Anda di halaman 1dari 7

Bagaimana wajib pajak dapt mengajukan keberatan?

WP dapat mengajukan keberatan sebagai berikut (UU KUP pasal 25 dan 26):

1. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah
pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut
penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan, yaitu aasan-
alasan yang jelas dan dilampiri dengan fotocopi SKP, bukti pemungutan atau pemotongan. Atas satu
SKP diajukan satu keberatan.

2. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat
ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak, apabila Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar
kekuasaannya. Apabila ternyata batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh WP
karena keadaan di luar kekuasaan WP, maka tenggang waktu selama 3 bulan tersebut masih dapat
dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh DJP.

3. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib
melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak
dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.

4. Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak
yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos
dengan bukti pengiriman surat, atau melalui cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.

5. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak jumlah pajak
yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak
tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Penagguhan jangka waktu pelunasan pajak
menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan sesuai ketentuan pasal 19 UU
KUP 2007 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.

6. Jumlah pajak yang belum dibayar oada saat engjuan oermohonan keberata tidak termasuk
sebagai utang pajak yang harus dibayar WP

7. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal
surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh WP. Apabila
jangka waktu 12 bulan telah terlampaui, DJP tidak memberi suatu keputusan maka keberatan yang
diajukan WP dianggap dikabulkan
Apa sajakah analisis yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam menentukan Wajib Pajak
yang akan diperiksa? Dan apakah Wajib pajak dapat menghindari pemeriksaan tersebut

Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan diatur dalam


Pasal 4 ayat (1) PMK 18/2021 dalam hal memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Wajib pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP;
2. Terdapat data konkret yang menyebabkan pajak yang terutang tidak atau kurang
dibayar;
3. Wajib pajak menyampaikan SPT yang menyatakan lebih bayar, selain yang
mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud pada angka 1;
4. Wajib pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak;
5. Wajib pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi;
6. Wajib pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi,
pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
7. Wajib pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau
karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap;
8. Wajib pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan SPT tetapi melampaui
jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran yang terpilih untuk
dilakukan pemeriksaan berdasarkan analisis risiko;
9. Wajib pajak menyampaikan SPT yang terpilih untuk dilakukan pemeriksaan
berdasarkan analisis risiko.

Berdasarkan pasal 6 UU KUP, wajib pajak dapat menolak pemeriksaan dengan menandatangani
surat pernyataan penolakan dan pemeriksa pajak membuat berita acara penolakan pemeriksaan
yang ditandatangani oleh pemeriksa pajak
Apa tujuan verifikasi yang dilakukan oleh DJP?

Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Verifikasi, dimana tujuan verifikasi tersebut adalah
dalam rangka:

1. menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan


2. menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan atau berdasarkan permohonan
Wajib Pajak;
3. mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan;
4. mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak
5. mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan atau berdasarkan permohonan
Pengusaha Kena Pajak; dan/atau
6.
Bagaimana jika wajib pajak telah menangggapi dalam jangka waktu yang telah ditentukan, tetapi
penjelasan Wajib pajak tidak sesuai dengan data yang dimiliki oleh Direktorat Jendral Pajak ?

Wajib Pajak yang telah menanggapi surat permintaan klarifikasi sesuai jangka waktu yang telah
ditentukan, tetapi tanggapan dari Wajib Pajak tidak sesuai dengan data yang ada, maka:

a. jika dalam menanggapi surat permintaan klarifi kasi, Wajib Pajak memberikan bukti-bukti,
catatan, dan/ atau dokumen pendukung yang menunjukkan bahwa data yang dimiliki oleh Direktorat
Jenderal Pajak tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya maka proses permintaan klarifi kasi
dihentikan dan tidak ditindaklanjuti dengan pemeriksaan.

b. jika dalam menanggapi surat permintaan klarifi kasi, Wajib Pajak tidak dapat memberikan
bukti-bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung yang menunjukkan bahwa data yang dimiliki
oleh Direktorat Jenderal Pajak tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya maka proses
permintaan klarifikasi ditindaklanjuti dengan pemeriksaan.
mengapa sering terjadi penyimpangan-penyimpangan pemeriksaan perpajakan?

pemeriksaan pajak tidak lain merupakan pagar penjaga agar WP tetap berada pada koridor
peraturan perpajakan. DJP berkewajiban pula untuk melakukan penegakan hukum (law
enforcement) agar proses dan pelaksanaan sistem self assessment tersebut tetap berada pada
aturannya, baik undang-undang maupun peraturan lainnya. Penegakan hukum ini menjadi upaya
untuk menciptakan keadilan melalui penerapan peraturan perpajakan secara fair, konsisten, dan
konsekuen. Fungsi pemeriksaan pajak adalah untuk melaksanakan tujuan pemeriksaan pajak, yakni
meningkatkan kepatuhan (menguji kepatuhan WP seperti yang tertuang dalam Pasal 29 UU KUP),
namun beberapa tahun terakhir tujuan pemeriksaan bukan saja sekedar menguji kepatuhan, tetapi
tujuan yang lebih pragmatis dan lebih penting adalah menjalankan fungsi pemajakan (fungsi
budgeter) sebagai sumber penerimaan negara. Dari sinilah awal timbul masalah, Fiskus yang
melakukan pemeriksaan di lapangan tidak terkendali, sehingga dapat bertindak melampaui batas
dalam melakukan pemeriksaan, seringkali ditemui Fiskus menggunakan kekuasaannya menafsirkan
UU atau ketentuan lainnya yang dapat menjerat WP untuk dikenakan sanksi (diterbitkan SKPKB atau
SKPKBT), dengan harapan terjadi penambahan penerimaan.

Fiskus lebih melihat aspek formalnya daripada aspek materialnya, padahal seharusnya logika
universal dalam pemeriksaan (audit) yang digunakan acuan adalah ”substantive over form” artinya
apabila ditemukan bukti-bukti yang mendukung kebenaran transaksi yang dilakukan oleh WP secara
material harus dianggap benar, walaupun terdapat kekeliruan yang bersifat formal, sebagai contoh
apabila pemeriksa menemukan adanya Pajak Masukan (PM) yang secara formal cacat ”tidak fatal”
setelah ditelusuri melalui tindakan konfirmasi kepada lawan transaksinya dan sebagainya, PM
tersebut benar-benar ada dan telah dilunasi pajaknya, seharusnya Fiskus secara bijak mengakui PM
tersebut untuk tetap dapat dikreditkan, toh... Fiskus dalam hal ini tidak dirugikan, karena tidak ada
penerimaan pajak yang terganggu.

Kenyataannya, banyak ditemukan kasus seperti di atas mampu memaksa WP untuk menyerah
(menerima koreksi yang dilakukan oleh Fiskus). Sehingga Fiskus seolah telah menganggap bahwa
jeratan ini terbukti ampuh untuk menaikkan penerimaan, terbukti banyak WP yang diperiksa dan
dikoreksi SPTnya pada akhirnya menyerah tanpa perlawanan yang berarti (tidak mau melakukan
upaya hukum seperti mengajukan keberatan, apalagi untuk bersengketa dengan Fiskus dengan
melakukan upaya-upaya lanjutan). Bila demikian, sebenarnya telah terjadi penyimpangan dalam
tujuan pemeriksaan pajak
Apa yang dilakukan wajib pajak apabila gugatan atau keberatannya ditolak

BERDASARKAN Pasal 18 ayat (1) PMK 9/2013 sttd PMK 202/2015, dalam hal pengajuan keberatan
wajib pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar 50% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (9) Undang-
Undang KUP. Berikut bunyi pasal tersebut.

“Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan
keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan”
7. menerbitkan surat ketetapan pajak

Anda mungkin juga menyukai