Anda di halaman 1dari 8

1.

Keberatan dapat diajukan atas : 


a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB); 
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT); 
c.  Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB); 
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN); 
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.

Wajib Pajak hanya dapat mengajukan keberatan terhadap materi atau isi dari surat ketetapan pajak, yang
meliputi jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya
pajak, atau terhadap materi atau isi dari pemotongan atau pemungutan pajak.

            Sebagian besar Wajib Pajak melakukan proses keberatan karena Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang
dianggap tidak adil. Dan surat ketetapan pajak itu biasanya diterbitkan sebagai produk dari pemeriksaan pajak.
Keberatan umumnya didahului dengan proses pemeriksaan.

Syarat Pengajuan Keberatan

1. Satu Keberatan harus diajukan untuk satu jenis dan satu tahun/masa pajak; 
2. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia; 
3. Wajib menyatakan alasan-alasan secara jelas; 
4. Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang menurut penghitungan Wajib Pajak.
5. 1 (satu) keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu) pemotongan
pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
6. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah
disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil
verifikasi, sebelum Surat Keberatan disampaikan;

Siapa saja yang dapat mengajukan keberatan? 

1. Bagi Wajib Pajak Badan oleh Pengurus; 


2. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi oleh Wajib Pajak yang bersangkutan; 
3. Pihak yang dipotong/dipungut pihak ketiga; 
4. Kuasa yang ditunjuk oleh mereka pada butir diatas.

Jangka waktu pengajuan keberatan: 

1. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal SKP atau sejak tanggal dilakukan
pemotongan/ pemungutan, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan jangka waktu tersebut tidak
dapat dipenuhi karena di luar kekuasaannya 
2. Surat keberatan yang diantar langsung ke Kantor Pelayanan Pajak, maka jangka waktu 3 bulan
dihitung sejak tanggal SKP atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai
saat keberatan diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak. 
3. Surat keberatan yang dikirim melalui pos (harus dengan pos tercatat), maka jangka waktu 3 bulan
dihitung sejak tanggal SKP atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai
dengan tanggal bukti pengiriman melalui Kantor Pos dan Giro.

Jika lewat tiga bulan, surat keberatan tidak dianggap karena tidak memenuhi syarat formal. Tetapi juga
membolehkan jangka waktu lebih dari tiga bulan jika “dalam keadaan diluar kekuasaannya.” Inilah klausul yang
sering dimanfaatkan oleh Wajib Pajak. Pengajuan Keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak.

Merujuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9/PMK.03/2013 yang telah diubah dengan PMK Nomor
203/PMK.03/2015, berikut ini syarat yang harus dipenuhi wajib pajak saat menyampaikan surat keberatan ke
kantor pajak:
Pertama, surat keberatan harus ditulis dalam bahasa Indonesia dan dikirimkan ke Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) tempat wajib pajak terdaftar baik secara langsung, melalui pos atau cara lain seperti jasa ekspedisi atau
secara elektronik menggunakan aplikasi e-filing. 

Kedua, sebutkan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong maupun yang dipungut, atau jumlah
rugi versi wajib pajak, disertai alasan dan dasar penghitungannya.

Ketiga, surat keberatan hanya dapat diajukan atas satu surat ketetapan pajak, satu pemotongan pajak atau
satu pemungutan pajak saja.

Keempat, permohonan keberatan hanya dapat dilakukan apabila wajib pajak melunasi pajak yang masih harus
dibayar yang masih disetujui saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan. 

Kelima, surat permohonan keberatan hanya dapat diajukan dalam rentang waktu tiga bulan sejak surat
ketetapan pajak diterbitkan atau pemotongan maupun pemungutan pajak dilakukan. 

Kecuali, jika terjadi kondisi darurat atau kahar seperti bencana alam sehingga batas waktu tersebut tidak dapat
dipenuhi.

Keenam, surat keberatan harus ditandatangani oleh wajib pajak. Kalau pun wajib pajak tidak bisa
menandatanganinya, dapat dikuasakan kepada pihak lain disertai dengan surat kuasa.

Permohonan keberatan memang bisa menjadi jalan keluar ketika wajib pajak tidak puas atas ketetapan kantor
pajak. Namun, wajib pajak juga harus memastikan bahwa ketidakpuasannya itu didukung dengan data dan
alasan yang benar.

Sebab, mengajukan keberatan tanpa persiapan dan data yang benar bisa berujung sanksi administrasi. 

Pasalnya, bila permohonan keberatan ditolak, wajib pajak akan dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar 50% dari jumlah pajak yang ada di keputusan keberatan dikurangi pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan.

Sanksi itu juga berlaku untuk keputusan keberatan yang justru menambah jumlah utang pajak yang harus
dibayar. (ASP)

4.
Pembetulan SPT merupakan hak seorang wajib pajak untuk dilaksanakan apabila pada akhirnya terdapat
kesalahan/kekeliruan pada SPT yang dilaporkan. Faktanya Pembetulan SPT telah diatur dalam Pasal 8 Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat
membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis,
dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Tindakan pemeriksaan yang
dimaksudkan adalah:

 Penyampaian surat pemberitahuan pemeriksaan kepada wajib pajak, wakil kuasa, pegawai atau

anggota keluarga yang telah dewasa dari wajib pajak,

 Penyampaian surat pemberitahuan hasil verifikasi, dan

 Penyampaian pemberitahuan pemeriiksaan bukti permulaan

Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana diatas, menyatakan rugi atau lebih bayar.
Pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa
penetapan. Pasal 13 ayat (1) UU KUP menyatakan bahwa dalam hal pembetulan SPT menyatakan rugi atau
lebih bayar, pembetulan SPT harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
Yang dimaksud dengan kadaluwarsa penetapan adalah jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya
pajak atau berakhirnya Masa Pajak, atau Tahun Pajak. Persyaratan diatas bertujuan untuk memberikan waktu
untuk Dirjen Pajak untuk melakukan pemeriksaan sebelum jatuh tempo daluwarsa penetapan.

2. Fungsi pemeriksaan pajak adalah mendorong Wajib Pajak melaporkan kegiatan usahanya dengan benar.
Benar karena Wajib Pajak melaporkan kegiatan usahanya, penghasilannya, hartanya, dan hutangnya sesuai
keadaan sebenarnya. Tidak ada yang ditutupi, tidak ada yang disembunyikan dan terbuka.

Pada saat pemeriksaan, pemeriksa akan menguji:

 pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau
pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
 penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
 harta dan kewajiban; dan/atau
 pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang
pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.

Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan
dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban
perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya yang dilakukan oleh Wajib
Pajak.

Kewajiban perpajakan atas pajak Wajib Pajak sendiri yaitu Pajak Penghasilan atau yang dikenal PPh Badan dan
PPh Orang Pribadi, maupun kewajiban pemotongan dan pemungutan seperti Pajak Pertambahan Nilai, PPh
Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan
dengan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan standar pemeriksaan.

Setelah dilakukan pengujian-pengujian terhadap data, keterangan, dan/atau bukti maka pemeriksa akan
menerbitkan surat ketetapan pajak:

 Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) dalam hal jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam hal besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit
pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak
yang masih harus dibayar;
 Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal jumlah kelebihan pembayaran pajak karena
jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang;
 Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal ada sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda;
 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalam hal pajak yang menentukan tambahan
atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

Saya sudah menulis tentang pemeriksaan pajak di blog pajaktaxes.blogspot.com yang cukup lengkap. Di tulisan
kali ini, saya menulis ulang pemeriksaan pajak berdasarkan ketentuan dan pengalaman penulis.

Masih banyak Wajib Pajak yang menganggap apa yang dilakukan pemeriksa pajak sebagai pemeriksaan pajak.
Padahal yang dimaksud adalah penelitian. Secara umum, penelitian merupakan tindakan administrasi pajak
oleh petugas pajak.

Kegiatan penelitian oleh petugas pajak sangat beragam. Produk hasil penelitian juga sangat banyak. Bisa
berupa surat biasa, permintaan keterangan, sampai keputusan.

Sedangkan ciri utama kegiatan pemeriksaan ditandai dengan adanya surat pemberitahuan pemeriksaan pajak,
dan Surat Pemeriksaan Pajak yang disampaikan oleh pemeriksa pajak.

Tujuan Pemeriksaan

Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan
lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang KUP, “Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

Berdasarkan Pasal 29 ini, tujuan pemeriksaan pajak ada dua, yaitu: menguji kepatuhan kewajiban perpajakan,
dan tujuan lain.

Pemeriksaan Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan


Pemeriksaan pajak merupakan bagian tak terpisahkan (built-in) dengan sistem self assessment  yang dianut
dalam sistem perpajakan di Indonesia. Pemeriksaan pajak dilakukan dalam rangka pengawasan (control)
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.

Tanpa pengawasan, Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya cenderung menghindari bayar
pajak. Bahkan banyak juga Wajib Pajak yang menghindari bayar pajak dengan cara yang tidak benar dengan
cara menurunkan omset, atau menambah biaya yang pada akhirnya menghilangkan keuntungan fiskal.

Menurut sistem self assessment, Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif wajib:

 Mendaftar diri ke Kantor Pelayanan Pajak untuk mendapatkan NPWP sesuai tempat tinggal, tempat
domisili atau tempat kedudukan Wajib Pajak tersebut.
 Menghitung sendiri jumlah pajak yang terutang.
 Menyetor sendiri pajak yang terutang ke bank persepsi.
 Melaporkan kegiatan usaha, penghasilan, harta, dan hutang melalui media Surat Pemberitahuan (SPT)
dengan benar, lengkap, jelas dan ditandatangan.

Benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang
harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.

Jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan.

Penjelasan terbaik sistem self assessment  ada pada Pasal 12 Undang-Undang KUP. Pasal ini merupakan
penegasan bahwa kewajiban perpajakan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.

Penerbitan surat ketetapan pajak terbatas hanya pada Wajib Pajak tertentu yang terbukti melaporkan SPT
tidak benar. Berbeda dengan sistem official assessment bahwa pajak terutang timbul dari terbitnya surat
ketetapan pajak.

Berikut kutipan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP dan bagian penjelasannya.

“Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.”

Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP

Penjelasan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP berbunyi:

Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk
kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:
a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak
lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; atau
c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.
Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar oleh Wajib Pajak
setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat
(2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).

Berdasarkan Undang-Undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat
ketetapan pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat
ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam
pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.

Penjelasan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP

Fungsi pemeriksaan pajak adalah mendorong Wajib Pajak melaporkan kegiatan usahanya dengan benar. Benar
karena Wajib Pajak melaporkan kegiatan usahanya, penghasilannya, hartanya, dan hutangnya sesuai keadaan
sebenarnya. Tidak ada yang ditutupi, tidak ada yang disembunyikan dan terbuka.

Benar karena Wajib Pajak telah menghitung pajak terutang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku. Benar karena Wajib Pajak menyetor pajak-pajak ke Kas Negara yang telah dipungut
atau dipotong dari pihak lain.

Pada saat pemeriksaan, pemeriksa akan menguji:

 pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau
pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
 penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
 harta dan kewajiban; dan/atau
 pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang
pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.

Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan
dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban
perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya yang dilakukan oleh Wajib
Pajak.

Kewajiban perpajakan atas pajak Wajib Pajak sendiri yaitu Pajak Penghasilan atau yang dikenal PPh Badan dan
PPh Orang Pribadi, maupun kewajiban pemotongan dan pemungutan seperti Pajak Pertambahan Nilai, PPh
Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26.

Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan
dengan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan standar pemeriksaan.

Setelah dilakukan pengujian-pengujian terhadap data, keterangan, dan/atau bukti maka pemeriksa akan
menerbitkan surat ketetapan pajak:

 Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) dalam hal jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam hal besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit
pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak
yang masih harus dibayar;
 Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal jumlah kelebihan pembayaran pajak karena
jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang;
 Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal ada sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda;
 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalam hal pajak yang menentukan tambahan
atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan
dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban
perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya yang dilakukan oleh Wajib
Pajak.

Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan
dengan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan standar pemeriksaan.

Setelah dilakukan pengujian-pengujian terhadap data, keterangan, dan/atau bukti maka pemeriksa akan
menerbitkan surat ketetapan pajak:

 Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) dalam hal jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam hal besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit
pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak
yang masih harus dibayar;
 Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal jumlah kelebihan pembayaran pajak karena
jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang;
 Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal ada sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda;
 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalam hal pajak yang menentukan tambahan
atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

Berbeda dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pajak, pemeriksaan untuk tujuan lain tidak
menerbitkan surat ketetapan pajak.

Pemeriksaan untuk tujuan lain di antaranya:


[a.] pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
[b.] penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
[c.] pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
[d.] Wajib Pajak mengajukan keberatan;
[e.] pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
[f.] pencocokan data dan/atau alat keterangan;
[g.] penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
[h.] penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
[i.] pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
[j.] penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan; dan/atau
[k.] pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

Perilaku negatif oknum petugas pajak ini bertentangan dengan sistem pemungutan pajak Self Assessment yang
meminta wajib pajak melaksanakan kewajiban pajaknya sendiri dalam hal menghitung, membayar, dan
melaporkan pajak terhutang. Adalah percuma ketika wajib pajak diminta menghitung sendiri pajak yang
terhutang, sementara di sisi lain ada oknum petugas pajak yang menawarkan jasa kepada wajib pajak untuk
mengurangi pembayaran pajak atau menjadi konsultan pajak bayangan. Perilaku oknum petugas pajak
tersebut dapat mendistorsi sistem pemungutan pajak, karena dengan Self Assessment, tugas petugas pajak
sebenarnya hanya menguji kepatuhan wajib pajak terhadap ketentuan undang-undang perpajakan dalam hal
menghitung, menyetor, dan melaporkan. Selain mendistorsi sistem Self Assessment, perilaku negatif petugas
pajak tersebut justeru dapat menjadi insentif bagi wajib pajak untuk mempermainkan jumlah pajak terhutang

Anda mungkin juga menyukai