Anda di halaman 1dari 15

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak Orang

Pribadi Untuk Membayar Pajak

Oleh:

Ayu Putri Sri Undari Dewi

20210120016

PROGRAM STUDI ADMINITRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS NGURAH RAI

2023
DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan………………………………………………………………...………3

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………………...3


1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………………..4

BAB II Pembahasan………………………………………………………………………...5

2.1 Kepatuhan Wajib Pajak…………………………………………………………………..5


2.2 Kesadaran Wajib Pajak…………………………………………………………….……..6
2.3 Sanksi Pajak………………………………………………………………….…………...7
2.4 Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak……………………………………..12
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………15

3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………….15
3.2 Saran…………………………………………………………...…………..……………..15

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pajak adalah iuran kepada negara berdasarkan Undang-Undang yang dapat dipaksakan
tanpa adanya balas jasa yang diterima secara langsung oleh rakyat, dengan kata lain pajak
merupakan pungutan wajib yang dibayarkan rakyat untuk negara yang akan digunakan untuk
kepentingan pemerintah dan masyarakat umum. Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun
2009, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Pajak bagi negara adalah suatu sumber penerimaan negara terbesar,
sedangkan bagi rakyat pajak merupakan suatu kewajiban yang harus dibayarkan kepada
negara.
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya
di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara
untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan yang merupakan
salah satu kegiatan pemerintah yang berlangsung secara terus menerus dan
berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena itu, setiap tahun anggaran pemerintah senantiasa berusaha untuk meningkatkan
penerimaan pajak guna membiayai pembangunan yang akan dilaksanakan. Semakin besar
penerimaan negara dari pajak, maka semakin besar pula kemampuan keuangan negara dalam
pembiayaan pembangunan. Sebaliknya semakin kecil penerimaan negara dari pajak, maka
semakin kecil pula kemampuan negara dalam pembiayaan pembangunannya. Besar atau
kecilnya penerimaan pajak tergantung pada tingkat kepatuhan Wajib Pajak.
Kepatuhan Wajib Pajak adalah upaya Wajib Pajak yang memenuhi kewajibannya untuk
membayar pajaknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, melaporkan kewajiban pajaknya
sesuai undang-undang yang berlaku, serta membayar pajaknya sesuai ketentuan. Menurut
Rahayu (2010:138) kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana
Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.
Tinggi atau rendahnya kepatuhan Wajib Pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
pengetahuan perpajakan Wajib Pajak yang merupakan hal paling mendasar yang harus

3
dimiliki oleh Wajib Pajak karena tanpa adanya pengetahuan tentang pajak, maka sulit bagi
Wajib Pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya dan menumbuhkan sikap patuh
dalam membayar pajak. Selain itu, kesadaran wajib pajak yang merupakan keadaan dimana
Wajib Pajak mengetahui dan mengerti perihal pajak. Kesadaran Wajib Pajak sangat penting,
karena jika Wajib Pajak memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya membayar pajak,
maka kesadaran tersebut akan mendorong terwujudnya kepatuhan wajib pajak untuk
membayar pajak. Pelayanan fiskus juga merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh
terhadap kepatuhan wajib pajak, karena pada kenyataannya banyak Wajib Pajak yang
mengeluh saat membayar pajak karena pelayanan yang diberikan fiskus kurang baik seperti
petugas yang lambat dalam bekerja, tidak ramah, pengurusan pajak yang berbelit-belit,
fasilitas yang kurang memadai, dan lain sebagainya yang menimbulkan keluhan bagi Wajib
Pajak ketika menyelesaikan urusan perpajakannya, dan pada akhirnya akan mengakibatkan
tumbuhnya sikap tidak patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
Selain pengetahuan Wajib Pajak, kesadaran Wajib Pajak dan pelayanan fiskus, tinggi
rendahnya kepatuhan Wajib Pajak juga dapat dipengaruhi oleh sanksi perpajakan. Indonesia
memiliki Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 yang mengatur tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sanksi perpajakan ditetapkan agar peraturan
perpajakan dapat dipatuhi oleh Wajib Pajak. Sanksi harus cukup tegas untuk mencegah
ketidakpatuhan dan mendorong Wajib Pajak untuk patuh dalam memenuhi kewajiban
perpajakan. Proses pemungutan pajak dilakukan oleh instansi pemerintah, yaitu Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) yang secara struktural dibawah Kementerian Keuangan. Direktorat
Jenderal Pajak mempunyai tugas dan kewajiban untuk memberikan pelayanan dengan baik
kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
1.2 Rumusan Malasah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat
diidentifikasi beberapa masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Apakah pengetahuan wajib pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak?
2. Apakah kesadaran wajib pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak?
3. Apakah sanksi pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak?

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kepatuhan Wajib Pajak

Kepatuhan wajib pajak adalah sikap atau perilaku wajib pajak yang melaksanakan semua
kewajiban perpajakannya dan menikmati semua hak perpajakannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Priantara dan Suryadi, 2011). Kepatuhan wajib
pajak ada dua macam, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal
adalah kepatuhan yang diatur sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan
perpajakan. Contoh kepatuhan formal adalah bagi orang pribadi yang memiliki penghasilan,
maka memiliki NPWP, bagi wajib pajak yang memiliki NPWP dan menyetorkan SPT tepat
waktu, dan tidak terlambat melunasi pajak terutang, sedangkan kepatuhan material adalah
suatu keadaan saat wajib pajak yang secara substantif memenuhi semua ketentuan material
pajak yaitu sesuai dengan isi dan jiwa undang-undang pajak. Contohnya mengisi SPT dengan
benar (Mangoting dan Sardjiarto, 2013). Menurut Simanjuntak dan Muklhis (2012) indikator
kepatuhan wajib pajak antara lain:

a. Aspek ketepatan waktu, yaitu besarnya persentasi SPT yang disampaikan tepat
waktu
b. Aspek penghasilan wajib pajak, indikator yang digunakan adalah kesediaan wajib
pajak membayar angsuran pajak
c. Aspek pengenaan sanksi, indikator yang digunakan untuk mengukur kepatuhan
wajib pajak adalah pembayaran tunggakan pajak sebelum jatuh tempo
d. Aspek pelunasan utang pajak dan juga aspek keajiban bagi wajib pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan wajib pajak badan untuk melakukan
pembukuan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 544/KMK.04/2000, wajib pajak


dimasukkan dalam kategori wajib pajak patuh apabila memenuhi kriteria sebagai berikut
(Rustiyaningsih, 2011):

a. Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan untuk semua jenis pajak
dalam dua tahun terakhir.
b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah
memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.

5
c. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir.
d. Dalam dua tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 undang-undang ketentuan umum dan tata cara
perpajakan (UU KUP), dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan
pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk tiap-tiap jenis pajak
yang terutang paling banyak 5%.
e. Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk dua tahun terakhir diaudit oleh
akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau pendapat dengan
pengecualian.

Menurut Fahmi dan Agustina (2014) pengetahuan dan pemahaman wajib pajak adalah
semua hal yang terkait dengan perpajakan yang dimengerti dengan baik dan benar oleh wajib
pajak. Setiap wajib pajak perlu memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya
pajak bagi negara. Di samping itu pemahaman wajib pajak akan hak dan kewajibannya yang
diatur dalam undang-undang dan peraturan perpajakan penting bagi wajib pajak. Dengan
wajib pajak memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap ketentuan dalam undang-undang
perpajakan akan mendorong wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya sehingga
meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

2.2 Kesadaran Wajib Pajak

Kesadaran wajib pajak adalah kondisi di mana wajib pajak mengetahui, memahami, dan
melaksanakan dengan benar dan sukarela. Masyarakat harus menyadari pentingnya
membayar pajak dan juga menyadari akan hak negara dalam memungut pajak. Kesadaran
wajib pajak akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya.
Hasil penelitian Hikmah (2013) menunjukkan bahwa kesadaran wajib pajak berpengaruh
positif signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Hasil ini sejalan dengan hasil temuan
Fitriana (2014). Artinya semakin tinggi tingkat kesadaran wajib pajak maka kepatuhan wajib
pajak juga semakin tinggi. Penelitian Fikriningrum (2012) menemukan bahwa kesadaran
wajib pajak berpengaruh signifikan terhadap kemauan membayar pajak. Lovihan (2013)
dalam hasil penelitiannya membuktikan bahwa kesadaran membayar pajak berpengaruh
terhadap kemampuan membayar pajak. Sejalan dengan penelitian Hardiningsih dan
Yulianawati (2011) yang membuktikan bahwa sikap WP terhadap kesadaran membayar pajak
berpengaruh signifikan terhadap kemauan membayar pajak.

6
Kesadaran wajib pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi dalam
membayar pajak Self Assessment system yang dianut undang-undang perpajakan di Indonesia
memberikan kewenangan bagi wajib pajak untuk menghitung besarnya pajak, membayar
pajak dan melaporkan pajak sendiri. Namun demikian bukan berarti fiskus tidak berperan
dalam menciptakan kepatuhan wajib pajak. Pelayanan fiskus kepada wajib pajak baik berupa
sosialisasi atas peraturan-peraturan perpajakan yang sering berubah sangat diperlukan
mengingat tidak semua wajib pajak mampu dengan sendirinya memahami berbagai peraturan
pajak. Layanan fiskus yang baik kepada wajib pajak akan berdampak pada meningkatnya
kepatuhan wajib pajak.

Pelayanan fiskus yang baik akan memberikan kenyamanan bagi wajib pajak dalam
membayar pajak terutang dan melaporkan besarnya beban pajak, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan kepatuhan wajib pajak (Supadmi, 2009). Penelitian Hikmah (2013)
menemukan bukti bahwa pelayanan fiskus berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib
pajak. Penelitian Fikriningrum (2012) membuktikan bahwa pelayanan fiskus berpengaruh
signifikan terhadap kemauan membayar pajak. Utami, dkk (2013) menemukan bukti bahwa
kualitas layanan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan. Hasil penelitian Hardiningsih dan
Yulianawati (2011) membuktikan bahwa kualitas layanan berpengaruh positif terhadap
kemauan membayar pajak. Demikian juga hasil penelitian Faizah (2009) juga membuktikan
pelayanan pajak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan WP dalam membayar PBB.
Namun demikian ada beberapa penelitian yang menemukan hasil sebaliknya antara lain
Lovihan (2013) dan Andinata (2015), bahwa kualitas layanan fiskus tidak berpengaruh
terhadap kepatuhan wajib pajak Hipotesis yang dikembangkan adalah Pelayanan Fiskus
berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi dalam membayar pajak.

2.3 Sanksi Perpajakan

Pada hakikatnya, pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan


kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Itulah sebabnya,
penting bagi Wajib pajak memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui
konsekuensi hukum dari apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan. Dari sudut pandang
yuridis, pajak memang mengandung unsur pemaksaan. Artinya, jika kewaiiban perpajakan
tidak dilaksanakan, maka ada konsekuensi hukum yang bisa terjadi. Konsekuensi hukum
tersebut adalah pengenaan sanksi-sanksi perpajakan.

7
Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan Kekuasaan kehakiman di
Indonesia bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa
pajak. Dimana yang dimaksud sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dibidang
perpajakan antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan pajak. Itu termasuk
gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang penagihan dengan surat
paksa.

Penegakan hukum dalam pengadilan pajak dapat dilakukan secara langsung (mekanisme
keberatan), atau hanya berupa penerapan sanksi administratif pada pengadilan berupa denda,
bunga yang dilakukan oleh aparatur pajak, dapat pula dengan mekanisme pengadilan secara
utuh seperti pada proses pengadilan atas tindak pidana pajak.

Pengetahuan tentang sanksi dalam perpajakan menjadi penting karena pemerintah


lndonesia memilih menerapkan self assessment system dalam rangka pelaksanaan
pemungutan pajak. Berdasarkan sistem ini, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk
menghitung menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Untuk dapat menjalankannya
dengan baik, maka setiap Wajib Pajak memerlukan pengetahuan pajak, baik dari segi
peraturan maupun teknis administrasinya. Agar pelaksanaannya dapat tertib dan sesuai
dengan target yang diharapkan, pemerintah telah menyiapkan rambu-rambu yang diatur
dalam UU Perpajakan yang berlaku.

Dari sudut pandang yuridis, pajak memang mengandung unsur pemaksaan. Artinya, jika
kewajiban perpajakan tidak dilaksanakan, maka ada konsekuensi hukum yang bisa terjadi.
Konsekuensi hukum tersebut adalah pengenaan sanksi-sanksi perpajakan. Pada hakikatnya,
pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan kepatuhan Wajib Pajak dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya. Itulah sebabnya, penting bagi Wajib pajak
memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui konsekuensi hukum dari apa yang
dilakukan ataupun tidak dilakukan.

Namun dalam perpajakan di Indonesia ini, banyak menemui banyak permasalahan salah
satunya adalah masalah “Penggelapan Pajak”. Penggelapan pajak adalah tindakan secara
sengaja tidak melaporkan penghasilan kena pajak dengan benar merupakan penggelapan
pajak dan dan dapat diganjar dengan sanksi perpajakan berupa sanksi pidana penjara
maksimal selama 6 tahun dan denda maksimal 4 kali jumlah pajak terhutang yang tidak atau
kurang dibayar sesuai pasal 39 UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) 6 Penggelapan pajak

8
dapat dilakukan oleh orang pribadi serta perusahaan sehingga tuduhan penyelewengan pajak
perusahaan dapat dibuktikan dan bagi orang pribadi, informasi pajak juga dapat digunakan
untuk menguji kebenaran tuduhan money laundry hingga korupsi.7 Oleh karena itu dari latar
belakang penggelapan pajak sebagaimana diatas, maka diperlukan sebuah upaya untuk
mencegah hal tersebut yakni dengan upaya sanksi dan di dasarkan melalui pengadilan pajak.

Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang undangan


perpajakan (norma perpajkan) akan dituruti atau ditaati, selain itu juga merupakan alat
pencegah agar Wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan. Untuk dapat memberikan
gambaran mengenai hal-hal apa saja yang perlu dihindari agar tidak dikenai sanksi
perpajakan, di bawah ini akan diuraikan tentang jenis-jenis sanksi perpajakan dan perihal
pengenaannya.

Pada hakikatnya, sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan kepatuhan Wajib


Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Itulah sebabnya, penting bagi Wajib
pajak memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui konsekuensi hukum dari apa
yang dilakukan ataupun tidak dilakukan. Ada 2 sanksi perpajakkan, yaitu:

1. Sanksi Administrasi
Hukum Pajak didalamnya mengatur tentang hukum berupa sanksi administrasi yang
dapat digunakan oleh pejabat pajak terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Perpajakan. Sanksi
administrasi ini dicanangkan sebagai upaya untuk memaksa wajib pajak agar patuh
terhadap apa yang menjadi ketentuanketentuan terkait dengan pelaksanaan kewajiban di
bidang perpajakan. Meski Sanksi administrasi bersifat memaksa wajib pajak untuk
tunduk terhadap Undang-undang Perpajakan, namun bukan berarti pejabat pajak dapat
bertindak sewenangwenang terhadap setiap wajib pajak yang melanggar ketentuan
tersebut. Pejabat pajak harus menjalankan wewenangnya sesuai dengan apa yang
ditugaskan kepadanya, dan tidaklah boleh menggunakan jabatannya itu untuk bertindak
diluar dari aturan yang ada agar nantinya tidak terjadi perbuatan melanggar hukum pajak
yang dilakukan oleh pejabat itu sendiri yang notabene adalah orang yang seharusnya
mengayomi wajib pajak untuk taat terhadap peraturan perpajakan.
Sanksi administrasi ini diperuntukkan bagi mereka para wajib pajak yang melakukan
pelanggaran hukum pajak yang bersifat administrative pula. Sanksi semacam ini tidak
tertuju pada sanksi fisik wajib pajak, melainkan lebih kepada penambahan jumlah pajak

9
yang terutang karena ada sanksi administrasi yang harus dibayar oleh wajib pajak itu
sendiri. Sanksi administrasi terhitung pada saat dikenakan kepada wajib pajak dengan
jangka waktu tertentu, sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang perpajakan.
Jangka waktu yang ditentukan itu sebagai suatu kepastian hukum yang tidak boleh
dilanggar oleh pihak-pihak yang terkait karena adanya legalitas dari Negara dalam
bentuk Undang-undang. Baik pejabat dan wajib pajak haruslah patuh terhadap ketentuan
yang ada dalam undang-undang. Merujuk pada pasal 1 ayat 8 UU PPDSP yang
menyatakan bahwa utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi
administrasi berupa bunga, denda dan kanaikan sebagaimana yang tercantum dalam surat
ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Dari hal itu, dapat dikatakan bahwa sanksi administrasi merupakan
bagian yang tak terpisahkan dengan utang pajak.
2. Sanksi Administrasi Berupa Bunga
Pasal 13 ayat 2 UU KUP, yang didalamnya diatur mengenai sanksi administrasi
berupa bunga menyebutkan pengenaan sanksi terhadap jumlah kekurangan pajak
penghasilan, Pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang mewah yang
terutang dalam surat ketetapan pajak kurang bayar, karena berdasarkan hasil
pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang kurang dibayar. Sanksi berupa
bunga sebesar dua persen sebulan, untuk selama-lamanya 24 bulan, dihitung sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak
sampai dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak kurang bayar. Serupa tapi tak sama,
hal senada juga terdapat dalam pasal 11 ayat 2 UU BPHTB, tetapi hanya diberlakukan
untuk jumlah kekurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang
dalam surat ketetapan BPHTB. Apabila berdasarkan keterangan atau pemeriksaan lain
ternyata jumlah BPHTB yang terutang kurang dibayar, dikenakan sanksi bunga sebesar
dua persen sebulan dalam jangka waktu paling lama 24 bulan.
Selanjutnya, untuk besar bunga 48% dari jumlah pajak penghasilan, pertambahan
nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang tidak atau kurang dibayar. Sesuai
dengan ketentuan yang ada dalam pasal 13 ayat 5 UU KUP mengenakan sanksi ini
kepada wajib pajak yang setelah jangka waktu lima tahun tersebut dipidana kareana
melakukan tindak pidana kasus perpajakan atau tindak pidana lain yang mengakibatkan
kerugian pada Negara berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan
hukum tetap. Adanya besar bunga yang diberikan kepada wajib pajak yang nakal

10
dimaksudkan agar para wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya tidak melampaui
jangka waktu yang ditentukan sehingga terhindar dari pengenaan sanksi administrasi.
3. Sanksi Administrasi Berupa Denda
Dalam hukum pajak tidak hanya bunga saja yang bermain untuk kemudian dijadikan
sebagai sanksi administrasi. Sanksi berupa denda juga ikut mengambil peran dalam
upaya penegakkan hukum pajak agar semua yang terlibat di dalamnya tertib hukum dan
menciptakan suatu tatanan hukum pajak yang kondusif. Sanksi jenis ini tidak dikenakan
untuk semua jenis pajak, hanya PPh, PPn dan PPnBM serta PBB. Sedangkan yang tidak
termasuk kedalam golongan pajak yang dapat dikenai dengan sanksi ini adalah Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan serta pajak daerah.
Pengenaan sanksi ini berupa denda terhadap wajib pajak dan pengusaha kena pajak
yang terikat pada PPh, PPn dan PPnBM yang diatur dalam pasal 7 ayat 1 UU KUP.
Sanksi berupa tditentukan, termasuk jangka waktu perpanjangan penyampaian surat
pemberitahuan untuk:
a. Surat pemberitahuan masa PPn sebesar Rp 500.000,00
b. Surat pemberitahuan masa lainnya sebesar Rp 100.000,00
c. Surat pemberitahuan tahunan PPh wajib pajak badan sebesar Rp 1.000.000,00
d. Surat pemberitahuan tahunan PPh wajib pajak orang pribadi sebesar Rp
100.000,00
4. Sanksi Administrsi Berupa Kenaikan
Adanya sanksi administrasi berupa bunga dan denda yang dikenakan pada wajib
pajak yang mangkir atau melanggar ketentuan aturan hukum pajak agaknya tidak cukup
untuk membuat mereka menjadi insan yang taat pada pajak. Dalam hal ini maka sanksi
berupa kenaikan diberikan kepada mereka yang melanggarnya. Sanksi ini ditujukan
kepada wajib pajak yang tidak membayar lunas terhadap jumlah pajak yang terutang.
Pada hakikatnya sanksi ini bertujuan agar wajib pajak tidak berupaya untuk melakukan
penghindaran pembayaran pajak karena hal tersebut dapat merugikan Negara.
Sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang KUP pasal 13 ayat 3 yang
memuat sanksi administrasi berupa kenaikan yang dikenakan kepada wajib pajak yang
tidak membayar lunas jumlah PPh, PPn, dan PPnBM yang terutang dalam surat
ketetapan pajak kurang bayar, sebesar:
a. 50% dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam satu tahun pajak

11
b. 100% dari PPh yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut,
tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut, tetapi tidak atau kurang
disetorkan
c. 100% dari PPn dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar
5. Sanksi Pidana
Dalam perpajakan pun dikenai adanya sanksi pidana. UU KUP menyatakan bahwa
pada dasarnya, pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak. Namun, pemerintah masih memberikan keringanan dalam
pemberlakuan sanksi pidana dalam pajak, yaitu bagi Wajib Pajak yang baru pertama kali
melanggar ketentuan Pasal 38 UU KUB tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi
administrasi. Pelanggaran Pasal 38 UU KUP adalah tidak menyampaikan SPT atau
menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan
keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara.
Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan tindak kejahatan.
Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan, tindak pelanggaran disebut dengan
kealpaan, yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajiban
pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan tindak
kejahatan adalah tindakan dengan sengaja tidak mengindahkan kewajiban pajak sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Meski dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tindak pidana di bidang
perpajakan tidak dapat dituntut setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terlampaui.
Jangka waktu ini dihitung sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak,
berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Penetapan
jangka waktu 10 (sepuluh) tahun ini disesuaikan dengan daluarsa penyimpanan
dokumendokumen perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang,
yaitu selama 10 (sepuluh) tahun.
Dalam UU Perpajakan Indonesia, ketentuan mengenai sanksi pidana pada intinya diatur
dalam Bab VIII UU KUP sebagai hukum pajak format. Namun, dalam UU Perpajakan lainnya,
dapat juga diatur sanksi pidana. Sanksi pidana biasanya disertai dengan sanksi administrasi
berupa denda, walaupun tidak selalu ada.

2.4 Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak


Ada beberapa factor yang memperngaruhi kepatuhan wajib pajak, anatra lain

12
1. Pemahaman tentang sistem Self Assesment, ada ebberapa sistem pemungutan pajak,
yaitu:
a. Official Assessment System
Merupakan sistem pemungutan pajak yang mana besarnya pajak yang terutang
ditentukan oleh fiscus
b. Self Assessment System
Merupakan sistem pemungutan pajak yang mana besarnya pajak dihitung
sendiri oleh wajib pajak.
c. Withholding System
Sistem pemungutan/pemotongan pajak yang mana besarnya pajak
terutang/yang harus dibaya ditentukan oleh pihak ketiga

Sistem, self assessment yang diterapkan dalam perpajakan di Indonesia memberikan


kepercayaan pebuh kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan
melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang wajib pajak. Sistem ini akan efektif
apabila wajib pajak memiliki kesadaran pajak, kjujuran, dan kedisiplianan dalam
menjalankan/melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

2. Kualitas pelayanan
Pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu
yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar tercipta kepuasan dalam
keberhasilan (Boediono, 2003 dalam Ni Luh, 2006). Hakikat pelayanan umum adalah
sebagai berikut:
a. Meningkatkan mutu dan priduktivitas pelaksanaan tugas dan instansi
pemerintahan di bidang pelayanan umum.
b. Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan sehingga
pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih berdaya guna dan berhasil
guna (efisien dan efektif)

Pelayanan yang berkuatitas harus dapat memberikan 4K, yaitu keamanan,


kenyamanan, kelancaran, dan kepastian hukum. Kualitas pelayanan dapat diukur
dengan kemampuan memberikan pelayanan yang memuaskan, dapat memberikan
pelayanan dengan tanggapan, kemampuan, kesopanan, dan sikap dapat dipercaya
yang dimili oleh aparat pajak. Disamping itu, juga kemudahan dalam melakukan
hubungan komunikasi yang baik, memahami kebutuhan wajib pajak, tersediannya

13
fasilitas fisik termasuk sarana komunikasi yang memadai, dan pegawai yang cakap
dalam tugasnya.

3. Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan masyarakat yang semakin tinggi akan menyebabkan msyarakat
lebih mudah memahami ketentuan dan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan yang berlaku. Tingkat Pendidikan yang masih rendah juga akan tercermin
dari masih banyaknya wajib pajak terutama orang pribadi yang tidak melakukan
pembukuan atau yang masih melakukan pembukuan ganda untuk kepentingan pajak.
Tingkat Pendidikan yang rendah juga akan berpeluang wajib pajak enggan
melaksanakan kewajiban perpajakan karena kurangnya pemahaman mereka terhadap
sistem perpajakan yang diterapkan.
4. Tingkat Penghasilan
Penghasilan wajib pajak sebagai objek pajak dalam pajak penghasilan sangat terkait
dengan besarnya pajak terutang. Disamping itu tingkat penhasilan juga akan
mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak tepat pada waktunya.
Kemampuan waji pajak dalam memenuhi kewajiban pajak terkait erat dengan
besarnya penghasilan, maka salah satu hal yang dipertimbangkan dalam pemungutan
pajak adalah tingkat penghasilan.
5. Persepsi wajib pajak terhadap sanksi perpajakan
Sanksi perpajakan diberikan kepada wajib pajak agar wajib pajak mempunyai
kesadaran dan patuh terhadap kewajiban pajak. Sanksi perpajakan dalam undang-
undang perpajaka berupa sanksi administrasi (dpat berupa denda dan bunga) dan
sanksi pidana.adanya sanksi perpajakan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan
wajib pajak.

14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Pengetahuan dan pemahaman wajib pajak berpengaruh signifikan terhadap
kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak.
b. Kesadaran wajib pajak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib
pajak dalam membayar pajak.
c. Sanksi Perpajakan tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib
pajak dalam membayar pajak.
d. Persepsi efektivitas sistem perpajakan berpengaruh signifikan terhadap
kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak.
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan dan keterbatan di atas, maka saran-saran yang dapat
diberikan terkait Kesadaran Wajib Pajak Badan, Pelayanan Perpajakan dan Kepatuhan
Wajib Pajak adalah Pemerintah sebagai pembuat kebijakan diharapkan bisa memberikan
kepastian hukum dan kejelasan atas kebijakan yang dikeluarkan khususnya terkait
dengan masalah perpajakan.
Bagi Instansi Pajak. Instansi pajak sebagai instansi pemungut pajak dari wajib pajak
harus terus meningkatkan kualitas Pelayanan Perpajakan baik yang berupa peningkatan
kualitas SDM maupun fasilitas lainnya, sehingga dapat mendorong wajib pajak untuk
patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakanya.

15

Anda mungkin juga menyukai