Anda di halaman 1dari 9

RESUME TINDAK PIDANA KHUSUS

DISUSUN OLEH :
NAMA : NPM :
HAROLD AURI 3331120091
DALEN W ARIKS 3331120011
GABRIELLA FAKDAWER 3331120090
HUGO R PRAWAR 3331120094
FEBRIAN BAIBABA 3331120089
YADI PRATAMA 3331120035

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan


berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat  baik materil
maupun spiritual. Untuk merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan
masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian
suatu bangsa yaitu dengan menggali sumber dana yang  berasal dari dalam negeri berupa
pajak. Pajak digunakan untuk membiayai Pembangunan Nasional Indonesia pada dasarnya
dilakukan oleh masyarakat bersama-sama pemerintah. Oleh karena itu peran masyarakat
dalam  pembiayaan pembangunan harus terus ditumbuhkan dengan meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang kewajibannya membayar pajak. Pajak merupakan salah satu
sumber pendapatan negara yang digunakan untuk melaksanakan pembangunan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Pajak dipungut dari warga negara Indonesia dan menjadi salah
satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya.

media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis
Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak (selanjutnya di sebut BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak menimbulkan kerancuan
mengingat obyek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan Pajak (selanjutnya di sebut SKP)
yang masih merupakan lingkup obyek Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya di sebut
PTUN).

B. RUMUSAN MASALAH

1. Pengertian Hukum Pajak...?


2. Dasar- dasar Hukum Pajak…?
3. Tata Cara dan Proses Pemugutan Pajak PBB…?
4. Hambatan dan Masalah Pemungutan PBB…?

2
BAB II
PEMBAHASAN

 
A. Pengertian Pajak
Menurut Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (selanjutnya di sebut UU KUP), Pasal 1 angka (1), “Pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara  bagi sebesar- besarnya
kemakmuran rakyat”. Salah satu instrumen yang digunakan dalam negara untuk
menjalani fungsinya adalah pajak. Pajak dipungut dengan tujuan untuk membiayai
pengadaan  public goods, namun bisa juga pajak dipungut untuk mencapai tujuan
tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Selanjutnya Rochmat Soemitro menyatakan bahwa pajak adalah “iuran rakyat kepada
kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikulir ke sektor  pemerintah)
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa
timbal (tegen prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk
membiayai pengeluaran umum.”Sementara menurut Djajaningrat,

pajak adalah “kewajiban untuk menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada negara
disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan
tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut  peraturan-peraturan yang ditetapkan
pemerintah sert dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara
langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum”.

B. Dasar- Dasar Hukum Pajak


Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan  Pajak
(selanjutnya disebut UU No. 14 Tahun 2002) memang terkesan memunculkan
dualisme bahwa seolah-olah Pengadilan Pajak, yang hanya  berkedudukan di Jakarta,
itu berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan  Pokok Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya
disebut UU No. 14 Tahun 1970) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999 dan terakhir diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU No. 4 Tahun
2004).

C. Tata Cara dan Proses Pemugutan Pajak PBB


Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan :
Menurut Erly Suandy, 2002 : 64 yang dimaksud pajak bumi dan
bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak
terutang ditentukan oleh keadaan objek atau bumi, tanah dan atau
bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut

3
menentukan besar pajak.Menurut Suharno, 2003 : 32 yang dimaksud Pajak Bumi dan
Bangunan adalah penerimaan pajak pusat yang sebagian besar hasilnyadiserahkan
kepada daerah. Dalam Anggaran Pendapatan dan BelanjaDaerah (APBD), penerimaan
Pajak Bumi dan Bangunan tersebutdimasukkan dalam kelompok penerimaan bagi
hasil pajak.Dari pengertian tentang Pajak Bumi dan Bangunan diatas maka
peneliti menyimpulkan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan negara
yang berasal dari rakyat atas kebendaan objek ataubumi, tanah dan atau bangunan
yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada daerah masing-masing untuk
meningkatkan pendapatan daerah tersebut.

 Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan :


Landasan Hukum PBB, adalah Undang – Undang Nomor 12
Tahun 1985 Sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang
Nomor 12 Tahun 1994 tentang PBB.
 Sistem Pemungutan Pajak :
Sistem pemungutan pajak di bagi menjadi tiga cara menurut waluyo yaitu:17
a. Official Asessesment System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pemerintah ( fiskus) untuk menentukan besarnya
pajak yang terutaang. Penggunaan sistem ini biasanya digunakan oleh
pajak bumi dan bangunan, karena melibatkan masyarakat dari semua
lapisan yaitu mereka memiliki, menguasai atau mengambil manfaat dari
bumi dan bangunan selaku subjek pajak.
b. Self Assesment System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri
besarnya pajak yang harus di bayar. Penggunaan sistem ini merupakan
cara yang menuntut warganya untuk bisa melakukan peruahan wajib
pajak sendiri. Penggunaan sistem ini memerlukan kesadaran yang penuh
dari masyarakat yang mmerupakan wajib pajak.
c. With Holding System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ke tiga untuk memotong atau memungut
besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Dalam sistem ini, wajib
pajak bersifat tasif pula, namun yang melakukan tanggung jawab untuk
melakukan pemotongan pajak adalah pihak ketiga.

 Prosedur Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan.


Menurut Mulyadi prosedur adalah suatu urutan kegiatan klerikal, biasanya
melibatkan beberapa orang dalam satu departemen atau lebih yang dibuat untuk
menjamin penanganan secara seragam transaksi perusahaan yang terjadi berulang-
ulang.

4
 Penentuan Objek
Penentuan objek Pajak diaturdalam Undang-Undang Nomr 12 tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1999 Pasal 9
dan 10, adalah sebagai berikut:

Pasal 9:
a) Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan obyek
pajaknnya dengan mengisi Surat pemberitahuan Objek Pajak.

b) Surat pemberitahuan obyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) harus diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani dan
disampaikan kepada Direktorat Jenderal pajak yang wilayah kerjanya
meliputi letak obyek pajak, selambat-lambatnya 100 hari setelah
diterimanya Surat Pemberitahuan Obyek Pajak oleh subyek pajak

c) Pelaksanaan dan tata cara pendaftaran obyek pajak sebagaimana


dimaksud dalam Pasal ayat (1) dan ayat (2) di atur lebih lanjut oleh
menteri keuangan.

 Pengenaan dan Cara Menghitung Pajak Bumi dan Bangunan


Pengenaan dan cara menghitung pajak diatur dalam pasal 6 UU No. 12
tahun 1994, adalah sebagai berikut:

1. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak ( NJOP)


2. Besarnya nilai jual objek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1,
ditetapkan setiap 3 bulan oleh menteri keuangan, kecuali untuk daerah
tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya.
3. Dasar perhitungan pajak adalah nilai jual kena pajak yang ditetapkan
serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari nilai jual
objek pajak.
4. Besarnya prosedur nilai jual kena pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat 3, ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan
memperhatikan kondisi eknonomi masyarakat.

 Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan :


Tata cara pembayaran PBB dala pasal 11 UU No tahuun 1994, adalah
sebagai berikut:

1. Pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak


Terhutang sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat 1 harus
dilunasi selambat-lambatnya 6 bulan sejak tinggal diterimanya Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang oleh wajib pajak.

2. Pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana


dimaksud dalam pasal 10 ayat 1 haruus dinilai selambat-lambatnya 1

5
bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak oleh wajib
pajak.

3. Pajak yang terutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar
atau kurang dibayar dikenakan denda administrasi sebesar 2%
sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sapai denggan hari
pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 bulan.

4. Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 ditambah


dengan hutang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan
Surat Tagihan Pajak yang harus diterimanya Surat Tagihan Pajak oleh
wajib pajak

5. Pajak yang terutang dibayar di bank, kantor pos, giro dan tempat lain
yang ditunjuk oleh menteri keuangan.

6. Tata cara pembayaran dan penagihan sebagaimana dimaksud dalam


ayat(1), (2), (3), (4), (5) diatur leh menteri keuangan.

 Tujuan Pajak Bumi dan Bangunan :


Menurut UUD 1945 pasal 33, bumi meliputi perairan dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Penduduk yang memperoleh
manfaat dari bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya wajar
menyerahkan sebagian dari kenikmatan yang diperoleh kepada negara melalui
pembayaran pajak.
Memberi dasar hukum yang kuat pada pemungutan pajak atas harta tidak bergerak
dan Pajak bumi dan bangunan adalah jenis pajak tidak langsung dan hasil
penerimaannya digunakan untuk kepentingan masyarakat didaerah objek
pajak yang bersangkutan. Sebagian hasil penerimaan pajak bumi dan bangunan
diserahkan kepada daerah. Penggunaan pajak pada daerah diharapkan akan mer
angsang masyarakat untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak. Pemenuhan
kewajiban membayar pajak mencerminkan sifat kegotong-royongan rakyat akan
pembiayaan pembangunan. Adapun yang menjadi tujuan pajak bumi dan
bangunan adalah:
1. Menyederhanakan peraturan perundang-undangan sehingga mudah
dimengerti.
2. Membersihkan pajak atas harta tidak bergerak di semua daerah dan
menghilangkan kesimpangsiuran.
3. Memberikan kepastian hukum pada masyarakat, sehingga rakyat tahu
sejauh mana hak dan kewajibannya.

6
4. Menghilangkan pajak ganda yang terjadi sebagai akibat dari berbagai
undang-undang pajak yang sifatnya sama.
5. Memberikan penghasilan kepada daerah yang sangat diperlukan untuk
menegakkan otonomi daerah dan untuk pembangunan daerah.

D. Hambatan dan Masalah Pemungutan PBB dan Contonya

Melalui implementasi Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi, kewenangan pemungutan pajak dari Pajak Bumi Bangunan Sektor
Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dialihkan kepada pemerintah daerah, dalam hal ini
pemerintah kota dan pemerintah kabupaten. Kondisi tersebut akan menstimulasi
pemerintah daerah untuk berupaya lebih keras mencari potensi pendapatan PAD dari
sektor PBB-P2 pada wilayah kewenangannya, termasuk di wilayah Kota Makassar.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui implementasi pengalihan kewenangan
pemungutan PBB-P2 terhadap penerimaan daerah di Kota Makassar dan (2)
mengetahui faktor penghambat efektivitas pemungutan PBB-P2 di Kota Makassar.
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan pemungutan PBB-P2
oleh Dispenda Makassar meliputi wilayah perkotaan. Data mencakup data primer
yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan lembaga terkait dan data
sekunder dari berbagai terbitan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalihan
pemungutan Pajak Bumi Bangunan P2 dilaksanakan oleh Dispenda Pemerintah Kota
Makassar dengan membentuk lembaga khusus yang berbentuk unit pelaksana tugas
(UPT), yang kewenangan pemungutan mencakup daerah perkotaan. Beberapa upaya
sosialisasi dalam meningkatkan pemungutan PBB-P2, antara lain dengan merevisi
basis data yang diperoleh dari KPP, merevitalisasi pemungutan, meningkatkan
pengawasan hasil pajak, meningkatkan efisiensi administrasi, koordinasi dengan
lembaga yang terkait, untuk pembayaran PBB. Efektivitas pemungutan PBB-P2 yang
telah dilaksanakan oleh Dispenda melalui UPT khusus PBB Kota Makassar
menunjukkan kriteria “sangat efektif”, namun demikian proporsi dari sisi penerimaan
masih rendah. Kenaikan penerimaan tersebut semata-mata adanya kebijakan
menaikkan tarif PBB yang diberlakukan oleh Pemkot. Sedangkan sumbangan PBB
tahun 2012-2014 menunjukkan bahwa peran penerimaan PBB terhadap realisasi PAD
Kota Makassar termasuk dalam kriteria masih rendah.

7
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
1. Bahwa, upaya penyelesaian sengketa utang pajak melalui badan pengadilan  pajak
sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU KUP, Wajib pajak dapat mengajukan
permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan
Keberatan. Sedangkan sebagimana ketentuan Pasal 26 Ayat (1) UU KUP, gugatan
dapat dilakukan oleh WP atau Penanggung Pajak kepada badan peradilan pajak.
Dengan demikian, proses pengajuan banding hanya dapat dilakukan apabila telah
melalui proses keberatan.
 
2. Bahwa, kedudukan pengadilan pajak dalam sitem peradilan di Indonesia adalah
sebagai badan peradilan khusus di lingkungan peradilan Tata Usaha  Negara, namun
demikian tidak murni melaksanakan kekuasaan kehakiman, karena terdapat tugas-
tugas eksekutif yang dilaksanakan oleh Pengadilan Pajak.

 
B. Saran
Seperti diketahui Sengketa Pajak berawal dan perbedaan pendapat antara Wajib pajak dan
Fiskus. Kemudian Wajib Pajak yang bersangkutan mengajukan keberatannya. Dalam
penyampaian perbedaan pendapat dan keberatan dimaksud haruslah dilakukan oleh Wajib
Pajak secara tertulis sebagai sarana bukti bagi upaya pembuktian selanjutnya.
Pengadilan Pajak adalah Pengadilan Banding dan termasuk Gugatan atas tagihan Pajak
terutang. Sebelum mengajukan banding Wajib Pajak haruslah memeriksa lebih dahulu
keputusan dan keberatan persyaratan  banding. Demikian pula persyaratan upaya gugatan atas
tagihan pajak terutang.

8
DAFTRA PUSTAKA

Ali Kadir, Eksistensi Peradilan Pajak di Indonesia Perkembangan Dan  Permasalahannya


(Makalah disampaikan pada kuliah umum Hukum Pajak FHUI Depok, 12 November 2002),
hlm. 21 dikutip dalam
Akhmad Riski Rasyid, “Keberadaan Pengadilan Pajak Dalam Lingkungan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia,” (Skripsi Universitas
Indonesia, Depok, 2003) Bahari U.
Pengantar Hukum Pajak
, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Bachasan Mustafa,
Pokok-pokok Administrasi Negara
, Bandung: Alumni, 1979. Bohari,
Pengantar Singkat Hukum Pajak
,
Jakarta : Rajawali Persada, 1995. Erly Suandy,
Hukum Pajak

Salemba Empat, Yogyakarta, 2000. Dewi Kania Sugiharti,


Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia
,
cet. 1, Bandung: Refika Aditama, 2005. Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan,
Perpajakan Teori dan Aplikasi
,
Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005. Munawir,
Perpajakan
, Liberty, Yogyakarta, 1992. Rochmat Sumitro,
Asas dan Dasar Perpajakan
, Bandung : Eresco, 1990. Rochmat Soemitro,
Masalah Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak Di Indonesia
,
Bandung: Eresco, 1964. Saadudin Ibrahim dan Pranoto K,
Pajak Pertambahan Nilai
, Jaya Prasada, Jakarta, 1984.

Anda mungkin juga menyukai