Anda di halaman 1dari 20

Mata Kuliah Hukum Pajak

Dosen : Dr. Tjip Ismail S.H., MBA., MM., FCB Arb.


Dr. Eka Sri Sunarti S.H., M.Si.

Judul:
Analisis Perbedaan Antara Pajak Daerah Dengan Retribusi

Disusun:
Zephaniah Ben Evan Sianturi
(1606934733)

MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS INDONESIA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pajak merupakan iuran rakyat kepada negara berdasarkan Undang
Undang dengan tidak mendapat jasa timbal balik yang langsung dapat
ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (routine) dan
pembangunan.1 Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pajak
adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan perundang-undangan, dengan
tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, dan yang
gunanya untuk membiayai pengeluaran pengeluaran umum berhubungan
dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.2
Sesuai dengan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Tugas pemerintah pada prinsipnya berusaha dan bertujuan untuk
menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Itulah sebabnya pemerintah
harus tampil kedepan dan turut campur tangan, bergerak aktif dalam bidang
kehidupan masyarakat, terutama bidang perekonomian guna tercapainya
kesejahteraan rakyat. Demi berhasilnya usaha ini, negara mencari
pembiayaannya dengan cara menarik pajak. Penarikan atau pemungutan
pajak adalah suatu fungsi yang harus dilaksanakan oleh negara sebagai
suatu fungsi esensial. Tanpa pemungutan pajak sudah bisa dipastikan bahwa
keuangan negara akan lumpuh lebih lebih lagi bagi negara yang sedang
membangun seperti Indonesia,3 atau negara yang baru bebas dari belenggu
kolonialis, pajak merupakan darah bagi tubuh negara. Dapat disimpulkan,

1
Tunggul Anshari Setia Negara, Pengantar Hukum Pajak, (Malang: Bayu Media, 2005), hal. 8.
2
Ibid, hal. 19.
3
Chidir Ali, Hukum Pajak Elementer, (Bandung: Eresco, 1993), hal. 16.

1
bahwa landasan filosofis pemungutan pajak didasarkan atas pendekatan
“Benefit Approach” atau pendekatan manfaat.4 Pendekatan ini merupakan
dasar fundamental atas dasar filosofis yang membenarkan negara melakukan
pemungutan pajak sebagai pungutan yang dapat dipaksakan dalam arti
mempunyai wewenang dengan kekuatan pemaksa.
Dengan demikian pajak hanya dapat dipungut jika ada dasar
hukumnya (Undang-Undang) yang berarti rakyat melalui wakil-wakilnya ikut
serta menentukan adanya pajak. Disini terlihat dengan jelas keikutsertaan
rakyat dalam menentukan adanya pajak sebagai pencerminan dari
demokrasi. Hal yang semacam ini juga merupakan falsafah yang terdapat di
Inggris yakni “No taxaxion without representation” dan di Amerika “Taxaxion
without representation is robbery”.5
Dengan ditetapkannya pajak dalam bentuk Undang-Undang berarti
pajak bukanlah pembayaran sukarela akan tetapi sebagai suatu kewajiban
yang harus dipatuhi sehingga jika rakyat yang tidak memenuhi kewajibannya
akan dikenakan sanksi. Sesuai dengan petunjuk hukum adalah untuk
mencapai keadilan, demikian pula dengan hukum pajak. Mengingat hukum
pajak merupakan bagian dari hukum itu sendiri, maka mau tidak mau hukum
harus ditujukan untuk terselenggaranya keadilan. Sebagai konsekuensi dari
Negara Hukum asas keadilan ini harus dipegang teguh baik dalam prinsip
perundang-undangan maupun dalam praktek sehari-hari.6
Praktek hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah
sebagai implementasi dari Pasal 18, 18A, dan 18B Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945. Normavitisasi terhadap keempat pasal
tersebut, telah melahirkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pasal-pasal
tersebut merupakan satu kesatuan sebagai dasar asas desentralisasi.Asas
desentralisasi ini dikenal juga dengan istilah desentralisasi territorial atau pola
pembagian kewenangan vertikal dalam negara kesatuan.7

4
Soetrisno P.H., Dasar-dasar Ilmu Keuangan Negara, (Yogyakarta: UGM, 1982), hal. 155.
5
Rochmat Soemitro, Asas-asas Hukum Perpajakan, (Bandung: Binacipta, 1991), hal. 6.
6
Ibid, hal. 6-7.
7
Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, (Bandung: Penerbit Alumni, 1978), hal. 15.

2
Meningkatnya volume pembangunan dari tahun ke tahun dan ditambah
dengan naiknya populasi penduduk dan kebutuhan hidup merupakan
masalah dan beban pembangunan yang patut dicermati, upaya pemecahan
masalah dan beban pembangunan tersebut menuntut peran pemerintah
secara berkesinambungan. Meningkatnya peran pemerintah dalam
pemecahan masalah tersebut berdampak pada meningkatnya dana yang
dibutuhkan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah di bidang
pembangunan dan kemasyarakatan.8
Dalam prakteknya, pemerintah pusat memiliki kemampuan dari sisi
memobilisasi dana pembangunan melalui sumber-sumber penerimaan
negara, sedangkan pemerintah daerah dihadapkan pada masalah
keterbatasan sumber-sumber penerimaan sehingga pembiayaan daerah
masih bergantung pada pemerintah pusat. Tekad pemerintah untuk
mewujudkan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab melalui pemberian
kewenangan yang lebih besar terhadap daerah, merupakan salah satu cara
untuk memberdayakan potensi daerah di berbagai bidang pembangunan,
salah satu kebijakan pemerintah untuk menunjang ekonomi daerah adalah
dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 34 Tahun 2000 dan terakhir diubah dengan Undang-undang
Nomor 28 Tahun 2009.9
Pelaksanaan otonomi daerah menghendaki pemerintah daerah untuk
mencari sumber penerimaan yang dapat membiayai pengeluaran pemerintah
daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
daerah. Dari berbagai alternatif sumber penerimaan yang mungkin dipungut
oleh daerah, Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah menetapkan
pajak daerah dan retribusi daerah menjadi salah sumber penerimaan yang
berasal dari dalam daerah dan dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi
masing-masing daerah.10
Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintahan daerah terdiri
dari Pendapatan asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah dan
8
Gomes, Stevanus J. Dan Victor Pattiasina, Analisis Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap
Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Maluku Tenggara, (Aset : Volume 13, Nomor 2, 2011), hal. 175-183.
9
Ibid.
10
Ibid.

3
Pendapatan Lain-lain yang sah. Pendapatan Asli Daerah yang salah satunya
berupa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, diharapkan menjadi salah satu
sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
daerah. Dengan demikian, penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah
diharapkan nantinya dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap
Pendapatan Asli Daerah dalam hal pencapaian dan pemerataan
kesejahteraan masyarakat.
Idealnya dalam melaksanakan otonomi daerah harus bertumpu pada
sumber-sumber dari daerah itu sendiri, dalam regulasi keuangan daerah
lazim disebut dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sumber PAD
berdasarkan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah terdiri dari Pajak Daerah,
Retribusi Daerah, Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan (Laba
Badan Usaha Milik Daerah) dan Lain-lain PAD yang sah. Diantara sumber
PAD tersebut yang paling dominan yang memberikan kontribusi bagi daerah
adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pajak daerah
1. Pengertian pajak daerah
Pajak daerah merupakan iuran wajib yang di lakukan oleh orang
pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang
seimbang, yang dapat di laksanakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang di gunakan untuk membayari
penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.11 Dalam
pemungutan pajak di daerah ini terdapat dengan pajak yang berasas
sumber yaitu pemungutan pajak yang berdasarkan pada sumber atau
tempat penghasilan berada.
Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah juga sangat
bergantung dari partisipasi aktif masyarakat dan membawa implikasi bagi
masyarakat sebagai satu kesatuan integral dari pemerintah daerah yang
sangat penting dari sistem pemerintahan, karena penyelenggaraan
otonomi ditujukan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
Partisipasi masyarakat dapat meliputi partisipasi dalam proses pembuatan
keputusan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil maupun evaluasi. Otonomi
daerah bisa diwujudkan apabila disertai dengan otonomi keuangan dan
ekonomi yang baik. Hal ini berarti secara finansial tidak tergantung pada
pemerintah pusat dengan jalan menggali sebanyak mungkin sumber
Pendapatan Asli Daerah. Berdasarkan kedua pendapat dari sarjana-
sarjana di atas, maka dapat diketahui ciri-ciri yang melekat pada
pengertian pajak yaitu, sebagai berikut:12
a. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang serta aturan
pelaksanaanya yang sifatnya dapat dipaksakan.
b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra
prestasi individual oleh pemerintah.
c. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.

11
Erly Suandy, Hukum Pajak, (Jakarta: Selemba Empat, 2011), hal 27.
12
Sutedi, S.H., M.H., Andrian., Hukum Pajak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 2.

5
d. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah,
yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan
untuk membiayai public investment.
e. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu
mengatur desentralisasi fiskal sebagai proses distribusi anggaran
dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan
yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintah
dalam pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan
bidang pemerintahan yang dilimpahkan, artinya dengan
desentralisasi atau otonomi daerah tersebut, kewenangan daerah
Kabupaten/kota kini menjadi lebih besar dibandingkan dengan
provinsi atau pusat. Bagaimana masing-masing daerah
melaksanakan kewenangannya tergantung kepada daerah yang
bersangkutan sesuai kreativitas, kemampuan organisasi
pemerintahan daerah serta kondisi setiap daerah.

2. Asas-Asas Pemungutan Pajak


Asas-asas pemungutan pajak di antaranya:13
a. Asas sumber, Asas pemungutan pajak yakni asas sumber adalah asas
yang menganut cara pemungutan pajak yang tergantuk pada adanya
sumber penghasilan di suatuu negar. Jika di suatu negara terdapat
suatu sumber penghasilan, maka negara tersebut berhak memungut
pajak, tanpa melihat wajib pajak itu bertempat tinggal.
b. Asas Domisili, Asas pemungutan pajak yakni asas Domisili adalah
asas yang menganut cara pemungutan pajak yang bergantung pada
tempat tinggal (domisili) wajib pajak di suatu negara. Negara di mana
wajib pajak itu bertempat tinggal berhak mengenakan pajak atas
segala penghasilan yang diperoleh dari manapun.
c. Asas Nasional, Asas pemungutan pajak yakni asas nasional adalah
asas yang menganut cara pemungutan pajak yang dihubungkan
dengan kebangsaan dari suatu negara.

13
Saidi. M. Djafar, Pembaruan Hukum Pajak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 88.

6
d. Asas Yuridis, Asas pemungutan pajak yakni asas Yuridis adalah asas
yang mengemukakan supaya pemungutan pajak didasarkan pada
undang-undang.
e. Asas Ekonomis, Asas pemungutan pajak yakni asas Ekonomis adalah
asas yang menekankan supaya pemungutan pajak jangan sampai
menghalangi produksi dan perekonomian rakyat.
f. Asas Finansial, Asas pemungutan pajak yakni Asas Finansial adalah
asas yang menekankan supaya pengeluaran-pengeluaran untuk
memungut pajak harus lebih rendah dari jumlah pajak yang dipungut.

Pajak (termasuk pajak daerah) pada dasarnya mempunyai fungsi yang


diperkenalkan sebagai fungsi anggaran (budgetair) dan fungsi mengatur
(regulation). Fungsi budgetair pajak mengemuka ketika pajak menjadi
sumber pendanaan bagi Pemerintah untuk membiayai pengeluarannya
baik pengeluaran rutin maupun pembangunan. Sementara, fungsi
mengatur akan menonjol ketika Pemerintah menggunakan pajak untuk
melaksanakan atau mengatur kebijakan di bidang sosial ekonomi untuk
mencapai tujuan tertentu, misalnya ketika pajak yang tinggi dikenakan
terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi pola hidup konsumtif,
atau pengenaan pajak ekspor nol persen untuk mendorong ekspor produk
lokal ke pasar global.14

3. Jenis-jenis pajak daerah


Jenis pajak daerah yang dapat atau tidak diberlakukan oleh
pemerintah daerah dengan pertimbangan tertentu, adalah jenis pajak yang
ditetapkan dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009. Adapun jenis-jenis
pajak daerah berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi, pajak daerah terbagi atas 2 macam
yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota,
a. Pajak daerah yang dipungut oleh provinsi
Pajak provinsi didalam kewenangan pungutannya terdapat pada
pemerintah daerah provinsi. Didalam pajak provinsi jenis pajak

14
Ibid, hal. 17.

7
tersebut ada beberapa jenis berdasarkan Undang-Undang No. 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah
1) Pajak kendaraan bermotor, adalah pajak atas kepemilikan
dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. (Pasal 1 angka 12 UU
No. 28 tahun 2009)
2) Bea balik nama kendaraan bermotor, adalah pajak atas
penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat
perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang
terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau
pemasukan ke dalam badan usaha. (Pasal 1 angka 14 UU No. 28
tahun 2009)
3) Pajak bahan bakar kendaraan bermotor, adalah pajak atas
penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor. (Pasal 15 angka
12 UU No. 28 tahun 2009)
4) Pajak air permukaan, adalah pajak atas pengambilan dan/atau
pemanfaatan air permukaan. (Pasal 1 angka 17 UU No. 28 tahun
2009)
5) Pajak rokok, adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut
oleh Pemerintah. (Pasal 1 angka 19 UU No. 28 tahun 2009)

b. Pajak daerah yang dipungut kabupaten / kota, terdiri atas:


1) Pajak Hotel.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1
angka 20 dan 21, Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang
disediakan oleh hotel. Sedangkan yang dimaksud dengan hotel
adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/ peristirahatan termasuk
jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga
motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan,
rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah
kamar lebih dari sepuluh.
2) Pajak Restoran.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1
angka 22 dan 23, Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan
yang disediakan oleh restoran. Sedangkan yang dimaksud dengan
8
restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman
dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan,
kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa
boga/katering.
3) Pajak Hiburan.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1
angka 24 dan 25, Pajak Hiburan adalah pajak atas
penyelenggaraan hiburan. Sedangkan Hiburan adalah semua jenis
tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang
dinikmati dengan dipungut bayaran.
4) Pajak Reklame.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1
angka 26 dan 27, Pajak Reklame adalah pajak atas
penyelenggaraan reklame, sedangkan Reklame adalah benda, alat,
perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang
untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan,
mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap
barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca,
didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.
5) Pajak Penerangan Jalan.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1
angka 28, Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan
tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari
sumber lain.
6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1
angka 29, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak
atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik
dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk
dimanfaatkan.
7) Pajak Parkir.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1
angka 31 dan 32, Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan
tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan
9
dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu
usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
Sedangkan, Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan
yang tidak bersifat sementara.
8) Pajak Air Tanah.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1
angka 33 dan 34, Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan
dan/atau pemanfaatan air tanah. Sedangkan, Air Tanah adalah air
yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah.
9) Pajak sarang Burung Walet.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1
angka 35, Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan
pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
10) Pajak Bumi dan Bangunan perdesaan dan perkotaan.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1
angka 37, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai,
dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan,
perhutanan, dan pertambangan.
11) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1
angka 41 dan 42, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan
atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas
tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan.

Tabel jenis-jenis pajak daerah


Pajak Provinsi Pajak Kabupaten/Kota
1. Pajak Kendaraan Bermotor; 1. Pajak Hotel;

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; 2. Pajak Restoran;

10
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; 3. Pajak Hiburan;

4. Pajak Air Permukaan; dan 4. Pajak Reklame;

5. Pajak Rokok 5. Pajak Penerangan Jalan;

6. Pajak Parkir;

7. Pajak Mineral Bukan Logam dan


Batuan; dan

8. Pajak Air Tanah;

9. Pajak Sarang Burung Walet;

10. PBB Perdesaan dan Perkotaan

11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan


Bangunan.

B. Retribusi daerah
1. Pengertian
Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 28 Tahun 2009
tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yang di maksud dengan retribusi
adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian
izin tertentu yang khas disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah
daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Beberapa ciri yang melekat
pada retribusi daerah yang saat ini dipungut di Indonesia adalah sebagai
berikut :15
a. Retribusi merupakan pungutan yang dipungut berdasarkan
undangundang dan peraturan daerah yang berkenaan;
b. Hasil penerimaan retribusi masuk ke kas pemerintah daerah;
c. Pihak yang membayar retribusi mendapatkan kontra prestasi (balas
jasa) secara langsung dari pemerintah daerah atas pembayaran
yang dilakukannya;
d. Retribusi terutang apabila ada jasa yang diselenggarakan oleh
pemerintah daerah yang dinikmati oleh orang atau badan;
e. Sanksi yang dikenakan pada retribusi adalah sanksi secara
ekonomis, yaitu jika tidak membayar retribusi, tidak akan
memperoleh jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.

15
Djoko Muljono, Hukum Pajak-Konsep, Aplikasi Dan Penuntun Praktis, (Yogyakartya: CV. Andi Offset, 2010),
hal. 7.

11
Retribusi adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada negara
karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh negara bagi
penduduknya secara perorangan. Jasa tersebut dapat dikatakan bersifat
langsung, yaitu hanya yang membayar retribusi yang menikmati balas jasa
dari negara. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia
saat ini penarikan retribusi hanya dapat dipungut oleh pemerintah daerah.
Jadi retribusi yang dipungut adalah retribusi daerah.16
Penerimaan pemerintah daerah selain dari pajak daerah dan bagi hasil
pajak pusat yang diperuntukkan ke pemerintah daerah berasal dari
retribusi daerah. Akan tetapi, untuk retribusi tiap daerah memiliki potensi
yang berbeda satu sama lain, untuk itu pemerintah daerah harus dapat
melihat peluang apa saja yang dapat dilakukan dalam menggali
penerimaan dari retribusi untuk menunjang penerimaan. Di dalam jenis
pungutannya pajak dan retribusi tidaklah sama, perbedaannya ialah pada
Take and Give.17
Pajak merupakan iuran wajib yang dibayarkan wajib pajak ke kas
negara tanpa ada kontra prestasi langsung dan yang dapat dipaksakan
serta memiliki sanksi yang tegas yang ditetapkan sesuai dengan undang-
undang. Namun tidak semua jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah
dapat dipungut retribusinya, tetapi hanya jenis-jenis jasa tertentu yang
menurut pertimbangan sosial, ekonomi layak dijadikan sebagai objek
retribusi.18
Retribusi diarahkan pada pelayanan pemerintah yang bersifat final
(final good), bukan pada pelayanan yang sifatnya intermediary service.
Secara normatif, retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran
atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau
diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan.19

16
Marihot P. Siahaan, Pajak daerah & retribusi daerah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal.5.
17
Imam Soebechi, Judicial Review Peraturan Daerah Pajak dan Retribusi Daerah, (Jakata: Sinar Grafika, 2012),
hal. 21.
18
Ibid.
19
Adrian Sutedi, Hukum Pajak Dan Retribusi Daerah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hal. 7.

12
2. Objek dan golongan daerah
Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan
pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya
yang dapat dinikmati oleh Orang Pribadi atau Badan. Berdasarkan
kelompok jasa yang menjadi objek retribusi daerah dapat dilakukan
penggolongan retribusi daerah. Penggolongan jenis retribusi dimaksudkan
guna menetapkan kebijakan umum tentang prinsip dan sasaran dalam
penetapan tarif retribusi daerah. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
objek retribusi diatur dalam Pasal 108 ayat (1), yang terdiri atas Jasa
Umum, Jasa Usaha, dan Perizinan Tertentu. Hal ini membuat objek
retribusi terdiri dari tiga kelompok jasa sebagaimana disebut di bawah
ini:20
a. Jasa umum, yaitu jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah
daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat
dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jasa umum antara lain
meliputi pelayanan kesehatan dan pelayanan persampahan. Jasa yang
tidak termasuk jasa umum adalah jasa urusan umum pemerintahan.
b. Jasa usaha, yaitu jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah,
dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya
dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Jasa usaha antara lain
meliputi penyewaan aset yang dimiliki/dikuasai oleh pemerintah
daerah, penyediaan tempat penginapan, usaha bengkel kendaraan,
tempat pencucian mobil dan penjualan bibit.
c. Perizinan tertentu, yaitu kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam
rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang
dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan
pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan sumber
daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna
melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Mengingat bahwa fungsi perizinan dimaksudkan untuk mengadakan

20
Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Pedoman Nasional
Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen
Keuangan, 2007), hal. 435.

13
pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan, pada
dasarnya pemberian izin oleh pemerintah daerah tidak harus dipungut
retribusi. Akan tetapi dalam melaksanakan fungsi tersebut pemerintah
daerah mungkin masih mengalami kekurangan biaya yang tidak selalu
dapat, dicukupi dari sumber-sumber penerimaan daerah yang telah
ditentukan sehingga perizinan tertentu masih dipungut retribusi.

3. Jenis-jenis retribusi daerah


Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
perubahan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 dan Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
Retribusi Daerah dibagi menjadi tiga golongan yaitu: Retribusi Jasa
Umum, Retribusi Jasa Usaha, Retribusi Perizinan Tertentu.
a. Retribusi Jasa Umum, retribusi atas jasa yang disediakan atau
diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan
kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau
badan. Berdasarkan Pasal 110 UU No. 28 tahun 2009, Objek
pendapatan yang termasuk dalam kategori retribusi jasa umum untuk
Pemerintah Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut :
1) Retribusi pelayanan kesehatan
2) Retribusi pelayanan kebersihan
3) Retribusi penggantian beban cetak KTP dan beban cetak akta
catatan sipil
4) Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat
5) Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum
6) Retribusi pelayanan pasar
7) Retribusi pengujian kendaraan bermotor
8) Retribusi pemeriksaan alat pemadam
9) Retribusi penggantian beban cetak peta
10) Retribusi penyediaan dan atau penyedotan kakus
11) Retribusi pengolahan limbah cair
12) Retribusi pelayanan tera/tera ulang
13) Retribusi pelayanan pendidikan
14) Retribusi pengendalian menara telekomunikasi
14
b. Retribusi Jasa Usaha, adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh
pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada
dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Berdasarkan
Pasal 127 UU No. 28 tahun 2009, retribusi Jasa usaha untuk
Pemerintah Kabupaten/Kota meliputi :
1) Retribusi pemakaian kekayaan daerah
2) Retribusi jasa usaha pasar grosir atau pertokoan
3) Retribusi jasa usaha tempat pelelangan
4) Retribusi jasa usaha terminal
5) Retribusi jasa usaha tempat khusus parkir
6) Retribusi jasa usaha tempat penginapan/pesanggrahan/villa
7) Retribusi jasa usaha rumah potong hewan
8) Retribusi jasa usaha pelayanan kepelabuhan
9) Retribusi jasa usaha tempat rekreasi dan olahraga
10) Retribusi penyeberangan di air
11) Retribusi jasa usaha penjualan produksi usaha daerah
c. Retribusi Perizinan Tertentu, yaitu retribusi atas kegiatan tertentu oleh
Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi
atau badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan
atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam,
barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi
kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis retribusi
perizinan tertentu berdasarkan Pasal 141 UU No. 28 tahun 2009, untuk
Pemerintah Kabupaten/Kota yaitu sebagai berikut :
1) Retribusi izin mendirikan bangunan
2) Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol
3) Retribusi izin gangguan
4) Retribusi izin trayek
5) Retribusi izin usaha perikanan

Tabel jenis-jenis retribusi daerah


Jasa Umum Jasa Usaha Perizinan Tertentu
1. Kesehatan 1. Pemakaian Kekayaan 1. Izin Mendirikan
Daerah Bangunan
2. Persampahan 2. Pasar Grosir/Pertokoan 2. Izin Tempat Penjualan

15
Minuman Beralkohol
3. KTP dan Akta Capil 3. Tempat Pelelangan 3. Izin Gangguan
4. Pemakaman 4. Terminal 4. Izin Trayek
5. Parkir di tepi jalan umum 5. Tempat Khusus Parkir 5. Izin Usaha Perikanan
6. Pasar 6. Tempat Penginapan/Villa
7. Pengujian Kendaraan 7. Rumah Potong Hewan
Bermotor
8. Pemeriksaan Alat Pemadam 8. Kepelabuhanan
Kebakaran
9. Biaya CetakPeta 9. Tempat Rekreasi dan
Olahraga
10. Penyedotan Kakus 10. Penyeberangan di air
11. Pengolahan Limbah Cair 11. Penjualan Produksi
Daerah

12. Tera/Tera Ulang


13. Pendidikan
14. Pengendalian Menara
Telekomunikasi

C. Perbedaan pajak daerah dan retribusi daerah


Secara tradisional untuk membedakan apakah suatu pelayanan cocok
dibiayai dengan pajak atau retribusi adalah dengan membedakan apakah
jenis layanan tersebut merupakan public goods atau private goods. Public
goods adalah layanan yang konsumsinya tidak mempengaruhi kesempatan
konsumsi orang lain (non-rivalry) dan sulit atau mahal untuk menghindarkan
orang lain yang tidak bersedia membayar untuk mengkonsumsinya (non-
excludable) atau sulit untuk menghindarkan orang lain mendapatkan manfaat
dari layanan tersebut (freerider). Dengan kata lain, layanan tersebut
disediakan secara kolektif dan tidak diskriminatif. Sebaliknya private goods
adalah layanan yang konsumsinya mempengaruhi kesempatan konsumsi
orang lain atau hanya memberikan manfaat bagi orang tertentu. Secara
teoritis, layanan yang bersifat public goods dibiayai dari pajak, dan layanan
yang bersifat private goods dibiayai dari retribusi.21
Berdasarkan pengertian dan ciri-ciri dari pajak daerah dan retribusi
daerah yang telah diuraikan pada subbab di atas maka antara pajak daerah
dan retribusi daerah memiliki perbedaan yang prinsipil, walapun keduanya

21
Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Op.cit, hal. 44.

16
sama-sama merupakan pungutan dari masyarakat oleh negara (pemerintah),
yaitu sebagai berikut :
a. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi
individu oleh pemerintah (tidak ada imbalan langsung yang diperoleh si
pembayar pajak). Dengan kata lain, tidak ada hubungan langsung antara
jumlah pembayaran pajak dengan kontra prestasi secara individu
sedangkan pihak pembayar retribusi mendapatkan kontra prestasi (balas
jasa) secara langsung dari pemerintah daerah atas pembayaran yang
dilakukannya.
b. Sanksi yang dikenakan pada retribusi adalah sanksi secara ekonomis,
yaitu jika tidak membayar retribusi tidak akan memperoleh jasa yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah, sedangkan pada pajak memiliki
sifat dapat dipaksakan, artinya wajib pajak yang tidak memenuhi
kewajiban pembayaran pajak, dapat dikenakan sanksi, baik sanksi pidana
maupun denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

17
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan latar belakang dan pembahasan diatas maka dapat


disimpulkan bahwa perbedaan antara pajak daerah dengan retribusi melihat
jenis layanan tersebut merupakan public goods atau private goods, Secara
teoritis, layanan yang bersifat public goods dibiayai dari pajak, dan layanan
yang bersifat private goods dibiayai dari retribusi. Dalam pajak daerah
pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi individu
oleh pemerintah, sedangkan pihak pembayar retribusi mendapatkan kontra
prestasi (balas jasa) secara langsung dari pemerintah daerah, serta saksi
yang dikenakan pada retribusi adalah sanksi secara ekonomis sedangkan
pada pajak memiliki sifat dapat dipaksakan.

18
Daftar Pustaka

Buku
Ali, Chidir. Hukum Pajak Elementer. Bandung: Eresco. 1993.
Djafar, Saidi. M. Pembaruan Hukum Pajak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2011.
Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan. Pedoman Nasional Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah.
Jakarta: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen
Keuangan. 2007.
Muslimin, Amrah. Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah. Bandung: Alumni. 1978.
Negara, Tunggul Anshari Setia. Pengantar Hukum Pajak. Malang: Bayu Media.
2005.
Siahaan, Marihot P. Pajak daerah & retribusi daerah. Jakarta: RajaGrafindo
Persada. 2005.
Soebechi, Imam. Judicial Review Peraturan Daerah Pajak dan Retribusi Daerah.
Jakata: Sinar Grafika. 2012.
Soemitro, Rochmat. Asas-asas Hukum Perpajakan. Bandung: Binacipta. 1991.
Soetrisno P.H. Dasar-dasar Ilmu Keuangan Negara. Yogyakarta: UGM. 1982.
Suandy, Erly. Hukum Pajak. Jakarta: Selemba Empat. 2011.
Sutedi, Adrian. Hukum Pajak Dan Retribusi Daerah. Bogor: Ghalia Indonesia. 2008.
Sutedi, M.H., Andrian. Hukum Pajak. Jakarta: Sinar Grafika. 2011.

Jurnal
Gomes, Stevanus J. Dan Victor Pattiasina. Analisis Kontribusi Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Maluku
Tenggara. Aset : Vo.13. No. 2. 2011.

Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah

19

Anda mungkin juga menyukai