Anda di halaman 1dari 270

PENGANTAR

HUKUM PAJAK

Y. SRI. PUDYATMOKO, SH. M.HUM


Nama: Samantha Ysmiralda
NIM: 1902010617
Kelas/Semester: L/Semester V (5)
Dosen Pengajar: Bpk. Agustinus Mahur, SH. MS.
M.Hum
Dosen PA: Dr. Thelma Selly Marlin Kadja, SH. MH
BAB 1
PAJAK DAN PUNGUTAN LAIN
A. Pengertian Pajak dan Pungutan Lain Selain Pajak

1.Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH mengatakan


bahwa Pajak adalah peralihan kekayaan dari
pihak rakyat kepada kas negara untuk
membiayai pengeluaran rutin dan
“surplus”nya digunakan untuk public saving
yang merupakan sumber utama untuk
membiayai public investment.
2. Dr. Soeparman Soemahamidjaja memberikan
definisi bahwa Pajak adalah iuran wajib,
berupa uang atau barang, yang dipungut oleh
penguasa berdasarkan norma-norma hukum,
guna menutup biaya produksi barang-barang
dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai
kesejahteraan umum.
3. Prof. P.J.A. Adriani, menurutnya pengertian
pajak adalah “Iuran kepada negara (yang dapat
dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan,
dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang
langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.
4. Prof. Dr. Smeets dalam bukunya De
Economische Betekenis der Belastingen
mengatakan pengertian pajak adalah “Pajak
adalah prestasi kepada pemerintah yang
terutang melalui norma-norma umum, dan
yang dapat dipaksakan, tanpa adanya
kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam
hal yang individual, maksudnya adalah untuk
membiayai pengeluaran pemerintah”.
Dari berbagai definisi tersebut, terdapat ciri atau
karakteristik dari pajak, yaitu sbb:
a. Pajak dipungut berdasar undang-undang atau
peraturan pelaksanaannya.
b. Terhadap pembayaran pajak tidak ada tegen
prestasi yang dapat ditunjukkan secara langsung.
c. Pemungutannya dapat dilakukan baik oleh
pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah, karena itu ada istilah pajak pusat
dan pajak daerah.
d. Hasil dari uang pajak dipergunakan untuk
membiayai pengeluaran pengeluaran
pemerintah baik pengeluaran rutin maupun
pengeluaran pembangunan, dan apabila
terdapat kelebihan maka sisanya
dipergunakan untuk public investment.
e. Di samping mempunyai fungsi sebagai alat
untuk memasukkan dana dari rakyat kedalam
kas negara (fungsi budgeter), pajak juga
mempunyai fungsi yang lain, yakni fungsi
mengatur.
Unsur-unsur pajak adalah sbb:
• Ada masyarakat (kepentingan umum).
• Ada UU.
• Pemungut pajak – penguasa masyarakat.
• Subyek pajak – wajib pajak.
• Obyek pajak – tatbestand.
• Surat ketetapan pajak (fakultatif).
B. Jenis – Jenis Pajak

1. Dari Segi Administratif Yuridis


Pajak Langsung: Suatu jenis pajak dikatakan
sebagai pajak langsung apabila dipungut secara
periodik, yakni dipungut secara berulang-ulang,
tidak hanya satu kali pungut saja, dengan
menggunakan penetapan sebagai dasarnya dan
Pajak Tidak Langsung: Suatu jenis pajak
dikatakan sebagai pajak tidak langsung apabila
beban pajak tidak dapat dilimpahkan kepada
pihak lain. Jadi, dalam hal ini antara pihak yang
dikenai kewajiban atau ditetapkan untuk
membayar pajak dengan pihak yang benar-benar
memikul beban pajak, merupakan pihak yang
sama.
2. Berdasarkan Titik Tolak Pungutannya

Pajak Subjektif: Adalah pajak yang


pengenaannya berpangkal pada diri
orang/badan yang dikenai pajak (wajib pajak).
Pajak subjektif dimulai dengan menetapkan
orangnya baru kemudian dicari syarat-syarat
topiknya. Jadi, yang diperhatikan pertama kali
adalah subjeknya (orang atau badan) baru
kemudian dicari objeknya.
Pajak Objektif: Pajak yang pengenaannya
berpangkal pada objek yang dikenai pajak, dan
untuk mengenakan pajaknya harus dicari
subjeknya. Jadi, pertama-tama yang dilihat
adalah objeknya yang selain benda dapat pula
berupa keadaan, peristiwa, atau perbuatan yang
menyebabkan timbulnya kewajiban membayar,
kemudian baru dicari subjeknya (orang atau
badan) yang bersangkutan langsung tanpa
mempersoalkan apakah subjek itu sendiri berada
3. Berdasarkan Sifatnya

Pajak yang bersifat pribadi (persoonlijk),


yakni pajak yang dalam penetapannya
memperhatikan keadaan dari ide serta
keluarga wajib pajak. Dalam penentuan
besarnya utang pajak, keadaan dan
kemampuan wajib pajak diperhatikan.
Pajak yang bersifat kebendaan (zakelijk),
adalah pajak yang dipungut tanpa
memperhatikan diri dan keadaan si wajib
pajak.
4. Berdasarkan Kewenangan Pemungutannya

Pajak Pusat: Pajak yang kewenangan


pemungutannya berada pada pemerintah pusat.
Yang tergolong jenis pajak ini antara lain,
Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan
Nilai atas Barang dan Jasa (PPn), Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPn.BM), Bea
Materai, dan Cukai.
Pajak Daerah: Pajak yang kewenangan
pemungutan nya berada pada pemerintah
daerah, baik pada Pemerintah Daerah Tingkat I
maupun Pemerintah Daerah Tingkat II.
C. Fungsi Pajak
1. Fungsi Anggaran
Pajak mempunyai fungsi sebagai alat atau
instrumen yang digunakan untuk memasukkan
dana yang sebesar-besarnya ke dalam kas negara.
Dana dari pajak itulah yang kemudian digunakan
sebagai penopang bagi penyelenggaraan dan
aktivitas pemerintahan.
2. Fungsi Mengatur
Digunakan untuk mengatur dan mengarahkan
masyarakat ke arah yang dikehendaki
pemerintah.Oleh karenanya, fungsi mengatur
ini menggunakan pajak untuk dapat
mendorong dan mengendalikan kegiatan
masyarakat agar sejalan dengan rencana dan
keinginan pemerintah.
D. Pendekatan Terhadap Pajak

1. Pajak Ditinjau dari Segi Hukum


Pajak dilihat dari segi hukum dapat didefinisikan
sebagai perikatan yang timbul karena undang-
undang yang mewajibkan seseorang yang
memenuhi syarat (tatbestand) yang ditentukan
dalam UU,
untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada
negara (masyarakat) yang dapat dipaksakan,
dengan tiada mendapat imbalan yang secara
langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
2. Pajak Ditinjau dari Segi Ekonomi

Dari segi mikro ekonomi mengurangi income


individu, mengurangi daya beli seseorang,
mengurangi kesejahteraan individu,
mengubah pola hidup wajib pajak. Dari segi
makro ekonomi, pajak merupakan income
bagi masyarakat (negara) tanpa menimbulkan
kewajiban pada negara terhadap wajib pajak.
E. Asas dan Dasar Pajak

1. Asas Rechtsfilosofis
Asas ini mencari dasar pembenar terhadap
pengenaan pajak oleh negara.
a. Teori Asuransi

Menurut teori asuransi ini pajak diibaratkan


sebagai suatu premi asuransi yang harus dibayar
oleh setiap orang karena orang mendapatkan
perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah.
Teori ini menyamakan pajak dengan premi
asuransi, dimana pembayar pajak (wajib pajak)
disamakan dengan pembayaran premi asuransi,
yakni pihak tertanggung.
Sementara itu, negara dipersamakan dengan
pihak penanggung dalam perjanjian asuransi.
Dalam perjanjian asuransi hubungan antara
prestasi dan kontraprestasi itu terjadi secara
langsung. Adanya pembayaran premi yang
merupakan kewajiban tertanggung
berhubungan langsung dengan haknya untuk
menerima ganti rugi bila terjadi evenement.
Sebaliknya hak dari si penanggung untuk
menerima pembayaran premi itu diimbangi
dengan adanya kewajiban untuk membayar
ganti rugi bila terjadi evenement. Dalam
kenyataannya negara tidak memberikan ganti
rugi begitu saja bila seseorang meninggal,
mengalami musibah dan sebagainya, dan
tidak menerima klaim kerugian dari rakyat
atas kerugian yang dideritanya bila terjadi
evenement.
Justru untuk pajak tidak diterima suatu
imbalan yang secara langsung dapat
ditunjuk. Karena mengandung banyak
kelemahan, teori ini ditinggalkan.
b. Teori Kepentingan

Teori ini mengatakan bahwa negara


mengenakan pajak terhadap rakyat, karena
negara telah melindungi kepentingan rakyat.
Teori ini mengukur besarnya pajak sesuai
dengan besarnya kepentingan wajib pajak
yang dilindungi. Jadi, lebih besar
kepentingan yang dilindungi maka lebih
besar pajak yang harus dibayar.
Teori ini menunjukkan bahwa dasar pembenar
mengapa negara mengenakan pajak adalah
karena negara telah berjasa kepada rakyat
selaku wajib pajak, di mana pembayaran pajak
itu besarnya equivalen (setara) dengan
besarnya jasa yang sudah diberikan oleh negara
kepadanya. Teori ini menyamakan pajak
dengan retribusi, di mana hubungan antara
prestasi dan kontraprestasi terjadi secara
langsung.
C. Teori Kewajiban Pajak Mutlak

Teori ini sering disebut juga “Teori Bhakti”.


Teori tersebut didasarkan pada orgaan theory
dari Otto von Gierke, yang menyatakan bahwa
negara itu merupakan suatu kesatuan yang
didalamnya setiap warga negara terikat. Tanpa
ada “organ” atau lembaga itu individu tidak
mungkin dapat hidup.
Lembaga tersebut, oleh karena memberi hidup
kepada warganya, dapat membebani setiap
anggota masyarakatnya dengan kewajiban-
kewajiban, antara lain kewajiban membayar
pajak, kewajiban ikut mempertahankan hidup
masyarakat/negara dengan milisi/wajib militer.
d. Teori Daya Beli

Menurut teori ini, pajak diibaratkan sebagai


pompa yang menyedot daya beli
seseorang/anggota masyarakat, yang
kemudian dikembalikan lagi kepada
masyarakat. Jadi, sebenarnya uang yang
berasal dari rakyat dikembalikan lagi kepada
masyarakat melalui saluran lain.
Jadi, pajak yang berasal dari rakyat kembali
lagi kepada masyarakat tanpa dikurangi,
sehingga pajak ini hanya berfungsi sebagai
pompa menyedot uang dari rakyat yang
akhirnya dikembalikan lagi kepada
masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat,
sehingga pajak pada hakekatnya tidak
merugikan rakyat. Oleh sebab itu, maka
penguatan pajak dapat dibenarkan.
e. Teori Pembenaran Pajak menurut Pancasila

Pancasila mengandung sifat kekeluargaan dan


gotong royong. Gotong royong/dalam pajak
tidak lain daripada pengorbanan setiap anggota
keluarga (anggota masyarakat) untuk
kepentingan keluarga (bersama) tanpa
mendapatkan imbalan.
Jadi, berdasarkan Pancasila pengetahuan
pajak dapat dibenarkan karena pembayaran
pajak dipandang sebagai uang yang tidak
keluar dari lingkungan masyarakat tempat
wajib pajak hidup. Jadi, akhirnya untuk diri
sendiri, untuk kesejahteraan sendiri, untuk
masyarakat sendiri.
Individu, dalam hubungan ini, tidak dapat
dilihat terlepas dari keluarganya, dan anggota
masyarakat tidak pula dapat dipandang terlepas
dari masyarakat dan lingkungannya. Hak asasi
individu dihormati, dan hanya dapat dikurangi
demi kepentingan umum.
2. Asas Pembagian Beban Pajak

a. Teori Daya Pikul


Menurut teori ini setiap orang wajib membayar
pajak sesuai dengan daya pikul masing-
masing. Daya pikul menurut Prof. de Langen,
sebagaimana dikutip oleh Rochmat Soemitro
adalah kekuatan seseorang untuk memikul
suatu beban dari apa yang tersisa,
setelah seluruh penghasilannya dikurangi
dengan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak
untuk kehidupan primer diri sendiri beserta
keluarga. Atau menurut Mr. Ir. Cohen Stuart
disamakan dengan suatu jembatan, di mana
daya pikul itu adalah sama dengan seluruh
kekuatan pikul jembatan dikurangi dengan
bobot sendiri.
b. Prinsip Benefit (Benefit Principle)

Santoso Brotodiharjo menyebutnya sebagai


asas kenikmatan. Menurut asas ini pengenaan
pajak seimbang dengan benefit yang diperoleh
wajib pajak dari jasa jasa publik yang
diberikan oleh pemerintah.
Berdasarkan kriteria ini, maka pajak dikatakan
adil bila seseorang yang memperoleh
kenikmatan lebih besar dari jasa jasa publik
yang dihasilkan oleh pemerintah dikarenakan
proporsi beban pajak yang lebih besar. PBB
menggunakan prinsip benefit ini untuk
mengukur aspek keadilan dalam perpajakan.
Dasar pemikiran penerapan prinsip ini di
dalam pajak kekayaan adalah bahwa
pelayanan publik (dari negara) telah
meningkatkan harga/nilai dari kekayaan.
3. Asas Pengenaan Pajak

Asas pengenaan pajak ini mencari jawaban


atas permasalahan siapa/pemerintah negara
mana yang berwenang memungut pajak
terhadap suatu sasaran pajak tertentu. Dalam
hal ini pembicaraan menyangkut yurisdiksi
dari suatu negara, berhadapan dengan negara
lain.
a. Asas Negara Tempat Tinggal
Asas ini sering disebut juga sebagai asas
domisili. Asas negara tempat tinggal ini
mengandung arti, bahwa negara di mana
seseorang bertempat tinggal, tanpa memandang
kewarganegaraannya, mempunyai hak yang tak
terbatas untuk mengenakan pajak terhadap
orang-orang itu dari semua pendapatan yang
diperoleh orang itu dengan tak menghiraukan di
mana pendapatan itu diperoleh.
Jadi, yang mempunyai kewenangan untuk
memungut pajak adalah negara di mana wajib
pajak berdomisili, dan dikenakan terhadap
semua penghasilan (world wide income).
b. Asas Negara Asal (Negara Sumber)

Asas negara sumber mendasarkan pemajakan


pada tempat dimana sumber itu berada,
seperti adanya suatu perusahaan, kekayaan
atau tempat kegiatan di suatu negara. Negara
dimana sumber itu berada mempunyai
wewenang untuk mengenakan pajak atas hasil
yang keluar dari sumber itu.
Dalam hal ini penghasilan yang dapat
dikenakan pajak oleh negara tempat
penghasilan itu diperoleh (sumber) hanya
terbatas pada penghasilan yang diperoleh
dari negara tersebut.
c. Asas Kebangsaan

Asas ini mendasarkan pengenaan pajak


seseorang pada status kewarganegaraannya.
Jadi, pemajakan dilakukan oleh negara asal
wajib pajak. Yang dikenakan pajak ialah semua
orang yang mempunyai kewarganegaraan
negara tersebut, tanpa memandang tempat
tinggalnya.
4. Asas Pelaksanaan Pemungutan Pajak

a. Asas Yuridis
Menurut asas ini hukum pajak harus dapat
memberikan jaminan hukum yang perlu untuk
menyatakan keadilan yang tegas baik untuk
negara maupun warganya. Oleh karena itu,
mengenai pajak di negara hukum segala
sesuatunya harus ditetapkan dalam undang-
undang-undang.
Dengan kata lain, hukum pajak harus dapat
memberikan jaminan hukum bagi tercapainya
keadilan, dan jaminan ini diberikan kepada
pihak-pihak yang tersangkut di dalam
pemungutan pajak, yakni pihak fiscus dan
wajib pajak.
b. Asas Ekonomis
1. Harus diusahakan supaya jangan sampai
menghambat lancarnya produksi dan
perdagangan.
2. Harus diusahakan supaya jangan
menghalang-halangi rakyat dalam usahanya
mencapai kebahagiaan.
3. Harus diusahakan jangan sampai merugikan
kepentingan umum.
c. Asas Finansial
Mengingat bahwa pajak merupakan pungutan
paksa yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap wajib pajak yang tidak ada
kontraprestasi secara langsung, maka suatu
pungutan pajak harus memenuhi asas-asas sbb:
1. Asas Legal, di mana berdasar asas ini setiap
pungutan pajak harus didasarkan pada uu.
Oleh karena itu, setiap peraturan perpajakan,
baik yang terdapat dalam peraturan
pemerintah, maupun peraturan yang lebih
rendah tingkatannya harus ada referensinya
dalam uu.
2. Asas Kepastian Hukum, di mana ketentuan-
ketentuan perpajakan tidak boleh
menimbulkan keragu-raguan, kebingungan,
harus jelas, dan mempunyai satu pengertian
sehingga tidak bersifat ambigius. Ketentuan-
ketentuan pajak yang dapat ditafsirkan ganda
akan menimbulkan celah-celah (loopholes)
yang dapat dimanfaatkan oleh para
penyelundup pajak.
3. Asas Efisien, di mana pajak yang dipungut
dari masyarakat kemudian digunakan untuk
membiayai kegiatan-kegiatan administrasi
pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena
itu, suatu jenis pungutan pajak harus efisien,
jangan sampai biaya-biaya pungutannya justru
lebih besar apabila dibandingkan dengan hasil
penerimaan pajaknya itu sendiri.
4. Asas Non Distorsi, yakni bahwa pajak harus
tidak menimbulkan adanya distorsi di dalam
masyarakat, terutama distorsi ekonomi.
Pengenaan pajak seharusnya tidak
menimbulkan kelesuan ekonomi, mis-alokasi,
sumber-sumber daya dan inflasi.
5. Asas Kesederhanaan, dalam hal ini berarti
bahwa aturan-aturan pajak harus dibuat secara
sederhana sehingga mudah dimengerti baik
oleh fiscus, maupun wajib pajak, sebagai
pihak-pihak yang terkait dalam hubungan
pajak. Aturan-aturan pajak yang kompleks di
samping akan dapat menyulitkan bagi
pelaksana-pelaksana perpajakan, juga dapat
ditafsirkan ganda sehingga dapat
menimbulkan adanya celah (loopholes).
6. Asas Adil, hal tersebut terutama berarti
bahwa alokasi beban pajak pada berbagai
golongan masyarakat harus mencerminkan
keadilan. Mengenai hal ini ada dua kriteria
yang lazim digunakan untuk melihat apakah
alokasi beban pajak telah mencerminkan
aspek keadilan, yaitu kemampuan membayar
dari wajib pajak (ability to pay) dan prinsip
benefit (benefit principle).
BAB 2
HUKUM PAJAK
A. Pengertian Hukum Pajak
Santoso Brotodihardjo mengatakan bahwa:
Hukum pajak yang juga disebut hukum fiskal,
adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan
yang meliputi wewenang pemerintah untuk
mengambil kekayaan seseorang dan
menyerahkannya kembali kepada masyarakat
dengan melalui kas negara,
sehingga ia merupakan bagian dari hukum
publik, yang mengatur hubungan-hubungan
hukum antara negara dan orang-orang atau
badan-badan (hukum) yang berkewajiban
membayar pajak (selanjutnya sering disebut
wajib pajak).
Bohari juga mengatakan bahwa: Hukum Pajak
adalah suatu kumpulan peraturan-peraturan
yang mengatur hubungan antara pemerintah
sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai
pembayar pajak. Dengan kata lain hukum
pajak menerangkan:
a. siapa-siapa wajib pajak (subyek pajak).
b. obyek-obyek apa yang dikenakan pajak
(obyek pajak)
c. kewajiban wajib pajak terhadap pemerintah.
d. timbulnya dan hapusnya utang pajak.
e. cara penagihan pajak.
f. cara mengajukan keberatan dan banding
pada peradilan pajak.
B. Pembagian Hukum Pajak

Secara umum hukum pajak dapat dibedakan


menjadi dua, yaitu Hukum Pajak Material
dan Hukum Pajak Formal.
Hukum pajak material memuat norma-norma
yang menerangkan mengenai:
1. Keadaan, perbuatan-perbuatan, dan
peristiwa-peristiwa hukum yang harus
dikenai pajak (obyek pajak) atau disebut
juga tatbestand.
2. Siapa-siapa yang harus dikenai pajak
(subyek pajak/wajib pajak).
3. Berapa besarnya pajak.
Di samping itu termasuk di dalamnya:
1. Peraturan-peraturan yang memuat kenaikan-
kenaikan, denda-denda.
2. Peraturan-peraturan yang memuat
hukuman-hukuman terhadap ketentuan
perpajakan.
3. Peraturan-peraturan tentang tata cara
pembebasan dan pengembalian pajak.
4. Peraturan-peraturan tentang hak mendahului
dari fiscus.
Hukum pajak formal adalah serangkaian
norma yang mengatur mengenai cara untuk
menjelmakan hukum pajak material menjadi
suatu kenyataan. Hukum pajak formal ini
bersifat mengabdi kepada hukum pajak
material, artinya keberadaan hukum pajak
formal menyesuaikan dengan kebutuhan yang
dikehendaki untuk berlakunya hukum pajak
material.
Agar hukum pajak material dapat berlaku efektif, maka
hukum pajak formal ini harus ada. Hukum pajak
formal antara lain mengatur mengenai:
1. Pendaftaran obyek pajak dan wajib pajak.
2. Pemungutan pajak.
3. Penyetoran pajak.
4. Pengajuan keberatan.
5. Permohonan banding.
6. Permohonan pengurangan dan penundaan
pembayaran.
C. Kedudukan Hukum Pajak

Hubungan hukum pajak dan hukum perdata:


1. Hukum pajak mengambil sasaran pada
peristiwa, keadaan, dan perbuatan yang
berada dalam lapangan hukum perdata
sebagai objek penggunaannya.
Hal tersebut dapat dilihat misalnya: terhadap
kepemilikan atas bumi dan bangunan, maka
akan dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
Hubungan antara bumi dan bangunan
dengan pemiliknya, yakni hubungan
kepemilikan; dan itu merupakan hubungan
keperdataan.
2. Hukum pajak banyak menggunakan istilah-
istilah yang ada di dalam hukum perdata,
entah itu dipakai dalam arti yang sama, atau
diberikan dengan memberikan arti yang
berbeda. Istilah kompensasi misalnya, yang di
dalam hukum perdata diartikan sebagai
memperhitungkan utang piutang sampai
sekecil-kecilnya juga dikenal di dalam hukum
pajak.
Istilah pembebasan utang, yang dikenal dalam
lapangan hukum perdata sebagai tindakan dari
kreditur untuk membebaskan utang debitur, juga
dikenal di dalam lapangan hukum pajak, tetapi hal-
hal yang menjadi alasan untuk pembebasan utang
pajak itu sudah ditentukan oleh undang-undang, jadi
tidak dapat digunakan begitu saja. Istilah-istilah lain
yang juga digunakan di dalam hukum pajak
misalnya pembayaran, daluwarsa, domisili, dan
sebagainya.
3. Ada pendapat yang mengatakan bahwa eratnya
hubungan antara hukum pajak dengan hukum
perdata dikarenakan hukum perdata itu harus
dipandang sebagai hukum umum, yang berlaku bagi
serangkaian hubungan hukum sepanjang tidak
ditentukan secara khusus. Dengan demikian, hukum
pajak dalam hal ini dianggap sebagai ketentuan
khusus, dan hukum perdata dipandang sebagai
ketentuan umumnya, sehingga berlaku asas lex
specialis derogat lex generali.
Pendapat seperti ini tampaknya
dilatarbelakangi oleh keadaan di Eropa, di
mana hubungan antara anggota
masyarakatnya bercorak liberal dan
mengagungkan kebebasan individu, sehingga
hukum yang mengatur hubungan antar
individu (privat) mendapatkan tempat sebagai
hukum yang utama (umum).
Hubungan hukum pajak dan hukum pidana:

Pasal 103 KUHP disebutkan: Ketentuan-


ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab
VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-
perbuatan yang oleh ketentuan perundang-
undangan lainnya diancam dengan pidana,
kecuali jika oleh UU ditentukan lain.
Apa yang diatur di dalam Bab I sampai
dengan Bab VIII dari KUHP itu merupakan
ketentuan umum. Dengan adanya ketentuan
Pasal 103 tersebut, jelas bahwa ketentuan
umum itu berlaku juga terhadap perbuatan-
perbuatan yang oleh ketentuan-ketentuan
diluar KUHP diancam dengan sanksi pidana.
Dengan demikian, ketentuan itu juga berlaku
terhadap tindak pidana di bidang pajak,
sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-
undang. Di dalam ketentuan pajak juga
terdapat aturan-aturan pidana.
Sebagai contoh, dalam UU tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 38
sampai dengan Pasal 43 diatur mengenai
ancaman pidana terhadap mereka yang
melakukan tindak pidana di bidang pajak,
seperti tidak mendaftarkan diri sebagai wajib
pajak, menyalahgunakan nomor pokok wajib
pajak, tidak menyampaikan SPT (surat
pemberitahuan), memperlihatkan pembukuan
atau catatan yang palsu atau dipalsukan
Di samping itu, juga ancaman pidana
terhadap pejabat yang tidak memenuhi
kewajibannya untuk menjaga rahasia yang
menjadi tanggung jawabnya juga diatur
(Pasal 41). Akan tetapi, tampaknya ada hal-
hal tertentu antara apa yang diatur dalam
KUHP dengan yang berlaku di dalam
pajak.
Sebagai contoh, dalam KUHP dianut prinsip
bahwa yang dapat dipidana itu hanya orang
(meskipun dalam perkembangannya tidak
terbatas pada orang saja karena dikenal
adanya corporate crimes), sedangkan di
dalam pajak yang dapat dijatuhi sanksi
pidana itu baik orang maupun badan.
Perbedaan lain misalnya di dalam Hukum
Pidana pada umumnya dan prinsip bahwa
proses penyidikan sampai dengan penuntutan
akan diberhentikan apabila tersangka pelaku
tindak pidana meninggal dunia, sementara di
dalam hukum pajak harus seperti itu tidak
berlaku. Hal tersebut apabila terjadi dalam
hukum pajak, akan diteruskan kepada ahli
waris tersangka.
Disamping itu, ada beberapa tindak pidana di
bidang perpajakan dapat dikenakan sanksi
pidana baik oleh KUHP maupun oleh
ketentuan pajak, seperti misalnya larangan
membuka rahasia jabatan yang dapat
diancam pidana baik oleh KUHP pasal 322
maupun pasal 41 UU tentang KUHAP,
penggunaan meterai tempel yang telah
digunakan, dapat dikenakan baik oleh pasal
260 KUHP maupun pasal 13 UU No. 13
Hubungan hukum pajak dan HAN:

Hukum Administrasi mengatur mengenai


fungsi pemerintahan, di mana ruang
lingkupnya adalah cakupan dari fungsi
penguasa yang tidak termasuk dalam
kekuasaan untuk membentuk undang-undang
dan juga tidak termasuk dalam kekuasaan
mengadili.
Dalam himpunan peraturan perundangan RI
yang disusun menurut sistem Engelbrecht
(1987), misalnya di sana disebutkan tidak
kurang dari 88 aturan hukum administrasi
yang terdapat di dalamnya. Di antara sekian
banyak aturan itu, ada juga yang mencakup
masalah pengumpulan uang atau barang,
pelaksanaan pengumpulan sumbangan, dan
UU Perbendaharaan Indonesia yang
sekiranya berkaitan erat dengan masalah
Hukum Administrasi yang mengatur tugas
pemerintah tak pelak juga mencakup
hubungan pemerintah dengan rakyat. Dalam
hubungan seperti itu pula eksistensi hukum
pajak itu berada. Hanya saja memang dalam
hukum pajak, pemerintah dalam kapasitas
yang khusus sebagai fiscus, sementara di sisi
lain rakyat dalam statusnya sebagai subjek
pajak dan wajib pajak.
D. Lahir dan Hapusnya Utang Pajak
Menurut Rochmat Soemitro, utang pajak
adalah utang yang timbulnya secara khusus
karena negara (kreditur) terikat dan tidak
dapat memilih secara bebas siapa yang akan
dijadikan debiturnya, seperti dalam hukum
perdata. Hal ini terjadi karena hutang pajak
lahir karena UU.
Mengenai cara dan saat lahirnya utang pajak
dikenal adanya dua ajaran, yakni ajaran
formal dan ajaran material.

1. Utang pajak menurut ajaran material timbul


dengan sendirinya karena pada saat yang
ditentukan oleh undang-undang sekaligus
memenuhi syarat subyek dan syarat obyek.
“Dengan sendirinya” artinya bahwa untuk
timbulnya utang pajak itu tidak diperlukan
campur tangan atau perbuatan dari pejabat
pajak, asal syarat-syarat yang ditentukan
oleh undang-undang telah dipenuhi.
2. Menurut ajaran formal, utang pajak timbul
karena undang-undang pada saat
dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh
Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal ini
lahirnya utang pajak menurut ajaran formal
terjadi karena undang-undang sebagai
akibat perbuatan manusia, yakni perbuatan
dari aparatur pajak untuk mengeluarkan
Surat Ketetapan Pajak.
Jadi selama belum ada Surat Ketetapan Pajak,
maka belum ada utang pajak dan tidak akan
dilakukan penagihan walaupun syarat subjek
dan syarat objek telah dipenuhi bersamaan.
Dengan demikian, berdasar ajaran formal
lebih mudah bagi wajib pajak untuk
mengetahui kapan Ia mempunyai utang pajak,
karena selama belum ada Surat Ketetapan
Pajak, maka belum ada utang pajak yang
harus mereka bayar.
2. Urgensi Lahirnya Utang Pajak
Mengenai pentingnya menentukan saat
timbulnya utang pajak, Rochmat Soemitro
menyebut adanya beberapa hal, yaitu:
~ Pembayaran/Penagihan.
~ Pemasukan Surat Keberatan.
~ Penentuan bermula dan berakhirnya jangka
waktu daluwarsa.
~ Menerbitkan surat ketetapan pajak dan
surat ketetapan pajak tambahan.
Di dalam hal pajak, utang pajak tidak berlaku
untuk selama-lamanya, melainkan dikenal
adanya daluwarsa. Penentuan waktu daluwarsa
itu umumnya dihitung sejak saat terutangnya
pajak atau berakhirnya masa pajak. Dengan
demikian, saat terutangnya pajak juga penting
untuk menentukan apakah suatu utang pajak
sudah daluwarsa atau belum, negara masih
mempunyai kewenangan untuk menagih pajak
atau tidak.
3. Hapusnya Utang Pajak

Penyebab peniadaan utang pajak pun juga tidak


seperti dalam perikatan perdata. Peniadaan
utang pajak dapat terjadi misalnya karena
sawah yang menjadi objek pajak terkena banjir
sehingga hanyut, penetapan pajak tidak benar,
dan sebagainya. Ini hanya dapat dilakukan
dengan adanya surat keputusan.
Pajak yang terutang hanya dapat dihapuskan
dengan adanya surat keputusan dari direktur
jenderal pajak. Dalam perikatan pajak juga tidak
dikenal adanya perikatan yang batal demi
hukum, tetapi harus ada pembatalan. Perikatan
pajak juga dapat dihapus karena adanya
daluwarsa. Dalam hal pajak dikenal adanya
daluwarsa yang lemah, yakni dengan lampaunya
waktu yang ditentukan maka mengakibatkan
hapusnya kewenangan untuk menagih pajak.
E. Prinsip Pembuatan Aturan di Bidang Pajak

1. Pembuatan aturan di bidang pajak


Adam Smith memberikan pedoman bahwa
supaya peraturan pajak itu adil maka harus
dipenuhi 4 (empat) syarat sbb:
a. Equality and equity.
b. Certainty.
c. Convenience of Payment.
d. Economic of Collection.

Keempat pedoman ini disebut “The Four


Canons of Adam Smith” atau sering juga disebut
“The Four Maxime”.
Equality and equity mengandung arti dan
keadilan, dimana UU pajak senantiasa memberi
perlakuan yang sama terhadap orang yang
berada dalam kondisi sama. Dalam hal ini, di
dalamnya terkandung maksud adanya larangan
perlakuan diskriminatif.
Certainty, mengandung arti kepastian. UU
pajak yang senantiasa dapat memberikan
kepastian hukum kepada wajib pajak,
mengenai kapan ia harus membayar pajak,
apa hak- hak dan kewajiban mereka, dan
sebagainya. Terkait dengan hal itu UU pajak
tidak boleh mengandung kemungkinan
penafsiran ganda (ambigius).
Convenience of Payment, adalah bahwa pajak
harus dipungut pada saat yang tepat, yaitu
pada saat wajib pajak mempunyai uang, dalam
hal ini berkaitan dengan kemampuan wajib
pajak. Mengenai kapan wajib pajak memiliki
uang sehingga mampu untuk membayar pajak
sesuai dengan kewajibannya, masing-masing
wajib pajak tidak sama.
Dalam undang-undang pajak juga harus
diperhitungkan rasio (perimbangan) antara
biaya pengumpulan/pemungutan dengan hasil
dari pajak itu sendiri, sehingga diharapkan
tidak terjadi hasil pajak negatif di mana gaya
yang dikeluarkan untuk pemungutan pajak
justru lebih besar dari jumlah pajak yang
berhasil dihimpun.
Rochmat Soemitro mempunyai pandangan
bahwa untuk pembuatan undang-undang
pajak hendaknya dipenuhi syarat-syarat
tertentu, yakni:
a. Syarat yuridis, di mana pajak itu harus adil.
Keadilan tersebut mencakup dari sisi
aturannya di mana pajak harus dipungut sesuai
dengan kekuatan membayar (daya pikul),
namun juga dalam pelaksanaannya di mana
dalam melaksanakan undang-undang pajak
harus diawasi supaya pejabat yang
melaksanakan tidak sewenang-wenang,
sekalipun tidak keberatan dan pengaduan
kepada atasan pejabat yang berwenang.
Ditambahkan pula bahwa suatu undang-undang
meskipun sudah dipertimbangkan dalam
pembuatannya secara masak-masak, dalam
suatu hal untuk pelaksanaannya dapat jadi
kurang adil, untuk itu dapat dilakukan
billijkheids ordonantie.
b. Syarat ekonomis, di mana pajak harus dibayar
dari penghasilan rakyat (volkeinkomen) dan
tidak boleh mengurangi kekayaan rakyat. Pajak
tidak boleh menghalang-halangi lancarnya
perdagangan dan perindustrian. Pajak juga
tidak boleh merugikan kebahagiaan rakyat,
misalnya pajak atas barang-barang sandang-
pangan yang memberatkan. Pajak sebaiknya
ditagih pada waktu yang tepat, misalnya
sehabis panen, dan sebagainya.
c. Syarat keuangan, di mana hendaknya pajak
yang dipungutnya cukup untuk menutup
sebagian pengeluaran-pengeluaran negara.
Juga pajak tidak memakai ongkos pemungutan
yang besar.
Pengaturan pajak di dalam suatu undang-
undang, seperti telah di singgung di muka,
mempunyai dasar filosofis yang penting karena
pajak merupakan sesuatu yang membebani
rakyat, dimana untuk itu harus terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan dari rakyat melalui
mekanisme persetujuan wakil-wakil rakyat
yang duduk di DPR.
Dengan demikian, sekalipun pengaturan pajak
dalam undang-undang menjadi suatu
keharusan, namun operasionalisasi ketentuan
di bidang pajak ini kadangkala menghendaki
pengaturan lebih lanjut melalui berbagai
bentuk peraturan, baik yang termasuk dalam
peraturan perundangan atau bukan.
2. Peraturan Kebijaksanaan

Peraturan Kebijaksanaan ini dikeluarkan


berdasarkan freies ermessen yang ada padanya.
Freies ermessen atau kewenangan tidak terikat,
merupakan kelengkapan yang diberikan
kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Menurut Philipus M. Hadjon, peraturan
kebijaksanaan bukan merupakan peraturan
perundangan. Badan yang mengeluarkan
peraturan kebijaksanaan adalah in case tidak
memiliki kewenangan pembuatan peraturan.
Peraturan-peraturan kebijaksanaan tidak
mengikat hukum secara langsung, yang
mempunyai relevansi hukum.
Dalam peraturan kebijaksanaan terkandung
suatu syarat pengetahuan yang tidak tertulis,
yang berarti bahwa manakah terdapat kadang-
kadang khusus yang mendesak, maka Badan
Tata Usaha Negara dalam hal yang sifatnya
individual ini harus menyimpang dari peraturan
kebijaksanaan guna kemaslahatan sang warga
yang bersangkutan.
Disamping itu, peraturan perundangan
termasuk bidang hukum dan karena itu dapat
diuji dalam kasasi, sedangkan peraturan-
peraturan kebijaksanaan termasuk dunia fakta
dan karena itu tidak dapat berperan dalam
kasasi.
Dalam kaitannya dengan pembentukan peraturan
kebijaksanaan oleh pemerintah, asas-asas umum
pemerintahan yang baik mempunyai peran penting.
Seperti dikatakan Indroharto, bahwa asas-asas
umum pemerintahan yang baik mempunyai
pengaruh antara lain pada bidang pembentukan
beleid pemerintahan dimana organ pemerintah
diberi kebebasan kebijaksanaan oleh peraturan
perundangan atau tidak terdapat ketentuan-
ketentuan yang membatasi kebebasan
kebijaksanaan yang akan dilakukan itu.
Hal tersebut sesuai dengan peranan Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik, yakni bagi
pemerintah merupakan norma pemerintahan,
bagi hakim (khususnya yang menyelesaikan
sengketa administrasi) merupakan dasar
pengujian (toetsingsgrounden), dan bagi rakyat
sebagai landasan untuk mengajukan keberatan
dan banding.
BAB 3
PENGENAAN PAJAK
A. Stelsel Pajak

1. Stelsel Riil/Nyata
Dalam stelsel riil/nyata ini pengenaan pajak
didasarkan pada keadaan dari obyek pajak
yang sesungguhnya.
Apabila pajak itu dikenakan terhadap
penghasilan misalnya, maka pengenaan pajak
didasarkan pada penghasilan yang sungguh-
sungguh diterima atau diperoleh oleh wajib
pajak. Karena pengenaan pajak didasarkan
pada keadaan yang ada pada obyek pajak itu,
maka tentu tidak dapat dilakukan pemungutan
pada awal masa/tahun pajak di mana selama
masa/tahun pajak itu jumlah dan keadaan
obyek pajak masih sangat mungkin berubah.
Oleh karena itu, apabila terhadap suatu jenis
pajak digunakan oleh stelsel riil, mak sistem
pemungutan pajaknya adalah sistem
pemungutan pajak di belakang (naheffing).
Pemungutan pajak dilakukan setelah
masa/tahun pajak berakhir.
2. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)
Stelsel anggapan pengenaan pajak didasarkan
pada suatu anggapan hukum (fictie) tertentu.
Oleh karena itu, stelsel ini juga disebut
sebagai fictieve stelsel. Sekalipun dasarnya
adalah anggapan, tetapi anggapan ini tidaklah
dengan serta-merta dan sembarangan saja.
Fictie hukum yang dipakai ini misalnya
menganggap bahwa penghasilan yang
diterima oleh setiap wajib pajak adalah sama
besarnya untuk setiap tahun pajak. Oleh
karenanya, begitu tahun pajak sudah berakhir
dan dapat diketahui besarnya penghasilan dari
wajib pajak yang bersangkutan, maka sudah
dapat ditentukan pajak penghasilan untuk
tahun pajak berikutnya.
Fictie lain yang dapat digunakan, misalnya bagi
wajib pajak yang menerima gaji bulanan,
penghasilan dalam satu tahun pajak adalah sama
dengan penghasilan pada bulan I dikalikan dua
belas. Dengan demikian, setelah bulan pertama
berakhir dan diketahui semua penghasilan bulan
itu, maka sudah dapat digunakan untuk
menentukan besarnya penghasilan setahun yang
digunakan sebagai dasar utk menentukan besarnya
pajak bagi wajib pajak yg bersangkutan.
Dengan demikian, stelsel ini menerapkan
sistem pemungutan pajak di depan (voor
heffing). Terhadap perubahan yang terjadi
selama masa/tahun pajak itu tidak
mempengaruhi besarnya utang pajak pada
masa/tahun itu.
3. Stelsel Campuran
Dalam stelsel campuran ini, utang pajak
dikenakan dengan mendasarkan stelsel fictie
pada awal masa/tahun pajak yang itu
merupakan ketetapan yang bersifat sementara,
di mana setelah masa/tahun pajak berakhir
akan dikoreksi berdasarkan keadaan dari
penghasilan yang sesungguhnya diterima oleh
wajib pajak.
Dengan demikian, ada dua ketetapan pajak,
yakni di awal masa/tahun pajak dikeluarkan
ketetapan sementara dan kemudian setelah
masa/tahun pajak berakhir dikeluarkan
ketetapan yang final. Penggunaan stelsel ini
membawa konsekuensi digunakannya sistem
pemungutan di depan dan di belakang
sekaligus. Stelsel ini diterapkan dalam Pajak
Penghasilan.
Dalam Pajak Penghasilan, pajak yang
diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun
pajak dilunasi oleh wajib pajak dalam tahun
berjalan melalui pemotongan dan pemungutan
pajak oleh pihak lain serta pembayaran oleh
wajib pajak sendiri (Pasal 20 ayat (1)).
Sementara itu, untuk pembayaran pajak selama
tahun pajak berjalan, dilakukan dengan cara
angsuran dan untuk kita menggunakan stelsel
fictie, yaitu sebesar pajak yang terutang pada
tahun pajak sebelumnya dikurangi dengan
pemotongan dan pemungutan pajak serta pajak
yang dibayar atau terutang di luar negeri dibagi
dengan banyaknya masa pajak (Pasal 25 ayat
(1)).
Sebagai koreksi terhadap jumlah utang pajak
yang telah dibayar atau dipotong, maka bila
setelah tahun pajak ternyata pajak yang
terutang itu lebih besar dari kredit pajak maka
menurut Pasal 29 kekurangan pajak yang
terutang harus dilunasi selambat-lambatnya
pada akhir bulan ketiga sesudah tahun pajak
yang bersangkutan berakhir, sebelum Surat
Pemberitahuan Tahunan disampaikan.
B. Sistem Pemungutan Pajak

1. Official Assessment System, yakni suatu


sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh wajib pajak. Ciri-ciri dari sistem ini
adalah:
• Wewenang untuk menentukan besarnya pajak
terutang ada pada fiscus.
• Wajib pajak bersifat pasif.
• Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya
Surat Ketetapan Pajak oleh fiscus.
2. Self assessment system, yakni suatu sistem
pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri
besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri dari
sistem ini adalah:
• Wewenang untuk menentukan besarnya
pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri.
• Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung,
menyetor, dan melaporkan sendiri pajak
yang terutang.
• Fiscus tidak ikut campur dan hanya
mengawasi.

3. With holding system, yakni sistem pemungutan


pajak yang memberi wewenang kepada pihak
ketiga (bukan fiscus dan bukan wajib pajak yang
bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-ciri dari
sistem ini adalah:
wewenang menentukan besarnya pajak yang
terutang ada pada pihak ketiga selain fiscus
dan wajib pajak.
C. Tarif Pajak

Untuk menentukan besarnya pajak dapat


digunakan rumus: T = Tb x Tr

T (Besarnya utang pajak).


Tb (Dasar pengenaan pajak/Tax Base).
Tr (Tarif Pajak/Tax Rates)
Ada beberapa macam tarif yang dikenal di
dalam pajak, yaitu sbb:

1. Tarif Tetap, adalah suatu tarif yang berupa


suatu jumlah tertentu yang sifatnya tetap dan
tidak dipengaruhi oleh besarnya jumlah dasar
pajak (tax base), obyek pajak maupun subyek
pajak/wajib pajak.
2. Tarif Proporsional (sebanding/sepadan),
merupakan sebuah “persentase tunggal” yang
dikenakan terhadap semua obyek pajak
berapa pun nilainya. Jadi, apabila tarif ini
diterapkan, besar kecilnya utang pajak
semata-mata ditentukan oleh jumlah/nilai
dasar dari obyek yang dikenai pajak (tax
base).
3. Tarif Progresif (persentase meningkat), berupa
persentase yang meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah yang dikenai pajak. Jadi,
tarif pajak jenis ini terdiri dari beberapa
persentase dan bukan persentase tunggal.
4. Tarif Degresif (persentase menurun), berupa
persentase yang menurun seiring dengan
meningkatnya jumlah yang dikenai pajak.
Jadi, tarif pajak jenis ini terdiri dari beberapa
persentase dan bukan persentase tunggal di
mana persentasenya semakin kecil apabila
jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
D. Perlawanan Terhadap Pajak

Perlawanan terhadap pajak itu dapat


dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu sbb:
1. Perlawanan Pasif
Perlawanan pajak jenis ini terdiri dari
hambatan-hambatan yang mempersukar
pemungutan pajak.
Sebagaimana namanya, perlawanan ini tidak
dilakukan secara aktif apalagi agresif oleh para
wajib pajak, melainkan justru sebaliknya.
Hambatan tersebut erat hubungannya dengan
struktur ekonomi suatu negara, perkembangan
intelektualitas dan pendidikan serta moral dari
rakyat, dan adanya sistem perpajakan yang
tidak mudah untuk diterapkan pada
masyarakat yang bersangkutan.
2. Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan
perbuatan, yang secara langsung ditujukan
terhadap fiscus dengan tujuan untuk
menghindari pajak.
BAB 4
PEMBAHARUAN
PERPAJAKAN NASIONAL
A. Sejarah Pemungutan Pajak di Indonesia

Pada umumnya diketahui bahwa adanya


pengenaan pajak secara teratur dan
permanen adalah sejak zaman kolonial akan
tetapi perlu diingat bahwa ketika wilayah
nusantara terdiri dari kerajaan-kerajaan pun
sudah ada pungutan-pungutan semacam
Pengenaan pajak secara sistematis dan
permanen, dimulai dengan pengenaan pajak
terhadap tanah. Pengenaan pajak terhadap
tanah atau sesuatu yang berhubungan dengan
tanah sudah ada sejak jaman kolonial.
Pada zaman penjajahan Jepang namanya diganti
dengan “Pajak Tanah”, dan setelah Indonesia
merdeka namanya diubah menjadi “Pajak Bumi”.
Kemudian istilah Pajak Bumi diubah menjadi
“Pajak Hasil Bumi”. Yang dikenakan pajak tidak
lagi nilai tanah, melainkan hasil yang keluar dari
tanah, sehingga timbul frustrasi karena hasil yang
keluar dari tanah merupakan objek dari pajak
penghasilan yang saat itu namanya Pajak
Peralihan.
B. Pembaharuan Perpajakan Nasional I

1. Latar Belakang dan Tujuan

Pada tahun 1980-an harga minyak dan gas


bumi di pasaran dunia mengalami
kemerosotan dan situasi tidak menentu,
padahal struktur keuangan negara banyak
Menyadari akan hal tersebut, pemerintah mencari
alternatif pengganti pemasukan negara, dan
pilihan jatuh pada pajak. Dalam pada itu, disadari
pula bahwa pranata hukum di sektor pajak
banyak dibangun berdasarkan produk hukum
peninggalan pemerintah Kolonial Belanda yang
penyusunannya dilatarbelakangi oleh motif, dasar
filosofi, konsep bernegara, dan struktur
organisasi yang berbeda dengan kondisi setelah
Indonesia merdeka.
Oleh karena itu, kebijakan yang diambil adalah
dengan melakukan langkah-langkah
perombakan ketentuan perpajakan secara besar-
besaran yang kemudian dikenal sebagai tax
reform, atau Pembaharuan Perpajakan Nasional
I.
Langkah itu dimaksudkan antara lain untuk
memperkokoh kemandirian keuangan negara,
dengan menyederhanakan jenis pajak yang ada,
menyederhanakan cara pemenuhan kewajiban
pajak oleh wajib pajak untuk meningkatkan
peran serta masyarakat serta meningkatkan
kualitas aparatur pajak. Pembaharuan
Perpajakan Nasional I ditandai dengan
dikeluarkannya beberapa undang-undang di
bidang pajak, yakni:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
ketentuan umum dan tatacara perpajakan
(KUTAP), dengan mencabut ordonansi pajak
perseroan 1925, ordonansi pajak pendapatan
1944, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967
tentang perubahan dan penyempurnaan tata
cara pemungutan pajak pendapatan 1944, pajak
kekayaan 1932, dan pajak perseroan 1925, serta
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1970 tentang
pajak atas bunga deviden dan royalti 1970.
2. Undang-Undang nomor 7 tahun 1983 tentang
pajak penghasilan, dengan mencabut pasal 15
ke-4 dan ke-5 dan pasal 16 undang-undang
nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal
asing, dan pasal 9, pasal 12 ke-4 dan ke-5,
pasal 13 dan pasal 14 undang-undang Nomor 6
Tahun 1968 tentang penanaman modal dalam
negeri.
3. Undang-undang nomor 8 tahun 1983 tentang pajak
pertambahan nilai atas barang dan jasa serta pajak
penjualan atas barang mewah dengan mencabut
undang-undang Nomor 35 tahun 1953 tentang
penetapan undang-undang darurat nomor 19 tahun
1951 tentang pajak penjualan sebagai undang-
undang sebagaimana beberapa kali diubah dan
ditambah terakhir dengan undang-undang nomor 2
tahun 1968 tentang perubahan dan tambahan
undang-undang pajak penjualan 1951.
4. Undang-undang nomor 11 tahun 1985 tentang
pajak bumi dan bangunan dengan mencabut
ordonansi pajak rumah tangga 1908 ordonansi
verponding Indonesia 1923 ordonansi verponding
1928 ordonansi pajak kekayaan 1932 ordonansi
pajak Jalan 1942 pasal 14 huruf j k dan l undang-
undang nomor 11 drt tahun 1957 tentang peraturan
umum pajak daerah peraturan pemerintah
pengganti UU Nomor 11 tahun 1959 tentang pajak
hasil bumi yang dengan UU Nomor 1 tahun 1961
5. Undang-undang nomor 13 tahun 1985 tentang
bea meterai dengan mencabut aturan bea
meterai 1921 Sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan undang-undang nomor
2 PRP tahun 1965 yang telah ditetapkan
menjadi undang-undang dengan undang-
undang nomor 7 tahun 1969.
Pembaharuan perpajakan nasional I ini
sebagaimana disampaikan oleh menteri keuangan
pada waktwaktu, Radius Prawiro, di depan sidang
DPR tanggal 5 Oktober 1983, ditujukan untuk lebih
mana bahkan kemandirian kita dalam membiayai
pembangunan nasional dengan jalan lebih
mengerahkan segenap potensi dan kemampuan dari
dalam negeri, khususnya dengan cara
meningkatkan penerimaan negara melalui
perpajakan dari sumber-sumber diluar minyak bumi
Di dalam pembaharuan perpajakan nasional I
ini dilakukan berbagai langkah penyederhanaan
menyangkut jenis pajak, penyederhanaan
ketentuan mengenai cara pemenuhan kewajiban
pajak dan pemberian kepercayaan kepada wajib
pajak, dan juga ada perubahan yang cukup
mendasar mengenai sistem pengaturan hukum
pajak material dan hukum pajak formal.
Dalam ketentuan yang lama, setiap jenis pajak di
dalam ketentuannya diatur sekaligus baik hukum
pajak material maupun hukum pajak formal.
Sementara itu, dalam ketentuan yang baru
ketentuan hukum pajak formal ditentukan secara
umum menjadi satu, sehingga untuk beberapa
jenis pajak material yang ada, hanya disediakan
satu hukum pajak formal yakni dalam UU Nomor
6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan
tatacara perpajakan (KUTAP).
2. Pokok-Pokok Pembaharuan

Pembaharuan perpajakan nasional I ini


dilaksanakan dengan menggunakan berbagai
langkah, yang pokok-pokoknya adalah sebagai
berikut:
a. Menyederhanakan jumlah jenis pajak. Pajak
pusat yang semula jumlahnya banyak sekali,
disederhanakan menjadi seperti tersebut diatas
ditambah dengan Cukai dan bea masuk.
Termasuk ketentuan pajak formalnya pun juga
disatukan di dalam undang-undang tentang
KUTAP.
b. Menyederhanakan tarif pajak, di mana ini
diharapkan akan lebih mudah untuk dipahami
wajib pajak. Dalam pajak pendapatan pajak
perseroan misalnya ada sejumlah 58 tarif yang
kemudian disederhanakan menjadi 3 tarif saja.
c. Menyederhanakan dalam cara pemungutan. Dalam
pajak penghasilan misalnya, di sana SPT tidak lagi
dikirimkan kepada wajib pajak melainkan diambil
sendiri di tempat-tempat yang sudah disediakan
untuk kemudian diisi oleh wajib pajak untuk
selanjutnya dikembalikan. Dengan demikian,
kepercayaan berupa keterlibatan wajib pajak
diharapkan dapat memberikan rasa tanggung jawab
wajib pajak untuk memenuhi kewajiban pajaknya
sehingga mendorong peningkatan hasil pajak.
d. Adanya kepercayaan yang besar kepada wajib
pajak diimbangi dengan adanya ancaman
sanksi yang lebih berat dengan maksud agar
kepercayaan itu tidak disalahgunakan.
e. Fungsi budgeter dari pajak sangat menonjol
sehingga fungsi mengatur dari undang-undang
yang pajak menjadi dihapuskan. Hal ini
kiranya cukup dimengerti, khususnya untuk
memenuhi tujuan-tujuan jangka pendek yang
memang sangat dibutuhkan.
f. Menghilangkan insentif-insentif di bidang
pajak yang sebelumnya diberikan kepada
wajib pajak. Contohnya insentif kepada PMA
dan PMDN berupa tax holiday, accelerated
depreciation, investment allowance, insentif
bagi PT yang mau go public, insentif bagi
penabung dalam Tabanas, Taska dan
Deposito berjangka juga ikut ditiadakan.
C. Pembaharuan Perpajakan Nasional II

Latar Belakang dan Tujuan

Pembaharuan Perpajakan Nasional I


dirasakan bermanfaat besar dalam
meningkatkan pemasukan keuangan negara
dari luar sektor minyak dan gas bumi.
Akan tetapi, di samping keberhasilan yang
dirasakan itu, disadari pula adanya beberapa
kelemahan yang menyebabkan kurang
berhasilnya Pembaharuan Perpajakan Nasional I.
Kekurangan itu antara lain menyangkut/meliputi:
a. Self assesment system yang memberikan
kepercayaan besar kepada wajib pajak
ternyata masih kurang berhasil.
b. Law enforcement di dalam pajak masih lemah.
c. Disamping itu, pemerintahan tampaknya
semakin menyadari bahwa dalam era
globalisasi ini perebutan posisi dari negara-
negara yang ada di dunia ini semakin keras,
sehingga pemerintah tentu tidak ingin
Indonesia berada dalam posisi unknown.
Pembaharuan Perpajakan Nasional II ditandai
dengan dikeluarkannya beberapa undang-
undang di bidang pajak, yakni:

1. UU No. 9 Tahun 1994, tentang Perubahan Atas


UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. UU No. 10 Tahun 1994 tentang Perubahan
Atas UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 7 Tahun 1991 tentang
Pajak Penghasilan.

3. UU No. 11 Tahun 1994 tentang Perubahan


Atas UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Atas Barang dan Jasa serta
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
4. UU No. 12 Tahun 1994 tentang Perubahan
Atas UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan.
Dalam/kaitannya dengan penyelesaian sengketa
pajak, khususnya menyangkut Majelis
Pertimbangan Pajak, terjadi perubahan yang cukup
berarti. Hal tersebut seperti diatur dalam pasal 27
UU No. 9 Tahun 1994. Dalam pasal tersebut
ditentukan bahwa upaya banding terhadap sengketa
pajak diajukan ke “Badan Peradilan Pajak.”
Sementara Badan Peradilan Pajak belum
terbentuk, maka Majelis Pertimbangan Pajak
untuk sementara melaksanakan fungsi Badan
Peradilan Pajak itu. Di samping hal itu, dalam
UU yang sama juga ditentukan bahwa putusan
Majelis Pertimbangan Pajak bukan merupakan
Keputusan Tata Usaha Negara, dan bersifat final.
Perubahan ini membawa serta konsekuensi
bahwa upaya hukum yang diajukan wajib pajak
ke Majelis Pertimbangan Pajak, bila belum
memuaskan sudah tidak dapat diajukan upaya
hukum lanjutan. Hal tersebut berbeda dengan
kondisi sebelumnya, dimana berdasarkan
penjelasan Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986
masih terbuka upaya hukum melalui PTUN.
Dari ketentuan yang ada dalam UU tentang
KUTAP, didalamnya mengisyaratkan akan
dibentuk Badan Peradilan Pajak. Kehendak itu
akhirnya terealisir setelah tiga tahun di nanti-
nantian oleh banyak pihak. Perwujudan
keinginan itu ialah dengan diundangkannya UU
No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (Lembaran Negara RI Nomor
40, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
3684).
Dalam pasal 2 dari UU tersebut ditegaskan
bahwa: “Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
adalah Badan Peradilan Pajak sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 9 Tahun 1994.”
Sekalipun dalam pasal tersebut ada pernyataan
seperti itu, tetapi masih banyak dipertanyakan
orang mengenai status dan eksistensi Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) itu,
bahkan dipandang kontroversial.
2. Pokok-Pokok Pembaruan

Pembaharuan Perpajakan Nasional II yang


terjadi pada tahun 1994 dilakukan dengan pokok-
pokok perubahan antara lain sbb:

a. Menyangkut Hukum Pajak Formal


1) Kewajiban wajib pajak untuk mendaftarkan
diri diperluas hingga meliputi pula kewajiban
pengusaha untuk mendaftarkan usahanya.
2) Jangka waktu daluwarsa yang semula 5 tahun
menjadi 10 tahun.
3) Ketentuan mengenai banding yang diajukan ke
Peradilan Pajak, dimana ditegaskan bahwa
sebelum terbentuknya Badan Peradilan Pajak,
MPP kemudia bertindak sebagai Peradilan
Pajak yang putusannya bukan KTUN.
4) Sanksi pidana diperberat (Pasal 38 & 39).
5) Memperluas cakupan sanksi pidana sehingga
meliputi pihak ketiga yang tidak memenuhi
kewajiban untuk memberikan keterangan.

b. Menyangkut Pajak Penghasilan

Pokok-pokok perubahan yang terjadi dalam


Pembaharuan Perpajakan Nasional II
menyangkut Pajak Penghasilan antara lain
meliputi:
1) Ketentuan mengenai subjek pajak, BUT
dipisahkan dari subjek pajak berbentuk badan.
2) Ketentuan mengenai objek pajak diatur lebih
rinci, jelas dan tegas untuk memberikan
kepastian hukum dan keadilan dalam
pengenaan pajak.
3) Dalam rangka menunjang pengembangan
IPTEK, pengeluaran untuk penelitian dan
pengembangan perusahaan boleh dibebankan
sebagai biaya.
4) Untuk meningkatkan kualitas SDM,
pengeluaran untuk biaya pelatihan, magang,
dan beasiswa dapat dibebankan sebagai biaya.
5) Kemungkinan pemberian fasilitas perpajakan
kepada wajib pajak yang melakukan
penanaman modal di bidang-bidang usaha dan
atau di daerah-daerah tertentu.
6) Kompensasi kerugian yang lebih dari 5 tahun,
tetapi tidak boleh lebih dari 10 tahun yang
diatur selaras dengan kebijakan pemerintah
dalam rangka pemerataan pembangunan
nasional.
7) Biaya pengelolaan limbah dapat dibebankan
sebagai biaya.
8) Kepada wajib pajak diberikan kebebasan
untuk memilih metode penyusunan atas harta
berwujud bukan bangunan.
9) Berkaitan dengan tarif, dilakukan pengaturan
kembali besarnya lapisan penghasilan kena
pajak dan besarnya lapisan tarif pajak dengan
tetap mempertahankan progresivitas tarif,
dengan mempertimbangkan kesempatan
melakukan pengembangan kegiatan usaha dan
persaingan dunia usaha dalam era globalisasi.
10) Mencegah penghindaran pajak melalui
penundaan pembagian laba dalam waktu yang
tidak ditentukan atas penanaman modal di luar
negeri.

11) Perluasan dalam sistem pemotongan dan


pemungutan pajak untuk meningkatkan
kepatuhan wajib pajak, menggali potensi fiskal
yang tersedia, dan menunjang sistem “self
assessment” secara lebih efektif dan efisien.
c. Menyangkut PPN dan PPn.BM

1) Cakupan objek pajak khususnya berupa


barang, dalam ketentuan lama hanya terbatas
pada penyerahan barang berwujud saja,
sementara dalam ketentuan yang baru meliputi
juga pemanfaatan barang tidak berwujud di
dalam daerah pabean.
2) Perluasan pengertian penyerahan Barang Kena
Pajak (BKP) dimana termasuk dalam cakupan
penyerahan BKP adalah penyerahan aktiva
yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas
perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan
dapat dikreditkan.
d. Pajak Bumi dan Bangunan

1) Adanya NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak


Tidak Kena Pajak) yang meliputi objek pajak
baik berupa bumi maupun bangunan.
2) Ketentuan mengenai banding kepada Badan
Peradilan Pajak yang diatur didalam Pasal 17
dihapuskan, sehingga ketentuan mengenai ini
mengikuti ketentuan dalam UU tentang
KUTAP.
3) Ketentuan yang mengatur mengenai
kualifikasi tindak pidana di bidang pajak
khususnya Pajak Bumi dan Bangunan
dihapuskan.
D. Pembaharuan Perpajakan Nasional III

Latar Belakang dan Tujuan

Pada tahun 1997 pemerintah kembali


mengundangkan beberapa undang-undang di
bidang pajak.
Agak berbeda dengan pembaharuan perpajakan
Nasional 2 yang banyak merevisi ketentuan
undang-undang hasil pembaharuan perpajakan
nasional 1 dalam pembaharuan perpajakan
nasional tiga ini justru kebanyakan mengubah
dan menambah ketentuan-ketentuan perpajakan
yang ada sebelum adanya pembaharuan
perpajakan 1 pembaharuan perpajakan nasional
kali ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal
diantaranya adalah
1) Kebutuhan akan adanya peradilan pajak yang
komprehensif untuk memberikan putusan atas
sengketa pajak dengan proses yang sederhana,
cepat, dan biaya murah.
2) Kebutuhan akan adanya undang yang mengatur
mengenai pajak daerah yang dapat memberikan
kepastian, kejelasan, kesederhanaan, tidak
tumpang tindih dan dapat mengikuti tuntutan
untuk memberikan pemasukan daerah dalam
rangka peningkatan otonomi di daerah.
3) Kebutuhan akan undang-undang penagihan pajak
dengan surat paksa yang dapat mengatasi semua
permasalahan di masyarakat, khususnya
permasalahan mengenai tunggakan pajak, serta dapat
memberi motivasi peningkatan kesadaran dan
kepatuhan masyarakat wajib pajak.
4) Kebutuhan akan ketentuan undang-undang yang
mengatur mengenai penerimaan negara bukan pajak
yang memberikan keadilan, kepastian hukum dan
kesederhanaan, dengan mekanisme persetujuan DPR.
5) Perlunya diadakan pemungutan pajak atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
sebagai pengganti bea balik nama atas harta tetap
berupa hak atas tanah yang pernah berlaku namun
kemudian ditiadakan.
Pembaharuan perpajakan nasional yang ketiga ini
ditandai dengan keluarnya beberapa undang-
undang, yakni:
1) Undang-undang nomor 17 Tahun 1997 tentang
badan penyelesaian sengketa pajak.
2) Undang-undang Nomor 18 tahun 1997 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
3) Undang-undang nomor 19 tahun 1997 tentang
penagihan pajak dengan surat paksa.
4) Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang
penerimaan negara bukan pajak.
5) Undang-undang nomor 21 tahun 1997 tentang
bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
2. Pokok-Pokok Pembaruan

Pada pembaharuan perpajakan nasional yang


ketiga, terjadi berbagai perubahan yang cukup
berarti. Perubahan-perubahan tersebut antara lain
meliputi hal-hal sebagai berikut:
1) Penyelesaian sengketa di bidang pajak yang
semula merupakan kompetensi dari (MPP),
sekarang menjadi kompetensi dari badan
penyelesaian sengketa pajak.

2) Putusan (MPP) yang menurut ketentuan


undang-undang nomor 5 tahun 1986 (vide pasal
48) masih dapat diajukan proses lanjutan ke
PTUN, sekarang menjadi putusan yang final.
3) Adanya penyederhanaan jenis pajak yakni
menjadi 3 jenis pajak daerah tingkat I dan 6 jenis
pajak daerah tingkat II. Di samping itu,
penyederhanaan retribusi daerah yang dapat
digolongkan menjadi tiga yakni retribusi jasa
umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi
perizinan tertentu di mana pengaturannya lebih
jelas dan pasti.
4) Dalam kaitannya dengan penagihan pajak
dengan surat paksa, pengertian penanggung pajak
diperluas untuk menyesuaikan dengan ketentuan
perpajakan yang berlaku, yakni untuk wajib pajak
badan penanggung pajak adalah pengurus yang
pengertiannya telah diperluas. Adanya
kemungkinan penagihan seketika dan sekaligus.
Disamping itu, lebih diperjelas dan dipertegas
pemberitahuan surat paksa secara lebih rinci
tentang kepada siapa, dimana, kapan dan
bagaimana surat paksa diberitahukan dan
kemungkinan pembetulan serta penggantian surat
paksa.
5) Dalam kaitannya dengan penerimaan negara
bukan pajak pengaturannya dilakukan secara
sederhana dan bersifat umum. Dalam hal ini
diatur mengenai pengelompokan penerimaan
negara bukan pajak, sementara mengenai tarifnya
diserahkan pengaturannya dalam undang-undang
maupun peraturan pemerintah. Di samping itu,
diatur pula mengenai pengelolaan penerimaan
negara bukan pajak, serta keberatan yang dapat
diajukan oleh para wajib bayar.
6) Dalam kaitannya dengan bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan dianut sistem self assessment,
yakni wajib pajak menghitung dan membayar
sendiri utang pajaknya. Hal ini berbeda dengan
pajak bumi dan bangunan yang masih menerapkan
sistem official assessment. Pemberian ancaman
hukuman kepada wajib pajak dan pejabat pejabat
umum yang melanggar ketentuan atau tidak
melaksanakan kewajibannya dimaksudkan agar
ketentuan UU dapat berlaku secara efektif.
E. Pembaharuan Perpajakan Nasional IV

Latar Belakang dan Tujuan

Pada tahun 2000 kembali dilakukan


pembaharuan di bidang perpajakan.
Pembaharuan perpajakan kali ini dilakukan
terhadap beberapa undang-undang di bidang pajak
yang dikeluarkan pada saat pembaharuan
perpajakan nasional I, pembaharuan perpajakan
Nasional II, dan sebagian lagi mengubah
ketentuan yang dikeluarkan pada pembaharuan
perpajakan Nasional III.
Pembaharuan perpajakan nasional IV ditandai
dengan keluarnya beberapa UU di bidang pajak,
yakni:
a. UU Nomor 16 tahun 2000 tentang perubahan
kedua atas undang-undang nomor 6 tahun 1983
tentang ketentuan umum dan tatacara perpajakan.
b. UU Nomor 17 tahun 2000 tentang perubahan
ketiga atas undang-undang nomor 7 tahun 1983
tentang pajak penghasilan.
c. UU Nomor 18 tahun 2000 tentang perubahan
kedua atas undang-undang nomor 8 tahun 1983
tentang pajak pertambahan nilai atas barang dan
jasa dan pajak penjualan atas barang mewah.
d. Undang-undang nomor 19 tahun 2000 tentang
perubahan atas undang-undang Nomor 19 Tahun
1997 tentang penagihan pajak dengan surat paksa.
e. UU Nomor 20 tahun 2000 tentang perubahan
atas undang-undang Nomor 21 Tahun 1997
tentang bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan.
Apa yang menjadi latar belakang dan tujuan dari
pembaharuan perpajakan nasional IV ini dapat
dikemukakan pokok-pokoknya sebagai berikut:

Perubahan terhadap undang-undang tentang KUP


dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran bahwa
dalam pelaksanaan UU tentang KUTAP masih
terdapat hal-hal yang belum tertampung sehingga
menuntut perlunya penyempurnaan sejalan dengan
perkembangan sosial ekonomi dan kebijaksanaan
Perubahan undang-undang tersebut diarahkan dan
mengacu pada tercapainya kemandirian bangsa
dalam pembiayaan negara dan pembangunan,
pemerataan pembangunan dan investasi,
menunjang usaha peningkatan ekspor, menunjang
usaha pengembangan usaha kecil, menunjang
usaha pengembangan sumber daya manusia,
pelestarian ekosistem, meningkatkan keadilan dan
partisipasi masyarakat dalam pembiayaan
pembangunan sesuai dengan kemampuannya,
Menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan
yang makin mampu, bersih dan meningkatkan
mutu pelayanan kepada masyarakat.
Latar belakang pembaharuan undang-undang
tentang pajak penghasilan juga tidak terlepas dari
adanya kesadaran akan perlunya penyempurnaan
undang-undang yang ada dan penyesuaiannya
dengan perkembangan serta kebijakan
pemerintah.
Dalam hal ini, arah dan tujuan pembaharuan
tersebut diantaranya adalah: lebih meningkatkan
keadilan pengenaan pajak, lebih memberikan
kemudahan kepada wajib pajak, serta menunjang
kebijaksanaan pemerintah dalam rangka
meningkatkan investasi langsung di Indonesia
baik melalui PMA maupun PMDN di bidang-
bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu
yang mendapat prioritas.
Pembaharuan undang-undang tentang pajak
pertambahan nilai atas barang dan jasa dan pajak
penjualan atas barang mewah (PPN dan PPn.BM)
dilatarbelakangi oleh adanya beberapa kelemahan
yang disadari pemerintah pada ketentuan lama,
diantaranya: kurang adil, kurang memberikan
hak-hak wajib pajak, kurang memberi kemudahan
bagi wajib pajak, dan kurang memberikan
kepastian hukum serta kurang sederhana.
Untuk itu, pembaharuan perpajakan dilakukan
dengan menitikberatkan pada peningkatan asas
keadilan, asas kepastian hukum, asas legalitas dan
asas kesederhanaan. Latar belakang pembaharuan
undang-undang tentang penagihan pajak dengan
surat paksa juga tidak terlepas dari adanya
kesadaran akan perlunya penyempurnaan
ketentuan lama.
Hal tersebut mengingat semakin banyaknya
tunggakan pajak, dimana ini mencerminkan
melemahnya peran serta masyarakat dalam pajak
yang sebenarnya sangat diharapkan. Telah
disadari bahwa ketaatan wajib pajak untuk
memenuhi kewajibannya adalah hal yang
strategis menentukan keberhasilan pajak.
Disamping itu, perlu diwujudkan keselarasan
dengan berbagai ketentuan lain seperti mengenai
pemerintahan daerah, ketentuan mengenai
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah. Hal lain yang perlu diwujudkan
adalah keadilan, perlindungan hukum, kepada
penanggung pajak maupun pihak ketiga, serta
pelaksanaan penegakan hukum secara konsisten.
Pembaharuan undang-undang tentang bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan didorong
oleh adanya perubahan tata perekonomian
nasional dan internasional yang berkembang dan
oleh karenanya perlu diakomodasikan dengan
menyempurnakan ketentuan yang lama.
Sedangkan arah dan tujuan pembaharuan undang-
undang tentang bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan adalah: menampung perubahan tatanan dan
perilaku ekonomi masyarakat dengan tetap
berpedoman pada tujuan pembangunan nasional di
bidang ekonomi yang bertumpu pada kemandirian
bangsa untuk membiayai pembangunan yang
bersumber dari pajak, serta lebih memberikan
kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat pelaku
ekonomi untuk berpartisipasi dalam pembiayaan
BAB 5
HUKUM PAJAK INTERNASIONAL
A. Pengertian
Meskipun hubungan kerjasama dari berbagai
negara itu demikian luasnya, namun perlu
dipahami pula bahwa masing-masing negara
masih tetap memiliki kedaulatan terhadap
teritorialnya, dan sekaligus mempunyai kebebasan
dalam menentukan segala sesuatu yang berkaitan
dgn negara yg bersangkutan,
yang tentu saja dalam batas-batas tertentu.
Adanya hubungan kerjasama antar berbagai
negara bangsa itu tentu harus diatur, entah
dalam wujud kesepakatan-kesepakatan, traktat,
maupun konvensi konvensi. Semuanya itu
tercakup di dalam apa yang disebut sebagai
hukum antar negara, atau yang sekarang sering
disebut sebagai Hukum Internasional.
Dalam hal ini tidaklah dapat disangkal lagi
bahwa kepentingan bersama dari sebuah negara
seperti keamanan, perdamaian, keadilan,
kemakmuran, kerjasama, dan sebagainya
menghendaki secara mutlak adanya sopan
santun dalam pergaulan antar negara yang
merupakan peraturan-peraturan hukum. Hal
tersebut juga meliputi juga tugas dari negara
sebagai pemungut pajak.
Untuk itu dilakukanlah berbagai upaya yang
memungkinkan adanya kerjasama dalam
bidang pajak. Dengan demikian, hukum
internasional terkait pula di dalamnya Hukum
Pajak Internasional.
Mengenai pengertian dari Hukum Pajak
Internasional ini, ada berbagai pendapat:

Rosendorff, sebagaimana dikutip Santoso


Brotodihardjo, mengatakan bahwa hukum
pajak internasional adalah keseluruhan dari
hukum pajak nasional dari semua negara.
Sementara itu, P. Verloren van Themaat
mengatakan hukum pajak internasional adalah
keseluruhan norma-norma (kebiasaan atau
traktat) internasional, yang membatasi
kedaulatan dari suatu negara dalam soal
pajak.
P. J. A. Adriani sebagaimana dikutip oleh Rochmat
Soemitro, mengatakan bahwa hukum pajak
internasional adalah keseluruhan peraturan yang
mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur soal
penyedotan daya beli itu di masing-masing negara.
Dikatakan pula olehnya bahwa pengertian Hukum
Pajak Internasional itu merupakan suatu pengertian
yang lebih luas daripada pengertian pajak ganda,
dan hukum (pajak) nasional itu termasuk dalam
hukum (pajak) internasional.
Hukum pajak internasional merupakan suatu
kesatuan hukum yang mengupas suatu
persoalan yang diatur dalam UU nasional
mengenai:
a. Pemajakan terhadap orang-orang luar negeri.
b. Peraturan-peraturan nasional untuk
menghindarkan pajak ganda.
c. Traktat-traktat.
Rochmat Soemitro memberikan pengertian Hukum
Pajak Internasional itu dengan mengatakan:
Hukum pajak internasional adalah hukum pajak
nasional yang terdiri dari kaidah, baik berupa
kaidah-kaidah nasional maupun kaidah yang
berasal dari traktat antar negara dan dari
prinsip/kebiasaan yang telah diterima baik oleh
negara-negara di dunia untuk mengatur soal-soal
perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukkan
adanya unsur unsur asing, baik mengenai
Dari beberapa pendapat tersebut, dapatlah
dikatakan bahwa sebenarnya hukum pajak
internasional itu didalamnya juga adalah
hukum pajak nasional dan norma hukum
internasional yang mengatur mengenai
masalah perpajakan. Jadi tidak hanya terbatas
pada traktat, konvensi, dan kebiasaan
internasional, tetapi meliputi pula hukum pajak
nasional yang bersinggungan dengan masalah
asing (luar negeri).
Agak berbeda halnya dengan Hukum Perdata
Internasional yang mempersoalkan hukum mana
yang akan diterapkan ketika berhadapan antara
hukum nasional dengan hukum asing, dalam
Hukum Pajak Internasional apabila bicara
penerapan hukum maka dilihat apakah hukum
pajak nasional kita diterapkan atau tidak.
Norma-norma Hukum Pajak Internasional
seringkali termaktub di dalam hukum pajak
nasional, seperti ketentuan mengenai
penghindaran pajak berganda, perlakuan pajak
yang khusus seperti tax deductief, dan
sebagainya. Semua itu dapat dikategorikan
sebagai Hukum Pajak Internasional.
Di dalam Hukum Pajak Internasional
terkandung unsur asing yang dapat berupa
objek pajak maupun subjek pajaknya. Unsur
asing berupa objek pajak itu meliputi:
• Objek pajak yang berada di luar negeri (luar
wilayah Indonesia) milik dari subjek pajak
dalam negeri.
• Objek pajak yang berada didalam negeri milik
subjek pajak asing.
Unsur asing berupa subjek pajak itu meliputi:
• Subjek pajak yang berada di Indonesia itu
adalah orang asing (luar negeri), yang ada
kemungkinan tunduk juga pada hukum pajak
asing yang berlaku baginya.
• Bangsa Indonesia merupakan wajib pajak
Indonesia (dalam negeri) ada di luar negeri.
• Orang yang mempunyai sumber pendapatan di
Indonesia yang bertempat tinggal di luar
negeri (luar wilayah Indonesia).
B. Pajak Ganda Internasional
1. Volkendbond (League of Nation)
Pajak ganda internasional terjadi apabila pajak-pajak
dari dua negara atau lebih saling menindih,
sedemikian rupa sehingga orang-orang yang
dikenakan pajak di negara-negara yang lebih dari
satu, memikul beban pajak yang lebih besar daripada
jika mereka dikenakan pajak di satu negara saja.
Beban tambahan yang terjadi karenanya itu
tidak semata-mata disebabkan karena
perbedaan tarif dari negara-negara yang
bersangkutan, melainkan karena dua negara
atau lebih secara bersamaan memungut pajak
atas objek yang sama dan subjek yang sama.
Dari pendapat tersebut dapat diketahui adanya
beberapa unsur dari suatu pajak ganda
internasional, yaitu:
• Ada pajak dua negara atau lebih yang saling
menindih.
• Subjek pajak yang dikenai pajak itu memikul
beban pajak yang lebih besar daripada apabila
dikenakan pajak di satu negara saja.
• Beban tambahan itu bukan diakibatkan oleh
adanya perbedaan tarif.
• Pengenaan pajak itu atas objek yang sama dan
subjek yang sama pula.
2. Fiscal Committee OECD
Sebuah komite fiskal dari Organization for
Economic Cooperation and Development
mendefinisikan pajak ganda internasional
sebagai:
“ The phenomenon of international double
taxation, which can be generally defined as the
imposition of comparable taxes in two (or more)
states on the same taxpayer in respect of the
same subject matter and for identical periods.”
3. Ottmar Buhler
Beliau membedakan antara pajak ganda dalam
arti luas dan pajak ganda dalam arti sempit. Pajak
ganda dalam arti luas terjadi manakala suatu
tatbestand yang sama, pada saat yang sama, oleh
beberapa negara dikenakan pajak yang sama atau
yang sifatnya sama. Sementara itu, yang
dimaksud sebagai pajak ganda dalam arti sempit
adalah apabila pajak yang bersangkutan
dikenakan pada subjek yang sama.
Dari pendapat Ottmar Buhler tadi dapat diketahui
bahwa pajak ganda internasional dalam
pengertian luas adalah apabila terhadap suatu
sasaran (objek pajak) dikenakan pajak yang
sifatnya sama oleh beberapa negara. Jadi, tidak
harus dikenakan terhadap subjek yang sama.
C. Sebab-Sebab Terjadinya Pajak Ganda
Internasional

Kaidah hukum yang dapat menyebabkan


benturan hukum tersebut oleh Ottmar Buhler
dan Teichner disebut “kollisionsnormen”,
sementara Rochmat Soemitro mengatakan
bahwa kaidah hukum yang seperti itu lebih
tepat disebut sebagai “kaidah pertautan”.
Dalam hukum pajak internasional, terhadap
titik pertautan itu sendiri tidak dilakukan
pilihan hukum dalam arti sistem hukum dari
suatu negara atau sistem hukum dari negara
lain yang akan diterapkan terhadap titik
pertautan itu, melainkan dalam hal ini hanya
satu tata hukum pajak dari satu negara saja,
sehingga terhadap titik pertautan itu apakah
hukum nasional diterapkan atau tidak.
Titik pertautan tersebut ada di dalam sasaran
pengenaan pajak (tatbestand) yang dapat
bersifat hubungan kepribadian maupun
hubungan kebendaan. Tatbestand ini dapat
dikenal dari keadaan subjek, objek, maupun
perbuatan. Subjek dapat mempunyai hubungan
dengan negara yang memungut pajak karena
tempat tinggalnya, karena keberadaannya di
suatu wilayah negara tertentu, atau karena
hubungan kewarganegaraan.
Untuk subjek pajak berupa badan, mempunyai
hubungan hukum dengan negara pemungut
karena tempat kedudukan atau tempat
didirikannya badan itu. Sementara itu, objek
pajak mempunyai hubungan dengan negara
pemungut pajak karena di negara itulah objek
pajak berada. Perbuatan mempunyai hubungan
dengan negara pemungut karena kegiatan itu
dilakukan di negara yang bersangkutan.
Dengan demikian, sebenarnya apabila terhadap
suatu sasaran pajak (tatbestand) itu hanya
dikenakan pajak satu kali saja, maka jauh akan
lebih adil dan tidak memberatkan subjek pajak
yang bersangkutan.
D. Penghindaran Pajak Ganda

Untuk penghindaran pajak ganda itu dapat


dilakukan melalui cara-cara sbb:

1. Cara unilateral (sepihak), dimana dilakukan


dengan memasukkan ke dalam UUPN, ketentuan
yang dapat menghindarkan pajak ganda.
Cara unilateral ini dapat dilakukan dengan
menggunakan berbagai metode, antara lain:

a. Tax exemption, merupakan metode


penghindaran pajak ganda yang umumnya
dilakukan oleh negara domisili, yang
mempunyai kewenangan pemungutan pajak
secara tak terbatas (world wide income).
Dalam hal ini dilakukan dengan cara melepaskan
haknya untuk memungut pajak terhadap objek
pajak yang sumbernya atau asalnya dari luar
negeri, sehingga hak untuk memungut pajak itu
diserahkan kepada negara sumber.
b. Tax credit, merupakan metode untuk memberikan
pengurangan pajak apabila penghasilan yang
diperoleh subjek pajak dari luar negeri dikenakan
pajak baik dalam negeri maupun di luar negeri
(negara sumber). Pemberian tax credit ini dilakukan
apabila jumlah pajak yang dikenakan oleh negara
sumber tidak melebihi jumlah pajak yang dikenakan
oleh negara domisili. Atau dengan kata lain tax
credit hanya diberikan maksimum sebesar pajak
yang dikenakan oleh negara domisili.
c. Reduced rate for foreign income, merupakan
metode penghindaran pajak ganda yang
dilakukan oleh negara domisili terhadap
penghasilan yang diperoleh subjek pajak yang
berdomisili di negara tersebut yang bersumber
dari luar negeri. Di mana terhadap penghasilan
yang diperoleh atau berasal dari luar negeri
tersebut dikenakan pajak dengan menggunakan
tarif yang diperingan dan tidak sama dengan
tarif umum yang berlaku di negara domisili itu.
Jadi, dalam hal ini negara domisili tidak sama
sekali melepaskan haknya untuk memungut pajak
terhadap penghasilan subjek pajak yang
berdomisili di negara tersebut yang diperoleh dari
luar negeri, melainkan terhadap penghasilan yang
bersumber dari luar negeri tersebut dikenakan
tarif khusus yang diperingan (telah diturunkan).
d. Tax deduction for foreign income, merupakan
metode penghindaran pajak ganda yang
dilakukan dengan memasukkan pajak yang
dibayar di luar negeri ke dalam komponen
biaya.
Seperti kita ketahui bahwa untuk pengenaan
pajak, pada umumnya yang digunakan sebagai
dasar pengenaan pajak (tax base) adalah laba
bersih, yakni laba kotor yang telah dikurangi
dengan biaya-biaya dan pengeluaran-pengeluaran
tertentu yang oleh undang-undang diperkenankan
untuk digunakan untuk mengurangi laba kotor.
Dalam hal ini, pajak yang telah dibayar di negara
sumber itu dianggap sebagai biaya.
2. Cara bilateral (timbal-balik dua negara), yaitu
dengan menggunakan perjanjian internasional di
antara dua negara yang terlibat, yang isinya
menyampaikan untuk menghindari pajak ganda
internasional. Pada umumnya negara domisili
melepaskan haknya untuk memungut pajak, dan
hak memungut pajak itu diberikan kepada negara
sumber.
Kesepakatan itu dapat dilakukan secara timbal
balik, mengingat dalam suatu negara ada
kemungkinan diterapkan lebih dari satu asas
pengenaan pajak.
Kesepakatan itu dapat dilakukan secara timbal
balik, mengingat dalam suatu negara ada
kemungkinan diterapkan lebih dari satu asas
pengenaan pajak.
3. Cara multilateral, di mana sejumlah negara
menandatangani traktat yang isinya
menyepakati untuk menghindari pajak ganda
internasional yang terjadi antara mereka
terhadap suatu objek dan subjek pajak tertentu.
4. Melalui kebiasaan internasional, apabila cara-cara
tersebut diatas tidak dapat ditempuh, karena negara
yang bersangkutan belum mengatur di dalam
undang-undang pajak nasionalnya mengenai
penghindaran pajak ganda, juga belum melakukan
perjanjian bilateral untuk penghindaran pajak
ganda, maupun juga belum meratifikasi traktat
internasional mengenai penghindaran pajak ganda,
maka dapat digunakan kebiasaan internasional.
Pada umumnya dianut kebiasaan bahwa
negara sumber diberikan hak untuk
memungut pajak, sementara negara domisili
dan negara kebangsaan melepaskan haknya.
BAB 6
HAK MENDAHULU DARI
NEGARA
A. Pengertian dan Urgensi Hak Mendahulu

Pada pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) dari UU


Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan
Kedua Atas UU Nomor 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan menentukan sbb:
(1)Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi
segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
a. biaya perkara yang semata-mata disebabkan
suatu penghukuman untuk melelang suatu barang
bergerak dan atau barang tidak bergerak.
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkan barang dimaksud.
c. biaya perkara, yang semata-mata disebabkan
pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
(2) Hak mendahulu itu hilang setelah lampau
waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal diterbitkan
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus
dibayar bertambah, kecuali apabila dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut, Surat
Paksa untuk membayar itu diberitahukan
secara resmi, atau diberikan penundaan
pembayaran.
Berdasarkan ketentuan pasal 21 ayat (3) dari
UU tentang KUTAP tersebut di atas terlihat
bahwa utang pajak mempunyai kedudukan
yang lebih diutamakan bila berhadapan dengan
utang perdata, kecuali beberapa hal dalam sub
a sampai dengan sub c.
Dengan demikian, utang perdata yang telah
dijamin dengan gadai dengan hipotek sekalipun
tetap dapat dikalahkan oleh utang pajak. Hal
tersebut mengingat dalam ketentuan di halaman
sebelumnya dicantumkan adanya gadai dan
hipotek sebagai jaminan yang dapat mengalahkan
utang pajak untuk urutan pemenuhannya.
Pendirian seperti ini tampaknya memang sudah
berlangsung lama, yakni sejak adanya tax reform
tahun 1984.
Adanya pengaturan yang demikian itu
mengakibatkan tagihan utang yang dijamin dengan
hipotek, gadai, dan privilege, tidak lebih kuat dari
tagihan pajak, sehingga setiap saat barang wajib
pajak yang dijadikan jaminan terhadap utang-
utangnya di tangan siapapun barang itu berada,
dapat dikenakan sita dan si pemegang barang-
barang jaminan itu tidak dapat menyanggah atau
menolak sita itu dengan dalih bahwa barang-barang
itu dijadikan jaminan utang-utang perdata wajib
Kebijakan utang mendahulukan piutang Gaara
dalam bentuk pajak di atas piutang perdata ini
merupakan hal yang sangat prinsipil dan
penting hal ini mengingat hasil dari tagihan itu
akhirnya dikembalikan untuk digunakan bagi
kepentingan umum untuk melangsungkan
kehidupan negara dan bangsa Indonesia dan
seterusnya digunakan untuk mencapai
masyarakat yang sejahtera adil dan makmur
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hak mendahulu dari negara terhadap utang pajak
itu meliputi baik jumlah pokok pajak bunga
denda administrasi maupun biaya penagihan.
Akhirnya, telah diuraikan bahwa apabila utang
pajak berhadapan dengan utang perdata dari
debitur yang sama maka utang pajak lebih
diutamakan/didahulukan pemenuhannya kecuali
beberapa hal yang sudah disebutkan tadi.
Bagaimana dengan beberapa utang pajak itu
sendiri? Dalam Pasal 39 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,
diatur juga mengenai hak mendahulu terhadap
tagihan pajak dari negara.
Mengingat ketentuan Pasal 21 ayat (3) Undang-
Undang tentang ketentuan umum dan tatacara
perpajakan itu menyebutkan mengenai hak
mendahulu untuk “tagihan pajak” yang
melebihi segala hak mendahulu lainnya, maka
menurut saya hal ini juga berlaku terhadap bea
masuk dan pajak daerah.
Hal tersebut mengingat baik bea masuk
maupun pajak daerah itu esensinya adalah tetap
sebagai pajak. Hal tersebut diperkuat oleh
adanya maksud pemberian hak mendahulu
dalam hal pajak itu, sebagaimana dikatakan
dalam penjelasan Pasal 21 ayat (3) dari
Undang-Undang tentang ketentuan umum dan
tatacara perpajakan, yakni:
“Untuk memberi kesempatan kepada
Pemerintah untuk mendapatkan bagian lebih
dahulu dari kreditur lain atas hasil pelelangan
barang-barang milik penanggung pajak di
muka umum guna menutupi atau melunasi
utang pajaknya.”
Dengan demikian, apabila terjadi beberapa
utang pajak seperti itu dari seorang wajib pajak
dan hasil pelelangan harta wajib pajak tidak
mencukupi untuk memenuhi kewajiban-
kewajibannya, maka diutamakan tagihan pajak
yang pemenuhannya didahulukan dengan
dibagi secara proporsional.
SEKIAN
&
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai