1
atau bank BUMD atau tempat pembayaran lainnya yang telah ditetapkan oleh menteri keuangan,
sesuai ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU KUP.
d. Kewajiban membuat pembukuan atau pencatatan. Bagi wajib pajak orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan wajib pajak badan di Indonesia diwajibkan
membuat pembukuan, sesuai ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU KUP. Sementara itu, pencatatan
dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan
penghasilan neto dan wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.
e. Kewajiban menaati pemeriksaan pajak. Terhadap wajib pajak yang diperiksa, sesuai
ketentuan Pasal 29 ayat (3) UU KUP, tentunya wajib menaati ketentuan pemeriksaan pajak.
Misalnya, wajib pajak wajib memberikan keterangan yang diperlukan oleh pemeriksa pajak.
HAK FISKUS
a. Hak menerbitkan NPWP atau NPPKP secara jabatan. Sesuai Pasal 2 ayat (4) UU KUP, hak
menerbitkan NPWP dan NPPKP dilakukan secara jabatanoleh karena wajib pajak atau pengusaha
kena pajak tidak melaksanakan kewajibannya untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan
usahanya ke kantor pajak.
b. Hak menerbitkan surat ketetapan pajak. 7 Berbagai surat ketetapan pajak yang merupakan
hak fiskus untuk menerbitkannya adalah Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).
c. Hak menerbitkan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. Fiskus dapat
menerbitkan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan jika wajib pajak tidak
melunasi utang pajaknya sebagaimana ditentukan dalam SKPKB setelah jatuh tempo
pembayaran.
d. Hak melakukan pemeriksaan dan penyegelan. Pasal 29 UU KUP mengatur tentang hak fiskus
untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Fiskus juga melakukan penyegelan terhadap tempat atau ruangan tertentu
yang dianggap perlu guna kelancaran pemeriksaan.
e. Hak menghapuskan atau mengurangi sanksi administrasi. Sanksi administrasi kepada wajib
pajak yang berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terdapat dalam ketetapan pajak dapat
dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak, sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Pasal 36 UU KUP.
KEWAJIBAN FISKUS
a. Kewajiban untuk membina wajib pajak. Pembinaan kepada wajib pajak dapat dilakukan
melalui berbagai upaya seperti pembelian penyuluhan ketentuan perpajakan terbaru, pemberian
pengetahuan perpajakan, baik melalui media masa maupun penerangan langsung kepada
masyarakat.
b. Kewajiban menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. Berdasarkan permohonan wajib
pajak atas adanya kelebihan pembayaran pajak dan fiskus telah melakukan pemeriksaan atas
permohonan tersebut, dan sepanjang proses pemeriksaan benar menghasilkan adanya kelebihan
pembayaran pajak, maka fiksus berkewajiban menerbitkan SKPLB paling lambat 12 bulan sejak
surat permohonan diterima kantor pajak.
2
c. Kewajiban merahasiakan data wajib pajak. Masalah kerahasiaan data di bidang perpajakan
merupakan hal yang sangat penting, karena data yang disampaikan wajib pajak kepada fiskus
berkaitan dengan masalah data perusahaan, penghasilan, dan data lainnya yang tidak boleh
diketahui pihak lain. Maka sesuai ketentuan Pasal 34 UU KUP, setiap petugas pajak dilarang
mengungkapkan kerahasiaan wajib pajak kepada pihak lain atas segala sesuatu yang menyangkut
masalah data perpajakan.
d. Kewajiban melaksanakan putusan. Putusan pengadilan pajak langsung dapat dilaksanakan
dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-
undangan mengatur lain. Putusan pengadilan pajak harus dilaksanakan oleh pejabat yang
berwenang dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal diterima putusan.
PENGHINDARAN PAJAK
Tax avoidance atau penghindaran pajak adalah usaha yang dilakukan oleh wajib pajak, untuk
mengurangi atau bahkan meniadakan hutang pajak yang harus dibayar yang dilakukan secara
legal, aman dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan dengan cara
memanfaatkan kelemahan-kelemahan (grey area) yang terdapat dalam undang-undang perpajakan
suatu negara. Penghindaran pajak dapat terjadi di dalam bunyi ketentuan atau tertulis di undang-
undang dan berada dalam jiwa dari undang-undang tetapi berlawanan dengan jiwa undang-
undang. Penghindaran pajak atau tax avoidance adalah suatu tindakan yang legal yang berbeda
dengan penyeludupan pajak. Penghindaran pajak dilakukan dengan memanfaatkan celah atau
kelemahan dalam sistem perpajakan untuk mengurangi atau menghilangkan kewajiban membayar
pajak. Dengan cara:
a. Pindah lokasi perusahaan ke negara dengan tarif pajak yang lebih rendah atau memanfaatkan
fasilitas pajak yang diberikan oleh negara tujuan.
b. Memanipulasi struktur perusahaan atau transaksi keuangan untuk memindahkan keuntungan ke
negara dengan tarif pajak yang lebih rendah.
c. Memanfaatkan celah hukum atau peraturan perpajakan yang ambigu untuk mengurangi
kewajiban membayar pajak.
Penghindaran pajak berganda internasional dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1. Penghindaran pajak berganda internasional secara sepihak Penghindaran pajak berganda
internasional secara sepihak merupakan wujud kedaulatan suatu negara untuk mengatur sendiri
masalah pemungutan pajak dalam suatu undang- 9 undang. Hal ini dimaksudkan untuk
melindungi wajib pajak dalam negerinya sendiri yang melakukan usaha atau mempunyai
penghasilan di negara lain, mengikuti kebiasaan internasional, menarik modal asing, dan lain
sebagainya.
2. Penghindaran pajak berganda internasional secara bilateral Penghindaran pajak berganda
internasional secara bilateral dilakukan melalui suatu perundingan dua negara yang
berkepentingan untuk menghindari terjadinya pajak berganda. Pada prinsipnya, penghindaran
pajak berganda dengan cara bilateral dimaksudkan untuk memberikan kejelasan dalam membagi
hak pengenaan pajak (pemajakan) suatu negara dengan negara lain terhadap suatu objek pajak
sehingga wajib pajak tidak terbebani dengan membayar pajak dua kali.
RAHASIA JABATAN
Rahasia jabatan perpajakan adalah suatu prinsip yang memungkinkan pejabat perpajakan untuk
merahasiakan informasi tentang wajib pajak yang diperoleh dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Prinsip rahasia jabatan perpajakan diatur dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
3
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Prinsip rahasia jabatan perpajakan
memberikan perlindungan kepada pejabat perpajakan untuk tidak membuka informasi tentang
wajib pajak yang mereka peroleh dalam menjalankan tugas-tugasnya. Hal ini dimaksudkan untuk
menjaga kerahasiaan dan privasi wajib pajak serta mencegah penyalahgunaan informasi oleh
pihak yang tidak berwenang. Namun, prinsip rahasia jabatan perpajakan bukan berarti bahwa
pejabat perpajakan bebas melakukan tindakan yang merugikan wajib pajak.
WAKIL DAN KUASA WAJIB PAJAK
Kuasa atau wakil wajib pajak adalah seseorang atau badan hukum yang diberi kuasa atau
wewenang oleh wajib pajak untuk melakukan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan
perpajakan yang berkaitan dengan kewajiban pajaknya. Berdasarkan Pasal 32 UU HPP, setiap
orang yang ditunjuk menjadi kuasa Wajib Pajak harus mempunyai kompetensi tertentu dalam
aspek perpajakan, kecuali apabila kuasa Wajib Pajak merupakan suami, istri, atau keluarga
sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua. Ketentuan ini menyesuaikan dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 63/PUU-XV/2017 sehingga kuasa Wajib Pajak dapat dilakukan
oleh konsultan pajak atau pihak lain sepanjang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
1. Seorang kuasa harus dapat menguasai ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang di
bidang perpajakan
2. Seorang kuasa juga harus memiliki surat kuasa khusus yang diberikan oleh Wajib Pajak
sebagai pihak pemberi kuasa
3. Seorang kuasa juga harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
4. Seorang kuasa terlebih dahulu telah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak
Penghasilan (PPh) Tahun Pajak Terakhir
5. Seorang kuasa juga tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan.
Berakhirnya pemberian kuasa
1) Jika seorang kuasa terbukti melakukan perbuatan sebagai berikut: a. melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, b. menghalang-halangi pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, atau c. dipidana karena
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya;
2) Berakhirnya pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu yang
tercantum dalam surat kuasa khusus; atau
3) Adanya pencabutan pemberian kuasa oleh Wajib Pajak yang diberitahukan secara tertulis dan
disampaikan kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang menangani pelaksanaan
hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan yang dikuasakan.
Isi Surat Kuasa Khusus
1) Tercantum nama, alamat, dan juga tandatangan yang dilakukan di atas materai, serta
tercantum Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari Wajib Pajak pemberi kuasa
2) Tercantum nama, alamat, dan juga tandatangan yang dilakukan di atas materai, serta tercantum
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari pihak penerima kuasa
3) Tercantum hak atau kewajiban perpajakan tertentu yang akan dikuasakan.
4
Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pengertian tersebut termuat di dalam Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Nomor
28 Tahun 2009. Pajak atau kontribusi wajib yang diberikan oleh penduduk suatu daerah kepada
pemerintah daerah ini akan digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan kepentingan umum
suatu daerah. Contohnya seperti pembangunan jalan, jembatan, pembukaan lapangan kerja baru,
dan kepentingan pembangunan serta pemerintahan lainnya. Selain untuk pembangunan suatu
daerah, penerimaan pajak daerah merupakan salah satu sumber Anggaran Pendapatan Daerah
(APBD) yang digunakan pemerintah untuk menjalankan program-program kerjanya.
5
OECD Secara tradisional,perpajakan internasional mengacu pada ketentuan perjanjian yang
menghilangkan pajak berganda internasional. Hukum Pajak Internasional adalah keseluruhan
peraturan dan kaidah-kaidah hukum antarnegara seperti traktat,konvensi,dan lain
sebagainya(mencakup juga perjanjian bilateral perpajakan) yang berdasarkan prinsip-prinsip
hukum pajak telah lazim diterima baik oleh negara-negara di dunia,maupun kaidah-kaidah
nasional untuk mengatur soal-soal perpajakan yang mempunyai objek pajak hukum perselisihan
khususnya dalam bidang perpajakan,dalam mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur
asing,baik mengenai subjeknya maupun objeknya
KEDAULATAN HUKUM PAJAK INTERNASIONAL INDONESIA
Hukum Pajak Internasional Indonesia secara umum dapat dikatakan berlaku terbatas hanya pada
subjeknya dan objeknya yang berada di wilayah Indonesia saja. Hukum Pajak Internasional dapat
berkaitan dengan subjek maupun objek yang berada di luar wilayah Indonesia sepanjang ada
hubungan yang erat dalam hal terdapat hubungan ekonomis atau hubungan kenegaraan dengan
Indonesia. UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17
Tahun 2000 (UU PPh) khususnya dalam pasal 26 diatur bahwa terhadap WP luar negeri yang
memperoleh penghasilan dari Indonesia antara lain berupa bunga,royalti,sewa,hadiah, dan
penghargaan,akan dikenakan PPh sebesar 20% dari jumlah bruto. Pasal ini menunjukan bahwa
contoh adanya hubungan ekonomis antara orang asing dengan penghasilan yang diperoleh di
Indonesia.
Dalam hukum antarnegara terdapat suatu asas mengenai kedaulatan negara yang dinyatakan
sebagai kedaulatan setiap negara untuk dengan bebas mengatur kepentingan-kepentingan rumah
tangganya sendiri,dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum antar negara dan bebas dari
pengaruh kekuasaan negara lain. Sesuai dengan asas yang dimaksud di muka, maka kedaulatam
pemajakan sebagai spesial dari gengsi kedaulatan negara dapat dinyatakan sebagai kedulatan
suatu negara untuk bertindak merdeka dalam lapangan pajak.
SUMBER HUKUM PAJAK INTERNASIONAL
1. Hukum Pajak Nasional atau Unilateral Yakni hukum pajak nasional yang mengandung unsur
asing. Penulis mengambil contoh dari UU PPh dan UU PPN,misalnya: a). Pasal 5 Undang-
undang PPh mengenai Bentuk Usaha Tetap(BUT). Yang dimaksud dengan bertempat tinggal
atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia namun menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. b). Pasal 26 Undang-undang PPh mengenai
pembayaran antara lain berupa dividen, bunga,sewa,royalti, kepada Wajib Pajak luar negeri
yang dikenakan pajak sebesar 20%
2. Traktat, yaitu kaedah hukum yang dibuat menurut perjanjian antar negara baik secara
bilateral maupun multilateral. Perjanjian secara bilateral yang telah dilakukan Indonesia
dengan negara-negara lain sampai saat ini telah mencapai 49 Negara dalam bentuk Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty).
3. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak Internasional.
Keputusan hakim nasional maupun komisi Internasional yang memberikan putusan yang
menyangkut adanya unsur Internasional merupakan sumber hukum yang sifatnya mengikat
juga bagi hukum pajak Indonesia
PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL
Pajak berganda Internasional umumnya terjadi karena pada dasarnya tidak ada hukum
Internasional yang mengatur hal tersebut sehingga terjadi bentrokan hukum antar dua negara atau
6
lebih. pajak berganda Internasional terjadi apabila pengenaan pajak dari dua negara atau lebih
saling menindih,sedemikian rupa sehingga orangorang yang dikenakan pajak di negara-negara
yang lebih dari satu memikul beban pajak yang lebih besar daripada jika mereka dikenakan pajak
di satu negara saja. Dari pengertian di atas jelas bahwa pajak berganda Internasional akan timbul
karena atas satu objek pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali
sehingga menimbulkan beban yang berat bagi subjek pajak yang dikenakan pajak tersebut.
Sebab Terjadinya Pajak Berganda Antara Lain:
1. Subjek Pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negara (bentrokan titik
pertautan subjektif) yang dapat terjadi karena adanya: a). Domisili rangkap,misalnya Tuan X
Wajib Pajak warga negara A berada di negara B selama 16 bulan. Apabila menurut ketentuan
negara A,wajib pajak yang meninggalkan negara A tidak lebih dari 18 bulan masih dianggap
sebagai wajib pajak dalam negeri dari negara A,sedangkan negara B dalam ketentuannya
menganggap orang yang bertempat tinggal di negara B lebih dari 12 bulan adalah wajib pajak
negaranya. Dengan demikian,status tuan X secara bersamaan dianggap mempunyai dua
domisili yang akan dikenakan pajak baik oleh negara A maupun negara B atas seluruh
penghasilannya.
2. Objek Pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negara (bentrokan titik
pertautan objektif). Misalnya,Tuan X bertempat tinggal di negara A melakukan usaha di
negara B dengan suatu Permanent Establishment (BUT= Bentuk Usaha Tetap). Selanjutnya
BUT tersebut memberikan know-how (kemampuan teknologi)kepada relasinya di negara C,
maka negara C dapat mengenakan pajak karena di negaranya digunakan know-how tersebut.
Demikian juga negara B dapat mengenakan pajak karena BUT tersebut ada di negara B.
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL
Ada dua cara untuk menghindari pajak berganda Internasional, yaitu pertama,cara
unilateral(sepihak) dan kedua, cara bileteral atau multilateral.
1. Cara Unilateral (sepihak)
Cara ini dilakukan dengan memasukkan ketentuan-ketentuan untuk menghindarkan pajak
berganda dalam undang-undang suatu negara dengan suatu prosedur yang jelas. Biasanya
yang dimasukkan dalam undang-undang suatu negara adalah prinsip-prinsip yang sudah
menjadi kelaziman Internasional,seperti ketentuan tentang pembebasan pajak para wakil
diplomatik,wakil-wakil organisasi Internasional. Pembebasan pajak ini biasanya diisyaratkan
adanya asas resiprositas atau timbal balik yang artinya bahwa negara yang bersangkutan baru
akan memberikan pembebasan apabila sebaliknya negara lainnya juga memberikan
pembebasan atas dasar syarat yang sama. Penggunaan cara ini merupakan wujud kedaulatan
suatu negara untuk mengatur sendiri masalah pemungutan pajak dalam suatu undang-undang
2. Cara Bilateral atau Multilateral
Cara bilateral atau multilateral dilakukan melalui suatu perundingan antar negara yang
berkepentingan untuk menghindarkan terjadinya pajak berganda. Perjanjian yang dilakukan
secara bilateral oleh dua negara sedangkan multilateral dilakukan oleh lebih dari dua negara,
yang lebih dikenal dengan sebutan traktat atau tax treaty. Proses terjadinya perjanjian secara
12 bilateral maupun multilateral tentu akan memakan waktu yang cukup lama karena
masingmasing negara mempunyai prinsip pemajakannya masing-masing sesuai dengan
kedaulatan negaranya sendiri. Penghindaran pajak cara bilateral umumnya yang paling
banyak dilakukan oleh suatu negara
7
BAB 8 SUBJEK DAN OBJEK PAJAK
I. Subjek Pajak
1. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan
yang berhak.
2. Badan yang terdiri atas Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya,
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, Persekutuan, Perkumpulan, Firma, Kongsi. Koperasi, Yayasan atau
organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, dan bentuk badan usaha lainnya.
3. Bentuk Usaha Tetap
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau badan
yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Subjek PPh dibedakan antara subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
Subjek pajak dalam negeri adalah sebagai berikut.
1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk yang bertempat tinggal di Indonesia.
2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Warisan yang belum
terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Sementara itu, yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri adalah sebagai berikut.
1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
berkedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di
Indonesia.
2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
berkedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Subjek pajak dalam negeri akan menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh
penghasilan, sedangkan subjek pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak sehubungan dengan
penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui BUT di
8
Indonesia.
Perbedaan antara subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri diketahui terutama
dalam hal pemenuhan kewajiban pajaknya, yaitu:
1. Subjek pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
Indonesia, sedangkan subjek pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan yang
bersumber dari Indonesia.
2. Subjek pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum,
sedangkan subjek pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif
pajak sepadan (proporsional).
3. Subjek pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)
sebagai sarana menghitung pajak yang terutang. sedangkan subjek pajak luar negeri tidak wajib
menyampaikan SPT Tahunan karena kewajiban pajaknya sudah dipenuhi melalui pemotongan
pajak yang bersifat final
Sebagaimana diketahui bahwa PPh merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya
melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajaknya tidak dilimpahkan
kepada subjek lainnya. Oleh karenanya, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak
subjektif menjadi penting sebagaimana diatur dalam Pasal 2A UU PPh sebagai berikut.
1. Untuk orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari, dimulai saat dilahirkan dan berakhir saat meninggal
dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
2. Untuk badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia, dimulai saat badan tersebut
didirikan atau berkedudukan di Indonesia dan berakhir saat dibubarkan atau tidak lagi
berkedudukan di Indonesia.
3. Untuk orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 hari atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang
menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia, dimulai saat orang pribadi atau badan tersebut
menjalankan usaha dan berakhir saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui BUT.
4. Untuk orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 hari atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha
atau memperoleh penghasilan dengan melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, dimulai
saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
dan berakhir saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut
5. Untuk warisan yang belum terbagi, dimulai saat timbulnya warisan tersebut dan berakhir saat
warisan tersebut selesai dibagi
2. Subjek Pajak Pertambahan Nilai
Subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). PKP adalah
pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan penyerahan Jasa Kena Pajak
(JKP) yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya
ditetapkan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan menjadi
9
PKP Karena UU PPN tidak menyebutkan secara jelas siapa-siapa yang termasuk subjek PPN, maka
untuk memudahkan memahami, dapat dilihat ketentuan ketentuan sebelumnya berdasarkan Pasal 18
UU PPN mengenai ketentuan peralihan, yaitu berdasarkan PP No. 22 Tahun 1985, PP No. 28 Tahun
1988 serta PP No 75 Tahun 1991 yang dapat disebutkan beberapa contoh yang termasuk
Pengusaha Kena Pajak sebagai subjek PPN, yaitu sebagai berikut:
Pabrikan, Importir, Indentor, Agen utama atau penyalur utama, Pengusaha pemegang hak atau
menggunakan paten tau merek dagang BKP, Pedagang besar, Eksportir, Pedagang eceran besar,
Pemborong atau kontraktor, Penaha jasa bidang telekomunikasi, Pengusaha jasa angkatan udara
dalam negeri,Pengusaha lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
Menurut keputusan Menteri Keuangan No. 648/KMK 04/1994 Tanggal 29 Desember 1994, batasan
yang termasuk pengusaha kecil adalah sebagai berikut.
1. Selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dengan jumlah peredaran bruto tidak
lebih dari Rp240.000.000 atau JKP dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari
Rp120.000.000
2. Apabila pengusaha melakukan penyerahan, baik BKP maupun JKP batas peredaran
brutonya adalah:
a. Rp240.000.000 jika peredaran BKP lebih dari 50% dari jumlah seluruh.
b. Rp120.000.000 jika peredaran JKP lebih dari 50% dari jumlah sebuah peredaran bruto
Keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas selanjutnya diganti dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010. Dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut ditegaskan bahwa
yang dimaksud dengan pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan bruto tidak lebih dari Rp600.000.000 (enam ratus juta rupiah). Pengusaha kecil
sebagaimana dimaksud di atas tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
dilakukannya.
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah orang atau badan yang mempunyai kewajiban
untuk melunasi PBB sesuai dengan ketentuan UU PBB menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang bayar. Kekurangan akan ditambah
dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.
3. Subjek Bea Materai
Pengaturan masalah bea materai diatur dalam UU No. 13 Tahun 1985. Dalam undang- undang
tersebut, dijelaskan bahwa bea materai merupakan pajak yang dikenakan terhadap suatu dokumen.
Tidak semua dokumen dikenakan bea materai. Dokumen yang dikenakan bea materai hanyalah
dokumen yang disebutkan dalam undang-undang tersebut. Pihak yang menggunakan dokumen-
10
dokumen yang disebutkan dalam undang-undang adalah subjek dari bea materai tersebut. Aartinya
adalah merekalah yang wajib melunasi sejumlah bea materai yang telah ditentukan.
Apabila suatu dokumen belum dibubuhi bea materai, namun apabila akan digunakan sebagai
alat bukti di pengadilan, maka pihak yang akan menggunakan dokumen tersebut sebagai bukti,
dibebani kewajiban untuk melunasi bea materainya terlebih dahulu. Pelunasan dilakukan melalui
pejabat pos yang disebut pemeteraian kemudian.
Dalam Undang-Undang Bea Materai No. 13 Tahun 1985. Dalam undang-undang tersebut,
ditegaskan bahwa bea materai terutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat
manfaat dari suatu dokumen, kecuali pihak yang bersangkutan menentukan lain. Lebih jelasnya
diberikan contoh sebagai berikut.
1. Dalam hal suatu dokumen dibuat sepihak, misalnya kuitansi, maka bea materai terutang
oleh penerima kuitansi.
2. Dalam hal dokumen dibuat oleh dua pihak atau lebih, misalnya surat perjanjian di bawah
tangan, masing-masing pihak terutang bea materai atas dokumen yang diterimanya.
3. Jika surat perjanjian dibuat dengan akta notaris, maka bea materai yang terutang atas asli
sahih yang disimpan oleh notaris maupun salinannya yang diperuntukkan pihak- pihak yang
bersangkutan terutang oleh pihak-pihak yang mendapat manfaat dari dokumen tersebut,
yang dalam contoh ini adalah pihak yang mengadakan perjanjian.
4. Jika pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain, maka bea materai terutang
oleh pihak atau pihak-pihak yang ditentukan dalam dokumen tersebut.
Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa ditentukannya pihak atau pihak-pihak yang
mempunyai kewajiban untuk pelunasan bea materai adalah agar tidak menimbulkan salah
pengertian serta memberikan kepastian hukum mengenai subjek atau pihak yang harus melunasi bea
materai yang terutang.
II. Objek Pajak
1) PPh Pasal 21
Pasal 21 UU PPh mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui
pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari wajib pajak orang
pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Pihak yang wajib
melakukan pemotongan penyetoran, dan pelaporan adalah pemberi kerja, bendahara
pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggara kegiatan. Objek PPh
pasal 21 adalah sebagai berikut.
a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun
11
bulanan, upah, honorarium (termasuk honoarium anggota dewan komisaris atau
anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang
tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan kehamilan,
tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transportasi, tunjangan pajak,
tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, beasiswa hadiah, premi
asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama
apa pun.
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa produksi,
gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi
tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap
c. Upah harian, upah mingguan, upah satuan dan upah borongan.
d. Uang tebusan pensiun, uang tabungan hari tua atau tunjangan hari tua, uang
pesangon, dan pembayaran lainnya yang sejenis.
e. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk
apa pun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak dalam negeri.
f. Gaji dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima oleh
pejabat negara, pegawai negeri sipil, serta uang pensiun dan tunjangan- tunjangan
lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan
termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya.
Sementara itu, yang bukan termasuk objek PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut.
a. Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa.
b. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali yang diatur dalam Pasal 5
ayat (2)
c. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendirinya telah disahkan
oleh menteri keuangan serta iuran tabungan hari tua atau tunjangan hari tua kepada
badan penyelenggara jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.
d. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apa pun
yang berkaitan oleh pemerintah.
e. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja. Pemberian THT-
Taspen dan PT Taspen kepada para pensiun yang berhak menerimanya.
2) PPh Pasal 22
Pasal 22 UU PPh mengatur mengenai pemungutan pajak sehubungan dengan pembayaran
atas penyerahan barang dan adanya kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha lainnya.
Objek PPH Pasal 22 adalah:
a. Penyerahan barang dan/atau jasa kepada institusi pemerintah;
b. Kegiatan impor ke dalam daerah pabean.
c. Sementara itu, yang bukan objek PPh Pasal 22 adalah sebagai berikut:
d. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan perundang-
12
undangan tidak terutang PPh
e. Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk, antara lain:
1) barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di
Indonesia berdasarkan atas timbal balik;
2) barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas
di Indonesia yang dinyatakan sebagai bukan subjek PPh berdasarkan
keputusan Menteri Keuangan
3) buku ilmu pengetahuan;
4) barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau
kebudayaan;
5) barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain
semacam itu yang terbuka untuk umum;
6) barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan;
7) barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang cacat
lainnya.
3) PPh Pasal 23
Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23) adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan
atas modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh
Pasal 21. Umumnya penghasilan jenis ini terjadi saat adanya transaksi antara pihak yang
menerima penghasilan (penjual atau pemberi jasa) dan pemberi penghasilan. Pihak yang
memberikan penghasilan akan memotong dan melaporkan PPh 23 ke kantor pajak. Subjek
pajak PPh 23 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan BUT (Bentuk Usaha Tetap). BUT
sendiri adalah bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
di Indonesia atau yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dan dalam jangka waktu
12 bulan atau badan yang melakukan kegiatan di Indonesia untuk menjalankan usaha.
Objek PPh Pasal 23 adalah:
a. Dividen;
b. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
c. Royalty;
d. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
e. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa
lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 antara lain:
1) jasa perancang interior dan jasa perancang tanaman;
2) jasa akuntansi dan pembukuan;
3) jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan;
4) jasa penerbangan hutan;
13
5) jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan migas, kecuali yang
dilakukan oleh BUT;
6) jasa penunjang di bidang penambahan migas;
4) PPh Pasal 26
Menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, PPh Pasal 26 adalah pajak penghasilan
yang dikenakan atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri dari Indonesia selain
bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. PPh Pasal 26 mengatur kebijakan mengenai pajak
yang berhubungan dengan wajib pajak luar negeri. Badan usaha yang melakukan transaksi
pembayaran gaji, bunga, dividen, royalti dan sejenisnya kepada Wajib Pajak Luar Negeri
diwajibkan untuk membayar PPh Pasal
26. Terdapat pengecualian mengenai PPh yang dikenakan atas penghasilan yang diterima
Wajib Pajak Luar Negeri dari Indonesia, yaitu tidak berlaku untuk yang bukan BUT di
Indonesia. Pada dasarnya objek PPh Pasal 26 sama dengan objek PPh Pasal 23, hanya saja
14
dalam PPh Pasal 26 yang menerima penghasilan tersebut adalah wajib pajak luar negeri,
sedangkan dalam PPh Pasal 23 yang menerima penghasilan adalah wajib pajak dalam
negeri. Selain itu, sifat pemotongan PPh Pasal 26 adalah bersifat final (tidak dapat
dikreditkan) sedangkan pemotongan dalam PPh Pasal 23 sifatnya tidak final (dapat
dikreditkan).
2. Objek Pajak Pertambahan Nilai
Objek dalam PPN adalah penyerahan atau kegiatan yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak.
Ada enam kegiatan yang tegaskan UU PPN sebagai objek PPN, yaitu sebagai berikut.
1. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
2. Impor BKP.
3. Penyerahan JKP yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh pengusaha.
4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
6. Ekspor BKP oleh pengusaha kena pajak.
Agar penyerahan barang dan jasa yang dikenakan pajak bisa terkena PPN, atas penyerahan
barang dan jasa tersebut harus memenuhi empat syarat, yaitu:
1. yang diserahkan adalah BKP atau JKP (karena ada jenis barang dan jasa yang tidak
dikenakan pajak);
2. dilakukan di dalam Daerah Pabean;
3. tindakan penyerahannya merupakan penyerahan kena pajak (karena ada bentuk
penyerahan yang tidak dikenakan pajak);
4. penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya sehari-hari.
Barang kena pajak (BKP) adalah barang berwujud (bergerak dan tidak bergerak) dan tidak
berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN. Barang tidak berwujud yang dimaksud
adalah hak atas merek, hak paten dan hak cipta. Sementara itu, yang dimaksud dengan jasa kena
pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum
yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai,
termasuk jasa yang dilakukan untuk penghasilan barang karena pesanan atau permintaan dengan
bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
Penyerahan yang merupakan penyerahan kena pajak sebagaimana dimaksud pada syarat nomor
3 adalah sebagai berikut.
1. Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian yang meliputi: jual-beli, tukar- menukar,
jual-beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas
barang.
2. Penghasilan BKP karena perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing.
15
3. Penyerahan BKP kepada perantara atau melalui juru lelang.
4. Pemakaian sendiri dan pembelian cuma-cuma.
5. Persediaan BKP dan aset yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang
masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas perolehan aset tersebut
menurut ketentuan dapat dikreditkan.
6. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antarcabang.
7. Penyerahan BKP secara konsinyasi.
Sementara itu, yang tidak termasuk pengertian penyerahan BKP adalah sebagai berikut.
1. Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- Undang
Hukum Dagang (KUHD).
2. Penyerahan BKP untuk jaminan utang piutang.
3. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan antarcabang, dalam
hal pengusaha kena pajak memperoleh izin pemusatan tempat pajak terutang.
4. Penyerahan persediaan BKP dalam rangka perubahan bentuk usaha atau penggabungan
usaha atau pengalihan seluruh aset perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang
berhak atas BKP.
- Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik
dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks
bangunan tersebut; Jalan tol; Kolam renang; Pagar mewah; Tempat olahraga; Galangan
kapal, dermaga; Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
Fasilitas lain yang memberikan manfaat
Undang-undang menegaskan bahwa terhadap objek PBB seperti di bawah ini tidak dikenakan PBB.
Objek yang tidak dikenakan PBB adalah sebagai berikut:
1. Tanah atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di
bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional yang tidak
dimaksudkan untuk tidak memperoleh keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam
bidang-bidang tersebut.
2. Tanah atau bangunan yang digunakan untuk kuburan umum, peninggalan purbakala, atau
yang sejenis dengan itu, seperti museum.
3. Tanah atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik atau konsulat
16
berdasarkan asas perlakuan timbal balik. Artinya, bila tanah gedung perwakilan RI di
negara tertentu dikenakan PBB, hal yang sama kita perlakukan terhadap tanah atau gedung
negara tersebut yang ada di sini.
4. Tanah yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
5. Tanah dan bangunan yang digunakan oleh perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Sekalipun objek yang digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat dan yang digunakan oleh
badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan tidak
terkena pajak, hal ini bukan berarti pembebasan atas subjeknya melainkan karena pembebasan
objeknya semata. Hanya saja karena objek PBB yang digunakan oleh wakil-wakil tersebut yang
dibebaskan dari pengenaan pajaknya, seolah-olah subjeknya juga ikut dibebaskan.
4. Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Objek dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah perolehan hak atas
tanah dan bangunan yang dapat berupa tanah (termasuk tanaman di atasnya), bangunan, atau tanah
dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut meliputi hal-hal seperti pemindahan
hak dan pemberian hak baru
Pemindahan hak dapat terjadi karena adanya beberapa hal, misalnya seperti:
Jual beli; Tukar menukar; Hibah; Hibah wasiat; Waris; Pemasukan dalam perseroan atau badan
hukum lainnya; Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; Penunjukan pembeli dalam
lelang; Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; Penggabungan
usaha; Peleburan usaha; Pemekaran usaha; Hadiah;
Sementara itu, pemberian hak baru dapat terjadi karena: Kelanjutan kelepasan hak dan Di luar
pelepasan hak
4. Objek Bea Materai
Objek bea materai adalah dokumen. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang
mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan pihak-
pihak yang berkepentingan. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengenaan bea
materai bukanlah pada perbuatan hukumnya melainkan pada ada atau tidaknya dokumen yang
dibuat untuk membuktikan adanya perbuatan itu. Jika suatu peristiwa dibuatkan suatu dokumen,
maka atas dokumen tersebut akan terkena bea materai. Sebaliknya, apabila suatu peristiwa tidak
dibuatkan dokumen, otomatis tidak ada bea materainya. Beberapa dokumen yang wajib dikenakan
bea materai, adalah sebagai berikut:
17
rangka-rangkapnya.
c) Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000 (satu juta rupiah), yaitu
yang:
Menyebutkan penerimaan uang;
Menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening
bank;
Berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
Pada umumnya, surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan dibuat dengan tidak
dimaksudkan untuk tujuan sebagai alat bukti, misalnya bila seseorang mengirim surat biasa
kepada orang lain untuk menjualkan sebuah barang, atau surat kerumahtanggaan, seperti
daftar harga barang. Surat-surat semacam ini pada mulanya tidak terutang bea materai,
tetapi apabila di kemudian hari dipakai sebagai alat pembuktian di muka pengadilan, surat-
surat tersebut harus terlebih dahulu dilunasi bea materainya, baru kemudian dapat dijadikan
alat bukti di pengadilan. Pemeteraian kemudian dilakukan oleh pejabat pos dan giro (di
kantor pos).
Demikian halnya dengan surat-surat yang karena tujuannya tidak dikenakan bea
materai, tetapi apabila tujuannya kemudian diubah maka surat yang demikian dikenakan bea
materai. Misalnya, surat keterangan dokter, tidak dikenakan bea materai, tetapi apabila di
kemudian hari tanda penerimaan uang tersebut digunakan sebagai alat pembuktian di muka
pengadilan, maka harus dilakukan pemeteraian kemudian oleh pejabat pos dan giro.
Sementara itu, dokumen yang tidak dikenakan bea materai, adalah sebagai berikut:
1. Dokumen yang berupa:
Surat penyimpanan barang; Konosemen (Bill of Lading atau B/L); Surat angkutan
penumpang dan barang; Keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen dimaksud
dalam angka 1), 2), dan angka 3); Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang; Surat
pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; Surat-surat lainnya yang dapat
disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam point 1 sampai dengan point 6
seperti surat/titipan barang, ceel gudang, manifest penumpang.
18
2. Segala bentuk ijazah, yaitu STTB, tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti suatu
pendidikan, latihan, khusus, dan penataran.
3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada
kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan
pembayaran itu.
4. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, dan bank.
5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan
dengan itu dari kas negara, kas pemerintah daerah, dan bank.
6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan internal organisasi.
7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh
Bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut.
8. Surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian
9. Tanda pembagian keuntungan atau dari bunga efek, dengan nama
dan dalam bentuk apapun.
Dalam administrasi negara, pemerintah daerah terbagi menjadi pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten / kota. Jenis-jenis pajak pun dikelompokkan berdasarkan provinsi dan
kabupaten/kota (Pasal 2 UU 28/2009).
PAJAK PROVINSI
19
kendaraan di atas air perintis yaitu kapal yang fungsinya sebagai pelayanan angkutan perintis.
Angkutan perintis yaitu angkutan operasional bersubsidi untuk melayani daerah terisolasi dan
belum berkembang.
Objek BBNKB
(1) Objek BBNKB adalah kendaraan bermotor termasuk kendaraan bermotor beroda beserta
gandengannya, yang dioperasikan di semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang
dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (lima gross tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh
gross tonnage), yang :
a. diserahkan kepemilikannya, sebagai akibat dari jual beli, hibah, warisan dan perjanjian;
b. diubah bentuk, ganti fungsi dan ganti mesin; dan
c. dimasukkan dari luar negeri, untuk dipakai secara tetap di Indonesia.
(2) Dikecualikan dari objek BBNKB adalah :
a. kendaraan bermotor yang masuk dari luar negeri :
1. untuk dipakai sendiri oleh orang yang bersangkutan sepanjang di negara asalnya telah
didaftarkan atas nama sendiri, dengan menunjukkan bukti-bukti yang sah;
2. untuk dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia; dan
3. digunakan untuk pameran, penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional;
b. Kendaraan bermotor milik Kedutaan, Konsulat Perwakilan Negara Asing dan Perwakilan
Lembaga-lembaga Internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah
dengan asas timbal balik;
c. kendaraan bermotor milik pabrikan atau importir yang sematamata tersedia untuk dipamerkan
dan/atau dijual; dan
d. terjadi perubahan nama yang dibuktikan dengan surat keterangan dari Instansi yang
berwenang, tetapi tidak mengubah kepemilikan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada (untuk dikeluarkan kembali dari wilayah pabean
Indonesia), tidak berlaku apabila selama 3 (tiga) tahun berturut-turut kendaraan bermotor dimaksud
20
tidak dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia.
(4) Dikecualikan dari pengertian kendaraan bermotor, yaitu :
a. kereta api;
b. kendaraan bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan
negara; dan
c. kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai Kedutaan, Konsulat, Perwakilan Negara
Asing dan Perwakilan Lembaga-lembaga Internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan
pajak dari Pemerintah, dengan asas timbal balik.
Subjek BBNKB
Subjek BBNKB adalah orang pribadi, Badan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah
Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa, TNI dan Polri yang menerima penyerahan kendaraan bermotor.
Dikecualikan dari subjek BBNKB, yaitu Kedutaan, Konsulat Perwakilan Negara Asing dan
Perwakilan Lembaga-lembaga Internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari
Pemerintah, dengan asas timbal balik.
Pajak PBB-KB diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor.
Tarif PBB-KB:
Objek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang
disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang
digunakan untuk kendaraan di air. Bahan bakar Kendaraan Bermotor sebagaimana yang dimaksud
adalah pertamax, premium, solar dan sejenisnya.
21
4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah
Pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah merupakan setiap kegiatan pengambilan dan
pemanfaatan air tanah yang dilakukan dengan cara penggalian, pengeboran atau dengan membuat
bangunan untuk dimanfaatkan airnya dan/atau tujuan lainnya. Pajak Air Tanah didapat dengan
melakukan pencatatan terhadap alat pencatatan debit untuk mengetahui volume air yang diambil
dalam rangka pengendalian air tanah dan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah.
5. Pajak Rokok
Pajak Rokok merupakan pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah pusat.
Untuk mengendalikan dampak negatif rokok di Indonesia maka diadakannya pungutan cukai
rokok menjadi latar belakang diadakannya pajak rokok. Pemungutan pajak rokok diberikan
kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri (Sidik,
2002) dengan mengalokasikan 50% untuk mendanai fasilitas pelayanan kesehatan dan di bidang
penegakan hukum sesuai Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Objek pajak dari Pajak Rokok adalah jenis rokok yang meliputi sigaret, cerutu,
dan rokok daun. Konsumen rokok telah otomatis membayar pajak rokok karena WP membayar
Pajak Rokok bersamaan dengan pembelian pita cukai. Wajib pajak yang bertanggung jawab
membayar pajak adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin
berupa Nomor Pokok Pengusaha kena Cukai. Subjek pajak dari Pajak Rokok ini adalah konsumen
22
rokok. Tarif pajak rokok sebesar 10% dari cukai rokok dipungut oleh instansi pemerintah yang
berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
1. Pajak Hotel
Pajak Hotel merupakan dana/iuran yang dipungut atas penyedia jasa penginapan yang
disediakan sebuah badan usaha tertentu yang jumlah ruang/kamarnya lebih dari 10. Tarif pajak
hotel dikenakan sebesar 10% dari jumlah yang harus dibayarkan kepada hotel dan masa pajak
hotel adalah 1 bulan. Dasar hukum pemungutan pajak hotel pada suatu Kabupaten atau Kota
adalah sebagaimana di bawah ini;
1. UU No.34 tahun 2000 yang merupakan perubahan atas UU No.18 tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
2. Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
3. Peraturan daerah Kabupaten/Kota yang mengatur tentang pajak hotel.
4. Keputusan Bupati/Walikota yang mengatur tentang Pajak Hotel sebagai aturan pelaksanaan
peraturan daerah tentang Pajak Hotel pada Kabupaten / Kota yang dimaksud.
2. PAJAK RESTORAN
Pajak Restoran merupakan pajak yang dikenakan atas pelayanan yang disediakan oleh
restoran. Tarif pajak restoran sebesar 10% dari biaya pelayanan yang ada diberikan sebuah
restoran.
Objek Pajak Restoran
1. Pelayanan yang disediakan oleh restoran.
2. Pelayanan yang disediakan restoran meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau
23
minuman yang dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain
3. Tidak termasuk objek pajak restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran yang
nilai penjualannya di bawah Rp. 1000.000,00 (satu juta rupiah) per bulan.
Subjek pajak restoran adalah orang pribadi atau Badan yang membeli makanan dan/atau minuman
dari restoran.
3. Pajak Hiburan
Pajak hiburan dapat diartikan sebagai pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan sebuah
hiburan. Pajak hiburan dapat meliputi, semua jenis pertunjukkan, tontonan, permainan, atau
keramaian dalam bentuk apapun dan dapat dikenakan pungutan pajak. Berdasarkan dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 42 ayat (2) Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, yang termasuk ke dalam objek pajak hiburan, yaitu:
1. Tontonan film
2. Pagelaran kesenian, musik, tari, dan busana
3. Kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya
4. Pameran
5. Diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya
6. Sirkus, akrobat, dan sulap
7. Biliar, golf, dan bowling,
8. Pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan
9. Panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran
10. Pertandingan olahraga.
Sedangkan untuk subjek pajak hiburan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 dalam Pasal 43 merupakan orang pribadi atau badan yang
menikmati hiburan dan yang merupakan wajib pajak hiburan merupakan orang pribadi atau badan
yang menyelenggarakan hiburan tersebut.
4. Pajak Reklame
Menurut Pasal 48 ayat (1), subjek pajak adalah orang pribadi maupun badan yang menggunakan
reklame tersebut. Tarif untuk pajak reklame ini adalah 25% dari nilai sewa reklame yang
bersangkutan. Objek pajak reklame adalah semua penyelenggara reklame. Adapun objek pajak yang
dimaksud diantaranya, yakni :
1. Reklame papan, billboard, videotron, megatron, dan sejenisnya.
2. Reklame kain.
3. Reklame stiker.
4. Reklame selebaran.
5. Reklame berjalan, termasuk yang ada pada kendaraan.
6. Reklame udara.
7. Reklame apung.
8. Reklame suara.
24
9. Reklame film atau slide.
10. Reklame peragaan.
Selain itu, adapun hal-hal yang tidak termasuk objek pajak reklame, yakni :
Penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta
bulanan, dan sejenisnya.
Label atau merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan yang memiliki
fungsi guna membedakan dari produk sejenis lainnya.
Nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan tempat usaha atau
profesi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur nama pengenal usaha atau
profesi tersebut.
Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Penyelenggaraan reklame lain yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
Reklame yang diselenggarakan oleh perwakilan diplomatic, perwakilan PBB, badan dan
lembaga khusus badan atau lembaga organisasi internasional pada lokasi kantor badan yang
dimaksud.
25
alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan. Secara lebih terperinci, jenis mineral
bukan logam dan batuan yang termasuk objek pajak MBLB antara lain asbes, batu tulis, batu
setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonite, dolomit, feldspar, dan garam
batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, dan leusit. Selain itu, magnesit, mika, marmer,
nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, dan phospat, tanah serap (fullers earth),
tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolite, basal, trakkit, dan mineral bukan logam
dan batuan lain. Berikut ini tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan:
1. Tarif untuk mineral bukan logam sebesar 25%,
2. Tarif untuk batuan sebesar 20%.
7. Pajak Parkir
Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2009 Pasal 1 angka 31 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (UU PDRD) diterangkan bahwa pajak parkir merupakan pajak atas
penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan. Hal ini juga meliputi tempat parkir yang dimiliki
pokok usaha ataupun sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan
bermotor. Menurut UU PDRD Pasal 63, subjek pajak parkir adalah orang pribadi atau badan yang
melakukan parkir kendaraan bermotor. Sesuai dengan amanat UU PDRD Pasal 65 Ayat (1)
diterangkan bahwa tarif pajak parkir paling tinggi ditetapkan senilai 30% dari Dasar Pengenaan
Pajak (DPP). Pada DPP tersebut merupakan jumlah pembayaran yang seharusnya dibayar kepada
penyelenggara tempat parkir.
26
bumi atau bangunan yang dimiliki, dikuasi, atau dimanfaatkan. Objek pajak ini adalah bumi
dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
Kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
27