Anda di halaman 1dari 11

BAB I

HAKIKAT PERPAJAKAN

Sebagai warga negara Indonesia yang baik hendaknya kita dapat melaksanakan
kewajiban terhadap Negara, salah satunya melaksanakan kewajiban di bidang Perpajakan.
Dengan mengetahui dasar-dasar perpajakan yang berlaku di Indonesia diharapkan setiap
subjek pajak dapat melaksanakan kewajibannya yaitu mendaftarkan diri, menghitung,
menyetorkan pajak dan melaporkan pajak.

1. Definisi Pajak

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Dan


Tata Cara Perpajakan yang dimaksud dengan Pajak adalah kontribusi yang wajib kepada
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Pasal 1 ayat (1) )
Pendapat para ahli mengenai definisi pajak adalah sebagai berikut :

a. Definisi menurut Prof. Rochmat Soemitro SH:


Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat
ditunjukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran Umum.
Unsur Unsur pajak ;
1. Iuran rakyat kepada negara,yang berhak memungut pajak adalah negara, iuran berupa
uang bukan barang.
2. Berdasarkan undang-undang, pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan
undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
3. Tanpa jasa timba atau kontraprestasi dari negara secara langsung dapat ditunjuk,
dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual
oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran yang
bermanfaat bagi masyarakat luas.
b. Definisi perancis dalam Buku Leroy Beaulieu yang berjudul Traite de la science des
Finances  1906, Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang
dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja
pemerintah.
c. Definisi Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919); Pajak adalah bantuan secara
insidental atau secara periodik (dengan tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh
badan yang bersifat umum (negara), untuk memperoleh pendapatan, dimana terjadi
suatutatbestand(sasaran pemajakan) karena undang-undang telah menimbulkan utang
pajak.
d. Definisi Prof R.A. Seligman dalam Essays in Taxation (New York, 1925); Pajak adalah
konstribusi wajib dari seseorang kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran yang
terjadi untuk kepentingan bersama, tanpa merujuk pada manfaat khusus dianugerahkan.
e. Definisi Mr. Dr. J. Feldmann dalam bukunya De overheidsmiddelen van
Indonesia; Pajak adalah prestasi yang dipakasakan sepihak oleh dan terutang kepada
penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya
kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran
umum.
f. Definisi Prof. Dr. M. J.H. Smeets dalam bukunya De Economische betekenis der
Belastingen 1951; Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-
norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adakalanya kontraprestasi yang dapat
ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran
pemerintah.
g. Definisi Dr. Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul Pajak
berdasarkan Asas Gotong Royong Universitas Padjadjaran bandung 1964; Pajak adalah
iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-
norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam
mencapai kesejahteraan umum.
h. Definisi Prof. Dr. P.J. A. Andriani
“Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
dengan tidak mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan tugas
Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pajak adalah
sebagai berikut:
1. Merupakan kontribusi wajib dari masyarakat kepada negara.
2. Tanpa kontraprestasi secara langsung.
3. Dipungut oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
4. Berdasarkan undang-undang dan aturan pelaksanaannya, sehingga sanksinya tegas
dan bisa dipaksakan.
5. Digunakan untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan/kemakmuran masyarakat.
6. Memiliki fungsi pembiayaan penyelenggaraan pemerintah(budgetair) dan sebagai alat
untuk mengatur dan melaksanakan kebijakan Negara dalam bidang ekonomi.
7. pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pemerintah
8. pajak dapat dipungut baik secara langsung maupun tidak langsung.

Selain pajak, terdapat pula beberapa pungutaan lain yang dikenakan oleh pemerintah
pusat maupun pemerintahan daerah kepada masyarakat, antara lain:
1. Retribusi, yaitu pembayaran dengan mendapatkan kontraprestasi (balas jasa) secara
langsung yang dapat dirasakan. Misalnya, pembayaran karcis parkir, karcis masuk
terminal, dan pembayaran uang kuliah. Pungutan retribusi di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2. Sumbangan, yaitu pembayaran yang tidak mendapatkan kontraprestasi sama sekali,
sedangkan penerima sumbangan merasakan imbalan/manfaat langsung dari
sumbangan tersebut. Misalnya, sumbangan untuk korban bencana alam.

2. Fungsi Pajak
 Menurut Musgrave dan Musgrave (1991), fungsi pajak dalam pembangunan ekonomi
dapat dibedakan atas dua macam, yakni fungsi anggaran (budgetory) dan fungsi
pengaturan (regulatory). Fungsi anggaran berarti pajak merupakan salah satu sumber
penerimaan dalam negeri suatu negara yang jumlahnya setiap tahunnya semakin
bertambah. Sedangkan fungsi pengaturan berarti pajak dapat digunakan oleh
pemerintah untuk mengatur variabel-variabel ekonomi makro untuk mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang ditargetkan, memperbaiki distribusi
pendapatan dan menjaga stabilitas ekonomi melalui pengaturan konsumsi dan
investasi masyarakat.

 Pajak memiliki lima macam fungsi menurut Agus Sambodo (2015), yaitu:
1. Fungsi penerimaan (budgetair)
Menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-
masing warga negara, termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta.
Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, semakin tinggi pula pajak yang
harus dibayarkan. Teori ini juga banyak ditentang karena pada kenyataannya bahwa
tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya,
tetapi orang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.
2. Fungsi mengatur (reguleren)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanaan kebijakan di bidang
sosial dan ekonomi. Misalnya, pajak sebagai fungsi sosial, yaitu diterapkannya tariff
yang tinggi terhadap beberapa barang mewah untuk mengurangi kesengajaan sosial di
kehidupan masyarakat, sedangkan ppajak sebagai fungsi ekonomi, yaitu
diterapkannya pembebasan pajak untuk komoditi ekspor yang diharapkan dapat
meningkatkat ekspor sehingga dapat meningkatkan kegiatan dibidang perekonomian.
3. Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang
berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa
dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat,
pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
4. Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua
kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat
membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat.
5. Fungsi demokrasi
Merupakan salah satu penjelmaan atau wujud sistem gotong royong, termasuk
kegiatan pemerintah dan pembangunan. Fungsi ini pada saat sekarang sering
dikaitkan dengan tingkat pelayanaan pemerintahan kepada masyarakat, khususnya
pembayar pajak. Apabila pajak telah dilaksanakan dengan baik, timbal baliknya
pemerintah harus memberikan pelayanan terbaik.
Kelima fungsi tersebut merupakan peran utamaa pajak. Dalam perkembangannya,
peran tersebut menjadi lebih luass dengan adanya fungsi yang lebih menekankan unsur
ppemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Fungsi ini terlihat dari adanya lapisan tarif
dalam pengenaan pajak, yaitu tariff pajak yang lebih besar untuk tingkat atau lapisan
penghasilan yang lebih tinggi.

3. Jenis Pajak
Pajak dapat diberikan menurut golongan, sifat dan lembaga pemungutnya. Pengelompokan
pajak dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

“Gambar 1”
Jenis Pajak

Jenis Pajak

Menurut Golongan Menurut Sifat Menurut Pemungut

Pajak Pajak Tak Pajak Pajak Pajak Pajak


Langsung Langsung Subjektif Objektif Pusat Daerah

1) Jenis Pajak Menurut Golongannya


a. Pajak langsung
Pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan ke pihak lain, tetapi
harus menjadi beban langsung Wajib pajak yang bersangkutan. Contoh Pajak
Penghasilan (PPh) merupakan pajak langsung karena pengenaan pajaknya
adalah langsung ke Wajib Pajak yang menerima penghasilan, tidak dapat
dilimpahkan ke Wajib Pajak lain.

b. Pajak Tidak Langsung


Pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain. Contoh Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) adalah contoh dari pajak tak langsung sebab yang
menjadi menjadi Wajib Pajak PPN seharusnya adalah penjualnya, karena
penjualnya yang mengakibatkan adanya pertambahan nilai, tetapi pengenaan
PPN dapat dilimpahkan ke pembeli (pihak lain).

2) Jenis Pajak menurut Sifatnya


a. Pajak Subjektif
Pajak yang didasarkan atas keadaan subjeknya, memperhatikan keadaan diri
Wajib Pajak yang selanjutnya dicari syarat objektifnya (memperhatikan
keadaan WP).
Contoh PPh adalah pajak subjektif, karena pengenaan pajak penghasilan
memperhatikan keadaan diri WP yang menerima penghasilan.
b. Pajak Objektif
Pajak yang berpangkal pada objeknya tanpa memperhatikan diri Wajib Pajak.
Contoh :
 PPN, karena pengenaan PPN adalah peningkatan nilai dari suatu
barang, bukan pada penjual yang meningkatkan nilai barang.
 PBB, karena PBB dikenakan terhadap keadaan dari tanah dan
bangunan, bukan dari keadaan pemiliknya.

3) Jenis Pajak Menurut Pemungut


a. Pajak Pusat (Negara)
Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai
pengeluaran negar.
Contoh :
 Pajak Penghasilan (PPh)
 Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN)
 Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
 Bea Meterai
 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

b. Pajak Daerah
Pajak daerah dipungut oleh pemerintah daerah dan dipergunakan untuk
membiayai pengeluaran daerah. Pajak daerah diatur dalam PP No.18 / 1997
sebagaimana diubah dengan PP No.34 / 2000.
Pajak daerah dibedakan menjadi 2 yaitu :
 Pajak oleh Pemerintah Daerah Tingkat I / Provinsi :
 Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Kendaraan Atas Air
 Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan
Kendaraan di Atas Air
 Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
 Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan
 Pajak oleh Pemerintah Daerah Tingkat II :
 Pajak hotel
 Pajak Restoran
 Pajak Hiburan
 Pajak Reklame
 Pajak Penerangan jalan
 Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
 Pajak Parkir

4. Sumber dan Kedudukan Hukum Pajak


Dalam sistem hukum di Indonesia, hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik
atau hukum yang mengatur tentang hubungan antara pemerintahan dan warga negaranya.
Secara singkat, kedudukan hukum pajak tampak dalam bagan berikut:

Hukum Perdata

Hukum Privat

Hukum Dagang

Hukum Hukum Pidana

Hukum Tata
Negara
Hukum Publik
Hukum
Administrasi Hukum Pajak
Negara

Hukum Tata
Internasional

Gambar 2. Bagan Kedudukan Hukum Pajak


Berdasarkan Pasal 23a Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang,”
keseluruhan peraturan yang meliputi kewenangan pemerintahan untuk mengambil kekayaan
seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui kas Negara termasuk dalam
ruang lingkup hukum pajak. Mengingat pengaturan ini menyangkut hubungan hukum antara
negara dengan orang pribadi atau badan yang mempunyai kewajiban membayar pajak,
hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik.
Hubungan Hukum pajak dengan hukum pidana dapat dilihat dengan adanya sanksi
pidana atas kealpaan dan kesengajaan terhadap wajib pajak yang melanggar ketentuan
perpajakan. Sedangkan hubungan pajak dengan hukum perdata adalah bahwa hukum pajak
mencari dasar kemungkinan pemungutannya atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan, dan
perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkungan perdata seperti penghasilan,
kekayaan, perjanjian penyerahan hak, dan sebagainya.
Hukum pajak adalah keseluruhan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah
sebagai pemungut pajak (fiscus) dan rakyat sebagai pembayaran pajak (wajib pajak). Hukum
pajak sering juga disebut hukum fiskal yang merupakan bagian dari hukum publik/hukum
administrasi negara. Hukum pajak dibedakan menjadi:
1. Hukum pajak materiil
Hukum pajak materiil adalah peraturan yang mengatur tentang pajak yang sifatnya
umum. Hukum pajak materiil memuat norma-norma yang menerangkan keadaan-
keadaan, perbuatan-perbuatan, serta hukum dan peristiwa-peristiwa hukum yang
harus dikenakan pajak. Umumnya, hukum pajak materiil mengandung unsur-unsur
subjek, objek, tarif, dan dasar pengenaan pajak. Hukum pajak materiil ini berupa
Undang-Undang perpajakan, seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009 tentang PPN & PPnBM.
2. Hukum Pajak Formal
Hukum Pajak Formal adalah peraturan yang mengatur bagaimana hukum pajak
maateriil dilaksanakan. Umumnya, hukum pajak formal terdiri atas hak dan
kewajiban, prosedur, dan sanksi-sanksi. Hukum pajak formal ini berwujud: Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah berapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP, Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan peraturan-peraturan pelaksanaan dari
hukum pajak materiil tersebut.
Dalam ilmu hukum, termasuk juga hukum pajak, berlaku ketentuan yang menyatakan
“lex specialist derogate lex generalis” yang artinya hukum khusus bisa meniadakan
hukum umum. Contoh “lex specialist derogate lex generalis” adalah Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) mengalahkan PPh Pasal 24 tentang Fiskal Luar
Negeri. Dengan demikian, untuk bisa memahami dan menerapkan pajak dengan benar
tentunya bukan hanya memahami Undang-Undang Perpajakan tetapi harus
memahami pula peraturan pelaksanaanya.

5. Asas Pemungutaan Pajak


Asas dan prinsip pemungutan yang baik menurut Adam Smith dalam bukunya, An
Inquiry into the Nature and Cause of Nations, harus memenuhu empat syarat, yaitu Equality,
Certainty, Convenience of Payment, dan Efficient on Collection.
a. Equality on taxation
Asas yang mensyaratkan bahwa hukum pajak haruslah adil, merata, dan tidak ada
diskriminasi dalam menetapkan objek pajak, serta pembebanan kepada masing-
masing subjek pajak hendaknya seimbang dengan kemampuannya.
b. Certainty on taxation
Asas kepastian hukum dalam perpajakan sebenarnya berlaku pula secara universal
dalam bidang hukum lainnya. Aturan hukum pajak harus secara jelas dan pasti
mengatur tentang apa yang menjadi objek pajak, siapa yang menjadi subjek pajak,
berapa tariff yang berlaku, bagaimana cara menghitung dan cara membayarnya, kapan
batas waktu jatuh tempo pembayarannya dan pelaporannya, dan regulasi lain yang
diperlukan, sehingga tidak ada celah dan peluang untuk mengeluarkan diri dari pajak,
menyelundupkan pajak, serta tidak mengenal kompromi.
c. Convenience of Payment
Asas yang menyarankan agar pembayaran pajak dipungut ada waktu yang tepat, dan
dengan cara yang tepat, yang paling sesuai dan menyenangkan bagi wajib pajak pada
umumnya.
d. Convenience of Payment
Asas yang menyatakan bahwa pemungutan pajak harus dilakukan dengan cara efisien,
dengan biaya administrasi yang hemat bagi aparat pajak, dan biaya kepatuhan yang
murah bagi wajib pajak.
Sedangkan menurut W. J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
a. Asas daya pikul
Berdasarkan asas ini, besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar
kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin
tinggi pajak yang dibebankan.
b. Asas manfaat
Pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang
bermanfaat untuk kepentingan umum.
c. Asas kesejahteraan
Pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
d. Asas kesamaan
Dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dan yang lain harus
dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlukan sama).
e. Asas beban yang sekecil-kecilnya
Pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika
dibandingkan dengan nilai objek pajak sehingga tidak memberatkan para wajib
pajak.
Selain pendapat dari Adam Smith dan W. J. Langen, AdolfWagner yang juga seorang tokoh
ekonomi pun mengemukakan pendapatnya mengenai asas pemungutan pajak yang baik,
yaitu:
a. Asas politik finansial. Ini merupakan asas pemungutan pajak yang dipungut
negara yang mana jumlahnya memadai sehingga dapat membiayai atau
mendorong semua kegiatan negara.
b. Asas ekonomi. Asas pemungutan yang didasarkan penentuan objek pajak harus
tepat, misalnya pajak pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah.
c. Asas keadilan. Pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk
kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
d. Asas administrasi. Ini menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, di mana
harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya),
dan besarnya biaya pajak.
e. Asas yuridis. Segala pungutan pajak harus berdasarkan undang-undang

6. Struktur Pemungutan Pajak


Agus Sambodo (2015) mengatakan terdapat tujuh kriteria struktur pemungutan pajak yang
baik, yaitu:
1. Hasil penerimaan pajak harus cukup besar
Kriteria pemilihan suatu pajak yang dipungut oleh suatu negara di berbagai tingkat
pemerintah harus mampu menghasilkan penerimaan pajak (tax yield) yang cukup besar,
setidaknya harus lebih besar dari biaya pemungutannya.
2. Distribusi beban pajak harus adil
Penentuan suatu jenis pajak harus mempertimbangkan struktur pajak yang ada dalam
suatu negara secara keseluruhan.
3. Pembebanan pajak harus tepat
Pemilihan suatu jenis pajak yang baik, tidak hanya mengatur subjek pajak dan objek
pajak, tarif pajak, dan perbuatan, transaksi, keadaan, atau peristiwa apa yang
menimbulkan utang pajak (taatsbestand), tetapi yang lebih penting adalah menentukan
siapa sebenarnya yang paling material yang menanggung beban pajak (tax incidence).
4. Meminimalkan distorsi dalam aktivitas ekonomi
Suatu pajak yang baik dapat menghindarkan atau meminimalkan distorsi terhadap
keputusan dalam aktivitas ekonomi sehingga dapat menunjang pasar yang efisien.
5. Menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi
Penerapan suatu pajak yang baik membebankan pajak terhadap investasi modal sehingga
mendorong kegiatan investasi langsung baik dari dalam maupun luar negeri.
6. Regulasi yang jelas, sederhana, dan mudah dipahami wajib pajak
Penyederhanaan peraturan perundang-undangan perpajakan telah menjadi kecendrungan
bagi reformasi perpajakan diseluruh dunia, utamanya di negara-negara berkembang.
7. Biaya administrasi seefisien mungkin
Dengan peraturan yang jelas dan sederhana, disediakannya seluruh informasiperaturan
perpajakan secara transparan dan dapat diakses oleh publik, memungkinkan pelaksanaan
pembayaran pajak dengan biaya minimum.

7. Cara Dan Sistem Pemungutan Pajak


Secara umum, terdapat tiga macam cara pemungutan pajak.
1. Stelsel nyata
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata sehingga
pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yaitu setelah
penghasilan yang sesungguhnya dapat diketahui.
Kelebihaan: pajak yang dikenakan lebih realistis.
Kekurangan: pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode.
2. Stelsel fiktif
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang.
Kelebihan: pajak dapat dibayar pada tahun berjalan tanpa harus menunggu akhir
tahun.
Kekurangan: pajak yang dibayar berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
3. Stelsel campuran
Stelsel merupakan kombinasi antara stelsel yata dan fiktif. Pada awal tahun, besar
pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya
pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya.

Sedangkan, untuk sistem pemungutan pajak di Indonesia, terdapat 3 sistem, yaitu:


1. Self assessment system
Sistem ini digunakan dalam memungut pajak pusat/pajak negara. Arti dari sistem
ini adalah wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung sendiri,
memperhitungkansendiri, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya.
Sistem ini tercemin dalam perhitungsn PPh di akhir tahun. Keberhasilan sistem ini
sangat tergantung dari kesadaran masyarakat, kejelasan undang-undang, dan
profosionalisme aparat.
2. Official assessment system
Sistem ini masih digunakan dalam memungut pajak daerah dan pajak pusat yang
bersifat final. Dalam sistem ini, yang menentukan besarnya pajak adalah aparat
pajak (fiscus) dan wajib pajak bersifat pasif. Keberhasilan sistem ini sangat
tergantung dari keaktifan dan profesionalisme aparat (fiscus).
3. Withholding system
Sistem ini masih digunakan dalam pemungutan pajak pusat maupun pajak daerah.
Pengertian sistem ini adalah dalam pemungutan dan penyetoran pajak,
pemerintahan (fiscus) melibatkan wajib pajak yang lain. Sistem ini kontribusinya
terhadap peneriman pajak masih sangat dominan.
Contoh: Pemerintahan Daerah memungut pajak hotel melalui pengusaha hotel
Pemerintahan Pusat memungut PPh 21 melalui pemberi kerja.

8. Utang Pajak
Timbulnya utang pajak dapat dilihat berdasarkan :
a. Surat Ketetapan Pajak (Ajaran Formal),ajaran ini diterangkan pada official
assessment system.
b. Undang-undang (Ajaran materiil) bahwa utang pajak timbul karena undang-
undang dan diterapkan pada self assessment system.

Terhapusnya utang pajak disebabkan oleh:


1. Pembayaran
Utang pajak akan terhapus karena pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak ke
kas negara.
2. Kompensasi
Kompensasi terjadi apabila wajib pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan
pembayaran pajak.
3. Daluwarsa
Daluwarsa diartikan sebagai daluwarsa (lewat waktu) penagihan setelah lampau
waktu lima tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak,
bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan.
4. Pembebasan
Utang pajak tidak berakhir dalam arti yang semestinya karen ditiadakan. Pembebasan
umumnya tidak diberikan terhadap pokok pajaknya, tetapi terhadap sanksi
administrasi.
5. Penghapusan
Penghapusan utang pajak ini sama sifatnya dengan pembebasan, tetapi diberikannya
karena keadaan keuangan wajib pajak.

9. Perlawanan Terhadap Pajak


Pajak sebagai penyumbang terbesar dalam APBN secara langsung tergantung dari kesadaran
masyarakat untuk membayar pajak. Namun masih ada beberapa masyarakat yang enggan
untuk membayar pajak. Hal tersebut menyebabkan timbulnya perlawanan pajak. Perlawanan
terhadap pajak dapat dibedakan menjadi perlawanan pasif dan perlawanan aktif.
Perlawanan pasif berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan
mempunyai hubungan dengan struktur ekonomi suatu negara, perkembangan intelektual dan
moral penduduk, dan teknik pemungutan pajak itu sendiri.
Perlawanan aktif secara nyata terlihat pada semua usaha dan perbuatan yang secara
langsung ditujukan kepada pemerintah dengan tujuan untuk menghindari pajak. Diantaranya
dapat dibedakan cara-cara sebagai berikut:
a. Penghindaran diri dari pajak (tax avoidance)
Contoh: Wajib pajak bisa memanfaatkan peraturan-peraturan yang bisa menimbulkan
beda persepsi (grey area) atau memanfaatkan celah undang-undang yang belum ada
aturannya (loophole).
b. Pengelakan diri dari pajak ( tax evasion)
Contoh: wajib pajak membuat pembukuan ganda untuk mengecilkan pajak yang
terutang, menyembunyikan omzet, dan memperbesar beban.
c. Melalaikan pajak
Contoh: wajib pajak menghalangi penyitaan dengan menyembunyikan barang-barang
yang akan disita, memusnahkan dokumen yang menjadi dasar pembukuan.

10. Tarif Pajak


Pemungutan pajak tidak terlepas dari keadilan karena keadilan dapat menciptakan
keseimbangan sosial yang sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam penetapan
tarif harus berdasarkan pada keadilan. Besarnya pajak dapat dinyatakan dalam persentase.
Dalam pajak penghasilan, persentase tarifnya dibedakan menjadi:
1. Tarif marginal
Persentase tariff ini berlaku untuk suatu kenaikan dasar pengenaan pajak. Contohnya,
perhitungan pajak penghasilan orang pribadi. Untuk setiap tambahan penghasilan
kena pajak melebihi Rp0 sampai dengan Rp50.000.000 sebesar 5% yang diikuti pula
untuk setiap tambahan penghasilan kena pajak diatas Rp50.000.000 sampai dengan
Rp250.000.000 dengan tariff marginal sebesar 15%, dan seterusnya.
2. Tarif efektif
Persentase tari pajak yang efektif berlaku atau harus diterapkan atas dasar pengenaan
pajak tertentu.

Berdasarkan persentase tarif pajak, terdapat dua kelompok, yaitu:


1. Tarif proporsional
Tariff berupa persentase tetap terhadap jumlah berapa pun yang menjadi dasar
pengenaan pajak. Sering disebut tarif tunggal karena hanya menggunakan satu tarif
dengan persentase tetap. Contohnya, tariff PPN 10%.
2. Tarif progresif
Tariff pajak yang persentasenya menjadi lebih besar apabila yang menjadi dasar
pengenaannya semakin besar. Misalnya, pajak penghasilan. Berdasarkan kenaikan
persentase tarifnya, tariff progresif dibagi menjadi:
a. Tarif progresif progresif. Dalam hal ini kenaikan persentase pajaknya semakin
besar,
b. Tarif progresif tetap. Kenaikan persentase pajaknya tetap.
c. Tarif progresif degresif. Kenaikan persentasi pajaknya semakin kecil.
d. Tarif degresif. Persentase tarif pajak semakin menurun apabila jumlah yang
menjadi semakin besar
e. Tarif tetap. Tarif berupa jumlah yang tetap (sama jumlahnya) terhadap berapapun
jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak. Contohnya: bea materai.
f. Tarif advolerem. Tarif dengan persentase tertentu atas harga barang atau nilai
suatu barang
g. Tarif spesifik. Tarif dengan jumlah tertentu atas suatu jenis atau satuan jenis
barang tertentu.

Anda mungkin juga menyukai