Anda di halaman 1dari 59

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara untuk kepentingan rakyat

dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan yang bertujuan untuk meningkatkan

pembangunan nasional dan pemerintahan, dalam arti sebagai pelaksanaan dan peningkatan

kesejahteraan dan pembangunan serta menumbuhkan peranserta masyarakat. Pelaksanaan

penerimaan negara dari sektor pajak yang bersumber dari kekayaan alam saat ini semakin

berkurang mengingat sudah semakin terbatas dan tidak dapat diperbaharui, untuk itu

pemerintah berkewajiban mencari sumber penerimaan diluar kekayaan alam. Pada umumnya

negara mempunyai sumber-sumber penerimaan yang terdiri atas 1) Bumi, air dan kekayaan

alam, 2) pajak-pajak, Bea dan Cukai, 3) Penerimaan Negara Bukan pajak (non-tax), 4) hasil

perusahaan negara, dan 5) sumber-sumber lain seperti percetakan uang dan pinjaman.1

Sumber penghasilan tersebut diharapkan dapat berperan sebagai sumber penerimaan untuk

mengisi kas negara dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan pengamalan

Pancasila, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 selanjutnya ditulis UUD NRI Tahun 1945.

Ketentuan pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, disebutkan bahwa “Bumi

dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Bumi, air dan kekayaan alam

merupakan kekayaan nasional dan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, termasuk dalam

pengertian dikuasai adalah mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan,

persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur yang dapat dipunyai atas bagian

dari bumi, air dan kekayaan alam, menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-

1
Bohari, H, 2010, Pengantar Hukum Pajak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h 11
orang (subjek hukum) dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan

kekayaan alam di Indonesia. Dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat

merupakan tujuan negara untuk mensejahterakan masyarakatnya. Pada hakekatnya tugas

negara bersama rakyat mempunyai tanggung jawab bersama untuk mewujudkan masyarakat

yang adil dan makmur, memberikan perlindungan terhadap rakyatnya dan menciptakan suatu

kepastian hukum dan kedudukan hukum yang jelas. Untuk menciptakan suatu kepastian

hukum didalam pengaturan dan pemungutan pajak kepada masyarakat sebagai wajib pajak,

harus berdasarkan Undang-undang dan berbagai regulasi yang berhubungan dengan tata cara

pelaksanaannya, agar nantinya tidak menimbulkan sengketa hukum dikemudian hari.

Pajak sebagai penerimaan negara dari rakyatnya dapat ditinjau dari dua aspek yakni,

aspek hukum dan aspek pajak. Dari aspek hukum, perpajakan merupakan masalah hukum

karena menyangkut kaidah hukum, yakni bagaimana ketentuan perpajakan dapat

diberlakukan serta hasil pungutan pajak yang diatur dalam ketentuan perpajakan dapat

bermanfaat bagi segenap warga negara Indonesia. John L. Hutagaol mengemukakan sebagai

berikut:

“Since the income tax law of 1983 was enacted, there are some basic principle which
were followed under taxation in Indonesia. One of the basic principles is self
assessment, which means the taxpayer is given the truth and responsibility to compute,
pay report their tax obligation. In relation to the implementation of self
assessment, the tax officials should establish and supervise the accomplishment of the
principle.” (Sejak hukum pajak pendapatan tahun 1983 ditetapkan, ada beberapa
princip dasar yang diikuti dalam perpajakan di Indonesia. Salah satu prinsip-prinsip
dasar itu adalah penilaian individu/pribadi, yang berarti pembayar pajak diberi hak dan
tanggungjawab pajak yang dibayarkan. Dalam hubungannya dengan penilaian
individu/pribadi, para petugas pajak harus hadir dan membimbing keberhasilan dari
princip itu). 2

Selanjutnya ditekankan hal yang penting, bahwa tidak cukup kepercayaan itu

diberikan kepada wajib pajak, hal yang lebih esiensial adalah bagaimana pemerintah

2
John L. Hutagaol, 2000, Manual for Taxation of Expatriates Working in Indonesia, Direktorat Pajak,
Jakarta, h. 15
memberikan pelayanan yang harus berpegang kepada ketentuan yang berlaku yakni adanya

kepastian hukum. Sedangkan dari aspek perpajakan, untuk mendorong kepatuhan wajib pajak

melaksanakan ketentuan perpajakan hendaknya memperlakukan wajib pajak sebagai subjek

pajak bukan diperlakukan sebagai objek, yaitu dengan menumbuhkan kesadaran akan

kewajiban dilakukam secara tertib. Makna dari kata tertib tersebut menurut pendapat Frans

Limahelu yang mengemukakan “istilah tertib dalam pemahaman hukum merupakan elemen

pertama dan penting yaitu tertib hukum yang bermuara pada kepastian hukum”. 3

Sebagai negara hukum, maka semua ketentuan dan tata cara pelaksanaan kegiatan

penerimaan sumber-sumber pendapatan berdasarkan atas undang-undang, hal ini

mengamanatkan agar peraturan perundang-undangan dalam pemungutan pajak seharusnya

memberikan kepastian hukum. Untuk menjamin kepastian hukum terhadap pengaturan

perpajakan sebagaimana dinyatakan dalam UUD NRI Tahun 1945 yakni Pasal 23 A, yang

menyatakan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara

diatur dengan undang-undang”. Ketentuan ini mengandung konsekuensi secara mendalam

terhadap negara apabila akan mengatur dan memungut pajak kepada rakyatnya, harus

berdasarkan undang-undang dan tidak dibenarkan tanpa berdasarkan undang-undang, begitu

pula pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-

undang. Disamping itu asas legalitas tetap ada bahkan dipertegas keberadaannya, sehingga

negara didalam melakukan pengaturan dan pemungutan pajak tidak bertentangan dengan

dasar hukum yang menjiwai.

Pasal 23 A tersebut pada hakekatnya, merupakan dasar konstitusional bagi negara

untuk mengatur dan memungut pajak yang bersifat memaksa kepada warga negara Indonesia,

termasuk warga negara asing yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia yang

menerima dan/atau memperoleh penghasilan, atau memiliki hak atas bumi dan/atau

3
Frans Limahelu, 2006, Kapita Selekta penegakan Hukum di Indonesia, Prestasi Pustaka Publiser,
Jakarta, h.163
memperoleh manfaat atas bumi, memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat terhadap

bangunan. Ketentuan ini mengandung alasan pembenaran pengaturan dan pemungutan pajak

oleh negara, sehingga tidak dianggap melakukan perampasan atau perampokan terhadap

kekayaan warga negara sebagai wajib pajak.

Pengaturan dan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan pada jaman kolonial tertuang

dalam :

1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 (Personeele Belasting Ordonnantie 1908,

Staatsblad Tahun 1908 Nomor 13),

2. Ordonansi Verponding Indonesia 1923 ( Inlandsche Verpondings Ordonnantie 1923,

Staatsblad Tahun 1923 Nomor 425), sebagaimana telah diubah dengan Algemeene

Verordiningen Binnenlandsche Bestuur Java en Madoera (Staatsblad Tahun 1931

Nomor 168) ;

3. Ordonansi Verponding Indonesia 1928 (Verpondings Ordonnantie 1928, Staatsblad

Tahun 1928 Nomor 342) sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor

29 Tahun 1959;

4. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 (Ordonnantie op de Vermorgens Balasting 1932,

Staatsblad Tahun 1932 Nomor 405), sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata Cara

Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925;

5. Ordonansi Pajak Jalan 1942 (Weggeld Ordonnantie 1942, Staatsblad Tahun 1941

Nomor 97), sebagaimana terakhir diubah dengan Algemeene Verordening

Oologsmisdrijven (Staatsblad Tahun 1946 Nomor 47) ;

6. Undang-Undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah,

yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961;


7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 tentang

Pajak Hasil Bumi.

Peraturan tersebut diatas dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dan diubah terakhir

dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam ketentuan peralihan dari

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 disebutkan bahwa Iuran Pembangunan Daerah

(IPEDA), Pajak kekayaan (PKk), Pajak Jalan dan Pajak Rumah Tangga (PRT) yang terhutang

untuk tahun pajak 1985 dan sebelumnya berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan yang lama sampai dengan tanggal 31 Desember 1990. Dengan berlakunya

undang-undang ini, peraturan pelaksanaan yang telah ada dibidang IPEDA berdasarkan

Undang Undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 tentang Pajak Hasil bumi tetap berlaku sampai

dengan tanggal 31 Desember 1990, sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan

peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan undang-undang ini. Sejarah perkembangan

perpajakan yang berlaku di Indonesia mengalami perubahan dari masa kemasa sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan negara.

Perkembangan perpajakan itu sendiri pada mulanya belum merupakan suatu pungutan,

tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara

kepentingan negara, seperti menjaga keamanan negara terhadap serangan musuh dari luar,

membuat jalan untuk umum, membiayai pegawai kerajaan dan lain sebagainya. Sejalan

dengan perubahan masa saat ini, masyarakat yang menjadi wajib pajak didalam memenuhi

kewajibannya merupakan pungutan iuran kepada negara.Untuk memenuhi kepentingan negara

tersebut kewajiban rakyat yang dulu hanya bersifat sukarela, dengan perubahan regulasi

tentang perpajakan saat ini, rakyat berkewajiban membayar pajak demi kelangsungan

pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.


Prinsip-prinsip yang berdasarkan pada perubahan dalam sistem pemungutan pajak

menurut Undang Undang Nasional yang tertuang dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yakni :

1. Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dilandasi


falsafah . Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, yang didalamnya tertuang
ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban
perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan.
2. Sejalan dengan perkembangan ekonomi, teknologi informasi, sosial, dan politik,
disadari bahwa perlu dilakukan perubahan Undang-undang. Perubahan tersebut
bertujuan untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada wajib
pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta mengantisipasi kemajuan
dibidang teknologi informasi.
3. Sistem, mekanisme dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang
sederhana.
4. Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan,
arah dan tujuan perubahan ini mengacu pada kebijakan pokok yaitu meningkatkan
efisiensi pemungutan pajak, meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan
bagi masyarakat.
Undang-undang ini sebagai suatu undang-undang dibidang perpajakan yang dilandasi

falsafah Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, jelas berbeda dengan undang-undang pajak

yang lama. Perbedaan tersebut akan nyata terlihat dalam sistem dan mekanisme serta cara

pandang terhadap wajib pajak, dimana dalam undang-undang pajak yang baru wajib pajak

tidak dianggap sebagai objek, tetapi merupakan subjek yang harus dibina dan diarahkan agar

mau dan sadar memenuhi kewajiban kenegaraan, dengan demikian keikutsertaan masyarakat

dibidang pembiayaan pembangunan dapat dihasilkan penerimaan pajak yang nantinya juga

diarahkan dalam pembangunan di daerahnya.

Masyarakat disisi lain dalam tuntutannya terhadap adanya aparatur perpajakan yang

makin mampu dan bersih, dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan

dalam undang-undang perpajakan ini. Perubahan dalam pelaksanaan perpajakan bukan saja

dilihat dari masyarakat yang menjadi wajib pajak sebagai subjek pajak, akan tetapi juga
aparatur pelaksana perpajakan yang dapat memberikan pelayanan yang baik sesuai harapan

masyarakat.

Prinsip tersebut dalam sistem perpajakan yang diadakan oleh negara berupa peraturan

perundang-undangan sebagai kaidah hukum tertulis atau hukum positif mempunyai tujuan

berupa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Ketiga tujuan tersebut bukan hanya

dalam bentuk kaidah hukum tertulis dalam undang-undang pajak, harus tercermin juga dalam

pelaksanaannya atau penerapannya, sehingga hukum pajak betul-betul merupakan hukum

fungsional yang mengabdi kepada negara sebagai negara hukum dengan menampakkan tujuan

keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum bagi wajib pajak. 4 Dalam negara hukum yang

menjadi pertanyaan dan diinginkan setiap orang adalah tujuan hukum itu sendiri apakah sudah

terkandung jaminan adanya keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat

wajib pajak. Kenyataannya ketiga tujuan hukum tersebut sering berada dalam suasana kurang

harmonis, contohnya :

a). Keadilan yang diinginkan menjadi disharmonis dengan kemanfaatan dan kepastian

hukum, karena bukan subjek pajak yang dipungut pajak, contohnya bayi yang

mengkonsumsi susu (membutuhkan tambahan nutrisi, sedangkan harga jual susu

untuk bayi sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai).

b). Dalam mengakomodasi kemanfaatan sering berpotensi bersinggungan dengan

pesan keadilan dan kepastian hukum, karena yang bukan wajib pajak bisa

menikmati hasil pajak atau bahkan subjek pajak yang tidak membayar pajak juga

bisa memanfaatkan hasil pungutan pajak,(contohnya pengguna jalan, jembatan,

rumah sakit, fasilitas umum) belum tentu pembayar pajak yang patuh.

c). Kepastian hukum dapat berkurang seiring dengan aspek keadilan dan kemanfaatan

karena hanya terfokus pada ketentuan formal, contohnya dikenakan pajak kepada

4
Djafar Saidi.M, 2011, Pembaharuan Hukum Pajak, Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h 21
penerima hadiah perlombaan (padahal hanya orang-orang tertentu saja bisa

berprestasi, sehingga bagi yang berprestasi sebaiknya diberi apresiasi dengan tidak

mengenakan pajak penghasilan).

Unsur dari suatu kepastian hukum adalah asas legalitas dimana undang-undang yang

mengatur tindakan yang berwenang sesuai dengan aturan dalam undang-undang yang

ditetapkan tersebut, sedangkan peraturan pelaksanaannya secara jelas dan tegas ditentukan

hal-hal yang menjadi hak, kewajiban dan sanksi bagi wajib pajak maupun petugas pajak yang

akan melaksanakan pemungutan dan pengurusan dibidang perpajakan, sehingga kepastian

hukum dapat dilaksanakan oleh masyarakat secara adil. Kepastian memiliki arti ketentuan,

ketetapan, sedangkan jika kata kepastian itu digabungkan dengan kata hukum menjadi

kepastian hukum, yang memiliki arti sebagai suatu ketentuan atau ketetapan hukum suatu

negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Kepastian hukum

tidak selalu mempersoalkan hubungan hukum antara warga negara dan negara, atau tidak

semata-mata berkaitan dengan negara, karena esensi dari kepastian hukum adalah masalah

perlindungan dari tindakan sewenang-wenang, tindakan tersebut tidak terbatas pada negara

saja, tetapi juga oleh sekelompok pihak lain selain negara.

Penyelenggaraa Pemerintahan daerah diatur dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Bab VII tentang Penyelenggaraan Pemerintah

Daerah, Bagian Kedua tentang Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pada Pasal 58,

menyebutkan :

“Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57,


dalam menyelenggaraan Pemerintahan Negara yang terdiri atas” :
a. Kepastian Hukum;
b. Tertib Penyelenggaraan Negara;
c. Kepentingan Umum;
d. Keterbukaan;
e. Proposionalitas;
f. Profesionalitas;
g. Akuntabel;
h. Efisiensi;
i. Efektivitas; dan
j. Keadilan.

Asas penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut, salah satu bagian yang penting

adalah mengenai kepastian hukum. Dalam Penjelasan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014, pada Pasal 58 huruf a, disebutkan :

“Yang dimaksud dengan Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang undangan dan keadilan dalam

setiap kebijakan penyelenggara negara”.

Kepastian hukum dalam Undang undang tersebut, secara jelas berdasarkan atas asas

dalam negara hukum yang mengutamakan landasan perundangan dan keadilan dalam

kebijakan pemerintah. Pernyataan dari E. Fernando M. Manulang tentang kepastian hukum,

merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga

negara dari kekuasaan yang sewenang-wenang, sehingga hukum memberikan tanggungjawab

pada negara untuk menjalankannya, dalam hal ini tampak relasi antara persoalan kepastian
5
hukum dengan negara. Soedikno Mertokusumo menyebutkan kepastian hukum sebagai

perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang

akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. 6 Dengan demikian

dalam pemungutan pajak hanya dilakukan oleh negara yaitu aparat selaku wakil negara yang

berwenang melakukannya adalah Direktorat Jenderal Pajak , sementara itu pihak ketiga atau

swasta tidak diperkenankan atau dilarang melakukan pemungutan pajak, sepanjang undang-

undang pajak memberi kekhususan atau perkecualian dan dapat dipertanggungjawabkan

secara hukum.

5
E.Fernando M.Manulang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan
Antinomi Nilai, PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta, h. 94-95
6
Ibid
Pembaharuan sistem perpajakan melalui penyederhanaan yang meliputi macam-

macam pungutan tentang pajak bumi dan bangunan terhadap tanah dan/atau bangunan, tarif

pajak dan cara pembayarannya, dapat meningkatkan kesadaran perpajakan dari masyarakat,

sehingga penerimaan pajak akan meningkat pula. Ini dapat terjadi pada pemungutan pajak

bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan

yang dilakukan oleh aparat Pemerintah Daerah dilingkungan Kementrian Dalam Negeri dan

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), seperti pemungutan dan pemotongan pengenaan pajak

penghasilan kepada wajib pajak, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang

mewah.

Paham negara kesejahteraan (welfare state) yaitu konsep pemerintahan, dimana suatu

negara memegang peranan kunci dalam perlindungan dan pemenuhan kesejahteraan ekonomi

dan sosial warganya. Lemaire dalam kaitan ini mengemukakan pemerintah dalam negara

modern mengemban tugas “Bestuurszorg” yaitu tugas dan fungsi menyelenggarakan

kesejahteraan umum. 7Adanya campur tangan pemerintah dalam pemenuhan dan mewujudkan

kesejahteraan masyarakat mengakibatkan lapangan pemerintahan menjadi sangat luas, yang

secara normatif dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik ditingkat

pusat maupun ditingkat daerah, sehingga pembangunan dan peran serta masyarakat dapat

dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi pengaturan mutlak

terselenggara dengan efektif, karena suatu pemerintahan negara diberi wewenang untuk

melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan yang ditentukan oleh lembaga

legislatif melalui berbagai ketentuan pelaksanaan dan kebijakan.

Pelaksanaan dan kebijakan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan

mencerminkan sebagai tatanan hukum yang berlaku di masyarakat, sehingga merupakan

perwujudan dari cita hukum yang dianut dalam masyarakat. Dirumuskan dan dipahaminya

7
Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 40
cita hukum akan memudahkan penjabarannya kedalam berbagai perangkat aturan

kewenangan dan aturan perilaku dan memudahkan terjaganya konsistensi dalam

penyelengggaraan hukum.8 Dasar formal seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia

adalah UUD NRI Tahun 1945 pada pembukaan tercermin pokok-pokok pikiran meliputi

suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Pokok-pokok pikiran itu mewujudkan cita hukum yang menguasai hukum dasar

negara, baik hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis. 9 Tatanan hukum yang berlaku

dalam suatu masyarakat berkaitan erat dengan cita hukum yang dianut dalam masyarakat

yang bersangkutan kedalam perangkat berbagai peraturan perundang-undangan, lembaga

hukum, perilaku penyelenggara negara. Cita hukum (rechts idee) mengandung arti bahwa

pada hakikatnya hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat berakar pada gagasan, rasa,

karsa, cipta dan pikiran dari masyarakat itu sendiri. 10 Berkenaan dengan hukum atau persepsi

tentang makna hukum, yang dalam intinya terdiri atas tiga unsur : keadilan, kehasil-gunaan

(doelmatigheid) dan kepastian hukum, terbentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai

produk berpadunya pandangan hidup, keyakinan keagamaan dan kenyataan kemasyarakatan

yang diproyeksikan pada pemerintahan dan warga masyarakat.

Proses pengkaidahan perilaku warga masyarakat yang mewujudkan tiga unsur tadi,

dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan dan cita hukum akan berpengaruh, dan berfungsi

sebagai asas umum, mempedomani norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang

memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan, penerapan hukum) dan

perilaku hukum. Bangsa Indonesia memiliki suatu tata hukum nasional yang sesuai dengan

8
Bernard Arief Sidartha, 1996 Refeksi Tentang Fundasi dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan
Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, (Disertasi, Universitas Padjajaran), h. 214 – 215.
9
Atamimi.A, Hamid.S, 1996, Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia,
dalam Pancasila sebagai Idiologi dalam berbagai bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan
Bernegara, disunting Oetojo Oesman, BP 7 Pusat, Jakarta, h. 62, dinyatakan bahwa istilah cita sebagai padanan
kata idiologi, dalam kaitan dengan hukum tidak tepat mempergunakan istilah idiologi hukum, karena isitilah
idiologi mempunyai konotasi sosial politik, oleh karenanya lebih tepat dipakai istilah “cita hukum”
10
Rumusan hasil seminar, 1995, Temu Kenal Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas Hukum Nasional,
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional pada tanggal 22 – 24 Mei 1995 di Jakarta. Lihat Buku Badan
Pembinaan Hukum Nasional Dari Masa ke Masa, h. 246 – 247.
cita-citanya, yaitu hukum yang membawa keadilan sosial bagi seluruh rakyat, hukum yang

dapat mewujudkan suatu masyarakat adil makmur.11 Dalam rangka mewujudkan cita-cita

kemerdekaan sebagaimana dinyatakan tersebut, diperlukan adanya dana yang besar untuk

membiayai pembangunan dan pemerintahan, sementara itu sumber dana yang diperlukan

tidaklah dapat diandalkan dari kekayaan alam saja, melainkan ada sumber-sumber pendapatan

yang lain untuk penghasilan negara seperti pendapatan dari sektor pajak.

Sumber penghasilan negara dari sektor pajak yaitu pungutan pajak kepada rakyatnya

yang ada diwilayah negara, hal ini dipertegas oleh Rochmat Soemitro dan Dewi Kania

Sugiharti yang berpendapat seperti berikut :

“Pajak-pajak sebenarnya merupakan jiwa negara, sebab tanpa pajak negara tidak akan
atau sukar hidup, kecuali apabila negara itu mempunyai pendapatan dari sumber-
sumber alam (minyak, gas bumi, tambang emas, bijih besi, magnesium, dan
sebagainya) dan/atau dari perdagangan/industry-industri. Jadi pajak-pajak pada
hakekatnya mengenai hidup negara secara ekonomis, bukan hidup secara manusiawi.
Banyak sedikitnya uang yang diperlukan oleh negara tergantung kepada tingkat
ekonomi negara serta rakyatnya. Pajak-pajak ditangan pemerintah digunakan untuk
meningkatkan ekonomi masyarakat, yang akan tercermin dalam tingkat kesejahteraan
rakyat. Lebih sejahtera, lebih makmur masyarakat, lebih tinggi tingkat ekonominya.
Maka dapat dikatakan bahwa pajak-pajak disamping untuk kelangsungan kehidupan
negara (dengan anggaran rutinnya) juga digunakan untuk pembangunan yang akan
mensejahterakan dan memakmurkan rakyat Indonesia (melalui anggaran
pembangunan). Dengan ini mudah dimengerti bahwa pajak-pajak pungutannya selalu
berdasarkan keadaan ekonomi rakyat dan hasilnya digunakan untuk meningkatkan
ekonomi rakyat, dan penghasilannya yang hanya cukup kebutuhan primer, tidak wajar
dikenakan pajak atas penghasilannya. Untuk itu berlaku asas daya pikul.” 12

Penegasan dari pendapat tersebut, penerimaan pajak sudah seharusnya digunakan

sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, dengan demikian pajak

sebagai sumber pendapatan negara merupakan jiwa negara dan bagian yang sangat penting

didalam mensejahterakan rakyat. Dengan demikian pengertian pajak pada umumnya adalah

11
Pranarka,A.M.W, 1979, Suatu Konstruksi Filsafat Hukum Dengan Latar Belakang Evolusi Pengetahuan
Dewasa Ini, (Bandung: Majalah Pro Justitia Universitas Katolik Parahyangan, No. 7), h. 447.
12
Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan 1, PT.Rafika
Aditama, Bandung, h. 43-44
iuran wajib dari orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang dapat

dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk membiayai penyelenggaraan

pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.

Pendapat tentang pengertian pajak oleh para sarjana dalam mengkaji pendapatnya di

fokuskan pada pajak, seterusnya dilakukan analisa-analisa antara lain dikemukakan oleh :

a. J.A Adriani
“pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang
wajib membayar menurut peraturan-peraturan dengan tidak dapat prestasi kembali
yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubungan dengan tugas pemerintah.”13
b. Rochmat Soemitro
“pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan
Undang-Undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapatkan imbalan
(tegenprestatie), yang secara langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan sebagai
alat pendorong, penghambat, atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada diluar
bidang keuangan negara.” 14
c. Soeparman Soemahamidjaya
“pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa
berdasarkan norma-norma hukum, guna menutupi biaya-biaya produksi barang-
barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.” 15
d. Fildmann, mengatakan bahwa
“belasting zijn aan de overhead, volgens algemene door haar vastgestelde normen,
verschuldigde afdwingbare praestaties waar geen tegen-prestatie tegenstaat, en
ultsluitend dienende totdekking van publieke ultgaven” (pajak adalah prestasi yang
terutang pada penguasa dan dipaksakan secara sepihak menurut norma-norma yang
ditetapkan oleh penguasa itu sendiri, tanpa ada jasa balik dan semata-mata guna
menutup pengeluaran-pengeluaran umum). 16

e. Didik Budi Waluyo, berpendapat tentang pajak adalah


“Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.” 17

13 Bohari, 1985, Pengantar Perpajakan, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 31


14 Rochmat Soemitro, 1992, Hukum Pajak, PT. Eresco Bandung, h. 3
15 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, 2013, Hukum Pajak : Teori, Analisis, dan Perkembangannya, Edisi 6,
Salemba Empat, Jakarta, h. 6
16
Djafar Saidi. M,2011, Op Cit, h. 27
17
Didik Budi Waluyo, 2010, Susunan dalam Satu Naskah Undang-Undang Perpajakan Indonesia,
PT.Gramedia, Jakarta, h. 3
Para sarjana tersebut penekanan pengertian tentang pajak dari berbagai pandangan,

yaitu JA. Adriani menekankan pada iuran kepada negara, Rochmat Soemitro menekankan

pajak sebagai peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik, Soeparman

Soemahadidjaya menekankan pajak sebagai iuran wajib, Fildmann menekankan pada pajak

sebagai prestasi yang terutang, serta Didik Budi Waluyo menekankan pajak sebagai

kontribusi wajib kepada negara. Dari difinisi para sarjana tersebut, dapat disimpulkan dan

diklasifikasikan, bahwa unsur pajak sebagai berikut :

1. Iuran dari rakyat kepada negara, bahwa pajak itu adalah iuran atau kewajiban

menyerahkan sebagian kekayaan (pendapatan) kepada negara. Iuran tersebut

berupa uang (bukan barang).

2. Berdasarkan undang-undang, perpindahan atau penyerahan iuran ini berdasarkan

Undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang berlaku umum.

Sekiranya pemungutan pajak tidak didasarkan pada Undang-undang atau

peraturan, maka ini tidak sah dan dianggap sebagai perampasan hak.

3. Tanpa jasa timbal atau kontra prestasi dari negara yang secara langsung dapat

ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi

individual oleh pemerintah, artinya bahwa antara pembayaran pajak dengan

prestasi dari negara tidak ada hubungan secara langsung. Prestasi tidak ditujukan

secara langsung kepada individu pembayar pajak, tetapi ditujukan secara kolektif

atau kepada masyarakat secara keseluruhan.

4. Bersifat memaksa, artinya perpindahan atau penyerahan iuran itu adalah bersifat

wajib, dalam arti bahwa bila kewajiban itu tidak dilaksanakan maka dengan

sendirinya dapat dipaksakan, artinya hutang itu dapat ditagih dengan

menggunakan kekerasan seperti Surat Paksa dan Sita.


5. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni uang yang

dikumpulkan oleh negara digunakan untuk membiayai pembiayaan umum yang

berguna untuk rakyat, seperti pembuatan jalan, jembatan, gedung dan sebagainya.

Meskipun difinisi atau batasan pajak yang telah dikemukakan oleh para pakar tidak

sama, namun pada dasarnya bermaksud merumuskan pengertian pajak sehingga mudah

dipahami. Perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang yang digunakan oleh masing-

masing pihak pada saat merumuskan pengertian pajak. Rochmat Soemitro memandang pajak

dapat ditinjau dari aspek ekonomis dan aspek hukum. Adapun pengertian pajak dari aspek

ekonomis adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-

undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapatkan imbalan (tegenprestatie), yang

secara langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan

yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat, atau pencegah untuk mencapai tujuan

yang ada diluar bidang keuangan negara.

Pengertian pajak dari aspek hukum adalah perikatan yang timbul karena undang-

undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh

undang-undang (tatsbentand) untuk membayar sejumlah uang kepada (kas) negara yang dapat

dipaksakan, tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang

digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara (rutin dan pembangunan), dan

yang digunakan sebagai alat (pendorong atau penghambat) untuk mencapai tujuan diluar

bidang keuangan negara. Pengertian pajak tersebut sebagai perikatan oleh wajib pajak dengan

negara tanpa tegenprestasi secara langsung dan bersifat memaksa dan merupakan perikatan

yang lahir dari undang-undang yang bernuansa publik sehingga bersifat memaksa, maka

penagihannya dapat bersifat dipaksakan, juga dengan ancaman hukuman berupa sanksi

administrasi maupun sanksi pidana. 18 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang

18
Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung, h. 12-13
perubahan Ketiga atas Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan, dalam Pasal 1 angka 1, menyebutkan : Pajak adalah kontribusi wajib

kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan

digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pajak berada dalam pengawasan dan pembinaan pejabat pajak sebagai pihak yang

mewakili negara, dan tidak ada tegenprestasi secara langsung kepada wajib pajak. Rumusan

pengertian pajak secara tegas memisahkan antara pajak yang bersifat memaksa dengan

pungutan yang bersifat retribusi. Pajak dan retribusi merupakan saudara kembar yang

merupakan bagian dari pemungutan kepada wajib pajak yang bersifat memaksa.

Memperhatikan unsur-unsur yang melekat pada pajak yang bersifat memaksa dengan

pungutan yang bersifat retribusi, dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Pada pajak sifatnya berlaku umum, artinya berlaku bagi setiap orang yang

memenuhi syarat untuk dapat dikenakan pajak, sedangkan pada retribusi hanya

berlaku bagi orang-orang tertentu yang langsung ditunjuk.

2. Pada pajak unsur paksaannya bersifat pidana dan administratif, sedangkan retribusi

unsur paksaannya bersifat ekonomis artinya kalau tidak membayar iuran maka

orang yang bersangkutan tidak diperkenankan memperoleh atau menikmati jasa

dari negara. Misalnya retribusi pasar, bagi mereka yang tidak membayar retribusi,

maka kepadanya tidak akan diperkenankan masuk dipasar menjual barang

dagangannya.

3. Pada pajak tegen prestasinya bersifat tidak langsung dalam arti bahwa meskipun

wajib pajak telah membayar pajak belum tentu dapat langsung menikmati jasa

dari negara. Misalnya wajib pajak bayar pajak untuk membiayai salah satu irigasi

(pengairan) yang terletak disalah satu daerah lain. Antara pembuatan irigasi
dengan pembayaran pajak tadi boleh dikatakan tidak ada hubungannya karena kita

selaku pembayar pajak belum tentu dapat manfaat atau kegunaan dari irigasi itu.

Irigasi itu dibangun bukan ditujukan kepada mereka yang membayar pajak saja,

tetapi ditujukan untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Jadi tampak

bahwa mereka yang tidak bayar pajakpun dapat menikmati irigasi yang dibiayai

dengan pajak itu, sedangkan retribusi tegen prestasi bersifat langsung, dalam arti

bahwa siapa yang membayar iuran maka ia berhak menikmati jasa negara,

sedangkan mereka yang tidak membayarnya tidak diperkenankan menikmati jasa

negara.

Pengertian retribusi tersebut diatas, ternyata ditinjau dari aspek ekonomis bukan dari

aspek hukum, padahal yang dibutuhkan adalah pengertian retribusi ditinjau dari aspek hukum

yang tidak berbeda dengan sarana hukum dari pemungutan pajak itu sendiri, yaitu berupa

sanksi administrasi dan sanksi pidana, walaupun dalam retribusi, wajib pajak mendapatkan

tegenprestasi secara langsung dan dapat dipaksakan penagihannya, dengan demikian pajak

merupakan sumber penerimaan negara yang sangat besar, yang berpotensi untuk menambah

(kas) negara didalam membiayai kegiatan rutin dan pembangunan.

Pajak merupakan sumber penerimaan yang besar, salah satunya adalah dari Pajak

Bumi dan Bangunan yang diatur dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang telah

diubah dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam penjelasan dalam

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994, disebutkan :

“bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan perkembangan yang


pesat dalam kehidupan nasional khususnya dibidang perekonomian, termasuk
berkembangnya bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan usaha yang
belum tertampung dalam undang-undang perpajakan, juga disesuaikan dengan
kebijakan pembangunan dan dapat terciptanya kepastian hukum yang berkaitan
dengan aspek perpajakan.”
Hakekat pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu sarana

perwujudan kewajiban kenegaraan sebagai peran serta masyarakat dalam membiayai

pembangunan, sehingga dalam pengenaannya harus memperhatikan prinsip kepastian hukum,

keadilan dan kesederhanaan serta ditunjang oleh sistem administrasi perpajakan yang

memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak.

Undang-undang Pajak, baik dalam kedudukan sebagai pengganti maupun sebagai

pengubah tidak boleh mengesampingkan perlindungan hukum bagi wajib pajak, hal ini

dimaksudkan agar wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya dan hak-haknya tidak

mengalami kendala atau hambatan. Bahkan pejabat pajak dapat memberikan bantuan dan

pembinaan yang dibenarkan secara yurudis, sehingga tujuan reformasi hukum khususnya

dibidang hukum pajak dapat tercapai. Sebenarnya reformasi dibidang hukum pajak adalah

meningkatkan kesadaran hukum bagi wajib pajak untuk memenuhi kewajiban membayar atau

melunasi pajak yang terutang, guna dapat dipergunakan untuk pembiayaan pemerintahan dan

pembangunan tetap berlangsung secara berkelanjutan.

Pergeseran paradigma dalam mendifinisikan pajak, dalam Kongres Pajak sedunia

pada bulan September 2005 di Buenos Aires, Argentina, beberapa poin penting di antaranya

adalah :

1. Pajak tidak boleh memaksa, karena prinsipnya pajak merupakan wujud kesadaran
masyarakat dalam memberikan kontribusi terhadap negara. model pemungutan
pajak tidak boleh memaksa, sehingga difinisi pajak lebih netral dan tidak
berkonotasi negatif (untuk membedakan antara negara merdeka dan negara yang
masih terjajah yang harus membayar pajak kepada negara yang menjajah).
2. Pajak harus dikembalikan kepada masyarakat, sehingga seharusnya hasil
penerimaan pajak tidak boleh digunakan untuk membayar utang atau menutup
defisit negara.
3. Pembayar pajak mendapat benefit, terutama akses dari pemerintah baik akses
informasi maupun akses ekonomi.
4. Pajak juga memiliki pengukuran benefit, misalnya secara transparan pemerintah
menunjukkan bahwa hasil pajak digunakan untuk membangun infrastruktur,
subsidi pendidikan, dan sebagainya. 19

Para guru besar yang tergabung dalam European Association of Tax Law Professors

(EATLP) menyelenggarakan pertemuan tahunan dengan tema “the concept of tax”.

Pertemuan yang diadakan di Caserta (Naples) pada tanggal 27 sampai dengan 29 Mei 2005

tersebut menghasilkan laporan akhir yang kemudian dibukukan dengan judul yang sama.

Beberapa poin penting yang dituangkan dalam buku tersebut antara lain simpulan bahwa

konsep pajak seharusnya tidak statis melainkan harus terus dikembangkan menyesuaikan

dengan perubahan. Tidak akan diketemukan difinisi pajak yang paling baik sepanjang masa

dan untuk semua negara, karena perubahan yang terjadi dalam masyarakat menyebabkan

maksud dan tujuannya juga berubah. 20

Perubahan pada undang-undang perpajakan tersebut lebih dapat memberikan

peningkatan pelayanan kepada masyarakat sebagai wajib pajak dan transparansi administrasi

perpajakan termasuk pelaksana yang baik dan jujur dalam pemungutan pajak. Tujuan ini

tidak dapat dicapai bila pelaksana perpajakan dengan wajib pajak tidak mengikuti

perkembangan dari tujuan reformasi dimaksud, dengan demikian kewenangan pengaturan

dan pemungutan pajak harus diwujudkan untuk tercapainya keadilan, kemanfaatan dan

kepastian hukum. Pajak bumi dan bangunan dalam hal ini tanah dan bangunan diatasnya

berkaitan erat dengan aspek ekonomi, yakni hukum sebagai sehimpunan sistem kaidah yang

berkaitan erat dengan ilmu ekonomi.

Roscoe Pound, hal ini dijelaskan seperti berikut “......hukum dapat mencukupkan

keperluan sendiri telah ditinggalkan, dan orang mulai mencoba menghubungkan ilmu hukum

dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, yang lebih dulu menonjol ialah hubungan dengan ilmu

19
Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, 2012, Pengantar Ilmu Pajak, Kebijakan dan Implementasi di
Indonesia, Rajawali Pers, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 26-27
20
Ibid
ekonomi”.21 Untuk selalu menjaga agar perkembangan perekonomian dan hukum dapat

berjalan sesuai dengan kebijakan pembangunan, maka aspek perpajakan harus mendapatkan

suatu kepastian hukum dan keadilan dalam pengaturannya yang dituangkan kedalam

peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan kegiatan penerimaan dari sektor Pajak Bumi dan

Bangunan didaerah, ditetapkan dengan undang-undang dengan tujuan dalam rangka

meningkatkan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, dimana daerah diberikan

kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi

urusan Pemerintah, dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, aspek

kewenangan, memperhatikan kekhususan, aspek hubungan keuangan, pelayanan umum,

pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, dilaksanakan secara adil dan

selaras dalam sistem negara kesatuan republik Indonesia. Kewenangan mengurus dan

mengatur semua urusan pemerintahan dimaksudkan untuk kesejahteraan masyarakat. Konsep

ini didasari oleh prinsip-prinsip persamaan kesempatan, distribusi kemakmuran secara wajar

dan tanggung jawab publik dalam pembiayaan pembangunan dan pemerintahan.

Konsep pajak dalam perspektif politik perpajakan di Indonesia, disampaikan secara

nyata oleh Edi Slamet Irianto melalui disertasinya yang berjudul “Desentralisasi Perpajakan

dalam Perspektif Demokratisasi di Indonesia”. Menurut Irianto dalam perspektif pajak, pajak

adalah saham politik rakyat atas negara sehingga rakyat memiliki hak-hak istimewa dalam
22
setiap proses politik untuk menentukan kebijakan negara. Gagasan demokratisasi

perpajakan menjadi penting untuk dikembangkan karena berbagai alasan. Pertama, semakin

terbukanya iklim politik di Indonesia dan perkembangan pasar bebas. Kedua, meningkatnya

21
Roscoe Pound, diterjemahkan oleh Mohamad Radjab, 1982, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta,
Bratara Karya Aksara, hal. 31
22
Edi Slamet Irianto, 2009, Pajak, Negara dan Demokrasi : Konsep dan Implementasinya di
Indonesia, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, h. 59
kesadaran masyarakat sehingga meningkatkan tuntutan adanya transparansi dalam

pengelolaan pajak. Ketiga, menguatnya sistem ekonomi yang demokratis. 23

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional,

dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya, guna

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat,

maka pemerintah Indonesia dituntut untuk turut serta secara aktif (proaktif) dalam semua

aspek kehidupan dan penghidupan rakyat dalam kerangka sistem negara kesatuan. Negara

kesatuan yakni negara tunggal artinya terdiri dari satu negara, keluar atau kedalam

merupakan satu kesatuan, dengan demikian negara kesatuan itu pula hanya terdiri atas satu

kepala negara. Dalam negara kesatuan hanya ada satu pusat pemerintahan/kekuasaan dari

pusat sampai kedaerah-daerah, sehingga segala sesuatu dapat diatur secara sentral. Walaupun

demikian tidaklah berarti bahwa didalam negara kesatuan seluruh daerah dalam segala-

galanya hanya diatur dan diperitah langsung dari pusat, tetapi masih ada tempat bagi inisiatif

dan peranan daerah yang menentukan daerahnya masing-masing.

Penegasan seperti ini juga dikemukakan oleh Sunindhia Y.W yang berpendapat

“Negara Kesatuan bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dengan mendasarkan atas persatuan mewujudkan keadilan sosial
24
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Indonesia sebagai negara kesatuan merupakan negara

hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan

tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera dan berkeadilan. Untuk mendukung tata

kehidupan bangsa yang aman dan tertib, dalam ketentuan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945,

BAB VI tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan : “Negara Kesatuan Republik Indonesia

dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,

23
Ibid
24
Sunindhia Y.W, 1987, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Bina Aksara, Jakarta, h. 16
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur

dengan undang-undang”.

Pembagian daerah atas daerah provinsi, kabupaten dan kota, pemerintah daerah diakui

berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi

dan tugas pembantuan. Otonomi pada hakekatnya mempunyai makna kebebasan atau

kemandirian dalam mengatur dan mengurus pemerintahan (zelfwetgeving dan zelfbestuurs)

yang berdimensi pertanggungjawaban.25 Pengertian pertanggungjawaban itu sendiri meliputi

dua aspek, yakni berkaitan dengan pemberian tugas dalam arti melaksanakannya dan

berkaitan dengan pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan

menetapkan sendiri bagaimana menyelesaikan tugas itu.26 Adanya otonomi, menuntut kepada

Pemerintah Daerah untuk lebih kreatif didalam menggali sumber-sumber pendapatan daerah

untuk dapat membiayai pengeluaran atau belanja daerah serta diarahkan untuk mempercepat

terwujudnya kesejahteraan masyarakat, melalui peningkatan pelayanan, pembangunan dan

pemberdayaan peran serta masyarakat, sehingga mampu meningkatkan daya saing dengan

memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi dan pemerataan keadilan serta potensi dan

keanekaragaman daerah. Dengan demikian antara kewenangan dengan penerimaan daerah

memiliki hubungan timbal balik seperti dikemukakan Saukani, yakni “Kalau tidak ada

kewenangan, bagaimana memobilisasi sumber daya, termasuk sumber daya keuangan dan

tentu saja termasuk meningkatkan pendapatan keuangan daerah”. 27

Pemerintahan secara etimologis dalam Hukum Administrasi Negara diartikan sebagai

“tindakan yang terus menerus atau kebijaksanaan, yang dengan menggunakan suatu rencana

maupun akal (rasio) dan tata cara tertentu, untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang

25
Abdurrahman, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, Media Sarana Press, Jakarta,
h.10, lihat juga RDH Koesoemahatmadja, 1979, Pengantar Kearah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia,
Binacipta, Bandung, h. 9
26
Moh. Mahmud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, h. 93
27
Saukani H, 2002, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 10
28
dikehendaki”. Sedangkan terhadap hukum administrasi menurut Philipus M Hadjon dalam

konsep negara hukum kemasyarakatan (sosiale rechtsstaat) hukum administrasi didifinisikan

sebagai instrument yuridis yang memungkinkan pemerintah mengendalikan kehidupan

masyarakat dan pada sisi lain memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam pengendalian

(pemerintahan) tersebut. Dari pengertian tersebut, maka unsur pokok hukum administrasi

adalah Sturen (Sturing) hukum mengenai kekuasaan pemerintah, partisipasi (peran serta)

masyarakat, dan hukum mengenai organisasi publik sebagai perlindungan hukum bagi
29
masyarakat terhadap kekuasaan pemerintahan. Ketiga unsur pokok hukum administrasi

tersebut sekaligus merupakan dimensi normatif hukum administrasi sebagai hukum publik

berlandaskan pada prinsip-prinsip negara hukum (rechtsstaat), prisip demokrasi, karakter

instrumen. 30

Pengertian dan hakekat hukum administrasi yang diuraikan oleh Philipus M Hadjon

diatas sejalan dengan pendapat P.P. Craig dalam bukunya berjudul “Admitrative Law”,

bahwa pengertian hukum administrasi berfariasi, untuk itu dia tidak memberi pengertian

hukum adminstrasi secara pasti, namun secara diskriptif yang menunjukkan fariasi penekanan

dalam mengartikan hukum administrasi, dikatakannya :

“For some it is the law relating to the control of government power, the main object
of which is to protectindividual right. Others plese greater emphasis up on the rules
which are designed to unsure that the administration effektiveley performs the task
assigned to it. Yet other see the principal objectif of administrative law as ensuring
governmental accountability, and fostering participatioan by interested parties in the
decision making prosses”. (Sebagian berpendapat bahwa hukumlah yang
berhubungan dengan kontrol kekuatan pemerintah, yang objek utamanya adalah hak
perlindungan individual, yang lain memberi penekanan pada aturan-aturan yang
dibuat harus memberi keyakinan bahwa pemerintah secara efektif melakukan tugas
yang diberikan kepadanya. Bahkan yang lainnya lagi berpendapat bahwa tujuan dasar
28
Marbun S.F. dkk, 2001, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press,
Yogyakarta, h. 82
29
Philipus M Hadjon, 1993, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi, Fakultas Hukum,
Universitas Airlangga, h 3
30
Ibid. Asas Negara Hukum yang langsung berkaitan dengan jaminan perlindungan hukum bagi
masyarakat terhadap kekuasaan pemerintah adalah asas legalitas dalam pelaksanaan pemerintahan
(doelmatigheid van bestuur : asal kewenangan, prosedur dan substansi), perlindungan hak asasi (hak klasik dan
hak sosial), pembagian kekuasaan dibidang pemerintahan antara lain melalui desentralisasi fungsional maupun
teritorial.
dari hukum administrasi adalah sebagai pemberi keyakinan akuntabilitas pemerintah,
dan mengasuh partisipasi yang diberikan oleh pihak-pihak terkait dalam proses
pembuatan keputusan). 31

PP Craig dalam pengertian tersebut diatas, tampak bahwa hukum administrasi adalah

hukum yang mengontrol kewenangan pemerintah, dan juga hukum yang dibentuk untuk

menjamin agar pemerintah dapat bekerja secara efektif sesuai dengan tugas yang telah

ditentukan dengan tujuan untuk melindungi hak-hak individu. Penyelenggaraan fungsi

pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan

pemerintahan yang diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada

daerah dengan mengacu kepada Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Semua sumber keuangan yang melekat setiap

urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah.

Pemerintah Daerah sebagai pemerintah daerah otonom mendapatkan sumber

pendapatan dari pemanfaatan sumber alam yang ada, serta sumber dari sektor pajak, sehingga

mendorong upaya pemerintah untuk peningkatan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Peningkatan penerimaan

sumber-sumber pendapatan daerah tersebut, dilakukan guna meningkatkan efisiensi dan

efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, dengan memperhatikan potensi dan

keanekaragaman daerah. Pemerintah Daerah juga memperhatikan hubungan dan keserasian

kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam aspek hubungan keuangan, pelayanan

umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, dilaksanakan secara serasi,

adil dan selaras. Disamping itu, terdapat bagian urusan pemerintahan yang bersifat

Concurrent artinya urusan pemerintah yang penanganannya dilaksanakan sesuai dengan

kewenangannya, ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, dan ada

pula kewenangan diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.

31
PP Craig, Adminstrative Law, Sweet and Maxwell limited of south Quay Plaza, London, h. 1
Kewenangan Pemerintah Daerah untuk mendapatkan sumber keuangan adalah dari

kepastian tersedianya pendanaan dari pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang

diserahkan sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Sumber keuangan dan

pendapatan daerah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah mengatur dan

memungut dari pajak daerah dan retribusi daerah, hak untuk mendapatkan bagi hasil dari

sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah, dana perimbangan lainnya, hak untuk

mengelola kekayaan daerah dan mendapatkan sumber-sumber pembiayaan, kesemuanya itu

diatur dengan undang-undang.

Sumber keuangan daerah dari penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur

dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997, yang telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 34 Tahun 2000 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.

Undang undang ini mengatur tentang kewenangan pemerintah daerah dan jenis-jenis pajak

daerah dan retribusi daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah provinsi,

kabupaten dan kota. Dari jenis pajak daerah dan retribusi daerah, pemerintah daerah wajib

untuk memperhatikan hubungan timbal balik pemerintah dengan masyarakat, karena hakekat

pembayaran pajak itu merupakan kewajiban masyarakat sebagai wajib pajak serta mendapat

perlindungan dari pemerintah.

Sejalan dengan pengertian pajak pada umumnya, Pajak Daerah sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1 angka 10 disebutkan Pajak Daerah yang

selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib pajak kepada Daerah yang terutang oleh

orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak

mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat.

Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut diatas, telah menggariskan kebijakan

dalam Peraturan Daerah tentang perpajakan antara lain dalam rangka pengawasan, dimana
dalam Peraturan Daerah dapat ditetapkan jenis pajak yang memberikan keleluasan kepada

daerah dalam mengantisipasi situasi dan kondisi serta perkembangan perekonomian daerah

pada masa yang akan datang, yang mengakibatkan potensi pajak dengan tetap memperhatikan

kesederhanaan jenis pajak dan aspirasi masyarakat, serta memenuhi kreteria yang telah

ditetapkan. Adapun kreteria yang dimaksudkan adalah :

a. Bersifat sebagai pajak bukan retribusi, bahkan pajak yang ditetapkan harus sesuai

dengan pengertian pajak ;

b. Obyek dan pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum, ini

berarti bahwa pajak dimaksud untuk kepentingan bersama yang lebih luas antara

pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan aspek ketentraman dan

kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan ;

c. Potensinya memadai, berarti bahwa hasil pajak cukup besar sebagai salah satu

sumber pendapatan daerah dan laju pertumbuhan diperkirakan sejalan dengan laju

pertumbuhan ekonomi daerah ;

d. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif, bahwa pajak tidak mengganggu

alokasi sumber-sumber ekonomi secara efisien dan tidak merintangi arus sumber

daya ekonomi antara daerah maupun kegiatan ekspor-impor ;

e. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, artinya obyek dan

subyek pajak harus jelas sehingga dapat diawasi pemungutannya, jumlah

pembayaran pajak dan dapat diperkirakan oleh wajib pajak yang bersangkutan,

dan tarif pajak ditetapkan dengan memperhatikan keadaan wajib pajak,

sedangkan memperhatikan aspek kemampuan masyarakat adalah kemampuan

subyek pajak untuk memikul beban tambahan pajak ;

f. Menjaga kelestarian lingkungan, bahwa pajak harus bersifat netral terhadap

lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan pajak tidak memberikan peluang


kepada pemerintah daerah dan masyarakat untuk merusak lingkungan yang akan

menjadi beban bagi pemerintah dan masyarakat.

Kreteria tersebut dapat disimak bahwa pengawasan terhadap pengaturan pajak bumi

dan bangunan yang telah diserahkan pusat kepada Kabupaten/Kota sangat diperhatikan,

karena dampak kegiatan tersebut menimbulkan pengaruh terhadap tanah-tanah adat di Bali

yang penguasaannya dikuasai oleh desa pakraman. Sebagaimana diketahui bahwa desa

pakraman memanfaatkan tanah adatnya adalah untuk memenuhi kewajiban dalam rangka

kegiatan upacara keagamaan dan kegiatan lainnya serta dilakukan untuk pemenuhan

kesejahteraan angota/krama desa pakraman tersebut.

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, merupakan kewenangan daerah pada tingkat

Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam pengaturan dan pemungutan yang dapat dilaksanakan di

masing-masing daerah sesuai dengan jenis-jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang

diaturnya. Pajak dan retribusi ini juga sebagai pemasukan pendapatan daerah guna

membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah dan pembangunan, hal ini sebagai salah satu

sumber pendapatan yang penting. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali

mengawali pelaksanaan otonomi daerah dibidang perpajakan, menetapkan produk hukum

berupa Peraturan Daerah (Perda) tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

sebagai pelaksanaan dari perundang-undangan yang mengatur atau lebih tinggi, beberapa

Peraturan Daerah kabupaten/kota yang telah dibuat seperti Peraturan Daerah Kabupaten

Badung Nomor 3 Tahun 2012, Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem Nomor 12 Tahun

2012, Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 4 Tahun 2013, Peraturan Daerah

Kabupaten Jembrana Nomor 12 Tahun 2011, Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor

10 Tahun 2011, Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 4 Tahun 2012, Peraturan

Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 9 Tahun 2012, Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng

Nomor 5 Tahun 2013, dan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2012 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, serta Perubahan Peraturan Daerah dan

Peraturan Kepala Daerah dan Keputusan-keputusan Kepala Daerah dalam rangka

menjabarkan peraturan daerah yang bersangkutan.

Peningkatan pelayanan dan kemandirian daerah disesuaikan dengan kebijakan

berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, peranserta masyarakat, akuntabilitas

dengan memperhatikan potensi daerah dapat dioptimalkan melalui pengaturan dan

pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2009, membagi jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah pada tingkat Provinsi

dan Kabupaten/Kota ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), yaitu :

(1) Jenis Pajak Provinsi terdiri atas :


a. Pajak Kendaraan Bermotor ;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ;
d. Pajak Air Permukaan; dan
e. Pajak Rokok
(2) Jenis Pajak Kabupaten/Kota, terdiri atas :
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Hiburan ;
c. Pajak Reklame ;
d. Pajak Penerangan Jalan ;
e. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ;
f. Pajak Parkir ;
g. Pajak Air Tanah ;
h. Pajak Sarang Burung Walet;
i. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan perkotaan ; dan
j. Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah meliputi pajak-pajak yang menjadi kewenangan daerah yang telah diatur

sebelumnya, dan menjadi kewenangan baru kabupaten/kota untuk melaksanakan dan

memungut Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) serta Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Kedua jenis pajak ini yaitu PBB P2 dan
BPHTB sebelumnya adalah pajak pusat, berarti pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah

Pusat, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 telah beralih pengelolaannya

kepada Kepala Daerah karena telah menjadi Pajak Daerah Kabupaten/Kota. Jenis-jenis pajak

atau penggolongan pajak daerah dan retribusi daerah telah bersifat final, karena telah diatur

dalam Undang Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Pengaturan dan pemungutan tentang pajak bumi dan bangunan sudah menjadi bagian

dari jenis pajak daerah di Kabupaten/Kota, juga menganut prinsip tertutup artinya daerah

dilarang memungut pajak dan retribusi selain jenis atau penggolongan pajak dan retribusi

yang telah diatur diatas. Dalam arti daerah tidak boleh mengatur dan mengadakan pajak

daerah dan retribusi daerah selain yang diatur dalam undang-undang. Ketika daerah mengatur

dan mengadakan pajak daerah dan retribusi daerah selain dari jenis pajak dan retribusi yang

ditetapkan undang-undang dalam bentuk peraturan daerah, berarti suatu perbuatan hukum

yang tidak sah, konsekwensi hukum yang timbul adalah peraturan daerah tentang pajak

daerah dan retribusi daerah itu batal demi hukum, berarti dari semula tidak pernah ada.

Peraturan Daerah yang dibuat berdasarkan atas Undang-undang Nomor 28 Tahun

2009 yang memuat tentang nama, objek pajak dan subjek pajak, dasar pengenaan, tarif, dan

tata cara penghitungan pajak, wilayah pemungutan, masa pajak, penetapan, tata cara

pembayaran dan penagihan, kedaluwarsa, sanksi administratif, pembetulan, pembatalan,

pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administratif, ketentuan

penyidikan, ketentuan pidana, dan ketentuan penutup, serta penjelasan atas Peraturan Daerah.

Objek Pajak Bumi dan Bangunan perdesaan dan perkotaan sesuai dengan Pasal 77

Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, adalah : Bumi dan/atau bangunan yang

dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan

yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan.


Sedangkan dalam Pasal 77 ayat (3) disebutkan Objek pajak yang tidak dikenakan

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang :

a. Digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan Pemerintahan ;


b. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah,
sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan
untuk memperoleh keuntungan ;
c. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau sejenis dengan itu ;
d. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah Negara yang belum dibebani
suatu hak ;
e. Digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas timbale
balik ; dan
f. Digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan.

Untuk memahami siapa yang merupakan subjek pajak dan wajib pajak bagi pajak

bumi dan bangunan, terdapat rumusan atau ketentuan dalam Pasal 78 yaitu :

(1) Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi
atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau
memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau
memperoleh manfaat bangunan.
(2) Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi
atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau
memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan.

Ketentuan Pasal 78 ini tidak membedakan subyek pajak dari pajak bumi dan

bangunan perdesaan dan perkotaan dengan wajib pajak dari pajak bumi dan bangunan

perdesaan dan perkotaan. Dalam arti tidak ada substansi hukum yang membedakannya,

misalnya muatan hukum tertuju kepada wajib pajak dari pajak bumi dan bangunan perdesaan

dan perkotaan untuk dikenakan pajak ketika telah memenuhi syarat-syarat objektif. Dengan

demikian terdapat perbedaan kedudukan antara subjek pajak dari pajak bumi dan bangunan

perdesaan dan perkotaan dengan wajib pajak dari pajak bumi dan bangunan perdesaan dan

perkotaan.
Wajib pajak bagi pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah orang

pribadi atau badan yang dikenakan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan,

karena secara nyata :

a. Mempunyai hak atas bumi (tanah); dan/atau

b. Memperoleh manfaat atas bumi (tanah); dan/atau

c. Memiliki bangunan; dan/atau

d. Menguasai bangunan; dan/atau

e. Memperoleh manfaat bangunan.

Apabila ada objek pajak dari pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan yang

belum diketahui siapa subjek pajak atas objek pajak tersebut, pejabat pajak berwenang

menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak. Kewenangan pejabat pajak untuk menetapkan

subjek pajak sebagai wajib pajak bertujuan agar objek pajak itu dikenakan pajak bumi dan

bangunan perdesaan dan perkotaan. Akan tetapi subjek pajak tersebut dapat memberikan

keterangan kepada pejabat pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak yang

dimaksud.

Semua tanah dan bangunan yang berada diwilayah negara Indonesia ini bisa

dimasukkan sebagai objek pajak, namun terhadap tanah dan bangunan tertentu dapat

dikecualikan atau tidak dikenakan pungutan pajak bumi dan bangunan. Adapun objek pajak

atau tanah dan bangunan yang dikecualikan/tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan itu

adalah sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak

Bumi dan Bangunan, telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c menyebutkan : “merupakan hutan lindung, hutan

suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan

tanah negara yang belum dibebani suatu hak”.


Objek pajak yang dikecualikan/tidak dipungut pajak bumi dan bangunan tersebut,

belum secara jelas menyebutkan tanah desa adat, hanya penyebutan terhadap tanah

pengembalaan yang dikuasai oleh “ desa.” Pengertian desa di Bali terdiri dari dua hal yakni,

pertama, desa yang hidup secara tradisional sebagai perwujudan daripada lembaga adat yang

disebut desa pakraman, desa ini dulu dikenal sebagai kepurbakala , kedua, desa administratif

atau desa dinas yang eksistensinya terkait dengan pemerintah daerah, dan sekarang disebut
32
dengan istilah desa dinas atau desa administratif. Perbedaan antara Desa Dinas dengan

Desa Adat adalah :

- Pada Desa Dinas : pembentukannya oleh negara, berlaku hukum negara,


melakukan pengaturan dan pengurusan administrasi pemerintahan yang terbawah,
warganya adalah penduduk desa, pimpinannya disebut dengan Kepala Desa atau
Perbekel.
- Pada Desa Adat : pembentukannya oleh masyarakat, berlaku hukum adat (awig-
awig), melakukan pengaturan dan pengurusan dibidang adat dan agama, warganya
adalah krama desa adat, dan pimpinannya disebut dengan Bendesa atau Kelian
Desa.

Perbedaan tersebut jelas memperlihatkan desa dinas dengan desa adat berbeda dalam

hal ruang lingkup tugas dan fungsinya. Sebagaimana pengertian Desa sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa :

“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia”
Undang-undang ini dususun dengan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu

pengaturan masyarakat hukum adat, dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

yaitu :

32
Sirtha I Nyoman, 2003, Hukum Adat dan Sistem Pengamanan Tradisional dalam Mewujudkan
Masyarakat Patuh Hukum, Kerta Patrika Vol. 28 Nomor 1 Januari, h. 2
1) Memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan

keragamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik

Indonesia;

2) Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam sistem

ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh

rakyat Indonesia;

3) Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa;

4) Mendorong prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat desa untuk

pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama;

5) Membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka,

serta bertanggung jawab;

6) Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat

perwujudan kesejahteraan umum;

7) Meningkatkan ketahan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan

masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari

ketahanan nasional;

8) Memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan

pembangunan nasional; dan

9) Memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.

Desa mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia, sedangkan

desa adat atau disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari desa

pada umumnya, terutama karena :

a). Kuatnya pengaruh adat dalam sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber

daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat desa.


b). Merupakan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara

secara turun temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan

masyarakat desa adat agar dapat berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan

identitas sosial budaya lokal.

c). Memiliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak asal usul desa sejak desa

adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengah masyarakat.

d). Merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai

batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang

berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa berdasarkan hak

asal usul. Pada dasarnya kesatuan masyarakat hukum adat terbentuk berdasarkan

tiga princip yaitu genealogis, teritorial dan/atau gabungan genealogis dengan

teritorial.

Pengaturan dalam undang-undang tentang desa ini terhadap desa adat, sebagai suatu

kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara genealogis dan teritorial.

Dalam kaitan itu, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. Implementasi dari kesatuan

masyarakat hukum adat tersebut telah ada dan hidup diwilayah negara kesatuan Republik

Indonesia, seperti huta/nagori di Sumatera Utara, gampong di Aceh, nagari di Minangkabau,

marga di Sumatera bagian selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa pakraman/desa adat di

Bali, lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan, dan negeri di Maluku.

Pengakuan negara terhadap satuan-satuan masyarakat hukum adat disebutkan dalam

Pasal 18 B UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan bahwa : “Negara mengakui dan

menghormati satuan-satuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang


masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur oleh undang-undang”

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memberikan

pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sebagai suatu kelembagaan tradisional,

sedangkan masyarakat hukum adat dalam perkembangannya tergantung dari perkembangan

jiwa bangsa (volksgeist) masyarakat hukum adat itu sendiri yang merupakan pendukung dari

pelaksanaan hukum adat dalam proses kehidupan bermasyarakat.

Bali mempunyai desa yang disebut dengan desa adat/desa pakraman yang sampai saat

ini masih kuat keberadaannya. Desa pakraman/desa adat sebagai masyarakat hukum adat

diatur dengan Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman,

terakhir diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang

Perubahan atas Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa

Pakraman, dalam Pasal 1 angka 4 disebutkan bahwa : “desa pakraman adalah kesatuan

masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata

karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan

Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan

sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”

Sebagai masyarakat hukum adat yang tumbuh dan berkembang di Bali, desa

pakraman/desa adat dijiwai oleh agama Hindu, oleh karena itu konsep-konsep dasar agama

Hindu dijadikan landasan dalam pengembangan dan pemberdayaan desa pakraman/desa adat

seperti Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) dan konsep Tri Hita Karana sebagai upaya dalam

pengembangan dan pelestarian adat istiadat dan agama Hindu yang didukung oleh krama

desa pakraman/adat melalui pembinaan dalam kehidupan adatnya. Mereka sepakat untuk

melakukan kerjasama dengan ikatan tertentu untuk mempermudah kehidupan mereka, pola
kehidupan masyarakat yang disebut “pakraman” ini telah tumbuh sejak Bali kuna. 33 Sebagai

pusat pengembangan kebudayaan Bali, desa pakraman/desa adat melakukan pembinaan-

pembinaan kepada krama desa pakraman/desa adat agar keberadaannya tetap ajeg dan lestari.

Pembinaan dan pengembangan yang dilakukan sebagaimana pengarahan dari Ida

Bagus Mantra yang penting sekali artinya sebagai titik awal serta pedoman dalam membina

dan melestarikan adat istiadat Bali serta seyogyanya dipakai pula sebagai tolok ukur dalam

menilai hasil-hasil yang telah dicapai ataupun hambatan-hambatan yang mungkin dihadapi

dalam kegiatan-kegiatan pembinaan selama ini, secara umum kita bangga atas hasil-hasil
34
yang telah dicapai misalnya dalam hal aspek hukumnya. Partisipasi masyarakat dalam

usaha pelestarian adat dan budaya Bali sudah sangat baik, semua ini menunjukkan bahwa

adat dan ajaran agama Hindu memegang peranan penting dan menentukan dalam memotivasi

masyarakat di Bali untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan melalui pelestarian

adat-istiadat. Walaupun demikian kewenangan dan kewajiban kesatuan masyarakat hukum

adat tersebut diatas, selain ada ikatan Parahyangan yang dijiwai oleh agama Hindu, juga

mempunyai wilayah tertentu serta harta kekayaan desa adat.

Harta kekayaan desa pakraman adalah kekayaan yang telah ada maupun yang aka

nada yang berupa harta bergerak dan tidak bergerak, material dan inmaterial serta benda-

benda yang bersifat religius magis yang menjadi milik desa pakraman, salah satunya adalah

tanah adat yang dikuasai oleh desa pakraman. Tanah adat yang dikuasai oleh Desa Pakraman

(desa adat) di Bali, sebagai tanah adat yang mempunyai nilai dan diakui sebagai persekutuan

atau perkumpulan masyarakat yang menguasai dan memanfaatkan tanah adat di Bali sebagai

“druwe desa atau tanah desa” yaitu tanah yang dikuasai untuk dipergunakan dan dinikmati

sebagai pemenuhan kewajiban warga krama desa terhadap Kahyangan Desa. Kekayaan desa

33
Astika I Wayan, 2012, Pedoman Tugas-tugas Prajuru Desa Pakraman, Majelis Madya Desa
Pakraman34 (MMDP) Kabupaten Karangasem, h. 2
Surpha I Wayan, 2002, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Penerbit BP, Denpasar, h. 20
berupa tanah adat yang ada di Bali disebut dengan istilah druwe desa atau tanah desa, dan

ada beberapa jenis tanah druwe desa atau tanah desa, yaitu :

1. Tanah Desa yaitu tanah yang dipunyai yang bisa didapat melalui usaha-usaha

pembelian maupun usaha lainnya;

2. Tanah Laba Pura, yaitu tanah yang dulunya milik desa atau dikuasai oleh desa yang

khusus dipergunakan untuk keperluan pura;

3. Tanah Pekarangan Desa (PKD), adalah tanah yang dikuasai oleh desa yang

diberikan kepada krama desa untuk tempat mendirikan perumahan yang lasimnya

ukuran luas tertentu dan hampir sama setiap keluarga;

4. Tanah Ayahan Desa (AYDS), adalah tanah-tanah yang dikuasai atau dimiliki oleh

desa yang penggarapannya diserahkan kepada masing-masing krama desa disertai

hak untuk menikmati hasilnya.35

Tanah adat atau tanah druwe desa (di Bali) yang lebih dikenal dengan sebutan tanah

desa dibedakan menjadi tanah desa dalam arti sempit dan arti luas. 36 Dalam arti yang sempit,

tanah desa tersebut meliputi tanah-tanah yang berasal dari membeli atau usaha yang lainnya,

seperti tanah pasar, tanah setra, tanah lapangan, dan tanah bukti, sedangkan dalam arti luas

disamping tanah desa dalam artian yang sempit, juga termasuk tanah Laba Pura, Tanah

Pekarangan Desa (PKD) dan Tanah Ayahan Desa (AYDS). 37

Tanah merupakan bagian yang penting dalam kehidupan dan penghidupan manusia

dalam masyarakat, sehingga manusia selalu berhubungan dengan tanah, bahkan setelah

manusia meninggal dunia sekalipun masih membutuhkan tanah. Segala aktifitas keseharian

manusia pada umumnya dan sebagian terbesar dilakukan diatas tanah. Demikian juga kalau

dilihat dari sudut ekonomi, tanah mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi baik sebagai

35
36 Suasthawa Dharmayuda I Made, 2001, Desa Adat, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Upada
Suasthawa Dharmayuda I Made, 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat Bali setelah berlakunya
UUPA, CV Kayumas, Denpasar, h. 40
37
Ibid, h. 40-41
kebutuhan rumah tinggal, tempat usaha, bahkan sudah menjadi komuditas investasi yang

bernilai tinggi.

Persoalan tanah akan menjadi penting secara ekonomis, hukum dan kesejahteraan

masyarakat, dan dapat menimbulkan masalah sosial, politik, dan pertahanan keamanan

negara. Abdurrahman berpendapat bahwa masalah tanah menjadi peka dan sensitif karena

bukan sekedar menyangkut aspek ekonomis dan kesejahteraan semata, akan tetapi berkaitan

erat dengan masalah sosial, politis, yuridis, pesikhologis, kultural dan religius, bahkan

mengandung aspek-aspek Pertahanan Keamanan Nasional (HANKAMNAS). 38

Tanah adat di Bali tidak dapat dipisahkan dengan kedudukan desa pakraman, sebagai

masyarakat hukum adat terhadap tanah adat diwilayahnya dan perkembangan hukum adat

yang mengatur mengenai tanah. Siapapun yang ingin mengetahui tentang berbagai lembaga

hukum dalam suatu masyarakat, seperti lembaga hukum tentang perkawinan, lembaga hukum

tentang pewarisan, lembaga hukum tentang jual beli, lembaga hukum tentang hak milik atas

tanah, dan lain sebagainya harus mengetahui struktur masyarakat yang bersangkutan, oleh

karena struktur masyarakat menentukan sistem hukum yang berlaku pada masyarakat
39
tersebut. Demikian pula jika kita ingin mengetahui hukum pertanahannya, dalam hal ini

tanah adat, struktur masyarakat yang menguasai tanah adat tersebut yang harus diketahui

terlebih dahulu.

Kedudukan tanah adat di Bali pada masa lalu (Kolonial) terjadi dualisme hukum yang

mengatur tentang tanah. Tanah adat merupakan tanah Indonesia, sedangkan tanah pada

jaman kolonial ada disebut tanah Eropa, dimana penguasaan dan hak Barat dikuasai oleh

bangsa Eropa. Tanah dengan hak Barat atau lazim disebut dengan tanah-tanah Eropa, hampir

semuanya terdaftar pada kantor pendaftaran tanah. Tanah-tanah Eropa ini tunduk pada hukum

38
Abdurrahman, 1978, Masalah pencabutan Hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonersia,
Seri Hukum Agraria I, Alumni Bandung, h. 12
39
Bushar Muhammad, 1978, Asas-asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakrta, h. 11-12
Eropa atau hukum Barat, sedangkan tanah Indonesia seperti tanah ulayat, tanah milik, tanah

usaha, tanah gogolan, tanah bengkok dan lain diatur dengan hukum adat. 40

Undang-undang yang mengatur tentang pertanahan adalah Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut UUPA.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan tanah adat sebelum

berlakunya UUPA adalah tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat, sedangkan setelah

berlakunya UUPA tanah adat diartikan terbatas pada tanah-tanah ulayat, baik yang dikuasai

langsung oleh persekutuan hukum adat maupun yang dikuasai oleh anggota masyarakatnya

dengan status hak mempergunakan dan menikmati saja sesuai Pasal 4, disebutkan :

(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang
dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam Ayat (1) dalam pasal ini memberi
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh
bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan
yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas
menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Sedangkan dalam Pasal 5 UUPA disebutkan bahwa :


“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama ”.

Tanah dari masyarakat hukum adat disebutkan sebagai hak ulayat yang diakui sepanjang

masih ada, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, hal ini tertuang dalam

Pasal 3 UUPA yaitu :

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak


ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga
sesuai
40
Eddy Ruchiyat, 1984, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA (UU No. 5
Tahun 1960), Alumni, Bandung, h. 13
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan
lain yang lebih tinggi ”

Menurut Imam Sudiyat, hak ulayat yang olehnya disebut dengan istilah hak purba

adalah hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan/gens/stam), sebuah serikat desa-desa

(dorpenbond) atau biasanya oleh suatu desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya

dalam lingkungan wilayahnya. 41

Hak ulayat memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan

bebas menggunakan tanah-tanah liar yang ada diwilayah kekuasaannya;

2. Orang luar hanya boleh mempergunakan tanah itu dengan ijin penguasa

persekutuan tersebut, tanpa ijin tersebut ia dianggap melakukan pelanggaran;

3. Warga persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah hak purba

dengan restriksi hanya untuk keperluan somah/brayat/keluarganya sendiri, jika

dipergunakan untuk kepentingan orang lain ia dipandang sebagai orang asing,

sehingga harus mendapat ijin terlebih dahulu. Sedangkan orang asing hanya

diperkenankan mengambil manfaat dari wilayah hak purba dengan ijin kepala

persekutuan hukum disertai pembayaran upeti, mesi, (recognatie, retrebutie)

kepada persekutuan hukum;

4. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas berbagai hal yang terjadi dalam

wilayahnya, terutama yang berupa tindakan melawan hukum yang merupakan

delik;

5. Hak purba tidak dapat dilepaskan, dipindah tangankan, diasingkan untuk

selamanya;

41
Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Cetakan Kedua, Liberty, Yogyakarta, h. 2
6. Hak purba meliputi juga tanah yang sudah digarap, yang sudah diliputi oleh hak

perorangan. 42

Tanah-tanah adat di Bali dikenal dengan nama “tanah druwe desa” yang

sesungguhnya merupakan penguasaan desa pakraman mempunyai kedudukan yang sangat

kuat dan demikian penting dalam kehidupan masyarakat hukum adat di Bali, karena bukan

saja terkait erat dengan persekutuan hukum adatnya yang disebut desa pakraman, juga karena

semua tanah yang dikuasai oleh “krama desa” mempunyai keterikatan berupa kewajiban

“ngayah desa”, dalam arti melakukan kewajiban-kewajiban desa yang berhubungan dengan

desa pakraman, bagi mereka yang memanfaatkannya dan juga mempunyai ikatan erat dengan

kewajiban terhadap agama (Agama Hindu), yakni terhadap Kahyangan Tiga (Kahyangan

Desa.

Hubungan antara desa pakraman dengan tanah adat yang dikuasai mempunyai

hubungan yang bersifat religio magis, sehingga keterikatan terhadap kewajiban krama desa

(anggota) desa adat tersebut yang mempunyai nilai filosofi yang tinggi dalam

implementasinya dapat mengharmoniskan hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan

manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam yang tercermin dalam Tri Hita

Karana. Khusus keharmonisan hubungan dengan alam diwujudkan dalam bentuk penguasaan

atau pemanfaatan tanah (bumi) atau hak ulayat (tanah adat) sesuai dengan aturan desa

pakraman pada wilayahnya masing-masing.

Kebijakan pemerintah dalam pengaturan dan pemungutan pajak bumi dan bangunan

tidak diperkenankan selain yang telah diatur dalam undang-undang pajak daerah dan

retribusi daerah yang merupakan pendapatan daerah Kabupaten/Kota, menjadi Pendapatan

Asli Daerah (PAD), juga diatur dengan menerbitkan Peraturan Daerah beserta peraturan

pelaksanaannya di tingkat Kabupaten/Kota. Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan semakin

42
Ibid, h. 2-3
menarik untuk dikaji mengingat jenis pajak ini bersifat meluas dengan melibatkan sebagian

besar rakyat/ penduduk sebagai subjeknya. Pada umumnya setiap orang atau badan yang

secara nyata mempunyai hak atas bumi atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau

memiliki, menguasai dan atau memperoleh manfaat atas bangunan yang bersangkutan bisa

dikenakan pajak bumi dan bangunan. Sedangkan objek pajak bumi dan bangunan adalah

bumi dan/atau bangunan. Bumi adalah permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi

yang ada dibawahnya, seperti sawah, ladang, kebun, tanah, pekarangan, tambang dan

sebagainya.

Bangunan merupakan konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap

pada tanah dan/atau perairan diwilayah Republik Indonesia. Tidak dikecualikan sejengkal

tanahpun yang luput dari jangkauan pajak ini, kecuali yang ditentukan lain oleh undang-

undang. Meskipun tanah sangat penting dalam penghidupan dan kehidupan manusia, juga

tanah sebagai sumber daya utama dalam masyarakat Indonesia, ternyata dimasyarakat nilai

(value) tanah justru mempunyai makna yang lebih luas dibandingkan dengan wujud fisik

tanah, karena nilai tanah terkait dengan aspek ekonomi dan sosial.

Penguasaan dan pemanfaat tanah adat (ulayat) oleh krama desa adat merupakan

kekayaan desa dan sebaliknya sebagai warga desa berkewajiban untuk mengikuti aturan-

aturan yang dibuat oleh desa pakraman. Pemanfaatan bumi dan bangunan memberikan

keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang

mempergunakan dan menikmati atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya, dan oleh

karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau

kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak, sehingga peran serta masyarakat

merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional, sehingga diperlukan

adanya kebijakan dan langkah-langkah pemerintah didalam pengaturan dan pemungutan

pajak secara transparan dan akuntabel.


Pengaturan perundang-undangan tentang pajak memberikan kepastian hukum,

sebagaimana pernyataan yang disampaikan oleh Rochmat Soemitro : “Undang-undang pajak

baru juga bertujuan memberikan kepastian hukum, tentang kepastian hukum ini memang

belum terdapat kesesuaian faham. Akan tetapi arti yang pasti ialah bahwa ketentuan undang-
43
undang tidak boleh memberikan keragu-raguan”. Pernyataan tersebut tentang kepastian

hukum mencerminkan adanya kepastian dalam pengaturan dan pemungutan pajak sesuai

dengan perundangan yang berlaku serta terciptanya perpajakan yang sederhana, mudah dan

adil, sehingga perpajakan jangan sampai menimbulkan tumpang tindih antara satu pajak

dengan pajak lainnya, sehingga mengakibatkan beban pajak berganda bagi masyarakat,

dengan tetap mengacu pada perundang-undangan yang berlaku.

Kepastian hukum pajak pada dasarnya lebih mengutamakan pada kepentingan

pemenuhan kewajiban perpajakan oleh masyarakat wajib pajak dan pengamanan penerimaan

negara, bukannya pada maksud untuk menghukum wajib pajak. Sehubungan dengan hal

diatas, pentingnya kepastian hukum dan kedudukan hukum tanah adat di Bali terhadap

pengaturan pajak bumi dan bangunan, sebagai perujudan pengakuan negara yang

menghormati satuan-satuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

merupakan landasan filosofi dari suatu negara hukum. Aspek keadilan dalam persoalan

perpajakan memang bisa menjadi perdebatan pengambil kebijakan dalam pelaksanaan

pemungutan pajak. Dalam prakteknya, kegiatan pemungutan menjadi tolok ukur keberhasilan

menghimpun penerimaan negara, disisi lain perkecualian yang tidak dikenakan pajak bumi

dan bangunan menjadikan penerimaan pajak kurang optimal.

Berbagai permasalahan normatif terkait dengan problematik filosofi, sosiologi dan

yuridis terhadap kepastian hukum pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap tanah adat

di Bali menjadi perhatian dan kajian dalam disertasi ini, utamanya kepastian hukum dan

43
Rochmat Soemitro, 1991, Pajak Ditinjau dari Segi Hukum, PT Eresco, Bandung, hal. 6
kedudukan hukum tanah adat di Bali. Terkait dengan hal tersebut, problematika yuridis

adalah belum adanya kejelasan pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap tanah adat di

Bali sebagai hak dan perlindungan tanah masyarakat adat serta kedudukannya yang tidak saja

bersifat yuridis akan tetapi bersifat religius magis sebagai kepercayaan dan keyakinan dari

masyarakat hukum adat di Bali. Sedangkan problematika sosiologis, dimana dewasa ini

kecendrungan mengabaikan hak dan perlindungan tanah adat sebagai kesaatuan masyarakat

hukum adat. Dari problematika yuridis disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun

1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 12

Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak

Bumi dan Bangunan, dalam Pasal 3 Ayat (1) disebutkan objek pajak yang tidak dikenakan

(pengecualian) Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek yang : pada huruf c menyebutkan :

merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah

pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.

Objek pajak (tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa) yang diperkecualikan tidak

dikenakan pajak bumi dan bangunan belum secara jelas menyebutkan tanah desa adat.

Kalimat tersebut dapat memberi peluang multitafsir, kabur dan ketidakjelasan, sehingga

menjadikan norma kabur dan tidak menjamin suatu kepastian hukum.

Permasalah ini menjadikan kelemahan dalam suatu produk hukum termasuk produk

hukum dibidang perpajakan, sebagaimana dikemukakan oleh Neil Mac Cormick yang dikutip

oleh Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati yang menyatakan bahwa “Tidak semua

aturan hukum dan tidak semua produk legislatif dirumuskan dalam bentuk verbal yang tepat,

yang diharapkan memberikan jawaban yang jelas terhadap persoalan hukum praktis. Aturan
hukum yang dirumuskan dalam bahasa, seringkali merupakan rumusan yang terbuka maupun

rumusan yang kabur.” 44

Ketentuan Undang-undang pajak seperti diatas dapat menimbulkan ketidak pastian

dan membuka peluang bagi wajib pajak maupun kebijakan pemerintah daerah untuk

mematuhi atau tidak mematuhi ketentuan pasal yang bersangkutan. Idialnya kata-kata yang

dinormakan dalam peraturan perundang-undangan haruslah mengandung ketegasan, agar

tidak dimanfaatkan lain selain yang diatur dalam perundang-undangan yang bersangkutan.

Untuk itu maka “Bahasa hukum harus singkat, tegas, jelas tanpa mengandung keragu-raguan

dan tanpa mengandung arti ganda “ 45 Dari uraian latar belakang tersebut diatas, bahwa suatu

kepastian hukum dalam pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap tanah adat di Bali

dapat memperjelas kedudukan tanah adat di Bali bagian dari harta kekayaan masyarakat

hukum adat yang telah mendapatkan pengakuan dan penghormatan negara sebagai kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya yang masih hidup dan berkembang,

dengan demikian rumusan masalah dalam penelitian adalah sebagaimana dibawah ini.

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian pada latar belakang tersebut, maka dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kepastian hukum pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap

Tanah Adat di Bali ?

2. Bagaimanakah kedudukan hukum tanah adat di Bali didalam pengaturan Pajak

Bumi dan Bangunan ?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua tujuan penelitian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus,

sebagai berikut :

44
Philipus M.Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gajah Mada Universityn
Press, Yogyakarta, h. 24
45
Rochmat Soemitro, 1991, Pajak Ditinjau dari Segi Hukum, PT. Eresco, Bandung, h. 6
1.3.1. Tujuan Umum

adalah untuk mengetahui dan memahami serta menganalisa pengaturan Pajak

Bumi dan Bangunan.

1.3.2. Tujuan Khusus

Mengenai tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini sesuai dengan

permasalahan yang dibahas adalah sebagai berikut :

a. Untuk memahami dan menganalisa kepastian hukum pengaturan Pajak

Bumi dan Bangunan terhadap Tanah Adat di Bali.

b. Untuk memahami dan menganalisa kedudukan hukum tanah adat di Bali

dalam pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan.

1.4. Manfaat Penelitian

Mengenai manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, dapat dibedakan atas manfaat

teoritis dan manfaat praktis.

1.4.1. Manfaat Teoritis,

Penelitian ini disusun untuk dapat mengembangkan pengetahuan dibidang hukum

khususnya perpajakan dan hukum kemasyarakatan (Hukum Adat) pada

umumnya, serta Hukum Tata Negara maupun Hukum Administrasi Negara.

1.4.2. Manfaat Praktis,

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi desa pakraman (adat), aparat

Pemerintah dilingkungan Pemerintah Daerah, akademisi dibidang perpajakan,

maupun para legislator penyusun produk hukum dibidang pengaturan Pajak Bumi

dan Bangunan terhadap Tanah Adat di Bali.


1.5. Orisinalitas Penelitian

Untuk menghindari adanya duplikasi penulisan pada disiplin yang sama, mengingat

perkembangan ilmu hukum semakin maju dan diminati, khususnya penelitian dibidang

hukum pajak, beberapa disertasi yang penulis temukan adalah sebagai berikut :

NO NAMA JUDUL POKOK KETERANGAN


DISERTASI PENELITIAN
1 I Putu Bagiaarta Pengaturan Ada dua masalah Disertasi yang
Penyelesaian yang menjadipokok telah dibukukan
Sengketa Pajak penelitian yaitu : tersebut digunakan
Pertambahan 1. Apakah untuk memperluas
Nilai melalui pengaturan pengetahuan dan
Pengadilan Pajak Penyelesaian wawasan tentang
(Kajian Kepastian sengketa PPN perpajakan
Hukum dan melalui
Keadilan). 46 Pengadilan Pajak
memberi
kepastian hukum
bagi WP?
2. Apakah
pengaturan
penyelesaian
sengketa PPN
melalui
Pengadilan Pajak
member keadilan
bagi WP?
2 Edi Slamet Irianto Pajak Negara dan  Bagaimana Disertasi yang
Demokrasi, menyiasati agar telah dibukukan
Konsep dan pengaruhpolitik tersebut digunakan
Implementasinya atas kewajiban penulis untuk
di Indonesia perpajakan tidak memperkaya
dominan. dalam menganalisa
 Otonomi Daerah politik hukum
diberikan ruang pajak. Otda dan
yang lebih luas kewenangan
dengan daerah
desentralisasinya
 Pembagian
kewenangan
belum seimbang
3 Rochmat Soemitro Peradilan Pergaulan di Barat Disertasi yang
Administrasi melahirkan pemikiran telah dibukukan
dalam Hukum individualistis dan tersebut digunakan

46
I Putu Bagiarta, 2012, Disertasi : Pengaturan Penyelesaian Sengketa Pajak Pertambahan Nilai
melalui Pengadilan Pajak (Kajian Kepastian Hukum dan Keadilan), Universitas Brawijaya, Malang.
Pajakdi Indonesia libralisme, Indonesia untuk memperluas
berfalsafah Pancasila pengetahuan dan
berjiwa wawasan tentang
gotongroyong. hukum pajak di
Penelitian Indonesia
menemukan
peradilan satu-
satunya dalam bidang
administrasi dianggap
murni adalah
peradilan pajak yaitu
Majelis Pertimbangan
Pajak, karena
tercermin paradigma
yang bersengketa ada
dua pihak dan
lembaga pemutus
independen.
4 Muhammad Riza Penerapan Asas Mengangkat tiga Disertasi yang
Fahlevi Efisiensi dalam masalah yaitu : telah dibukukan
Pengaturan dan 1. Mengapa efisiensi tersebut digunakan
pemungutan mempengaruhi untuk memperluas
Pajak di pembentukan pengetahuan dan
Indonesia (Studi hukum pajak yang wawasan tentang
atas Pengaturan menjadi pengaruh
pemungutan dasarpemungutan pembentukan
Pajak Penghasilan Pajak penghasilan hukum pajak, dan
Berdasarkan di Indonesia peraturan
Peraturandibawah 2. Mengapa pemungutan pajak
Undang Undang perspektif ekonomi
Tahun 1984- berpengaruh
2006) 47 terhadap peraturan
pemungutan pajak
penghasilan di
Indonesia
3. Sejauh mana
konsep efisiensi
perpajakan
mempengaruhi
pengaturan
pemungutan pajak
dibawah undang
undang

5 Jamal Wiwoho Kebijakan Teori Negara Disertasi yang

47
Muhamad Riza Fahlevi, Disertasi : Penerapan Asas Efisiensi dalam Pengaturan dan Pemungutan
Pajak di Indonesia (Studi atas pengaturan Pemungutan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan dibawah
Undang-undang Tahun 1984-2006), Universitas Indonesia, Jakarta.
Pemerintah dalam kesejahteraan telah dibukukan
menyelesaikan (walfare state). tersebut digunakan
sengketa pajakKewajiban membayar untuk memperluas
sebagai saranapajak sesuai dengan pengetahuan dan
untuk proposi masing- wawasan tentang
mewujudkan masing. Tolok ukur keadilan yang
keadilan keadilan yaitu didasarkan atas
kemampuan teori daya pikul
membayar (ability yaitu kemampuan
to pay) dan membayar.
berdasarkan
prinsip keuntungan
(benefit principles)
6 Muhammad Perlindungan Wajib pajak tidak Disertasi yang
Djafar Saidi Hukum Wajib mendapat perlakuan telah dibukukan
pajak dalam yang semestinya dari tersebut digunakan
Menyelesaikan fiskus,karena untuk memperluas
Sengketa pajak peraturan perundang- pengetahuan dan
undangan meletakkan wawasan tentang
sifat memaksa dalam perlindungan
pemungutan pajak wajib pajak

Disertasi tersebut pada dasarnya meneliti tentang pajak, tentang sengketa pajak, peradilan

pajak dan sebagainya. Walaupun mengenai perpajakan akan tetapi mengambil kajian dan

penelitian yang berbeda. Disertasi tersebut juga menjadi bagian dari pengetahuan, wawasan

dan informasi berkaitan dengan pajak yang baru penulis dapatkan, akan tetapi khusus

penelitian tentang kepastian hukum pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap tanah adat

di Bali belum ada yang meneliti masalah tersebut. Dengan demikian membuktikan bahwa

orisinalitas penulisan ini dapat dijamin dan belum pernah ada yang menulis sebelumnya.

1.6. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

Kajian pustaka dan kerangka berpikir, penulis kemukakan kajian pustaka dari teori-

teori hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, doktrin, yurisprudensi, hasil

penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini, seperti teori negara hukum, teori

kepastian hukum, teori perundang-undangan, teori keadilan, teori harmonisasi hukum, teori

kewenangan, serta konsep dan asas yang berkenaan dengan pengaturan pajak bumi dan

bangunan atas tanah adat, konsep masyarakat hukum adat dan konsep desa pakraman di Bali.
Kerangka berpikir dalam penelitian ini, diuraikan dalam sistimatika, bagian uraian

yang menjadikan kerangka berpikir secara utuh. Bagian uraian yang dimaksud adalah

mengenai judul penelitian yang nantinya menjadi suatu tulisan disertasi yang berjudul

Kepastian Hukum Pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap Tanah Adat di Bali.

Selanjutnya diuraikan tentang latar belakang masalah yang dijiwai dari problematik filosofi

yaitu belum sepenuhnya ada kejelasan dalam pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap

tanah adat di Bali sebagai hak dan perlindungan tanah masyarakat adat, serta kejelasan

terhadap kedudukan tanah adat yang bersifat religio magis. Problematika sosiologis, yaitu

ada kecendrungan mengabaikan hak dan perlindungan tanah adat sebagai kesatuan

masyarakat adat. Serta problematika yuridis, yaitu dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, belum secara jelas

(norma kabur) menyebutkan tanah desa adat.

Sehubungan dengan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dengan

mengemukakan dua permasalahan yakni tentang Bagaimanakah kepastian hukum tentang

pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap tanah adat di Bali? Serta Bagaimanakah

kedudukan hukum tanah adat di Bali di dalam pengaturan pajak bumi dan bangunan?. Untuk

dapat menganalisa rumusan masalah, maka kerangka teoritik yang mendukung dan menjadi

pisau analisa dalam pembahasan, adalah seperti teori negara hukum, teori kepastian hukum,

teori kewenangan, teori keadilan, teori perundang-undangan, teori harmonisasi hukum.

Selanjutnya dalam metode penelitian dilakukan dengan penelitian hukum normatif, yaitu

pendekatan undang-undang, pendekatan konsep, dan asas hukum. Bagian akhir adalah hasil

dan pembahasan, yaitu mengenai perundang-undangan perpajakan yang dapat memberikan

kepastian hukum dan kedudukan hukum terhadap tanah adat di Bali, sebagai bagian dari

pembahasan adalah mengenai hakikat perpajakan, desa pakraman dan tanah adat. Pada

kesimpulan dan saran nantinya dijelaskan terhadap hasil dari pembahasan dan penelitian
sebagaimana uraian tersebut diatas. Untuk jelasnya diuraikan dalam sistematika kerangka

berpikir dibawah ini.

Kerangka berpikir dalam penelitian ini, memuat sistematisasi masalah sebagai berikut :

Judul Penelitian : KEPASTIAN HUKUM PENGATURAN PAJAK BUMI DAN


BANGUNAN TERHADAP TANAH ADAT DI BALI

Latar Rumusan Masalah Landasan/ Kajian Teoritik Metode Penelitian Hasil dan
Belakang Pembahasan
Masalah

Filosofis: Teori1 negara


Penelitian Hukum Normatif, hukum,
pendekatan Undang-Undang, Filosofis, Historis, Pendekatan Konsep, PBB
Pengaturan asas- asas hukum, Teo
bagaimanakah kepastian hukum tentang pengaturan
Teori kepastianPBB terhadap
hukum, Teoritanah adat di Bali
Per Undang- ?
Undangan,
Tanah adat di Bali terhadap tanah
Teori Keadilan, Teori Harmonisasi Hukum,
mendapat adat di Bali tidak
teori kewenangan
pengakuan dalam secara jelas dlm
konstitusi UUD
pengaturannya
NRI 1945, sebagai
hak dan sbg perkecualian
perlindungan pembayaran
masyarakat adat pajak sehingga
yang bersifat tidak ada suatu
riligiomagis, serta kepastian
kejelasan tentang hukum terhadap
kedudukan tanah
harta kekayaan
adat yang bersifat
sosiomagis masyarakat
hukum adat.
Sosiologis: 2.
Masyarakat hukum hukum tanah adat di Bali didalam pengaturan PBB?
bagaimanakah kedudukan Pengakuan
adat dan tanah dan
adat di Bali Perlindungan
mendapat Teori Negara Hukum, Teori Kewenangan, Teori Per UU, Teori keadilan
terhadap desa
pengakuan dan
adat
perlindungan dari
masyarakat dan memberikan
pemerintah daerah kedudukan
sebagai kesatuan hukum yang
masyarakat hukum jelas terhadap
adat. tanah adat di
Kesimpulan :
1. Kepastian hukum Pengaturan PBB terhadap tanah Bali
Yuridis:
Pada tingkatan UU adat di Bali tidak secara jelas dalam pengaturannya
No 12 Tahun 1985 sebagai perkecualian pembayaran PBB, namun
tentang PBB,belum kebijakan dalam Perda Kab/Kota terhadap tanah adat Pengaturan
ada suatu diakui keberadaannya oleh masyarakat dan PBB, Desa
kepastian pemerintah, sehingga implikasinya tidak mendapat Pakraman
hukum terhadap jaminan kepastian hukum. dan Tanah
menyebutkan 2. Kedudukan hukum tanah adat di Bali sebagai hak
Adat
tanah desa adat dan perlindungan masyarakat hukum adat yang
Pasal 3 ayat (1) bersifat religiusmagis, diakui keberadaannya oleh
huruf c, sedangkan masyarakat dan pemerintah, sehingga dapat
dalam Perda dibebaskan dari pembayaran PBB.
Kabupaten/Kota Saran :
se- Bali mengakui 1. Pembentuk UU, Pemerintah dan Pemda memberi
perlindungan dan penghormatan kepada masyarakat
hukum adat untuk mendapat kepastian hukum.
2. Pemerintah dan Pemda dalam mengambil kebijakan
terhadap tanah adat di Bali agar memperhatikan
kedudukan hukum masyarakat hukum adat.
1.7. Metoda Penelitian

Kajian mengenai metoda penelitian ini dimulai dari jenis penelitian, jenis pendekatan

masalah, sumber bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, dan teknik analisa bahan

hukum, yang selanjutnya diuraikan sebagai berikut :

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini yang berjudul Kepastian Hukum Pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan

terhadap Tanah Adat di Bali, dikualifikasikan sebagai penelitian normatif diskreptif (das

sollen) yaitu penelitian yang dilakukan terhadap norma-norma hukum yang menetapkan

pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap tanah adat di Bali, oleh pejabat yang

mempunyai kewenangan apa adanya. Sifat penelitian ini juga penelitian normatif perskreptif

(das sein) yaitu penelitian yang untuk kedepan futinistis (norma pengaturan pajak bumi dan

bangunan) agar peraturannya direvisi (reformulasi) sesuai dengan tujuan reformasi total.

Penelitian ini pada hakekatnya berangkat dari adanya norma kabur (unclear of norm)

sebagaimana dalam intepretasi gramatikal yaitu mengartikan suatu bagian kalimat menurut

bahasa hukum, terkait dengan pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap tanah desa

adat di Bali yang tertuang didalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak

Bumi dan Bangunan, dan telah diubah dengan Undang-Undang 12 Tahun 1994, khususnya

pasal 3 Ayat (1) huruf c.

b. Jenis Pendekatan Masalah

Didalam penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif dan yuridis filosofis

berkenaan dengan tinjauan kepastian hukum dan kedudukan hukum dalam pengaturan Pajak

Bumi dan Bangunan terhadap tanah adat di Bali. Pendekatan yang digunakan dalam rangka

mendiskripsi permasalahan hukum adalah pendekatan perundang-undangan (statute


approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative

approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). 48

Terkait dengan pendekatan-pendekatan tersebut, pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan perundang-undangan (statute approach), dilakukan untuk memahami berbagai

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengaturan pajak bumi dan bangunan

terhadap tanah adat di Bali. Pendekatan tersebut juga diterapkan atas dua masalah diatas yang

didasari pada norma/kaidah yang berlaku sesuai dengan wewenang penetapan pajak bumi dan

bangunan., selain itu juga digunakan pendekatan kasus (case approach) yaitu untuk

mengetahui adanya penetapan objek pajak yang tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan

terhadap tanah desa adat di Bali oleh pemerintah daerah. Pendekatan historis (historical

approach) yaitu pendekatan yang dilakukan terhadap kedudukan tanah adat di Bali pada

jaman penjajahan/kolonial, sedangkan pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu

pendekatan yang diterapkan untuk mencari pengertian dari subjek tanah adat di Bali dari desa

pakraman/desa adat.

c. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum bagi penelitian hukum normatif terdiri atas bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder. Terkait dengan bahan hukum, C.F.G. Sunaryati Hartono mengatakan

perbedaan sebagai berikut “Bahan hukum (primary sources of authorities), seperti undang-

undang, dan bahan hukum sekunder (secondary sources of authorities) misalnya makalah dan

buku-buku yang ditulis oleh para ahli, karangan berbagai panitia pembentukan hukum (law

reform organization), dan lain-lain”. 49

Dalam penelitian ini, digunakan bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-

undangan yang berlaku terkait dengan pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap tanah

48
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 93
49
Sunaryati Hartono C.F.G, 2006, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Alumni,
Bandung, hal.134
adat di Bali seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan

Bangunan, yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan,

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

dengan peraturan pelaksanaannya, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997, diubah dengan

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sampai dengan Peraturan Daerah

Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 dan diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Provinsi

Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman, serta Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.

Selain itu dalam penelitian ini juga digunakan bahan hukum sekunder yang mencakup

buku-buku, penjelasan Undang-Undang, hasil penelitian, pendapat pakar yang berkaitan

dengan kepastian hukum, perpajakan,tanah adat dan desa pakraman.

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Mengenai teknik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum primer dan

sekunder dikumpulkan dan disistematisasi dengan Pengumpulan bahan hukum juga

dilakukan dengan pencarian bahan hukum dari Perpustakaan, Instansi pemerintah dan dari

sumber-sumber yang dapat menunjang penulisan penelitian ini. Dari bahan-bahan yang

terkumpul, kemudian diinventarisir dan diklasifikasikan bahan hukum primer, sekunder serta

tersier dengan metoda sistimatis, maksudnya mengkaitkan bahan hukum yang satu dengan

bahan hukum lainnya sehingga merupakan satu kesatuan. Bahan-bahn hukum ini

dikumpulkan dengan sistem kartu (card system)

Dalam sistem kartu, bahan hukum primer dicatat mengenai peraturan perundang-

undangan bersangkutan beserta substansinya yang terkait dengan permasalahan dalam

penelitian ini. Selanjutnya dalam kartu juga dicatat bahan hukum sekunder seperti pendapat
para ahli yang dikemukakan dalam kepustakaan yang dibahas beserta komentar atas

pendapatnya.

e. Teknik Analisis Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum yang dikumpulkan dalam penelitian ini, dianalisa dengan

langkah-langkah deskripsi, sistematisasi dan eksplanasi. Deskripsi meliputi isi maupun

struktur hukum positif dengan tujuan untuk menemukan isi dan makna aturan hukum. Jadi

pada tahap ini dilakukan pemaparan aturan hukum, dan pemaparan aturan hukum sangat
50
tergantung pada teori interpretasi yang dianut. Dalam kaitannya dengan penelitian ini,

dilakukan pemaparan segala bentuk aturan hukum yang berkaitan dengan isu hukum yang

dikaji dan juga hubungan hierarki antara aturan hukum tersebut jika ternyata terdapat norma

kabur, dilakukan interpretasi.

Philipus M. Hadjon mengintrodusir metoda interpretasi hukum sebagai berikut :

1. Interpretasi gramatikal : mengartikan suatu term hukum atau suatu bagian kalimat
menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum;
2. Interpretasi sistematis : dengan titik tolak dari sistem aturan mengartikan suatu
ketentuan hukum;
3. “west-en rechtshistorische interpretatie” menelusuri maksud pembentukan
undang-undang adalah suatu “wetshistorische interpretatie” dalam hal usaha
menemukan, menelusuri perkembangan hukum (aturan) disebut
“rechtshistorische interpretatie”;
4. Interpretasi perbandingan hukum : mengusahakan penyelesaian suatu isi hukum
dengan membandingkan berbagai stelsel hukum;
5. Interpretasi antisipasi : menjawab suatu isu hukum dengan mendasarkan pada
suatu aturan yang belum berlaku;
6. Interpretasi teleogis : setiap interpretasi pada dasarnya adalah teleologis. 51

Dalam penelitian ini interpretasi hukum yang dipergunakan adalah interpretasi

gramatikan, interpretasi otentik, interpretasi sistematis, dan west en-rechtshistorische

50
Bernard Arief Sidharta, 1999, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, cetakan pertama, Mandar
Maju, Bandung, h. 150
51
Philipus M. Hadjon, 1994, Pengkajian Hukum Dogmatik (Normatif), Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya, h. 1-2
interpretatie. Langkah sistimatisasi dilakukan untuk memaparkan isi dan struktur hukum atau

hubungan hirarkhis antara aturan-aturan hukum yang didasarkan atas dua asumsi, yaitu

Pertama,aturan hukum disamakan dengan norma yang isinya adalah an ought or a may,

Kedua, sistem hukum terdiri atas kumpulan norma yang diinterpretir oleh ilmuwan hukum
52
sebagai suatu bidang pengertian yang non kontradiktor. Dalam tahapan sistematisasi ini

dilakukan koherensi, rasionalisasi dan penyederhanaan aturan-aturan hukum. Koherensi

dilakukan antar aturan-aturan hukum yang berkaitan agar dapat dipahami dengan baik,

sedangkan rasionalisasi dan penyederhanaan dilakukan dengan mengkonstruksi aturan-aturan

hukum umum dan pengertian-pengertian agar bahan hukum tertata lebih baik, lebih masuk
53
akal (logis) dan lebih dapat ditangani (hanteerbaar). Dalam tahap eksplanasi dilakukan

penguraian secara jelas dan analisis terhadap makna yang terkandung dalam aturan hukum

yang berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini, sehingga membentuk sutu pengertian
54
yang terintegrasi dan logis. Analisis hukum merupakan suatu open system, artinya aturan

hukum dan keputusan harus dipikirkan dalam suatu hubungan dan norma hukum bertumpu

pada asas hukum dan dibalik asas hukum dapat disestimasikan gejala-gejala lainnya.

1.8. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini, dibagi dalam 5 (lima) Bab, yaitu :

1.8.1 BAB I Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus, manfaat penelitian,

orisinalitas penelitian, kajian pustaka dan kerangka berpikir, metode penelitian terdiri

dari jenis penelitian, jenis pendekatan masalah, sumber bahan hukum, teknik

pengumpulan bahan hukum dan teknik analisis bahan hukum, serta rencana/rancangan

sistematika disertasi. Pada penelitian ini sitematika penulisan menguraikan tentang

adanya norma hukum dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang nantinya


52
Ibid, h. 6
53
Bernard Arief Sidharta, Loc. Cit.
54
Philipus M. Hadjon , Loc.Cit.
dikaitkan dengan pengaturan tentang pajak bumi dan bangunan terhadap tanah adat di

Bali. Dalam uraian bab ini juga akan dikaitkan dengan otonomi daerah yang

mempunyai kewenangan dalam mengatur dan mengurus daerahnya, uraian tentang

tanah adat yang dimiliki dalam penguasaan desa pakraman (desa adat). Dengan

demikian diperlukan pengkajian dari aspek kepastian hukum dan aspek kedudukan

hukum terhadap permasalahan yang ada. Ruang lingkup pembahasan penelitian ini

dalam bab ini akan diuraikan mengenai permasalahan hukum karena tanpa adanya

permasalahan tidak mungkin akan dilakukan pengkajian selanjutnya.

1.8.2. Dalam BAB II, diuraikan mengenai landasan/kajian teoritik, karena teori-teori atau

konsep-konsep yang diuraikan dalam bab ini dipakai sebagai pisau analisis atau

pengkajian terhadap permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Sebagai grand

teori dipergunakan teori negara hukum, teori kepastian hukum, sebagai midle teori

digunakan teori perundang-undangan, teori harmonisasi hukum, teori kewenangan,

dan teori keadilan , karena penguasaan tanah adat dilakukan oleh desa pakraman.

Selanjutnya pengkajian ini diselesaikan dengan apllaid teori seperti asas-asas

pembenaran bahwa sistem perpajakan mengarah pada sistem perpajakan yang

sederhana, mudah, adil dan memberi kepastian hukum, serta pengertian atau difinisi

dan fungsi tentang Pajak, tanah adat dan desa pakraman.

1.8.3. BAB III membahas dan mengkaji permasalahan hukum yang pertama yaitu tentang

bagaimanakah kepastian hukum pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap

tanah adat di Bali?. Mengingat tanah adat yang ada di Bali dikuasai oleh masyarakat

desa adat atau desa pakraman yang merupakan kesatuan masyarakat hukum adat di

Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup

masyarakat umat Hindu, secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau

Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta
berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan mengenai pengaturan pajak

bumi dan bangunan ini terkait dengan ketidak jelasan dari Undang-Undang

perpajakan, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang terakhir dirubah

dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pajak Bumi dan Bangunan,

dalam Pasal 3 Ayat (1) huruf c, mengenai pengaturan tentang objek pajak yang

dikecualikan dipungut pajak bumi dan bangunan yaitu “tanah pengembalaan yang

dikuasai oleh desa”, sehingga hal ini dapat menimbulkan persepsi yang berbeda atau

kabur, ataupun tidak jelas adanya pengaturan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan

terhadap tanah adat di Bali.

1.8.4. BAB IV membahas tentang permasalahan hukum yang kedua, yaitu bagaimanakah

kedudukan hukum tanah adat di Bali didalam pengaturan Pajak Bumi dan

Bangunan?. Adapun fokus pembahasan dalam bab ini terkait dengan kedudukan

hukum tanah adat yang merupakan tanah hak ulayat dikuasai oleh desa pakraman.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan

pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sebagai suatu kelembagaan tradisional,

dalam pasal 18 B ayat (2) yang menyatakan bahwa : “Negara mengakui dan

menghormati satuan-satuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur oleh undang-undang”

Kedudukan hukum dari tanah adat merupakan kewenangan menurut hukum adat

yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang

merupakan lingkungan hidup para warga untuk mengambil manfaat dari sumber

daya alam termasuk tanah diwilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan

kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun

temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah
yang bersangkutan. Masyarakat hukum adat (Desa Pakraman) diatur dalam

Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman,

terakhir diubah dengan Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003.

1.8.5. BAB V adalah bab akhir dari pembahasan penulisan penelitian ini yaitu Bab

Penutup yang menjadi Kesimpulan dan Saran-saran. Kesimpulan ini dibuat

berdasarkan hasil pembahasan atas permasalahan hukum yang dikaitkan dengan

kerangka teoritik sehubungan dengan judul penelitian tersebut yaitu kepastian

hukum pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap tanah adat di Bali. Setelah

kesimpulan dilajukan pula beberapa saran untuk perbaikan-perbaikan yang

dilakukan pada masa yang akan datang yaitu mengenai kepastian hukum dan

kejelasan terhadap kedudukan hukum tanah adat yang ada di Bali dikaitkan dengan

pengaturan tentang pajak bumi dan bangunan.

Anda mungkin juga menyukai