Anda di halaman 1dari 21

Pajak dalam kaitannya dalam falsafah pancasila

Diajukan untuk Memenuhi Salah satu Tugas Mata Kuliah Hukum


Pajak

Oleh:
Lorensius Lumbantoruan

1940050002

PROGRAM STUDI
HUKUM
PROGRAM SARJANA
FAKULTAS HUKUM
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pajak Adalah salah satu penerimaan negara yang terbesar dari penerimaan lainnya,sesaui
dengan undang-undang pajak, bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil,
makmlrr, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara dan
penduduk Indonesia, perlu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan
kewajiban kenegaraan dalam upaya peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan pembangunan
sosial; bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan
mendukung percepatan pemulihan perekonomian, diperlukan strategi konsolidasi fiskal yang
berfokus pada perbaikan delisit anggaran dan peningkatan rasio pajak, yang antara lain
dilakukan melalui penerapan kebijakan peningkatan kinerja penerimaan pajak, reformasi
administrasi perpajakan, peningkatan basis perpajakan, penciptaan sistem perpajakan yang
mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum, serta peningkatan kepatuhan sukarela
Wajib Pajak; bahwa untuk menerapkan strategi konsolidasi fiskal yang berfokus pada
perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf
b, diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan,
pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan cukai serta pengaturan mengenai pajak
karbon dan kebijakan berupa program pengungkapan sukarela Wajib Pajak dalam 1 (satu)
Undang-Undang secara komprehensif bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan;

Pajak telah dikenal sejak wilayah Nusantara masih dikuasai berbagai kerajaan dan kesultanan
yang timbul dan tenggelam dalam rentang sejarah yang panjang. Raja-raja nusantara telah
memungut pajak atau upeti dari masyarakat untuk menghidupi kerajaannya, antara lain untuk
kegiatan operasionalnya kerajaan, membangun dan merawat infrastruktur, dan
menyelenggarakan acaraacara keagamaan. Rupa-rupa pajak yang diwajibkan mulai dari
pajak tanah, hasil hutan, hingga pertunjukkan seni. Ada yang melaksanakannya dengan
secara sederhana, ada pula yang telah menggunakan sistem pemungutan pajak secara
sistematis dan terstruktur.1 Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Mataram Kuno, Kerajaan
Majapahit, Kerajaan Aceh, Banten, dan Kerajaan Pesisir lainnya seperti Jepara, Gresik, Timor
Maluku, Ternate-Tidore, semuanya telah menggunakan sistem perpajakan untuk
melangsungkan kehidupan mereka. Pada masa Hindia Timur Bangsa Eropa datang ke
wilayah Nusantara dengan menggunakan bendera maskapai dagang. Mereka tiba di wilayah
Hindia Timur mulainya untuk berdagang, bekerja sama dengan penguasa lokal, lalu
memonopoli perdagangan hingga menguasai pelabuhan, kota, dan beberapa bagian wilayah
kerajaan. Bangsa Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda adalah bangsa eropa yang aktif
berdagang ke wilayah Hindia Timur. VOC yang merupakan maskapai

dagang milik Belanda berhasil mendominasi perdagangan di Hindia Timur. Pada abad ke-17
VOC membangun dan mengurus Kota Batavia dengan menggunakan pajak. Dari Kota
Batavia dapat dilihat bahwa VOC merupakan sebuah pemerintahan tanpa biaya karena beban
keuangan menjadi tanggungan bersama sebagaimana terlihat dari berbagai peraturan pajak
yang dikeluarkan. VOC hidupnya sungguh sangat tergantung pada pajak.2 Pemerintah
Belanda pada fase liberal (1870-1942) menerapkan sistem sewa tanah antara negara dengan
rakyat. Sementara barang-barang dari luar yang diperlukan rakyat juga dibebani dengan rupa-
rupa pajak. Pada saat itu, rakyat harus menjual jasa dan barang-barang untuk keperluan
membayar pajak. Sistem sewa tanah yang diterapkan pada masa itu sangat menguntungkan
Belanda hingga meraup surplus, tetapi telah menimbulkan kesengsaraan bagi penduduk
pribumi berupa standar hidup yang rendah akibat pajak langsung dan pajak tidak langsung
yang terlalu tinggi, upah tenaga kerja yang tidak memadai, dan kurangnya perhatian terhadap
kesejahteraan. Tanah menjadi sumber pajak yang utama bagi penguasa kependudukan jepang
pada tahun 1942-1945, dalam hal ini tanah lebih ditujukan untuk pelipatanpelipatan hasil
bumi yang penting bagi jepang. Jepang meneruskan sistem Land rent yang telah digunakan
oleh pemerintahan Inggris dan Kolonial Belanda terhadap semua jenis tanah produktif.
Namun pada masa pemerintahan Jepang, nama Landrente diubah menjadi
Landtax.Pemerintahan Jepang juga menetapkan sistem wajib serah padi. Selain itu juga
ditetapkan pembayaran pajak untuk
penggunaan fasilitas-fasilitas tertentu, seperti jembatan, jalan raya, dan fasilitas umum
lainnya. Masyarakat juga diwajibkan untuk membayar pajak sepeda bagi siapa saja yang
memilikinya.3 Proklamasi kemerdakaan Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 agustus
tahun 1945 para pendiri Negara menuangkan masalah pajak ke dalam Undang-Undang Dasar
1945. Dalam pasal 23 yang memuat lima butir ketentuan, butir kedua menyatakan bahwa
“segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”. Dengan demikian, pajak
sebagai nyawa negara telah secara resmi diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945, dua hari
kemudian tepatnya pada tanggal 19 Agustus Tahun 1945, organisasi kementrian keuangan
langsung dibentuk. Organisasi ini dibentuk dalam keadaan mendesak, karena tidak lama
setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Belanda datang kembali dan ingin berkuasa di
Indonesia dengan membentuk Nethrlands Indie Civil Administration (NICA).4 Indonesia
merupakan negara hukum, bercirikan negara kesejahteraan modern (Welfare state modern)
yang berkehendak untuk mewujudkan keadilan bagi segenap rakyat Indonesia. Dalam negara
kesejahteraan modern, tugas pemerintah dalam menyelenggarakan kepentingan umum
menjadi sangat luas dan kadang kala melanggar hak-hak wajib pajak dalam melakukan
pemungutan pajak. Hal ini dapat terhindarkan apabila pemerintah menghayati dan menaati
hukum pajak yang berlaku. Hukum pajak merupakan sarana pendukung yang menghalalkan
bagi pemerintah untuk memperoleh pembiayaan dalam penyelenggaraan kewajiban negara.
Konsekuensi sebagai negara hukum yang bercirikan negara kesejahteraan modern adalah
pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
undang-undang. Hal ini secara tegas diatur dalam pasal 23A Undang-Undang Dasar (UUD)
Tahun 1945 sebagai hukum dasar yang harus ditaati oleh negara dalam pengenaan,
pemungutan, dan penagihan pajak. Selain itu, Pasal 23A Undang-Undang Dasar (UUD)
Tahun 1945 mengandung asas legalitas sebagai salah satu asas dalam negara hukum yang
tidak boleh dilanggar oleh siapapun termasuk negara kalau memerlukan pajak. Asas legalitas
memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan hukum wajib pajak, tatkala negara
memerlukan pajak. Sistem pemungutan pajak yang diterapkan saat ini, sebagian besar
menggunakan sistem self assessment yang titik berat aktifitas perpajakan ada pada wajib
pajak. Berdasarkan sistem self assessment ini, wajib pajak melakukan penghitungan sendiri
besarnya pajak yang terutang dan melakukan pembayaran sendiri. Dalam prakteknya sering
terjadi perbedaan penghitungan antara wajib pajak dengan pemungutan pajak oleh
pemerintah (fiscus) tentang besarnya pajak yang harus dibayar. Hal inilah yang dapat
menimbulkan sengketa pajak. Hubungan antara wajib pajak dan pemungut pajak dalam
aktivitasnya memungkinkan terjadi perselisihan paham yang dapat memunculkan sengketa
melalui prosedur dan serta dapat dilakukan proses yang cepat, transparan, murah dan
sederhana.9 Berdasarkan Pasal 2 angka 2 PMK NOMOR 202 /PMK.03/2015, 12 (dua belas)
bulan adalah waktu paling lama bagi penelaah keberatan (PK) untuk menyelesaikan sebuah
kasus keberatan, jika melebihi waktu tersebut maka keberatan wajib pajak dianggap diterima
dan DJP harus menerbitkan Surat Keputusan Keberatan. Jika sebelum dalam jangka waktu
tersebut pihak PK telah mengeluarkan SK keberatan maka wajib pajak harus membayar utang
pajak sebesar nominal yang tertera dalam SK keberatan dikurangi dengan jumlah yang telah
dibayar dan ditambah dengan denda administrasi sebesar 50%. Prosedur keberatan tidak
diatur dalam Undang-Undang Peradilan Pajak namun diatur dalam Undang-Undang
Ketentuaan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang disebutkan dalam Pasal 25 ayat (1). Hal
ini menyebabkan wajib pajak dihadapkan pada kekuasaan dan kewenangan Direktorat
Jenderal pajak untuk memutuskan, mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau
menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar (pasal 26 ayat 3 Undang-Undang
KUP) bukan pada kewenangan dan kekuasaan hakim Pengadilan Pajak dalam memutuskan
sengketa pajak sesuai yang diatur dalam UndangUndang Pengadilan Pajak.10 Semakin
mudah dan cepatnya proses yang dijalani, memiliki arti bahwa proses penyelesaian keberatan
yang dilakukan oleh pihak Kanwil DJP semakin efektif dan membuat wajib pajak merasa
puas dan hak dalam memperoleh keadilannya terpenuhi. Jika wajib pajak merasa adil akan
hasil yang diperoleh tentunya dengan ringan hati mereka akan mengungkapkan rasa
keadilannya dengan melakukan pembayaran dari SK keberatan yang telah ditetapkan ke KPP
dimana mereka terdaftar.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana kaitannya pemungutan pajak denagan falsafah Pancasila ?
2. Apa dasar hukum pemungutan pajak dalam sistim hukum nasional ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk menganalisa dan mngetahui kaitan falsafah pancasila dalam oemungutan


pajak di indonesia
2. Untuk mengtahui dan mempelajari dasar hukum pemungutan pajak dalam sistim
hukum nasional
BAB II
TINAJUAN UMUM

Pengertian Pajak:
Menurut bahasa, kata pajak dikenal sebagai tax (Inggris), import contribution, droit (Prancis), steuer,
abagade, gebuhr (Jerman), tributo, gravamen, tasa (Spanyol), Belasting (Belanda). Beberapa para
sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian pajak, salah satunya ialah Dr. Soeparman
Soemahamidjaja. Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja, Pajak adalah iuran wajib, berupa uang
atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya
produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.7 Menurut Prof.
Dr. P.J.A Adriani, Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang
wajib membayarnya menurut peraturanperaturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang
langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.8 Dari definisi menurut
Adriani, pajak dianggap sebagai pengertian yang merupakan spesies dari sebuah genus berupa
pungutan. Dengan demikian, ruang lingkup pemungutan lebih luas dari pajak. Di dalam definisi
tersebut, terlihat bahwa ia menekankan fungsi budgetaire (keuangan) pajak, sekalipun sebenarnya
pajak masih memiliki fungsi lain yang juga sangat penting, yakni fungsi mengatur. Prof. Dr. H.
Rochmat Soemitro, S.H., memberikan definisi pajak bahwa pajak merupakan iuran rakyat kepada
negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan), dengan tidak mendapat jasa timbal
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang dipergunakan untuk membayar
pengeluaran umum.9 Hukum pajak, yang disebut dengan hukum fiskal, adalah keseluruhan dari
peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan
menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan
bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang
atau badanbadan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya sering disebut wajib
pajak).10 Tugasnya adalah menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat dihubungkan
dengan pengenaan pajak, merumuskannya dalam peraturan-peraturan hukum dan menafsirkan
peraturan-peraturan hukum ini; dalam pada itu adalah penting sekali bahwa tidak harus diabaikan
begitu saja latar belakang ekonomis dari keadaan-keadaan dalam masyarakat tersebut.11

• Kepatuhan Wajib Pajak


. Teori Kepatuhan (Complience Theory)
Talcot Parsons dikutip Ardani (2017:8) menjelaskan kepatuhan pada suatu sistem
peraturan yang memiliki konsekuensi terhadap interaksi sosial yang berlangsung baik,
tanpa adanya kecenderungan berubah jadi konflik terbuka atau tersembunyi disaat
keadaan kronis. Bierstedt dalam Ardani (2017:9), faktor yang menjadi dasar-dasar
kepatuhan meliputi :
1) Indoctrination
Alasan individu patuh terhadap kaedah karena individu di indoktrinir dalam
bertindak seperti itu. Mulai kecil individu dididik untuk patuh pada kaedah yang
terdapat dimasyarakat terkait unsur kebudayaan dan secara tidak sadar terjadinya
penerimaan. Dari tahap sosialisasi individu dididik dalam kenal, tahu dan patuh
pada kaedah tersebut.
2) Habituation
Mulai kecil individu terjadi tahap sosialisasi, sehingga kelamaan terjadi sulit
untuk patuh pada kaedah yang seolah terjadi pengekangan kebebasan, namun
jika tiap waktu didapati, sehingga lama-kelamaan terjadi suatu kebiasaan agar
patuh khususnya jika manusia sudah mengulangi perbuatannya melalui bentuk
dan cara serupa.

3) Utility
Umumnya manusia cenderung hidup secara pantas dan teratur, namun sesuatu hal
dianggap pantas dan teratur bagi seseorang belum pasti dianggap pantas dan teratur bagi
yang lainnya. Dengan demikian, perlu adanya patokan mengenai pantas dan teratur
tersebut. Patokan ini dapat menjadi pedoman atau takaran mengenai perilaku yang
disebut kaedah, sehingga satu diantara faktor penyebab seseorang patuh terhadap
kaedah karena manfaat kaedah tersebut. Manusia sadar bahwa jika ingin hidup pantas
dan teratur maka perlu adanya kaedah. 4. Group Identification Satu diantara alasan
individu patuh terhadap kaedah, sebab kepatuhan sebagai sarana dalam diadakannya
identifikasi pada suatu kelompok. Seorang yang patuh terhadap kaedah berlaku pada
suatu kelompok bukan disebabkan individu ini berpendapat kelompok lebih dominan
dibanding kelompok lainnya, namun lebih karena hendak diadakannya identifikasi pada
kelompok tersebut.
• Definisi Kepatuhan Wajib Pajak
Kepatuhan wajib dijelaskan bahwa sebagai suatu kondisi para wajib pajak memenuhi seluruh
kewajiban perpajakannya dan melaksanakan haknya dalam bidang perpajakan. Definisi
kepatuhan wajib pajak dijelaskan Chaizi Nasucha dalam Rahayu (2013:20), berupa:
1. Kewajiban wajib pajak melakukan pendaftaran diri.
2. Kepatuhan dalam penyetoran kembali surat pemberitahuan.
3. Kepatuhan melakukan perhitungan dan melakukan pembayaran pajak yang terutang.
4. Kepatuhan membayar tunggakan.

• Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000 tentang Kriteria Wajib Pajak Yang
Dapat Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, dijelaskan
kepatuhan perpajakan sebagai perilaku wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya dalam
bidang pajak berdasarkan ketentuan peraturan perundangan dan peraturan pelaksanaan
pajak yang diberlakukan pada di Negara tertentu. Definisi kepatuhan perpajakan
berlandaskan Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000 tentang Kriteria
Wajib Pajak Yang Dapat Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran
Pajak yakni kepatuhan perpajakan sebagai tindakan wajib pajak untuk memenuhi
kewajibannya dalam bidang perpajakan berdasarkan ketentuan peraturan perundangan
dan peraturan pelaksanaan dalam bidang pajak yang diberlakukan pada suatu Negara.

• Jenis Kepatuhan Wajib Pajak


Jenis-jenis kepatuhan wajib pajak dijelaskan Rahayu (2013:20) berupa:
1. Kepatuhan formal merupakan sesuatu keadaan ketika wajib pajak melakukan
pemenuhan wajib pajak dengan formal berdasarkan ketentuan yang tertera di
undang-undang pajak.
o Kepatuhan material merupakan suatu kondisi wajib pajak dengan substantif
dapat melakukan pemenuhan seluruh ketentuan material dalam bidang pajak
yakni berdasarkan isi kandungan dan jiwa perundangan perpajakan kepatuhan
material meliputi juga kepatuhan formal. Seperti ketentuan batas waktu dalam
menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan
sampai tanggal 31 Maret. Jika wajib pajak telah melakukan pelaporan Surat
Pemberitahuan Pajak Penghasilan Tahunan sebelum 31 Maret, sehingga dapat
dikatakan wajib pajak patuh pada ketentuan formal, namun dilihat dari isi
belum tentu patuh pada ketentuan material, yakni suatu kondisi wajib pajak
secara subtantive melakukan pemenuhan seluruh ketentuan material dalam
bidang pajak berupa berdasarkan isi dan jiwa undangundang tentang
perpajakan. Kepatuhan material terdiri juga atas kepatuhan formal. Untuk
wajib pajak dengan pemenuhan pada kepatuhan material merupakan wajib
pajak dalam mengisi jujur, lengkap dan benar pada Surat Pemberitahuan
(SPT) berlandaskan ketentuan dan penyampaian kepada KPP sebelum habis
jatuh temponya.

• Pengertian Wajib Pajak (WP)


Pasal 1 ayat 2 pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan disebutkan pengertian dari wajib pajak adalah orang pribadi
atau berbentuk badan sebagai pembayar pajak yang terdapat hak dan kewajibannya
dalam bidang perpajakan berlandaskan ketentuan dalam peraturan undang-undang
perpajakan. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan dijelaskan wajib pajak pada orang pribadi sebagai subjek pajak
yang berkedudukan atau tempat tinggalnya ada di negara Indonesia maupun luar
Indonesia. Sedangkan wajib pajak berbentuk badan merupakan sekelompok individu
yang memiliki modal bersama untuk melakukan suatu usaha atau tidak
dilaksanakannya usaha terdiri atas PT (Perseroan Terbatas), Perseroan Komanditer
(CV) termasuk perseroan lain, BUMN (Badan Usaha Milik Negara) maupun BUMD
(Badan Usaha Milik Daerah) menggunakan nama yang bentuknya apapun, kongsi
koperasi, firma, persekutuan, dana pensiun, yayasan, perkumpulan, organisasi sosial
politik, organisasi massa dan organisasi lainlainnya, lembaga dan bentuk badan lain-
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif serta bentuk usaha tetap. Peraturan
Pemerintah No. 74/2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 yakni wajib pajak merupakan
individu maupun badan terdiri atas pembayar pajak, pemotong pajak maupun
pemungut pajak, memiliki hak dan kewajiban dalam bidang pajak berdasarkan
ketentuan dalam peraturan undang-undang pajak.

• Wajib Pajak Orang Pribadi

Wajib pajak orang pribadi dapat bertempat tinggal di Indonesia maupun


luar Indonesia. Wajib pajak orang pribadi yang berada di dalam negeri merupakan
individu tinggal di Indonesia maupun individu yang tinggal di Indonesia dengan
waktu lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau dikatakan wajib pajak
orang pribadi yakni selama satu tahun pajaknya ada di negara Indonesia dan
memiliki niat tinggal di Indonesia; termasuk warisan belum dibagi sebagai satu
diantara kesatuan untuk pengganti yang berhak. Adapun wajib pajak orang pribadi
meliputi :
1. Wajib pajak orang pribadi berbentuk karyawan merupakan individu yang
memperoleh pendapatan pada satu atau lebih dari perusahaan/organisasi yang
memberikan kerja termasuk pendapatan lainnya dari usaha/pekerjaan bebas.
Contohnya; PNS dan non PNS.

2. . Wajib pajak orang pribadi berbentu non karyawan merupakan individu yang
memperoleh pendapatan dari hasil usaha/pekerjaan bebas atau pendapatan
lainnya. Contohnya: pekerja bebas, yaitu dokter, pengacara, kosultan, arsitek,
dan lain-lain.
Menurut Mardiasmo (2016:42) mengemukakan subjek pajak penghasilan
orang pribadi adalah suatu hal yang terdapat potensi dalam memperoleh
pendapatan sehingga menjadi target/sasaran diwajibkan membayar Pajak
Penghasilan. Subjek pajak penghasilan pada Wajib Pajak orang pribadi dibagi
menjadi dua, yaitu:
1. Subjek pajak dalam negeri
a. Individu dengan tempat tinggal di negara Indonesia/berada di Indonesia >
183 hari (tidak harus berturut-turut yang penting jumlahnya atau > 183
hari dengan waktu 12 bulan (yang dihitung mulai dari waktu datangnya).
b. Individu dengan setahun pajak ada di negara Indonesia dan terdapat niat
menetap di Indonesia.
2. Subjek pajak luar negeri
a. Individu yang tidak tinggal di Indonesia atau ada di Indonesia namun tidak
> 183 hari untuk waktu 12 bulan dalam rangka pelaksanaan usaha atau
pelaksanan aktivitas berbentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
b. Individu yang tidak tinggal di Indonesia atau ada di Indonesia namun tidak
> 183 hari untuk waktu 12 bulan dalam rangka memperoleh penghasilan di
Indonesia akan tetapi tidak terdapat bentuk usaha tetap.

• Kesadaran Wajib Pajak


Kesadaran Wajib Pajak menurut Harahap (2014:43) adalah sikap mengerti
wajib pajak badan atau perorangan untuk memahami arti, fungsi, dan tujuan
pembayaran pajak, kesadaran Wajib Pajak merupakan faktor terpenting dalam
sistem perpajakan modern. Pengertian kesadaran wajib pajak sebagai tindakan

yang dilakukan wajib pajak sebagai persepsi atau pandangan dalam pembayaran
pajak berbentuk pengetahuan, keyakinan, maupun penalaran sehingga timbul
cenderung dalam bertindak sesuai dengan rangsangan atau stimulus yang
diberikan oleh sistem dan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Sri Rahayu dan Ita Salsalina dalam Rahayu (2013:22) menjabarkan
beberapa bentuk kesadaran untuk pembayaran pajak. Ada tiga bentuk kesadaran
wajib pajak yang utama dalam aspek dibayarnya pajak, meliputi:
1. Kesadaran wajib pajak mengenai pajak sebagai partisipasi masyarakat untuk
mendukung pembangunan nasional. Adanya kesadaran ini membuat individu
sebagai wajib pajak berkeinginan untuk melakukan pembayaran pajak sebab
berpersepsi tidak adanya kerugian dengan adanya pelaksanaan pungutan
pajak.
2. Kesadaran wajib pajak mengenai tidak dibayar atau terlambat dibayarnya
pajak dan dikuranginya beban pajak berdampak ruginya negara. Hal ini
menunujukkan kesadaran individu selaku wajib pajak bersedia melakukan
pembayaran pajak sebab paham ditundanya melakukan bayar pajak maupun
dikuranginya beban pajak berakibat menjadi kurang sumber daya keuangan
sehingga pembangunan nasional terhambat.
3. Kesadaran wajib pajak mengenai pungutan pajak telah ditetapkan oleh
pemerintah berlandaskan undang-undang dan pembayarannya bersifat
dipaksakan. Untuk itu, wajib pajak taat melaksanakan pembayaran pajak
sebab iuran pajak terdapat dasar hukum bersifat kuat dan wajib yang mutlak
pada tiap warga.

• Sanksi Perpajakan
Pengertian sanksi perpajakan menurut Mardiasmo (2016:54) sebagai
jaminan ketentuan perpajakan yang diatur berlandaskan peraturan undang-undang bidang
pajak yang disebut juga norma perpajakan akan dituruti atau ditaati atau dipatuhi. Oleh sebab
itu, sanksi perpajakan menjadi alat pencegah supaya para wajib pajak tidak melakukan
pelanggaran terhadap norma pajak. Sanksi yang terdapat pada bidang pajak sesuai undang-
undang meliputi sanksi pidana dan administrasi. Ancaman terhadap pelanggar pada norma
bidang pajak terdapat ancaman berupa sanksi administrasi, terdapat ancaman sanksi pidana
dan terdapat juga yang mendapatkan ancaman keduanya Mardismo (2016:54)
mengemukakan indikator yang terdapat pada dikenakannya sanksi perpajakan terhadap wajib
pajak berupa:

1) Pemahaman wajib pajak pada sanksi perpajakan. Sanksi perpajakan diberlakukan


pada pelanggaran pajak yang terkait dengan wajibnya melaporkan pajaknya, sanksi
diberlakukan pada pelanggaran terkait wajibnya dalam membayar pajak, sanksi
diberlakukan pada pelanggaran terkait kewajiban pajak berdasarkan peraturan pada
ketentuan material. Pelaksanaan sanksi ini ditujukan untuk wajib pajak tidak lalai pada
kewajiban dalam mentaati pada peraturan undang-undang bidang perpajakan.

2. Kepatuhan wajib pajak pada sanksi perpajakan. Wajib pajak akan patuh dalam membayar
pajak jika terdapat pandangan sanksi perpajakan dapat memiliki banyak kerugian. Semakin
tinggi penunggakan pembayaran pajak perlu dibayarkan oleh wajib pajak membuat semakin
berat untuk wajib pajak dalam pelunasan. Sehingga sikap maupun pandangan wajib pajak pada
bidang pajak dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak untuk melakukan pembayaran pajak

• Fungsi Dan Syarat Pemungutan Pajak


Pajak merupakan iuran rakyat yang berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
negara untuk kepentingan umum. Namun demikian, fungsi pajak dapat dibedakan menjadi
dua :

a. Fungsi pendanaan (budgetair) yaitu pajak berfungsi sebagai sumber dana bagi
pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Ditunjukkan dengan masuknya
pajak ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
b. Fungsi mengatur (regulair) yaitu fungsi pajak sebagai alat untuk
mengatur/melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Contohnya adalah
PPnBM, Pajak Ekspor 0% dan lain-lain.Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan
hambatan atau perlawanan
c. Pemungutan pajak harus adil (SyaratKeadilan)
Adildalamperundangundangandanpengenaanpajaksecaraumumdanmerata,
sertadisesuaikandengankemampuanmasing-masing
d. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis) Diatur dalam
Undang-UndangDasar 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum
untuk menyatakan keadilan, baik bagi Negara maupun warganya.
e. Tidak Mengganggu Perekonomian (Syarat Ekonomi) Pemungutan tidak boleh
mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan,sehingga tidak
menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. d. Pemungutan Pajak Harus
efisien (Syarat Finansi) Sesuai dengan fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak
harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya
f. Sistem pemungutan pajak harus sederhana,Sistem pemungutan yang sederhana akan
memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru
• Tata Cara, Asas, Sistem Pemungutan Pajak
Tata cara pemungutan pajak di Indonesia dapat dilakukan berdasarkan 3
stelsel yaitu :

a. Stelsel Nyata (Riel Stelsel)Pengenaan pajak didasarkan pada objek


(penghasilan yang nyata) sehingga pemungutannya baru dapa dilakukan pada akhir tahun
pajak yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui.

b. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)


Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang.

c. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.Pada awal tahun,
besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya
pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Sedangkan asas-asas pemungutan pajak
yang diterapkan di Negara Indonesia yaitu :
a. Asas Domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib
Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang
berasal dari dalam maupun luar negeri
b. Asas Sumber
xxii
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
c. Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu Negara.
Di dalam sistem pemungutan pajak di Indonesia terdapat dua sistem
sebagai berikut :
a. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh
Wajib Pajak (WP)
Ciri-cirinya :
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
fiskus;
2) Wajib pajak bersifat pasif;
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
b. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang.
Ciri-cirinya :
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
wajib Pajak sendiri.
2) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang;
3) Fiskus tidak menentukan besarnya pajak terutang, tetapi bersifat
mengawasi dan mengoreksi perhitungan yang disajikan oleh
Wajib Pajak.
3. Penggolongan Pajak
a. Menurut golongannya, pajak digolongkan menurut cara
pemungutannya yaitu langsung atau tidak langsung dipungut kepada
Wajib Pajak:
1) Pajak Langsung, pajak yang langsung ditanggung oleh Wajib
Pajak (tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain).
Contoh : Pajak Penghasilan
2) Pajak tidak Langsung, pajak yang dapat dilimpahkan kepada
pihak lain.
Contoh : PPN, PPnBM
b. Menurut sifatnya, pajak yang didasarkan pada sifat secara subjektif
(tanpa memperhatikan Objek Pajaknya) atau Objektif (melihat Objek
Pajaknya tanpa melihat Subjek Pajak)
1) Pajak Subjektif, pajak yang mendasarkan pemungutannya dengan
memperhatikan subjek pajak (Wajib Pajak secara Subjektif)
Contoh : Pajak Penghasilan (PPh)
xxiv
2) Pajak Objektif, pajak yang mendasarkan pemungutannya pada
Objek Pajak saja tanpa memperhatikan Subjek Pajaknya.
Contoh : PPN dan PPnBM
c. Menurut pemungutannya, pajak digolongkan berdasarkan siapa yang
melakukan pemungutan dalam hal ini pemerintah :
1) Pajak Pusat, pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh : PPh, PPN, PPnBM, PBB, dan Bea Materai
2) Pajak daerah, pajak yang dipungut pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Contoh : Pajak Reklame, Pajak hiburan, dan lain-lain.

• Pengertian Pancasila Sebagai Dasar Negara


Pancasila adalah dasar negara dan ideologi resmi Indonesia. Kata “Pancasila” berasal dari
bahasa Sanskerta yang terdiri dari dua kata, yaitu “panca” yang berarti lima dan “sila” yang
berarti prinsip atau dasar. Jadi, Pancasila secara harfiah berarti “lima prinsip”.
Pancasila dinyatakan dalam Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 dan kemudian dijadikan dasar
negara Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945. Pancasila mencerminkan nilai-nilai, prinsip-
prinsip, dan tujuan yang menjadi landasan ideologi negara Indonesia.
Kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara
Kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia sangat kuat dan tidak dapat diganggu
gugat. Berikut adalah penjelasan mengenai kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara:
1. Tertuang dalam Pembukaan UUD 1945
Pancasila secara resmi dijadikan dasar negara Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa
negara Indonesia didirikan atas dasar Pancasila. Hal ini menegaskan kedudukan Pancasila
sebagai pijakan utama dalam konstitusi Indonesia.
2. Konstitusi yang Tidak Dapat Diganggu Gugat
UUD 1945 merupakan konstitusi tertulis yang memiliki kedudukan dan kekuatan hukum
tertinggi di Indonesia. Dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, disebutkan bahwa Pancasila
merupakan asas tunggal negara dan menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena
itu, tidak ada lembaga atau pihak manapun yang memiliki kewenangan untuk mengubah atau
menggantikan Pancasila sebagai Dasar Negara.
3. Keputusan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi Indonesia (MK) telah menegaskan dan memperkuat kedudukan


Pancasila sebagai Dasar Negara dalam putusan-putusannya. MK menyatakan bahwa
perubahan terhadap Pancasila hanya dapat dilakukan melalui mekanisme amandemen UUD
1945 yang ditetapkan oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).
4. Keberadaan dan Pengamalan Sehari-hari
Pancasila bukan hanya sekadar simbol atau dokumen formal, tetapi juga harus tercermin
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Pancasila menjadi acuan dalam berbagai
bidang, seperti pendidikan, politik, hukum, sosial, ekonomi, dan budaya. Pengamalan nilai-
nilai Pancasila menjadi tanggung jawab semua warga negara Indonesia.
5. Bendera dan Lambang Negara
Pancasila secara visual juga menjadi bagian yang penting dalam simbol-simbol nasional
Indonesia. Lambang negara Garuda Pancasila dan bendera Merah Putih menunjukkan
keberadaan Pancasila sebagai Dasar Negara yang dihormati dan dijunjung tinggi.

• Penerapan Nilai-Nilai Pancasila dalam Pemungutan Pajak :


Kebanyakan orang menyepelekan makna yang terkandung dalam pancasila itu sendiri.
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi sebenarnya merupakan berawal dari tidak
menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila pada karakter. Oleh karena itu,
memaknai kandungan nilai-nilai dalam pancasila seperti nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kemasyarakatan serta sebuah keadilan merupakan suatu hal yang perlu diterapkan
melalui pendidikan karakter agar bangsa Indonesia menjadi manusia yang taat beragama,
perikemanusiaan, adil dan berguna bagi dirinya, orang lain, bangsa dan negara. Pendidikan
budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang
lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai
nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara (Puskur, 2010 : 8). Nilai
Pendidikan Karakter terdiri dari: Religius: Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain,
dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan diri sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan. Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari diri. Disiplin: Tindakan yang
menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Kerja keras:
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan
belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Kreatif: Berpikir dan
melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
Mandiri : Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas sendiri. Demokratis: Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang
menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Rasa ingin tahu: Sikap dan tindakan
yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang
dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Cinta tanah air: Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Bersahabat: Tindakan yang
memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Cinta
damai: Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan
aman atas kehadiran diri. Peduli sosial: Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Semangat kebangsaan: Cara
berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di
atas kepentingan diri dan kelompoknya. Menghargai prestasi: Sikap dan tindakan yang
mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Peduli lingkungan: Sikap dan tindakan
yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
Tanggung jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya,
yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan
budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Penerapan atau penanaman nilainilai setiap
butiran pancasila yang harus diajarkan agar individu memiliki sikap dan perilaku yang sesuai
dengan karakter luhur bangsa dan tidak menyimpang dari nilai pancasila yang sesuai dengan
sila-sila dalam pancasila adalah sebagai berikut :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa Selalu tertib dalam menjalankan ibadah. Tidak berbohong
kepada guru maupun teman. Bersyukur kepada Tuhan karena memiliki keluarga yang
menyayanginya. Tidak meniru jawaban teman (menyontek) ketika ulangan ataupun
mengerjakan tugas di kelas. Tidak mengganggu teman yang berlainan agama dalam
beribadah. Menceritakan suatu kejadian berdasarkan sesuatu yang diketahuinya, tidak
ditambah-tambah ataupun dikurangi. Tidak meniru pekerjaan temannya dalam
mengerjakan tugas di rumah. Percaya pada kemampuan sendiri dalam melakukan
apapun, karena Allah sudah memberian kelebihan dan kekurangan kepada setiap
manusia.
2. 2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab Menolong teman yang sedang kesusahan.
Tidak membeda-bedakan dalam memilih teman. Berbagi makanan dengan teman lain
jika sedang makan didepan teman lain. Mau mengajari teman yang belum paham
dengan pelajaran tertentu. Memberikan tempat duduk kepada orang tua, ibu hamil,
atau orang yang lebih membutuhkan saat ada di kendaraan umum. Tidak memaki-
maki teman bersalah kepada kita. Meminta maaf atau memaafkan apabila melakukan
kesalahan. Hormat dan patuh kepada guru, tidak membentakbentaknya. Hormat dan
patuh kepada orang tua
3. Persatuan Indonesia Mengikuti upacara bendera dengan tertib. Bergotong royong
membersihkan lingkungan sekolah. Tidak berkelahi sesama teman maupun dengan
orang lain. Memakai produk-produk dalam negeri. Menghormati setiap teman yang
berbeda ras dan budayanya. Bangga menjadi warga negara Indonesia. Tidak sombong
dan membanggabanggakan diri sendiri. Mengagumi keunggulan geografis dan
kesuburan tanah wilayah Indonesia.
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan. Membiasakan diri bermusyawarah dengan teman-teman dalam
menyelesaikan masalah. Memberikan suara dalam pemilihan. Tidak boleh
memaksakan kehendak kepada orang lain. Menerima kekalahan dengan ikhlas
apabila kalah bersaing dengan teman lain. Dengan iktikad baik dan rasa tanggung
jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah. Berani mengkritik
teman, ketua maupun guru yang bertindak semena-mena. Berani mengemukakan
pendapat di depan umum. Melaksanakan segala aturan dan keputusan bersama
dengan ikhlas dan bertanggung jawab.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Berlaku adil kepada siapapun.
Berbagi makanan kepada teman lain dengan sama rata. Seorang ketua memberikan
tugas yang merata dan sesuai dengan kemampuan anggotanya. Seorang guru
memberikan pujian kepada siswa yang rajin dan memberi nasihat kepada siswa yang
malas. Tidak pilih-pilih dalam berteman. Tidak menggunakan hak milik untuk
bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum. Suka bekerja keras
BAB III

Pembahasan

Indonesia merupakan negara yang berlandaskan hukum dengan menganut sistem


Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Ketaatan dan kedisiplinan merupakan kunci
utama untuk kemajuan Indonesia. Pada dasarnya potensi alam maupun sumber daya lainnya
jika mampu dimaksimalkan dengan efisien, sebenarnya mampu membuat Indonesia menjadi
bukan negara yang berlarut pada status negara berkembang. Pajak sebagai salah satu sumber
penerimaan negara harus terus dipacu agar penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara terus meningkat. Pajak merupakan iuran yang diberikan dari rakyat yang
dapat dipaksakan yang merupakan penerimaan bagi pemerintah dijadikan sebagai dana untuk
pemenuhan tujuan kesejahteraan rakyat banyak. Penerimaan pajak adalah penghasilan yang
diperoleh pemerintahan yang bersumber dari rakyat. Dana yang diterima di kas negara
tersebut akan dipergunakan untuk pengeluaran pemerintah untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, sebagaimana maksud dari tujuan negara yang disepakati oleh para
pendiri awal negara ini yaitu mensejahterakan rakyat, menciptakan kemakmuran yang
berdasarkan kepada keadilan sosial. Self assessment system merupakan sistem pemungutan
pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang
harus dibayar (Waluyo, dalam Kusuma. 2016), self assessment system memberikan
kepercayaan kepada wajib pajak untuk melakukan sendiri kewajiban perpajakannya
khususnya dalam hal menghitung. Kendati demikian ada kelemahan dalam penerapan self
assesment system yaitu, bahwa tidak semua wajib pajak yang tentunya mengerti mengenai
aturan perpajakan yang berlaku di Indonesia yang dinamikanya terus terjadi. Salah satu upaya
dalam peningkatan kepatuhan wajib pajak adalah memberikan pelayanan yang baik kepada
wajib pajak. Kendati demikian ada kelemahan dalam penerapan self assesment system yaitu,
bahwa tidak semua wajib pajak yang tentunya mengerti mengenai aturan perpajakan yang
berlaku di Indonesia yang dinamikanya terus terjadi. Disisi lain self assessment system secara
tanggung jawab akan membuat wajib pajak wajib memahami ketentuan yang berlaku dalam
aturan perpajakan Indonesia. Dengan adanya sistem pemungutan pajak seperti ini, tentunya
menuntut adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam memenuhi kewajibannya
membayar pajak. Pemeriksaan pajak adalah pemberitahuan pajak yang dilakukan sendiri oleh
wajib pajak dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT). Walaupun pemungutan pajak menganut
sistem self assessment system, akan tetapi dalam rangka pembinaan, penelitian dan
pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan wajib pajak, Direktorat Jenderal
Pajak masih dapat mengeluarkan ketetapan pajak. Ketetapan pajak ini merupakan komponen
official assessment. Kegiatan pengawasan ini dilaksanakan melalui pengawasan administrasi,
penerapan sanksi, penagihan dan penyedikan pajak. Untuk lebih memaksimalkan penerimaan
pajak, pemerintah telah mengambil langkah kebijakan agar dapat memancing kesadaran
masyarakat untuk mau membayar pajak dengan cara melakukan pemeriksaan dan penagihan
pajak yang dilakukan oleh petugas pajak (fiskus). Surat perintah pemeriksaan adalah surat
perintah untuk melakukan pemeriksaan rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan. Tindakan pemeriksaan ini merupakan upaya dalam meningkatkan kepatuhan
kewajiban perpajakan bagi setiap wajib pajak dengan perlakuan yang sama. Karena pada
dasarnya sistem perpajakan di Indonesia menganut self assessment, konsekuensinya dengan
self assessment ini pemeriksaan tidak hanya menguji tingkat kepatuhan, namun juga
mekanisme pengawasan terhadap para wajib pajak. Pemeriksaan ini harus dilakukan secara
rutin untuk memastikan bahwa pendapatan aktual yang dikumpulkan adalah aparat otoritas
pajak yang relevan menyetor ke pemerintah. Di samping pemeriksaan pajak, untuk lebih
memberikan kontribusi yang optimal dan pencapaian target pajak yaitu dengan melakukan
penagihan pajak secara aktif kepada wajib pajak. Hal ini merupakan salah satu cara yang
dilakukan oleh Dirjen Pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak. Penagihan pajak
merupakan serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak yang dilakukan dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita

• DASAR HUKUM DAN PRINSIP PEMUNGUTAN PAJAK

Pemungutan Pajak Negara berwenang dalam pemungutan pajak pada rakyatnya


karena terdapat justifikasi (pembenaran). Justifikasi tersebut terdapat dalam Undang-
Undang Negara yang menjadi dasar Negara untuk memiliki wewenang memungut
pajak pada rakyatnya. Justifikasi timbul berdasarkan pada adanya asas pemungutan
pajak yang mencakup asas keadilan, asas yuridis, asas ekonomis, dan asas
finansial.Asas Keadilan Pemungutan pajak dalam suatu negara harus menganut asas
keadilan. Pemungutan pajak dikatakan adil apabila dalam proses pemungutan pajak
yang dilakukan Negara pada akhirnya dikembalikan lagi hasilnya pada kesejahteraan
Warga Negara dengan segala konsekuensi dan aturannya yang tidak memberatkan.
Beberapa teori yang mendasari asas keadilan dalam pemungutan pajak dijelaskan di
bawah ini. 1) Teori Asuransi Fiskus berwenang memungut pajak, karena Negara
dianggap seperti perusahaan asuransi, yang memberikan perlindungan kepada
rakyatnya dari segala bentuk ancaman yang akan membuat keselamatan dan
keamanan jiwa serta harta bendanya terenggut. Teori ini menekankan pada rakyat
sebagai pihak yang dilindungi harus memberikan iuran kepada Negara untuk
mendapatkan keamanan dari Negara. Iuran itu identik dengan premi dalam asuransi.
Kelemahan dari teori asuransi ini adalah: a) Negara tidak akan memberi ganti rugi
jika Wajib Pajak menderita kerugian jiwa atau harta benda, b) Negara sebagai
penerima pajak tidak memberikan kontraprestasi secara langsung kepada wajib
Pajak, sesuai dengan pengertian pajak itu sendiri. 2) Teori Kepentingan Teori ini
menekankan pada keadilan pemungutan pajak berdasarkan kepada besar kecilnya
kepentingan masyarakat dalam suatu Negara. Penetapan beban pajak yang harus
dibayar oleh rakyat didasarkan kepada tingkat kepentingan rakyat kepada Negaranya
termasuk masalah kepentingan akan perlindungan atas jiwa beserta harta bendanya.
Makin besar kepentingan penduduk kepada Negara maka makin besar pula
kebutuhan perlindungan Negara kepadanya, dan makin berhak pula negara
memungut pajak dari rakyatnya. Masyarakat tidak hanya memerlukan perlindungan
keamanan tetapi juga membutuhkan kenyamanan, fasilitas umum, fasilitas sosial,
sarana dan prasarana sosial ekonomi. Maka sudah semestinya jika negara memungut
pajak kepada masyarakatnya karena negara sudah mengeluarkan biaya untuk fasilitas
tersebut. Kelemahan pada Teori Kepentingan adalah tidak ada standar, yang dapat
mengukur kepentingan seseorang yang membayar pajak besar dengan yang
membayar pajaknya kecil dan orang yang tidak membayar pajak. Apakah
penggunaan jalan umum yang sudah baik hanya boleh dilalui oleh orang yang telah
bayar pajak. Apakah petani miskin yang membutuhkan perlindungan harus
membayar pajak terlebih dahulu. Selain itu, ditinjau dari unsur utama dari definisi
pajak, bahwa idak ada kontraprestrasi atau imbalan secara langsung kepada Wajib
Pajak yang telah membayar pajak, maka makna adanya besaran kepentingan secara
langsung pada Teori Kepentingan ini telah menggugurkan definisi pajak. 3) Teori
Bakti atau Teori Kewajiban Pajak Mutlak Penduduk harus tunduk dan patuh kepada
negara, karena negara dalam kenyataannya sudah ada sejak dahulu, dan diakui
eksistensinya oleh penduduk maupun oleh negara lain. Negara juga mengemban
tugas untuk melindungi segenap warganya. Oleh karena itu, maka hubungan rakyat
dengan negara sangat kuat. Selain itu penduduk merupakan salah satu unsur dari
suatu negara, maka penduduk wajib berbakti pada negara, wajib membayar pajak,
sebagai rasa bakti kepada negara. Teori ini menganjurkan untuk membayar pajak
kepada negara dengan tidak mempermasalahkan apa yang menjadi dasar (basic)
negara untuk memungut pajak pada penduduknya. Karena negara sesuai dengan
kenyataan telah ada sejak lama, maka penduduknya wajib untuk membayar pajak
sebagai bentuk bakti dan taat pada negaranya. 4) Teori Gaya Pikul Negara dalam
memungut pajak didasarkan pada kemampuan dan kekuatan setiap pribadi
masyarakatnya, bukan pada besar kecilnya kepentingan tiap-tiap penduduk.
Kemampuan membayar pajak merupakan kemampuan dalam memperoleh
penghasilan, harta, kekayaan, dan konsumsi. Dengan tetap dapat menghidupi diri
sendiri dan kemampuan untuk memikul beban kehidupan lainnya. Di Indonesia
ajaran teori ini diterapkan kepada Wajib Pajak dengan tidak langsung mengenakan
pajak penghasilan atas seluruh penghasilan brutonya. Tetapi pajak dikenakan atas
Penghasilan Kena Pajak (PKP) atau Penghasilan Neto Fiskal yaitu Penghasilan Bruto
dikurangi pengurang (biaya-biaya yang diperkenankan oleh peraturan perpajakan)
dan kemudian dikurangi (PTKP) Penghasilan Tidak Kena Pajak (untuk Wajib Pajak
Orang Pribadi). Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah pendapatan bebas pajak
seorang Wajib Pajak yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perpajakan yang
berlaku. Sehingga Wajib Pajak yang mengalami kerugian atau penghasilannya di
bawah PTKP maka tidak akan dikenakan pajak penghasilan. 5) Teori Gaya beli Teori
ini memandang fungsi pemungutan pajak sebagai suatu cara memanfaatkan Gaya
Beli dari masyarakat. Negara dapat memanfaatkan kekuatan dan kemampuan beli
(gaya beli) masyarakat untuk kepentingan negara yang pada akhirnya akan
dikembalikan atau disalurkan kembali pada masyarakat, untuk kesejahteraan
masyarakat. Teori ini lebih menekankan kepada efek yang ditimbulkannya, karena
efek pemungutan pajak yang ditimbulkannya baik seperti terselenggaranya
kepentingan masyarakat maka dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak.
Negara adalah penyelenggara berbagai kepentingan yang mendukung kesejahteraan
masyarakat dan negara itu sendiri. Negara memiliki wewenang dan keabsahan
memungut pajak. 6) Teori Pembangunan (Safri Nurmantu: 2003) Untuk Indonesia
justifikasi yang paling tepat adalah pembangunan. Pajak dipungut negara untuk
kepentingan pembangunan. Pembangunan merupakan pengertian tentang tujuan
suatu negara yaitu masyarakat yang adil, makmur, sejahtera di semua bidang
kehidupan. Pembangunan membutuhkan begitu banyak biaya, sehingga negara
memiliki kewewenangan untuk memungut dana dari masyarakat berupa pajak.
Karena tujuan utama dari pembangunan adalah untuk rakyat maka sewajarnya rakyat
ikut andil bersama-sama dalam pembiayaan pembangunan, dengan memenuhi
kewajiban perpajakannya dengan baik dan benar. 3.1.2 Asas Yuridis Pemungutan
pajak suatu negara harus dapat memberikan jaminan hukum, baik untuk negara
maupun bagi warga negaranya, bagi fiskus dan juga bagi Wajib Pajak. Artinya setiap
pengenaan dan pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-undang. Logikanya,
Pajak adalah peralihan kekayaan dari rakyat kepada negara dimana hal tersebut
merupakan beban yang harus dipikul rakyat tanpa ada kontraprestasinya secara
langsung. Sehingga alasan yang sangat tepat apabila pemungutan pajak harus melalui
persetujuan rakyat itu sendiri. Dimana persetujuan itu direpresentasikan melalui
lembaga perwakilan rakyat dengan melahirkan Undang-undang sebagai aturan yang
menjadi rambu-rambu pelaksanaannya, baik bagi Wajib Pajak maupun bagi fiskus.
Di Indonesia pemungutan pajak menganut asas yuridis, ditinjau dengan adanya
hukum dasar perpajakan. Dasar Hukum Perpajakan di Indonesia adalah Undang
Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat (2) yang menetapkan bahwa ”Segala pajak untuk
keperluan negara berdasarkan Undang-undang”. Dalam memori penjelasan
disebutkan, ”Betapa caranya rakyat, sebagai bangsa, akan hidup dan darimana
didapatnya belanja untuk hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri, dengan
perantara Dewan Perwakilan Rakyat. Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena
itu juga cara hidupnya. Dasar hukum ini memberikan jaminan hukum bagi negara
dan rakyatnya dalam kewajiban perpajakan. Penetapan belanja oleh rakyat untuk
melanjutkan hidupnya adalah hak rakyat, menentukan nasibnya sendiri adalah hak
rakyat, maka segala tindakan yang berhubungan dengan pembebanan kepada rakyat,
seperti pajak tentunya adalah hak rakyat untuk menentukan aturan atas pajak yang
akan dibebankan kepadanya, maka mengenai aturan perpajakan harus ditetapkan
dengan undang-undang, yaitu dengan persetujuan DPR. Hal tersebut juga sudah
menjadi kelaziman karena telah menjadi keharusan di negara-negara hukum. 3.1.3
Asas Ekonomis Perpajakan tidak boleh menghambat laju perekonomian di suatu
negara. Sehingga pajak yang dibayarkan oleh warga negara selaku Wajib Pajak harus
diusahakan oleh Undang-Undang dan Peraturan Perpajakan agar: 1) tidak
menghambat lancarnya proses produksi, distribusi dan perdagangan di semua sektor.
2) tidak pernah menghalangi rakyat dalam usahanya menuju kebahagiaan, keadilan,
kenyamanan, kesejahteraan dan jangan merugikan kepentingan rakyat banyak. 3.1.4
Asas Finansial Upaya mengumpulkan dana melalui penerimaan pajak, membutuhkan
sistem administrasi komprehensif dengan biaya yang harus dialokasikan oleh
pemerintah. Asas Finansial menekankan kepada perolehan Penerimaan Pajak dengan
biaya yang efisien. Sehingga dalam pengumpulannya tidak boleh mengeluarkan
biaya yang mengakibatkan tidak optimalnya penerimaan pajak. Biaya yang
dikeluarkan untuk upaya pengumpulan pajak ini harus jauh lebih kecil daripada
jumlah pajak yang diperoleh. Sistem pemungutan pajak harus efisien, biaya yang
dikeluarkan dalam hal administrasi, sumber daya manusia, teknologi dan sebagainya
harus dapat memberikan dampak kepada penerimaan yang jauh lebih optimal. 3.2
Prinsip Pemungutan Pajak Menjadi keharusan bahwa dalam pembuatan Undang-
Undang perpajakan sebagai dasar hukum pemungutan pajak di suatu negara
mencerminkan prinsip keadilan (equity), prinsip kepastian hukum (certainty), prinsip
efisiensi ekonomis (economy), dan prinsip ketepatan waktu (convenience). 3.2.1
Prinsip Keadilan (Equality) Prinsip Keadilan (equality) merupakan salah satu dari
prinsip utama dalam rangka pemungutan pajak, yang menjelaskan bahwa setiap
warga Negara berpartisipasi dalam pembiayaan fungsi pemerintah suatu negara,
secara proporsional sesuai dengan kemampuan masing-masing. Prinsip keadilan
(equality) adalah prinsip dimana di dalam pemungutan pajak terdapat perlakuan yang
sama bagi semua Wajib Pajak atas pemenuhan kewajiban perpajakannya. Pajak akan
dikenakan sama besarnya atau seimbang pada Wajib Pajak dengan keadaan yang
sama pula di bawah perlindungan Negara. Pada dasarnya pengertian keadilan adalah
suatu pengertian yang tidak mutlak. Pengertian keadilan sangat relatif, sangat
bergantung pada kondisi sistem pemerintahan suatu negara. Apa yang dianggap adil
di Indonesia pada waktu ini, belum tentu adil di negara lain dalam waktu yang sama.
Apa yang dianggap adil pada waktu sekarang belum tentu adil diwaktu yang akan
datang, semuanya bergantung pada waktu, tempat kondisi politik pemerintahan dan
kedewasaan masyarakat sebagai Wajib Pajak. Sehingga prinsip keadilan harus
senantiasa diperhatikan dalam merumuskan Undang-Undang dan Peraturan
Perpajakan disetiap adanya perubahan peraturan karena pajak bersifat dinamis
mengikuti dinamika ekonomi suatu Negara maupun yang bersifat global. Prinsip
Keadilan harus pula diterapkan pada Sistem Pemungutan Pajak yang selalu
berkembang mengikuti perkembangan jaman di setiap negara.
A. Prinsip Keadilan dalam Pembayaran Pajak Keadilan bukan merupakan keadilan
yang mutlak melainkan keadilan yang sebanding bersifat relatif. Keadilan dalam hal
membayar pajak disesuaikan dengan kemampuan Wajib Pajak, bukan berarti besaran
beban yang sama atas jumlah pajak yang harus dibayar semua Wajib Pajak. Dasar
yang dijadikan pengenaan pajak bagi pembayar pajak sehingga setiap pembayar
pajak diperlakukan sama adalah ‘kemampuan untuk membayar’ yang diukur dari
konsumsi dan produksi seseorang. Kemampuan untuk membayar bagi Wajib Pajak
dapat dilihat dari 1) pengeluaran yang dilakukan (Expenditure). Dengan
pengeluarannya maka dianggap mampu untuk membayar pajak. 2) Kekayaan yang
dimiliki (Property). Dengan kekayaan yang dimiliki maka dianggap mampu
membayar pajak. 3) Harta yang dapat menghasilkan penghasilan (Product). Dengan
harta sebagai modal penghasilan yang dimiliki maka dianggap mampu membayar
pajak. 4) Jumlah Penghasilan (Income). Dengan penghasilan yang dimiliki dianggap
mampu untuk membayar pajak. Penerapan prinsip keadilan dalam pemungutan pajak
terkait dengan kemampuan membayar pajak di Indonesia ditandai dengan adanya
ketentuan:
1) penetapan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), dengan demikian maka
masyarakat yang berpenghasilan dibawah PTKP atau sama dengan PTKP tentunya
tidak akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh). Dan sebaliknya jika melebihi PTKP
tentu saja ada kelebihan dari penghasilannya yang akan dikenakan Pajak Penghasilan
(PPh).
2) persentase tertentu atas Penghasilan Kena Pajak (PKP), sampai dengan jumlah
tertentu dikenakan persentase yang lebih kecil dibanding yang jumlah
penghasilannya lebih banyak, atau persentasenya menurun apabila penghasilannya
bertambah tinggi (degressive taxation).
3) presentase atas tarif untuk Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Badan, yang
ditetapkan tarif berbeda, di mana tarif untuk penghasilan Orang Pribadi lebih kecil
dibanding tarif atas penghasilan Badan. Berdasarkan hal tersebut maka sistem
pemungutan pajak dalam hal pembayaran pajak memenuhi Prinsip Keadilan apabila
1) Penghasilan yang dikenai pajak merupakan penghasilan yang menambah
kekayaan atau modal Wajib Pajak,
2) Penghasilan tidak dikenai pajak berganda,
3) Penghasilan yang tidak dikenai pajak dapat memenuhi kebutuhan primer secara
layak,
4) Penghasilan yang tidak dikenai pajak dapat memenuhi keberlanjutan dalam
perolehan penghasilan itu sendiri,
5) Biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan tidak dikenai pajak, 6)
Tarif pajak sesuai dengan tingkat penghasilan yang dikenai pajak,
7) Pajak yang dibayar tidak menyebabkan kerugian Wajib Pajak, 8) Pembayaran
pajak tidak memberatkan Wajib Pajak, dengan adanya ketentuan angsuran atau
penundaan pembayaran pajak,
9) Ketentuan tax base dan tax rate berlaku untuk semua Wajib Pajak. B. Prinsip
Keadilan dalam Redistribusi Pemungutan pajak juga harus memenuhi keadilan pada
apa yang telah dipungut dari rakyat maka harus didistribusikan kembali kepada
rakyatnya. Distribusi beban pajak diantara penduduk harus mempunyai akibat untuk
memperkecil perbedaan penghasilan dan kekayaan yang disebabkan oleh mekanisme
pasar bebas. Prinsip Keadilan dapat diterapkan pula dalam kebijakan-kebijakan
perpajakan yang bersifat temporal, tidak regular dan tidak juga terus menerus
diterapkan oleh Negara. Kebijakan ini dalam rangka meningkatkan penerimaan yang
akan berefek kepada pembiayaan pembangunan. Keadilan dalam penekanan
kemauan melaporkan hartanya dengan tarif pajak kecil tanpa sanksi pajak, seperti
Kebijakan Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) atau kebijakan lain yang pernah
diterapkan di Indonesia seperti Sunset Policy maupun Sensus Pajak Nasional akan
berjalan dengan baik dan sesuai dengan tujuan diterapkannya apabila prinsip
keadilan perpajakan diterapkan dengan baik. Walaupun kontradiktif dengan Prinsip
Keadilan bagi Wajib Pajak yang selalu patuh membayar pajak, dengan adanya
kebijakan ini diharapkan mendongkrak Penerimaan Pajak. C. Prinsip Keadilan dalam
Sanksi Pajak Prinsip keadilan harus pula diterapkan dalam Tax law Enforcement.
Dengan adanya pelakuan yang sama terhadap orang atau badan yang berada dalam
situasi level pelanggaran kewajiban yang sama, maka akan dikenakan sanksi pajak
dengan sanksi yang sama. Hal tersebut dikatakan sebagai keadilan secara horizontal
(horizontal equity). Semakin tinggi tingkat pelanggaran maka akan semakin besar
pula sanksi pajak yang harus ditanggungnya, sebaliknya semakin kecil kesalahan
seseorang maka jumlah sanksi pajak tentu lebih kecil. Keadilan seperti ini lebih
dikenal sebagai keadilan secara vertical (vertical equity). Prinsip Keadilan dalam
sistem perpajakan dalam hal Penerapan Sanksi Pajak ditandai dengan 1) Wajib Pajak
yang dikenai sanksi pajak merupakan Wajib Pajak yang melakukan pelanggaran
peraturan perpajakan. 2) Sanksi Pajak yang dikenakan sesuai dengan tingkat
pelanggaran. 3) Sanksi Pajak yang dibayar tidak menyebabkan kerugian Wajib Pajak.
4) Pengenaan sanksi pajak dilakukan melalui prosedur yang telah ditetapkan. 5)
Ketentuan sanksi pajak berlaku untuk semua Wajib Pajak. 6) Sanksi pajak membuat
efek jera pelanggaran. D. Prinsip Keadilan dalam Meningkatkan Kepatuhan
Penerapan prinsip keadilan perpajakan dalam sistem perpajakan di suatu Negara akan
memberikan efek positif terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melakukan
pemenuhan kewajiban perpajakan, sehingga akan menimbulkan peningkatan
penerimaan pajak. Penerapan prinsip keadilan pajak di suatu Negara dikatakan baik
apabila memberikan motivasi untuk Wajib Pajak untuk mau membayar pajak dengan
baik pula berdasarkan utang pajak yang ditanggungnya masing-masing. Jumlah
beban pajak dipikul sesuai dengan kemampuannya sehingga tidak dirasakan kerugian
akibat pengenaan pajak. Tentunya dengan prinsip keadilan perpajakan yang
diterapkan dengan baik pada sistem perpajakan di suatu Negara akan dapat
mengurangi keinginan Wajib Pajak melakukan penghindaran pajak maupun
penggelapan pajak. 3.2.2 Prinsip Kepastian Hukum (Certainty) Prinsip Kepastian
Hukum (certainty) harus diadopsi dalam perumusan ketentuan Undang-Undang
Perpajakan dan Peraturan Perpajakan suatu Negara. Prinsip Kepastian Hukum
merupakan prinsip di dalam sistem perpajakan dimana didalam ketentuan hukum
pajaknya yang terkait subyek, obyek, tarif dan ketentuan pemenuhan kewajiban
perpajakan lainnya harus jelas, terang dan pasti, sehingga tidak menimbulkan
pemahaman berbeda baik antar Wajib Pajak, antara Wajib Pajak dengan Fiskus,
maupun antar-Fiskus sendiri. Kepastian hukum adalah tujuan setiap undang-undang.
Dalam membuat undang-undang dan peraturanperaturan yang mengikat umum,
harus diusahakan supaya ketentuan yang dimuat dalam undang-undang adalah jelas,
tegas, dan tidak mengandung arti ganda atau memberikan peluang untuk ditafsirkan
lain. Di mana untuk memberikan kepastian hukum perlu diperhatikan: 1) Materi,
subyek, dan obyek, Subyek, materi dan obyek pajak diuraikan secara jelas dan tegas
dengan menyebutkan kualifikasinya, sifat, tempat, ciri-ciri, dan waktu. Subyek,
Obyek dan Tarif Pajak harus diatur di dalam Undang-undang Perpajakan. Dengan
kejelasan dan kepastian ini tidak menimbulkan keragu-raguan dan tidak
menimbulkan interprestasi lain. Penggunaan bahasa dan cara menguraikan
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kejelasan dan kepastian juga
penggunaan istilah yang sudah baku mempertinggi kejelasan dan kepastian hukum.
2) Pendefinisian, Pendefinisian dikatakan jelas apabila mencakup unsur-unsur dan
ciri-ciri dari hal yang didefinisikan. Sistematika pendefinisian mempunyai peranan
yang sangat penting. Ada pendefinisian secara luas dan ada pendefinisian secara
sempit. Pendefinisian secara sempit, lebih memberikan kepastian hukum karena
pendefinisian secara sempit menggunakan cara yang limitif, hanya yang disebut saja
yang termasuk dalam ruang lingkup Peraturan Perundang-Undangan. Yang tidak
disebut secara positif, tidak tercakup oleh Undang-Undang. 3)
penyempitan/perluasan, Penyempitan dan perluasan materi yang menjadi sasaran
pajak harus dilakukan dalam Undang-Undangnya sendiri. Hal itu untuk kepentingan
kepastian hukum. Penyempitan atau perluasan materi sama sekali tidak dibenarkan
jika dilakukan dengan peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang atau
dilakukan dalam memori penjelasan. 4) ruang lingkup, Daya mengikat dari suatu
ketentuan Undang-Undang tidak saja ditentukan oleh materinya tetapi juga oleh
tempat dan waktu. Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang sudah jelas dibatasi
oleh obyek, subyek, dan wilayah. 5) penggunaan bahasa hukum, dan istilah yang
baku. Kepastian hukum sangat ditentukan oleh penggunaan bahasa hukum dan
penggunaan istilah yang dibakukan. Bahasa Hukum adalah bahasa Indonesia yang
mempunyai sifat yang khas karena bahasa hukum merupakan Bahasa Indonesia maka
harus tunduk juga kepada norma-norma Bahasa Indonesia. Bahasa Hukum adalah
bahasa yang lazimnya digunakan oleh para ahli hukum atau orang-orang yang
mempunyai profesi dalam bidang hukum seperti hakim, jaksa, pengacara. Bahasa
Hukum harus singkat, tegas, jelas tanpa mengandung keragu-raguan dan arti ganda.
Istilah-istilah sebaiknya digunakan secara konsekuen dan pasti. Untuk suatu
pengertian supaya digunakan satu istilah yang sama karena penggunaan istilah yang
berlainan dan tidak konsekuen, menimbulkan ketidakpastian hukum. Penerapan
prinsip kepastian hukum pada sistem perpajakan dapat dilihat pada hal-hal sebagai
berikut: 1) Fiskus diberi jaminan oleh Undang-Undang Perpajakan yang telah
disetujui oleh rakyat dalam hal tugas dan tanggung jawabnya. Kepastian hukum atas
tugas dan tanggung jawab fiskus yang meliputi: a) Pelaksanaan prosedur administrasi
pajak bagi Wajib Pajak, b) Pelaksanaan prosedur pemeriksaan pajak, c) Pelaksanaan
penagihan pajak, d) Pelaksanaan proses penyitaan e) Pelaksanaan proses pelelangan.
Dengan jaminan hukum seperti ini memungkinkan tugas dan tanggung jawab fiskus
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, dan Wajib Pajak harus mematuhi ketentuan
dalam tugas dan tanggung jawab fiskus. Sehingga dengan demikian kinerja fiskus
sesuai dengan yang ditargetkan. 2) Adanya penyempurnaan sistem perpajakan
(reformasi perpajakan) yang dilakukan secara berkala sesuai dengan dinamika
nasional dan internasional yang muncul mempengaruhi kondisi perekonomian di
Indonesia. Dimana didalamnya termasuk penyempurnaan atas peraturan perpajakan
yang menyangkut: a) Sistem administrasi pajak, b) pemeriksaan pajak, c) Ketentuan
pelayanan prima untuk Wajib Pajak, d) Peraturan perundang-undangannya mengenai
tax base dan tax rate, e) masalah penghindaran pajak baik legal maupun ilegal yang
dilakukan oleh Wajib Pajak (tax avoidance maupun tax evasion). Aktivitas tersebut
dilakukan oleh Wajib Pajak untuk menghindarkan diri dari pemenuhan kewajiban
perpajakan sebagaimana yang telah ditentukan dalam undang-undang pajak. 3)
Adanya jaminan hukum bagi Wajib Pajak, untuk diperlakukan secara adil dengan
berdasar pada prinsipprinsip sistem perpajakan. Segala sesuatu harus diatur dengan
tegas dan jelas, baik kewajiban maupun hak Wajib Pajak di dalam peraturan
perundang-undangan. Jaminan hukum yang menyangkut: a) Pengaturan ketentuan
atas beban pajak yang harus dibayar Wajib Pajak baik menyangkut tax base maupun
tax rate, b) Ketentuan kewajiban formal pemenuhan administrasi perpajakan
(pendaftaran diri, penyetoran pajak dan pelaporan pajak), c) Pengaturan mengenai
hak Wajib Pajak dalam ketentuan formal perpajakan. 4) Jaminan kerahasiaan data
Wajib Pajak yang telah diketahui oleh fiskus karena adanya pemeriksaan maupun
dalam laporan Surat Pemberitahuan (SPT), dan jangan sampai ada penyalahgunaan
data Wajib Pajak yang ada pada fiskus oleh semua pihak. Apabila ketentuan
Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan sangat kompleks dan tidak akurat, maka
akan terdapat interprestasi yang berbeda-beda, baik interprestasi yang dilakukan oleh
penuntut umum maupun oleh hakim pada pengadilan pajak, sehingga dapat saja
mengakibatkan konsekuensi pajak atas aktivitas tertentu tidak dapat diketahui lebih
dahulu atau akan menimbulkan penundaan pelaksanaan terhadap pengaturan yang
definitif. Sehingga penerapan Prinsip Kepastian Hukum dalam sistem perpajakan
belum dapat dikatakan efektif. 3.2.3 Prinsip Convenience Prinsip Convenience
merupakan prinsip pada sistem perpajakan di suatu Negara dalam hal ketepatan saat
pemotongan, pemungutan maupun pembayaran pajak oleh Wajib Pajak. Di mana
pada prinsip ini menekankan kepada ketentuan saat memotong, memungut dan
membayar pajak disaat yang tepat dengan kondisi atau keadaan Penghasilan yang
diterima oleh Wajib Pajak. Saat paling tepat diwujudkan dengan indikator pada
sumber penghasilan. Pemotongan atau pemungutan pajak dapat dilakukan dengan
tepat waktu apabila sumber penghasilan diperoleh dari pemberi kerja berupa gaji,
upah, atau honorarium. Artinya setiap Wajib Pajak Orang Pribadi yang menerima
penghasilan dari pihak lain, maka pada saat itulah pemerintah melalui pemotong
pajak memotong pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak
penerima penghasilan. Tidak semua Wajib Pajak mempunyai saat convenience yang
sama, yang mengenakkan baginya untuk membayar pajak. Karyawan lebih mudah
membayar pajak pada saat mereka menerima gaji. Petani lebih mudah membayar
pajak setelah panen, pedagang lebih mudah membayar pajak pada saat menerima
pembayaran dari debitur. Perusahaan mudah membayar pajak saat diketahui
perolehan sisa lebih usaha per periode. Pelaku bisnis lebih mudah dipungut pajak saat
penyerahan pembayaran oleh Pemungut Pajak. Konsumen mudah membayar pajak
saat melakukan pembayaran atas transaksi pembelian kepada Pengusaha Kena Pajak.
Sistem perpajakan di Indonesia menganut prinsip ini, ditandai dengan pemotongan
Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang menerima penghasilan dari pemberi kerja,
pada saat penghasilan diberikan. Untuk Wajib Pajak dengan Pekerjaan Bebas
ditetapkan pada saat dapat dihitung laba atas usahanya dengan cut off tiap periode
akuntansi. Kekurangan atau kelebihan pembayaran pajak diperhitungkan pada akhir
periode. 3.2.4 Prinsip Efisiensi Economic Prinsip Efisiensi Economic adalah prinsip
dimana pemungutan pajak oleh Negara tidak menimbulkan permasalahan lain, dan
harus mampu mencapai tujuan pemungutan pajak tanpa biaya yang besar yang
mengakibatkan tujuan utama tidak tercapai. Prinsip ini menentukan bahwa
pemungutan pajak dilakukan dengan biaya yang dapat mengoptimalkan penerimaan
pajak dan jangan sampai biaya-biaya memungut lebih tinggi daripada pajak yang
dapat dikumpulkan. Selain itu prinsip ini mengandung makna bahwa sistem
pemungutan pajak harus dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan pengeluaran
Negara, dan harus pula cukup elastis dalam menghadapi berbagai tantangan,
perubahan serta perkembangan kondisi perekonomian. Pelaksanaan sistem
perpajakan oleh fiskus sebaiknya dilaksanakan dengan biaya tertentu dengan sasaran
perolehan penerimaan pajak yang optimal. Karena sudah menjadi dasar dari
perekonomian bahwa sasaran utama dari setiap sektor ekonomi adalah bagaimana
memperoleh hasil sebesar-besarnya dari sumber-sumber yang terbatas, tidak saja
menyangkut barang dan jasa, tapi juga nilai-nilai tidak berwujud yang mempengaruhi
kualitas kehidupan dan kepentingan orang banyak. Hal ini berarti bahwa hasil
realisasi pungutan pajak pada setiap kemungkinan skala ekonomi baru dianggap
efisien untuk dilaksanakan apabila dapat meningkatkan penerimaan pajak paling
tidak mencapai jumlah tertentu sesuai perkiraan yang diharapkan, tanpa
mengeluarkan biaya yang lebih banyak. Prinsip Efisiensi Ekonomi yang baik dalam
sistem perpajakan suatu ditandai dengan: 1) beban pajak yang dipikul oleh para Wajib
Pajak tidak menghalang-halangi berkembangnya perekonomian bangsa, 2) beban
pajak tidak menghambat produksi, 3) beban pajak tidak mencegah investasi, 4)
proses pemungutan pajak tidak menghalangi proses kemajuan perekonomian
masyarakat, 5) sistem perpajakan mudah dilaksanakan, 6) penerimaan yang
diharapkan dari pajak dapat tercapai. 7) pembiayaan negara terjamin. 8) sistem
perpajakan fleksibel untuk menghasilkan penerimaan tambahan bagi Negara. 3.3
Implementasi Prinsip Pemungutan Pajak Sistem perpajakan yang baik ditunjukkan
dengan adanya Sistem Perpajakan yang efektif dan efisien, dan pemenuhan
kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak sesuai Peraturan Perundang-Undangan
Perpajakan yang berlaku. Sistem perpajakan yang efektif dan efisien ditandai dengan
diterapkannya prinsip keadilan, prinsip kepastian hukum, prinsip convenience dan
prinsip efisiensi ekonomi. Penerapan prinsip keadilan, prinsip kepastian hukum,
prinsip convenience maupun prinsip efisiensi ekonomi pada pemungutan pajak yang
dilakukan di suatu Negara dengan baik sesuai dengan kondisi Negara dan laju
perkembangan sosial ekonomi Negara akan mendukung pelaksanaan sistem
perpajakan yang baik pula. Dimana sistem perpajakan itu terdiri dari hukum pajak,
kebijakan perpajakan dan sistem administrasi pajak. Sehingga hal-hal yang berkaitan
dengan keempat prinsip ini harus dipahami betul oleh pemerintah dalam
merumuskan hukum pajak, kebijakan pajak maupun sistem administrasi
perpajakannya. Dengan demikian, akan memberikan banyak keuntungan bagi
Negara dalam hal terhimpunnya penerimaan Negara secara optimal. Implementasi
prinsip-prinsip pemungutan pajaknya secara umum pada sistem perpajakan
dipergunakan sebagai alat membantu mencapai tujuan-tujuan ekonomi. Dengan
kebijaksanaan fiskal, kegiatan ekonomi dapat lebih dipacu, atau untuk memperlunak
akibat-akibat yang terjadi pada masa resesi. Hal ini dapat tercapai dengan cara
merubah tarif pajak maupun dasar pengenaan pajak yang berdampak pada pelunakan
dalam siklus fluktuasi harga, pengangguran dan produksi. Fritz Neumark (Safri
Nurmantu: 2005) mengemukakan bahwa sistem perpajakan yang baik harus
memenuhi: 1) The Requirement of Clarity Dalam sistem perpajakan, baik dalam
Undang-Undang Perpajakan maupun pada Peraturan Pelaksanaannya, ketentuan-
ketentuan pajak haruslah dapat dipahami (comprehensible), tidak boleh
menimbulkan keraguraguan atau penafsiran yang berbeda, tetapi harus menimbulkan
kejelasan (must be unambiguous and certain) baik untuk Wajib Pajak maupun untuk
fiskus. 2) The Requirement of Continuity Undang-Undang Perpajakan tidak boleh
sering berubah, dan apabila terjadi perubahan, perubahan tersebut haruslah dalam
konteks pembaharuan Undang-Undang Perpajakan (tax reform) secara umum dan
sistematis. 3) The Requirement of Economy Biaya-biaya perhitungan, penagihan dan
pengawasan pajak harus pada tingkat yang serendah-rendahnya dan konsisten dengan
tujuan-tujuan pajak. Biaya-biaya yang diminimalkan tidak hanya meliputi biaya-
biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah (administrative cost), tetapi juga biaya-biaya
yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban dan kepatuhan
perpajakannya (compliance cost). 4) The Requirement of Convenience Pembayaran
pajak harus sedapat mungkin tidak memberatkan Wajib Pajak. Pemerintah biasanya
memperbolehkan pembayaran utang pajak dalam jumlah besar secara angsuran dan
memberikan jangka waktu yang cukup untuk penundaan pengembalian SPT.

Anda mungkin juga menyukai