Anda di halaman 1dari 36

1

MATERI KULIAH
HUKUM PAJAK
|
|
|
|
|
|
|

DOSEN :
RETNO SARIWATI, SH. MHum.

|
|
|
|
|
|
|
|

UNIVERSITAS MERDEKA MALANG


FAKULTAS HUKUM
2023
2

HUKUM PAJAK

I. PENDAHULUAN
Pada jaman purbakala belum terdapat negara yang teratur
(geodende-staat). Negara-negara pada waktu itu masih bersifat
sederhana (primitif) dan dikuasai oleh seorang raja, sehingga
keadaan ‘rumah tangga keuangan’ (geldhuishouding) masih belum
sempurna; meskipun segalanya masih bersifat sederhana atau
primitif, namun terasa juga kebutuhan akan uang atau alat
penukar, guna membiayai pengeluaran yang diperlukan.
Oleh karena waktu itu masih belum ada geldhuishouding
yang sempurna maka dengan sendirinya pungutan-pungutannya
juga belum teratur, dan jenis pungutan pajak jika ada masih
berbentuk primitif, misalnya berupa penyetoran berupa natura,
melakukan pekerjaan-pekerjaan guna kepentingan masyarakat
(seperti membuat jalan, melakukan ronda dan sebagainya).
Sehingga dapat dikatakan bahwa istilah ‘pajak’ seperti yang
dikenal sekarang ini, bukanlah merupakan istilah asing bagi
rakyat Indonesia, bahkan kata itu telah menjadi istilah baku
dalam bahasa Indonesia, bahasa rakyat yang berurat berakarnya
dalam kehidupan sehari-hari; tetapi sebutan pajak tersebut
dengan sendirinya diberbagai daerah berbeda sebutannya.
Kata pajak, digunakan untuk menterjemahkan istilah asing
seperti ‘belasting’ (bahasa Belanda), ‘tax’ (bahasa Inggris), ‘steuer’
(bahasa Jerman), ‘fiscaal’ (bahasa Belanda) atau ‘fiscal’ (bahasa
Inggris). Sehingga selain istilah hukum pajak di jumpai pula istilah
hukum fiskal.
Terdapatkah perbedaan antara kedua istilah tersebut?
Apabila dilihat dari segi pengungkapannya memang berbeda,
namun inti dan maksudnya adalah sama. Karena kalau hukum
pajak itu dilihatnya dari segi hukumnya, kaidah-kaidahnya,
ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang pada
umumnya diakui adil dalam pemungutan pajak yaitu dalam
pengumpulan bea bagi kegunaan dan kepentingan pembelanjaan
anggaran negara, maka hukum fiskal melihatnya dari segi
kepentingan “fiskus” (dari bahasa latin, fiskus yaitu keranjang
uang atau kas negara).
Jadi hukum fiskal adalah hukum yang berkaitan dengan
fiskus, misalnya dalam hal pungutan cukai, bea masuk dan keluar
dan segala macam pungutan lain untuk kegunaan kas negara.
Semua pungutan dilakukan menurut ketentuan hukum, menurut
kaidah-kaidah yang berlaku umum dengan maksud
3

mengumpulkan uang untuk membiayai pembelanjaan anggaran


negara demi kepentingan umum.
Namun dalam hal penggunaan kata fiskal, yang menyangkut
pengertian fiskus, masih tersirat suatu arti yang menekankan
bahwa pungutan pajak itu harus semata-mata fiskal. Artinya
bahwa pungutan pajak itu hanya dilakukan dengan maksud
untuk mengisi perbendaharaan atau kas negara tanpa tujuan lain.
Tetapi sebenarnya pungutan pajak itu masih mempunyai tujuan
lain yang non fiskal, yaitu yang bersifat mengatur.
Pungutan pajak yang bukan fiskal ini sebenarnya
ditujukan untuk mencegah atau melarang suatu tindakan, atau
bahkan mendorong suatu tindakan. Tetapi supaya tidak dianggap
sebagai suatu tindakan pembatasan otonomi atau kebebasan
seseorang dalam menentukan pilihan kemauan dan seleranya
maka dilakukan dalam bentuk pungutan pajak yang berfungsi
mengatur.
Singkatnya dalam pungutan pajak itu dapat bergabung
kedua fungsi tersebut secara tidak kentara bagaikan sambil
menyelam minum air, dan dari hasil kedua pungutan itu sama-
sama masuk kas negara untuk membiayai pembelanjaan negara.

II SUMBER PENGHASILAN NEGARA


Negara dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya sudah
barang tentu membutuhkan uang untuk pembiayaannya. Untuk
mendapatkan uang tersebut selain dari mencetak sendiri atau
meminjam, banyak jalan yang ditempuh oleh pemerintah. Secara
umum sumber penghasilan negara dapat dibedakan atas :
1. Sumber penghasilan negara dari bumi ,air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyatnya
(pasal 33 (3) UUD 1945).
2. Sumber penghasilan dari perusahaan-perusahaan negara, baik
yang bersifat monopoli, maupun yang tidak bersifat monopoli
3. Barang-barang milik pemerintah atau yang dikuasai oleh
pemerintah, dalam hubungan ini dapat di sebutkan tanah-
tanah yang dikuasai pemerintah yang diusahakan untuk
mendapatkan penghasilan, saham-saham yang dipegang
negara, dan sebagainya.
4. Benda-benda dan perampasan-perampasan untuk kepentingan
umum.
5. Hak-hak waris atas harta peninggalan terlantar (pasal 1126 BW),
6. Hibah-hibah wasiat dan hibah lainnya, misalnya dari PBB.
7. Berbagai macam pungutan, yaitu pajak, retribusi , sumbangan,
bea dan cukai.
4

III. PAJAK, RETRIBUSI, SUMBANGAN, BEA dan CUKAI

1. Pajak.

a. Mr. Dr. N.J. Feldman, dalam bukunya De


overheidsmiddelen van Indonesia, mengatakan: Pajak
adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang
kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan
secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-
mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran
umum. Feldman berpendapat bahwa pada pembayaran
pajak, tidak ada kontraprestasi dari negara.

b. Prof. Dr. M. J. H. Smeets, dalam bukunya De Economish


Betekenis der Belastinge, Pajak adalah prestasi kepada
pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum
dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi
yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual;
maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran
pemerintah.

c. Prof. Dr. P. J. A. Adriani, mengatakan:


Pajak adalah iuran kepada negara (yang dipaksakan) yang
terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi
kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya
adalah membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan.

d. Dr. Soeparman Soemahamidjaja, mengatakan:


Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang
dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma
hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan
jasa-jasa kolektif dalam mencapati kesejahteraan umum

e. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH., mengatakan:


Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak
mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung
dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar
pengeluaran umum.
Dengan penjelasan sebagai berikut, “dapat dipaksakan”
artinya, bila hutang pajak tidak dibayar, hutang itu dapat
ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat
5

paksa dan sita, dan juga penyanderaan; terhadap


pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan jasa timbal
tertentu, seperti dengan halnya retribusi.

Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak (yang tersimpul


dalam berbagai definisi) itu adalah:
a. Pajak dipungut berdasarkan/ dengan kekuatan undang-
undang serta aturan pelaksanaannya;
b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontra-prestasi individual oleh pemerintah;
c. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat
maupun daerah;
d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran
pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat
surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment;
e. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter, yaitu
mengatur.

2. Retribusi
Berbeda dengan pajak, yang dinamakan retribusi pada
umumnya hubungan dengan prestasi kembalinya adalah
langsung. Hal ini terjadi, sebab pembayaran tersebut memang
ditujukan semata-mata oleh si pembayar untuk mendapatkan
suatu prestasi yang tertentu dari pemerintah, misalnya
pembayaran uang sekolah, uang kuliah, uang ujian, pembayaran
langganan air minum, aliran listrik dan sebagainya.
Retribusi itu berdasarkan pula atas peraturan-peraturan yang
berlaku umum, dan untuk mentaatinya yang berkepentingan
dapat pula dipaksa, yaitu: Barang siapa yang ingin mendapat
suatu prestasi tertentu dari pemerintah, harus membayar. Cara
pembayarannya ini bermacam-macam, kadang-kadang dengan
uang kadang-kadang dengan materai. Dengan demikian dapat
dikatakan, bahwa dari cara pembayarannya saja, pada umumnya
tidak dapat diketahui, apakah kita berhadapan dengan suatu
retribusi atau dengan suatu pajak.

3. Sumbangan
Istilah sumbangan ini mengandung pikiran, bahwa biaya-
biaya yang dikeluarkan untuk prestasi pemerintah tertentu, tidak
boleh dikeluarkan dari kas umum, karena prestasi itu tidak dapat
ditujukan kepada penduduk seluruhnya, melainkan hanya untuk
sebagian tertentu saja. Oleh karenanya, maka hanya golongan
tertentu dari penduduk ini sajalah yang diwajibkan membayar
sumbangan ini.
6

Sebagai misal dapat disebutkan Pajak Kendaraan Bermotor (sekalipun


pemungutan dilakukan secara pajak langsung), yang hasilnya ditujukan untuk
pembuatan dan pemeliharaan jalan yang khususnya bermanfaat bagi pemakai
kendaraan itu.
Jadi jelaslah di sini, bahwa pada retribusi dapatlah ditunjuk
seseorang yang mengenyam kenikmatan kontraprestasi dari
pemerintah, sedangkan pada sumbangan yang mendapat
kontraprestasi ini adalah suatu golongan. Perbedaan selanjutnya
dapat kita lihat dari unsur paksaannya. Unsur paksaan baik
dalam pajak maupun dalam sumbangan bersifat yuridis artinya
akan membawa akibat-akibat hukum untuk pelanggarnya, dengan
perbedaan, bahwa pada pajak sifat memaksanya umumnya jauh
lebih kuat dari pada sumbangan.
Dalam retribusi unsur paksaannya umumnya bersifat
ekonomis, sehingga pada hakekatnya diserahkan kepada pihak
yang berkepentingan untuk membayarnya ataupun tidak.

4. Bea dan Cukai


Menurut UU no.17 Th.2006 (perubahan atas UU No.10
Th.1995 tentang Kepabeanan), kepabeanan adalah segala sesuatu
yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang
yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea
masuk dan bea keluar.
Daerah pabean adalah wilayah RI yang meliputi wilayah
darat, perairan dan ruang angkasa diatasnya, serta tempat-tempat
tertentu di Zona ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang
didalamnya berlaku undang-undang ini.
Menurut UU No.39 Th.2007 (perubahan atas UU No.11
Th.1995 tentang Cukai), cukai adalah pungutan negara yang
dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat
atau karateristik yang ditetapkan dalam undang-undang.

IV. HUBUNGAN HK PAJAK dan HUKUM YANG LAIN

1. Pengertian Hukum Pajak


Hukum pajak, yang disebut juga hukum fiskal, adalah
keseluruhan dari peraturan yang meliputi wewenang
pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan
menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui
kas negara, sehingga ini merupakan dari bagian hukum publik,
yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara
dengan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang
7

berkewajiban membayar pajak (selanjutnya sering disebut wajib


pajak).
Yang terutama menarik perhatian dari hukum pajak ini
adalah seringnya berubah peraturan-peraturannya, yaitu sebagai
akibat dari perubahan yang terdapat pada kehidupan ekonomi
dalam masyarakat di mana perubahan ini mengharuskan pula
perubahan-perubahan peraturan-peraturan pajaknya.
Dapat dikatakan bahwa hukum pajak adalah sebagian dari hukum publik,
dan ini adalah bagian dari tata tertib hukum yang mengatur hubungan antara
penguasa dengan warganya; atau dengan kata lain, yang memuat cara-cara untuk
mengatur pemerintahan. Yang termasuk dalam hukum publik ini ialah: Hukum
Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Adminitratif ; sedangkan hukum pajak
merupakan anak bagian dari hukum administratif, sekalipun ada yang
menghendaki (antara lain Prof. Adriani) agar supaya hukum pajak diberikan
tempat yang tersendiri di samping hukum administratif (otonomi hukum pajak)
karena hukum pajak juga mempunyai tugas yang bersifat lain dari pada hukum
administratrif pada umumnya, yaitu hukum pajak yang dipergunakan sebagai alat
untuk menentukan politik perekonomian. Lagipula hukum pajak pada umumnya
mempunyai tata tertib dan istilah-istilah tersendiri untuk lapangan pekerjaannya.
8

2. Hubungan Hukum Pajak Dengan Hukum Perdata


Dengan hukum perdata, yaitu bagian dari keseluruhan
hukum yang mengatur hubungan antara orang-orang pribadi,
hukum pajak banyak sekali sangkut-pautnya. Hal ini dapat
dimengerti karena kebanyakan hukum pajak mencari dasar
kemungkinan pemungutannya atas kejadian-kejadian, keadaan-
keadaan dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam
lingkungan perdata, seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian
penyerahan, pemindahan hak karena warisan dan sebagainya.
Prof. Mr. Paul Scholten mengatakan bahwa yang
menyebabkan timbulnya hubungan yang erat antara hukum pajak
dan hukum perdata, adalah karena suatu ajaran, yaitu bahwa
hukum perdata harus dipandang sebagai hukum umum yang
meliputi segala-galanya, kecuali jika Hukum Pajak menetapkan
peraturan menyimpang dari padanya.
Sedangkan Prof. Mr. W.F. Prins, mengatakan bahwa
hubungan erat ini sangat mungkin sekali timbul karena banyak
dipergunakannya istilah-istilah hukum perdata dalam perundang-
undangan pajak, walaupun sebagai prinsip harus dipegang teguh
pengertian-pengertian yang dianut oleh Hukum Pajak.
Misalnya tentang istilah domisili suatu badan hukum yang
didirikan di kota Malang, sedangkan kegiatan operasionalnya
dilaksanakan di Surabaya.
Menurut hukum perdata domisili badan hukum tersebut ada di
kota Malang, sedangkan menurut hukum pajak domisili badan
hukum tersebut berada di kota Surabaya karena kegiatan
operasionalnya ada di kota tersebut.
Sebaliknya pengaruh hukum pajak terhadap hukum perdata
juga besar. Sebagai atau dari ketentuan bahwa lex specialist
harus diberi tempat yang lebih utama dari lex generalist, maka
dalam setiap undang-undang (juga dalam peraturan pajak)
haruslah pula dalam penafsirannya pertama-tama dianut
peraturan yang istimewa ini.
Contoh, jika di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal
1602, disebutkan bahwa majikan berkewajiban membayar upah
seluruhnya, maka di dalam Undang-undang Pajak Penghasilan
2008 pasal 21 majikan diberi hak (bahkan ditunjuk) untuk
memotong dulu upah/ pajak penghasilannya dari upah itu
sebelum diterimanya.
9

3. Hubungan Hukum Pajak Dengan Hukum Pidana


Di dalam ketentuan Buku I Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (kecuali jika ditentukan lain) juga berlaku untuk peristiwa-
peristiwa pidana (peristiwa yang dapat dikenakan hukuman =
Strafbaarfeit) yang diuraikan di luar K.U.H.P (lihat pasal 103
K.U.H.P). Dalam peraturan pajakpun sangat memerlukan sanksi-
sanksi yang dapat menjamin ditaatinya oleh masyarakat.
Sanksi-sanksi dalam peraturan pajak ini bersifat khusus,
misalnya dapatnya badan hukum dikenakan suatu hukuman
(sedangkan sebagai suatu asas umum dari Hukum Pidana
menentukan bahwa badan hukum tidak pernah dapat melakukan
perbuatan yang dapat dihukum, karena hukum pidana ini
semata-mata ditujukan kepada individu).
K.U.H.P pun memuat ancaman-ancaman bagi pelanggaran
terhadap peraturan pajak ini. Antara lain dimuatlah dalam pasal
322 K.U.H.P, yaitu ancaman terhadap (bekas) pegawai yang
dengan sengaja telah membuka rahasia jabatan yang seharusnya
disimpan baik-baik. Dalam undang-undang pajakpun prinsip ini
dipergunakan.

V. HUKUM PAJAK MATERIIL dan HUKUM PAJAK FORMAL

Hukum Pajak Materiil memuat norma-norma yang


menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan
peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, siapa
yang harus dikenakan pajak ini, berapa besar pajaknya; dengan
kata lain segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya dan
hapusnya utang pajak dan mengatur pula hubungan hukum
antara pemerintah dan wajib pajak, serta memuat tentang
kenaikan-kenaikan, denda-denda, dan hukuman serta cara
tentang pembebasan-pembebasan dan pengembalian pajak, juga
memuat ketentuan-ketentuan yang memberikan hak tagih
kepada fiskus (contoh : undang-undang pajak penghasilan).

Hukum Pajak Formal adalah peraturan-peraturan mengenai


cara-cara untuk menjelmakan hukum materiil tersebut menjadi
suatu kenyataan. Bagian hukum ini memuat cara-cara
penyelenggaraan mengenai penetapan suatu utang pajak, kontrol
oleh pemerintah terhadap penyelenggaraannya, kewajiban para
wajib pajak, kewajiban pihak ketiga, serta prosedur dalam
pemungutannya (contoh :KUTP). Maksud hukum formal ini adalah
untuk melindungi, baik fiskus maupun wajib pajak serta untuk
memberi jaminan bahwa hukum materiilnya akan dapat
dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang ada.
10

VI. DASAR HUKUM PEMUNGUTAN PAJAK

Hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum dan


keadilan yang tegas baik untuk negara selaku pemungut pajak
maupun kepada rakyat selaku pembayar pajak. Di negara-negara
yang menganut paham negara hukum, segala sesuatu yang
menyangkut pajak harus ditetapkan dibawah undang-undang.
Bagi Indonesia dasar hukum pemungutan pajak ialah :
Pasal 23 (A) UUD 1945: Segala pajak untuk kegunaan kas negara
berdasarkan undang-undang.

VII. SYARAT-SYARAT PEMBUATAN UNDANG-UNDANG PAJAK

Pembuatan undang-undang pajak tergantung pada beberapa


syarat mutlak yang tidak boleh tidak harus dipenuhi agar supaya
terdapat undang-undang pajak yang adil. Syarat-syarat itu ialah:

a. Syarat Yuridis
Pajak itu harus adil dan ada kepastian hukum. Dalam hal ini
perlu diperhatikan dari daya pikul masing-masing wajib pajak.
Daya pikul di sini dapat diartikan sebagai kekuatan seseorang
untuk melakukan pembelanjaan (meninggikan
kemakmurannya) dari apa yang tersisa dari pendapatannya
setelah dikurangi dengan pengeluaran untuk kebutuhan
primer. Kemudian kepastian hukumnya dapat terjelma dalam
bentuk undang-undang yang tidak mudah diubah.

b. Syarat Ekonomis
● Pajak harus dibayar dari penghasilan rakyat dan tidak
boleh mengurangi kekayaan rakyat.
● Pajak tidak boleh menghalang-halangi lancarnya
perdagangan atau perindustrian.
● Pajak tidak boleh merugikan kebahagiaan rakyat (misalnya
pajak atas barang-barang sandang pangan yang
memberatkan).
● Pajak sebaiknya ditagih pada waktu yang tepat.

c. Syarat Keuangan (financiel)


11

● Hendaknya pajak yang dipungut cukup untuk menutup


sebagian pengeluaran-pengeluaran negara.
● Hendaknya pajak tidak memakan ongkos pemungutan yang
besar.

d. Syarat Sosiologis
Pajak hanya terdapat di dalam masyarakat. Tidak ada
masyarakat maka tidak akan ada pajak, sebab pajak itu
dipungut untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu
pajak harus dipungut sesuai dengan kebutuhan masyarakat
dengan memperhatikan keadaan dan situasi masyarakat pada
waktu itu.

Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nation,


supaya peraturan pajak itu adil, harus memperhatikan The Four
Maxims yaitu:
1. Equality dan Equity
Equality atau kesamaan mengandung arti, bahwa keadaan
yang sama atau orang yang berada dalam keadaan yang sama
harus dikenakan pajak yang sama.
Equity yang dalam bahasa Indonesia sering diartikan dengan
kata “keadilan” sebenarnya kurang tepat; sebab mungkin
suatu ketentuan hukum dalam undang-undang secara sama
sudah dirasa adil tetapi adakalanya belum tentu adil dalam
kasus tertentu. Oleh karena itu lebih tepat apabila
diterjemahkan dengan kata “kepatutan”.
2. Certainty
Certainty atau kepastian hukum adalah tujuan setiap undang-
undang. Dalam membuat undang-undang dan peraturan-
peraturan yang mengikat umum, harus diusahakan supaya
ketentuan yang dimuat dalam undang-undang adalah jelas,
tegas dan tidak mengandung arti ganda atau memberikan
peluang untuk ditafsirkan lain.
3. Convenience of Payment
Pajak harus dipungut pada saat yang tepat, yaitu pada saat
wajib pajak mempunyai uang, karena tidak semua wajib pajak
mempunyai saat convinience yang sama mengenakkan baginya
untuk membayar pajak.
4. Economics of Collection
Dalam membuat undang-undang pajak harus
dipertimbangkan, bahwa biaya pemungutan harus relatif kecil
dibandingkan dengan uang pajak yang masuk. Tentunya tidak
akan ada artinya memungut pajak baru yang hasilnya
12

sebagian besar habis untuk biaya pemungutan, sehingga


sebagian kecil saja yang masuk ke dalam kas negara.

VII. FUNGSI PAJAK


● Fungsi Budgetair adalah fungsi yang letaknya di sektor publik,
dan pajak-pajak di sini merupakan alat (sumber) untuk
memasukkan uang sebanyak-sebanyaknya ke dalam kas
negara yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai
pengeluaran negara.
● Fungsi Reguler (mengatur) adalah pajak digunakan sebagai
alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di
luar bidang keuangan, dan fungsi mengatur ini banyak
ditujukan terhadap sektor swasta.
Contoh : pajak yang tinggi untuk minuman keras , memberikan
fasilitas tax-holiday.

VIII. PERLAWANAN TERHADAP PAJAK

Perlawanan terhadap pajak dapat dibedakan dalam perlawanan


pasif dan perlawanan aktif.

a. Perlawanan Pasif.
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, dapat disebabkan
antara lain, perkembangan intelektual dan moral masyarakat,
sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat,
sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan
dengan baik.
b. Perlawanan Aktif.
Perlawanan ini dapat dibedakan dalam beberapa cara:
● Menghindari diri dari pajak (tax avoidance)

● Pengelakkan/ penyeludupan pajak (tax evasion)

● Melalaikan pajak.

Keterangan :
1. Menghindari diri dari pajak
Pembayaran pajak dengan mudah dapat dihindari dengan
tidak melakukan perbuatan yang memberi alasan untuk
dikenakan pajak, yaitu dengan meniadakan atau tidak
melakukan hal-hal yang dapat dikenakan pajak.
2. Pengelakkan/ Penyelundupan pajak.
13

Hal ini dilakukan biasanya apabila penghindaran diri dari


pajak tidak dapat dilakukan. Pengelakkan semacam ini nyata-
nyata merupakan pelanggaran undang-undang, dengan
maksud melepaskan diri dari pajak atau mengurangi jumlah
pajak.
3. Melalaikan Pajak
Adalah menolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan
menolak formalitas-formalitas yang harus dipenuhi olehnya.

IX. PEMBENARAN PEMUNGUTAN PAJAK

Mengapa pungutan pajak dalam masyarakat dibenarkan?


Apa dasar falsafahnya? Di dalam literatur terdapat bebarapa teori
yaitu:

1. Teori Asuransi
Teori ini tergolong yang tertua, yang mengatakan bahwa pajak
itu diibaratkan premi asuransi yang harus dibayar oleh setiap
orang karena orang tersebut mendapatkan perlindungan atas
hak-haknya dari pemerintah.
Teori ini tidak mempunyai banyak pendukung, karena tidak
sesuai dengan sifat-sifat pajak. Kelemahan teori ini adalah
bahwa premi yang dibayar wajib pajak adalah sebagai imbalan
dari perlindugan yang diberikan kepadanya oleh negara, yang
sebenarnya bertentangan dengan sifat pajak. Justru untuk
pajak tidak diterima suatu imbalan yang secara langsung
dapat ditunjuk.

2. Teori Daya Pikul


Menurut teori ini setiap orang wajib membayar pajak sesuai
dengan daya pikul masing-masing.
Daya pikul (Prof. de Langen) adalah kekuatan seseorang
untuk memikul suatu beban dari apa yang tersisa, setelah
seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-
pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri
beserta keluarganya.
Kritik yang diajukan terhadap teori ini ialah, bahwa teori ini
sebenarnya bukan merupakan teori pembenar atas pungutan
pajak, melainkan merupakan dasar untuk memungut pajak
yang adil.

3. Teori Kepentingan
14

Teori ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan kepentingan


wajib pajak yang dilindungi. Jadi, lebih besar kepentingan
yang dilindungi, maka lebih besar pajak yang harus dibayar.
Ini sebenarnya tidak sesuai dengan sifat pajak. Sebab justru
pajak sifatnya adalah suatu pembayaran yang tidak ada
imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk.

4. Teori Daya Beli


Menurut teori ini, pajak diibaratkan sebagai pompa yang
menyedot daya beli seseorang/ anggota masyarakat. Jadi
sebenarnya uang yang berasal dari rakyat kembali lagi kepada
masyarakat melalui saluran lain.
Jadi pajak pada hakikatnya tidak merugikan rakyat, oleh
sebab itu maka pungutan pajak dapat dibenarkan.

5. Teori Kewajiban Pajak Mutlak


Teori ini mendasarkan pada “Orgaantheorie” dari Otto van
Gierke, yang mengatakan bahwa negara itu suatu kesatuan,
yang di dalamnya setiap warga negara terikat. Tanpa ada
“organ” atau lembaga itu individu tidak mungkin hidup.
Lembaga tersebut oleh karena memberi hidup kepada
warganya, dapat membebani setiap anggota masyarakatnya
dengan kewajiban-kewajiban, antara lain kewajiban membayar
pajak.
Lembaga, selaku organ, mempunyai kekuasaan terhadap
anggota masyarakat yang mutlak, dan sebaliknya anggota
masyarakat mempunyai kewajiban mutlak, antara lain pajak
yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Berdasarkan pemikiran
demikian, maka pungutan pajak, walaupun membebani
individu, dapat dibenarkan.

6. Teori Pembenaran Pajak Menurut Pancasila


Pancasila mengandung sifat kekeluargaan dan gotong-royong.
Kekeluargaan mengadung arti bahwa setiap anggota
keluarga berdasarkan hakikat kekeluargaan mempunyai
kewajiban untuk membantu, mempertahankan,
melangsungkan hidup keluarga, dan menjaga nama baik
keluarga tanpa mendapatkan suatu imbalan, melainkan hanya
melakukan pengorbanan saja.
Gotong royong tidak lain daripada pengorbanan setiap
anggota keluarga (masyarakat) untuk kepentingan keluarga
(bersama) tanpa mendapatkan imbalan. Jadi, berdasarkan
Pancasila, pungutan pajak dapat dibenarkan karena
pembayaran pajak dipandang sebagai uang yang keluar dari
diri sendiri, untuk kesejahteraan sendiri, untuk masyarakat
15

sendiri. Individu, dalam hubungan ini, tidak dapat dilihat


terlepas dari keluarganya, dan anggota masyarakat tidak pula
dapat dipandang terlepas dari masyarakat dan lingkungannya.
Hak asasi individu dihormati, dan hanya dapat dikurangi demi
kepentingan umum.
Perlu diperhatikan bahwa, kalau individu mempunyai hak
asasi, sudah barang tentu masyarakat sebagai kesatuan yang
besar, di mana individu hidup, juga mempunyai “hak asasi”
yang tidak dapat dilanggar oleh masyarakat manapun juga,
yang lebih kuat daripada hak asasi individu. Kepentingan
umum akan dimenangkan dan diutamakan dari pada
kepentingan individu.
Walaupun demikian pemerintah yang melaksanakan
kepentingan umum tidak boleh bertindak sewenang-wenang, tidak
dapat memungut pajak sembarangan, melainkan harus
berdasarkan undang-undang atau mendapatkan persetujuan
terlebih dahulu dari rakyat.

XI. PENGELOMPOKAN PAJAK

1. Menurut golongannya :

a. Pajak langsung ialah pajak yang dipungut secara periodik


(berkala).
Contoh: pajak penghasilan (PPH). PPH tahunan
b. Pajak tidak langsung ialah pajak yang hanya dipungut jika
terdapat suatu peristiwa atau perbuatan, seperti penyerahan
barang tak bergerak, pembuatan suatu akte dan sebagainya.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN), cukai tembakau. pph
final. cukai trmbakau, pajak ekspor, pajak impor

Prof. Adriani mengatakan bahwa ciri yang terbaik untuk


dipergunakan bagi pajak langsung ini ialah periodisitasnya, yaitu
kenyataan bahwa pengenaan pajak langsung ini dilakukan secara
berkala. Penggolongan ini dilihat dari sudut administratifnya .

Sedang dalam artian ekonomis menurut John Stuart, pajak


langsung ialah pajak yang dikenakan terhadap orang yang harus
menanggung dan membayarnya: sedang pajak tidak langsung
dikenakan terhadap orang yang harus menanggungnya, tetapi
diharapkan pihak ketiga untuk membayarnya.
Dalam memilih cara untuk menentukan apakah suatu pajak
termasuk pajak langsung atau tidak langsung, yaitu dengan
melihat terlebih dahulu tiga unsur sebagai berikut:
16

- Unsur Pertama : Wajib pajak adalah orang yang secara


formal yuridis diharuskan melunasi pajak,
yaitu bila padanya terdapat faktor-faktor lain
atau kejadian-kejadian yang menimbulkan
sebab untuk dikenakan pajak.
- Unsur Kedua : Penanggung pajak adalah orang yang dalam
faktanya (dalam arti ekonomis) memikul dulu
beban pajaknya.
- Unsur Ketiga : Pemikul pajak, yaitu orang yang menurut
maksud pembuat undang-undang harus
dibebani pajak.
Jadi jika ketiga unsur tersebut terdapat pada satu orang maka
pajaknya adalah pajak langsung; jika ketiga unsur tersebut
terdapat pada lebih dari satu orang maka pajaknya adalah pajak
tidak langsung.

Contoh: Cukai tembakau


- Pabrik, sebagai wajib pajak, karena ia harus membeli pita
cukai.
- Pedagang rokok, sebagai penanggung pajak, karena setiap kali
mengambil rokok dari pabrik harus sekaligus membayar
cukainya.
- Konsumen, sebagai pemikul pajak, karena dialah yang dituju
oleh pembuat undang-undang untuk membayar cukainya.

Guna pembedaan pajak langsung dan pajak tidak langsung :


a. Untuk menentukan saat timbulnya hutang pajak.
b. Untuk kekebalan wakil-wakil diplomatic Negara asing,
dimana mereka hanya dapat dikecualikan dari pengenaan
pajak langsung, tidak untuk pajak tidak langsung.
c. Dalam Anggaran Pendapatan Negara, pemasukan pajak
langsung dapat diperkirakan lebih seksama daripada
pemasukan pajak tidak langsung.

2. Menurut lembaga pemungutnya

a. Pajak lokal atau pajak daerah, ialah pajak-pajak yang


dipungut oleh propinsi, kotamadya, kabupaten.
Contoh: Pajak kendaraan bermotor, pajak tontonan, pajak
reklame dan sebagainya.
b. Pajak umum atau pajak pusat, ialah pajak-pajak yang dipungut
oleh pemerintah pusat.
17

Contoh : PPh, PPN, bea materai

3. Menurut sifatnya.

A. Pajak Subyektif
Pajak ini berpangkal pada diri wajib pajak, dan untuk
mengenakan (menetapkan) pajaknya harus ditemukan alasan
obyektif yang berhubungan erat dengan keadaan materiilnya,
yaitu yang disebut dengan ‘daya pikul’.
Contoh : Pajak Penghasilan (PPh.).
B. Pajak Obyektif.
Pajak yang berpangkal pada obyeknya, dan untuk dapat
memungut pajaknya harus dicari orangnya (subyeknya).
Pajak ini dipungut karena adanya perbuatan, atau kejadian
(peristiwa), yang dilakukan atau terjadi dalam wilayah suatu
negara.
- Karena perbuatan , misalnya ada pemindahan atau peralihan
barang dari atau ke dalam wilayah negara (bea-masuk atau
bea-keluar).
- Karena kejadian, misalnya perolehan warisan.

Ada juga pembedaan pajak ke dalam pajak yang dipungut sekali ,


seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); dan pajak yang
dipungut berulang-ulang, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

4. Pajak Tertulis dan Pajak Tidak Tertulis.

A. Pajak Tertulis adalah pajak-pajak yang pada awal tahun pajak


atau awal suatu masa pajak, telah tersusun dalam suatu daftar
yang berisikan dari data-data tertentu dari wajib pajak.
Umumnya pajak ini merupakan pajak yang dipungut secara
periodik (berkala) yang dipungut pada obyek yang sama.
Contoh : Pajak Penghasilan (PPh.).

B. Pajak tidak tertulis adalah pajak-pajak yang umumnya timbul


karena suatu perbuatan, yang tidak diketahui sebelumnya
siapa yang akan melakukannya, sehingga tidak mungkin
dibuat suatu daftar wajib pajaknya terlebih dahulu.
Contoh : Bea-masuk/keluar, cukai-cukai.

Cara pemungutan pajak.


A. Pajak yang dipungut di muka (voorheffing).
18

Artinya pajak yang dipungut pada permulaan tahun (langsung


pada tahun yang bersangkutan), seperti Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB).
B. Pajak yang dipungut dibelakang (naheffing).
Artinya pajak yang pungutannya dilakukan setelah tahun pajak
berakhir, yaitu pada awal tahun pajak berikutnya, seperti Pajak
Penghasilan (PPh.).

XII. STELSEL, SISTEM DAN AZAS PEMUNGUTAN PAJAK

A. Stelsel pemungutan pajak .

Dibedakan dalam tiga macam, yaitu :


1. Stelsel Fiksi (anggapan)
2. Stelsel Riil (nyata)
3. Stelsel Campuran.

1. Stelsel Fiksi.
Menurut stelsel ini pungutan pajaknya berdasarkan pada suatu
anggapan atau fiksi hukum yang sebenarnya kurang sesuai
dengan keadaan yang sesungguhnya. Tetapi walaupun
demikian tidak pula dapat dikatakan bahwa stelsel ini
merupakan sistem yang ngawur. Oleh karena itu dicari dasar
yang dapat digunakan sebagai pegangan yang mendekati
keadaan yang sebenarnya.
Contoh :
- Penghasilan setahun wajib pajak A yang memperoleh
penghasilan tetap secara periodik seperti gaji, honor tetap,
pensiun dan sebagainya; dianggap sama besar dengan 12 x
hasil sumber tetap yang diperoleh pada awal tahun. Apabila
ada kenaikan atau pengurangan penghasilan pada tahun yang
bersangklutan tidak akan diperhatikan. Hal tersebut baru
dapat diperhitungkan pada tahun berikutnya.
- Penghasilan wajib pajak dianggap sama besar dengan
penghasilan bersih yang diperoleh pada tahun sebelumnya.
Kelemahan pada stelsel ini yaitu memberikan hasil yang kurang
memuaskan.
Sedang keuntungannya yaitu setelah tahun pajak berjalan, sudah
dapat dilakukan penetapan atau penagihan pajak, sehingga uang
pajak sudah dapat masuk ke kas negara pada awal tahun.
Contoh pajak yang menggunakan stelsel ini yaitu Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB).

2. Stelsel Riil.
19

Menurut stelsel ini suatu pungutan pajak didasarkan pada


keadaan atau penghasilan yang riil/nyata, artinya penghasilan
yang diperoleh atau diterima sebenarnya dalam tahun pajak yang
bersangkutan.
Karena keadaan atau penghasilan yang sesungguhnya diterima
dalam tahun pajak yang bersangkutan baru diketahui pada akhir
tahun, maka pajaknya baru dapat dipungut setelah tahun pajak
yang bersangkutan lampau, sehingga pungutan pajaknya paling
cepat baru dapat dilakukan pada tanggal 2 Januari tahun
berikutnya.
Keuntungan dari stelsel ini yaitu pajak dapat ditetapkan sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya.
Kelemahannya yaitu pajak baru dapat dipungut setelah tahun
pajak yang bersangkutan berakhir, sehingga fiskus untuk dapat
menerima uang pajak harus menunggu sampai akhir tahun pajak.
Maka agar supaya fiskus tidak harus menunggu sampai akhir
tahun pajak, dipergunakanlah sistem self accesment, dimana
mewajibkan para wajib pajak menghitung sendiri pajaknya yang
harus dibayar selama tahun pajak berjalan menurut petunjuk
yang diberikan oleh Dirjen. Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak
setempat.
Contoh penerapan stelsel riil ini ada pada Pajak Penghasilan
Tahunan (PPh Tahunan).

3. Stelsel Campuran.
Pada stelsel campuran ini mula-mula diterapkan stelsel fiksi,
sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat dikenakan Surat
Ketetapan Pajak yang fiktif, yang kemudian pada akhir tahun
pajak dihitung kembali disesuaikan dengan keadaan yang
sebenarnya dengan menerapkan stelsel riil (yang berfungsi sebagai
koreksi terhadap stelsel fiksi).

Stelsel campuran ini merupakan sarana yang dapat


menghilangkan kelemahan stelsel fiksi dan stelsel riil. Hal ini
dapat dilihat pada hal-hal sebagai berikut :
a. Surat Ketetapan Pajak walau kurang akurat, sudah dapat
dikeluarkan pada awal tahun pajak.
b. Pajak sudah segera dapat masuk ke dalam kas negara, yang
sangat dibutuhkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
c. Setelah tahun pajak berakhir, penghitungan penghasilan yang
kurang sesuai, yang digunakan oleh stelsel fiksi, dapat
disempurnakan dan disesuaikan dengan pendapatan yang
sebenarnya diperoleh dalam satu tahun pajak, sehingga
menghilangkan kelemahan stelsel fiksi.
20

d. Wajib pajak tidak harus memikul pajak yang terlampau berat,


yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Kelemahan dari stelsel campuran ini, yaitu untuk pengenaan satu
jenis pajak dalam satu tahunnya Kantor Pelayanan Pajak harus
bekerja dua kali, dan apabila ditinjau dari segi administrasi
maupun biaya, kurang efisien.

B. Sistem Pungutan Pajak


Dibedakan Dalam Tiga Golongan Yaitu :

1. Official-accesment System.
Yaitu pemungutan pajak dimana besarnya pajak yang harus
dilunasi (terutang) oleh wajib pajak ditentukan oleh fiskus
(aparatur perpajakan).

2. Self-accesment System.
Yaitu suatu sistem pungutan di mana wewenang menghitung
besarnya pajak terutang oleh wajib pajak diserahkan kepada wajib
pajak yang bersangkutan. Sehingga dengan sistem ini wajib pajak
harus aktif menghitung, menyetor dan melapor kepada Kantor
pelayanan Pajak, sedangkan fiskus hanya bertugas memberi
penerangan atau pengawasan.
Sistem ini dapat terlaksana dengan baik apabila terpenuhi hal-hal :
- tax consciousness/kesadaran pada wajib pajak;
- kejujuran wajib pajak;
- tax mindedness/hasrat untuk membayar pajak;
- tax discipline/disiplin terhadap peraturan perpajakan.

3. With holding System.


Yaitu suatu cara pungutan dimana penghitungan besarnya pajak
yang terutang oleh wajib pajak dilakukan oleh pihak ketiga.

C. Azas Pungutan Pajak


Suatu cara dalam memungut pajak dapat menganut tiga macam
azas:

1. Azas Domisili (Domicilie Beginzel)


Ialah suatu azas pungutan pajak yang digantungkan pada
domisili wajib pajak di suatu negara.
21

Menurut azas ini negara di mana wajib pajak berkediaman,


ialah pihak yang berhak mengenakan pajak atas orang-orang
itu dari semua pendapatannya darimana saja diperolehnya.

2. Azas Sumber (bronbeginzel)


Ialah suatu azas pungutan pajak yang digantungkan pada
adanya suatu sumber di suatu negara.
Menurut azas ini negara di mana sumber-sumber pendapatan
itu berada , ialah yang berhak memungut pajak, dengan tidak
menghiraukan tempat di mana wajib pajak berada.

3. Azas Kebangsaan (nationaliteits beginzel)


Ialah pajak yang dikenakan oleh suatu negara pada orang-
orang yang mempunyai kebangsaan dari negara itu.

Penggunaan azas yang berbeda-beda pada negara-negara di dunia


dapat menyebabkan terjadinya pungutan pajak berganda
internasional. Pugutan pajak berganda juga dapat terjadi di dalam
satu negara (pungutan pajak berganda nasional).

PAJAK GANDA (DOUBLE TAXATION)


Setiap negara biasanya mempunyai undang-undang
perpajakannya sendiri, yang fungsinya antara lain adalah
budgetary, yaitu menghimpun penerimaan negara dari masyarakat
sebagai dana untuk membiayai pembangunan dan pengeluaran
rutin. Sistem atau prinsip perpajakan yang dianut oleh suatu
negara akan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain oleh
falsafah bangsa yang bersangkutan dan kebijakan-kebijakan
tertentu yang berhubungan dengan pemberian dorongan investasi
kepada sektor-sektor tertentu.
Dari segi kekuatan modalnya, negara di dunia dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu capital exporting countries dan
capital importing countries.
Capital exporting countries adalah negara-negara yang
sudah maju, yang membutuhkan pasar lain sebagai tempat
ekspansi modal yang dimilikinya. Sebaliknya, capital importing
countries adalah negara yang kekurangan modal, sehingga ia perlu
mengimpor modal untuk mendorong kegiatan ekonominya.
Kedua kelompok tersebut, cepat atau lambat, akan saling
berhubungan melalui pemasukan modal. Tetapi seringkali arus ini
terhambat oleh sistem perpajakan yang berbeda. Artinya, sistem
perpajakan yang berlainan tersebut menyebabkan terjadinya
pengenaan pajak berganda terhadap penghasilan orang atau
badan yang sama. Keadaan ini akan menghambat keinginan
22

untuk melakukan investasi di luar negeri. Jika masing-masing


negara menerapkan undang-undang pajak nasionalnya, tanpa ada
usaha untuk mengurangi resiko terjadinya pengenaan pajak
berganda, arus pemasukan modal dari satu negara ke negara
lainnya akan menimbulkan benturan-benturan antara dua
jurisdiksi pajak yang berbeda.
Tanpa adanya upaya rekonsiliasi dari dua undang-undang
pajak yang berbeda, pengenaan pajak berganda akan terjadi, dan
hal ini berarti terhambatnya arus modal antara satu negara ke
negara lain.
Pungutan pajak berganda artinya untuk suatu obyek pajak
yang sama dikenakan pajak yang sama atau jenisnya sama dua
kali atau lebih pada subyek yang sama.
Pajak ganda dapat merupakan pajak ganda nasional atau
pajak ganda internasional. Pajak ganda nasional terjadi di satu
negara yang mengenakan dua kali pajak atas obyek yang sama
pada subyek yang sama. Sedang pajak ganda internasional terjadi
kalau dua negara masing-masing mengenakan pajak yang sama,
atau yang jenisnya sama, pada saat yang sama atas obyek yang
sama pada wajib pajak yang sama, atau yang dipikul oleh wajib
pajak yang sama.

Pencegahan pajak ganda dapat dilakukan dengan cara-cara :


1. Cara unilateral ialah cara yang dilakukan sendiri oleh
negara yang bersangkutan dengan memasukkan cara
pencegahan pajak ganda itu dalam undang-undang
pajak nasionalnya sendiri.
2. Cara bilateral ialah mencegah pajak ganda dengan
mengadakan tax treaty for the avoidance of double
taxation. Untuk keperluan itu dua negara yang
berkepentingan merencanakan draft pencegahan
pajak ganda, yang jika telah disetujui oleh kedua
belah negara, di paraf draftnya oleh para ketua
delegasi, yang kemudian dikirim ke negara masing-
masing untuk diratifikasi dan dipertukarkan dengan
negara pihak lain , yang kemudian diundangkan
dalam lembaran Negara di masing-masing negara,
sehingga perjanjian itu mengikat seluruh rakyat
negara itu.

Bila terjadi pajak ganda, maka pada lazimnya negara


tempat sumber penghasilan mempunyai hak utama untuk
mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber negaranya
(source principle). Maka dalam hal demikian negara tempat tinggal
harus memberi prioritas kepada negara sumber untuk memungut
23

pajaknya. Dimana nantinya pembayaran pajak tersebut dapat


dikreditkan atas pajak yang dikenakan terhadap wajib pajak di
negara domisili. Hal ini harus menjadi perhatian dari bagian
penagihan, dan harus diminta bukti-bukti pembayaran pajak di
negara sumber tersebut.
Jika antara dua negara sudah ada perjanjian
internasional tentang pencegahan pajak ganda, maka kedudukan
perjanjian yang telah disetujui oleh dua negara tersebut diatas
undang-undang pajak nasional masing-masing negara.
Manfaat tax treaty :
1. Menjamin kepastian hukum bagi para investor kedua
negara yang bersangkutan. Artinya apabila seorang
investor dari negara domisili dikenai pajak di negara
sumber yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam
perjanjian bilateral yang ada, ia dapat mengajukan
masalahnya ke pejabat yang berwenang di tempat
domisilinya. Tanpa adanya perjanjian penghindaran
pajak berganda, langkah seperti ini tidak dapat
ditempuh.
2. Salah satu pendorong masuknya investasi asing.
Dengan kata lain, suatu perjanjian penghindaran
pajak berganda membantu menciptakan iklim
investasi yang favourable.
3. Membantu mengamankan penerimaan pajak bagi
negara yang bersangkutan. Tujuan ini tercermin pada
dimungkinkannya pertukaran informasi dan
pencegahan penyelundupan pajak (tax evasion) antara
dua negara yang terlibat.

XIII. MACAM-MACAM TARIF PAJAK

Tarif pajak dapat dibedakan sebagai berikut :


a. Tarif pajak sepadan (proportioneel / sebanding).
b. Tarif pajak meningkat (progressief).
c. Tarif pajak menurun (degressief).
d. Tarif pajak tetap (vast).
a. Tarif Pajak Sepadan (proportioneel / sebanding).
Ialah tarip dengan prosentasi pengenaan yang tidak
berubah. Jumlah pajak yang harus dibayar berubah
menurut jumlah yang dipakai sebagai dasar. Dengan
perkataan lain, semakin besar jumlah yang dipakai sebagai
dasar, semakin besar pula jumlah utang pajaknya, tetapi
kenaikan ini diperoleh dengan prosentase yang sama.

b. Tarif Pajak Meningkat (progressief).


24

Ialah suatu tarip yang prosentase pengenaannya naik,


semakin besar jumlah yang harus dikenakan pajak.
Tarip pajak yang meningkat ini dapat dibagi lagi dalam:
1. Progressief proportional
2. Progressief degressief
3. Progressief progressief
Keterangan:
1. Disebut Progressief Proportional jika prosentase
pemungutan naik, semakin besar jumlah yang harus
dikenakan pajak, tetapi kenaikan prosentase untuk
setiap jumlah tertentu (kenaikan marginal) adalah tetap
misalnya:

Tarif Kenaikan :

Rp. 0,- s/d Rp. 5.000,- : 3%

2%
Rp. 5.001,- s/d Rp. 10.000,- :5%

2%
Rp. 10.001,- s/d Rp. 15.000,- :7%

2%
Rp. 15.001,- s/d Rp. 20.000,- :9%

2%

Rp.20.001,- s/d Rp.25.000,- : 11%


2. Disebut Progressief Degressief jika prosentase
pemungutan naik, semakin besar jumlah yang
dikenakan pajak, tetapi dengan kenaikan marginal yang
menurun, misalnya:

Tarif Kenaikan :
25

Rp. 0,- s/d Rp. 5.000,- : 3%

4%
Rp. 5.001,- s/d Rp. 10.000,- : 7%

3,5%
Rp. 10.001,- s/d Rp. 15.000,- : 10,5%

3%
Rp. 15.001,- s/d Rp. 20.000,- : 13,5%

2,5%
Rp. 20.001,- s/d Rp. 25.000,- : 16%

2%
Rp. 25.001,- s/d Rp. 30.000,- : 18%

Kenaikan untuk setiap jumlah Rp. 5.000,- setiap kali


menurun yaitu kenaikan yang mula-mula berjumlah 4%
turun menjadi 3,5%, 3%, 2,5%, 2% dan seterusnya.

3. Disebut Progressief progressief jika prosentase


pemungutan naik, semakin besar jumlah yang harus dikenakan
pajak, dan setiap kenaikan marginal selalu naik, misalnya:

Tarif : Kenaikan
:
Rp. 0,-s/dRp. 5.000,- :3%
26

1%
Rp. 5.001,-s/dRp. 10.000,- :4%

1,5%
Rp. 10.001,-s/dRp. 15.000,- :5,5%

2%
Rp. 15.001,-s/dRp. 20.000,- :7,5%

2,5%
Rp. 20.001,-s/dRp. 25.000,- :10%

3%
Rp. 25.001,- s/d Rp. 30.000,- : 13%

Prosentase kenaikan marginal setiap kali menjadi


bertambah yang mula-mula 1% naik menjadi 1,5%, 2%,
2,5% dan seterusnya.

c. Tarif Pajak Menurun (degressief).


Ialah tarif pajak yang besarnya prosentase menurun, tetapi
makin besar jumlah yang harus dikenakan pajak, misalnya:

Jumlah Yang Prosentase


Pajaknya
Kena Pajak Sebesar
27

Rp. 1.000,- Rp. 100,- 10% dari dasar pajak


Rp. 2.000,- Rp. 180,- 9% dari dasar pajak
Rp. 3.000,- Rp. 225,- 8,5% dari dasar pajak
Rp. 4.000,- Rp. 320,- 8% dari dasar pajak

Tarip ini tidak lagi dipergunakan dalam sistem pajak.

d. Tarip Pajak Tetap (vast).


Ialah tarip yang besarnya tetap dan tidak tergantung kepada
suatu jumlah, misalnya: Bea Materai untuk cek, bilyet giro,
kwitansi tidak tergantung jumlah uangnya.

XIV. TIMBUL DAN HAPUSNYA HUTANG PAJAK

A. Timbulnya Hutang Pajak


Mengenai hal ini ada dua teori, yaitu ajaran materiil dan ajaran
formal.

Ajaran Materiil
Menurut ajaran ini, hutang pajak timbul dengan sendirinya
yaitu pada saat yang ditentukan oleh undang-undang,
sekaligus dipenuhinya syarat subyektif dan syarat obyektif.
Dengan sendirinya artinya, bahwa untuk timbulnya hutang
pajak itu tidak diperlukan campur tangan atau perbuatan dari
pejabat pajak, asal syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-
undang telah dipenuhi. Hutang pajak langsung timbulnya
secara periodik pada saat yang sama, sedang hutang pajak
tidak langsung timbul secara insidental pada saat yang
berlainan.
Kelemahannya: Pada saat utang pajak timbul tidak diketahui
dengan pasti, berapa besarnya hutang tersebut.

Ajaran Formal
Hutang pajak timbul pada saat dikeluarkan Surat Ketetapan
Pajak (SKP) oleh Ditjen Pajak.
Jadi sebelum ada SKP, maka belum ada hutang pajak,
walaupun syarat subyektif dan syarat obyektif telah dipenuhi.
28

Keuntungan : Pada saat hutang pajak timbul, sekaligus dapat


diketahui dengan pasti berapa besarnya hutang
pajak, karena sudah ditentukan oleh Ditjen Pajak.
Kelemahan : Ada kemungkinan hutang pajak ditetapkan
tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.

B. Penagihan Hutang Pajak


Penagihan hutang pajak dapat dibedakan ke dalam dua cara
yaitu, penagihan secara pasif dan secara aktif.

- Penagihan secara pasif, dilakukan dengan cara:


1. Menyerahkan suatu Surat Ketetapan Pajak (SKP).
2. Mengeluarkan suatu surat peringatan
3. Kalau tindakan kedua ini belum dipatuhi juga oleh wajib
pajak maka kepadanya diberikan surat tegoran.

- Penagihan secara aktif, yaitu dengan paksa dan sita.


Tindakan ini sesuai dengan Undang-undang No. 19 tahun
2000 (perubahan atas UU No.19 Th.1997 tentang Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa, yang mempunyai kekuatan
eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap (pasal 7 ayat 1).
- Di dalam pasal 8 (1) nya disebutkan bahwa Surat Paksa
diterbitkan apabila :
a. Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan
lepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat
Peringatan atau surat lain yang sejenis;
b. Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus; atau
c. penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan
angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
- Pasal 6 (1) nya mengatur bahwa Jurusita pajak akan
melaksanakan penagihan seketika dan selakigus tanpa
menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran, apabila :

a. Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk


selama-lamanya atau berniat untuk itu;
b. Penanggung pajak memindahtangankan barang yang
dimiliki dalam rangka menghentikan atau mengecilkan
kegiatan usahanya;
29

c. Penanggung pajak akan membubarkan usahanya, atau


menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya,
atau memindahtangankan perusahaannya, atau
melakukan perubahan bentuk lainnya;
d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara;
e. Terjadi penyitaan atas barang penanggung pajak oleh
pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda pailit.

C. Hapusnya Hutang Pajak


Cara-cara yang dapat menyebabkan hutang pajak hapus yaitu:

1. Pembayaran.
Adanya pembayaran yang berwujud uang, yang
pembayarannya di kantor-kantor yang ditunjuk oleh
negara.

2. Kompensasi (pengimbangan)
Hutang pajak dapat dilakukan pengimbangan, tetapi hanya
dalam hal tertentu saja, misalnya pada tahun pajak yang
lalu terdapat kelebihan pembayaran, maka kelebihan
tersebut dapat (dikompensasikan) dengan hutang pajak
tahun berikutnya.

3. Penghapusan
Penghapusan ini diberikan berhubung dengan ekonomi
wajib pajak, misalnya karena kumunduran finansial wajib
pajak atau harta benda wajib pajak habis karena suatu hal.

4. Pembebasan
Pembebasan pada umunya tidak dapat diberikan pada
pokok pajaknya, melainkan hanya terdapat kenaikan
(denda-denda) pajak yang diatur dalam undang-undang.

5. Daluarsa.
Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga,
denda, kenaikan, dan biaya penagihan, daluarsa setelah
lampau waktu lima tahun terhitung sejak saat terutangnya
pajak (pasal 22 KUTP).

SEJARAH PERADILAN PAJAK.

● Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) (Raad van beroep voor


Belastingzaken).
30

- Diatur dalam S.1915-707, S.1927-29, mulai berlaku 11


Desember 1915, UU No.5 Tahun1959 tentang Peraturan
Banding Urusan Pajak.
- Merupakan satu-satunya badan peradilan pajak yang tertinggi
dan untuk seluruh wilayah Indonesia hanya ada satu yang
berkedudukan di Jakarta.
- Putusannya merupakan yang pertama dan terakhir.
- Anggotanya terdiri dari seorang ketua dan 4 orang anggota ( 2
dari hakim Mahkamah Agung, 2 dari dunia bisnis).
- Penyelesaian sengketa pajak langsung melalui :
b. kuasi peradilan (peradilan semu), dimulai dengan
wapa mengajukan surat keberatan kepada dirjen.
Pajak. Keberatan akan diputus oleh hakim doleansi.
c. Jika sengketa belum dapat diselesaikan, wapa bisa
mengajukan surat banding kepada MPP.
d. Kalau masih terdapat ketidakadilan atau
bertentangan dengan kepentingan masyarakat, maka
dapat mengajukan permohonan kepada Presiden RI
untuk menerapkan Ordonansi kepatutan (Billijkheids
Ordonnantie / S.1928-187)
- Penyelesaian sengketa pajak tidak langsung :
b. Untuk kelebihan pembayaran pajak, wapa dapat
mengajukan negara di hadapan pengadilan negeri, dan
menuntut kelebihan pembayaran pajaknya.
c. Apabila wapa kurang membayar pajak, maka negara dapat
mengeluarkan Surat Paksa yang mempunyai kekuatan
eksekutorial.
- Dengan berlakunya UU Peratun ( diundangkan 29 Desember
1986) diatur bahwa MPP bukan badan peradilan pajak,
melainkan hanya berfungsi sebagai upaya administratif, yang
berarti keputusannya tidak mempunyai kekuatan hukum tetap
sehingga dapat diganggu gugat. Lain perkataan, keputusan
MPP merupakan keputusan tata usaha negara sehingga dapat
diajukan banding pada pengadilan tinggi tata usaha negara
(pasal 48).

● Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP).


- Diatur dalam UU No.17 Tahun 1997, mulai berlaku 1 Januari
1998.
31

- BPSP adalah badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud


dalam KUTP (pasal 2).
- Berkedudukan di ibukota negara (pasal 3).
- Mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus
sengketa pajak (banding dan gugatan) (pasal 28, 32, 38).
- Penggugat harus melunasi biaya pendaftaran sebesar
Rp.1.000.000,- (pasal 41).
- Putusannya merupakan putusan akhir dan bersifat tetap dan
bukan merupakan keputusan Tata Usaha negara (pasal 76).
Dan langsung dapat dilaksanakan, kecuali UU mengatur lain
(pasal 87).

● Pengadilan Pajak.
- Diatur dalam UU No.14 Tahun 2002, mulai berlaku 12 April
2002.
- Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak
yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak (pasal 2).
- Berkedudukan di ibukota negara (pasal 3).
- Susunan pengadilan pajak terdiri dari pimpinan, hakim
anggota, sekretaris dan panitera (pasal 6).
- Pimpinan pengadilan pajak terdiri dari seorang ketua dan
paling banyak 5 orang wakil ketua (pasal 7).
- Mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus
sengketa pajak (dalam hal banding dan gugatan) (pasal 31).
- Dalam hal banding :
- hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan
Keberatan, kecuali UU menentukan lain;
- diajukan dengan surat banding dalam bahasa Indonesia
(pasal 35);
- diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterima
keputusan yang di banding, kecuali UU menentukan lain;
- dapat diajukan oleh wapa, ahli warisnya, seorang pengurus
atau kuasa hukumnya.
- Dalam hal gugatan :
- memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan
penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan
lainnya sebagaimana dimaksud pasal 23 (2) KUTP;
- diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia (pasal 40 (1);
- jangka waktu mengajukan gugatan terhadap pelaksanaa
penagihan pajak adalah 14 hari sejak tanggal pelaksanaan
penagihan (pasal 40 (2);
32

- jangka waktu mengajukan gugatan terhadap keputusan


selain ayat (2) adalah 30 hari sejak tanggal diterima keputusan
yang di gugat;
- dapat diperpanjang selama 14 hari (pasal 40 (5).
- Pengadilan pajak juga mempunyai tugas mengawasi kuasa
hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak
yang bersengketa dalam sidang pengadilan pajak (pasal 32).
- Merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam
memeriksa dan memutus sengketa pajak (pasal 33).
- Pengajuan gugatan tidak menunda atau menghalangi
penagihan pajak atau kewajiban perpajakan (pasal 43).
- Pasal 69< alat bukti dapat berupa :
- surat atau tulisan;
- keterangan ahli;
- keterangan para saksi;
- pengakuan para pihak; dan/atau
- pengetahuan hakim.
- Putusannya merupakan putusan akhir dan mempunyai
kekuatan hukum tetap. Pihak-pihak yang bersengketa dapat
mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung
(pasal 77).
- Pasal 80 (1), putusan pengadilan pajak dapat berupa :
- menolak;
- mengabulkan sebagian atau seluruhnya;
- menambah pajak yang harus dibayar;
- tidak dapat diterima;
- membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung;
- membatalkan.
- Terhadap putusan sebagaimana pasal 80 (1) tidak dapat lagi
diajukan gugatan, banding atau kasasi (pasal 80 (2).
33

PENDAPATAN DARI SEKTOR PAJAK (+/-)


TH.2001 .................................. 173,4 T
TH.2002 .................................. 180 T
TH.2003 .................................. 213 T
TH.2004 .................................. 238 T
TH.2005 .................................. 352 T
TH.2006 .................................. 423 T
TH.2007 .................................. 505 T
TH.2008 .................................. 534,6 T
TH.2009 .................................. 668,2 T
TH.2017 .............................. hampir1.500 T
TH.2020 ……………………………. 2.233,2 T
Direvisi krn pandemic 1.699,9 T
TH.2021 …………………………….. 1.299,6 T
34

PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)


(sumber : Ditjen Pajak) :
- 1 Januari 1995 : Rp.1.700.000,00 /tahun
- 1 Januari 2001 : Rp.2.900.000,00 / tahun
- 1 Januari 2005 : Rp.12.000.000,00 / tahun
- 1 Januari 2006 : Rp.13.200.000,00 / tahun
- 1 Januari 2009 : Rp.15.800.000,00 / tahun
- 1 Januari 2013 : Rp.24.300.000,00 / tahun
- 31 Desember 2015 : Rp.36.000.000,00 / th
- 31 Desember 2016 : Rp.54.000.000,00 / th
35

TAX RATIO

‘00 ‘05 ‘07 ‘09


INDONESIA .. 11,1 % 13,2 % 14,1 % 16 %
AMERIKA ..... 18,24 %
SINGAPURA .. 22,4 %
THAILAND .... 17 %
JEPANG ........ 14 %
PHILIPINA ..... 13 %
MALAYSIA ..... 32 %

TH.2022 …… 8,5% - 8,7%


36

Anda mungkin juga menyukai