Anda di halaman 1dari 65

PROPOSAL

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP WAJIB PAJAK YANG TIDAK


MEMBAYAR PAJAK KENDARAAN BERMOTOR PADA MASA
PANDEMI COVID-19 DI KANTOR SAMSAT PEMERINTAH PROVINSI
SUMATERA BARAT

Disusun Oleh :

Sasqia Wulandari

1810112103

Program Kekhususan : Hukum Administrasi Negara (PK VII)

Acc proposal Pbb 1


Bisa lanjut seminar proposal
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021
OUTLINE

NAMA : SASQIA WULANDARI

BP 1810112103

PROGRAM KEKHUSUSAN : HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

JUDUL : PENEGAKAN HUKUM TERHADAP

WAJIB PAJAK YANG TIDAK MEMBAYAR PAJAK KENDARAAN

BERMOTOR PADA MASA PANDEMI COVID-19 DI KANTOR SAMSAT

PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

E. Tinjauan Pustaka

F. Metode Penelitian

G. Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Penegakan Hukum

1. Pengertian Penegakan Hukum Pajak

2. Teori – Teori Penegakan Hukum Pajak

1
B. Tinjauan Tentang Kewenangan

1. Pengertian Kewenangan

2. Sumber Kewenangan

3. Sifat Kewenangan

4. Tugas dan Kewenangan Samsat

C. Tinjauan Tentang Pajak Kendaraan Bermotor

1. Pengertian Pajak, Fungsi dan Pengaturan Pajak

2. Pengertian Pajak Kendaraan Bermotor

3. Subjek dan Objek Pajak Kendaraan Bermotor

4. Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor

5. Tata Cara Pendaftaran, Pembayaran dan Penagihan

Pajak Kendaraan Bermotor

6. Tarif dan Dasar Perhitungan Pajak Kendaraan

Bermotor

D. Tinjauan Tentang Sanksi Administrasi

1. Pengertian Sanksi Administrasi

2. Jenis – Jenis Sanksi Administrasi dalam Hukum Pajak

E. Tinjauan Tentang Pandemi Covid-19

1. Pengertian Covid-19

2. Asal Mula Covid-19

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Kantor Bersama Samsat Provinsi Sumatera

Barat

2
B. Penegakan Hukum Terhadap Wajib Pajak Yang Tidak

Membayar Pajak Kendaraan Bermotor Pada Masa

Pandemi Covid-19 Di Kantor Samsat Pemerintah

Provinsi Sumatera Barat

C. Tindak Lanjut Setelah Pengenaan Sanksi Administrasi

Terhadap Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor Pada

Masa Pandemi Covid-19 Di Kantor Samsat Provinsi

Sumatera Barat

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

3
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP WAJIB PAJAK YANG

TIDAK MEMBAYAR PAJAK KENDARAAN BERMOTOR PADA

MASA PANDEMI COVID-19 DI KANTOR SAMSAT

PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dalam perkembangannya telah

menghasilkan pembangunan yang pesat dalam kehidupan nasional yang perlu

dilanjutkan dengan dukungan Pemerintah dan seluruh potensi masyarakat.

Keberhasilan pelaksanaan pembangunan memerlukan dana yang tidak sedikit,

kebutuhan untuk pembangunan sifatnya proposional dan disesuaikan dengan

kebutuhan pembangunan yang sedang dan akan berlangsung.

Kebutuhan akan dana pembangunan dapat diperoleh melalui

berbagai cara yang kesemuanya diharapkan dapat memperkuat sektor

keuangan negara yang dalam hal ini adalah sektor Pajak. Pajak merupakan

sumber pendapatan negara yang sangat penting bagi penyelenggaraan dan

pelaksanaan pembangunan nasional. Sehingga pemerintah menempatkan

kewajiban perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan

yang merupakan sarana dalam pembiayaan Negara dalam Pembangunan

Nasional guna tercapainya tujuan Negara. Sebagaimana yang telah dinyatakan

di dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah

diamandemenkan dalam Pasal 23A amandemen ke-III Undang- Undang

Dasar 1945, yang


4
berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan

Negara diatur dengan undang-undang”.

Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan Nasional tersebut,

sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya

merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk

ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan

pembangunan nasional.1

Maka pemerintah menjadikan sektor pajak sebagai sumber utama

dalam menopang pembiayaan pembangunan nasional. Dan dalam

kenyataannya penerimaan negara dari sektor pajak dari tahun ke tahun

semakin meningkat dan sejalan dengan hal tersebut peranan pajak sebagai

penopang program pembangunan nasional juga semakin meningkat. Adapun

poin penting dari proses pemungutan pajak adalah kepatuhan sukarela

(voluntary compliance), yaitu meletakkan tanggungjawab pemungutan

sepenuhnya pada kesadaran Wajib Pajak. Karena kepatuhan sukarela yang

dijadikan kunci dari pemungutan pajak, maka dalam pelaksanaannya

seringkali muncul perlawanan pajak oleh Wajib Pajak, baik perlawanan aktif

maupun pasif.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang kemudian diganti

menjadi Undang-Undang No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan

Undang- Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah yang berlaku, memberikan

1 Djoko Slamet Surjoputro, 2009, Buku Panduan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, Jakarta:
Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan Humas, hlm.3
5
dampak yang sangat luas terhadap perkembangan pemerintahan di daerah.

Otonomi yang diberikan kepada daerah merupakan otonomi yang luas, nyata

dan bertanggung jawab. Adanya pemberian otonomi daerah memberikan

implikasi timbulnya kewenangan dan kewajiban bagi daerah untuk

melaksanakan berbagai kegiatan pemerintahan lebih mandiri. Pengalihan,

pembagian dan pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya manusia,

kewenangan pemungutan jenis-jenis pajak daerah didasarkan atas prinsip

keadilan berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada daerah.

Hal di atas diperkuat lagi dengan diterbitkannya Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang

Cipta Kerja yang berisi ketentuan-ketentuan pokok yang memberikan

pedoman kebijakan dan arahan bagi daerah dalam pelaksanaan pemungutan

pajak daerah dan retribusi daerah, sekaligus menetapkan pengaturan untuk

menjamin penetapan prosedur umum perpajakan daerah dan retribusi daerah.

Di samping adanya regulasi yang menjamin supremasi hukum

terkait pajak daerah, sistem pemungutan pajak juga di landasi oleh prinsip-

prinsip pemungutan pajak. Sistem pemungutan pajak yang dilandasi oleh

prinsip- prinsip pemungutan pajak merupakan faktor yang berpengaruh pula

dalam pemungutan pajak. Adapun prinsip-prinsip dalam pemungutan pajak

dikemukakan oleh Adam Smith (1723-1790), seorang bapak ekonomi klasik

yang tertuang dalam bukunya The Wealth of Nations. Berikut ini The four

canons of Adam Smith atau yang sering juga disebut four maxims dengan

uraian

6
sebagai berikut 2:

1. Prinsip Keadilan (Eguality)


Merupakan pembagian tekanan pajak di antara subyek pajak masing-
masing hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu
seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya dibawah
perlindungan Negara.
2. Prinsip Kepastian (Certainty)
Dimaksudkan supaya pajak yang harus dibayar seseorang harus terang
dan pasti tidak dapat di tawar-tawar (Not Aribitrary).
3. Prinsip Kelayakan (Convience)
Dimaksudkan dalam upaya memungut pajak, pemerintah hendaknya
memperhatikan saat-saat yang paling baik bagi si pembayar pajak,
artinya pemungutan pajak hendaknya tidak memberatkan wajib pajak
sehingga wajib pajak merasa membayar pajak bukan sebagai paksaan
namun sebagai kewajiban yang dilakukan dengan tulus.
4. Prinsip Efesiensi Ekonomi (Efficiency Economy)
Pemungutan pajak hendaknya dilaksanakan dengan sehemat-
hematnya, jangan sampai biaya-biaya memungut justru menjadi lebih
tinggi daripada pajak yang dipungut. Maksudnya, biaya pemungutan
dan pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib pajak harus proporsional.
Biaya pemungutan harus lebih rendah dari beban pajak yang harus
dibayar.
Dalam UU No. 28 Tahun 2009 ini, terdapat jenis pajak daerah yang

dibagi kedalam 2 pihak pemungut pajak yaitu Pajak Provinsi dan Pajak

Kabupaten/Kota. Salah satu jenis pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah

Provinsi dan memberikan kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah

adalah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).3 Salah satu jenis pajak daerah yang

dipungut oleh pemerintah Provinsi diatur oleh Peraturan Daerah.

Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) adalah pajak atas kepemilikan

dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. Pajak Kendaraan Bermotor diatur

2
Safri Nurmantu, 2005, Pengantar Perpajakan (edisi 3), Jakarta: Granist, hlm.83-85
3
Christiani Irwati Tanan, Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Pajak Kendaraan Bermotor
Sebelum dan Masa Covid-19 di Kota Jayapura, JEDI Vol. 4 No. 1, 2021, hlm. 379.

7
dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 4 Tahun 2011 tentang

Pajak Daerah yang kemudian dirubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi

Sumatera Barat Nomor 4 Tahun 2018 dan Peraturan Gubernur Sumatera Barat

Nomor 35 Tahun 2020 tentang Petunjuk Perhitungan Dasar Pengenaan Pajak

Kendaraan Bermotor Dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.

Pembayaran pajak kendaraan bermotor merupakan perwujudan dari

kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak (WP) untuk secara

langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk

pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Saat ini Indonesia menganut

sistem pemungutan pajak Self Assessment. Hal ini berarti wewenang

sepenuhnya untuk menentukan besar pajak ada pada wajib pajak. Wajib pajak

aktif menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri

pajaknya. Fiskus tidak campur tangan dalam penentuan besarnya pajak

terutang selama wajib pajak tidak menyalahi peraturan yang berlaku. Dan

sistem ini sangat bergantung pada kesadaran dan kepatuhan wajib pajak

sendiri untuk melakukannya.

Namun dalam pelaksanaannya pemungutan pajak seringkali

mengalami permasalahan yang tidak sesuai dengan rencana. Permasalahan ini

antara lain, yaitu adanya pelanggaran yang terjadi terhadap prinsip dalam

perpajakan dan masih banyaknya wajib pajak yang tidak membayar Pajak

khususnya Pajak Kendaran Bermotor seperti kurangnya kesadaran wajib

pajak, adanya Wajib Pajak yang lalai dalam melaksanakan kewajibannya dan

berbagai faktor lainnya yang mengakibatkan wajib pajak tidak patuh terhadap

pembayaran pajak.
8
Selain itu pada akhir tahun 2019 ada sebuah wabah yang melanda

seluruh dunia. Wabah virus corona bermula di Kota Wuhan, Provinsi Hubei,

China. Merespon adanya ketetapan pandemi dari World Health Organization

(WHO), seluruh negara yang terjangkit wabah virus corona ini

memberlakukan system lockdown dan pembatasan wilayah di negaranya.

Indonesia termasuk dalam salah satu negara yang terjangkit wabah virus

corona dan memberlakukan system lockdown.4 Penyebaran virus di Indonesia

dimulai sejak tanggal 02 Maret 2020. Kondisi ini berdampak pada banyak

sektor di Indonesia terutama pada sektor perekonomian. Perputaran roda

perekonomian dalam negeri menjadi tidak stabil hingga mengakibatkan

perekonomian lumpuh khususnya pada sektor swasta dan masyarakat. Salah

satunya di Kota Padang, dimana banyak masyarakat yang terdampak pandemi

ini merasa kesulitan dalam hal ekonomi, dan hal ini menjadi salah satu

penyebab masyarakat tidak membayar kewajiban pajaknya.5 Hal ini

dibuktikan dengan berdasarkan tabel data yang diperoleh dari Badan

Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Barat cq. Bidang Pajak Daerah bahwa

terjadi penurunan dalam penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dilihat dari

jumlah Wajib Pajak yang tidak membayar Pajak Kendaraan Bermotor

semakin meningkat yaitu sebagai berikut:

4
Dhuratun Nuskha, Februari 2021, Pengaruh Pemberian Insentif Pajak Di Tengah Pandemi
Corona Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Pelaporan Surat
Pemberitahuan (Spt) (Studi Kasus Pada Kpp Malang Utara), Vol. 10 No. 06, hlm. 2.
5
Dhimam Zidny Siradj, Mei 2011, Kebijakan Insentif Pajak Kendaraan Bermotor Selama Masa
Pandemi Corona Virus Disease 2019, Vol 4 No.3, hlm. 933.

9
Jumlah Kendaraan Belum Daftar Ulang di Kota Padang

Tahun 2017-2021
TAHUN UNIT RUPIAH

2017 21.643 35.930.348.450

2018 26.395 41.091.768.000

2019 36.399 48.890.355.350

2020 51.452 55.374.999.750

2021 79.060 40.635.611.850

Sumber: Badan Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Barat

Dari data diatas dapat dilihat bahwa masih banyaknya Wajib Pajak

pada saat ini yang kurang memiliki rasa kesadaran dan lalai dalam

melaksanakan kewajiban pajaknya khususnya Pajak Kendaraan Bermotor.

Untuk mengatasi permasalahan ini dilakukan penegakan hukum.

Namun Kantor Samsat belum dapat melakukan penegakan hukum yang tegas

terhadap kendaraan bermotor yang bermasalah. Untuk itu diperlukan tindakan

yang tegas oleh aparatur pajak dalam pelaksanaan pemungutan pajak. Salah

satunya adalah dengan diterapkannya sanksi administrasi yang dilakukan pada

wajib pajak sepanjang menyangkut pelanggaraan ketentuan administrasi

pajak. Terjadinya sanksi administrasi didalam hukum perpajakan dikarenakan

adanya wajib pajak yang melakukan pelanggaran ketentuan perpajakan,

khususnya Wajib Pajak Kendaraan Bermotor masih belum sadar dan patuh

atas kewajiban mereka dalam membayar pajak kepada Negara.

10
Seharusnya wajib pajak taat dan patuh atas kewajiban untuk

membayar pajak Kendaraan Bermotor mereka dalam membayar pajak

berdasarkan ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang berlaku,

meskipun pajak bersifat paksaan namun wajib pajak harus membayar pajak

dengan kesadaran yang tinggi dan lebih meresap dalam diri masing-masing,

wajib pajak membayar kewajibannya yaitu membayar pajak bukan karena

takut terkena sanksi pajak ataupun karena terpaksa supaya sistem Self

Assesment dapat berjalan dengan lancar dan baik, maka harus dikenakan

sanksi khususnya sanksi administrasi perpajakan. Berdasarkan uraian di atas

membuat penulis tertarik dengan mengangkat judul, yaitu: “Penegakan

Hukum Terhadap Wajib Pajak Yang Tidak Membayar Pajak

Kendaraan Bermotor Pada Masa Pandemi Covid-19 Di Kantor Samsat

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Penegakan Hukum Terhadap Wajib Pajak yang Tidak

Membayar Pajak Kendaraan Bermotor Pada Masa Pandemi

Covid- 19 Di Kantor Samsat Pemerintah Provinsi Sumatera

Barat?

2. Apa Tindak Lanjut Setelah Pengenaan Sanksi Administrasi

Terhadap Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor Pada Masa

Pandemi Covid-19 Di Kantor Samsat Provinsi Sumatera Barat?

11
C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui Penegakan Hukum Terhadap Wajib Pajak

yang Tidak Membayar Pajak Kendaraan Bermotor Pada Masa

Pandemi Covid-19 Di Kantor Samsat Pemerintah Provinsi

Sumatera Barat

2. Untuk mengetahui Tindak Lanjut Setelah Pengenaan Sanksi

Administrasi Terhadap Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor

Pada Masa Pandemi Covid-19 Di Kantor Samsat Provinsi

Sumatera Barat

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

wawasan keilmuan bagi pengembangan ilmu hukum khususnya

dalam Hukum Adminstrasi Negara mengenai pelaksaan

pemungutan pajak kendaraan bermotor dan penegakan hukum

terhadap wajib pajak yang tidak membayar pajak kendaraan

bermotor pada masa pandemi covid-19.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan serta

gambaran mengenai kualitas dan penegakan hukum dalam hal

ini pelaksanaan pemungutan pajak kendaraan bermotor yang

12
saat ini sudah berlangsung di Indonesia, dengan harapan agar

13
Pemerintah dapat memperbaiki serta meningkatkan kualitas

pemungutan pajak kendaraan bermotor saat ini agar dapat

dilaksanakan lebih dari sebelumnya.

b. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi

peneliti lain dalam penelitian di masa datang.

E. Tinjauan Pustaka

A. Tinjauan Tentang Penegakan Hukum

1. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan

ide- ide dan konsep-konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi

kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang

melibatkan banyak hal.6 Menurut Soerjono Soekanto, penegakan

hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

terjabarkan didalam kaidah

Tinjauan Umum Tentang Pajak kaidah/pandangan nilai

yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian

penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu

mempunyai arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, proses

penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap

hubungan hukum. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya

6
Shant Dellyana, 1988, Konsep Penegakan Hukum, Yogyakarta: Liberty, hlm. 32.

14
diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk

menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan

sebagaimana seharusnya. Sedangkan Pengertian penegakan hukum

itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi

hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna

yang luas dan sempit. Dalam arti luas, menegakan hukum itu

mencakup pula nilai- nilai keadilan yang terkandung di dalamnya

bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam

masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya

menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum (law


enforcement) menghendaki empat syarat, yaitu7:
1. Adanya aturan,
2. Adanya lembaga yang akan menjalankan peraturan itu,
3. Adanya fasilitas untuk mendukung pelaksanaan peraturan
itu,
4. Adanya kesadaran hukum dari masyarakat yang terkena
peraturan itu.
Dalam perpajakan upaya penegakan hukum yang dilakukan

merupakan suatu usaha untuk menunjukkan ide-ide tentang

keadilan (filosofis), kepastian (yuridis), dan kemanfaatan sosial

(sosiologis). Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan

hakikat dari penegakan hukum dibidang perpajakan. Hakikat

penegakan hukum itu sendiri sebenarnya terletak pada kegiatan

menyerasikan hubungan

7
Soerjono Soekanto, 1986, Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:
Rajawali Press, hlm. 3.
15
nilai-nilai yang terjabar dalam kaidah-kaidah yang mantap dan

mengejewantah dalam sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran

nilai-nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.8 Oleh karena itu,

institusi formal yang diberi mandat untuk mengelola permasalahan

hukum dibidang pajak secara eksternal, menjadi andalan

masyarakat dan bahkan harapan terakhir bagi mereka yang mencari

keadilan melalui tegaknya hukum adalah Pengadilan Pajak. Dimana

pengadilan pajak ini berfungsi sebagai penegak hukum pajak serta

sebagai instrumen perlindungan hukum bagi rakyat selaku wajib

pajak ketika berhadapan dengan fiskus.

2. Teori - Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk

mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan

sosial menjadi kenyataan. Jadi penegakan hukum pada hakikatnya

adalah proses perwujudan ide-ide. Menurut Soerjono Soekanto, teori

penegakan hukum terdiri dari :9

a. Teori Efektivitas

Hukum sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap

tindak atau perilaku yang pantas. Metode berpikir yang

8
Ibid., hlm. 4.
9
Soerjono Soekanto, 2004, Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Cetakan
Kelima, Jakarta: Raja Grafindo, hlm. 40.

16
dipergunakan adalah metode deduktif-rasional, sehingga

menimbulkan jalan pikiran yang dogmatis. Di lain pihak ada yang

memandang hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang

teratur. Metode berpikir yang digunakan adalah induktif-empiris,

sehingga hukum itu dilihatnya sebagai tindak yang diulang-ulang

dalam bentuk yang sama, yang mempunyai tujuan tertentu.

Efektivitas hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat

diketahui apabila seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah

hukum berhasil atau gagal mencapai tujuanya, maka hal itu

biasanya diketahui apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap

tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai dengan tujuannya

atau tidak. Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto

adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5

(lima) faktor, yaitu:

1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang)

Menurut Soerjano Soekanto ukuran efektivitas dalam


faktor Hukum yaitu10:
a. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang
kehidupan tertentu sudah cukup sistematis,
b. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang
kehidupan tertentu sudah cukup sinkron, secara
hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan,
c. Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-
peraturan yang mengatur bidang-bidang
kehidupan tertentu sudah mencukupi:
d. Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah
sesuai dengan ketentuan yuridis yang ada.
2. Faktor penegak hukum

10
Ibid., hlm. 42.
17
Yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum. Menurut Soerjano Soekanto bahwa

masalah yang berpengaruh terhadap efektivitas hukum

tertulis ditinjau dari segi aparat akan tergantung pada hal

berikut:

a. Sampai sejauh mana petugas terikat oleh

peraturan-peraturan yang ada

b. Sampai batas mana petugas diperkenankan

memberikan kebijaksanaan

c. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan

oleh petugas kepada masyarakat

d. Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi

penugasan-penugasan yang diberikan kepada

petugas sehingga memberikan batas batas yang

tegas pada wewenangnya.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan

hukum patokan efektifitas dari prasarana dimana

prasarana tersebut baru secara jelas memang menjadi

bagian yang memberikan kontribusi untuk kelancaran

tugas-tugas aparat ditempat atau lokasi kerjanya.

Adapun elemen elemen tersebut adalah:

a. Prasarana yang telah ada apakah terpelihara

dengan baik,

18
b. Prasarana yang belum ada perlu diadakan

dengan memperhitungkan angka waktu

pengadaannya,

c. Prasarana yang kurang perlu segera dilengkapi,

d. Prasarana yang rusak perlu diperbaiki,

e. Prasarana yang macet perlu segera dilancarkan

fungsinya,

f. Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi

perlu ditingkatkan lagi fungsinya.

Elemen-elemen diatas tersedianya fasilitas yang

berwujud sarana dan prasarana bagi aparat pelaksana di

dalam melakukan tugasnya. Sarana dan prasarana yang

dimaksud adalah prasarana atau fasilitas yang

digunakan sebagai alat untuk mencapai efektivitas

hukum.

4. Faktor masyarakat

Faktor masyarakat merupakan lingkungan dimana

hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Ada beberapa

elemen pengukur efektivitas yang tergantung dari

kondisi masyarakat, yaitu :

a. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi

aturan walaupun peraturan yang baik,

b. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi

19
peraturan walaupun peraturan sangat baik dan

20
aparat sudah sangat berwibawa, dan

c. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi

peraturan baik petugas atau aparat berwibawa

serta fasilitas mencukupi.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan

rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam

pergaulan hidup.

Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh

karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga

merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum.

b. Teori Kesadaran Hukum

Kesadaran hukum yang tinggi mengakibatkan warga

masyarakat mematuhi ketentuan hukum yang berlaku.

Sebaliknya, apabila kesadaran hukum sangat rendah, maka derajat

kepatuhan terhadap hukum juga tidak tinggi. Indikator-indikator

dari kesadaran hukum sebenarnya merupakan petunjuk yang

relatif kongkrit tentang taraf kesadaran hukum. Indikator-

indikator dari kesadaran hukum itu menurut Soerjono Soekanto,

yaitu:

1. Pengaturan tentang hukum

2. Pengetahuan tentang isi hukum

3. Pola perilaku hukum

c. Teori Kebudayaan Khusus (Subcultural)


21
Teori ini mencoba melihat kaitan antara kebudayaan dan

kepribadian dalam ruang lingkup yang lebih sempit, yaitu

kebudayaan khusus (subcultural). Ada beberapa tipe kebudayaan

khusus menurut Soerjono Soekanto, yaitu :

1. Kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan

2. Cara hidup di kota dan di desa yang berbeda

3. Kebudayaan khusus kelas sosial

4. Kebudayaan khusus atas dasar agama

5. Kebudayaan khusus atas dasar pekerjaan atau keahlian

kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai

yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang

merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang

dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Pasangan

nilai yang berperan dalam hukum menurut Soerjono

Soekanto adalah sebagai berikut:

1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.

2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.

3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai

kebaruan/inovatisme.

B. Tinjauan Tentang Kewenangan

1. Pengertian Kewenangan

Secara etimologi kewenangan merupakan kekuasaan

(macht). Namun wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan

22
kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat

dan tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak

dan kewajiban (rechten en plichten). 11

Dalam negara hukum, wewenang itu berasal dari peraturan

perundang-undangan yang berlaku. R.J.H.M. Huisman menyatakan

pendapat berikut ini “Organ pemerintah tidak dapat menganggap

bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Kewenangan

hanya diberikan oleh undang-undang. Pembuat undang-undang dapat

memberikan wewenang pemerintahan tidak hanya kepada organ

pemerintahan, tetapi juga terhadap para pegawai, atau terhadap

badan hukum khusus atau bahkan terhadap badan hukum privat”.12

Ferrazi mendefinisikan kewenangan sebagai hak untuk

menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi

pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi),

dan pengawasan (supervise) atau suatu urusan tertentu.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata

wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang diartikan

sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat

keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggungjawab kepada

orang/badan lain. Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa

hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya

menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum

11
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 101.
12
Ibid., hlm. 103.

23
wewenang berarti hak dan kewajiban. Wewenang dalam kaitan

dengan otonomi daerah, maka memiliki pengertian kekuasaan

memgatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen).13

Dalam hal wewenang yang berkaitan dengan kekuasaan,

Suwoto Mulyosudarmo berpendapat bahwa dalam sistem pembagian

kekuasaan berlaku suatu prinsip bahwa setiap kekuasaan wajib

dipertanggungjawabkan. Pada dasarnya pemberian kekuasaan dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu:14

1. Perolehan secara atributif, menyebabkan terjadinya

pembentukan kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang

belum ada menjadi ada. Kekuasaan yang timbul karena

pembentukan secara atributif bersifat asli dan

menyebabkan adanya kekuasaan baru.

2. Perolehan secara derivatif, yakni pelimpahan kuasa,

karena dari kekuasaan yang telah ada dialihkan kepada

pihak lain. Dengan demikian, pelimpahan kekuasaan ini

adalah pelimpahan kekuasaan yang diturunkan.

Menurut pasal 1 angka 5 UU No.30 Tahun 2014,

menyatakan bahwa: “Wewenang adalah hak untuk dimiliki oleh

badan dan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara

lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam

13
Kamal Hidjaz, 2010, Efektifitas Penyelenggaraan Kewenangan dalam Sistem Pemerintahan di
Indonesia, Makassar: Pustaka Refleksi, hlm. 35.
14
Ibid., hlm. 36-37.

24
penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan menurut pasal 1 angka 6

menyatakan bahwa “Kewenangan pemerintahan yang selanjutnya

disebut kewenangan adalah kekuasaan badan dan/atau pejabat

pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak

dalam ranah hukum publik”.

2. Sumber Kewenangan

Seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas

legalitas tersirat makna bahwa wewenang pemerintahan berasal dari

peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi

pemerintah adalah peraturan perundang-undangan.15

Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2014, sumber

kewenangan terdiri atas :

1. Atribusi
Atribusi adalah pemberian kewenangan kepada
badan dan/atau pejabat pemerintahan oleh UUD 1945
atau UU ( Pasal 1 angka 22).
2. Delegasi
Delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari badan
dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada
badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah
dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih
sepenuhnya kepada penerima delegasi (Pasal 1 angka
23)
3. Mandat
Mandat adalah pelimpahan kewenangan dari badan
dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih tinggi
kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang
lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung
gugat tetap berada pada pemberi mandat (Pasal 1
angka 24).
Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan

15
Ibid., hlm. 103.

25
perundang-undangan diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi,

delegasi, dan mandat.

Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan

wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada, dengan

tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang

didistribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang

(atributaris). Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, yang ada

hanya pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat

lainnya. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi

delegasi (delegans), tetapi beralih pada penerima delegasi

(delegataris). Sementara pada mandat, penerima mandat (mandataris)

hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans),

tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap

berada pada mandans. hal itu karena dasarnya, penerima mandat ini

bukan pihak lain dari pemberi mandat.

3. Sifat Kewenangan

Dalam kepustakaan terdapat pembagian mengenai sifat

wewenang pemerintahan, yaitu bersifat terikat, fakultatif, dan bebas,

terutama dalam kaitannya dengan kewenangan pembuatan dan

penerbitan keputusan-keputusan (besluiten) badan ketetapan-

ketetapan (beschikkingen) oleh organ pemerintahan sehingga

dikenaladanya keputusan atau ketetapan yang bersifat terikat dan

26
bebas.16 Indroharto mengatakan sebagai berikut:17

1. Wewenang pemerintahan yang bersifat terikat


Yakni terjadi apabila peraturan dasarnya
menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana
wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan
dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dari
keputusan yang harus diambil.
2. Wewenang fakultatif
Yakni terjadi dalam hal badan atau pejabat tata
usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan
wewenang nya atau sedikit banyak masih ada pilihan,
sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-
hal atau keadaan keadaan tertentu sebagaimana ditentukan
dalam peraturan dasarnya.
3. Wewenang bebas
Yakni terjadi ketika peraturan dasarnya memberi
kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara
untuk menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan
yang akan dikeluarkan atau peraturan dasarnya
memberikan ruang lingkup kebebasan kepada pejabat
tata usaha negara yang bersangkutan.
4. Tugas dan Kewenangan Samsat

Secara kelembagaan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD)

pelayanan pendapatan daerah berada dibawah Dinas Pendapatan

Daerah Provinsi Sumatera Barat. Pelaksanaan pelayanan terhadap

PKB dan BBN-KB yang dikelola pada UPTD dilaksanakan melalui

Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap yang dikenal dengan

SAMSAT.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 5

Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Sistem Administrasi

Manunggal Satu Atap Kendaraan Bermotor, Sistem Administrasi

Manunggal Satu Atap yang selanjutnya disebut Samsat adalah

16
Ridwan HR, loc.cit.
17
Ibid., hlm. 111.

27
serangkaian kegiatan dalam penyelenggaraan Registrasi dan

Identifikasi Kendaraan Bermotor, pembayaran Pajak Kendaraan

Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan pembayaran

Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

secara terintegrasi dan terkoordinasi dalam Kantor Bersama Samsat.

Samsat bertujuan memberikan pelayanan Registrasi dan Identifikasi

Kendaraan Bermotor, pembayaran pajak atas kendaraan bermotor,

dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan secara terintegrasi dan terkoordinasi dengan cepat, tepat,

transparan, akuntabel, dan informatif.

Adapun tugas dari organisasi samsat yang sebagaimana

diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang

Penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap

Kendaraan Bermotor menyebutkan bahwa pelaksanaan pemberi

pelayanan kepada masyarakat yaitu sebagai berikut:

a. Pembina Samsat mempunyai tugas:

1. mengawasi pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan


kriteria yang dilakukan pelaksana Samsat;
2. memberikan pertimbangan/usulan tentang penetapan
standar pelayanan kepada Pembina Samsat tingkat
nasional;
3. memberikan bimbingan, pelatihan dan bantuan teknis
kepada Pelaksana Samsat;
4. melakukan supervisi, analisis dan evaluasi terhadap
penyelenggaraan pelayanan Samsat; dan
5. menyampaikan laporan kegiatan pelaksanaan Samsat
setiap tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan
kepada Pembina Samsat tingkat nasional.
b. Koordinator samsat terbagi atas 2 (dua) yaitu Koordinator

28
Kantor Bersama Samsat untuk seluruh wilayah hukum

Kepolisian Daerah dan Koordinator pada setiap Kantor

Bersama Samsat di wilayah hukum Kepolisian Resor. Yang

masing-masingnya mempunyai tugas:

1. Koordinator Kantor Bersama Samsat untuk seluruh

wilayah hukum Kepolisian Daerah memiliki tugas:

a. Mengoordinasikan perencanaan, pengendalian,


pengawasan, dan evaluasi kegiatan
penyelenggaraan Samsat yang berada di wilayah
hukum Kepolisian Daerah;
b. memfasilitasi dan/atau menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi dalam
penyelenggaraan Samsat di wilayah hukum
Kepolisian Daerah;
c. mengoordinasikan pengelolaan sistem informasi
dan komunikasi antar Kantor Bersama Samsat;
dan
d. menerima laporan penyelenggaraan pelayanan
Samsat secara periodik setiap bulan dari Kantor
Bersama Samsat.
2. Koordinator pada setiap Kantor Bersama Samsat di

wilayah hukum Kepolisian Resor memiliki tugas:

a. mengoordinasikan perencanaan, pengendalian,


pengawasan, dan evaluasi kegiatan
penyelenggaraan tugas Kantor Bersama Samsat;
b. memfasilitasi dan/atau menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi dalam
penyelenggaraan tugas Kantor Bersama Samsat;
c. mengoordinasikan pengelolaan sistem informasi
dan komunikasi di lingkungan Kantor Bersama
Samsat;
d. mengoordinasikan pengaturan tata ruang Kantor
Bersama Samsat;
e. menerima laporan secara periodik setiap bulan
dari unsur pelaksana Samsat;
f. melaksanakan evaluasi pelayanan Samsat; dan
g. melaporkan penyelenggaraan pelayanan Samsat
kepada koordinator Samsat

29
Koordinator Samsat juga melakukan pengawasan

dan pengendalian atas penyelenggaraan pelayanan

Samsat. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan

Samsat dilaksanakan dalam bentuk:

a. pemantauan;

b. pemberian petunjuk dan arahan tertulis;

c. supervisi dan/atau asistensi;

d. analisis dan evaluasi; dan/atau

e. pelaporan, dengan memuat:

a) pendahuluan;

b) pelaksanaan;

c) hasil yang dicapai; dan

d) penutup

Dalam pelaksanaan operasional mempunyai

kewenangan sebagaimana yang tercantum

dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2015

tentang Penyelenggaraan Sistem Administrasi

Manunggal Satu Atap Kendaraan Bermotor

yaitu:

a. Melakukan pendaftaran dan penetapan,


penagihan dan pelaporan pendapatan
daerah
b. Melakukan penatausahaan pemungutan
pendapatan daerah
c. Memberikan pelayanan kepada
masyarakat

30
C. Tinjauan Tentang Pajak Kendaraan Bermotor

1. Pengertian Pajak dan Pengaturan Pajak

1.1 Pengertian Pajak

Definisi atau pengertian pajak terdapat dalam Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang. Pasal 1 angka 1

menyebutkan: Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang

terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan

imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara

bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut para ahli, pengertian pajak adalah :

1. Rochmat Soemitro18:

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara

berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan

tiada mendapat jasa (kontraprestasi) yang langsung dapat

ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran

18
Bohari, 2010, Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 22

31
umum.

Dari definisi tersebut, pajak memiliki unsur-unsur :

a. Iuran dari rakyat kepada Negara


Yang berhak memungut pajak hanyalah Negara.
Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
b. Berdasarkan undang-undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan
undang-undang serta iuran pelaksanannya.
c. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari Negara
yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam
pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara,
yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat
bagi masyarakat lain.
2. P. JA. Adriani 19:

Pajak adalah iuran kepada Negara yang terhutang

oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan,

dengan tidak dapat melakukan prestasi kembali dapat

ditunjuk secara langsung dan berguna untuk membiayai

pengeluaran- pengeluaran umum berhubung dengan tugas

Negara untuk menyelenggrakan pemerintahan.

3. Soeparman Soemohamijaya 20:

Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang

yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma

hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa

kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

19
Ibid., hlm. 23.
20
Ibid., hlm. 24.

32
4. Djajadiningrat 21

Pajak sebagai suatu kewajiban untuk menyerahkan

sebagian kekayaan negara karena suatu keadaan, kejadian,

dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu.

Pungutan tersebut bukan sebagai hukuman, tetapi menurut

peraturan- peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat

dipaksakan. Untuk itu, tidak ada jasa balik dari negara secara

langsung, misalnya untuk memelihara kesejahteraan umum.

5. Cort van der Linden 22:

Pajak adalah setiap sumbangan yang terutang pada

keuangan umum yang tidak bergantung kepada suatu jasa

khusus dari penguasa.

6. M.H Smeets 23:

Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang

terhutang menurut norma-norma umum dan yang dapat

dipaksakannya, tanpa adanya kontra prestasi yang

ditunjukkan dalam hal individual, maksudnya untuk

membiayai pengeluaran pemerintah.

1.2 Fungsi Pajak

21
Ibid., hlm. 24.
22
Sudarsono, 1994, Aturan Bea Materai dan Kebijaksanaan Pajak, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 1.
23
Ibid., hlm. 1.

33
Terdapat dua fungsi pajak yaitu fungsi budgeter dan fungsi

regulerend sebagai berikut24 :

1. Fungsi budgeter adalah sebagai sumber pemasukan kas


negara dengan tujuan dalam rangka membiayai pengeluaran
negara dalam hal pengeluaran rutin maupun pembangunan.
2. Fungsi regulerend adalah fungsi yang mengatur sebagai alat
untuk mencapai tujuan tertentu dalam bidang keuangan, misal
ekonomi, politik, budaya, pertahanan keamanan. Diantaranya
terkait dengan mengadakan perubahan tarif ataupun
memberikan pengecualian berupa keringanan yang ditujukan
pada masalah tertentu. Fungsi ini dapat juga dikatakan
sebagai fungsi tambahan atas fungsi utama karena
didalamnya terdapat kaitan dengan pemungutan Pajak
Penjualan Barang Mewah oleh pemerintah dalam rangka
mengatur konsumsi masyarakat.
1.3 Pengaturan Pajak

Dasar dari pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia

dituai dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yaitu “Segala pajak

untuk keperluan Negara berdasarkan undang-undang. Jadi,

setiap pajak yang dipungut pemerintah harus berdasarkan

undang- undang dan undang-undang tersebut harus disetujui

DPR.

Kemudian dasar hukum pajak positif berlaku di Indonesia

berupa peraturan perundang-undangan, yaitu :

1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang

Penagihan Pajak dan Surat Paksa

2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang

Pengadilan Pajak sebagai Pengganti Undang-Undang

Dhimam Zidny Siradj, Mei 2011, Kebijakan Insentif Pajak Kendaraan Bermotor Selama Masa
24

Pandemi Corona Virus Disease 2019, Vol 4 No.3, hlm. 936.


34
Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian

Sengketa Pajak

3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan

Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Menjadi Undang-Undang

4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997

tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta

Kerja

6. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia

Nomor 184/PMK.03/2015 tentang Perubahan Atas

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013

tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak

2. Pengertian Pajak Kendaraan Bermotor dan Pengaturan

2.1 Pengertian Pajak Kendaraan Bermotor

Didalam Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 35

Tahun 2020 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak

Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

Pasal 1 angka 5, Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan

35
beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis

jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor

atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu

sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan

bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-

alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor

dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor

yang dioperasikan di air.

Sedangkan Pajak Kendaraan Bermotor, yang selanjutnya

disingkat PKB tercantum dalam Peraturan Gubernur Sumatera

Barat Nomor 35 Tahun 2020 tentang Penghitungan Dasar

Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama

Kendaraan Bermotor Pasal 1 angka 9 adalah pajak atas

kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.

Pertama kali jenis Pajak Kendaraan Bermotor lahir adalah

saat diadakannya Pajak Rumah Tangga, dua diantaranya adalah

mengenai jumlah dan macam sepeda motor serta jumlah dan

macam mobil. Akan tetapi sejak ordonansi Pajak Kendaraan

Bermotor Tahun 1934 diundangkan maka hampir semua objek

atas kendaraan bermotor yang ada diambil alih oleh Ordonasi

Pajak Kendaraan Bermotor. 25

Samudra Azhari, 2005, Perpajakan di Indonesia: Keuangan Pajak dan Retribusi, Jakarta: PT.
25

Gramedia Pustaka Utama, hlm. 147-148.

36
2.2 Pengaturan Pajak Kendaraan Bermotor

1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah:

2. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang

Penyelenggaraan Samsat Kendaraan Bermotor,

3. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak

Daerah,

4. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun

2018 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah

Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun 2011 tentang

Pajak Daerah

5. Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 14 tahun 2019

tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Gubernur

Sumatera Barat Nomor 56 Tahun 2011 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor Dan

Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Nomor

6. Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 35 Tahun 2020

tentang Petunjuk Perhitungan Dasar Pengenaan Pajak

Kendaraan Bermotor Dan Bea Balik Nama Kendaraan

Bermotor

3. Subjek dan Objek Pajak Kendaraan Bermotor

3.1 Subjek Pajak Kendaraan Bermotor

Subjek Kendaraan Bermotor sebagaimana diatur dalam

37
Pasal 5 Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun 2011

tentang Pajak Daerah menyebutkan bahwa Subjek Kendaraan

Bermotor adalah Orang Pribadi atau Badan Hukum yang

memiliki atau menguasai kendaraan bermotor. Kepemilikan

kendaraan bermotor adalah kepemilkan sepenuhnya kendaraan

bermotor atas nama orang pribadi atau badan sesuai dengan

nama, alamat yang tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk atau

idenitas lainnya yang sah. Sedangkan menguasai mengandung

arti penguasaan kendaraan bermotor yang melebihi 12 (dua

belas) bulan dianggap sebagian penyerahan, kecuali apabila

penguasaan itu terjadi karena perjanjian sewa termasuk leasing.

Kewajiban membayar Pajak Kendaraan Bermotor terletak

pada orang pribadi yang bersangkutan atau kuasa atau ahli

warisnya dan apabila wajib pajaknya berupa badan maka yang

bertanggung jawab adalah pengurus atau kuasanya.26

3.2 Objek Pajak Kendaraan Bermotor

Objek Pajak Kendaran Bermotor adalah kepemilikan

dan/atau penguasaan kendaraan bermotor sebagaimana yang

telah diatur dalam Pasal 4 Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang

Pajak Daerah. Kendaraan Bermotor merupakan semua

kendaraan beroda beserta gandengannya yang dioperasikan di

semua jenis

Panca Kurniawan dan Agus Purwanto, 2004, Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Di Indonesia,
26

Malang: Bayumedia Publishing, hlm. 35.


38
jalan darat,termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang

dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak

melekat secara permanen dan kendaraan bermotor yang

dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (lima Gross

Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage). Yang

dikecualikan dari maksud kendaraan bermotor sebagaimana

yang disebutkan didalam pasal 2 Peraturan Gubernur Sumatera

Barat Nomor 56 tahun 2011 yaitu:

a. Kereta api,
b. Kendaraan bermotor yang semata-mata digunakan
untuk keperluan pertahanan keamanan Negara,
c. Kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau
dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan lembaga
Negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-
lembaga internasional yang memperoleh fasilitas
pembebasan Pajak oleh Pemerintah, dan
d. Kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai
oleh pabrikan atau importer yang semata-mata
disediakan untuk keperluan pameran tidak untuk dijual.
4. Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor

Didalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengatur

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan bahwa

Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil perkalian

dari dua unsur pokok, yaitu:

a. Nilai Jual Kendaraan Bermotor(NJKB) Nilai Jual

Kendaraan Bermotor diperoleh berdasarkan Harga Pasaran

Umum (HPU) atas suatu kendaraan bermotor. HPU adalah

harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data

yang

39
akurat. Nilai Jual Kendaraan Bemotor ditetapkan

berdasarkan HPU pada minggu pertama bulan Desember

pada Tahun pajak sebelumnya. Didalam Pasal 5 ayat (7)

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan bahwa NJKB

dapat ditentukan berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut:

a. Harga kendaraan bermotor dengan isi silinder


dan/atau satuan tenaga yang sama,
b. Penggunaan kendaraan bermotor untuk umum atau
pribadi
c. Harga kendaraan bermotor dengan merek
kendaraan bermotor yang sama,
d. Harga kendaraan bermotor dengan tahun pembuatan
yang sama,
e. Harga kendaraan bermotor dengan pembuat
kendaraan bermotor,
f. Harga kendaraan bermotor dengan kendaraan
bermotor sejenisnya, dan
g. Harga kendaraan bermotor berdasarkan dokumen -
dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
Dasar pengenaan pajak khusus untuk Kendaraan

Bermotor yang digunakan di luar jalan umum, termasuk

alat- alat berat dan alat-alat besar serta kendaraan di air,

adalah NJKB. Adapun nilai jual kendaraan bermotor dan

bobot tersebut didasarkan kepada Keputusan Gubenur

Kepala Daerah dengan berpedoman kepada tabel yang

ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri, tetapi apabila dasar

pengenaan pajak tersebut belum tercantum didalam tabel

maka dasar pengenaan pajak diatur dengan Keputusan

Gubernur Kepala Daerah yang kemudian dilaporkan kepada

Menteri Dalam

40
Negeri.

b. Bobot

Bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat

kerusakan jalan dan/atau pencemaran di lingkungan akibat

penggunaan kendaraan bermotor. Sedangkan yang dimaksud

dengan bobot adalah daya berat atau daya angkut kendaraan

bermotor yang diukur berdasarkan faktor-faktor yang

sebagaimana disebutkan didalam Pasal 5 ayat (8) Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah, yaitu:

a. Tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah


sumbu/as, roda dan berat kendaraan bermotor
b. Jenis bahan bakar kendaraan bermotor yang
dibedakan menurut solar, bensin, gas, listrik tenaga
surya atau jenis bahan bakar lainnya
c. Jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri
kendaraan bermotor yang dibedakan berdasarkan
jenis mesin 2 (dua) tak atau 4 (empat) tak, dan isi
silinder.
Dari perhitungan faktor tersebut diatur lebih lanjut

dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 5 ayat

(3), bobot dinyatakan dalam koefisien yang nilainya 1 (satu)

atau lebih besar dari 1 (satu), dengan maksud pengertian:

1. Koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan


jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh
kendaraan bermotor tersebut dianggap masih
dalam batas toleransi, dan
2. Koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti penggunan
kendaraan bermotor tersebut dianggap melewati

41
batas toleransi.
5. Tata Cara Pendaftaran, Pembayaran dan Penagihan Pajak

Kendaraan Bermotor

5.1 Pendaftaran Pajak Kendaraan Bermotor

Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan kendaraan

bermotor dengan mengisi Surat Pendataan dan Pendaftaran

Kendaraan Bermotor (SPPKB) yang disediakan pada Kantor

Samsat. SPPKB sebagaimana yang dimaksud harus diisi dengan

jelas, benar dan lengkap sesuai data kendaraan bermotor, yang

meliputi Nama, Alamat Pemilik dan Nomor Polisi, Jenis, Type,

Tahun Pembuatan dan cc kendaraan bermotor dan dilengkapi

dengan KTP/SIM/Kartu Keluarga/Paspor pada formulir SPPKB.

Tata Cara Pendaftaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) ini

diatur didalam Bab IV Pasal 13 Peraturan Gubernur Sumatera

Barat Nomor 56 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor Dan Bea Balik Nama

Kendaraan Bermotor. Pendaftaran PKB disampaikan paling

lambat:

a. 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal faktur untuk kendaraan


baru,
b. Sampai dengan berakhirnya masa pajak untuk kendaraan
bukan baru,
c. 60 (enam puluh) hari sejak tanggal fiskal untuk
kendaraan Mutasi dari luar Provinsi. Apabila kendaraan
bermotor yang mengalami perubahan bentuk, fungsi
dan/atau penggantian mesin pendaftaran kendaraan
bermotor wajib melaporkan kepada Dinas paling lambat

42
30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat rekomendasi
perubahan bentuk, fungsi dan/atau penggantian mesin
dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan Komunikasi Dan
Informasi.
5.2 Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor

Berdasarkan Pasal 15 Peraturan Gubernur Nomor 56 Tahun

2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak

Kendaraan Bermotor Dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

SPPKB diterbitkan Surat Ketetapan Pajak daerah (SKPD) atau

dokumen lainnya yang dipersamakan dimana Pembayaran Pajak

dilakukan sekaligus dan lunas pada saat pendaftaran. SKPD

sebagaimana yang dimaksud berfungsi sebagai bukti

pembayaran pelunasan pajak dan telah divalidasi oleh

Bendahara Penerima Pembantu Unit Pelaksana Teknis Daerah

(UPTD). Bendahara Penerima Pembantu UPTD wajib

menyetorkan penerimaan ke Kas Daerah dalam waktu 1 x 24

jam. Pembayaran PKB dan BBNKB dapat dilakukan pada

Kantor Bersama Samsat, Samsat Corner, Samsat Keliling,

Samsat Drive Thru dengan melakukan pembayaran tunai.

Pembayaran pajak dapat dilakukan dengan menggunakan Surat

Setoran Pajak Daerah (SSPD) atau dokumen lain yang

dipersamakan ke Kas Daerah. Bendahara penerima pembantu

harus membuat pembukuan atas penerimaan dan penyetoran

FKB, BBNKB sesuai peraturan perundang-undangan.

Wajib pajak yang melakukan pembayaran pajak diberikan

43
tanda bukti pelunasan atau pembayaran pajak dan Penning.

Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Setiap Wajib Pajak yang

terlambat menyampaikan SPPKB pada saat pendaftaran,

pembayaran PKB dikenakan sanksi administrasi sebagai berikut

a. Untuk kendaraan bermotor baru roda 4 dan atau lebih


sebesar Rp.100.000, dan roda 2 dan/atau lebih sebesar
Rp.25.000,
b. Untuk pendaftaran kendaraan bukan baru roda 4
dan/atau lebih sebesar Rp.100.000,dan roda 2 dan/atau
lebih sebesar Rp.25.000,untuk jangka waktu paling lama
5 tahun.
Setiap wajib Pajak yang terlambat menyampaikan SPPKB

pada saat pendaftaran untuk setiap pendaftaran pembayaran

BBNKB dikenakan sanksi administrasi sebagaimana diatur

didalam pasal 17 ayat 2 sebagai berikut :

a. Untuk kendaraan bermotor baru roda 4 (empat) sebesar


Rp.1.000.000,
b. Untuk kendaraan bermotor baru roda 2 (dua) sebesar
Rp.250.000,
c. Untuk kendaraan bcrmotor bukan baru roda 4 (empat)
sebesar Rp.100.000,
d. Untuk kendaraan bermotor bukan baru roda 2 (dua)
sebesar Rp.25.000,
Keterlambatan pembayaran pajak terhutang setelah jatuh

tempo pajak dikenakan sanksi bunga 2 % (dua persen) setiap

bulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan. Keterlambatan

pembayaran 1 (satu) hari dihitung terlambat 1 (satu) bulan.

Pernyataan tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 34

Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 4 Tahun 2011 tentang


44
Pajak

45
Daerah.

5.3 Penagihan Pajak Kendaraan Bermotor

Dalam penagihan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 37 Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun

2011 tentang Pajak Daerah bahwa Gubernur dapat menerbitkan

Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) apabila pajak dalam tahun

berjalan tidak atau kurang dibayar, Pajak yang terutang tidak

dilunasi setelah jatuh tempo pembayaran, gubernur atau pejabat

yang ditunjuk akan melakukan tindakan penagihan pajak.

Penagihan pajak dilakukan terhadap pajak terutang dalam (Surat

Ketetapan Pajak Daerah Kurang bayar (SKPDKB), SKPD,

STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan

Keberatan, dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah

pajak yang harus dibayar bertambah. Penagihan pajak dilakukan

terlebih dahulu memberikan surat peringatan atau surat teguran

atau surat lainnya yang sejenis. Surat peringatan atau surat

teguran atau surat lainnya yang sejenis sekurang-kurangnya

memuat:

a. Nama Wajib Pajak atau nama Subjek Pajak dan

Penanggung Pajak

b. Besarnya utang pajak

c. Perintah untuk membayar dan

d. Saat pelunasan utang pajak.

46
6. Tarif dan Dasar Perhitungan Pajak Kendaraan Bermotor

6.1 Perhitungan Pajak Kendaraan Bermotor

Besarnya pokok pajak kendaraan bermotor yang terutang

dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar

pengenaan pajak.27 Secara umum, perhitungan PKB adalah

sesuai dengan rumus :

Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak

= Tarif Pajak x (NJKB x Bobot)

Ket :

NJKB : Nilai Jual Kendaraan

6.2 Tarif Pajak Kendaraan Bermotor

Tarif Pajak Kendaraan Bermotor berlaku sama pada setiap

Provinsi yang memungut Pajak Kendaraan Bermotor. Tarif

Pajak Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan

Gubernur. Sesuai Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2018

tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Gubernur Nomor 56

Tahun 2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak

Kendaraan Bermotor Dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

tercantum dalam Pasal 8 tarif Pajak Kendaraan Bermotor dibagi

menjadi 2 kelompok yaitu Tarif PKB dan Tarif Pajak Progresif

27
Marihot Pahala Siahaan, 2010, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta: Rajawali Pers,
hlm.186.

47
untuk kendaraan roda 2, roda 3, dan roda 4 sebagai berikut:

Tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:

a. 1,65 % untuk kendaraan bermotor pribadi/bukan umum.


b. 1% untuk kendaraan umum.
c. 0,5 % untuk kendaraan bermotor ambulance, pemadam
kebakaran, lembaga sosial keagamaan dan
Pemerintah/Pemerintah Daerah, TNI dan Polri.
d. 0,2 % untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-
alat besar
Tarif Pajak Progresif unutk kendaraan bermotor roda 2,

roda 3, dan roda 4 atau lebih sebagai berikut:

a. Kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua sebesar 2,5%


b. Kepemilikan Kendaraan Bermotor ketiga sebesar 3%
c. Kepemilikan Kendaraan Bermotor keempat sebesar 3,5%
d. Kepemilikan Kendaraan Bermotor kelima dan seterusnya
sebesar 4%
D. Tinjauan Tentang Sanksi Administrasi

1. Pengertian Sanksi Administrasi

Sanksi dalam hukum administrasi yaitu alat kekuasaan yang

bersifat hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah

sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat

dalam norma administrasi negara. Berdasarkan definisi ini tampak

ada empat unsur sanksi dalam hukum administrasi negara, yaitu alat

kekuasaan (machtmiddelen), bersifat hukum publik

(publiekrechtelijke), digunakan oleh pemerintah (overhead), sebagai

reaksi atas ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving).28

28
Ridwan HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, hlm. 235.

48
Sanksi Administrasi terdiri dari dua kata yaitu Sanksi dan

Administrasi. Sanksi merupakan tindakan paksaan atas pelanggaran.

Sedangkan Administrasi terbagi atas dua pengertian, yaitu

administrasi dalam arti luas dan administrasi dalam arti sempit.

Administrasi dalam arti luas adalah kegiatan kerja sama yang

dilakukan sekelompok orang berdasarkan pembagian kerja

sebagaimana ditentukan dalam struktur dengan mendayagunakan

sumber daya untuk mencanai tujuan secara efektif dan efisien. Jadi,

pengertian administrasi dalam arti luas memiliki unsur-unsur

sekeiompok orang, kerja sama, pembagian tugas secara terstruktur,

kegiatan yang runtut dalam proses, tujuan yang akan dicapai, dan

pemanfaatan berbagai sumber. Sedangkan administrasi dalam arti

sempit adalah kegiatan penyusunan dan pencatatan data dan

informasi secara sistematis dengan tujuan untuk menyediakan

keterangan serta memudahkan memperolehnya kembali secara

keseluruhan dan dalam satu hubungan satu sama lain. Administrasi

dalam arti sempit ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai tata

usaha. Dapat disimpulkan Sanksi Administrasi adalah Pengenaan

denda, bunga atau kenaikan atas ketidakpatuhan WP dalam

menjalankan kewajiban administrasi perpajakan. Sanksi administrasi

bukan sebagai penghukum namun mengingatkan WP agar lebih teliti

dan berhati-hati.29 Pengaturan sanksi administrasi perpajakan yang

diatur dalam Undang-Undang

29
https://www.pajak.go.id/id/pemeriksaan-pajak-dan-sanksi-administrasi diakses pada 11 April
2021 pukul 20.11
49
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP)

mengklasifikasikan sanksi adminstrasi dalam perpajakan terbagi

dalam beberapa jenis yaitu sanksi administrasi berupa denda, bunga

dan kenaikan. Sanksi administrasi berupa denda diatur dalam pasal 7

UU KUP, Sanksi Administrasi berupa bunga diatur dalam pasal 8

dan 9 UU KUP dan Sanksi Administrasi berupa kenaikan tercantum

dalam pasal 13 UU KUP.

2. Jenis - Jenis Sanksi Administrasi dalam Hukum Pajak

Dalam ketentuan perpajakan, dikenal dua macam sanksi

pajak: sanksi administrasi dan sanksi pidana. Perbedaan dari kedua

sanksi tersebut adalah bahwa sanksi pidana berakibat pada hukuman

badan Seperti penjara atau kurungan. Pengenaan sanksi pidana

dikenakan terhadap siapapun yang melakukan tindak pidana di

bidang perpajakan. Sedangkan sanksi administrasi berupa bunga,

denda atau kenaikan.

Didalam Sanksi Administrasi dapat berupa:

a. Denda adalah sanksi administrasi yang dikenakan terhadap

pelanggaran yang berkitan dengan kewajiban pelaporan. Sanksi

denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan dalam

UU perpajakan. Terkait besarannya denda dapat ditetapkan

sebesar jumlah tertentu, persentase dari jumlah tertentu, atau

50
suatu angka perkalian dari jumlah tertentu. Pada sejumlah

pelanggaran, sanksi denda ini akan ditambah dengan sanksi

pidana. Pelanggaran yang juga dikenai sanksi pidana ini adalah

pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja.30

b. Bunga adalah sanksi administrasi yang dikenakan terhadap

pelanggaran yang berkaitan dengan kewajiban pembayaran

pajak. Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan atas

pelanggaran yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih

besar. Jumlah bunga dihitung berdasarkan persentase tertentu

dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga itu menjadi

hak/kewajiban sampai dengan saat diterima atau dibayarkan.31

c. Kenaikan adalah sanksi administrsi yang berupa kenaikan

jumlah pajak yang harus dibayar, terhadap pelanggaran

berkaitan dengan kewajiban yang diatur dalam ketentuan

material. Jika melihat bentuknya, bisa jadi sanksi administrasi

berupa kenaikan adalah sanksi yang paling ditakuti oleh wajib

Pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah

pajak yang harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi

berupa kenaikan pada dasarnya dihitung dengan angka

persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak atau kurang

dibayar. Jika dilihat dari penyebabnya, sanksi kenaikan

biasanya dikenakan karena Wajib Pajak tidak memberikan

informasi-

30
Muda Markus, 2005, Perpajakan Indonesia: Suatu Pengantar, Jakarta: PT Gramedia, hlm. 429.
31
Tony Marsyahrul, 2006, Pengantar Perpajakan, Jakarta: PT Grasindo, hlm. 60.
51
informasi yang dibutuhkan dalam menghitung jumlah pajak

terutang.32

E. Tinjauan Tentang Covid-19

1. Pengertian Covid-19

Coronavirus (CoV) adalah keluarga besar dari virus yang

menyebabkan penyakit, mulai dari flu biasa hingga penyakit

pernapasan yang lebih parah, seperti Middle East Respiratory

Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome

(SARS).33

2. Asal Mula Covid-19

Seperti dikutip dari World Health Organization (WHO),

virus Corona berasal dari Coronaviruses (CoV) yang menyebabkan

penyakit mulai dari flu biasa hingga yang lebih parah seperti Middle

East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) dan Severe Acute

Respiratory Syndrome (SARS-CoV). Sedangkan untuk Novel

Coronavirus (nCoV) adalah jenis baru yang belum diidentifikasi

sebelumnya pada manusia. Virus Corona merupakan zoonosis,

artinya ditularkan antara hewan dan manusia. Menurut penyelidikan

yang telah dilakukan, SARS-CoV ditularkan dari kucing luwak atau

yang lebih dikenal dengan musang ke manusia dan MERS-CoV dari

unta ke manusia. Namun beberapa virus Corona juga dikenal

beredar pada

32
Ibid., hlm. 59.
33
https://www.kemkes.go.id/article/view/20030400008/FAQ-Coronavirus.html diakses pada
tanggal 26 Mei 2021 pukul 13.10
52
hewan-hewan yang sebelumnya belum pernah menginfeksi

manusia.34

F. Metode Penelitian

Penelitian pada dasarnya merupakan tahap untuk mencari

kebenaran, sehingga dapat mejawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul

tentang suatu objek penelitian. Seseorang akan yakin bahwa ada

sebabbagi setiap akibat dari gejala yang tampak dan dapat dicari

penjelasan secara ilmiah. Oleh karena itu ditemuan bila dilandasi dengan

bukti-bukti yang nyata dan meyakinkan dan data dikumpulkan melalui

prosedur yang jelas, sistematis, dan terkontrol.35 Untuk mencapain tujuan

dari manfaat penulisan sebagaimana yang telah diterapkan, maka

diperlukan suatu metode yang berfungsi sebagai pedoman dalam

pelaksanaan penulisan tersebut. Metode penelitian ini dilakukan melalui:

1. Pendekatan Masalah

Dalam Penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan

secara yuridis sosiologis yaitu pendekatan yang dilakukan

terhadap norma hukum yang berlaku dihubungkan dengan fakta-

fakta dilapangan.36 Pendekatan yuridis empiris atau sosiologi

hukum adalah pendekatan yang melihat sesuatu kenyataan hukum

di dalam masyarakat atau pendekatan yang digunakan untuk

melihat aspek-aspek hukum dalam interaksi sosial di dalam

masyarakat.

34
https://wolipop.detik.com/health-and-diet/d-4946027/apa-yang-dimaksud-virus-corona-ini-asal-
mula-hingga-gejala-covid-19 diakses pada tanggal 26 Mei 2021 pukul 13.3
35
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 7.
36
Ibid., hlm. 24.
53
Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan penelitian di

lapangan, guna mendapatkan data konkrit terkait menempatkan

aturan hukum (aturan perundang-undangan) sebagai konsep ideal

yang di perbandingkan dengan fakta yang terjadi di lapangan.

2. Sifat Penelitian

Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis.

Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-

sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau

untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan

ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain

dalam masyarakat. Secara deskriptif akan dianalisis objek yang

diteliti, dalam hal ini bagaimana pelaksanaan pemungutan pajak

kendaraan bermotor pada Kantor Samsat ini secara jelas dan

mendalam sehingga dapat memperoleh pemahaman yang baik dan

benar.

3. Jenis Data dan Sumber Data

a. Jenis Data

Adapun jenis data yang digunakan oleh penulis dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung

dari sumber pertama.37 Sumber pertama yang digunakan

untuk memperoleh informasi yang berhubungan dengan

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja
37

Grafindo Persada. hlm 30.


54
permasalahan yang diteliti dilingkungan terkait melalui

wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat langsung

(responden). Data yang dikumpulkan dan dicatat sendiri

oleh peneliti, melalui penelitian lapangan (field research)

dan wawancara yang diperoleh dengan Pihak Samsat

Kepala Kota Padang dan Wajib Pajak.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah sumber data yang menunjang

dan mendukung data primer, antara lain mencakup

dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil

penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.38 Data

sekunder terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan

yang terdiri dari Peraturan Perundang-undangan

yang berkaitan dengan permasalahan dan mengikat

yang ditetapkan oleh pihak berwenang.

Dalam penelitian ini bahan hukum primer diperoleh

melalui:

1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan

Republik Indonesia Tahun 1945

2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang

38
Ibid., hlm. 30.

55
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang

Perubahan Keempat Atas Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum

dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-

Undang

3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18

Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah

4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan

5. Undang-Undang Nomor 9 tahun 2015 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

6. Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2015 tentang

Penyelenggaraan Sistem Administrasi

Manunggal Satu Atap Kendaraan Bermotor

7. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001

tentang Pajak Daerah

8. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia

Nomor 184/PMK.03/2015 tentang Perubahan

Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor

56
17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara

Pemeriksaan Pajak

9. Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 14

tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas

Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 56

Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor Dan

Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

10. Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 8 Tahun

2011 tentang Pajak Daerah

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum

yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal, pendapat

para ahli, kasus-kasus hukum, serta symposium yang

dilakukan pada pakar untuk mengkaji permasalahan

yang telah dirumuskan.

c) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberi

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan sekunder. Bahan ini dapat dari kamus

hukum dan ensiklopedi.

b. Sumber Data

57
1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian Kepustakaan ialah penelitian yang data-data

atau bahan-bahan yang diperlukan dalam menyelesaikan

penelitian berasal dari perpustakaan baik berupa buku,

ensiklopedi, kamus, jurnal, dokumen, majalah, dan

sebagainya.

2. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian Lapangan merupakan metode pengumpulan

data yang tidak memerlukan pengetahuan mendalam akan

literatur yang digunakan dan kemampuan tertentu dari pihak

peneliti.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan

data dengan cara :

a. Studi Dokumen

Studi dokumen adalah metode pengumpulan data

yang dilakukan melalui dokumen-dokumen yang ada serta

juga melalui data tertulis. Dalam hal ini dilakukan guna

memperoleh literatur-literatur yang berhubungan dan

berkaitan dengan judul dan permasalahan yang

dirumuskan.39

b. Wawancara

39
Burhan Ashofa, 2010, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta. hlm 100

58
Wawancara adalah cara untuk memperoleh

informasi dengan bertanya langsung pada yang

diwawancarai. Dimana pada teknik ini, tiap unit atau

individu populasi mempunyai kesempatan atau probabilitas

yang sama untuk menjadi sampel. Penulis melakukan

wawancara secara semi terstruktur denganbeberapa pihak

terkait yaitu Pihak Samsat Kota Padang dan Wajib Pajak.

5. Analisis Data

Metode analisis data yang penulis gunakan dalam penulisan

skripsi ini adalah analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah

suatu metode dan teknik pengumpulan datanya memakai metode

observasi yang berperan serta dengan wawancara terbatas

terhadap beberapa responden. Analisis kualitatif ini ditujukan

terhadap data-data yang sifatnya berdasarkan kualitas, mutu, dan

sifat yang nyata berlaku dalam masyarakat.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih terarahnya tulisan ini, maka penulis membuat

sistematika penulisan yang terdiri dari 4 (empat) bab:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis membuat latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian

dan sistematika penulisan.

59
BAB II : TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dalam bab ini diuraikan tinjauan tentang penegakan hukum,

tinjauan tentang kewenangan, tinjauan tentang pajak kendaraan

bermotor, tinjauan tentang sanksi administrasi, dan tinjauan

tentang pandemi covid-19.

BAB III : PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan analisis hasil

berdasarkan bahan hukum dan data yang diperoleh yaitu

Penegakan Hukum Terhadap Wajib Pajak yang Tidak

Membayar Pajak Kendaraan Bermotor Pada Masa Pandemi

Covid-19 Di Kantor Samsat Provinsi Sumatera Barat dan Tindak

Lanjut Setelah Pengenaan Sanksi Administrasi Terhadap

Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor Pada Masa Pandemi

Covid-19 Di Kantor Samsat Provinsi Sumatera Barat.

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini penulis menarik kesimpulan dan memberikan

saran berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

60
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum,


Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Burhan Ashofa, 2010, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta.

Bohari, 2010, Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Djoko Slamet Surjoputro, 2009, Buku Panduan Hak dan Kewajiban Wajib
Pajak, Jakarta : Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan Humas.

Kamal Hidjaz, 2010, Efektifitas Penyelenggaraan Kewenangan dalam


Sistem Pemerintahan di Indonesia, Makassar: Pustaka Refleksi.

Marihot Pahala Siahaan, 2010, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,


Jakarta: Rajawali Pers.

Muda Markus, 2005, Perpajakan Indonesia: Suatu Pengantar, Jakarta: PT


Gramedia.

Panca Kurniawan dan Agus Purwanto, 2004, Pajak Daerah Dan Retribusi
Daerah Di Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing.

Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers

Safri Nurmantu, 2005, Pengantar Perpajakan (edisi 3), Jakarta: Granist.

Samudra Azhari, 2005, Perpajakan di Indonesia: Keuangan Pajak dan


Retribusi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Shant Dellyana, 1988, Konsep Penegakan Hukum, Yogyakarta: Liberty.

Soerjono Soekanto, 2004, Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan


Hukum Cetakan Kelima, Jakarta: Raja Grafindo.

Sudarsono, 1994, Aturan Bea Materai dan Kebijaksanaan Pajak, Jakarta:


Rineka Cipta.

Tony Marsyahrul, 2006, Pengantar Perpajakan, Jakarta: PT Grasindo.

Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika


B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesua Tahun 1945

Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

61
Keuangan

62
Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah

Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas


Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum Dan Tata Cara Perpajakan

Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan


Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat Atas Undang – Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang


– Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi


Pemerintahan

Undang – Undang Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas


Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah

Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Sistem


Administrasi Manunggal Satu Atap Kendaraan Bermotor

Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor


184/PMK.03/2015 tentang Perubahan Atas PeraturanMenteri
Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara
Pemeriksaan Pajak

Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 14 tahun 2019 tentang


Perubahan Ketiga Atas Peraturan Gubernur Sumatera Barat
Nomor 56 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor Dan Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor

Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 35 Tahun 2020 tentang


Petunjuk Perhitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan
Bermotor Dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun 2018 tentang


Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Provinsi Sumatera
Barat Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah

63
C. Jurnal, Skripsi, dan lain-lain

Christina Irwati Tanan, 2021, Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap


Pajak Kendaraan Bermotor Sebelum dan Masa Covid-19 di
Kota Jayapura, Vol 4, No.1.

Dhuratun Nuskha, Februari 2021, Pengaruh Pemberian Insentif Pajak


Di Tengah Pandemi Corona Terhadap Tingkat Kepatuhan
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Pelaporan Surat
Pemberitahuan (Spt) (Studi Kasus Pada Kpp Malang Utara),
Vol. 10 No. 06.

Dhimam Zidny Siradj, Mei 2011, Kebijakan Insentif Pajak Kendaraan


Bermotor Selama Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019,
Vol 4 No.3.

D. Sumber Lainnya

https://www.pajak.go.id/id/pemeriksaan-pajak-dan-sanksi-administrasi
diakses pada 11 April 2021 pukul 20.11

https://www.kemkes.go.id/article/view/20030400008/FAQ-
Coronavirus.html diakses pada tanggal 26 Mei 2021 pukul
13.10

https://wolipop.detik.com/health-and-diet/d-4946027/apa-yang-
dimaksud-virus-corona-ini-asal-mula-hingga-gejala-covid-19
diakses pada tanggal 26 Mei 2021 pukul 13.30

64

Anda mungkin juga menyukai