Anda di halaman 1dari 23

“KEDUDUKAN BENTUK USAHA TETAP (BUT) SEBAGAI SUBJEK

PAJAK DIHUBUNGKAN DENGAN KONSEP SUBJEK HUKUM”

OLEH:
KELOMPOK 6
SAFA DARAZATI : 2008010045
DINA ROFIKA : 2008010028
NOVI HIKMAWATI : 2008010422
FITRIANA INDAH LESTARI : 2008010090

5A Reguler Malam Banjarmasin


HUKUM PAJAK

DOSEN:
Dr. H Adwin Tista, SH. MH

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN MUHAMMAD ARSYAD


AL BANJARI
BANJARMASIN
2021/2022

1
2
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pajak merupakan sumber penerimaan terbesar Negara, dalam struktur
keuangan Negara tugas dan fungsi penerimaan pajak dijalankan oleh Direktorat
Jenderal Pajak dibawah Departemen Keuangan Republik Indonesia. Dari tahun ke
tahun telah banyak dilakukan berbagai kebijakan untuk meningkatkan penerimaan
pajak sebagai sumber penerimaan Negara. Kebijakan tersebut dapat dilakukan
melalui penyempurnaan undang-undang, penerbitan peraturan perundang-
undangan baru dibidang perpajakan, guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak
maupun menggali sumber hukum pajak. Namun dalam hal ini masih saja banyak
terjadi pengusaha yang menghindarkan diri dari pajak atau dalam arti lainnya
melakukan penyelewengan pajak dimana penghindaran diri dari pajak ini bisa saja
di sebut dengan pelanggaran undang undang dan resikonya dapat merugikan
negara selain itu juga masih banyak terjadi kasus penggelapan pajak yang masih
bisa lolos dari jerat hukum dan mengambang kasusnya dikarenakan aparat
penegak hukum kita tidak tegas dan sungguh-sungguh dalam menegakkan
keadilan malah berusaha menyiasati hukum dengan segala cara tidak lain tidak
bukan tujuannya adalah untuk melindungi tersangka mafia pajak.
Tujuan pemerintah dan tujuan wajib pajak sangat bertentangan mengenai
pembayaran pajak. Tujuan pemerintah adalah untuk memaksimalkan pendapatan
dari sektor pajak sedangkan sebaliknya tujuan wajib pajak adalah ingin
meminimalkan besarnya pajak yang akan dibayarnya. Sekarang ini sistem
pemungutan pajak self assesment yang berlaku di Indonesia memberi kebebasan
wajib pajak untuk menghitung sendiri besaran pajak yang terutang. Sehingga hal
ini memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk dapat meminimalkan
jumlah pajak yang terutang melalui mekanisme perencanaan pajak (Tax
Planning). Perencanaan pajak (tax planning) adalah upaya wajib pajak untuk
meminimalkan pajak terutang melalui cara yang telah jelas diatur dalam peraturan
perpajakan. Terdapat dua jenis perencanaan pajak yang dikenal masyarakat, yaitu
penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggelapan pajak (tax evasion).

3
perbedaan antara penghindaran pajak dan penggelapan pajak terletak pada
kepatuhannya atas peraturan yang sedang berlaku. Penghindaran pajak melakukan
usaha 3 meminimalkan jumlah pajak terutang dengan memanfaatkan celah
peraturan yang ada sehingga dianggap tidak melanggar aturan. Berbeda dengan
penggelapan pajak yang melakukan usaha meminimalkan pajak terutang dengan
menggunakan cara melanggar hukum, misalnya wajib pajak tidak melaporkan
pendapatan yang sebenarnya.
Hukum pajak mempunyai hubungan yang erat dengan hukum perdata,
karena hukum pajak mengambil sasaran pada peristiwa, keadaan dan perbuatan1,
yang berada dalam lapangan hukum perdata baik sebagai subjek pajak maupun
sebagai objek pajak. Pengenaan pajak terhadap Bentuk Usaha Tetap disingkat
(BUT), karena BUT sebagai sasaran yang dikenakan pajak. Pengertian BUT
menurut UU No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, Pasal 2 ayat (5).
BUT sendiri termasuk lapangan hukum keperdataan, demikian juga
hubungan hukum antara BUT dengan pemiliknya termasuk hubungan hukum
keperdataan. Dalam hukum pajak dijelaskan, bahwa yang menjadi subjek pajak
atau Wajib pajak adalah orang dan badan, pengertian badan di sini tidak
disebutkan badan hukum tapi cukup badan saja. Subjek pajak pada dasarnya
adalah sesuatu yang menurut undang-undang pajak dapat diberi hak dan
kewajiban perpajakan. Bahwa dalam dunia ilmu hukum yang menjadi subjek
hukum adalah orang pribadi dan badan hukum, sebagaimana dikemukakan oleh
C.S.T Kansil, bahwa dewasa ini subjek hukum itu terdiri dari : a. Manusia
(natuurlijke person), dan b. badan hukum (recht person). Selain itu unsur-unsur
subjek pajak sebagai pendukung hak dan kewajiban pengaturannya antara
Undang-Undang Pajak.

Hal inilah yang mendorong Peneliti untuk mengangkat judul makalah mengenai “
KEDUDUKAN BENTUK USAHA TETAP (BUT) SEBAGAI SUBJEK PAJAK

1
Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, CV. Andi Offset, Yogyakarta, 2009 hlm 61. Lihat Nandang
Najmudin, Paradigma Baru Hukum Perpajakan Di Indonesia, CV Delta Teknologi, Bandung, Tahun 2012,
hlm192.

4
DIHUBUNGKAN DENGAN KONSEP SUBJEK HUKUM DALAM BIDANG
ILMU HUKUM “

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas dapat diajukan rumusan masalah


sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kepastian hukum kedudukan Bentuk Usaha Tetap (BUT)
sebagai bagian dari subjek pajak apabila terjadi sengketa pajak ?
2. Bagaimana mekanisme pelaksanaan penyelesian sengketa pajak menurut uu
perpajakan ?

C. Tujuan penelitian

1. Untuk menemukan kepastian hukum Bentuk Usaha Tetap sebagai subjek pajak
bila dihubungkan dengan konsep subjek hukum dalam bidang ilmu hukum.
2. Untuk menemukan konsep subjek pajak dalam undang-undang bidang
perpjakan di Indonesia yang sesuai dengan konsep subjek hukum dalam bidang
ilmu hukum.

D. Kegunaan Penelitian

Ada 2 (dua) kegunaan dari hasil penelitian ini antara lain :


1. Secara teoritis, diharapkan dapat memberikan manfaat berupa sumbangan
pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perdata yang
ada kaitannya dengan hukumperpajakan di Indonesia.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi
pihak yang berwenang untuk membuat kebijakan dalam hal ini yakni Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan bidang perpajakan yang sesuai dengan konsep hukum
dalam bidang ilmu hukum.

E. Kajian Pustaka

Definisi Sengketa Pajak menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002


tentang Pengadilan Pajak, "Sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan
kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan,

5
termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa". Lebih lanjut dipertegas bahwa "Dengan
demikian sengketa yang timbul sebelum keluar keputusan Direktorat Jenderal
Pajak dimaksud, seperti sengketa yang terjadi di dalam pemeriksaan misalnya,
tidak dapat dianggap sebagai Sengketa Pajak. Rumusan Sengketa Pajak tidak
mengharuskan adanya penyelesaian di Pengadilan Pajak, tetapi hanya memberi
batasan bahwa keputusan tersebut dapat diajukan Banding atau Gugatan ke
Pengadilan Pajak. Atas dasar itu, Sengketa Pajak bisa diselesaikan di Direktorat
Jenderal Pajak atau di Pengadilan Pajak" (IAI, 2009).

Hukum pidana dalam arti ius poenale yang memuat larangan terhadap
perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrech) dan mengenakan suatu
penderitaan kepada yang melanggar larangan tersebut, maupun sebagai ius
poenandi yang merefleksikan hak negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk
mengancam dan mengenakan pidana terhadap perbuatan tertentu, merupakan
hukum yang sanksinya lebih berat dibandingkan dengan sanksi bidang hukum lain
seperti hukum perdata dan hukum administrasi (Muladi, Diah Sulistyani, & SH,
2021).

Hukum pidana sebagai ultimum remedium atau sebagai alat terakhir apabila
usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan (Rahmawati, 2013), ini disebabkan karena
sifat pidana yang menimbulkan nestapa, demikan pada pelaku kejahatan, sehingga
sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana sebagai sarana pencegah kejahatan
(Hasibuan et al., 2015). Fungsi hukum pidana yang besifat subsidair tersebut juga
sering disebut dengan ultimum remedium atau sebagai obat terakhir, yaitu sebagai
obat yang baru akan digunakan manakala obat lain diluar hukum pidana sudah
tidak dapat efektif digunakan (Saraswati, 2015).

Pelanggaran atas ketentuan perpajakan yang tergolong perbuatan tindak


pidana perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak berkaitan dengan SPT beserta
sanksinya adalah sebagai berikut:

a. Kealpaan Bagi Wajib Pajak Tindak pidana perpajakan yang termasuk kealpaan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 38 UU KUP, yang menentukan setiap
orang yang karena kealpaannya: Tidak menyampaikan SPT; dan
Menyampaikan SPT dengan isi yang tidak benar dan tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar. Tindak pidana perpajakan
yang terjadi karena kealpaan wajib pajak tidak hanya diatur dalam Pasal 38
tetapi juga diatur dalam Pasal 13A UU KUP menyatakan bahwa: Wajib pajak
yang karena kelapaanya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau
menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak

6
lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana
apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh wajib pajak dan wajib
pajak tersebut melunasi kekurangan pembayaran jumlah administrasi berupa
kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang
dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan surat ketetapan pajak kurang
bayar. Dicantumkannya pasal 13 A UU KUP ini menegaskan bahwa hukum
pajak lebih mendominasi kepentingan dan kemanfaatan dari sisi penerimaan
negara dengan lebih memberikan sanksi mendominasi kepentingan dan
kemanfaatan dari sisi penerimaan negara dengan lebih memberikan alternatif
pada pemberian sanksi administratif sebagai pengganti sanksi pidana kepada
wajib pajak.

b. Kesengajaan Bagi Wajib Pajak

Tindak pidana perpajakan yang termasuk perbuatan disengaja yang


dilakukan wajib pajak disebutkan dalam Pasal 39 UU KUP, yang
menentukan setiap orang dengan sengaja:

1. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau tidak melaporkan


usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP);

2. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPW atau Pengukuhan


Pengusaha Kena Pajak;

3. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT);

4. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya


tidak benar atau tidak lengkap;

5. Menolak untuk melakukan pemeriksaan oleh Direktur Jenderal Pajak;

6. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain yang palsu


atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak mengambarkan keadaan
yang sebenarnya;

7. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia,


tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau
dokumen lain;

7
8. Tidak menyimpan buku, catatan atau dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil
pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau
diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia;

9. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.

Kemudian perbuatan sengaja dari wajib pajak juga diatur dalam Pasal
39A UU KUP, bahwa setiap orang yang dengan sengaja:

1. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak bukti pemungutan pajak,


bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan
transaksi yang sebenarnya; atau

2. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena


Pajak.

Persoalan Pasal 44B UU KUP, dimana mengubah sanksi pidana dengan


sanksi administrasi bisa mengusik rasa keadilan di masyarakat. Namun justru
dengan mengubah cara menerapkan hukum mengacu pada aturan hukum yang
sudah diatur, akan menjadikan rasa keadilan yang diinginkan. Tujuan hukum
memang bukan semata-mata untuk kepastian hukum saja tetapi juga untuk
memenuhi rasa keadilan dan untuk kemanfaatan. Bila ada wajib pajak yang telah
disidik tidak harus dilimpahkan ke pengadilan tapi diberi pengampunan asal mau
melunasi utang pajak beserta sanksi administrasinya.

Penegakan hukum pidana di bidang pajak tentunya juga mempunyai tujuan


tertentu yaitu agar ketentuan hukum di bidang pajak dapat dijalankan
sebagaimana mestinya sehingga dapat mewujudkan keadilan, kepastian, dan
keseimbangan antara para pihak yang terlibat didalamnya. Pelaksanaan Self-
Assessment System dalam sistem perpajakan di Indonesia menuntut wajib pajak
untuk aktif menghitung, melaporkan dan membayar sendiri jumlah pajak yang
terhutang kepada negara. Artinya bahwa wajib pajak telah diberikan kepercayaan
penuh oleh negara. Namun demikian, kepercayaan tersebut tidak serta merta
diberikan begitu saja. Aparat pajak tetap memiliki peran dalam pelaksanaan
perpajakan, yaitu peran dengan fungsi pelayanan, pembinaan atau penyuluhan,
pengawasan dan penerapan sanksi. Fungsi-fungsi tersebut menjadikan aparat
pajak berperan sebagai pelayan publik. Aparat pajak sebagai pelayan publik tentu
saja harus mampu melayani wajib pajak dalam melaksanakan serangkaian proses
pembayaran pajak.

8
Self-Assessment System tidak semata-mata hanya menjadi tuntutan bagi
wajib pajak untuk meningkatan kepatuhan pajak akan tetapi perlu didorong
dengan dukungan tingginya tingkat kualitas aparat pajak dalam melaksanakan
tugasnya. Tanpa kualitas aparat pajak yang baik tampaknya cita-cita untuk
menjadikan pajak sebagai tumpuan harapan pembiayaan pembangunan dengan
sendirinya akan menggangu program pembangunan yang dicanangkan yang pada
akhirnya akan menggangu kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan negara yang
tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

Penyelesaian hukum tindak pidana pajak bisa diselesaikan dengan jalur


administrasi seperti dimaksud dalam ketentuan Pasal 44B ayat (1) UU KUP
menyatakan sebagai berikut: Untuk kepentingan penerimaan negara, atas
permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan
tindak pidana dibidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan sejak tanggal surat permintaan. Penjelasan: Untuk kepentingan negara dan
atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan
tindak pidana perpajakan sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke
pengadilan.

Kepentingan penerimaan negara merupakan alasan bagi Jaksa Agung untuk


dapat menghentikan penyidikan atas permintaan dari Menteri Keuangan (Sofian &
Hasibuan, 2020). Adapun yang dimaksud dengan kepentingan penerimaan negara
tidak ada ukuran atau parameter yang jelas dalam peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 44B UU KUP hanya menyatakan: Jaksa Agung dapat
menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan sepanjang perkara tersebut
belum dilimpahkan ke pengadilan.

Peluang penyelesaian secara administrasi ini diberikan kepada wajib pajak


agar dapat dimanfaatkan untuk menghentikan proses penyidikan yang dilakukan
oleh Dirjen pajak (Hasibuan et al., 2015). Wajib pajak harus menunjukan adanya
itikad baik untuk menyelesaikan masalah perpajakan yang muaranya berbasis
pada tindak pidana perpajakan. Wajib pajak yang tidak menunjukan itikad baik
untuk menyelesaikan masalah tindak pidana perpajakan berarti harus dipandang
telah mengabaikan peluang proses penyelesaian secara administrasi.

Untuk memperoleh penghentian penyidikan, maka wajib pajak mengajukan


permohonan secara tertulis kepada Menteri Keuangan dengan memberikan
tembusan kepada Dirjen Pajak. Permohonan ini dilampiri dengan pernyataan
pengakuan bersalah dan kesanggupan melunasi pajak. Setelah menerima
permohonan penghentian penyidikan dari wajib pajak, Menteri Keuangan lalu
meminta kepada Dirjen Pajak untuk melakukan penelitian dan memberikan

9
pertimbangan dalam mengambil keputusan apakah permohonan wajib pajak ini
bisa diterima atau harus ditolak. Jika Menkeu menyetujui permohonan wajib
pajak, Menteri Keuangan akan megajukan surat permintaan kepada Jaksa Agung
untuk menghentikan penyidikan. Namun jika tidak, Menkeu akan menyampaikan
surat pemberitahuan kepada wajib pajak.

10
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 ANALISA PERTAMA

PT Asian Agri Group (AAG) akhirnya melunasi denda Rp 2,5 triliun. Pembayaran
tersebut merupakan denda wajib yang harus dibayarkan oleh AAG berdasarkan
keputusan Mahkamah Agung (MA) terkait perkara penyimpangan pajak yang
dilakukan 14 perusahaan yang tergabung dengan AAG.

"Asian Agri Group (AAG) melunasi denda Rp 2,5 triliun lebih (Rp
2.519.955.391.304,00) pada tanggal 17 September 2014. Denda sebesar Rp 2,5
triliun dibayar ke rekening Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat," kata Kepala Pusat
Penerangan Hukum Kejagung Tony Spontana dalam siaran pers Kejagung yang
diterima detikcom, Selasa (23/9/2014).

Manjelis hakim MA dalam Putusan MARI No.2239K/PID.SUS/2012)


memutuskan, selain membayar pajak terhutang sebesar Rp 1,2 triliun, AAG juga
dihukum denda dua kali pajak terhutang sebesar Rp 2,5 triliun.

Pada akhir Januari 2014, pihak AAG menyatakan kesiapannya dieksekusi pihak
Kejaksaan dengan sistem pelunasan secara bertahap atau mencicil setiap bulan
hingga tanggal 15 Oktober 2014. Akan tetapi AAG justru mampu melunasinya
secara total pada 17 September 2014 atau hampir sebulan sebelum jatuh tempo.
Pihak Kejaksaan mengapresiasi hal tersebut.

“Pihak Asian Agri telah memenuhi kewajibannya dengan baik dan membayar
denda tepat pada waktunya bahkan sebelum waktunya. Atas nama jajaran
Kejaksaan, saya memberikan apresiasi kepada AAG karena telah patuh pada
putusan Mahkamah Agung.” kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Datas
Ginting.

Pembayaran dicicil mulai Januari 2014 sebesar Rp 719,9 miliar dan pembayaran
sisanya sebesar Rp 1,8 triliun dicicil hingga Oktober 2014 sebesar Rp 200 miliar
per bulan. Sebagai jaminan itikad baik, AAG berkomitmen melunasi seluruh
denda dengan mengeluarkan bilyet giro lebih dari 100 lembar yang sudah
dititipkan kepada Bank Mandiri dan tiap bulan dapat dicairkan

Pihak Kejaksaan sebagai eksekutor ketika itu sepakat memberikan kesempatan


pada AAG untuk melakukan pembayaran dengan sistem mencicil karena lembaga
Kejaksaan juga harus mempertimbangkan aspek mendasar dari hukum itu sendiri
yakni keadilan.

11
“Kami mempertimbangkan sedalam-dalamnya nasib puluhan ribu para pekerja
serta petani plasma yang selama ini menggantungkan nasibnya pada 14
perusahaan yang tergabung di AAG.
Karena itulah Kejaksaan memberikan tenggang waktu pembayaran dan hal ini
tentu saja dimungkinkan oleh perundang-undangan yang ada," ucap Datas.

Selain itu Kepala Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan (PPA) Chuck Suryosumpeno
menambahkan atas hal ini para penegak hukum negara-negara asing termasuk
kejaksaan-kejaksaan banyak negara, terutama para praktisi pemulihan aset dunia
mengapresiasi lembaga Kejaksaan Indonesia karena mampu melakukan terobosan
eksekusi yang luar biasa hingga AAG patuh membayar secara sukarela.

"Oleh karena itulah para praktisi pemulihan aset dunia juga saat ini mulai
mengembangkan voluntary asset recovery yang ternyata sangat efektif dan efisien
dengan studi kasus eksekusi denda kasus pajak AAG," ucap Chuck.

Kasus ini bermula saat Vincentius Amin Sutanto yang berusaha mencuri uang
perusahaan Asian Agri Group, namun gagal. Vincent tidak tinggal diam, dia
membocorkan penyimpangan pajak perusahaan yang notabene dia juga terlibat
dalam penyimpangan tersebut, kasus ini menjadi heboh setelah berbagai media
massa membahasnya.

Ditjen Pajak kemudian melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kasus terkait.
Penyidik menemukan pelanggaran administrasi sekaligus pelanggaran pidana
yang dilakukan Suwir Laut dan lainnya.

Selanjutnya kasus ini diproses hukum hingga akhirnya MA memutuskan Suwir


Laut bersalah dan 14 perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group (AAG)
turut dihukum dengan membayar pajak terhutang kurang lebih Rp 1,2 triliun dan
hukuman denda dua kali pajak terhutang, yaitu sebesar Rp 2,5 triliun.

12
13
1.2 ANALISIS KEDUA
Sengketa Pajak dan Mekanisme Penyelesaiannya Penyelesaian sengketa pajak
memiliki spesifikasi penyelesaian sengketa sendiri dibanding penyelesaian
sengketa yang lain. Hal demikian berkaitan dengan karektiristik pajak sebagai
sumber penerimaan negara. Penyelesaian sengketa pajak mengenal ada dua
mekanisme yaitu penyelesaian sengketa melalui upaya administratif yaitu melalui
lembaga keberatan dan melalui lembaga yudikasi yaitu Pengadilan Pajak. Upaya
administratif sering disebut sebagai peradilan administrasi tidak murni. Peradilan
administrasi tak murni, adalah semua peradilan yang tidak sepenuhnya memenuhi
syarat-syarat peradilan administrasi murni, misalnya karena tidak nyata terdapat
suatu perselisihan, atau karena yang mengadakan peradilan termasuk dalam atau
merupakan bagian dari salah satu pihak2. Salah satu upaya administratif yang
dipakai dalam penyelesaian sengketa upaya keberatan.
Apabila wajib pajak mempunyai sengketa atas Surat Ketetapan Pajak yang
dapat berupa, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
(SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), atau sengketa atas pemotongan
dan pemungutan pihak ketiga maka wajib pajak dapat menyelesaikan sengketa
pajaknya melalui upaya keberatan. Dalam pengajuan keberatan wajib pajak harus
mengajukan surat keberatan. Surat keberatan adalah surat yang diajukan oleh
wajib pajak, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Surat keberatan tersebut
dapat berupa surat keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar,
Surat Ketetapan Pajak Nihil dan terhadap pemotongan atau pemungutan oleh
pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Surat Keberatan tersebut diajukan.
Berbicara mengenai dasar atau alasan pengajuan keberatan, undang-
undang memberi penjelasan sebagaimana yang tercantum dalam Penjelasan Pasal
25 ayat ( 1) Undang-undang Nomor 28 tahun 2007, yang berbunyi sebagai berikut
: “ Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak dan
pemotongan atau pemungutan tidak sebagaimana mestinya, maka wajib pajak
dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jendral Pajak”. Keberatan
dapat diajukan terhadap materi atau isi dari ketetapan pajak, yaitu jumlah rugi
berdasarkan ketentuan undang-undang perpajakan, jumlah besarnya pajak,
pemotongan atau pemungutan pajak. Agar wajib pajak dapat menyusun keberatan
dengan alasan-alasan yang kuat, wajib pajak diberi hak untuk meminta dasar-
dasar pengenaan, pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan.
Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam jangka waktu 3 ( tiga )
bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak atau sejak tanggal pemotongan
atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diberi wewenang oleh ketentuan
peraturan perundangundangan perpajakan untuk memotong atau memungut pajak.
Pemberian batas waktu tiga bulan ini dimaksudkan untuk memberi waktu yang
cukup bagi wajib pajak untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya.
Batas waktu tiga bulan ini masih bisa dipertimbangkan untuk diperpanjang
2
Rochmat Sumitro,Asas Dan Dasar Perpajakan jilid 3.Eresco,Bandung,1997 hlm.51

14
apabila wajib pajak mampu membuktikan bahwa keterlambatan pengajuan surat
keberatan tersebut disebabkan karena keadaan diluar kekuasaan wajib pajak
( force majeure ). Setelah surat keberatan diajukan kepada pejabat yang
berwenang, wajib pajak berhak untuk menerima tanda bukti penerimaan surat
keberatan.Tanda penerimaan surat yang diberikan oleh pejabat yang berwenang,
secara langsung atau lewat kantor pos berfungsi sebagai tanda terima surat
keberatan.Tanda bukti / resi penerimaan surat keberatan tersebut, dapat juga
berfungsi sebagai alat kontrol bagi wajib pajak untuk mengetahui sampai kapan
batas waktu dua belas bulan itu berakhir, hal ini mengingat bahwa dalam waktu
paling lama dua belas bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, Direktur
Jendral Pajak ( untuk Pajak Pusat ) atau Kepala Daerah ( untuk Pajak Daerah ),
harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh wajib pajak. Dalam
rangka memberi kepastian kepada wajib pajak, apabila dalam jangka waktu dua
belas ini telah lewat, pejabat yang berwenang tidak memberi suatu keputusan,
maka keberatan yang diajukan oleh wajib pajak dianggap diterima.

PT Agri Grup
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di
Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut
majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di
Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun).
Selain PT AAG, terdapat perusahaan lain yang berada di bawah naungan Grup
Raja Garuda Mas, di antaranya: Asia Pacific Resources International Holdings
Limited (APRIL), Indorayon, PEC-Tech, Sateri International, dan Pacific Oil &
Gas.Secara khusus, PT AAG memiliki 200 ribu hektar lahan sawit, karet, kakao di
Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Di Asia, PT AAG merupakan salah
satu penghasil minyak sawit mentah terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik yang
menghasilkan 1 juta ton minyak sawit mentah – selain tiga pabrik minyak goreng.
Awal Mula Kasus
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi
Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis
Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu
menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-
beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan
dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh.
Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting
perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara
Vincent dan wartawan Tempo.
Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia menyerahkan
diri ke Polda Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1 Desember 2006
VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT
AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah
satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax
Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002. Dokumen
ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci.

15
Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude
Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di
bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga
tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu,
rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA
sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan
permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT
AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan. Menindaklanjuti hal tersebut,
Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang
terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim
khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeladahan
terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan
Terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh)
dan pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu juga “bahwa dalam tahun pajak
2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang
berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak
kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889
miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak
penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian
Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir
menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan
negara hingga Rp 1,3 triliun.

Kajian Hukum Sebuah Kasus


Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ternyata diketahui bahwa
Majelis Hakim Pengadilan menolak eksepsi dari Manajer Asian Agri Group yang
diwakili oleh Pengacaranya. Eksepsi yang disampaikan Pengacara Asian Agri
Group pada dasarnya menegaskan bahwa penyelesaian kasus dugaan
penyelewengan pajak merupakan kewenangan Pengadilan Pajak karena
merupakan persoalan atau sengketa pajak yang sudah diatur dalam undang-
undang pajak.
Sengketa pajak yang muncul sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang tidak
memuaskan Wajib Pajak harus diupayakan penyelesaiannya secara baik,
sederhana, murah, dan cepat. Artinya, ada jalan penyelesaian secara kekeluargaan
dengan musyawarah antara kedua belah pihak yang bersengketa dan tetap
memperhatikan peraturan perpajakan.
Namun, Majelis Hakim menolak eksepsi Pengacara Asian Agri Group dan
berpendapat bahwa kasus Asian Agri Group bukan merupakan sengketa pajak
karena tidak adanya surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak. Kalau sengketa pajak akan ada upaya hukum untuk
menyelesaikannya, yaitu melalui upaya hukum keberatan. Oleh karenanya, kasus
Asian Agri Group bisa diadili oleh Pengadilan Negeri.

16
Penolakan eksepsi inilah yang perlu mendapat kajian apakah benar argumentasi
hukum yang dibangun Majelis Hakim hingga kasus dugaan penggelapan pajak
bisa dipidana karena tidak adanya surat ketetapan pajak yang diterbitkan
Direktorat Jenderal Pajak sebagai dasar adanya sengketa pajak. Kalau
permasalahan pajak dibawa dalam ranah hukum pidana, tentu menjadi
kontradiktif terkait proses administrasi pajak yang tujuan utamanya
mengumpulkan uang pajak. Pilihan memidanakan Wajib Pajak atau
memprioritaskan penerimaan tentu menjadi politik kepentingan pemerintah. Untuk
itu, kajian komprehensif pemidanaan atas pajak, patut menjadi perhatian serius
agar tidak terjadi keresahan terus menerus di kalangan dunia usaha dan pegawai
pajak.
Seperti diuraikan diatas, dalam banyak literatur disebutkan bahwa hukum pajak
tergolong sebagai hukum publik, termasuk hukum administrasi/tata usaha negara.
Jalur hukum administrasi (hukum pajak) mempunyai cara penyelesaiannya sendiri
sesuai dengan aturan yang sudah ditegaskan dalam undang-undang pajak yang
mengaturnya. Jika seperti itu, menyelesaikan persoalan administrasi pajak dengan
cara pidana menjadi kontradiktik ketika negara membutuhkan dana pajak sebagai
sumber pembiayaan pembangunan yang tiap tahun jumlahnya terus naik
(meningkat). Persoalan memidana Wajib Pajak jelas membawa keresahan
tersendiri bagi pelaku dunia usaha. Artinya, pelaku usaha menjadi takut dipidana
ketika persoalan penghitungan pajak yang cukup rumit akan dipersoalkan menjadi
persoalan berindikasikan tindak pidana.
Pendapat pakar hukum dalam kasus Asian Agri Group di atas, menarik untuk
dikaji dan dipahami dengan baik oleh semua aparat penegak hukum terutama
aparat Kepolisian, Kejaksaan, maupun Hakim. Kesamaan visi memandang pajak
tidak boleh dipidana karena merupakan bagian dari hukum administrasi, harus
menjadi perhatian bersama.
Hukum pajak sebagai bagian hukum tata usaha negara memang bersumber pada
peristiwa perdata, yang apabila dilanggar dapat diancam dengan pelanggaran
pidana. Dalam hukum pajak memuat unsur-unsur :

 Hukum tata negara dan hukum tata usaha negara.


 Hukum perdata;
 Hukum pidana. Menyamakan persepsi demikian memang tidak mudah.
Diperlukan satu koordinasi yang kuat. Presiden selaku pimpinan eksekutif
sebaiknya memimpin proses koordinasi demikian.

Penyelesaian Kasus PT Asian Agri Grup


PT Asian Agri Group (AAG) telah diduga melakukan penggelapan pajak (tax
evasion) selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara
senilai trilyunan rupiah. Belum lagi kelar penyidikan, berkembang wacana
mengenai penyelesaian kasus itu di luar pengadilan (out of court settlement). Hal
ini sangat menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya hukum dan
terwujudnya keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat kelas
teri ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara itu

17
penjahat kerah putih (white collar criminal) yang mengakibatkan kerugian besar
pada negara justru dibiarkan melenggang karena kekuatan kapital nya.
Meski peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan
dengan sanksi pidana penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya masih ada
celah hukum untuk meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di
pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka peluang out of court
settlement bagi tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur
bahwa atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan
penyidikan. Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib pajak yang
telah melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi
administratif berupa denda.
Ketentuan hukum nyatanya begitu lunak dalam mengatur tindak pidana
perpajakan. Peluang out of court settlement dimungkinkan bagi segala jenis tindak
pidana perpajakan. Peluang itu tidak hanya berlaku untuk “Perlawanan Pasif
terhadap Pajak”, yaitu perlawanan yang tidak dilakukan secara sadar atau disertai
niat dari warga masyarakat untuk merintangi aparat pajak dalam melakukan
tugasnya. Penghentian penyidikan dan penyelesaian di luar sidang juga berlaku
untuk “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” yang perbuatannya dilakukan lewat
cara-cara ilegal dan langsung ditujukan pada fiskus/pemerintah.
Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski
masuk kategori “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” sekalipun – tetap dapat
diselesaikan di luar sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung
pada Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan
dalam proses penyelesaian tindak pidana perpajakan ini.
Asian Agri akhirnya benar - benar melayangkan surat keberatan kepada Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) terkait Surat Ketetapan Pajak (SKP) kepada 14 anak
perusahaannya. Perusahaan perkebunan sawit milik taipan Sukanto Tanoto ini
melayangkan surat keberatan setelah membayar senilai Rp 969,675 miliar atau
49% dari total pajak terutang yakni mencapai Rp 1,95 triliun.
Sedari awal Asian Agri memang berniat banding atas penetapan SKP yang
ditetapkan DJP. Namun mereka harus terlebih dulu membayar setengah dari total
utang pajak. Asian Agri melayangkan keberatan karena menganggap SKP yang
mencapai Rp 1,95 triliun tidak sesuai, sebab melebihi total keuntungan
perusahaannya yang pada 2002-2005 hanya Rp 1,24 triliun. Total utang pajak plus
denda Asian Agri sendiri mencapai Rp 1,959 triliun.
General Manajer Grup Asian Agri, Freddy Widjaya mengatakan, surat keberatan
SKP telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar.
"Sesuai dengan jangka waktu tiga bulan sejak tanggal penerbitan SKP." ujarnya
kepada KONTAN di Jakarta, Rabu (4/9).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Kismamtoro Petrus mengakui
telah menerima surat keberatan Asian Agri pada 28 Agustus 2013. DJP wajib
memberikan keputusan atas keberatan itu paling lambat dua belas bulan.
Meski keberatan, Asian Agri tetap harus membayar sisa utang pajak seperti dalam
SKP. Jika Asian Agri tidak melunasi seluruh tagihan SKP setelah jatuh tempo,
DJP dapatmelakukan penagihan aktif berupa teguran, penerbitan surat paksa,
penyitaan dan blokir rekening hingga pelelangan aset.

18
19
20
21
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

1. Berdasarkan hasil kasus analisis diatas apabila sudah terjadi suatu kasus
sengketa pajak antara Wajib pajak dengan Fiskus, maka otomatis Wajib Pajak
mempunyai Hak dan Kewajiban dalam menangani sengketa pajak tersebut. Hak
dari Wajib Pajak sendiri ialah dapat mengajukan keberatan kepada Surat
Keputusan Pajak yang dibuat oleh DJP sesuai pasal 25 UU no 28 tahun 2007,
serta dapat mengajukan banding ke Peradilan Pajak apabila tidak puas dengan
Surat Ketetapan Pajak yang dijatuhkan oleh Fiskus sesuai pasal 27 UU no 28
tahun 2007.

2. Namun yang menjadi kewajiban Wajib Pajak sebelum mengajukan keberatan


maupun banding ialah Wajib Pajak terlebih dahulu harus melunasi pajak yang
disetujui dalam keputusan keberatan maupun banding tersebut.
Dalam kasus sengketa pajak Asian Agri, dijelaskan bahwa Asian Agri melakukan
penggelapan pajak yang mengarah kepada kerugian negara. Maka dari itu
Peradilan Pajak dituntut untuk bijaksana dalam menyelidiki dan menyelesaikan
permasalahan kasus tersebut sesuai dengan ketentuan Undang Undang yang
berlaku.

22
DAFTAR PUSTAKA

23

Anda mungkin juga menyukai