambatan-hambatan yang mungkin dihadapi
dalam kegiatan-kegiatan pembinaan selama ini, secara umum kita bangga atas hasil-hasil
34
yang telah dicapai misalnya dalam hal aspek hukumnya. Partisipasi masyarakat dalam
usaha pelestarian adat dan budaya Bali sudah sangat baik, semua ini menunjukkan bahwa
adat dan ajaran agama Hindu memegang peranan penting dan menentukan dalam memotivasi
adat tersebut diatas, selain ada ikatan Parahyangan yang dijiwai oleh agama Hindu, juga
Harta kekayaan desa pakraman adalah kekayaan yang telah ada maupun yang aka
nada yang berupa harta bergerak dan tidak bergerak, material dan inmaterial serta benda-
benda yang bersifat religius magis yang menjadi milik desa pakraman, salah satunya adalah
tanah adat yang dikuasai oleh desa pakraman. Tanah adat yang dikuasai oleh Desa Pakraman
(desa adat) di Bali, sebagai tanah adat yang mempunyai nilai dan diakui sebagai persekutuan
atau perkumpulan masyarakat yang menguasai dan memanfaatkan tanah adat di Bali sebagai
“druwe desa atau tanah desa” yaitu tanah yang dikuasai untuk dipergunakan dan dinikmati
sebagai pemenuhan kewajiban warga krama desa terhadap Kahyangan Desa. Kekayaan desa
33
Astika I Wayan, 2012, Pedoman Tugas-tugas Prajuru Desa Pakraman, Majelis Madya Desa
Pakraman (MMDP) Kabupaten Karangasem, h. 2
34
Surpha I Wayan, 2002, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Penerbit BP, Denpasar, h. 20
37
berupa tanah adat yang ada di Bali disebut dengan istilah druwe desa atau tanah desa, dan
ada beberapa jenis tanah druwe desa atau tanah desa, yaitu :
1. Tanah Desa yaitu tanah yang dipunyai yang bisa didapat melalui usaha-usaha
2. Tanah Laba Pura, yaitu tanah yang dulunya milik desa atau dikuasai oleh desa yang
3. Tanah Pekarangan Desa (PKD), adalah tanah yang dikuasai oleh desa yang
diberikan kepada krama desa untuk tempat mendirikan perumahan yang lasimnya
4. Tanah Ayahan Desa (AYDS), adalah tanah-tanah yang dikuasai atau dimiliki oleh
Tanah adat atau tanah druwe desa (di Bali) yang lebih dikenal dengan sebutan tanah
36
desa dibedakan menjadi tanah desa dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti yang sempit,
tanah desa tersebut meliputi tanah-tanah yang berasal dari membeli atau usaha yang lainnya,
seperti tanah pasar, tanah setra, tanah lapangan, dan tanah bukti, sedangkan dalam arti luas
disamping tanah desa dalam artian yang sempit, juga termasuk tanah Laba Pura, Tanah
Tanah merupakan bagian yang penting dalam kehidupan dan penghidupan manusia
dalam masyarakat, sehingga manusia selalu berhubungan dengan tanah, bahkan setelah
manusia meninggal dunia sekalipun masih membutuhkan tanah. Segala aktifitas keseharian
manusia pada umumnya dan sebagian terbesar dilakukan diatas tanah. Demikian juga kalau
dilihat dari sudut ekonomi, tanah mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi baik sebagai
35
Suasthawa Dharmayuda I Made, 2001, Desa Adat, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Upada
Sastra, Denpasar, h. 136
36
Suasthawa Dharmayuda I Made, 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat Bali setelah berlakunya
UUPA, CV Kayumas, Denpasar, h. 40
37
Ibid, h. 40-41
38
kebutuhan rumah tinggal, tempat usaha, bahkan sudah menjadi komuditas investasi yang
bernilai tinggi.
Persoalan tanah akan menjadi penting secara ekonomis, hukum dan kesejahteraan
masyarakat, dan dapat menimbulkan masalah sosial, politik, dan pertahanan keamanan
negara. Abdurrahman berpendapat bahwa masalah tanah menjadi peka dan sensitif karena
bukan sekedar menyangkut aspek ekonomis dan kesejahteraan semata, akan tetapi berkaitan
erat dengan masalah sosial, politis, yuridis, pesikhologis, kultural dan religius, bahkan
Tanah adat di Bali tidak dapat dipisahkan dengan kedudukan desa pakraman, sebagai
masyarakat hukum adat terhadap tanah adat diwilayahnya dan perkembangan hukum adat
yang mengatur mengenai tanah. Siapapun yang ingin mengetahui tentang berbagai lembaga
hukum dalam suatu masyarakat, seperti lembaga hukum tentang perkawinan, lembaga hukum
tentang pewarisan, lembaga hukum tentang jual beli, lembaga hukum tentang hak milik atas
tanah, dan lain sebagainya harus mengetahui struktur masyarakat yang bersangkutan, oleh
karena struktur masyarakat menentukan sistem hukum yang berlaku pada masyarakat
39
tersebut. Demikian pula jika kita ingin mengetahui hukum pertanahannya, dalam hal ini
tanah adat, struktur masyarakat yang menguasai tanah adat tersebut yang harus diketahui
terlebih dahulu.
Kedudukan tanah adat di Bali pada masa lalu (Kolonial) terjadi dualisme hukum yang
mengatur tentang tanah. Tanah adat merupakan tanah Indonesia, sedangkan tanah pada
jaman kolonial ada disebut tanah Eropa, dimana penguasaan dan hak Barat dikuasai oleh
bangsa Eropa. Tanah dengan hak Barat atau lazim disebut dengan tanah-tanah Eropa, hampir
semuanya terdaftar pada kantor pendaftaran tanah. Tanah-tanah Eropa ini tunduk pada hukum
38
Abdurrahman, 1978, Masalah pencabutan Hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonersia,
Seri Hukum Agraria I, Alumni Bandung, h. 12
39
Bushar Muhammad, 1978, Asas-asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakrta, h. 11-12
39
Eropa atau hukum Barat, sedangkan tanah Indonesia seperti tanah ulayat, tanah milik, tanah
usaha, tanah gogolan, tanah bengkok dan lain diatur dengan hukum adat. 40
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut UUPA.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan tanah adat sebelum
berlakunya UUPA adalah tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat, sedangkan setelah
berlakunya UUPA tanah adat diartikan terbatas pada tanah-tanah ulayat, baik yang dikuasai
langsung oleh persekutuan hukum adat maupun yang dikuasai oleh anggota masyarakatnya
dengan status hak mempergunakan dan menikmati saja sesuai Pasal 4, disebutkan :
(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang
dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam Ayat (1) dalam pasal ini memberi
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh
bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan
yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas
menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Tanah dari masyarakat hukum adat disebutkan sebagai hak ulayat yang diakui sepanjang
masih ada, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, hal ini tertuang dalam
40
Eddy Ruchiyat, 1984, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA (UU No. 5
Tahun 1960), Alumni, Bandung, h. 13
40
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi ”
Menurut Imam Sudiyat, hak ulayat yang olehnya disebut dengan istilah hak purba
adalah hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan/gens/stam), sebuah serikat desa-desa
(dorpenbond) atau biasanya oleh suatu desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya
1. Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan
2. Orang luar hanya boleh mempergunakan tanah itu dengan ijin penguasa
3. Warga persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah hak purba
sehingga harus mendapat ijin terlebih dahulu. Sedangkan orang asing hanya
diperkenankan mengambil manfaat dari wilayah hak purba dengan ijin kepala
4. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas berbagai hal yang terjadi dalam
delik;
selamanya;
41
Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Cetakan Kedua, Liberty, Yogyakarta, h. 2
41
6. Hak purba meliputi juga tanah yang sudah digarap, yang sudah diliputi oleh hak
perorangan. 42
Tanah-tanah adat di Bali dikenal dengan nama “tanah druwe desa” yang
kuat dan demikian penting dalam kehidupan masyarakat hukum adat di Bali, karena bukan
saja terkait erat dengan persekutuan hukum adatnya yang disebut desa pakraman, juga karena
semua tanah yang dikuasai oleh “krama desa” mempunyai keterikatan berupa kewajiban
“ngayah desa”, dalam arti melakukan kewajiban-kewajiban desa yang berhubungan dengan
desa pakraman, bagi mereka yang memanfaatkannya dan juga mempunyai ikatan erat dengan
kewajiban terhadap agama (Agama Hindu), yakni terhadap Kahyangan Tiga (Kahyangan
Desa.
Hubungan antara desa pakraman dengan tanah adat yang dikuasai mempunyai
hubungan yang bersifat religio magis, sehingga keterikatan terhadap kewajiban krama desa
(anggota) desa adat tersebut yang mempunyai nilai filosofi yang tinggi dalam
manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam yang tercermin dalam Tri Hita
Karana. Khusus keharmonisan hubungan dengan alam diwujudkan dalam bentuk penguasaan
atau pemanfaatan tanah (bumi) atau hak ulayat (tanah adat) sesuai dengan aturan desa
Kebijakan pemerintah dalam pengaturan dan pemungutan pajak bumi dan bangunan
tidak diperkenankan selain yang telah diatur dalam undang-undang pajak daerah dan
Asli Daerah (PAD), juga diatur dengan menerbitkan Peraturan Daerah beserta peraturan
42
Ibid, h. 2-3
42
menarik untuk dikaji mengingat jenis pajak ini bersifat meluas dengan melibatkan sebagian
besar rakyat/ penduduk sebagai subjeknya. Pada umumnya setiap orang atau badan yang
secara nyata mempunyai hak atas bumi atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau
memiliki, menguasai dan atau memperoleh manfaat atas bangunan yang bersangkutan bisa
dikenakan pajak bumi dan bangunan. Sedangkan objek pajak bumi dan bangunan adalah
bumi dan/atau bangunan. Bumi adalah permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi
yang ada dibawahnya, seperti sawah, ladang, kebun, tanah, pekarangan, tambang dan
sebagainya.
Bangunan merupakan konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap
pada tanah dan/atau perairan diwilayah Republik Indonesia. Tidak dikecualikan sejengkal
tanahpun yang luput dari jangkauan pajak ini, kecuali yang ditentukan lain oleh undang-
undang. Meskipun tanah sangat penting dalam penghidupan dan kehidupan manusia, juga
tanah sebagai sumber daya utama dalam masyarakat Indonesia, ternyata dimasyarakat nilai
(value) tanah justru mempunyai makna yang lebih luas dibandingkan dengan wujud fisik
tanah, karena nilai tanah terkait dengan aspek ekonomi dan sosial.
Penguasaan dan pemanfaat tanah adat (ulayat) oleh krama desa adat merupakan
kekayaan desa dan sebaliknya sebagai warga desa berkewajiban untuk mengikuti aturan-
aturan yang dibuat oleh desa pakraman. Pemanfaatan bumi dan bangunan memberikan
keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang
mempergunakan dan menikmati atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya, dan oleh
karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau
kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak, sehingga peran serta masyarakat
merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional, sehingga diperlukan
baru juga bertujuan memberikan kepastian hukum, tentang kepastian hukum ini memang
belum terdapat kesesuaian faham. Akan tetapi arti yang pasti ialah bahwa ketentuan undang-
43
undang tidak boleh memberikan keragu-raguan”. Pernyataan tersebut tentang kepastian
hukum mencerminkan adanya kepastian dalam pengaturan dan pemungutan pajak sesuai
dengan perundangan yang berlaku serta terciptanya perpajakan yang sederhana, mudah dan
adil, sehingga perpajakan jangan sampai menimbulkan tumpang tindih antara satu pajak
dengan pajak lainnya, sehingga mengakibatkan beban pajak berganda bagi masyarakat,
pemenuhan kewajiban perpajakan oleh masyarakat wajib pajak dan pengamanan penerimaan
negara, bukannya pada maksud untuk menghukum wajib pajak. Sehubungan dengan hal
diatas, pentingnya kepastian hukum dan kedudukan hukum tanah adat di Bali terhadap
pengaturan pajak bumi dan bangunan, sebagai perujudan pengakuan negara yang
merupakan landasan filosofi dari suatu negara hukum. Aspek keadilan dalam persoalan
pemungutan pajak. Dalam prakteknya, kegiatan pemungutan menjadi tolok ukur keberhasilan
menghimpun penerimaan negara, disisi lain perkecualian yang tidak dikenakan pajak bumi
yuridis terhadap kepastian hukum pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap tanah adat
di Bali menjadi perhatian dan kajian dalam disertasi ini, utamanya kepastian hukum dan
43
Rochmat Soemitro, 1991, Pajak Ditinjau dari Segi Hukum, PT Eresco, Bandung, hal. 6
44
kedudukan hukum tanah adat di Bali. Terkait dengan hal tersebut, problematika yuridis
adalah belum adanya kejelasan pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap tanah adat di
Bali sebagai hak dan perlindungan tanah masyarakat adat serta kedudukannya yang tidak saja
bersifat yuridis akan tetapi bersifat religius magis sebagai kepercayaan dan keyakinan dari
masyarakat hukum adat di Bali. Sedangkan problematika sosiologis, dimana dewasa ini
kecendrungan mengabaikan hak dan perlindungan tanah adat sebagai kesaatuan masyarakat
hukum adat. Dari problematika yuridis disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 12
Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan, dalam Pasal 3 Ayat (1) disebutkan objek pajak yang tidak dikenakan
(pengecualian) Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek yang : pada huruf c menyebutkan :
merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
Objek pajak (tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa) yang diperkecualikan tidak
dikenakan pajak bumi dan bangunan belum secara jelas menyebutkan tanah desa adat.
Kalimat tersebut dapat memberi peluang multitafsir, kabur dan ketidakjelasan, sehingga
Permasalah ini menjadikan kelemahan dalam suatu produk hukum termasuk produk
hukum dibidang perpajakan, sebagaimana dikemukakan oleh Neil Mac Cormick yang dikutip
oleh Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati yang menyatakan bahwa “Tidak semua
aturan hukum dan tidak semua produk legislatif dirumuskan dalam bentuk verbal yang tepat,
yang diharapkan memberikan jawaban yang jelas terhadap persoalan hukum praktis. Aturan
45
hukum yang dirumuskan dalam bahasa, seringkali merupakan rumusan yang terbuka maupun
dan membuka peluang bagi wajib pajak maupun kebijakan pemerintah daerah untuk
mematuhi atau tidak mematuhi ketentuan pasal yang bersangkutan. Idialnya kata-kata yang
tidak dimanfaatkan lain selain yang diatur dalam perundang-undangan yang bersangkutan.
Untuk itu maka “Bahasa hukum harus singkat, tegas, jelas tanpa mengandung keragu-raguan
dan tanpa mengandung arti ganda “ 45 Dari uraian latar belakang tersebut diatas, bahwa suatu
kepastian hukum dalam pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap tanah adat di Bali
dapat memperjelas kedudukan tanah adat di Bali bagian dari harta kekayaan masyarakat
hukum adat yang telah mendapatkan pengakuan dan penghormatan negara sebagai kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya yang masih hidup dan berkembang,
dengan demikian rumusan masalah dalam penelitian adalah sebagaimana dibawah ini.
Dari uraian pada latar belakang tersebut, maka dirumuskan masalah sebagai berikut :
Penelitian ini mempunyai dua tujuan penelitian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus,
sebagai berikut :
44
Philipus M.Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gajah Mada Universityn
Press, Yogyakarta, h. 24
45
Rochmat Soemitro, 1991, Pajak Ditinjau dari Segi Hukum, PT. Eresco, Bandung, h. 6
46
Mengenai tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini sesuai dengan
Mengenai manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, dapat dibedakan atas manfaat
1.4.1.Manfaat Teoritis,
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi desa pakraman (adat), aparat
maupun para legislator penyusun produk hukum dibidang pengaturan Pajak Bumi
Untuk menghindari adanya duplikasi penulisan pada disiplin yang sama, mengingat
perkembangan ilmu hukum semakin maju dan diminati, khususnya penelitian dibidang
hukum pajak, beberapa disertasi yang penulis temukan adalah sebagai berikut :
46
I Putu Bagiarta, 2012, Disertasi : Pengaturan Penyelesaian Sengketa Pajak Pertambahan Nilai
melalui Pengadilan Pajak (Kajian Kepastian Hukum dan Keadilan), Universitas Brawijaya, Malang.
48
47
Muhamad Riza Fahlevi, Disertasi : Penerapan Asas Efisiensi dalam Pengaturan dan Pemungutan
Pajak di Indonesia (Studi atas pengaturan Pemungutan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan dibawah
Undang-undang Tahun 1984-2006), Universitas Indonesia, Jakarta.
49
Disertasi tersebut pada dasarnya meneliti tentang pajak, tentang sengketa pajak, peradilan
pajak dan sebagainya. Walaupun mengenai perpajakan akan tetapi mengambil kajian dan
penelitian yang berbeda. Disertasi tersebut juga menjadi bagian dari pengetahuan, wawasan
dan informasi berkaitan dengan pajak yang baru penulis dapatkan, akan tetapi khusus
penelitian tentang kepastian hukum pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap tanah adat
di Bali belum ada yang meneliti masalah tersebut. Dengan demikian membuktikan bahwa
orisinalitas penulisan ini dapat dijamin dan belum pernah ada yang menulis sebelumnya.
Kajian pustaka dan kerangka berpikir, penulis kemukakan kajian pustaka dari teori-
penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini, seperti teori negara hukum, teori
kepastian hukum, teori perundang-undangan, teori keadilan, teori harmonisasi hukum, teori
kewenangan, serta konsep dan asas yang berkenaan dengan pengaturan pajak bumi dan
bangunan atas tanah adat, konsep masyarakat hukum adat dan konsep desa pakraman di Bali.
50
Kerangka berpikir dalam penelitian ini, diuraikan dalam sistimatika, bagian uraian
yang menjadikan kerangka berpikir secara utuh. Bagian uraian yang dimaksud adalah
mengenai judul penelitian yang nantinya menjadi suatu tulisan disertasi yang berjudul
Kepastian Hukum Pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap Tanah Adat di Bali.
Selanjutnya diuraikan tentang latar belakang masalah yang dijiwai dari problematik filosofi
yaitu belum sepenuhnya ada kejelasan dalam pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap
tanah adat di Bali sebagai hak dan perlindungan tanah masyarakat adat, serta kejelasan
terhadap kedudukan tanah adat yang bersifat religio magis. Problematika sosiologis, yaitu
ada kecendrungan mengabaikan hak dan perlindungan tanah adat sebagai kesatuan
masyarakat adat. Serta problematika yuridis, yaitu dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, belum secara jelas
pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap tanah adat di Bali? Serta Bagaimanakah
kedudukan hukum tanah adat di Bali di dalam pengaturan pajak bumi dan bangunan?. Untuk
dapat menganalisa rumusan masalah, maka kerangka teoritik yang mendukung dan menjadi
pisau analisa dalam pembahasan, adalah seperti teori negara hukum, teori kepastian hukum,
Selanjutnya dalam metode penelitian dilakukan dengan penelitian hukum normatif, yaitu
pendekatan undang-undang, pendekatan konsep, dan asas hukum. Bagian akhir adalah hasil
kepastian hukum dan kedudukan hukum terhadap tanah adat di Bali, sebagai bagian dari
pembahasan adalah mengenai hakikat perpajakan, desa pakraman dan tanah adat. Pada
kesimpulan dan saran nantinya dijelaskan terhadap hasil dari pembahasan dan penelitian
51
sebagaimana uraian tersebut diatas. Untuk jelasnya diuraikan dalam sistematika kerangka
Kerangka berpikir dalam penelitian ini, memuat sistematisasi masalah sebagai berikut :
Teori
Kajian mengenai metoda penelitian ini dimulai dari jenis penelitian, jenis pendekatan
masalah, sumber bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, dan teknik analisa bahan
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini yang berjudul Kepastian Hukum Pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan
terhadap Tanah Adat di Bali, dikualifikasikan sebagai penelitian normatif diskreptif (das
sollen) yaitu penelitian yang dilakukan terhadap norma-norma hukum yang menetapkan
pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap tanah adat di Bali, oleh pejabat yang
mempunyai kewenangan apa adanya. Sifat penelitian ini juga penelitian normatif perskreptif
(das sein) yaitu penelitian yang untuk kedepan futinistis (norma pengaturan pajak bumi dan
bangunan) agar peraturannya direvisi (reformulasi) sesuai dengan tujuan reformasi total.
Penelitian ini pada hakekatnya berangkat dari adanya norma kabur (unclear of norm)
sebagaimana dalam intepretasi gramatikal yaitu mengartikan suatu bagian kalimat menurut
bahasa hukum, terkait dengan pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap tanah desa
adat di Bali yang tertuang didalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan, dan telah diubah dengan Undang-Undang 12 Tahun 1994, khususnya
Didalam penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif dan yuridis filosofis
berkenaan dengan tinjauan kepastian hukum dan kedudukan hukum dalam pengaturan Pajak
Bumi dan Bangunan terhadap tanah adat di Bali. Pendekatan yang digunakan dalam rangka
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengaturan pajak bumi dan bangunan
terhadap tanah adat di Bali. Pendekatan tersebut juga diterapkan atas dua masalah diatas yang
didasari pada norma/kaidah yang berlaku sesuai dengan wewenang penetapan pajak bumi dan
bangunan., selain itu juga digunakan pendekatan kasus (case approach) yaitu untuk
mengetahui adanya penetapan objek pajak yang tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan
terhadap tanah desa adat di Bali oleh pemerintah daerah. Pendekatan historis (historical
approach) yaitu pendekatan yang dilakukan terhadap kedudukan tanah adat di Bali pada
pendekatan yang diterapkan untuk mencari pengertian dari subjek tanah adat di Bali dari desa
pakraman/desa adat.
Bahan hukum bagi penelitian hukum normatif terdiri atas bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Terkait dengan bahan hukum, C.F.G. Sunaryati Hartono mengatakan
perbedaan sebagai berikut “Bahan hukum (primary sources of authorities), seperti undang-
undang, dan bahan hukum sekunder (secondary sources of authorities) misalnya makalah dan
buku-buku yang ditulis oleh para ahli, karangan berbagai panitia pembentukan hukum (law
Dalam penelitian ini, digunakan bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-
undangan yang berlaku terkait dengan pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap tanah
48
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 93
49
Sunaryati Hartono C.F.G, 2006, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Alumni,
Bandung, hal.134
54
adat di Bali seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan, yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan,
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sampai dengan Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 dan diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Provinsi
Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman, serta Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Selain itu dalam penelitian ini juga digunakan bahan hukum sekunder yang mencakup
Mengenai teknik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum primer dan
dilakukan dengan pencarian bahan hukum dari Perpustakaan, Instansi pemerintah dan dari
sumber-sumber yang dapat menunjang penulisan penelitian ini. Dari bahan-bahan yang
terkumpul, kemudian diinventarisir dan diklasifikasikan bahan hukum primer, sekunder serta
tersier dengan metoda sistimatis, maksudnya mengkaitkan bahan hukum yang satu dengan
bahan hukum lainnya sehingga merupakan satu kesatuan. Bahan-bahn hukum ini
Dalam sistem kartu, bahan hukum primer dicatat mengenai peraturan perundang-
penelitian ini. Selanjutnya dalam kartu juga dicatat bahan hukum sekunder seperti pendapat
55
para ahli yang dikemukakan dalam kepustakaan yang dibahas beserta komentar atas
pendapatnya.
struktur hukum positif dengan tujuan untuk menemukan isi dan makna aturan hukum. Jadi
pada tahap ini dilakukan pemaparan aturan hukum, dan pemaparan aturan hukum sangat
50
tergantung pada teori interpretasi yang dianut. Dalam kaitannya dengan penelitian ini,
dilakukan pemaparan segala bentuk aturan hukum yang berkaitan dengan isu hukum yang
dikaji dan juga hubungan hierarki antara aturan hukum tersebut jika ternyata terdapat norma
1. Interpretasi gramatikal : mengartikan suatu term hukum atau suatu bagian kalimat
menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum;
2. Interpretasi sistematis : dengan titik tolak dari sistem aturan mengartikan suatu
ketentuan hukum;
3. “west-en rechtshistorische interpretatie” menelusuri maksud pembentukan
undang-undang adalah suatu “wetshistorische interpretatie” dalam hal usaha
menemukan, menelusuri perkembangan hukum (aturan) disebut “rechtshistorische
interpretatie”;
4. Interpretasi perbandingan hukum : mengusahakan penyelesaian suatu isi hukum
dengan membandingkan berbagai stelsel hukum;
5. Interpretasi antisipasi : menjawab suatu isu hukum dengan mendasarkan pada
suatu aturan yang belum berlaku;
6. Interpretasi teleogis : setiap interpretasi pada dasarnya adalah teleologis. 51
50
Bernard Arief Sidharta, 1999, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, cetakan pertama, Mandar
Maju, Bandung, h. 150
51
Philipus M. Hadjon, 1994, Pengkajian Hukum Dogmatik (Normatif), Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya, h. 1-2
56
interpretatie. Langkah sistimatisasi dilakukan untuk memaparkan isi dan struktur hukum atau
hubungan hirarkhis antara aturan-aturan hukum yang didasarkan atas dua asumsi, yaitu
Pertama,aturan hukum disamakan dengan norma yang isinya adalah an ought or a may,
Kedua, sistem hukum terdiri atas kumpulan norma yang diinterpretir oleh ilmuwan hukum
52
sebagai suatu bidang pengertian yang non kontradiktor. Dalam tahapan sistematisasi ini
dilakukan antar aturan-aturan hukum yang berkaitan agar dapat dipahami dengan baik,
hukum umum dan pengertian-pengertian agar bahan hukum tertata lebih baik, lebih masuk
53
akal (logis) dan lebih dapat ditangani (hanteerbaar). Dalam tahap eksplanasi dilakukan
penguraian secara jelas dan analisis terhadap makna yang terkandung dalam aturan hukum
yang berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini, sehingga membentuk sutu pengertian
54
yang terintegrasi dan logis. Analisis hukum merupakan suatu open system, artinya aturan
hukum dan keputusan harus dipikirkan dalam suatu hubungan dan norma hukum bertumpu
pada asas hukum dan dibalik asas hukum dapat disestimasikan gejala-gejala lainnya.
1.8.1 BAB I Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus, manfaat penelitian,
orisinalitas penelitian, kajian pustaka dan kerangka berpikir, metode penelitian terdiri
dari jenis penelitian, jenis pendekatan masalah, sumber bahan hukum, teknik
pengumpulan bahan hukum dan teknik analisis bahan hukum, serta rencana/rancangan
dikaitkan dengan pengaturan tentang pajak bumi dan bangunan terhadap tanah adat di
Bali. Dalam uraian bab ini juga akan dikaitkan dengan otonomi daerah yang
tanah adat yang dimiliki dalam penguasaan desa pakraman (desa adat). Dengan
demikian diperlukan pengkajian dari aspek kepastian hukum dan aspek kedudukan
hukum terhadap permasalahan yang ada. Ruang lingkup pembahasan penelitian ini
dalam bab ini akan diuraikan mengenai permasalahan hukum karena tanpa adanya
1.8.2. Dalam BAB II, diuraikan mengenai landasan/kajian teoritik, karena teori-teori atau
konsep-konsep yang diuraikan dalam bab ini dipakai sebagai pisau analisis atau
teori dipergunakan teori negara hukum, teori kepastian hukum, sebagai midle teori
dan teori keadilan , karena penguasaan tanah adat dilakukan oleh desa pakraman.
sederhana, mudah, adil dan memberi kepastian hukum, serta pengertian atau difinisi
1.8.3. BAB III membahas dan mengkaji permasalahan hukum yang pertama yaitu tentang
tanah adat di Bali?. Mengingat tanah adat yang ada di Bali dikuasai oleh masyarakat
desa adat atau desa pakraman yang merupakan kesatuan masyarakat hukum adat di
Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu, secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau
Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta
58
bumi dan bangunan ini terkait dengan ketidak jelasan dari Undang-Undang
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pajak Bumi dan Bangunan,
dalam Pasal 3 Ayat (1) huruf c, mengenai pengaturan tentang objek pajak yang
dikecualikan dipungut pajak bumi dan bangunan yaitu “tanah pengembalaan yang
dikuasai oleh desa”, sehingga hal ini dapat menimbulkan persepsi yang berbeda atau
kabur, ataupun tidak jelas adanya pengaturan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan
1.8.4. BAB IV membahas tentang permasalahan hukum yang kedua, yaitu bagaimanakah
kedudukan hukum tanah adat di Bali didalam pengaturan Pajak Bumi dan
Bangunan?. Adapun fokus pembahasan dalam bab ini terkait dengan kedudukan
hukum tanah adat yang merupakan tanah hak ulayat dikuasai oleh desa pakraman.
dalam pasal 18 B ayat (2) yang menyatakan bahwa : “Negara mengakui dan
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Kedudukan hukum dari tanah adat merupakan kewenangan menurut hukum adat
yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang
merupakan lingkungan hidup para warga untuk mengambil manfaat dari sumber
daya alam termasuk tanah diwilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun
temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah
59
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman,
terakhir diubah dengan Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003.
1.8.5. BAB V adalah bab akhir dari pembahasan penulisan penelitian ini yaitu Bab
hukum pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap tanah adat di Bali. Setelah
dilakukan pada masa yang akan datang yaitu mengenai kepastian hukum dan
kejelasan terhadap kedudukan hukum tanah adat yang ada di Bali dikaitkan dengan