Anda di halaman 1dari 11

UPAYA HUKUM WAJIB PAJAK

Upaya hukum yang ditempuh oleh Wajib Pajak khususnya melalui keberatan di
Direktorat Jenderal Pajak dan banding di Pengadilan Pajak tidak terlepas dari terbitnya surat
ketetapan pajak hasil dari pemeriksaan pajak. Oleh karena itu, akan diuraikan terlebih dahulu
tinjauan yuridis dan pelaksanaan pemeriksaan pajak berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Selanjutnya baru akan diuraikan proses keberatan, banding, gugatan
dan peninjauan kembali.

A. Pemeriksaan Pajak
Berdasarkan sistem self assesment yang dianut Undang-Undang Perpajakan
Indonesia, bahwa seharusnya setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang
berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan dengan tidak menggantungkan pada
adanya surat ketetapan pajak. Untuk mengawal sistem self assessment, Direktur Jenderal
Pajak diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pengujian terhadap pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak apakah sudah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan melalui proses pemeriksaan pajak.
Pemeriksaan dalam fungsinya merupakan salah satu alat yang diperlukan dalam
manajemen perpajakan. Khususnya dalam sistem self assessment ada ketentuan bahwa
pelaporan Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak harus dianggap benar kecuali
dapat dibuktikan terjadinya kesalahan (tidak demikian halnya dalam sistem official
assessment yaitu benar ataupun tidak menurut Wajib Pajak berdasarkan laporan SPT dengan
tanpa kecuali harus diperiksa oleh pejabat pajak).
Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan
suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Berdasarkan definisi tersebut pemeriksaan pajak dikelompokkan
menjadi 2 (dua) yaitu pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan untuk tujuan lain.
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib
Pajak harus dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP.
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dapat
dilakukan dalam hal Wajib Pajak:
a. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, termasuk yang
telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak;
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi;
c. tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi melampaui jangka
waktu yang telah ditetapkan dalam Surat Teguran;
d. melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau
akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; atau
e. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil
analisis risiko (risk based selection) mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan wajib

1
pajak yang tidak dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan


perundang-undangan perpajakan dilakukan dengan kriteria antara lain sebagai berikut:
a. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
b. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
d. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
e. pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
f. pencocokan data dan/ atau alat keterangan;
g. penentuan wajib pajak berlokasi di daerah terpencil;
h. penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
i. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
j. penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi
kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/atau
k. memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda.

Mengingat jumlah Wajib Pajak yang sangat banyak dibandingkan dengan petugas
pajak yang melakukan pemeriksaan pajak memberikan konsekuensi tidak semua Wajib Pajak
akan diperiksa. Kebijakan prioritas pemeriksaan masih ditekankan terhadap permohonan
pengembalian pajak (restitusi). Hal ini dilatarbelakangi karena restitusi akan berakibat
keluarnya uang negara sehingga harus dipastikan kebenarannya. Pemeriksaan juga
diprioritaskan terhadap Wajib Pajak yang diindikasikan tidak memenuhi kewajiban
perpajakan dengan berdasar analisis kepatuhan.
Hasil dari proses pemeriksaan pajak adalah diterbitkannya surat ketetapan pajak
oleh Direktur Jenderal Pajak berupa Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT). Dalam proses pemeriksaan pajak juga
dapat diterbitkan Surat Tagihan Pajak (STP).

B. Pengertian Sengketa Pajak


Pangkal sengketa pajak dapat diartikan sebagai sumber dari timbulnya sengketa
dalam bidang perpajakan. Dalam hukum pajak, baru dapat disebut sengketa jika diterbitkan
suatu ketetapan pajak tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi negara (Dirjen
Pajak) yang dianggap tidak benar dan tidak adil oleh Wajib Pajak.
Rumusan sengketa pajak dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak dinyatakan:
“Sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung
pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang
dapat diajukan banding atau gugatan ke pengadilan pajak berdasarkan peraturan

2
perundang-undangan perpajakan, termasuk atas pelaksanaan penagihan berdasarkan
Undang-undang Penagihan Pajaka dengan Surat Paksa.”
Dengan kata lain, sengketa pajak terjadi karena adanya ketidaksamaan persepsi
atau perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dan petugas pajak mengenai penetapan pajak
terutang yang diterbitkan atau adanya tindakan penagihan yang dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Pajak. Pengertian sengketa pajak umumnya di awali dari diterbitkannya surat
ketetapan pajak atau ditetpkan surat tindakan penagihan pajak.
Sengketa pajak yang berawal dari ketidaksesuaian persepsi antara Wajib Pajak
dan pejabat pajak mengenai penerapan Undang-Undang Perpajakan dapat diselesaikan atau
ditempuh penyelesaiannya melalui peradilan pajak. Peradilan pajak dalam hukum pajak
meliputi : (1) lembaga keberatan; dan (2) pengadilan pajak.
Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan Surat Ketetapan Pajak dari Direktur
Jenderal Pajak, menurut pasal 25 UU KUP diberikan hak untuk melakukan penyelesaian
sengketa tersebut melalui proses keberatan (bezwaar). Apabila Wajib Pajak berpendapat
bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana
mestinya, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.
Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan keputusan keberatan dari Dirjen Pajak, menurut
paal 27 UU KUP dapat mengajukan banding hanya kepada badan peradilan pajak.
Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh suatu administrasi yang masih
termasuk dalam organisasi Direktorat Jenderal Pajak, lazimnya disebut Peradilan
Administrasi Tidak Murni, seperti peradilan yang dilakukan oleh Hakim Doleansi pada
Direktorat Jenderal Pajak, yang memutuskan surat keberatan. Sedangkan peradilanmengenai
sengketa pajak yang dilakukan oleh suatu instansi yang ada di luar struktur organisasi
Direktorat Jenderal Pajak, yaitu oleh suatu instansi pengadilan yang berdiri sendiri
(Pengadilan Pajak) disebut Peradilan Administrasi Murni.

C. Upaya Hukum Keberatan


Pasal 25 UU KUP menyatakan bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan
hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu surat ketetapan pajak atau
pemotongan/pemungutan pajak oleh pihak ketiga. Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak
tertuju pada materi atau isi dari bentuk perbuatan hukum yang dilakukan oleh pejabat pajak
dan pemotong atau pemungut pajak.
Bentuk-bentuk perbuatan hukum dari pejabat pajak dalam melakukan penagihan
pajak yang dapat diajukan keberatan adalah:
a. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB); dan
d. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Sementara itu bentuk perbuatan hukum dari pemotong atau pemungut pajak dalam
melakukan pemotongan atau pemungutan pajak adalah pemberian bukti pemotongan atau
pemungutan pajak kepada Wajib Pajak yang dikenakan pemotongan atau pemungutan pajak.
Apabila bukti pemotongan atau pemungutan pajak tidak diberikan kepada wajib pajak
tersebut, pemotong atau pemungut pajak pada hakikatnya telah melakukan pelanggaran
hukum pajak karena bukti pemotongan atau pemungutan pajak merupakan hak Wajib Pajak

3
untuk mendapatkannya dari pemotong atau pemungut pajak. Sebaliknya , pemotong atau
pemungut pajak merupakan kewajiban untuk memberikan bukti pemotongan atau
pemungutan pajak kepada wajib pajak yang bersangkutan.
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan
jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi
menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat
ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak kecuali apabila Wajib
Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan
di luar kekuasaannya. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan
pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah
yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat
keberatan disampaikan. (Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut
bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan).
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak atas
jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1
(satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Jumlah pajak yang belum
dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan tidak termasuk sebagai utang pajak.
Surat keberatan diputuskan oleh Hakim Doleansi (pejabat pajak yang diberi tugas
memutus surat keberatan) tanpa mengadakan sidang seperti terdapat dalam pengadilan
negeri, tapi hanya berdasarkan data yang diajukan oleh Wajib Pajak dan data pada Kantor
Pelayanan Pajak. Pelaksanaan penyelesaian keberatan pajak oleh Direktur Jenderala Pajak
(sendiri) menimbulkan pertanyaan dan keragua-raguan dari para Wajib Pajak pencari
kebenaran dan keadilan karena Direktur Jenderal Pajak yang menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak dan dialah pula yang harus menyelesaikan sengketanya.Lembaga keberatan menurut
Rochmat Soemitro (1964:51) merupakan peradilan administrasi tidak murni karena yang
mengadakan peradilan termasuk dalam atau merupakan bagian dari salah satu pihak yang
bersengketa.
Apabila terdapat hal-hal yang tidak kurang jelas, Wajib Pajak dapat dipanggil
untuk memberikan penjelasan lebih lanjut. Untuk membuktikan kebenaran hal-hal yang
dikemukakan oleh Wajib Pajak, lazimnya oleh Wajib Pajak diajukan bukti tertulis, bahkan
sering juga cukup dengan menunjukkan hal-hal yang dapat meyakinkan Hakim Doleansi,
bahwa apa yang dikemukakan Wajib Pajak adalah benar Wajib Pajak diberikan hak untuk
hadir memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya.
Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan paling lama 12 bulan sejak
surat keberatan Wajib Pajak diterima lengkap. Jika sampai dengan jangka waktu tersebut
belum diberikan keputusan maka permohonan keberatan Wajib Pajak dikabulkan sesuai
dengan surat keberatan Wajib Pajak. Keputusan Direktur Jenderal Pajak terkait surat
keberatan Wajib Pajak dapat mengabulkan sebagaian atau seluruhnya, menolak atau
menambah pajak yang terurang.
Dalam hal keberatan wajib pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak
berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi
administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) tidak dikenakan.

4
D. Upaya Hukum Banding
Banding adalah Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Banding merupakan kelanjutan dari
upaya hukum keberatan. Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU KUP, Wajib Pajak dapat
mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan
Keberatan. Banding berbeda dengan keberatan, banding merupakan proses peradilan murni di
hadapan badan peradilan murni, sehingga nampak adanya hubungan segi tiga antara pihak
yang bersengketa dengan hakim. Hakim tidak termasuk salah satu pihak.
Jika pihak yang bersengketa beranggapan bahwa surat keputusan keberatan
menimbulkan ketidakadilan maupun ketidakbenaran, dapat diajukan banding. Agar banding
dapat diterima untuk diperiksa oleh Pengadilan Pajak, terlebih dahulu hatus memenuhi
persyaratan. Adapun persyaratan sahnya suatu banding sebagaimana yang ditentukan, adalah
sebagai berikut:
1. Banding diajukan dengan surat banding dalam bahasa Indonesia.
2. Surat banding itu ditujukan kepada Pengadilan Pajak.
3. Memuat alasan-alasan yang jelas dan dicantumkan tanggal diterima keputusan keberatan
yang dibanding.
4. Melampirkan salinan surat keputusan keberatan yang dibanding.
5. Banding terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, lebih dulu telah dibayar sebesar
lima puluh persen.
6. Surat banding diajukan dalam jangka waktu yang ditentukan, kecuali karena keadaaan di
luar kekeuasaannya (force majeur).
7. Apabila surat banding dibuat dan ditandatangani oleh kuasa hukum pembanding harus
disertai dengan surat kuasa khusus yang sah.
Apabila persyaratan tersebut tidak terpebuhi, Banding dianggap tidak memenuhi syarat
formal dan akan disidangkan dalam pemeriksaan dengan acara cepat.
Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh
satu atau lebih kuasa hukum dengan surat kuasa khusus (Pasal 34 UU Pengadilan Pajak).
Untuk menjadi kuasa khusus harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Warga Negara Indonesia;


b. mempunyai pengetahuan yang luas dan keahlian tentang peraturan perundang- undangan
perpajakan;
c. persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Dalam hal kuasa hukum yang mendampingi atau mewakili pemohon Banding atau penggugat
adalah keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua, pengawal, atau
pengampu, persyaratan tersbut tidak diperlukan.
Persyaratan lain untuk menjadi kuasa hukum pada pengadilan pajak diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor: 61/PMK.01/2012, yaitu:

a. merupakan Warga Negara Indonesia (WNI);

5
b. memiliki asli Surat Kuasa Khusus dari pihak yang bersengketa untuk mendampingi
atau yang mewakilinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-
Undang Pengadilan Pajak dalam berperkara pada Pengadilan Pajak;
c. mempunyai pengetahuan yang luas dan keahlian tentang peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan;
d. memiliki ijazah Sarjana atau Diploma IV dari perguruan tinggi yang terakreditasi oleh
instansi yang berwenang;
e. mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
f. memiliki Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia (POLRI) atau instansi yang berwenang.
g. dalam hal orang perseorangan yang akan menjadi Kuasa Hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah mantan Hakim Pengadilan Pajak, yang bersangkutan
harus telah melewati jangka waktu 2 (dua) tahun setelah berhenti/pensiun sebagai
Hakim Pengadilan Pajak.

Kalau dikaji secara yuridis terhadap persyaratan banding tersebut di atas, suatu
surat banding harus berisikan atau memuat hal-hal mengenai:
1. Identitas pihak-pihak yang bersengketa, baik pembanding maupun terbanding yang
meliputi nama, pekerjaan, nomor pokok wajb pajak atau nomor pengukuhan pengusaha
kena pajak, alamat atau kedudukan;
2. Fundamentum petendi (posita), yakni uraian mengenai alasan-alasan pengajuan banding,
baik alasan-alasan berdasarkan keadaan maupun alasan-alasan berdasarkan hukum.
3. Petitum, yakni hal-hal yang dimohonkan oleh pembanding agar dapat dikabulkan dalam
persidangan.
Banding dapat diajukan oleh:
1. Wajib Pajak sendiri,
2. Ahli warisnya,
3. Pengurus, atau
4. Kuasa hukumnya.

Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan


peradilan tata usaha negara. Putusan Pengadilan Pajak terhadap surat banding dari Wajib
Pajak dapat menerima sebagian atau seluruhnya, menolak atau menabah pajak yang terutang.
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan
Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan. Berdasarkan Pasal 27A UU Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP), dalam
hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah pajak yang
belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak
tanggal penerbitan Putusan Banding. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
permohonan keberatan tidak termasuk sebagai utang pajak. Jumlah pajak yang belum dibayar
pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai
dengan Putusan Banding diterbitkan.
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan
hukum tetap, yang berarti dapat langsung dieksekusi. Namun demikian pihak-pihak yang
bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada
Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan 1 (satu) kali.

6
Banding akan diproses oleh Pengadilan Pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
permohonan banding diterima. Dalam hal khusus dapat diperpanjang paling lama 3 (tiga)
bulan.
Hak Wajib Pajak setelah proses banding diputuskan:
1. Dalam hal banding ditolak dan masih belum merasa puas dengan keputusan Pengadilan
Pajak, maka Wajib Pajak dapat menempuh upaya peninjauan kembali ke Mahkamah
Agung dengan memenuhi aturan/ketentuan mengenai peninjauan kembali.
2. Dalam hal permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, sepanjang utang
pajak sebagaimana dimaksud dalam SKPKB atau SKPKBT telah dibayar, Wajib Pajak
berhak mendapatkan imbalan bunga.

E. GUGATAN
Gugatan merupakan Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat
diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Gugatan diajukan kepada Pengadilan Pajak. Beradsarkan Pasal 23 ayat (2) UU KUP, gugatan
hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat dilakukan terhadap:
a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman
Lelang;
b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang
ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP; atau
d. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam
penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, pengurus, atau kuasa
hukumnya. Syarat pengajuan gugatan:
1. Diajukan dalam Bahasa Indonesia.
2. Satu surat gugatan untuk satu pelaksanaan penagihan atau keputusan
Permohonan Gugatan dapat diajukan:
1. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak adalah 14
(empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.
2. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan atas pelaksanaan Keputusan adalah 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal diterimanya Keputusan yang digugat.

F. PENINJAUAN KEMBALI
Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa yang diajukan oleh para pihak
yang bersengketa atas putusan Pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung. Peninjauan Kembali
diajukan kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Alasan permohonan
Peninjauan Kembali:
1. Apabila Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat
pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti
7
yang kemudian oleh Hakim Pidana dinyatakan palsu.
2. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila
diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang
berbeda.
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut.
4. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya.
5. Apabila terdapat satu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku

Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan:


1 Dalam hal Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan, jangka waktu pengajuan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung
sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak Putusan Hakim Pengadilan
Pidana memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Dalam hal terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, jangka
waktu pengajuan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak ditemukannya surat-surat
bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan
disahkan oleh pejabat yang berwenang.
3. Dalam hal:
- telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
- suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
- terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
jangka waktu pengajuan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Putusan Pengadilan dikirim.

Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan satu kali dan permohonan Peninjauan
Kembali tidak menanguhkan atau menghentikan pelaksanaan Putusan Pengadilan Pajak.
Peninjauan Kembali dapat dicabut sebelum diputus dan tidak dapat diajukan kembali
Mahkamah Agung harus menyelesaikan permohonan Peninjauan Kembali (PK):
1. Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan Peninjauan Kembali diterima oleh
Mahkamah Agung, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan
acara biasa.
2. Dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan Peninjauan Kembali diterima oleh
Mahkamah Agung, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan
acara cepat.

8
9
10
11

Anda mungkin juga menyukai