Anda di halaman 1dari 51

MODUL

ADMINISTRASI dan POLITIK


PERPAJAKAN

Oleh :
Nindita Pramuktisari, S.Pd, M.Si

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SURAKARTA
Surakarta
BAB I
PENGERTIAN PAJAK

A. PENDAHULUAN

Mengenai pengertian pajak dan administrasi pajak yang dilaksanakan di


Indonesia dilihat dari segi kelembagaan, administrasi sumber daya manusia maupun
dari prosedur perpajakan yang berlaku. Motivasi utama pemajakan di negara
berkembang adalah pengumpulan dana pembiayaan pemerintah dalam penyediaan
barang dan jasa publik. Motivasi lainnya adalah redistribusi penghasilan dan
penyesuaian kekurang sempurnaan mekanisme pasar. Walaupun suatu tingkat
pemajakan diperlukan untuk mencapai motivasi tersebut, pemajakan selalu
mempunyai pengorbanan, baik beban langsung administratif maupun tidak langsung
sehubungan dengan salah alokasi sumber daya dengan konsekuensi distribusi
penghasilan kurang merata.
Pola pemajakan di berbagai negara berbeda-beda seiring dengan keadaan
ekonomi, budaya dan sejarah. Rasio penerimaan pajak di negara berkembang sekitar
10-15-20% dari pendapatan domestik bruto (GDP), sedangkan di negara maju lebih
dari 30%. Berbeda dengan negara maju, negara berkembang mengandalkan
penerimaan pajaknya pada pajak tidak langsung (barang dan jasa) dari pajak
penghasilan. Pajak Penghasilan Orang Pribadi umumnya sulit dipungut dalam
masyarakat yang didominasi oleh ekonomi pedesaan, yang merupakan masyarakat
tunai (cash society) dengan sebagian terbesar kegiatan ekonomi adalah sektor
informal (underground economy).
Begitu pentingnya pajak untuk membiayai pembangunan dan pelayanan
pemerintahan di suatu negara, Gunadi mentrasir pajak sebagai penerimaan bagi
negara berarti juga sebagai pengeluaran dari sisi masyarakat, artinya penerimaan
negara itu adalah beban bagi seluruh masyarakat. Beban dimaksud ditanggung
masyarakat dengan mengalihkan sebagian dari penghasilan yang diperolehnya atau
membayar kepada negara untuk sesuatu yang mereka dapatkan. Agar tercipta
keadilan maka kewajiban masyarakat untuk membayar pajak dituangkan dalam
undang-undang yang mengikat semua warga negara. Oleh karena dalam bentuk
undang-undang itu pulalah sudah seharusnya masyarakat mengerti, memahami, dan
sadar akan kewajiban perpajakannya dan dapat melaksanakannya dengan penuh
tanggung jawab. Apabila kewajiban-kewajiban perpajakan tersebut tidak dijalankan
dengan benar sebagaimana mestinya oleh masyarakat maka sanksi pidana yang juga
diatur dalam undang-undang itu layak untuk ditetapkan.
Begitu besarnya peranan penerimaan pajak untuk membiayai roda pemerintahan
suatu negara maka kita sangatlah penting kita mengetahui pengertian pajak. Para
ilmuwan dan pakar perpajakan mengemukakan pengertian tentang pajak adalah
sebagai berikut.
1. Prof. Edwin R. A. Seligman
Dalam bukunya Essays In Taxation (New York, 1925) memberi definisi yang
berbunyi Tax is a compulsery contribution from the person, to the Government
to defray the expenses incurred in the common interest of all, without reference
to special benefit conferred. Banyak terdengar keberatan atas kalimat without
reference karena bagaimanapun juga uang-uang pajak tersebut digunakan untuk
produksi barang dan jasa, jadi benefit diberikan kepada masyarakat, hanya tidak
mudah ditunjukkannya, apalagi secara perseorangan.

2. Philip E. Taylor
Dalam bukunya The Economist of Public Finance (1948) mengganti without
reference menjadi with little reference.

3. Mr. Dr. N. J. Feldmann


Dalam bukunya De Overheidsmiddelen van Indonesia (Leyden, 1949)
menyatakan bahwa Belastingen zijn aan de Overheid (volgens algemene, door
haar vastgestelde normen) verschuldigde afdwingbare prestaties, waargeen
tegenprestatie tegenover staat en uitsluitend dienen tot dekking van publieke
uitgaven. Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada
penguasa, (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa
adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-
pengeluaran umum. Feldmann (seperti juga halnya Seligman) berpendapat bahwa
terhadap pembayaran pajak, tidak ada kontraprestasi dari negara. Dalam
mengemukakan kritik-kritiknya terhadap definisi dari pendapat lain ternyata
bahwa Feldmann tidak berhasil pula dengan definisinya, untuk memberikan
gambaran tentang pengertian pajak.
4. Dr. Soeparman Soemohamidjojo
Dalam disertasinya yang berjudul “pajak berdasarkan asas gotong royong”
(Universitas Padjajaran Bandung, 1964), mendefinisikan pajak sebagai iuran
wajib, berupa uang dan barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-
norma hukum, guna menutup biaya produksi barang- barang dan jasa-jasa secara
kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
Dengan mencantumkan istilah iuran wajib, ia mengharapkan terpenuhinya ciri,
bahwa pajak dipungut dengan bantuan dari dan kerja sama dengan wajib pajak
sehingga perlu pula dihindari penggunaan istilah “paksaan”. Lebih-lebih
(demikian pula menurut sarjana lainnya) bilamana suatu kewajiban harus
dilaksanakan berdasarkan undang-undang, dalam hal kewajiban tersebut tidak
dilaksanakan maka undang-undang menunjukkan cara pelaksanaan yang lain, hal
ini tidak mengenai pajak (saja dan cara ini biasanya adalah untuk memaksa).
Selanjutnya, (menurut pendapatannya) berkelebihanlah kiranya, kalau khusus
mengenai pajak, sekali lagi ditekankan pentingnya paksaan itu, seakan-akan tidak
ada kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajibannya. Ia sudah
menganggapnya cukup dengan menyatakan bahwa pajak adalah “iuran wajib”
(tidak usah diberi tambahan “yang dapat dipaksakan”). Adapun mengenai
kontraprestasi, Dr. Soeparman berpendirian bahwa justru untuk
menyelenggarakan kotraprestasi itulah perlu di pungut pajak.

5. Prof. S. I. Djojoniningrat
Pajak menurut S. I. Djojoniningrat adalah sebagai suatu kewajiban menyerahkan
sebagian dari kekayaan kepada negara di sebabkan suatu keadaan, kejadian dan
perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman,
menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan,
tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara
kesejahteraan umum.

6. P. J. A. Adriani
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat
prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang ada gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran umum berhubung dengan tugas
negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”

Dari berbagai pengertian tersebut di atas, baik pengertian secara ekonomis


(pajak sebagai perpindahan kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintah)
atau secara yuridis (pajak sebagai iuran wajib) dapat diambil suatu kesimpulan
tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut.
a. Pajak dipungut oleh negara baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
b. Pemungutan pajak menghendaki adanya alih dana (sumber) dari sektor swasta
(wajib pajak pembayar pajak) ke sektor negara (pemungut pajak,
administrator pajak).
c. Tidak terdapat suatu hubungan langsung antara pembayaran pajak dengan
imbalan jasa artinya si pembayar pajak tidak mendapat imbalan langsung atas
pembayaran pajak yang dilakukannya. Karena jasa yang diberikan negara
adalah bersifat jasa umum kemasyarakatan untuk semua orang, dan bukan
terhadap individu pembayar pajak. Jasa tersebut misalnya berupa
pembangunan jalan, jembatan, menjaga keamanan negara, mendirikan rumah
sakit, dan sebagainya.
d. Pemungutan pajak diperuntukkan keperluan pembiayaan umum pemerintah
dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahannya, baik rutin maupun
pembangunan.
e. Pemungutan pajak dihubungkan dengan adanya suatu keadaan, kejadian, dan
perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang, misalnya
keadaan kekayaan seseorang, terjadinya perolehan pendapatan dan perbuatan
pemindahan barang.
Dasar pemungutan pajak adalah undang-undang pajak (untuk setiap jenis pajak),
yang bersumber kepada suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Untuk
memudahkan pelaksanaan pemungutan pajak maka berdasarkan Undang-Undang
Pajak itu dibuat aturan pelaksanaannya oleh pemerintah yaitu:
a. Menteri Keuangan, Direktur Jenderal Pajak untuk Pajak Pusat; dan
b. Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri untuk Pajak Daerah.

Selama ini paradigma pajak (termasuk pajak daerah) di identikkan dengan


pungutan memaksa berdasarkan Undang-undang dengan tanpa
imbalan/kontraprestasi adalah tidak sejalan dengan makna Otonomi Daerah untuk
lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat lokal melalui Pemerintah
Daerah. Apabila pembayaran Pajak Daerah harus tanpa imbalan dari Pemerintah
(dalam hal ini Pemerintah Daerah) maka hal tersebut menjadi kontra produktif
bagi tujuan hakiki Otonomi Daerah sendiri. Oleh karena itu, pembayaran pajak
daerah harus terdapat imbalan/ kontraprestasi bagi sektor pajak yang
bersangkutan. Berbeda dengan retribusi imbalan/kontraprestasinya hanya untuk
pembayar retribusi saja. Contohnya, apabila kita membayar Pajak Daerah Pajak
Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, diharapkan
Pemerintah Daerah akan memberikan pelayanan terhadap kenyamanan berkaitan
dengan pembayaran pajak tersebut bagi pengendara bermotor, misalnya jalanan
mulus, rambu-rambu jalan dan lampu stopan lalu lintas berfungsi dengan baik,
dst. Berdasarkan penelitian penulis, sebahagian besar Pemerintah Daerah sudah
melaksanakan peruntukan prioritas penggunaan penerimaan pajak daerah yang
dituangkan dalam peraturan daerahnya. Misalnya, Provinsi Sumatera Utara telah
mencantumkan dalam peraturan daerah tentang bagi hasil penerimaan pajak
kendaraan bermotor kepada daerah kabupaten/kota agar diprioritaskan untuk
perbaikan jalan dan rambu-rambu lalu lintas. Demikian juga di kabupaten/kota di
Bali, dalam menunjang pariwisata penerimaan dari Pajak Penerangan Jalan (PPJ)
digunakan untuk pembiayaan penerangan jalan
Berkenaan dengan persyaratan bahwa penerimaan pajak untuk digunakan dalam
pembiayaan umum, dimaksudkan agar pembiayaan umum pemerintah harus
terukur dan sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang bagi
APBN, dan untuk pengeluaran APBD harus terlebih dahulu ditetapkan melalui
peraturan daerah. Mekanisme tersebut diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, administrasi pajak mempunyai peranan yang sangat penting
dalam menentukan efektivitas suatu sistem pajak. Menurut Richard M Bird, di
negara-negara berkembang para analis kebijakan pajak meyakini bahwa
perubahan kebijakan tanpa diikuti oleh perubahan administrasi tidak akan
menghasilkan apa-apa. Dengan demikian, sangatlah penting untuk memastikan
agar setiap perubahan kebijakan pajak harus sesuai dengan kapasitas administrasi.
Besarnya penerimaan bukanlah indikator mutlak berhasilnya suatu system
administrasi pajak. Pemerintah juga wajib mempertimbangkan bagaimana
penerimaan tersebut didapat bagaimana dampak pengenaan pajak terhadap
keadilan, politik pemerintahan, dan tingkat kesejahteraan sosial.
Selain pajak, pungutan lain untuk pemerintah pusat diperoleh dari bea dan cukai,
dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sedangkan pungutan untuk
pemerintah daerah selain dari pajak daerah adalah retribusi daerah. Namun
demikian, potensi dalam menunjang perolehan APBN maupun APBD tetap saja
didominasi dari penerimaan pajak.
Begitu besarnya peranan penerimaan pajak bagi pemerintah pusat maupun daerah,
hingga di lapangan sering terjadi tumpang tindih dalam pengenaan terhadap suatu
obyek pajak. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena UU Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah memberikan peluang kepada Daerah Kabupaten/Kota untuk dapat
menciptakan pajak daerah selain yang ditetapkan dalam UU apabila pajak daerah
tersebut spesifik dan sesuai dengan kriteria yang diatur dalam UU (open list).
Sementara itu, pajak pusat sejak berlakunya otonomi daerah pada tahun 2001 untuk
pajak-pajak tertentu dibagihasilkan kepada daerah, yaitu sebagai berikut.
a. Pajak Penghasilan (PPh Pasal 25 dan 29) Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri, sebesar 20%.
b. Pajak Karyawan (PPh Pasal 21), sebesar 20%.
c. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), seluruhnya untuk Daerah.
d. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), seluruhnya untuk
Daerah.

Berdasarkan Pasal 13 UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan


antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, bagian daerah dari PPh tersebut
dibagi dengan imbangan 60% (enam puluh persen) untuk kabupaten/kota dan 40%
(empat puluh persen) untuk provinsi.
Sedangkan Bagi Hasil dari penerimaan PBB dan BPHTB diatur dalam Pasal 12
UU Nomor 33 Tahun 2004, sebagai berikut.
a. Bagi hasil PBB sebesar 90% untuk daerah dengan rincian sebagai berikut.
1) 16,2% untuk daerah provinsi.
2) 64,8% untuk daerah kabupaten/kota.
3) 9% untuk biaya pemungutan.
4) 10% bagian pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh
daerah kabupaten- kota didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun
anggaran berjalan.
b. Bagi hasil BPHTB adalah sebesar 80% dengan rincian sebagai berikut.
1) 16% untuk daerah provinsi.
2) 64% untuk daerah kabupaten dan kota.
3) 20% bagian Pemerintah dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk
seluruh kabupaten dan kota.

B. ADMINISTRASI PAJAK
Mengacu kepada kutipan-kutipan di atas serta perkembangan ilmu administrasi publik
maka administrasi pajak juga mempunyai dua pengertian, yakni administrasi pajak
dalam arti luas dan administrasi pajak dalam arti sempit.

1. Administrasi Pajak dalam Arti Luas


Dengan merujuk pada berbagai pendapat sebelumnya maka Safri Nurmantu
menyatakan bahwa administrasi pajak dalam arti luas dapat dilihat dari berbagai
aspek berikut.
a. Fungsi.
b. Sistem.
c. Lembaga.
d. Manajemen Publik.

a. Sebagai fungsi

Administrasi pajak sebagai fungsi meliputi fungsi perencanaan,


pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan.

1) Fungsi perencanaan
Administrasi pajak sebagai bagian dari administrasi publik merupakan dan
melakukan juga fungsi perencanaan, yakni merencanakan apa yang akan
dicapai fiskus, baik untuk jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka
panjang. Praktik fungsi perencanaan ini terlihat dari pasal-pasal dalam
UUD 1945, amanat dalam GBHN, undang-undang dan rencana
penerimaan pajak di dalam REPELITA, PROPENAS, dan RAPBN. Fungsi
perencanaan meliputi pengajuan alternatif-alternatif dan pengambilan
keputusan terhadap apa yang akan dicapai, dengan cara apa, siapa dan
bagaimana. Jika diteliti misalnya dalam RAPBN tahun 2011 terdapat
perencanaan penerimaan pajak yang terutang dalam angka-angka sebagai
berikut.
a) Pajak Penghasilan Rp414.493,0 triliun
b) Pajak Pertambahan Nilai Rp 309.335,1 triliun
c) Pajak Bumi dan Bangunan Rp 27.676,2 triliun
d) Cukai Rp 60.711,5 triliun
e) Pajak lainnya Rp 4.201,5 triliun
Jumlah Rp 839.540,3 triliun

2) Fungsi pengorganisasian
Administrasi pajak sebagai bagian administrasi publik melakukan juga
fungsi pengorganisasian dalam bentuk pengelompokan tugas, tanggung
jawab, wewenang dan para petugas (Sumber Daya Manusia) sedemikian
rupa sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efisien.
Pengorganisasian dalam perspektif postmodern adalah menjadikan
organisasi sebagai organisasi pembelajar (learning organization) dengan
sasaran untuk mendapatkan inovasi. Dalam praktik fungsi ini terwujud
dalam struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak sebagai bagian dari
Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Pajak yang diterbitkan
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 443/KMK.01/2001 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak,
Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan,
Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, dan Kantor Penyuluhan dan
Pengamatan Potensi Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 473/KMK.01/2004,
organisasi Direktorat Jenderal Pajak yang dipimpin oleh Direktur Jenderal
Pajak terdiri dari organisasi pada tingkat pusat dan organisasi pada tingkat
wilayah. Direktorat Jenderal Pajak pada hakikatnya adalah tax bureau yang
mengadministrasikan penerimaan negara yang berasal dari pajak.
Kantor Pusat
a.Sekretariat Direktorat Jenderal.
b. Direktorat Peraturan Perpajakan I.
c.Direktorat Peraturan Perpajakan II.
d. Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan.
e.Direktorat Intelijen dan Penyidikan.
f. Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian.
g. Direktorat Keberatan dan Banding.
h. Direktorat Potensi Kepatuhan dan Penerimaan.
i. Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat.
j. Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan.
k. Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur.
l. Direktorat Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi.
m. Direktorat Transformasi Proses Bisnis.
n. Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan.
o. Kantor Wilayah Wajib Pajak Besar dan Jakarta Khusus
Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar dan Madya.
p. Kantor Pelayanan Pajak Pratama.
q. Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan.

3) Fungsi Penggerakan
Administrasi pajak sebagai bagian dari administrasi publik melakukan juga
fungsi penggerakan dalam bentuk kegiatan mempengaruhi pegawai untuk
menjalankan tugasnya sebaik-baiknya sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan dalam perencanaan. Fungsi penggerakan menduduki tempat yang
strategis karena fungsi inilah yang sangat berhubungan erat dengan sumber
daya manusia. Fungsi penggerakan meliputi pemberian motivasi kerja
kepada pegawai sedemikian rupa supaya mereka bekerja dengan semangat
yang tinggi untuk mencapai tujuan organisasi. Selain motivasi, hal-hal yang
penting lain dalam fungsi penggerakan adalah kepemimpinan, komunikasi,
penilaian dan pengembangan.
Fungsi penggerakan dilaksanakan oleh setiap pimpinan unit organisasi,
mulai dari Kepala Subseksi pada Kantor Pelayanan Pajak sebagai pimpinan
pada level terbawah sampai pada Direktur Jenderal Pajak sebagai level
tertinggi pada Direktorat Jenderal Pajak.
Beberapa contoh realisasi pelaksanaan fungsi penggerakan pada Direktorat
Jenderal Pajak adalah selain hal-hal umum yang berlaku bagi pegawai
negeri sipil juga pemberian tunjangan khusus kepada pegawai, mutasi, dan
rotasi pada periode tertentu dan pemberian tanda-tanda penghargaan. Pada
awal REPELITA I, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak (dan Departemen
Keuangan pada umumnya) pernah memperoleh tunjangan sebesar 9 kali
lebih besar daripada pegawai negeri lainnya.

4) Fungsi Pengawasan
Administrasi pajak sebagai bagian dari administrasi publik melakukan
juga fungsi pengawasan, yaitu suatu proses mengamati dan
mengupayakan supaya apa yang dilakukan sesuai dengan yang
direncanakan sebelumnya. Jika terjadi penyimpangan maka perlu
tindakan koreksi atau pembetulan. Fungsi ini dilaksanakan oleh setiap
unsur pimpinan pada jajaran organisasi Direktorat Jenderal Pajak.
Rencana penerimaan pajak pada setiap awal tahun fiskal merupakan
rencana atau standar yang akan dicapai pada tahun fiskal yang
bersangkutan. Misalnya, untuk tahun fiskal 2011 jumlah dana yang
diharapkan akan diterima melalui penerimaan pajak adalah sebesar
Rp839.540,3 triliun.
Jumlah tersebut akan berasal dari Kanwil-Kanwil seluruh Indonesia dan
dari saat ke saat, misalnya secara formal setiap triwulan sekali, pimpinan
melaksanakan fungsi pengawasan dengan mengadakan evaluasi melalui
suatu rapat kerja terhadap apa yang telah dicapai, menetapkan koreksi-
koreksi dan upaya-upaya lain supaya jumlah sebesar Rp839.540,3 triliun
yang telah dianggarkan tersebut dapat tercapai, bahkan terlampaui.
Fungsi pengawasan selain dilaksanakan sendiri oleh Direktorat Jenderal
Pajak melalui atasan langsung masing-masing unit (pengawasan melekat),
juga secara fungsional dilaksanakan oleh Inspektur Jenderal Departemen
Keuangan, BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dan
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).

b. Sebagai sistem
Sebelum menguraikan administrasi pajak sebagai suatu sistem, perlu melihat
kembali pengertian sistem yang telah disajikan pada modul terdahulu.
Berikut ini beberapa penekanan saja.

Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan sistem sebagai berikut.

1) Seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan


sehingga membentuk suatu totalitas.
2) Susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya.
3) Metode.

Administrasi pajak sebagai suatu sistem merupakan suatu subsistem dari


keuangan negara. Selanjutnya, keuangan negara hanya merupakan suatu
subsistem dari administrasi negara. Administrasi negara pun hanya
merupakan suatu subsistem dari kehidupan kenegaraan pada umumnya.
Demikianlah setiap sistem merupakan suatu subsistem dari sistem yang lebih
luas yang satu sama lain saling berhubungan, saling berkaitan dalam suatu
lingkungan yang kompleks. Bahkan setiap pajak merupakan suatu sistem
sehingga dikenal misalnya sistem pajak penghasilan, sistem pajak
pertambahan nilai dan sistem pajak bumi dan bangunan.
c. Sebagai lembaga

Administrasi pajak dapat dilihat sebagai suatu lembaga, yaitu sebagai salah
satu Direktorat Jenderal pada Departemen Keuangan R.I., yang terwujud
pada adanya kantor-kantor mulai dari Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak
di Jabkarta, Kantor-Kantor Wilayah, Kantor Pelayanan Pajak, Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, Kantor Penyuluhan dan Pengamatan
Potensi Perpajakan, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak yang telah
dibahas di atas.
Sangat disadari bahwa administrasi pajak tidak dapat secara jelas dipisahkan
sebagai fungsi, sistem, dan lembaga, memang tidak ada
pembagian/pemisahan yang demikian. Penyajian administrasi pajak apakah
sebagai fungsi, sistem, atau lembaga hanyalah sebagai alat kemudahan untuk
memahami dari segi-segi tersebut.

d. Manajemen publik
Administrasi pajak yang terdiri dari pimpinan, staf, peralatan, pengetahuan,
dan sistem yang ada, pada tataran makro pada hakikatnya adalah manajemen
publik yang merupakan pertautan antara manajemen, politik dan hukum.
Administrasi pajak pada tataran ini menuntut manajemen tax bureau untuk
mengelola, memanfaatkan dan menciptakan pengetahuan di antara sumber
daya yang ada untuk mencapai berbagai inovasi, antara lain dengan cara
mengubah organisasi yang hierarkis menjadi suatu organisasi pembelajaran
(learning organization).
Selanjutnya, menurut R. Mansury administrasi pajak meliputi 3 aspek sebagai
berikut.
The institution that is assigned to administer the tax system, i.e., the tax
department, or in Indonesia the Directorate General of Taxation.
The people working within Directorate, i.e., the tax officials.
The administrative activities performed by the staff of the Directorate.

Betapa pentingnya administrasi pajak dalam suatu sistem perpajakan, serta


hubungan administrasi pajak dan Undang-undang/hukum pajak dapat dilihat
pada pendapat berikut ini.
The operation of any tax system and the attitude of taxpayers toward it are
strongly influenced by the quality of its administration. It is often said that
the defects of a bad tax may be substantially corrected by good
administration, while bad administration may convert a good tax into an
instrument of injustice. Good administration in this sense involves on the part
of those responsible for it high qualities of intelligence, impartially and
moral strength.

2. Administrasi Pajak dalam Arti Sempit

Administrasi pajak dalam arti sempit adalah penatausahaan dan pelayanan


terhadap kewajiban-kewajiban dan hak-hak wajib pajak, baik penatausahaan dan
pelayanan tersebut dilakukan di kantor fiskus maupun di kantor wajib pajak. Yang
termasuk dalam kegiatan penatausahaan (clerical works) adalah pencatatan
(recording), penggolongan (classifying) dan penyimpanan (filing).
Selain kegiatan clerical works yang umumnya rutin dari hari ke hari, masih
ada fungsi lain yang harus dilakukan oleh tax bureau, yakni assessment dan
auditing. Assessment adalah fungsi tax bureau untuk menghitung dan kalau perlu
menetapkan jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak baik sebagai
perkiraan jumlah pajak dalam tahun berjalan (estimated tax) maupun sebagai
jumlah pajak yang harus dibayar dalam SKPKB. SKPKB diterbitkan melalui
pemeriksaan fiskus. Pemeriksaan atau auditing adalah fungsi tax bureau untuk
melakukan pemeriksaan terhadap informasi yang disampaikan oleh wajib pajak
dalam SPT dan lampiran- lampirannya. Ketentuan tentang pemeriksaan diatur
dalam Pasal 29 Ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007 (disempurnakan dengan
UU No. 16 tahun 2009) yang menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak
berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan wajib pajak dan/atau tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Penatausahaan adalah alat bantu bagi pimpinan untuk mencapai tujuan
organisasi, artinya penatausahaan yang dilakukan di kantor wajib pajak adalah alat
bantu untuk wajib pajak yang bersangkutan dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya dan melaksanakan hak perpajakannya. Penatausahaan berkas
administrasi pajak (dalam arti sempit) di tax bureau adalah untuk kepentingan
hak-hak dan kewajiban wajib pajak seperti untuk pemantauan pembayaran masa,
penyampaian SPT, pelayanan, dan surat-surat keberatan.
Dalam pelayanan dari pihak fiskus, antara lain penetapan prosedur, penyediaan
berbagai formulir, dan penyampaian informasi yang dibutuhkan wajib pajak
pada waktunya yang tepat.
Hukum pajak formal memuat tentang hak-hak dan kewajiban wajib pajak dan
yang termasuk dalam kewajiban wajib pajak, antara lain berikut ini.

a. Mendaftarkan diri pada KPP untuk mendapatkan NPWP.


b. Mengambil formulir SPT (Surat Pemberitahuan) di KPP.
c. Mengisi dan menandatangani SPT.
d. Menyampaikan SPT ke KPP dalam jangka waktu tertentu.
e. Melunasi pajak yang terutang tepat pada waktunya.
f. Mengadakan pembukuan bagi orang atau badan yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas.
g. Memikul sanksi perpajakan apabila lalai atau sengaja melanggar kewajiban
perpajakan.

Yang termasuk dalam hak-hak wajib pajak, antara lain:


1. Menerima NPWP dari KPP.
2. Memperpanjang batas waktu penyampaian SPT.
3. Membetulkan SPT.
4. Menerima kelebihan bayar pajak (restitusi).
5. Memperhitungkan kelebihan bayar pajak dengan utang pajak lainnya
(kompensasi).
6. Mengangsur pembayaran pajak.
7. Mengajukan keberatan dan banding.
BAB II
Fungsi dan Syarat Pemungutan Pajak

A. FUNGSI PAJAK
1. Budgetair (anggaran),
2. Regulerend (mengatur),
3. Sarana partisipasi masyarakat terhadap pembangunan negara.

Fungsi budgetair (anggaran) merupakan fungsi utama dari


pungutan pajak. Menurut fungsi ini pungutan pajak dimaksudkan sebagai alat
untuk mengisi kas/anggaran negara. Beberapa jumlah pajak keseluruhan yang
harus di pungut oleh negara ditentukan dalam budget (anggaran) tahunan.
Fungsi budgetair dari pajak berarti bahwa pungutan pajak oleh
negara dilakukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan
baik rutin maupun belanja pembangunan. Sesuai dengan budget pengeluaran
rutin dan pembangunan negara setiap tahun maka biaya tersebut sedapatnya
ditutup dengan penerimaan pajak yang dikumpulkan dari masyarakat
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peranan penerimaan pajak dalam menunjang APBN sangat
signifikan dari tahun ke tahun. Misalnya pada tahun 2007 menunjukkan angka
persentase sekitar 70%, sementara itu penerimaan PNBP adalah sekitar
setengahnya dari penerimaan pajak dan selebihnya penerimaan dari hibah.
Untuk mendukung tercapainya sasaran penerimaan pajak,
ditempuh berbagai kebijakan yang meliputi upaya:
1. intensifikasi pemungutan pajak;
2. ekstensifikasi subjek/objek pajak;
3. kerja sama dengan Instansi Pemerintah dalam rangka pengumpulan data;
4. mengoptimalkan bank data secara elektronik;
5. peningkatan pelayanan kepada wajib pajak.
Kebijakan tersebut diaplikasikan terhadap wajib pajak dan jenis
pajak terkait, tentunya melalui pemeriksaan dan selanjutnya apabila wajib
pajak kurang/tidak melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
(SPT) maka akan diterbitkan ketetapan pajak, baik berupa Surat Tagihan
Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) maupun
SKPKBT (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan).
Fungsi mengatur dari pajak dimaksudkan bahwa pajak itu dapat
dipergunakan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan
negara dalam lapangan ekonomi dan sosial. Fungsi tersebut dapat diwujudkan
dalam suatu bentuk paket kebijaksanaan perpajakan (fiscal policy) secara khusus
misalnya insentif pajak terhadap para investor, tidak mengenakan suatu pajak
tertentu di daerah kawasan berikat, mengenakan tarif pajak yang tinggi terhadap
penjualan minuman beralkohol, dll.
Oleh karena pajak dapat dipakai sebagai alat untuk mengatur kebijaksanaan
perekonomian maka kebijaksanaan tersebut diupayakan agar:
1. jangan sampai menghambat lancarnya produksi dan perdagangan;
2. tidak menghalangi usaha rakyat untuk mencapai kemakmuran;
3. tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
4. memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan rakyat;
5. memperhitungkan potensi penerimaan;
6. tidak merugikan kepentingan umum.

Fungsi mengatur dari pajak, antara lain diarahkan untuk:


1. mengatur tingkat pendapatan pada sektor swasta;
2. mengadakan redistribusi pendapatan secara adil dan merata;
3. mengatur volume pengeluaran swasta;
4. merangsang tabungan masyarakat;
5. mendorong investasi dan produksi.

Selain kedua fungsi di atas, pajak berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat
terhadap pembangunan negara karena pajak tidak sekedar kewajiban, tetapi lebih
dari itu adalah merupakan hak warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam
membangun negara. Oleh karena itu, tepat slogan pajak saat sekarang ini, yaitu
”lunasi pajaknya dan awasi penggunaannya”.

Berkaitan dengan fungsi partisipasi tersebut maka seyogianya institusi pajak


harus terbuka khususnya kepada wajib pajak mengenai kewajiban dan haknya.
Kewajiban adalah keharusan membayar pajak sesuai dengan ketentuan-
ketentuan perpajakan yang berlaku, sedangkan hak adalah kewajiban aparat
pajak untuk memberikan pelayanan administrasi dan sosialisasi kepada wajib
pajak yang telah turut serta membiayai pembangunan serta hak meminta
restitusi dalam hal terdapat kelebihan pembayaran pajak.

B. SYARAT-SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK


Pajak haruslah dipungut berdasarkan suatu keadilan. Keadilan tersebut harus
dituangkan, baik dalam perundang-undangan maupun diwujudkan dalam
pelaksanaannya. Pemungutan pajak dapat disebut adil kalau dipungut secara
umum dan merata kepada seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Jadi, jelasnya pajak harus mengabdi kepada
keadilan, dan keadilan inilah yang disebut asas pemungutan pajak menurut
falsafah hukum.

Keadilan sejajar (horizontal equity) maksudnya adalah kesamaan dalam


besaran kewajiban membayar pajak terhadap orang yang mempunyai
kemampuan ekonomis yang sama. Misalnya, Tuan A dan Tuan B yang masing-
masing mempunyai penghasilan yang sama Rp10.000.000,- harus membayar
jumlah pajak yang besarnya sama.
Keadilan tegak lurus (vertical equity) maksudnya ialah ketidaksamaan dalam
membayar besaran pajak walaupun mempunyai kemampuan ekonomis sama, tetapi
kondisinya berbeda. Misalnya Tuan A berpenghasilan lebih besar dari Tuan B
maka Tuan A harus membayar pajak yang lebih besar dari Tuan B, atau walaupun
Tuan A dan Tuan B berpenghasilan sama besar (Rp10.000.000,-) tapi Tuan A tanpa
keluarga sedang Tuan B berkeluarga maka perbedaan keadaan pribadi tersebut
haruslah menyebabkan perbedaan jumlah pajak yang dibayar.
R. Santosa Brotodihardjo, SH dalam bukunya ”Pengantar Ilmu Hukum Pajak”,
menguraikan beberapa teori untuk memberikan dasar menyatakan keadilan tersebut
antara lain sebagai berikut.
1. Teori Asuransi
Menurut teori asuransi pembayaran pajak yang dilakukan oleh warga
negara (masyarakat) dipersamakan dengan pembayaran premi asuransi
kepada negara, oleh karena negara dalam tugasnya telah melindungi orang
dan segala kepentingannya, (dianggap seolah-olah sebagai asuransi).
Namun, pokok pikiran tersebut secara luas kurang dapat diterima dengan
alasan:
a. Negara tidak dapat dipersamakan dengan perusahaan asuransi, karena
apabila terjadi kerugian yang diderita masyarakat, negara tidak
mengganti.
b. Tidak adanya hubungan langsung yang dapat ditunjuk antara jasa-jasa
yang diterima dengan jumlah pembayar pajak.

2. Teori Kepentingan
Menurut teori kepentingan, pembayaran pajak yang dilakukan oleh
masyarakat kepada negara merupakan perwujudan dari peran serta
masyarakat terhadap biaya kenegaraan dalam rangka menjaga dan
melindungi kepentingan masyarakat. Kepentingan tersebut termasuk
perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Sesuai dengan prinsip teori
tersebut, seharusnya semakin banyak kepentingan seseorang harus semakin
banyak pula membayar pajak. Namun, dalam kehidupan sehari-hari hal
tersebut sulit terlaksana karena misalnya orang yang miskin tentunya punya
kepentingan yang banyak (antara lain perlindungan jaminan sosial dan
sebagainya), tetapi mereka justru tidak membayar pajak. Oleh karena tidak
adanya hubungan langsung antara jumlah pajak yang dibayarkan dengan
kepentingan seseorang terhadap jasa pemerintah maka teori ini pun kurang
dapat diterima.
3. Teori Gaya Pikul
Menurut teori gaya pikul, pembayaran pajak oleh masyarakat kepada negara agar
memenuhi rasa keadilan haruslah disesuaikan dengan gaya pikul masing-masing
orang yang ukurannya adalah besarnya penghasilan. Semakin besar gaya pikul
seseorang berarti semakin besar pula jumlah beban pajak yang akan dipikulkan
kepadanya dan sebaliknya. Gaya pikul seseorang dapat diukur, misalnya dengan
indikator penghasilan, kekayaan, pengeluaran (belanja) atau tanggungan keluarga,
dan sebagainya.
4. Teori Kewajiban Pajak Mutlak atau Teori Bakti
Menurut teori kewajiban pajak mutlak atau teori bakti, pembayaran pajak oleh
masyarakat kepada negara dipandang sebagai suatu bentuk pembuktian rasa baktinya
kepada negara. Kebaktian tersebut dilakukan sehubungan dengan terlaksananya
penyelenggaraan kepentingan umum. Dalam teori ini dasar hukum pajak terletak
pada hubungan antara rakyat dengan negara, karena hakikat negara itulah maka
timbul hak negara untuk memungut pajak.

5. Teori Asas Daya beli


Menurut teori asas daya beli, pembayaran pajak oleh masyarakat merupakan transfer
daya beli dari sektor swasta ke sektor pemerintah, dan ditransfer kembali ke
masyarakat dengan maksud untuk memelihara kehidupan masyarakat dan
membawanya ke arah tertentu. Dasar keadilan dari pemungutan pajak terletak pada
penyelenggaraan kepentingan masyarakat, bukannya kepentingan individu dan
negara.
Dalam pemungutan pajak syarat keadilan (asas falsafah hukum) harus diwujudkan
baik dalam prinsip perundang-undangan maupun dalam pelaksanaan sehari-hari.
Keadilan tersebut umumnya dituangkan dalam hak dan kewajiban wajib pajak secara
tegas sehingga betul-betul memberikan jaminan dan kepastian hukum.
Menurut R. Santoso Brotodihardjo, S.H. dalam pembuatan undang- undang pajak di
samping harus memenuhi asas keadilan juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut.
a. Syarat yuridis
Syarat yuridis menghendaki agar hukum pajak harus dapat memberikan jaminan
dan kepastian hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas, baik bagi
negara (pemungut pajak) maupun untuk masyarakat (pembayar pajak, wajib
pajak). Di Indonesia sebagai negara hukum, dasar pemungutan pajak diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945 setelah Amandemen ke-tiga Pasal 23A, yang
menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang- undang.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut maka dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat disusunlah undang-undang pajak,
untuk setiap jenis pajak yang dipungut. Dalam menyusun undang-undang pajak
tersebut, harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut.
1) Hak-hak pemungut pajak yang telah diamanatkan oleh undang-undang harus
dijamin dapat dilaksanakan dengan baik.
2) Para wajib pajak harus mendapat jaminan kepastian hukum, agar tidak
diperlakukan kurang adil oleh pemungut pajak.
3) Adanya jaminan tentang kerahasiaan data wajib pajak.

b. Syarat ekonomis
Syarat ekonomis menghendaki agar pemungutan pajak tidak menghalangi atau
menghambat atau bukan menjadi kendala terhadap keseimbangan dalam
kehidupan perekonomian, bahkan sebaliknya justru pajak harus menjadi
pendorong bagi pertumbuhan ekonomi, hal tersebut sesuai dengan fungsi
mengatur yang melekat pada pajak. Oleh karena itu, dalam kebijaksanaan
perpajakan harus diusahakan agar pemungutan pajak tidak menghambat lancarnya
produksi dan perdagangan serta merugikan kepentingan umum atau menghalangi
usaha masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Syarat ekonomis ini dapat
dipakai untuk mendorong atau menunjang kebijaksanaan ekonomi pemerintah,
misalnya untuk mendorong pemerataan penghasilan diberlakukan tarif progresif
untuk pajak penghasilan dan sebagainya.

c. Syarat finansial
Syarat finansial menghendaki agar jumlah penerimaan pajak sedapat mungkin
cukup untuk menutup belanja pemerintah (fungsi budgetair), di samping itu biaya
pemungutan pajak hendaknya tidak terlalu besar, dan tetap memperhatikan unsur
efisiensi.

C. TARIF PAJAK
Sebagaimana dimaklumi, pajak mempunyai peranan sangat penting dalam
penerimaan negara yang akan digunakan untuk pembangunan dan biaya
penyelenggaraan pemerintahan. Dalam era otonomi daerah saat ini peranan pajak
pusat menjadi sangat penting karena mendukung penerimaan negara dan pada
gilirannya nanti akan diberikan kepada daerah sekurang- kurangnya 26% dari
Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN yang kita kenal
dengan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Yang dimaksud dengan Pendapatan Dalam Negeri Neto adalah penerimaan
negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan
penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah.
Di samping itu, pajak-pajak daerah juga mempunyai peranan penting untuk
sumber dana bagi pembangunan daerah karena pajak daerah merupakan salah satu
sumber dari Pendapatan Asli Daerah. Pada dasarnya, membayar pajak kepada
negara/daerah merupakan bentuk perwujudan peran serta warga masyarakat dalam
pembiayaan negara/daerah secara gotong- royong.
Pungutan pajak harus mencerminkan rasa keadilan. Dalam perkembangannya,
pajak tidak sekedar merupakan kewajiban warga negara kepada pemerintah dalam
membangun, tetapi lebih dari itu merupakan wujud partisipasi anggota masyarakat
yang bertanggung jawab atas kelangsungan pembangunan negara. Oleh karena itu,
penetapan tarif pajak pun harus dirasakan adil bagi si pembayar pajak/wajib pajak.
Pengenaan pajak yang dirasakan tidak adil berakibat menimbulkan tunggakan
pajak karena wajib pajak enggan atau tidak mau membayar ketetapan pajak. Di
sisi lain, besarnya tarif pajak menjadi alasan kompetitif bagi investor untuk
memilih negara/daerah dalam melakukan investasi.
Tarif pajak yang kita kenal dan ditetapkan selama ini dapat digolongkan sebagai
berikut.
1. Tarif Tetap
Tarif tetap adalah tarif pajak yang jumlah nominalnya tetap walaupun dasar
pengenaan pajaknya berbeda/berubah sehingga jumlah pajak yang terutang
di sini selalu tetap.
Contoh:
a. Tarif bea meterai untuk cek dan bilyet giro dengan jumlah berapa
pun adalah Rp10.000,00.
b. Nilai kuitansi Rp250.000,00 s/d Rp1.000.000,00 dikenakan bea
meterai Rp10.000,00.
c. Nilai kuitansi Rp1.000.000,00 ke atas dikenakan bea
meterai Rp 10.000,00.
2. Tarif Progresif
Tarif progresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin besar apabila
dasar pengenaan pajaknya meningkat. UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang
Pajak Penghasilan (PPh) menganut sistem pajak progresif, yaitu sebagai
berikut.
a. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp25 juta 5%
Di atas Rp25 juta s.d Rp50 juta 10%
Di atas Rp50 juta s.d Rp100 juta 15%
Di atas Rp100 juta s.d Rp200 juta 25%
Di atas Rp200 juta 35%
b. Untuk Wajib Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp50 juta 10%
Di atas Rp50 juta s.d Rp100 juta 15%
Di atas Rp100 juta 30%
Contoh:
Tuan Handoyo mempunyai penghasilan kena pajak sebesar Rp120 juta,
maka untuk menghitung besarnya pajak adalah sebagai berikut.
5% × Rp25 juta = Rp1.250.000
10% × Rp25 juta = Rp2.500.000
15% × Rp50 juta = Rp7.500.000
25% × Rp20 juta = Rp5.000.000
Jumlah pajak terutang = Rp1.250.000
Tarif pajak progresif sering pula disebut sebagai tarif berlapis karena terdiri
atas beberapa tarif yang meliputi berikut ini.

a. Tarif progresif – proporsional


Yaitu persentase pemungutan pajak yang semakin naik dengan
semakin besarnya jumlah yang harus dikenai pajak dan dengan
kenaikan marginal tetap, misalnya:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Kenaikan Pajak


Rp1 s/d 200.000,00 10% 0%
Rp200.000,00 s/d 400.000,00 11% 1,0%
Rp400.000,00 s/d 700.000,00 12% 1,0%
Rp 700.000,00 s/d 1.000.000,00 13% 1,0%
Rp1.000.000,00 s/d 1.400.000,00 14% 1,0%
b. Tarif pajak progresif-progresif
Yaitu tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan
semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan
pajak, dan kenaikan marginalnya semakin meningkat, misalnya:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Kenaikan Pajak


Rp1 s/d 200.000,00 10 % 0%
Rp200.000,00 s/d 400.000,00 11 % 1,0%
Rp400.000,00 s/d 700.000,00 12,5% 1,5%
Rp700.000,00 s/d 1.000.000,00 14,5% 2,0%
Rp1.000.000,00 s/d 1.400.000,00 17 % 2,5%
c. Tarif pajak progresif-degresif
Yaitu tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan semakin
besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan
kenaikan marginalnya semakin menurun, misalnya:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Kenaikan Pajak
Rp1 s/d 200.000,00 10 % 0
Rp200.000,00 s/d 400.000,00 11 % 2,5%
Rp400.000,00 s/d 700.000,00 12,5% 2,0%
Rp700.000,00 s/d 1.000.000,00 14,5% 1,5%
Rp1.000.000,00 s/d 1.400.000,00 17 % 1,0%
d. Tarif Degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenakan
pajak semakin besar. Tarif ini menunjukkan dengan semakin kecilnya
persentase tarif, maka pajak terutang tidak selalu menjadi kecil namun
semakin besar tetapi kenaikannya tidak proporsional dengan jumlah yang
dikenakan pajak, yaitu sebagai berikut.

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


Sampai dengan Rp25 juta 20%
Di atas Rp25 juta s.d. Rp50 juta 15%
Di atas Rp50 juta s.d. Rp100 juta 10%
Di atas Rp100 juta 5%
Contoh:
Tuan Bayu Indra mempunyai penghasilan kena pajak sebesar Rp120 juta,
maka untuk menghitung besarnya pajak adalah sebagai berikut:
20% × Rp25 juta = Rp 5.000.000
15% × Rp25 juta = Rp 3.750.000
10% × Rp50 juta = Rp 5.000.000
5% × Rp20 juta = Rp 1.000.000
Jumlah pajak terutang = Rp14.750.000

Pengenaan tarif degresif ini untuk tujuan pemerataan (redistribusi) pendapatan


tidak kena pajak (adil) karena orang yang berpenghasilan semakin besar akan
semakin kecil beban pajaknya secara relatif. Namun, tarif degresif ini diterapkan
dengan suatu maksud agar kalau negara mengambil pajak semakin kecil dengan
membesarkan penghasilan (objek pajak) yang berarti semakin besar kesempatan
seseorang untuk menabung uangnya.
Tabungan masyarakat ini pada gilirannya akan dipakai sebagai investasi yang
merangsang terhadap kehidupan dan pertumbuhan ekonomi. Besarnya tarif pajak
yang berlaku apakah tetap, sebanding, meningkat atau menurun merupakan
keputusan politik dari pembuat undang-undang dengan memperhatikan juga
fungsi budgeter pajak terhadap APBN.
Untuk tujuan pemerataan pendapatan, apabila distribusi penghasilan (sebelum
kena pajak) di suatu negara kurang merata maka tarif pajak progresif akan lebih
membantu pemerataan penghasilan. Sedangkan apabila distribusi penghasilan
(sebelum kena pajak) sudah merata, maka pengenaan tarif sebanding lebih baik
diterapkan, dan bahkan di beberapa negara maju, untuk pajak penghasilan atas
badan dikenakan tarif pajak sebanding, baru atau pajak penghasilan pribadi
dikenakan tarif progresif.
3. Tarif Sebanding/Proporsional
Tarif sebanding/proporsional adalah tarif persentase yang tetap terhadap
berapa pun jumlah yang dikenakan pajak sehingga besarnya pajak yang
terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenakan pajak.
Contoh:
UU PPN Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai
mengenakan besarnya tarif sebesar 10% terhadap penyerahan
barang kena pajak di dalam daerah pabean.
Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak Jumlah Pajak
Rp1.000.000 10% Rp100.000
Rp2.000.000 10% Rp200.000
Rp3.000.000 10% Rp300.000
Rp4.000.000 10% Rp400.000

Jadi, dalam tarif sebanding ini, besarnya tarif adalah tetap (dalam persentase
tetap). Sedangkan kalau dalam tarif tetap berarti jumlah pajaknya tetap.
Berapa pun besarnya objek pajak, maka dalam tarif sebanding ini akan
dikenakan pajak dengan persentase tetap tidak berubah karena perubahan
obyeknya.
BAB III
KETENTUAN UMUM dan TATA CARA PERPAJAKAN

Mengacu pada pasal 1 Undang Undang ketentuan umum dan Tata cara perpajakan, memuat
pengertian antara lain :
1. Wajib Pajak ( WP) adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan perundangan
undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan termasuk
pemungutan pajak.
2. Badan adalah sekumpulan orang dab atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun tidak.
3. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim
4. Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun kecuali jika wajib pajak menggunakan tahun
buku yang tidak sama dengan tahun takwim
5. Bagian tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu satu tahun pajak
6. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat dalam masa pajak,
dalam tahun pajak atau dalam bahgian tahun pajak.
7. Penanggungan Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak.

A. SURAT PEMBERITAHUAN ( SPT)


Surat Pemberitahuan merupakan surat yang oleh Wajib Pajak di gunakan untuk
melaporkan perhitungan dan atau pembayarn pajak, objek pajak, dan atau bukan objek
pajak
Fungsi SPT bagi Wajib pajak Penghasilan sebagai sarana pelaporan dan pertanggung
jawaban penghitungan pajak terutang, melapor pembayaran pajak yang telah dilaksanakan
sendiri atau melalui pemotongan pajak lain dalam satu tahun pajak, melaporkan
pembayaran dari pemotong tentang pungutan pajak pribadi atau badan dari satu masa ajak
sesuai dengan peraturan perundang undangan. Selain itu fungsi SPT bagi pengusaha kena
pajak sebagai sarana melapor dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah PPh, PPn
atas barang mewah, melaporkan pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran,
melaporkan pembayaran dan pelunasan pajak yang telah dilaksanakan dan atau melalui
pihak lain dalam satu masa pajak.
Batas jatuh tempo pelaporan SPT
Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) secara umum adalah :
1. untuk SPT Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;
2. untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3
(tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
3. untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat)
bulan setelah akhir Tahun Pajak.
Berikut adalah rincian batas waktu penyampaian SPT untuk masing-
masing jenis pajak :
SPT Masa
Batas Waktu
No. Jenis Pajak
Penyetoran/Pembayaran

Paling lama 7 (tujuh) hari setelah

tanggal pelaksanaan

pembayaran atas penyerahan

barang yang dibiayai dari belanja


PPh Pasal 22 yang dipungut
1 Negara atau belanja Daerah,
oleh bendahara pengeluaran
dengan menggunakan Surat

Setoran Pajak atas nama

rekanan dan ditandatangani oleh

bendahara

Paling lama 7 (tujuh) hari setelah

PPN dan PPnBM yang tanggal pelaksanaan

dipungut oleh Bendahara pembayaran kepada Pengusaha


2
Pengeluaran sebagai Kena Pajak Rekanan Pemerintah

Pemungut PPN melalui Kantor Pelayanan

Perbendaharaan Negara

PPh Pasal 25 bagi Wajib

Pajak dengan kriteria tertentu

sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3 ayat (3b) Undang- Paling lama pada akhir Masa


3
Undang KUP yang melaporkan Pajak terakhir

beberapa Masa Pajak dalam

satu Surat Pemberitahuan

Masa

Pembayaran masa selain PPh

Pasal 25 bagi Wajib Pajak

dengan kriteria tertentu

sebagaimana dimaksud dalam


Sesuai dengan batas waktu
4 Pasal 3 ayat (3b) Undang-
untuk masing-masing jenis pajak
Undang KUP yang melaporkan

beberapa masa pajak dalam

satu Surat Pemberitahuan


SPT Tahunan 

Batas Waktu Penyampaian SPT


No. Jenis Pajak
Terakhir

SPT Tahunan PPh Orang 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun


1
Pribadi Pajak

4 (empat) bulan setelah akhir Tahun


2 SPT Tahunan PPh Badan
Pajak

Sanksi Keterlambatan Menyampaikan SPT


Apabila Surat Pemberitahuan (SPT) tidak disampaikan dalam jangka waktu
pelaporan atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT, dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar :
1. Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai
2. Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Masa lainnya
3. Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak badan

4. Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak orang pribadi

B. PAJAK PENGHASILAN
1. Pengertian Subjek Pajak
Subjek pajak adalah istilah dalam peraturan perundang undangan
perpajakan untuk perorangan atau organisasi berdasarkan peraturan
perundang undangan perpajakan yang berlaku. Namun perlu diketahui
hak dan kewajiban subyek pajak berbeda beda. Pengertian masing
masing subjek pajak yaitu :
a. Orang Pribadi
Orang pribadi adalah perseorangan yang tinggal atau tidak tinggal di
Indonesia baik warga negara Indonesia (WNI) atau warga negara
asing (WNA) tetapi memiliki penghasilan dari aktivitas ekonomi yang
dilakukan di Indonesia.
b. Badan
pengertian badan secara sederhana adalah semua badan yang berdiri
dan berkembang di Indonesia kecuali badan badan yang bersifat tidak
komersial dan badan yang pembiayaannya berasal dari APBD atau
APBN, meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya.Badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah
dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial, politik, atau organisasi sejenis, lembaga, bentuk
usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.
c. Warisan yang belum terbagi
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan adalah harta
warisan dari pewaris yang harus dibayarkan terlebih dahulu oleh ahli
waris sebelum mereka membagi baginya. Kewajiban pajak bagi ahli
waris dimulai saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut dan
berakhir pada saat warisan tersebut sudah terbagi.
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha pribadi dari orang yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia seperti WNA atau WNI belum lebih dari
183 hari dalam jangka waktu 12 bulan berada di Indonesia dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. BUT dapat
berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor
perwakilan, gedung, pabrik, bengkel, gudang dan lain lain.

2. Pembagian dan Penentuan


a. Subjek pajak dalam negeri
Jika orang perorangan lahir di Indonesia atau telah lama tinggal lebih
dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan tau berniat untuk tinggal
lama di Indonesia, badan pemerintah yang memenuhi kriteria sebagai
berikut:
1) Pembentukannya berdasarkan perundang undangan
2) Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah(APBD).
3) Penerimaannya dimasukkan dalam Anggaran Pemerintah Pusat
atau Anggaran Pemerintah Daerah.
4) Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional
negara.
5) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan
yang berhak.
b. Subjek pajak luar negeri
Subjek pajak luar negeri mencakup orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tapi tidak
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan usaha
tetap yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
namun menjalankan usaha atau bisnis di Indonesia.

3. Perbedaan Subjek Pajak Luar Negeri dan Dalam Negeri


a. Subjek pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang
diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
sedangkan subjek pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas
penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
b. Subjek pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan
bruto dengan tarif umum. Sedangkan subjek pajak luar negeri dikenai
pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan alias
tarif tunggal terhadap semua objek pajak berapapun nilainya.
Bagi wajib pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan
kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan
kewajiban perpajakan. Wajib pajak dalam negeri sebagaimana diatur
dalam undang undang ini dan undang undang tentang ketentuan
umum dan tata cara perpajakan.
c. Subjek pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT) pajak penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan
pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak. Sedangkan subjek pajak
luar negeri tidak menyampaikan SPT pajak penghasilan karena
kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat
final.

4. Cara Menghitung Pajak

Pajak Terutang = Tarif Pajak x Penghasilan Kena Pajak

Berikut tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) terbaru yang harus
diketahui sebagai berikut:

 Rp54.000.000 untuk diri wajib pajak orang pribadi.


 Rp4.500.000 tambahan untuk wajib pajak yang telah menikah.
 Rp54.000.000 untuk istri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami.
 Rp4.500.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.

Persentase perhitungan pajak penghasilan (PPh) yang diterapkan dengan


ketentuan sebagai berikut:

 PKP kurang dari Rp50.000.000 dikenai tarif pajak sebesar 5%


 PKP antara Rp50.000.000 -- Rp250.000.000 dikenai tarif pajak sebesar
15%
 PKP antara Rp250.000.000 -- Rp500.000.000 dikenai tarif pajak sebesar
25%
 PKP di atas Rp500.000.000 dikenai tarif pajak 30%
a. Wajib Pajak Badan
Dasar hukum dari ketentuan wajib pajak badan ini telah diatur dalam
Undang-undang (UU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang
merupakan peraturan terbaru dan telah berlaku sejak 1 Januari 2022
lalu.
Dalam UU HPP, beberapa aturan tentang Pajak Penghasilan (PPh) juga
terjadi, di antaranya:

1) Pajak atas Natura: Pembahasan PPh atas onatura atau fasilitas dari
pemberi kerja, meliputi makanan dan minuman, natura untuk daerah
tertentu, natura karena keharusan pekerjaan (seragam, alat
keselamatan kerja, dan lainnya), natura yang bersumber dari
APBN/APBD, dan natura dengan jenis dan batasan tertentu. 

2) PPh Pengusaha Perorangan (UMKM): Perubahan tarif pajak final


dari 0,5% (PP No. 23 Tahun 2018) menjadi 0% atau tidak dikenai
pajak untuk peredaran bruto setahun sampai dengan Rp500juta. 

3) PPh Badan: Perubahan tarif tahun 2022 dari 20% kebali menjadi
22%. 

4) PPh Orang Pribadi: Perubahan lapisan tarif pajak Pasal 17 ayat (1)
huruf a UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008. 

Seperti yang dlihat bahwa terdapat perubahan tarif pada PPh Badan
pada Tahun 2022 yang tadinya 20% menjadi 22%. 

Berikut rumusnya:

 Peredaran bruto kurang atau sama dengan Rp4,8 miliar adalah 50%
x 22% x penghasilan kena pajak.
 Peredaran bruto lebih dari Rp4,8 miliar sampai Rp50 miliar adalah
[(50% x 22%) x penghasilan kena pajak yang memperoleh fasilitas] +
[22% x penghasilan kena pajak tidak memperoleh fasilitas].

PT AAA merupakan Perusahaan Tbk dengan penghasilan bruto sebesar


Rp80.000.000.000 dengan Penghasilan Kena Pajak dari hasil pembukuannya
sebesar Rp5.000.000.000.
Karena Peredaran Bruto PT AAA telah melebihi Rp50 miliar, maka ketentuan
penghitungan PPh sesuai Pasal 17 ayat (1) yaitu menggunakan tarif sebesar
22%.
Maka, PPh Badan Terutang PT AAA adalah:
Peredaran Bruto = Rp80.000.000.000
Penghasilan Kena Pajak = Rp5.000.000.000
PPh Badan = (22% x Penghasilan Kena Pajak)
= 22% x Rp5.000.000.000
= Rp1.100.000.000

b. Wajib Pajak Orang Pribadi


Dalam perhitungan pajak penghasilan adalah mengetahui Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP). Perhitungan ini digunakan untuk mencari
Penghasilan Kena Pajak (PKP).

 Rp54.000.000 untuk diri wajib pajak orang pribadi.


 Rp4.500.000 tambahan untuk wajib pajak yang telah menikah.
 Rp54.000.000 untuk istri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami.
 Rp4.500.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi
tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap
keluarga.

Persentase perhitungan pajak penghasilan (PPh) yang diterapkan


dengan ketentuan sebagai berikut:

 PKP kurang dari Rp50.000.000 dikenai tarif pajak sebesar 5%


 PKP antara Rp50.000.000 -- Rp250.000.000 dikenai tarif pajak
sebesar 15%
 PKP antara Rp250.000.000 -- Rp500.000.000 dikenai tarif pajak
sebesar 25%
 PKP di atas Rp500.000.000 dikenai tarif pajak 30%

Simulasi :

Aditia merupakan seorang kepala keluarga dengan satu anak. Aditia


bekerja di salah satu perusahaan swasta. Penghasilan bruto (kotor) yang
terdiri dari gaji, tunjangan, dan pembayaran lain adalah senilai
Rp100.000.000. Aditia membayar iuran pensiun dan tunjangan hari tua
senilai Rp2.000.000 setiap bulan. Maka, berikut perhitungan pajak
penghasilan yang harus dibayar oleh Aditia.
 Hitung penghasilan bersih (Penghasilan Bruto - beban tanggungan)
Rp100.000.000 - Rp2.000.000 = Rp98.000.000
 Hitung PTKP (PTKP = Pribadi + Istri + Anak) Rp54.000.000 +
Rp4.500.000 + Rp4.500.000 = Rp63.000.000
 Hitung PKP (PKP = Penghasilan bersih - PTKP) Rp98.000.000 -
Rp63.000.000 = Rp35.000.000
 Hitung PPh (PKP x Persentase PPh) Karena PKP Aditia kurang dari
Rp50.000.000, maka pajak yang harus ia bayarkan adalah 5% dari
PKP-nya Rp35.000.000 x 5% = Rp1.750.000
 Maka, PPh yang harus dibayarkan Aditia selama setahun adalah
sebesar Rp1.750.000.

Contoh lain perhitungan pajak penghasilan belum menikah


Ridwan adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta yang
belum menikah. Dengan begitu, berikut simulasi perhitungan pajak
Ridwan.

 Gaji per bulan = Rp6.000.000


 Penghasilan neto per tahun = Rp6.000.000 x 12 = Rp72.000.000
 PTKP = Rp54.000.000
 PKP Ridwan = Rp72.000.000 – Rp54.000.000 = Rp18.000.000
 Pembayaran PPh (tarif 5%) = 5% x Rp18.000.000 = Rp900.000
 PPh tersebut sudah dipotong oleh pemberi kerja (perusahaan),
sehingga saat melaporkan pajak di SPT Tahunan nihil atau tidak
kurang bayar pajak.

Latihan Soal

1. Coba anda jelaskan dengan singkat dan terarah Syarat finansial dalam
pembuatan UU Pajak.

2. Uraikan pula tentang organisasi yang mengadministrasikan perpajakan yang


merupakan unsur pelaksana Direktorat Jenderal Pajak!

3. Jika diketahui Pak Harun memiliki penghasilan Rp. 90.000.000,00 per tahunnya.
Pak Harun belum menikah sehingga belum mempunyai anak. Hitung berapa
besar pajak penghasilan yang harus dibayar pak Harun perbulannya?
4. Jika diketahui Pak Harun memiliki penghasilan Rp. 90.000.000,00 per tahunnya.
Pak Harun belum menikah sehingga belum mempunyai anak. Hitung berapa
besar pajak penghasilan yang harus dibayar pak Harun perbulannya?
5. Pada sebuah keluarga yang terdiri dari 4 anggota keluarga, yaitu Bapak Joko
dan 3 anaknya. Istrinya sudah lama meninggal, sehingga kini ia yang harus
mencukupi kebutuhan keluarganya. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya itu, ia
bekerja sebagai Pegawai Bank dengan gaji yang diterimanya sebesar Rp.
6.500.000,00 perbulannya. Berapa besar pajak penghasilan yang harus
dibayarkan oleh pak Joko perbulannya?

C. FISKAL LUAR NEGERI


1. Pengertian Kebijakan Fiskal

Dari segi definisinya, pengertian kebijakan fiskal adalah kebijakan yang diambil
pemerintah demi menjaga pemasukan dan pengeluaran negara tetap stabil
sehingga perekonomian negara bisa bertumbuh baik. Lebih spesifik lagi,
menurut OJK pengertian kebijakan fiskal adalah kebijakan tentang perpajakan,
penerimaan, utang piutang, dan belanja pemerintah dengan tujuan ekonomi
tertentu.

Penerapan kebijakan fiskal di Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan


Belanda, melalui Indische Comptabiliteitswet tahun 1944. Undang-undang
tersebut kemudian diadaptasi pemerintah guna menyusun kebijakan fiskal di
Indonesia mulai Proklamasi sampai tahun 1997 - 2003.

Pasca tahun 2003 hingga saat ini, kebijakan fiskal di Indonesia sudah tidak
disadur lagi dari ICW 1944, melainkan berdasarkan pada analisa perekonomian
negara dengan berlandaskan pada UUD 1945. Pihak yang memiliki wewenang
membuat kebijakan fiskal di Indonesia adalah Kementerian Keuangan RI
bersama-sama dengan Presiden.

2. Tujuan Kebijakan Fiskal

a. Menjaga dan mengembangkan ekonomi negara


Poin pertama tujuan kebijakan fiskal adalah demi menjaga stabilitas
sekaligus mengembangkan kondisi ekonomi negara. Penerapan kebijakan
fiskal diharapkan mampu mempengaruhi seluruh sektor ekonomi negara
dan memperbaiki masalah di dalamnya, mulai dari sektor korporat,
perbankan, hingga usaha mikro.
b. Meningkatkan Kualitas SDM
Tujuan kebijakan fiskal salah satunya adalah meningkatkan kualitas SDM
masyarakat, terutama dari segi teknologi dan perekonomian. Apabila
kualitas SDM meningkat, harapannya SDM tersebut punya kapabilitas
bersaing di dunia kerja nasional dan internasional, sehingga bisa
meningkat kesejahteraan hidupnya.
c. Menjaga Stabilitas Harga Barang
Ada banyak faktor yang mempengaruhi harga barang dalam pasar, mulai
dari faktor positif seperti meningkatnya demand sampai faktor negatif
seperti terjadinya penimbunan dan monopoli. Salah satu tujuan kebijakan
fiskal di Indonesia adalah demi menjaga harga barang tetap terjangkau
bagi masyarakat dan terhindar dari fluktuasi karena pihak tidak
bertanggungjawab.
d. Mendorong Investasi
Tujuan kebijakan fiskal yang terakhir adalah untuk menciptakan iklim
investasi lebih baik bagi pelaku pasar modal, utamanya investor. Sehingga
negara bisa memperoleh lebih banyak pendapatan dari pajak usaha.

3. Jenis Kebijakan Fiskal

a. Dari Segi Teoretis


Dari segi teoretis, jenis kebijakan fiskal di Indonesia terbagi 3, yaitu
kebijakan fiskal fungsional, terencana, dan insidental.
1) Kebijakan Fiskal Fungsional
Pengertian kebijakan fiskal fungsional adalah kebijakan yang diambil
demi meningkatkan kualitas ekonomi secara makro, dengan dampak
yang baru terlihat dalam jangka panjang. Contoh kebijakan fiskal
fungsional misalnya pemberian beasiswa kuliah, bantuan pendanaan
start-up, dan sebagainya.

2) Kebijakan Fiskal Disengaja/Terencana


Kebijakan fiskal disengaja adalah kebijakan manipulasi anggaran
negara. Fungsi kebijakan fiskal satu ini adalah untuk menghadapi
masalah tertentu, misalnya pandemi dan krisis ekonomi. Contoh
kebijakan fiskal disengaja adalah alokasi APBN bagi sektor kesehatan di
masa pandemi dan relaksasi pajak usaha.

3) Kebijakan Fiskal Tak Disengaja/Insidental


Kebijakan fiskal tak disengaja yaitu kebijakan berupa penetapan
keputusan/aturan untuk melindung stabilitas ekonomi sektor non-
pemerintah, contohnya penetapan harga eceran tertinggi.
 

b. Dari Segi Penerapan


Jenis kebijakan fiskal dari segi implementasinya ada 2, yaitu kebijakan
fiskal ekspansif dan kontraktif.
1) Kebijakan Fiskal Ekspansif
Pengertian kebijakan fiskal ekspansif adalah kebijakan yang diambil
pemerintah saat ekonomi melemah dengan menaikkan anggaran
belanja serta menurunkan atau meniadakan pajak bagi sektor tertentu.
Fungsi kebijakan fiskal ekspansif adalah demi meningkatkan daya beli
barang, sehingga perusahaan tetap bisa melakukan produksi tanpa
memecat pekerja.
2) Kebijakan Fiskal Kontraktif
Jenis kebijakan fiskal dari segi penerapan berikutnya adalah kebijakan
fiskal kontraktif, kebijakan menurunkan belanja pemerintah dan
menaikkan pajak. Fungsi kebijakan fiskal satu ini adalah untuk
mencegah inflasi dan mengurangi rasio gini.
 

c. Dari Segi Neraca Pembayaran


Jenis kebijakan fiskal dari segi neraca terbagi 4, yaitu kebijakan fiskal
seimbang, surplus, defisit, dan dinamis.
1) Kebijakan Fiskal Seimbang
Kebijakan fiskal satu ini diambil untuk menjaga keseimbangan
pemasukan dan pengeluaran negara. Fungsi kebijakan fiskal satu ini
adalah agar negara tidak punya terlalu banyak hutang. Meski terdengar
positif, regulasi fiskal seimbang memiliki risiko besar, karena tidak
semua negara punya kemampuan memenuhi seluruh kebutuhan
warganya.
2) Kebijakan Fiskal Surplus
Pengertian kebijakan fiskal surplus adalah jenis kebijakan fiskal yang
diambil ketika pemasukan lebih banyak dari pengeluaran. Fungsi
kebijakan fiskal surplus adalah demi mencegah terjadinya inflasi.
3) Kebijakan Fiskal Defisit
Kebalikan dari jenis kebijakan fiskal surplus, kebijakan fiskal defisit
adalah regulasi fiskal guna mengatasi kekurangan pemasukan dibanding
pengeluaran. Salah satu contoh kebijakan fiskal defisit adalah utang luar
negeri.
4) Kebijakan Fiskal Dinamis
Jenis kebijakan fiskal terakhir dari segi penerapan adalah regulasi fiskal
dinamis, yaitu kebijakan ekonomi yang diambil sewaktu-waktu saat
negara membutuhkan.

4. Instrumen Kebijakan Fiskal

a. Pajak
Poin pertama instrumen kebijakan fiskal adalah pajak dari seluruh sektor
domestik dan luar negeri. Demi mencapai tujuan kebijakan fiskal,
pemerintah dapat memanipulasi pajak dalam bentuk pengurangan,
penambahan, penundaan, sampai peniadaan.
b. Pengeluaran Belanja
Instrumen kebijakan fiskal berikutnya adalah pengeluaran belanja
negara, yang juga bisa dikurangi atau ditambah sesuai kebutuhan.
Apabila neraca pembayaran negara defisit, maka pemerintah bisa
mengurangi pengeluaran belanjanya di sektor tertentu, misalnya
penundaan pembayaran THR bagi PNS.
c. Obligasi Publik
Instrumen kebijakan fiskal yang ketiga adalah penerbitan obligasi atau
surat utang bagi warga negara. Berbeda dengan utang luar negeri,
obligasi publik memiliki coupon rate atau bonus komisi saat pemerintah
mengembalikan pinjamannya ke masyarakat.
d. Alokasi Anggaran
Instrumen kebijakan fiskal terakhir adalah alokasi anggaran. Agar tujuan
kebijakan fiskal dalam periode tertentu berhasil, pemerintah punya
wewenang memindahkan alokasi anggaran dari satu sektor ke sektor
lainnya. Misalnya di masa pandemi, pemerintah dapat memprioritaskan
anggaran untuk fasilitas kesehatan.

5. Perbedaan Kebijakan Fiskal dan Moneter

Perbedaan kebijakan fiskal dan moneter yang pertama adalah dari segi
pengambilan keputusan. Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang diputuskan
dan dikelola Kementerian Keuangan, sedangkan wewenang kebijakan moneter
sepenuhnya ada pada Bank Indonesia.
Selanjutnya, perbedaan kebijakan fiskal dan moneter adalah dari segi tujuan.
Kebijakan moneter bertujuan menjaga jumlah uang beredar di masyarakat.
Sementara itu, tujuan kebijakan fiskal adalah mengelola dan menjaga
kesejahteraan sektor-sektor pelaku perputaran uang, mulai dari konsumen,
pekerja, sampai pelaku usaha.

D. PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG dan JASA dan PAJAK


PENJUALAN atas BARANG MEWAH
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi dalam negeri oleh Wajib Pajak
Orang Pribadi, Badan, dan Pemerintah. Dalam penerapannya, Badan atau
Perorangan yang membayar pajak ini tidak diwajibkan untuk menyetorkan
langsung ke kas negara, melainkan lewat pihak yang memotong/memungut PPN.
Pajak Pertambahan Nilai bersifat objektif, tidak kumulatif, dan merupakan pajak
tidak langsung. Subjek pajaknya terdiri dari Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan
non PKP.
Harus dipahami subjek pajak ini berbeda dengan Wajib Pajak. Subjek
pajak belum memiliki kewajiban untuk membayar pajak sedangkan Wajib
Pajak sudah memiliki kewajiban untuk membayar pajak dan menyetorkannya ke
kas negara.

1. Undang-Undang yang mengatur PPN


a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah diciptakan untuk mengatur tentang PPN dan
PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) yang disahkan pada 1 April
1985.

b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000


Setelah UU No. 8 Tahun 1983, muncul perubahan kedua yaitu Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM.
Perubahan ini dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan sistem
perpajakan yang tepat untuk  masyarakat juga untuk meningkatkan
penerimaan negara.

c. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (PERUBAHAN PADA UU CIPTA


KERJA)
Perubahan ketiga adalah UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan PPnBM. Untuk melengkapi
kekurangan pada UU PPN sebelumnya, undang-undang ini bertujuan
memberikan keadilan hukum dan keamanan bagi negara dan masyarakat
dengan sistem perpajakan yang jauh lebih sederhana.

d. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020


Meski ketentuan baru tentan PPN ini juga diatur kembali dalam UU No.11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada klater perpajakan, namun UU 42
Tahun 2009 sebagian masih berlaku.

2. Objek PPN (Pajak Pertambahan Nilai)


Berikut adalah objek PPN dan yang dikecualikan dari PPN alias yang masuk dalam
daftar negatif list PPN:
a. Barang/Jasa yang Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

1) Penyerahan Barang Kena Pajak (BPK) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di
dalam daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
2) Impor Barang Kena Pajak.
3) Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean
di dalam daerah pabean.
4) Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean.
5) Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan ekspor Jasa
Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
6) Kegiatan Membangun Sendiri bangunan dengan luas lebih dari 200m2
yang dilakukan di luar lingkungan perusahaan dan/atau pekerjaan oleh
Orang Pribadi atau Badan yang hasilnya digunakan sendiri atau pihak
lain.
7) Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, sepanjang pajak masukan yang dibayar pada saat
perolehan aktiva tersebut boleh dikreditkan.
b. Daftar Negatif List PPN atau Pengecualian PPN

Tidak semua barang atau jasa dikenakan PPN, ada sejumlah BKP/JKP yang
masuk dalam daftar negatif list PPN alias tidak dikenakan PPN.

Pengecualian PPN ini dikenakan terhadap barang/jasa tertentu yang diatur


dalam peraturan menteri keuangan sebagai berikut :

1) Barang hasil pertambangan atau pengeboran (minyak mentah, asbes,


batu bara, gas bumi, dan lain-lain).
2) Barang Kebutuhan Pokok (beras, jagung, susu, daging, kedelai,
sayuran, dan lainnya).
3) Makanan dan minuman yang disajikan di rumah makan atau restoran.
4) Uang dan emas batangan.
5) Jasa pelayanan medis, pelayanan sosial, jasa keuangan, asuransi,
pendidikan dan sebagainya.
6)  Barang/Jasa yang Dikeluarkan dari Daftar Negatif List PPN (Sembako
Kena PPN)

Seiring dengan rencana kenaikan tarif PPN 12%, dalam draft RUU KUP ini
pemerintah juga akan mengeluarkan sejumlah barang/jasa yang bebas PPN
menjadi dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

3. Dasar Pengenaan Pajak PPN (DPP)


Untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan
Nilai digunakan nilai yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Dasar
Pengenaan Pajak (DPP) sendiri terdiri dari:

a. Harga Jual
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena
Pajak.

b. Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena
Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud.

c. Nilai Impor
Nilai Impor adalah uang yang digunakan sebagai dasar penghitungan Bea
Masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai
untuk impor Barang Kena Pajak.

d. Nilai Ekspor
Nilai Ekspor adalah uang atau biaya yang diminta oleh eksportir.

e. Nilai Lain
Nilai Lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar
Pengenaan Pajak yang diatur oleh Menteri Keuangan.

DPP PPN (Dasar Pengenaan Pajak PPN) yang diatur dalam Pasal 9 ayat
1 sebagai berikut:
 Untuk penyerahan BKP atau pemanfaatan BKP tidak berwujud, DPP-nya
adalah jumlah harga jual.
 Untuk pengimporan BKP, DPP-nya adalah nilai impor (definisi nilai impor
lihat Pasal 1 angka 20 UU PPN).
 Untuk pengeksporan BKP, DPP-nya adalah nilai ekspor.
 Untuk kasus penyerahan BKP/JKP tertentu, DPP-nya adalah nilai lain.
Nilai lain adalah suatu jumlah yang ditetapkan Menteri Keuangan
sebagai Dasar Pengenaan PPN atas jenis penyerahan BKP/JKP
tertentu.
4. Tarif PPN dan Kenaikan Tarif PPN Terbaru 12%
Sesuai Pasal 7 UU No. 42 Tahun 2009 disebutkan besar tarif PPN adalah
sebagai berikut:

a. Tarif umum 10% untuk penyerahan dalam negeri


b. Tarif khusus 0% diterapkan atas ekspor BKP berwujud maupun tidak
berwujud, dan ekspor JKP.
c. Tarif Pajak sebesar 10% dapat berubah menjadi lebih rendah, yaitu 5%
dan paling tinggi 15% sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah.
Jika mengacu pada RUU KUP yang tengah digodog antara pemerintah
dan parlemen, maka dengan rencana kenaikan tarif pajak menjadi 12% ini
masih di bawah dari ketentuan tarif PPN paling tinggi sebesar 15%

5. Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia


Secara teknis, mekanisme yang berlaku terhadap PPN di Indonesia adalah
sebagai berikut:
a. PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP wajib memungut PPN dari
pembeli/penerima BKP/JKP yang bersangkutan sebesar 10% dari Harga
Jual atau penggantian, dan membuat Faktur Pajak sebagai bukti
pemungutannya.
b. PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak
Keluaran bagi PKP Penjual BKP/JKP, yang sifatnya sebagai pajak yang
harus dibayar (utang pajak).
c. Pada waktu PKP di atas melakukan pembelian/perolehan BKP/JKP yang
dikenakan PPN, PPN tersebut merupakan Pajak Masukan yang sifatnya
sebagai pajak yang dibayar di muka, sepanjang BKP/JKP yang dibeli
tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya.
d. Untuk setiap Masa Pajak (setiap bulan), apabila jumlah Pajak Keluaran
lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya harus disetor ke Kas
Negara paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak
dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
disampaikan. Dan sebaliknya, apabila jumlah Pajak Masukan lebih besar
daripada Pajak Keluaran, maka selisih tersebut dapat dikompensasi ke
masa pajak berikutnya. Restitusi hanya dapat diajukan pada akhir tahun
buku. Hanya PKP yang disebutkan dalam Pasal 9 ayat (4b) UU Nomor 42
Tahun 2009 saja yang dapat mengajukan restitusi untuk setiap Masa
Pajak.
e. PKP di atas wajib menyampaikan SPT Masa PPN setiap bulan ke Kantor
Pelayanan Pajak terkait paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya Masa Pajak.

6. Rumus & Cara Perhitungan PPN

Perhitungan PPN yang terutang dilakukan dengan cara mengalikan tarif pajak
dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). ​Proses perhitungan tersebut dapat
diilustrasikan sebagai berikut:

PPN = Tarif PPN x Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Contoh Kasus:
PT AAA  menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp25.000.000.

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp25.000.000 = Rp2.500.000


PPN sebesar Rp2.500.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak PT AAA

PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah)

Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) merupakan Pajak yang dikenakan selain


Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk penjualan barang-barang yang tergolong
sebagai barang mewah. PPnBM merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket
dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Pajak ini merupakan pajak yang
dikenakan oleh Pemerintah untuk menjalankan fungsi keseimbangan pembebanan
pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen berpenghasilan
tinggi, serta pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah. Sederhananya, jika Anda memiliki penghasilan yang tinggi, otomatis Anda
juga harus membayar pajak lebih tinggi.

1. Tujuan Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah


Berikut ini adalah beberapa pertimbangan mengapa pemerintah menganggap
pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sangat penting. Berikut
penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU PPN No. 42 TAHUN 2009:

 Perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang


berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
 Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah;
 Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional;
 Perlu untuk mengamankan penerimaan negara.

Pada 1 Maret 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menandatangani


Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 35/PMK.010/2017 tentang Jenis
Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang
Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang PPN, Pajak Penjualan atas Barang


Mewah dikenakan terhadap beberapa barang berikut:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) tergolong mewah dilakukan oleh


pengusaha yang menghasilkan BKP tergolong mewah di dalam daerah
pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2. Impor barang kena pajak yang tergolong mewah.

Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP Mewah


oleh pabrikan (pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat impor BKP
mewah. PPnBM tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah itu. Adapun
pihak yang memungut PPnBM tentu saja pabrikan BKP Mewah pada saat
penyerahan atau penjualan BKP Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor BKP
Mewah dilunasi oleh importir bersamaan dengan pembayaran PPN impor dan
PPh Pasal 22 impor.
Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah lainnya
adalah:

 Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau


 Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
 Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi; atau
 Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
 Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta
mengganggu ketertiban masyarakat.

Pengenaan tarif Barang Kena Pajak tergolong mewah digolongkan ke dalam


beberapa kategori sebagai berikut ini:

1. Tarif 10% = Kendaraan umum kategori tertentu, alat rumah tangga, alat
pendingin, hunian mewah, televisi, dan minuman non-alkohol.
2. Tarif 20% = Kendaraan bermotor kategori tertentu, alat fotografi, berbagai
jenis permadani, peralatan olahraga impor, dan barang
3. Tarif 25% = Kendaraan bermotor berat dan berbahan bakar solar,
misalnya combi, pick up, dan minibus.
4. Tarif 35% = Minuman bebas alkohol, bahan berbahan kulit impor, batu
kristal, bus, dan barang pecah belah
Bisnis barang mewah seperti barang elektronik, mobil, gadget, dan sebagainya
sedang berkembang pesat di Indonesia. Sebagai pelaku bisnis, Anda wajib
memahami cara perhitungan pajak barang mewah ini. Cara menghitung Pajak
Penjualan atas Barang Mewah terutang sebagai berikut :
PPnBM terutang = DPP PPnBM X tarif pajak
Tarif khusus Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas ekspor BKP tergolong
mewah = 0%.
Contoh kasus:
Harga jual sedan diesel 1800 cc oleh PKP
Produsen                                                          = Rp260.000.000,00
PPN (10% X Rp260 juta)                                   = Rp  26.000.000,00
PPnBM (40% X Rp260 juta)                               = Rp104.000.000,00
Total Harga jual termasuk PPN dan PPnBM        = Rp390.000.000,00
Perhatikan bahwa DPP PPnBM = DPP PPN

E. JENIS PAJAK LAINNYA


1. BEA MATERAI
Merujuk Dewan Perwakilan Rakyat, bea materai adalah pajak atas dokumen.
Dalam implementasinya, merujuk UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea
Meterai, dokumen yang dimaksud adalah:

a. Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu


kejadian yang bersifat perdata; dan
b. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Bea materai juga wajib disertakan pada dokumen transaksi surat berharga,
termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta
risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang, serta dokumen
lain yang telah ditetapkan pemerintah.
Fungsi bea materai adalah untuk memberi kekuatan hukum jika ada subjek
atau pihak yang membuat dokumen serta pihak-pihak lain yang terkait. Adapun
beberapa subjek yang bisa dikenakan atas fungsi bea materai adalah sebagai
berikut.

 Pihak penerima atau pihak yang mendapatkan manfaat maupun


keuntungan dari dokumen, kecuali pihak yang bersangkutan menciptakan
suatu kondisi yang berbeda.
 Apabila sebuah dokumen hanya dibuat bagi satu pihak, maka meterai
tersebut hanya memiliki satu subjek saja.
 Jika sebuah dokumen dibuat untuk kepentingan dua pihak atau lebih
seperti surat perjanjian atau yang lainnya, maka tiap-tiap pihak akan
terutang bea meterai.

Untuk dokumen seperti segala bentuk ijazah, tanda terima pembayaran gaji,
uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang
berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang diserahkan untuk
mendapatkan pembayaran dimaksud tidak memerlukan bea materai.Seperti
telah dijelaskan di atas, ada dokumen-dokumen tertentu yang telah diatur
dalam Undang-undang yang dikenakan bea materai. Adapun berikut
penjelasannya berdasarkan situs Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan yang diakses pada Februari 2022 berikut penjelasannya:
Dokumen yang Dikenakan Bea Materai

Dokumen yang terkena bea meterai Rp10.000 seperti disebutkan dalam UU


Nomor 10 Tahun 2020, adalah dokumen sebagai berikut:

 Surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya


yang sejenis, beserta rangkapnya.
 Akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya.
 Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya.
 Surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apapun.
 Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak
berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
 Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang,
salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang.
 Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang (1) menyebutkan penerimaan uang;
atau (2) berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah
dilunasi atau diperhitungkan.
 Dokumen lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

 Dokumen yang Tidak Dikenakan Bea Materai


Sedangkan ada beberapa dokumen yang tidak dikenakan bea materai.
Melansir dari situs Peraturan, berikut dokumen yang tidak dikenakan bea
materai:

 Dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang


 Segala bentuk ijazah
 Tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan
pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat
yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran dimaksud.
 Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah
daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat
dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan
daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk berdasarkan ketentuan
peraturan perundangundangan.
 Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
 Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga,
pembayaran uang simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan
badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang, atau
pengeluaran surat berharga oleh kustodian kepada nasabah.
 Surat gadai
 Tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
 Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam
rangka pelaksanaan kebijakan moneter.

2. PAJAK BUMI dan BANGUNAN


Pajak Bumi dan Bangunan (disingkat PBB) adalah pungutan yang harus
dibayar atas keberadaan bumi dan bangunan yang memberikan manfaat dan
status sosial ekonomi bagi seseorang atau badan yang mempunyai hak
atasnya atau mendapatkan manfaat padanya. Karena Pajak Bumi dan
Bangunan bersifat material, besaran tarif ditentukan dari luas dan kondisi tanah
atau bangunan yang ada.
Objek bumi dalam Pajak Bumi dan Bangunan meliputi:

 Sawah
 Ladang
 Kebun
 Tanah
 Pekarangan
 Tambang

Sedangkan objek bangunan dalam Pajak Bumi dan Bangunan meliputi:

 Rumah tinggal
 Bangunan usaha
 Gedung bertingkat
 Pusat Perbelan
 Pagar mewah
 Kolam renang
 Jalan tol

Sebenarnya, tidak semua tanah dan bangunan yang ada dapat menjadi objek
dalam Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), ada beberapa objek yang tidak masuk
ke dalam objek Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB), objek tersebut dilihat
berdasarkan manfaat dan kegunaannya, yaitu:

 Dipergunakan untuk kepentingan umum di bidang-bidang berikut ini:


 Sosial
 Ibadah
 Kesehatan
 Kebudayaan
 Pendidikan
 Sejarah
 Dipergunakan untuk kepentingan menjaga flora dan fauna, seperti:
 Hutan suaka alam
 Hutan lindung
 Taman nasional
 Dipergunakan untuk kepentingan negara atau organisasi internasional,
contohnya:
 Konsulat
 Kedutaan
Subjek PBB
Menurus pasal 4 Undang-Undang no. 12 Tahun 1985 dan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1994 tentang PBB. Subjek yang harus membayar Pajak
Bumi dan Bangunan adalah orang maupun badan/ organisasi yang memiliki
hak atau mendapatkan manfaat atas tanah atau bangunan.

Subjek yang dikenakan wajib pajak tersebut menurut UU PBB wajib dalam
membayar Pajak secara tepat waktu setelah menerima Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan
Pajak (STP) dari Kantor Pelayanan PBB atau disampaikan melalui
Pemerintah Daerah. Tempat pembayaran pajak tersebut telah ditentukan
dalam SPPT yaitu Bank Persepsi, Kantor Pos atau Giro.

Jika suatu objek pajak tidak diketahui dengan jelas siapa yang memilikinya,
maka yang menetapkan subjek pajak sebagai orang yang wajib membayar
pajak adalah Direktorat Jenderal Pajak.

Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 5 UU No. 12 tahun 1985 dan


Undang-undang No.12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah 0,5%.

Dalam Pasal 6 UU no. 12 tahun 1985 dan UU No. 12 Tahun 1994 Pasal 2 (3)
KMK-523/KMK.04/1998 yang mengatur tentang dasar pengenaan PBB. Dasar
pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Besarnya nilai jual suatu objek pajak ditetapkan setiap tiga tahun sekali oleh
Menteri Keuangan. Kecuali untuk daerah-daerah tertentu, besarnya nilai jual
objek pajak akan ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan
daerah. Karena perkembangan yang mengakibatkan nilai jual objek pajak
cukup besar, maka penetapan nilai jualnya ditetapkan setahun sekali. Dalam
menentukan nilai jual, Menteri Keuangan akan pertimbangannya Bersama
dengan Gubernur untuk memperhatikan self assessment.
Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam menentukan
besarnya pajak PBB yang harus dibayar. Hal itu adalah Nilai Jual Objek Kena
Pajak (NJOP), Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), serta Nilai Jual Objek Tidak
Kena Pajak (NJOTKP). Menurut undang-undang yang sudah disebutkan di
bagian jumlah besaran tarif pajak, pajak PBB yang dikenakan atas objek pajak
adalah 0,5 persen.

Menurut Pasal 6 UU No. 12 tahun 1985, UU No. 12 Tahun 1994, serta PP


No.25 Tahun 2002. Dasar dari penghitungan pajak PBB adalah Nilai Jual

Kena Pajak (NJKP), yang berarti persentase tertentu dari nilai jual yang
sebenarnya. NJKP sendiri sudah ditetapkan bahwa nilai yang paling rendah
adalah 20% dan setinggi-tingginya 100%.

Besaran NJKP telah ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah dengan


memperhatikan kondisi perekonomian nasional. Persentase NJKP ditetapkan
melalui Rincian KMK Nomor 201/KMK.04/2000, yaitu 40% untuk objek pajak
perkebunan, objek pajak pertambangan, dan objek pajak kehutanan.

Untuk rumah dan apartemen yang terkait dengan Pajak Perdesaan dan
Perkotaan, objek ini dilihat dari nilai NJOP-nya. Jika NJOP lebih besar dari 1
miliar Rupiah, persentase NJKP adalah 40% dan jika NJOP di bawah 1 miliar
Rupiah, persentase NJKP adalah 20%.

Sedangkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sendiri adalah harga rata-rata
harga pasar dalam transaksi jual beli tanah. Ada banyak faktor yang dapat
menentukan NJOP, faktor itu adalah lokasi, pemanfaatan, bahan bangunan,
teknik, serta kondisi lingkungan.

Nilai Jual Objek Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sendiri mempunyai nilai yang
berbeda-beda untuk setiap daerahnya. Berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 201/KMK.04/2000, ditetapkan bahwa nilai NJOPTKP
untuk setiap daerah di kabupaten/kota paling banyak adalah Rp. 12.000.000.
NJOPTK ini hanya berlaku untuk setahun sekali bagi Wajib Pajak. Jika
memiliki lebih dari satu objek pajak, maka hanya satu objek pajak yang
memiliki nilai terbesar yang akan mendapat NJOPTKP dan tidak dapat
digabungkan dengan objek pajak lainnya.

Berikut ini adalah rumus untuk menghitung PBB (Pajak Bumi dan
Bangunan):

NJOP = (NJOP Bumi = luas tanah x nilai tanah) + (NJOP bangunan = luas
bangunan x nilai bangunan).

NJOPTKP = Rp 12.000.000

NJOP untuk perhitungan PBB = NJOP – NJOPTKP

NJKP = 40% dari NJOP atau 20% dari NJOP untuk perhitungan PBB

PBB terutang = 0,5% x NJKP (jumlah PBB yang harus dibayar setiap tahun)

PT DDD memiliki lahan di daerah Solo dengan memiliki area tanah seluas
1.000 meter persegi dengan luas bangunan 800 meter persegi.

Diketahui NJOP tanah per meter di daerah tersebut adalah Rp5.000.000 dan
harga bangunan per meter Rp1.000.000.

Berikut adalah langkah-langkah cara mengitu PBB yang wajib dipahami


perusahaan pemilik bumi dan bangunan:

a. Langkah pertama, hitung NJOP bumi dan bangunan


Bumi = 1.000 x Rp 5.000.000 = Rp 5.000.000.000
Bangunan 800 x Rp 1.000.000 = Rp 800.000.000
NJOP Bumi dan Bangunan = Rp 5.000.000.000 + Rp
800.000.000 = Rp 5.800.000.000
b. Langkah kedua, hitung NJKP
NJKP = 40%X (Rp 5.800.000.000 - Rp12.000.000 = Rp
2.315.200.000

c. Langkah ketiga, hitung PBB.


PBB = 0,5% X Rp 2.315.200.000 = Rp 11.576.000 
Maka setiap tahunnya PT AAA harus membayar PBB sebesar
Rp11.576.000.

Contoh Soal :

Bapak Whisnutama mempunyai Objek Pajak berupa

1. Tanah seluas 1000 m2 dengan harga jual Rp 400.000 per m2


2. Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp 350.000 per m2
3. Taman mewah seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp 100.000 per m2
4. Pagar mewah sepanjang 150m2 dan tinggi rata rata pagar 1,5 m dengan
nilai jual Rp 200.000 per m2

Berdasarkan Peraturan Pemerintah bahwa besaran Nilai Jual kena pajak


adalah 20 %. Berapa besarnya PBB terutang?

Anda mungkin juga menyukai