MATERI KULIAH
HUKUM PAJAK
|
|
|
|
|
|
|
DOSEN :
RETNO SARIWATI, SH. MHum.
|
|
|
|
|
|
|
|
HUKUM PAJAK
I. PENDAHULUAN
Pada jaman purbakala belum terdapat negara yang teratur
(geodende-staat). Negara-negara pada waktu itu masih bersifat
sederhana (primitif) dan dikuasai oleh seorang raja, sehingga
keadaan ‘rumah tangga keuangan’ (geldhuishouding) masih belum
sempurna; meskipun segalanya masih bersifat sederhana atau
primitif, namun terasa juga kebutuhan akan uang atau alat
penukar, guna membiayai pengeluaran yang diperlukan.
Oleh karena waktu itu masih belum ada geldhuishouding
yang sempurna maka dengan sendirinya pungutan-pungutannya
juga belum teratur, dan jenis pungutan pajak jika ada masih
berbentuk primitif, misalnya berupa penyetoran berupa natura,
melakukan pekerjaan-pekerjaan guna kepentingan masyarakat
(seperti membuat jalan, melakukan ronda dan sebagainya).
Sehingga dapat dikatakan bahwa istilah ‘pajak’ seperti yang
dikenal sekarang ini, bukanlah merupakan istilah asing bagi
rakyat Indonesia, bahkan kata itu telah menjadi istilah baku
dalam bahasa Indonesia, bahasa rakyat yang berurat berakarnya
dalam kehidupan sehari-hari; tetapi sebutan pajak tersebut
dengan sendirinya diberbagai daerah berbeda sebutannya.
Kata pajak, digunakan untuk menterjemahkan istilah asing
seperti ‘belasting’ (bahasa Belanda), ‘tax’ (bahasa Inggris), ‘steuer’
(bahasa Jerman), ‘fiscaal’ (bahasa Belanda) atau ‘fiscal’ (bahasa
Inggris). Sehingga selain istilah hukum pajak di jumpai pula istilah
hukum fiskal.
Terdapatkah perbedaan antara kedua istilah tersebut?
Apabila dilihat dari segi pengungkapannya memang berbeda,
namun inti dan maksudnya adalah sama. Karena kalau hukum
pajak itu dilihatnya dari segi hukumnya, kaidah-kaidahnya,
ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang pada
umumnya diakui adil dalam pemungutan pajak yaitu dalam
pengumpulan bea bagi kegunaan dan kepentingan pembelanjaan
anggaran negara, maka hukum fiskal melihatnya dari segi
kepentingan “fiskus” (dari bahasa latin, fiskus yaitu keranjang
uang atau kas negara).
Jadi hukum fiskal adalah hukum yang berkaitan dengan
fiskus, misalnya dalam hal pungutan cukai, bea masuk dan keluar
dan segala macam pungutan lain untuk kegunaan kas negara.
Semua pungutan dilakukan menurut ketentuan hukum, menurut
kaidah-kaidah yang berlaku umum dengan maksud
3
1. Pajak.
2. Retribusi
Berbeda dengan pajak, yang dinamakan retribusi pada
umumnya hubungan dengan prestasi kembalinya adalah
langsung. Hal ini terjadi, sebab pembayaran tersebut memang
ditujukan semata-mata oleh si pembayar untuk mendapatkan
suatu prestasi yang tertentu dari pemerintah, misalnya
pembayaran uang sekolah, uang kuliah, uang ujian, pembayaran
langganan air minum, aliran listrik dan sebagainya.
Retribusi itu berdasarkan pula atas peraturan-peraturan yang
berlaku umum, dan untuk mentaatinya yang berkepentingan
dapat pula dipaksa, yaitu: Barang siapa yang ingin mendapat
suatu prestasi tertentu dari pemerintah, harus membayar. Cara
pembayarannya ini bermacam-macam, kadang-kadang dengan
uang kadang-kadang dengan materai. Dengan demikian dapat
dikatakan, bahwa dari cara pembayarannya saja, pada umumnya
tidak dapat diketahui, apakah kita berhadapan dengan suatu
retribusi atau dengan suatu pajak.
3. Sumbangan
Istilah sumbangan ini mengandung pikiran, bahwa biaya-
biaya yang dikeluarkan untuk prestasi pemerintah tertentu, tidak
boleh dikeluarkan dari kas umum, karena prestasi itu tidak dapat
ditujukan kepada penduduk seluruhnya, melainkan hanya untuk
sebagian tertentu saja. Oleh karenanya, maka hanya golongan
tertentu dari penduduk ini sajalah yang diwajibkan membayar
sumbangan ini.
6
a. Syarat Yuridis
Pajak itu harus adil dan ada kepastian hukum. Dalam hal ini
perlu diperhatikan dari daya pikul masing-masing wajib pajak.
Daya pikul di sini dapat diartikan sebagai kekuatan seseorang
untuk melakukan pembelanjaan (meninggikan
kemakmurannya) dari apa yang tersisa dari pendapatannya
setelah dikurangi dengan pengeluaran untuk kebutuhan
primer. Kemudian kepastian hukumnya dapat terjelma dalam
bentuk undang-undang yang tidak mudah diubah.
b. Syarat Ekonomis
● Pajak harus dibayar dari penghasilan rakyat dan tidak
boleh mengurangi kekayaan rakyat.
● Pajak tidak boleh menghalang-halangi lancarnya
perdagangan atau perindustrian.
● Pajak tidak boleh merugikan kebahagiaan rakyat (misalnya
pajak atas barang-barang sandang pangan yang
memberatkan).
● Pajak sebaiknya ditagih pada waktu yang tepat.
d. Syarat Sosiologis
Pajak hanya terdapat di dalam masyarakat. Tidak ada
masyarakat maka tidak akan ada pajak, sebab pajak itu
dipungut untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu
pajak harus dipungut sesuai dengan kebutuhan masyarakat
dengan memperhatikan keadaan dan situasi masyarakat pada
waktu itu.
a. Perlawanan Pasif.
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, dapat disebabkan
antara lain, perkembangan intelektual dan moral masyarakat,
sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat,
sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan
dengan baik.
b. Perlawanan Aktif.
Perlawanan ini dapat dibedakan dalam beberapa cara:
● Menghindari diri dari pajak (tax avoidance)
● Melalaikan pajak.
Keterangan :
1. Menghindari diri dari pajak
Pembayaran pajak dengan mudah dapat dihindari dengan
tidak melakukan perbuatan yang memberi alasan untuk
dikenakan pajak, yaitu dengan meniadakan atau tidak
melakukan hal-hal yang dapat dikenakan pajak.
2. Pengelakkan/ Penyelundupan pajak.
13
1. Teori Asuransi
Teori ini tergolong yang tertua, yang mengatakan bahwa pajak
itu diibaratkan premi asuransi yang harus dibayar oleh setiap
orang karena orang tersebut mendapatkan perlindungan atas
hak-haknya dari pemerintah.
Teori ini tidak mempunyai banyak pendukung, karena tidak
sesuai dengan sifat-sifat pajak. Kelemahan teori ini adalah
bahwa premi yang dibayar wajib pajak adalah sebagai imbalan
dari perlindugan yang diberikan kepadanya oleh negara, yang
sebenarnya bertentangan dengan sifat pajak. Justru untuk
pajak tidak diterima suatu imbalan yang secara langsung
dapat ditunjuk.
3. Teori Kepentingan
14
1. Menurut golongannya :
3. Menurut sifatnya.
A. Pajak Subyektif
Pajak ini berpangkal pada diri wajib pajak, dan untuk
mengenakan (menetapkan) pajaknya harus ditemukan alasan
obyektif yang berhubungan erat dengan keadaan materiilnya,
yaitu yang disebut dengan ‘daya pikul’.
Contoh : Pajak Penghasilan (PPh.).
B. Pajak Obyektif.
Pajak yang berpangkal pada obyeknya, dan untuk dapat
memungut pajaknya harus dicari orangnya (subyeknya).
Pajak ini dipungut karena adanya perbuatan, atau kejadian
(peristiwa), yang dilakukan atau terjadi dalam wilayah suatu
negara.
- Karena perbuatan , misalnya ada pemindahan atau peralihan
barang dari atau ke dalam wilayah negara (bea-masuk atau
bea-keluar).
- Karena kejadian, misalnya perolehan warisan.
1. Stelsel Fiksi.
Menurut stelsel ini pungutan pajaknya berdasarkan pada suatu
anggapan atau fiksi hukum yang sebenarnya kurang sesuai
dengan keadaan yang sesungguhnya. Tetapi walaupun
demikian tidak pula dapat dikatakan bahwa stelsel ini
merupakan sistem yang ngawur. Oleh karena itu dicari dasar
yang dapat digunakan sebagai pegangan yang mendekati
keadaan yang sebenarnya.
Contoh :
- Penghasilan setahun wajib pajak A yang memperoleh
penghasilan tetap secara periodik seperti gaji, honor tetap,
pensiun dan sebagainya; dianggap sama besar dengan 12 x
hasil sumber tetap yang diperoleh pada awal tahun. Apabila
ada kenaikan atau pengurangan penghasilan pada tahun yang
bersangklutan tidak akan diperhatikan. Hal tersebut baru
dapat diperhitungkan pada tahun berikutnya.
- Penghasilan wajib pajak dianggap sama besar dengan
penghasilan bersih yang diperoleh pada tahun sebelumnya.
Kelemahan pada stelsel ini yaitu memberikan hasil yang kurang
memuaskan.
Sedang keuntungannya yaitu setelah tahun pajak berjalan, sudah
dapat dilakukan penetapan atau penagihan pajak, sehingga uang
pajak sudah dapat masuk ke kas negara pada awal tahun.
Contoh pajak yang menggunakan stelsel ini yaitu Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB).
2. Stelsel Riil.
19
3. Stelsel Campuran.
Pada stelsel campuran ini mula-mula diterapkan stelsel fiksi,
sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat dikenakan Surat
Ketetapan Pajak yang fiktif, yang kemudian pada akhir tahun
pajak dihitung kembali disesuaikan dengan keadaan yang
sebenarnya dengan menerapkan stelsel riil (yang berfungsi sebagai
koreksi terhadap stelsel fiksi).
1. Official-accesment System.
Yaitu pemungutan pajak dimana besarnya pajak yang harus
dilunasi (terutang) oleh wajib pajak ditentukan oleh fiskus
(aparatur perpajakan).
2. Self-accesment System.
Yaitu suatu sistem pungutan di mana wewenang menghitung
besarnya pajak terutang oleh wajib pajak diserahkan kepada wajib
pajak yang bersangkutan. Sehingga dengan sistem ini wajib pajak
harus aktif menghitung, menyetor dan melapor kepada Kantor
pelayanan Pajak, sedangkan fiskus hanya bertugas memberi
penerangan atau pengawasan.
Sistem ini dapat terlaksana dengan baik apabila terpenuhi hal-hal :
- tax consciousness/kesadaran pada wajib pajak;
- kejujuran wajib pajak;
- tax mindedness/hasrat untuk membayar pajak;
- tax discipline/disiplin terhadap peraturan perpajakan.
Tarif Kenaikan :
2%
Rp. 5.001,- s/d Rp. 10.000,- :5%
2%
Rp. 10.001,- s/d Rp. 15.000,- :7%
2%
Rp. 15.001,- s/d Rp. 20.000,- :9%
2%
Tarif Kenaikan :
25
4%
Rp. 5.001,- s/d Rp. 10.000,- : 7%
3,5%
Rp. 10.001,- s/d Rp. 15.000,- : 10,5%
3%
Rp. 15.001,- s/d Rp. 20.000,- : 13,5%
2,5%
Rp. 20.001,- s/d Rp. 25.000,- : 16%
2%
Rp. 25.001,- s/d Rp. 30.000,- : 18%
Tarif : Kenaikan
:
Rp. 0,-s/dRp. 5.000,- :3%
26
1%
Rp. 5.001,-s/dRp. 10.000,- :4%
1,5%
Rp. 10.001,-s/dRp. 15.000,- :5,5%
2%
Rp. 15.001,-s/dRp. 20.000,- :7,5%
2,5%
Rp. 20.001,-s/dRp. 25.000,- :10%
3%
Rp. 25.001,- s/d Rp. 30.000,- : 13%
Ajaran Materiil
Menurut ajaran ini, hutang pajak timbul dengan sendirinya
yaitu pada saat yang ditentukan oleh undang-undang,
sekaligus dipenuhinya syarat subyektif dan syarat obyektif.
Dengan sendirinya artinya, bahwa untuk timbulnya hutang
pajak itu tidak diperlukan campur tangan atau perbuatan dari
pejabat pajak, asal syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-
undang telah dipenuhi. Hutang pajak langsung timbulnya
secara periodik pada saat yang sama, sedang hutang pajak
tidak langsung timbul secara insidental pada saat yang
berlainan.
Kelemahannya: Pada saat utang pajak timbul tidak diketahui
dengan pasti, berapa besarnya hutang tersebut.
Ajaran Formal
Hutang pajak timbul pada saat dikeluarkan Surat Ketetapan
Pajak (SKP) oleh Ditjen Pajak.
Jadi sebelum ada SKP, maka belum ada hutang pajak,
walaupun syarat subyektif dan syarat obyektif telah dipenuhi.
28
1. Pembayaran.
Adanya pembayaran yang berwujud uang, yang
pembayarannya di kantor-kantor yang ditunjuk oleh
negara.
2. Kompensasi (pengimbangan)
Hutang pajak dapat dilakukan pengimbangan, tetapi hanya
dalam hal tertentu saja, misalnya pada tahun pajak yang
lalu terdapat kelebihan pembayaran, maka kelebihan
tersebut dapat (dikompensasikan) dengan hutang pajak
tahun berikutnya.
3. Penghapusan
Penghapusan ini diberikan berhubung dengan ekonomi
wajib pajak, misalnya karena kumunduran finansial wajib
pajak atau harta benda wajib pajak habis karena suatu hal.
4. Pembebasan
Pembebasan pada umunya tidak dapat diberikan pada
pokok pajaknya, melainkan hanya terdapat kenaikan
(denda-denda) pajak yang diatur dalam undang-undang.
5. Daluarsa.
Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga,
denda, kenaikan, dan biaya penagihan, daluarsa setelah
lampau waktu lima tahun terhitung sejak saat terutangnya
pajak (pasal 22 KUTP).
● Pengadilan Pajak.
- Diatur dalam UU No.14 Tahun 2002, mulai berlaku 12 April
2002.
- Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak
yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak (pasal 2).
- Berkedudukan di ibukota negara (pasal 3).
- Susunan pengadilan pajak terdiri dari pimpinan, hakim
anggota, sekretaris dan panitera (pasal 6).
- Pimpinan pengadilan pajak terdiri dari seorang ketua dan
paling banyak 5 orang wakil ketua (pasal 7).
- Mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus
sengketa pajak (dalam hal banding dan gugatan) (pasal 31).
- Dalam hal banding :
- hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan
Keberatan, kecuali UU menentukan lain;
- diajukan dengan surat banding dalam bahasa Indonesia
(pasal 35);
- diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterima
keputusan yang di banding, kecuali UU menentukan lain;
- dapat diajukan oleh wapa, ahli warisnya, seorang pengurus
atau kuasa hukumnya.
- Dalam hal gugatan :
- memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan
penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan
lainnya sebagaimana dimaksud pasal 23 (2) KUTP;
- diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia (pasal 40 (1);
- jangka waktu mengajukan gugatan terhadap pelaksanaa
penagihan pajak adalah 14 hari sejak tanggal pelaksanaan
penagihan (pasal 40 (2);
32
TAX RATIO