Anda di halaman 1dari 18

UJIAN TENGAH SEMESTER

HUKUM PAJAK

Oleh :
Erlangga Rekayasa, S.H.
5219221034

MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS FUKUM
UNIVERSITAS PANCASILA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia sebagai negara yang dalam pembangunannya menggunakan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, dan tidak akan terlepas dari pajak. Menurut Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2007 mengenai Ketentuan Umum Perpajakan Pasal 1 Ayat (1) yaitu
pajak adalah kontribusi Wajib Pajak kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan undang undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Dengan demikian, maka pajak merupakan salah satu pendapatan negara yang berasal
dari pungutan wajib yang dibayarkan untuk negara oleh rakyat, digunakan atas kepentingan
pemerintah dan masyarakat umum. Pemungutan pajak memerlukan kesadaran masyarakat
dalam membayar pajak, serta keaktifan para pegawai pajak, oleh karena itu pemungutan
pajak bukanlah suatu yang mudah.

Pajak adakalanya dilihat tidak memiliki manfaat dan hanya menjadi beban untuk sebagian
perusahaan yang menjadi wajib pajak. Cara pemungutan pajak dengan self assesment
memberikan kebebasan kepada wajib pajak untuk menghitung besaran pajak terutangnya.
Menurut Ningsih dan Pusposari hal ini memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk
dapat meminimalkan jumlah pajak yang terutang melalui mekanisme perencanaan pajak
(Tax Planning)1.

Perusahaan yang umumnya adalah wajib pajak cenderung menghindarkan diri dari
pembayaran pajak, dengan menerbitkan faktur pajak fiktif dan mengkreditkannya dalam
SPT masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Tujuannya agar PKP tersebut mendapatkan
restitusi (pengembalian pajak) atau mengurangi pajak keluaran yang harus disetorkan ke
negara, dengan kata lain melakukan upaya Tax Evasion. Menurut Siti Kurnia Rahayu,

1
Ningsih dan Pusposari, 2014. Determinan Persepsi Mengenai Etika Atas Penggelapan Pajak (TaxEvasion) (studi
pada mahasiswa jurusan akuntansi). Malang: Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Brawijaya. Volume 3 Nomor 1.

2
Pengelakan Pajak (tax evasion) merupakan usaha aktif Wajib Pajak dalam hal mengurangi,
menghapuskan, manipulasi ilegal terhadap utang pajak atau meloloskan diri untuk tidak
membayar pajak sebagaimana yang telah terutang menurut aturan perundang-undangan.2

Cara pemerintah untuk mengurangi tindakan penghindaran pajak melalui penggelapan


pajak dengan modus Penggunaan Faktur Pajak Fiktif tersebut dengan menerbitkan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), dengan menggunakan
ancaman pidana denda dan pengembalian Kerugian Pendapatan Negara yang telah
digelapkan oleh wajib pajak yang melakukan penghindaran. Berdasarkan Pasal 30 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana apabila pidana denda tidak dapat dibayarkan maka akan
digantikan dengan pidana kurungan, begitu pula pemberlakuan pasal tersebut di dalam
Tindak Pidana Perpajakan, yang lebih lanjut diatur dalam Pasal 103 KUHP bahwa
“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII Buku ini, juga berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam pidana,
kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”.

2
Siti Kurnia Rahayu, 2010 . PERPAJAKAN INDONESIA : Konsep dan Aspek Formal, Yogyakarta: Graha Ilmu.

3
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang tersebut di atas,
maka penulis terdorong untuk mengangkat rumusan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana implementasi pidana denda terhadap Pelaku Penerbitan Faktur Pajak Yang
Tidak Berdasarkan Transaksi Sebenarnya (Fiktif)?
2. Apakah kriteria tindak pidana perpajakan mengenai penerbitan faktur pajak fiktif yang
dapat diterapkan pidana denda?

4
C. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil-hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.3

Dijatuhkannya hukuman terhadap pelaku tindak pidana pada dasarnya tidak terlepas dari
beberapa teori, yaitu:
a. Tindak Pidana Perpajakan
Dalam penjelasan Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal:
“Yang dimaksud dengan tindak pidana perpajakan adalah informasi yang tidak benar
mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan pajak dengan menyampaikan surat
pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan
keterangan-keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
Negara dan kejahatan lain yang diatur dalam undang-undang yang mengatur
perpajakan.”

Tindak pidana dibidang perpajakan dibedakan menjadi pelanggaran dan Kejahatan.


Pelanggaran ialah tindak pidana yang terjadi karena tidak sengaja atau terjadi karena
kealpaan seperti tidak memberitahukan Surat Pemberitahuan (SPT). Sedangkan
Kejahatan ialah perbuatan yang dilakukan denga kesengajaan. Wajib Pajak mengetahui
bahwa perbuatannya bertentangan dengan Undang-Undang, namun pelaku tetap
melakukan upaya untuk mengurangi pajak yang dibebankan kepadanya.

Sanksi pidana yang dapat dikenakan atas perbuatan yang dilakukan tidak hanya dapat
diterapkan kepada wajib pajak saja, namun dapat juga dikenakan kepada pejabat pajak
yang melakukan pelanggaran maupun kejahatan di bidang perpajakan. Namun dalam
Undang-Undang No. 28 Tahun 2007, dituliskan adanya suatu kesempatan/hak untuk
wajib pajak untuk mengajukan penghentian penyidikan, seperti yang dijelaskan dalam
Pasal 44B Undang-Undang No. 28 Tahun 2007, berbunyi:

3
Soerjono Soekanto. 2007. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Pers, hlm. 127

5
(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa
Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling
lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
(2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak
atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan
sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak
atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan. 


b. Pengaturan Pidana Denda dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Dan Tata


Cara Perpajakan

Suatu tindak pidana harus dirumuskan atau disebutkan dalam peraturan undang-
undang mempunyai konsekuensi yaitu perbuatan seseorang yang tidak tercantum
dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana, tidak dapat dipidana. Pengaturan
mengenai Tindak Pidana Perpajakan diatur dalam Bab VIII tentang ketentuan pidana
yaitu pada Pasal 38, 39, 39A, 40,41, 41A, 41B, 41C, 43, 43A. Namun ketentuan khusus
mengenai ketentuan pidana tentang faktur pajak dituliskan dalam Pasal 39 huruf a dan
b:

“Setiap orang yang dengan sengaja :

a. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti


pemotongan pajak, dan atau/ bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi
yang sebenarnya; atau
b. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebgai Pengusaha Kena Pajak,
dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6
(enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur
pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran
pajak paling dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak”.

6
Pasal 39 berkaitan berkaitan dengan kesengajaan (Dolus) SPT, Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP), Nomor Pengusaha Kena Pajak (NPKP), Pemeriksaan, Pembukuan,
Penyetoran Pajak.

7
BAB II
PEMBAHASAN

A. Implementasi Pidana Denda Terhadap Pelaku Penerbitan Faktur Pajak Yang Tidak
Berdasarkan Transaksi Sebenarnya (Fiktif)

Pemerintah melalui kebijakannya mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
telah mengatur perbuatan yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam
perpajakan. Sebagaimana kita ketahui bahwa suatu undang- undang tidak akan berjalan
dengan baik apabila tidak diikuti dengan sanksi (baik administrasi maupun pidana), oleh
karenanya setiap undang-undang selalu mencantumkan adanya sanksi yang dapat
diterapkan bila isi undang-undang dilanggar, demikian dalam undang-undang perpajakan.

Menurut Soejono Soekanto penegakan hukum bukan semata- mata berarti pelaksanaan
perundang- undangan, bahkan ada kecenderungan untuk mengartikan penegakan hukum
sebagai pelaksanaan keputusan- keputusan pengadilan. Pengertian yang sempit ini jelas
mengandung kelemahan, sebab pelaksanaan perundang-undangan atau keputusan
pengadilan, bisa terjadi justru menganggu kedamaian dalam pergaulan hidup masyarakat.

Penegakan hukum pidana adalah upaya untuk menerjemahkan dan mewujudkan keinginan-
keinginan hukum pidana menjadi kenyataan. Menurut Sajipto Raharjo penegakan hukum
adalah suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan
keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan ketiga ide inilah merupakan hakekat dari
penegakan hukum.

Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjelaskan bahwa


pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak, sepanjang
mengenai tindakan administrasi perpajakan, maka akan dikenai sanksi administrasi dengan
menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atau Surat Ketetapan Pajak (SKP), sedangkan
perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan akan dikenai sanksi pidana seperti pidana
denda atau pidana kurungan dan pidana penjara.

Tindak pidana di bidang perpajakan adalah tindakan yang melanggar peraturan perundang-
8
undangan perpajakan yang akan menimbulkan kerugian pendapatan keuangan negara.
Bahwa penegakan hukum pajak dilakukan dalam bentuk penjatuhan sanksi terhadap
pelanggar hukum pajak untuk melindungi kepentingan Negara untuk memperoleh
pembiayaan dari sektor pajak mengingat hukum pajak tindak melindungi kepentingan wajib
pajak tetapi bahkan melindungi sumber pendapatan Negara yang terfokus pada pemenuhan
kewajiban Wajib Pajak untuk membayar lunas pajak yang terutang. Maka sudah jelas sekali
tindakan menerbitkan faktur pajak fiktif yang menimbulkan kerugian perlu dijatuhkan
putusan hakim untuk dapat dimintai pertanggungjawaban hukum secara pidana yang
bersifat memaksa.

Kejaksaan Republik Indonesia yaitu lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan


Negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang. Jaksa
yaitu sebagai pengendali proses perkara Dominius litis, karena hanya institusi kejaksaan
yang dapat menetukan apakah suatu kasus tindak pidana penerbitan faktur pajak yang tidak
berdasarkan transaksi sebenarnya (fiktif) tersebut dalam perkara itu dapat diajukan ke
pengadilan atau tidak dan harus berdasarkan alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bentuk tindak pidana perpajakan penerbitan faktur
pajak dan hukumannya diantaranya diatur Pasal 39A Undang-Undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Pelaksanaan pidana denda harus sesuai dengan aturan dalam KUHAP Pasal 273 ayat (1) yang
menyatakan bahwa jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana
diberikan jangka watu 1 (satu) bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam
putusan acar pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi dan ayat (2) menyatakan
bahwa dalam hal terdapat alasan yang kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut ayat (1)
dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.

Pelaksanaan putusan pidana denda, pada Pasal 273 Ayat (1) KUHAP: “jika putusan
pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan
untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang
seketika harus dilunasi.” Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung/SEMA No. 2 Tahun 1983
tanggal 8 Desember 1983, yang dimaksud dengan perkataan “harus seketika dilunasi” dalam
Pasal 273 ayat (1) KUHAP harus diartikan :

9
(1) Apabila terdakwa atau kuasanya hadir pada waktu putusan diucapkan, maka
pelunasannya harus dilakukan pada saat diucapkan; 


(2) Apabila terdakwa atau kuasanya tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, maka
pelunasannya harus dilakukan pada saat putusan itu oleh jaksa diberitahukan kepada
terpidana. 


Pidana denda tersebut hanya dapat dilaksanakan dalam waktu 1 (satu) bulan, dan dapat
diperpanjang oleh jaksa selama 1 (satu) bulan jika terdapat alasan mendesak. Aturan hukum
telah menjelaskan secara umum mengenai pidana denda dalam Pasal 30 Ayat (2) dan Pasal
31 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan penjelasan seperti:

a. Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan. Maka terpidana yang
tidak sanggup membayar atau memilih untuk tidak membayar pidana denda akan
dijatuhkan pidana kurungan, sebagaimana aturan yang mengharuskan pidana denda
disubsidairkan dengan pidana kurungan pengganti. Subsidair pidana kurungan
pengganti memang tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan, namun dalam memberikan kurungan tentunya majelis hakim
dapat dilandasi dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana “bahwa pengaturan tentang
denda terhadap Terpidana apabila dalam aturan khusus tidak diatur maka ketentuan
umum lah yang berlaku” 


b. Ia selalu berwenang membebaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti dengan


membayar denda.

Melaksanakan langkah-langkah itu, tentu semua hal belum tentu berjalan sesuai dengan apa
yang diharapkan. Jaksa sebagai eksekutor juga akan mendapatkan hambatan dan tantangan
dari pelaksanaan putusan hakim yang telah dijatuhkan. Dari ketiga tujuan tersebut, tujuan
kedua merupakan tujuan yang sulit untuk direalisasikan. Pada praktiknya dari beberapa
perkara yang telah diselesaikan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia Bagian Tindak
Pidana Khusus, sebagian besar denda yang dijatuhkan pada diri terdakwa tidak diikuti
dengan pembayaran denda melainkan para terdakwa menjalankan pidana alternatif berupa
pidana kurungan

10
hal ini dapat terjadi karena terdapat faktor-faktor penghambat dilaksanakannya pidana
denda, berupa :

1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak mengatur mengenai
pidana pengganti denda. Walaupun terdapat pernyataan jika aturan hukum umum tetap
berlaku, sepanjang tidak diatur dalam aturan hukum khusus. Pasal 30 Ayat (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana “Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan
pidana kurungan”. Para penuntut umum jarang menggunakan pidana kurungan
pengganti dalam tuntutannya. Tidak dituliskannya pidana pengganti mengakibatkan
seringnya majelis hakim memutus tanpa melihat tetap berlakunya ketentuan umum.
Sejauh apapun yang dilakukan oleh jaksa untuk menyelamatkan keuangan negara, hanya
akan menjadi hambatan jika pelaku tidak ingin membayar. Karena terpidana akan
berpendapat jika tidak dilakukannya pembayaran kepada negara, tidak akan menambah
masa tahanan terpidana, pidana pokok tersebut yang akan didapatkan olehnya. Faktor
ini lah yang menjadi suatu alasan tidak lancar terealisasinya pidana denda.
2. Pidana denda tidak memiliki daya paksa. Jaksa selaku eksekutor sering 
mendapatkan
kesulitan dalam mengambil pidana denda dilandaskan pidana denda adalah pidana yang
menghendaki terpidana untuk memilih membayar atau tidak, sehingga jika terpidana
memilih pidana kurungan pengganti, jaksa tidak dapat melakukan upaya paksa yang
berakibat banyaknya tunggakan pidana denda dalam catatan tahunan Kejaksaan. Hal ini
menjadi salah satu alasan pidana pengganti kurungan menjadi alternatif sanksi yang
sangat digemari oleh para terpidana.
3. Besarnya disparitas antara jumlah pidana denda dan pidana kurungan pengganti pada
putusan tindak pidana perpajakan. Terpidana lebih memilih untuk menjalankan
hukuman kurungan ketimbang membayar jumlah denda yang terlalu besar bagi dirinya,
meskipun terpidana diyakini dapat membayar jumlah denda tersebut. Jauhnya
perbandingan antara pidana denda dan pidana kurungan dilihat tidak memiliki tingkatan
yang seimbang dalam praktiknya, dapat diandaikan jika terpidana diputus untuk
membayar pidana denda sejumlah Rp. 1.453.700.000,00 (satu milyar empat ratus lima
puluh tiga juta tujuh ratus ribu rupiah) dengan subsidar pidana kurungan 4 bulan
penjara. Hal ini tentunya akan menjadi pertimbangan yang penting untuk para terpidana,
ia akan memilih untuk menjalankan pidana kurungan dikarenakan jika ia keluar penjara

11
dengan membayar denda, terpidana tidak akan mendapatkan uang sebanyak pidana
denda yang harus dibayarkannya dalam waktu 4 bulan.
4. Besarnya pidana denda yang dijatuhkan kepada terpidana. Selain dari disparitas pidana
denda dan pidana pengganti kurungan, besarnya pidana denda tentu sulit untuk
direalisasikan oleh para eksekutor, dikarenakan melihat kondisi terdakwa yang berbeda-
beda mengenai riwayat hidup, keadaan sosial, dan ekonomi terdakwa. Aturan hukum
yang jelas menentukan pidana denda dalam pasalnya tidak pernah melihat siapakah yang
melakukan suatu kejahatan dan berapa yang dinikmati oleh pelaku kejahatan tersebut.
Dalam kasus ini penerbit faktur fiktif biasanya akan mendapatkan fee (biaya pembuatan
faktur) sebanyak 15% (lima belas persen) dari keuntungan yang didapatkan pengguna
faktur pajak fiktif untuk mengurangi jumlah pajaknya. Namun dalam Pasal 39A huruf b
“menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam)
tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling
banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak”.
5. Jarang dikabulkannya tuntutan penuntut umum mengenai penyitaan barang-barang
terpidana untuk dijual dan dilelang. Berbeda dengan Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi yang dalam Pasal 18 Ayat (2) mengatur mengenai penyitaan harta kekayaan,
untuk tindak pidana perpajakan tidak ada aturan khusus yang mengatur mengenai hal
tersebut, walaupun Jampidsus telah mengeluarkan surat petunjuk teknis untuk
dipergunakan para penuntut umum mengenai penulisan tuntutan mengenai penyitaan
harta kekayaan, penyitaan itu tidak akan terjadi jika hakim jarang sekali mengabulkan
tuntutan yang diberikan.

Pelaksanaan pidana denda di Indonesia tidak hanya sebatas kepada ketidak optimalan
eksekusi. Banyak juga tindakan-tindakan yang telah diupayakan oleh para eksekutor pidana
untuk merealisasikan pidana yang divonis kepada Terpidana, seperti pelaksanaan pidana
denda tidak membatasi pembayaran selayaknya yang diatur dalam Pasal 273 KUHAP. Pada
praktiknya pembatasan waktu 1 bulan tersebut merupakan pemberian waktu untuk
memutuskan kesanggupan terpidana untuk membayar denda, jika terpidana memberi

12
kesanggupan untuk membayar pidana denda, ia harus membayar dp atau uang awal sebagai
bukti itikad baik untuk membayar denda tersebut. Pembayaran denda dapat dibayarkan
secara dicicil hingga pidana pokok yang dijalankan terpidana selesai. Dengan adanya
pemberian waktu pembayaran denda itu membuat terpidana yang ingin membayar tidak
ditekan oleh waktu dan dapat memperoleh uang yang sebelumnya tidak dimilikinya untuk
membayar denda.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan diatas, dapat ditarik beberapa
kesimpulan mengenai implementasi pidana denda tindak pidana perpajakan, antara lain :

1. Implementasi pidana denda tidak berjalan dan tidak dapat mengembalikan kerugian
pendapatan negara yang berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
dikarenakan (1) Para penuntut umum tidak pernah menggunakan pidana kurungan
pengganti dalam tuntutannya. Tidak dicantumkannya pidana pengganti dalam suatu
undang-undang yang mengatur mengenai pidana denda. Sejauh apapun yang dilakukan
oleh jaksa untuk menyelamatkan keuangan negara, hanya akan menjadi hambatan jika
pelaku tidak ingin membayar. (2) Pidana denda tidak memiliki daya paksa. Jaksa selaku
eksekutor sering mendapatkan kesulitan dalam mengambil pidana denda dilandaskan
pidana denda adalah pidana yang menghendaki terpidana untuk memilih membayar atau
tidak, sehingga jika terpidana memilih pidana kurungan pengganti, jaksa tidak dapat
melakukan upaya paksa yang berakibat banyaknya tunggakan pidana denda dalam
catatan tahunan Kejaksaan. (3) Besarnya disparitas antara jumlah pidana denda dan
pidana kurungan pengganti pada putusan Tindak Pidana Perpajakan. Terpidana lebih
memilih untuk menjalankan hukuman kurungan ketimbang membayar jumlah denda
yang terlalu besar bagi dirinya, meskipun terpidana diyakini dapat membayar jumlah
denda tersebut. besarnya pidana denda tentu sulit untuk direalisasikan oleh para
eksekutor, dikarenakan melihat kondisi terdakwa yang berbeda-beda mengenai riwayat
hidup, keadaan sosial, dan ekonomi terdakwa. karena pengaturan ini sangat menuntut
agar negara menerima pendapatan yang berasal dari pidana denda sebanyak-banyaknya
tanpa mempertimbangkan apakah seseorang yang dijatuhkan pidana tersebut dapat
melaksanakan pembayaran.
2. Tidak adanya kriteria tindak pidana perpajakan yang diatur dalam Undang- Undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan untuk dijatuhkannya pidana denda. Hal ini
dikarenakan dalam isi pasal telah diatur khusus mengenai unsur-unsur yang dapat

14
dikatakan sebagai tindak pidana perpajakan dan telah diatur pula pidana apa yang akan
diberikan kepada seseorang yang melanggar ketentuan tersebut. Pidana denda
diberlakukan untuk semua tindak pidana yang mengakibatkan suatu kerugian materil,
sehingga pada penerapannya pidana denda diharapkan akan memberikan efek jera
kepada pelaku dan dapat mengembalikan keadaan seperti semula dengan pemenuhan
pembayaran denda sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

B. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan, maka saran-saran yang dapat
disampaikan adalah sebagai berikut:

1. Penjelasan diatas menjelaskan jika selama ini implementasi pidana denda telah
memenuhi ketentuan, namun terdapat hambatan yang bukan disebabkan oleh jaksa
dalam menerapkan pidana denda tersebut sehingga implementasi pidana denda tidak
berjalan sesuai dengan yang semestinya. Maka lebih baik jika Undang-Undang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan segera dilakukan revisi, (1) Dibuatnya ketentuan
mengenai tindakan-tindakan lain untuk menjamin pelaksanaan pidana denda, seperti
pelaksanaan penyitaan asset kekayaan untuk dilelang yang dicantumkan dalam undang-
undang. Revisi ini perlu dilakukan karena walaupun Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus
telah mengeluarkan petunjuk teknis namun tetap saja hakim memiliki hak untuk tidak
mengikuti tuntutan yang diberikan oleh penuntut umum. (2) Hendaknya pidana denda
yang diberikan oleh hakim dan dituntut oleh penuntut umum mempertimbangkan
faktor-faktor non yuridis dari terdakwa seperti sosial ekonominya, karena merupakan
hal yang sia-sia bila pidana denda diberikan sebesar mungkin namun terpidana tidak
akan dapat membayarnya. Putusan yang telah diberikan kepada terpidana hanya akan
menjadi tulisan hitam diatas putih yang tidak dapat direalisasikan tujuan utamanya.
Sebenarnya tidak tepat apabila putusan dengan pidana denda dapat diubah menjadi
pidana kurungan jika terpidana tidak dapat membayar karena akan menjadi
diskriminatif terhadap terpidana miskin. Oleh karena itu nilai tukar pidana kurungan dan
pidana denda harus realistis dan tidak menguntungkan salah satu pihak saja. Karena
bagaimana pun hukum dibuat untuk memberikan keadilan bagi masyarakatnya.
2. Penjelasan kebijakan mengenai kriteria penjatuhan pidana denda seharusnya dibuat, hal

15
ini dikarenakan dalam hukum pidana Indonesia masih menjadi pertanyaan mengenai
siapa sajakah yang dapat dikenakan pidana denda dan apa saja kriteria yang harus
dipenuhi. Pidana denda tidak boleh hanya menjadi sanksi yang mati karena tidak dapat
berjalan sesuai dengan tujuannya.

16
LAMPIRAN

https://news.detik.com/berita/d-5205952/kasus-korupsi-pajak-dan-tppu-rinaldus-
dieksekusi-ke-rutan-salemba

Jakarta - Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Barat mengeksekusi Direktur PT Indopiranti


Solusitama, Rinaldus Andry Suseno Alias Andry ke Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta
Pusat. Rinaldus merupakan terpidana kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) perpajakan.

"Tim Seksi Tindak Pidana Khusus telah melaksanakan eksekusi badan terhadap terpidana
Rinaldus kasus perkara TPPU ke Rutan Salemba, Jakarta Pusat hari ini, karena salinan putusan
MA terhadap kasus Rinaldus baru diterima dari PN Jakarta Barat," kata Kepala Kejaksaan
Negeri (Kejari) Jakarta Barat, Dwi Agus Arfianto dalam keterangan pers tertulisnya, Kamis
(8/10/2020).

Dwi mengatakan eksekusi ini dilaksanakan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA)
Nomor 3094 K/Pid.Sus/2019 tanggal 29 April 2019 yang telah berkekuatan hukum tetap atau
inkrah. Rinaldus terbukti melakukan TPPU dalam Pasal 3,4,5 Undang-undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan vonis 1
tahun penjara dan denda Rp 2 miliar.

Dwi mengatakan Rinaldus telah melakukan tindak pidana perpajakan dalam kurun 2010-2015
yang merugikan negara miliaran rupiah. Rinaldus kemudian melakukan pencucian uang
dengan hasil korupsinya itu.

Dwi mengungkap Rinaldus sebelumnya telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana
perpajakan dengan vonis 3 tahun dan denda Rp 2 miliar. Hal ini berdasarkan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 770 K/Pid.Sus/2016 tanggal 39 Juni 2016.

Dalam pengembangan penyidik PPNS pajak, Rinaldus kembali dijerat dalam perkara TPPU.
Rinaldus pun dituntut 6 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar.

Baca juga:Kejagung Sebut Aset Sitaan Kasus Jiwasraya Bertambah


"Namun Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis dengan pidana penjara selama 2 tahun dan
denda sebesar Rp 2 miliar rupiah. Atas putusan tersebut JPU menyatakan banding," ucapnya.

Kemudian, berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor:


53/Pid.Sus/2018.PT.DKI tanggal 4 April 2018, Rinaldus divonis dengan pidana penjara selama
1 tahun dan denda sebesar Rp 2 miliar rupiah. Saat itu, jaksa penuntut umum (kembali)
melakukan kasasi.

Pada tingkat kasasi, Rinaldus terbukti bersalah melakukan TPPU dengan vonis selama 2 tahun
penjara. Rinaldus juga turut didenda senilai Rp 2 miliar.

"Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pencucian
uang sebagaimana dimaksud dalam dakwaan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang
17
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
dan divonis selama 1 tahun penjara serta pidana denda sebesar Rp.2.000.000.000," ucapnya.

Sementara itu, Kasi Pidsus Kejari Jakarta Barat Reopan Saragih menyebut eksekusi terhadap
Rinaldus memang dilakukan di tengah pandemi virus Corona (COVID-19). Namun, Reopan
mengklaim hal ini sebagai bentuk upaya penegakan hukum.

"Dibawanya Rinaldus ke dalam penjara ini dilakukan di tengah adanya pandemi virus COVID-
19 atau Corona. Tim eksekutor dari Kejaksaan Negeri Jakarta Barat tetap melaksanakan
tugasnya sebagai upaya penegakan hukum," katanya

18

Anda mungkin juga menyukai