HUKUM PAJAK
1. Asas Rechtsfilosofis
Asas ini mencari dasar pembenar terhadap
pengenaan pajak oleh negara.
a. Teori Asuransi
a. Asas Yuridis
Menurut asas ini hukum pajak harus dapat
memberikan jaminan hukum yang perlu untuk
menyatakan keadilan yang tegas baik untuk
negara maupun warganya. Oleh karena itu,
mengenai pajak di negara hukum segala
sesuatunya harus ditetapkan dalam undang-
undang-undang.
Dengan kata lain, hukum pajak harus dapat
memberikan jaminan hukum bagi tercapainya
keadilan, dan jaminan ini diberikan kepada
pihak-pihak yang tersangkut di dalam
pemungutan pajak, yakni pihak fiscus dan
wajib pajak.
b. Asas Ekonomis
1. Harus diusahakan supaya jangan sampai
menghambat lancarnya produksi dan
perdagangan.
2. Harus diusahakan supaya jangan
menghalang-halangi rakyat dalam usahanya
mencapai kebahagiaan.
3. Harus diusahakan jangan sampai merugikan
kepentingan umum.
c. Asas Finansial
Mengingat bahwa pajak merupakan pungutan
paksa yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap wajib pajak yang tidak ada
kontraprestasi secara langsung, maka suatu
pungutan pajak harus memenuhi asas-asas sbb:
1. Asas Legal, di mana berdasar asas ini setiap
pungutan pajak harus didasarkan pada uu.
Oleh karena itu, setiap peraturan perpajakan,
baik yang terdapat dalam peraturan
pemerintah, maupun peraturan yang lebih
rendah tingkatannya harus ada referensinya
dalam uu.
2. Asas Kepastian Hukum, di mana ketentuan-
ketentuan perpajakan tidak boleh
menimbulkan keragu-raguan, kebingungan,
harus jelas, dan mempunyai satu pengertian
sehingga tidak bersifat ambigius. Ketentuan-
ketentuan pajak yang dapat ditafsirkan ganda
akan menimbulkan celah-celah (loopholes)
yang dapat dimanfaatkan oleh para
penyelundup pajak.
3. Asas Efisien, di mana pajak yang dipungut
dari masyarakat kemudian digunakan untuk
membiayai kegiatan-kegiatan administrasi
pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena
itu, suatu jenis pungutan pajak harus efisien,
jangan sampai biaya-biaya pungutannya justru
lebih besar apabila dibandingkan dengan hasil
penerimaan pajaknya itu sendiri.
4. Asas Non Distorsi, yakni bahwa pajak harus
tidak menimbulkan adanya distorsi di dalam
masyarakat, terutama distorsi ekonomi.
Pengenaan pajak seharusnya tidak
menimbulkan kelesuan ekonomi, mis-alokasi,
sumber-sumber daya dan inflasi.
5. Asas Kesederhanaan, dalam hal ini berarti
bahwa aturan-aturan pajak harus dibuat secara
sederhana sehingga mudah dimengerti baik
oleh fiscus, maupun wajib pajak, sebagai
pihak-pihak yang terkait dalam hubungan
pajak. Aturan-aturan pajak yang kompleks di
samping akan dapat menyulitkan bagi
pelaksana-pelaksana perpajakan, juga dapat
ditafsirkan ganda sehingga dapat
menimbulkan adanya celah (loopholes).
6. Asas Adil, hal tersebut terutama berarti
bahwa alokasi beban pajak pada berbagai
golongan masyarakat harus mencerminkan
keadilan. Mengenai hal ini ada dua kriteria
yang lazim digunakan untuk melihat apakah
alokasi beban pajak telah mencerminkan
aspek keadilan, yaitu kemampuan membayar
dari wajib pajak (ability to pay) dan prinsip
benefit (benefit principle).
BAB 2
HUKUM PAJAK
A. Pengertian Hukum Pajak
Santoso Brotodihardjo mengatakan bahwa:
Hukum pajak yang juga disebut hukum fiskal,
adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan
yang meliputi wewenang pemerintah untuk
mengambil kekayaan seseorang dan
menyerahkannya kembali kepada masyarakat
dengan melalui kas negara,
sehingga ia merupakan bagian dari hukum
publik, yang mengatur hubungan-hubungan
hukum antara negara dan orang-orang atau
badan-badan (hukum) yang berkewajiban
membayar pajak (selanjutnya sering disebut
wajib pajak).
Bohari juga mengatakan bahwa: Hukum Pajak
adalah suatu kumpulan peraturan-peraturan
yang mengatur hubungan antara pemerintah
sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai
pembayar pajak. Dengan kata lain hukum
pajak menerangkan:
a. siapa-siapa wajib pajak (subyek pajak).
b. obyek-obyek apa yang dikenakan pajak
(obyek pajak)
c. kewajiban wajib pajak terhadap pemerintah.
d. timbulnya dan hapusnya utang pajak.
e. cara penagihan pajak.
f. cara mengajukan keberatan dan banding
pada peradilan pajak.
B. Pembagian Hukum Pajak
1. Stelsel Riil/Nyata
Dalam stelsel riil/nyata ini pengenaan pajak
didasarkan pada keadaan dari obyek pajak
yang sesungguhnya.
Apabila pajak itu dikenakan terhadap
penghasilan misalnya, maka pengenaan pajak
didasarkan pada penghasilan yang sungguh-
sungguh diterima atau diperoleh oleh wajib
pajak. Karena pengenaan pajak didasarkan
pada keadaan yang ada pada obyek pajak itu,
maka tentu tidak dapat dilakukan pemungutan
pada awal masa/tahun pajak di mana selama
masa/tahun pajak itu jumlah dan keadaan
obyek pajak masih sangat mungkin berubah.
Oleh karena itu, apabila terhadap suatu jenis
pajak digunakan oleh stelsel riil, mak sistem
pemungutan pajaknya adalah sistem
pemungutan pajak di belakang (naheffing).
Pemungutan pajak dilakukan setelah
masa/tahun pajak berakhir.
2. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)
Stelsel anggapan pengenaan pajak didasarkan
pada suatu anggapan hukum (fictie) tertentu.
Oleh karena itu, stelsel ini juga disebut
sebagai fictieve stelsel. Sekalipun dasarnya
adalah anggapan, tetapi anggapan ini tidaklah
dengan serta-merta dan sembarangan saja.
Fictie hukum yang dipakai ini misalnya
menganggap bahwa penghasilan yang
diterima oleh setiap wajib pajak adalah sama
besarnya untuk setiap tahun pajak. Oleh
karenanya, begitu tahun pajak sudah berakhir
dan dapat diketahui besarnya penghasilan dari
wajib pajak yang bersangkutan, maka sudah
dapat ditentukan pajak penghasilan untuk
tahun pajak berikutnya.
Fictie lain yang dapat digunakan, misalnya bagi
wajib pajak yang menerima gaji bulanan,
penghasilan dalam satu tahun pajak adalah sama
dengan penghasilan pada bulan I dikalikan dua
belas. Dengan demikian, setelah bulan pertama
berakhir dan diketahui semua penghasilan bulan
itu, maka sudah dapat digunakan untuk
menentukan besarnya penghasilan setahun yang
digunakan sebagai dasar utk menentukan besarnya
pajak bagi wajib pajak yg bersangkutan.
Dengan demikian, stelsel ini menerapkan
sistem pemungutan pajak di depan (voor
heffing). Terhadap perubahan yang terjadi
selama masa/tahun pajak itu tidak
mempengaruhi besarnya utang pajak pada
masa/tahun itu.
3. Stelsel Campuran
Dalam stelsel campuran ini, utang pajak
dikenakan dengan mendasarkan stelsel fictie
pada awal masa/tahun pajak yang itu
merupakan ketetapan yang bersifat sementara,
di mana setelah masa/tahun pajak berakhir
akan dikoreksi berdasarkan keadaan dari
penghasilan yang sesungguhnya diterima oleh
wajib pajak.
Dengan demikian, ada dua ketetapan pajak,
yakni di awal masa/tahun pajak dikeluarkan
ketetapan sementara dan kemudian setelah
masa/tahun pajak berakhir dikeluarkan
ketetapan yang final. Penggunaan stelsel ini
membawa konsekuensi digunakannya sistem
pemungutan di depan dan di belakang
sekaligus. Stelsel ini diterapkan dalam Pajak
Penghasilan.
Dalam Pajak Penghasilan, pajak yang
diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun
pajak dilunasi oleh wajib pajak dalam tahun
berjalan melalui pemotongan dan pemungutan
pajak oleh pihak lain serta pembayaran oleh
wajib pajak sendiri (Pasal 20 ayat (1)).
Sementara itu, untuk pembayaran pajak selama
tahun pajak berjalan, dilakukan dengan cara
angsuran dan untuk kita menggunakan stelsel
fictie, yaitu sebesar pajak yang terutang pada
tahun pajak sebelumnya dikurangi dengan
pemotongan dan pemungutan pajak serta pajak
yang dibayar atau terutang di luar negeri dibagi
dengan banyaknya masa pajak (Pasal 25 ayat
(1)).
Sebagai koreksi terhadap jumlah utang pajak
yang telah dibayar atau dipotong, maka bila
setelah tahun pajak ternyata pajak yang
terutang itu lebih besar dari kredit pajak maka
menurut Pasal 29 kekurangan pajak yang
terutang harus dilunasi selambat-lambatnya
pada akhir bulan ketiga sesudah tahun pajak
yang bersangkutan berakhir, sebelum Surat
Pemberitahuan Tahunan disampaikan.
B. Sistem Pemungutan Pajak