Anda di halaman 1dari 34

TUGAS MANDIRI PAJAK

Ringkasan Materi Ketentuan Umum Perpajakan 2 dan Pajak Penghasilan


Dosen : Dr. Ruhul Fitrios, S.E., M.Si., Ak., CA.

Disusun Oleh :
Annisa Rezki Susanti (2010247509)

Program Pascasarjana
Program Studi Magister Akuntansi
Universitas Riau
2021

Ketentuan Umum Perpajakan II


1. Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak
Mengacu pada Pasal 1 angka 25 UU KUP, yang dimaksud dengan
pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Tujuan pemeriksaan

Tujuan dilakukannya pemeriksaan adalah

1. untuk pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan/atau


tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
2. tujuan lain untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan diatur dalam Pasal 70 PMK 184/2015.
3. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
4. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
5. pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan;
6. pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
7. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
8. pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto;
9. pencocokan data dan/atau alat keterangan;
10. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
11. penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
12. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
13. penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu
kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/
atau
14. memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda.

Ruang Lingkup dan Kriteria


1. Ruang lingkup Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dapat meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk
satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dalam
tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.
2. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
harus dilakukan terhadap Wajib Pajak yang mengajukan permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17B Undang-Undang KUP.
3. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dapat dilakukan dalam hal memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. wajib pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan


pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP;
2. terdapat keterangan lain berupa data konkret sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a UU KUP;
3. wajib pajak menyampaikan SPT yang menyatakan lebih bayar, selain
yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a;
4. wajib pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak;
5. wajib pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi;
6. wajib pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi,
pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
7. wajib pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan
atau karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap;
8. wajib pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan SPT tetapi
melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran yang
terpilih untuk dilakukan pemeriksaan berdasarkan analisis risiko; atau
9. wajib pajak menyampaikan SPT yang terpilih untuk dilakukan
pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.

Jenis Pemeriksaan :
1. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
sebagaimana dimaksud dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau
Pemeriksaan Kantor.
2. Pemeriksaan Kantor, dalam hal permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran tersebut diajukan oleh Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan:
 laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa
diaudit oleh akuntan publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak
dari 2 (dua) Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit
oleh akuntan publik, dengan pendapat wajar tanpa pengecualian; dan
 Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan,
penyidikan, atau penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak
dalam 5 (lima) tahun terakhir tidak pernah dipidana karena melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan.
3. Terhadap Pemeriksaan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam butir 1.2.
3 huruf a sampai dengan huruf e, penentuan jenis pemeriksaannya diatur oleh
Direktur Jenderal Pajak
4. Terhadap Pemeriksaan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam butir 1.2.
3 huruf f dan huruf g dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.
5. Dalam hal Pemeriksaan Kantor ditemukan indikasi transaksi yang terkait
dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya
rekayasa tranaksi keuangan, pelaksanaan Pemeriksaan Kantor diubah menjadi
Pemeriksaan Lapangan.

Jenis dan Jangka Waktu Pemeriksaan

Berdasarkan UU KUP, terdapat dua jenis pemeriksaan yakni pemeriksaan kantor dan
pemeriksaan lapangan.

Pemeriksaan Kantor

Definis Pemeriksaan Kantor adalah pemeriksaan yang dilakukan di kantor DJP.


Pemeriksaan Kantor terkait dengan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan.
jangka waktu pemeriksaan kantor paling lama 3 bulan dan dapat diperpanjang
menjadi paling lama 6 bulan yang dihitung sejak tanggal WP datang memenuhi surat
panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor hingga tanggal laporan hasil
pemeriksaan.

Pemeriksaan Lapangan

Sementara definisi pemeriksaan lapangan adalah pemeriksaan yang dilakukan di


tempat WP atau tempat lain yang ditentukan oleh DJP.

Pemeriksaan lapangan dilakukan paling lama 4 bulan dan dapat diperpanjang menjadi
paling lama 8 bulan yang dihitung sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan hingga
tanggal laporan hasil pemeriksaan.

Namun jika dalam pemeriksaan lapangan ditemukan indikasi transaksi berkaitan


dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya
rekayasa transaksi keuangan yang memerlukan pengujian yang lebih mendalam serta
memerlukan waktu yang lebih lama, pemeriksaan Lapangan dilakukan paling lama 2
tahun.

Penyidikan
Serangkaian tindakan yang dilakukan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana perpajakan serta
menemukan tersangkanya.
Tujuan utama dari dilakukannya proses penyidikan adalah untuk menemukan bukti
sekaligus tersangka yang melakukan tindak pidana dalam perpajakan. Selain itu,
penyidikan pajak dilakukan untuk menemukan kebenaran dengan menyelidiki orang
yang diduga melakukan tindak pidana pajak (OECD, 2017).
Dalam melakukan penyidikan, penyidik biasanya akan berusaha mencari dan
menganalisis informasi untuk tujuan menentukan suatu kejahatan telah dilakukan atau
tidak. Proses penyidikan tersebut dapat mengakibatkan ditemukannya suatu bukti
yang memberatkan hukuman ataupun bukti yang menegaskan wajib pajak tidak
bersalah (exculpatory evidence) (OECD, 2017).
2. Ketetapan Pajak
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan berbagai dasar hukum yang mengatur
tentang ketetapan pajak. Dasar hukum tersebut nantinya harus dipahami oleh seluruh
bagian Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan (KPPBB), untuk memahami atas adanya kewajiban maupun hak Wajib
Pajak. Kewajiban atau hak yang dimaksud disampaikan kepada Wajib Pajak dalam
bentuk surat ketetapan pajak yang terdiri dari enam jenis sebagai berikut:
1. Surat Tagihan Pajak (STP)
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
5. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
6. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
3. Penagihan Pajak dan Penagihan Pajak dengan Surat Pajak
Penagihan pajak adalah proses tindakan yang dilaksanakan terhadap
penanggung pajak agar membayar utang pajak serta biaya penagihan pajak. 
Pengertian penagihan pajak menurut Soemitro (1996), yaitu tindakan yang dilakukan
Direktorat Jenderal Pajak sebab wajib pajak tidak mengikuti ketentuan Undang
Undang pajak, terutama tentang pembayaran pajak terutang.
Sementara itu menurut Rusdji (2004), penagihan pajak rangkaian tindakan
yang dilakukan agar wajib pajak membayar utang pajak serta biaya penagihan pajak
dengan peneguran ataupun peringatan, melaksanakan penagihan seketika & sekaligus
memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, menyita, menyandera, serta
menjual barang yang disita.
Jenis Penagihan Pajak
Terdapat beberapa jenis penagihan, yakni penagihan pajak pasif dan aktif, ataupun
penagihan seketika.  
 Penagihan Pasif
Untuk jenis penagihan pajak pasif, DJP menerbitkan Surat Tagihan Pajak
(STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan (SKPKBT), SK Pembetulan, SK Keberatan, serta Putusan Banding
yang mengakibatkan pajak terutang menjadi lebih besar. 
Dalam  jenis ini, fiskus hanya menyampaikan kepada wajib pajak bahwa
terdapat pajak terutang. Apabila dalam jarak satu bulan sejak dikeluarkannya STP
ataupun surat sejenis lainnya, wajib pajak tidak membayar utang pajaknya, maka
fiskus akan menerapkan penagihan aktif.
 Penagihan Aktif
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, penagihan aktif adalah proses
selanjutnya setelah penagihan pasif tidak berhasil. Dalam penagihan aktif, fiskus dan
juru sita pajak memiliki hak dan berperan aktif untuk tindakan sita serta lelang.
 Penagihan Seketika & Sekaligus
Penagihan seketika & sekaligus ini adalah penagihan pajak yang dijalankan
oleh fiskus maupun juru sita pajak terhadap wajib pajak langsung tanpa menunggu
tanggal jatuh tempo pelunasan pajak. Penagihan pajak pun mencakup keseluruhan
utang pajak dari segala jenis pajak, masa pajak, serta tahun pajak.
Tujuan penagihan pajak seketika & sekaligus adalah guna mencegah
terjadinya pajak terutang yang tidak dapat ditagih. Apabila saat penagihan seketika &
sekaligus wajib pajak tidak membayar, maka juru sita pajak akan menunggu sampai
tanggal jatuh tempo. 
Tata Cara dan Proses Penagihan Pajak
Terdapat beberapa tindakan maupun langkah yang dijalankan oleh juru sita
pajak dalam menjalankan penagihan pajak.
 Penagihan dengan Surat Teguran
Surat teguran atau biasa disebut juga surat peringatan adalah surat yang
dikeluarkan untuk melakukan penagihan pajak. Apabila dalam jangka waktu tujuh
hari setelah tanggal jatuh tempo penanggung pajak atau wajib pajak tidak melunasi
pajak terutang, maka surat teguran akan sampai ke tangan penanggung pajak.
Tujuan surat teguran adalah memberikan peringatan terhadap penanggung
pajak agar segera membayar utang pajak sehingga tidak perlu dilakukan penagihan
secara paksa.
 Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Surat paksa adalah surat yang akan dikeluarkan apabila 21 hari setelah jatuh
tempo surat teguran, si penanggung jawab pajak belum melunasi utang pajaknya.
Dengan terbitnya surat paksa, wajib pajak harus membayar utang pajaknya dalam
waktu 2 x 24 jam agar tidak ada tindakan pemblokiran rekening, pencegahan ke luar
negeri, maupun penyanderaan paksa badan (dengan catatan, diragukan itikad baiknya
serta mempunyai utang pajak minimal Rp100.000.000). Pengeluaran surat paksa ini
dikenakan biaya penagihan pajak sebesar Rp25.000.
 Penagihan dengan Surat Sita
Surat sita adalah surat yang dikeluarkan apabila dalam waktu 2 x 24 jam sejak
dikeluarkannya surat paksa, penanggung pajak tidak melunasi pajaknya. Terdapat
biaya penagihan pajak yang dibebankan untuk surat sita yaitu Rp75.000. Biaya yang
diperuntukkan untuk pelaksanaan sita.
Penyitaan bukan semata-mata bertujuan untuk memperdagangkan barang milik
penanggung pajak, melainkan petugas memanfaatkan barang-barang tersebut sebagai
jaminan agar penanggung pajak membayar pajak terutangnya.
Dengan demikian, penanggung pajak masih berkesempatan untuk membayar utang
pajaknya dalam waktu 14 hari sejak terhitung dari penyitaan harta penanggung pajak.
Apabila dalam 14 hari penanggung pajak belum melunasi utang pajaknya, maka akan
dikeluarkan pengumuman lelang.
Penyitaan dilakukan oleh juru sita pajak yang disaksikan oleh 2 orang yang dianggap
sudah dewasa sebagai saksi, berkewarganegaraan Indonesia, dikenal oleh juru sita
pajak, serta dapat dipercaya.
 Penagihan dengan Lelang
Lelang akan dilaksanakan apabila dalam waktu 14 hari setelah dikeluarkannya
pengumuman lelang, penanggung pajak belum melunasi pajak terutangnya.
Dasar Penagihan Pajak
Dasar penagihan pajak dibagi sesuai jenis pajaknya. Berikut dasar-dasar yang perlu
diketahui:
 Dasar Penagihan PPh, PPN, PPnBM serta Bungan Penagihan
1. Surat Tagihan Pajak.
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
4. Surat Keputusan Pembetulan.
5. Surat Keputusan Pemberatan.
6. Putusan Banding.
7. Putusan Peninjauan Kembali sehingga total pajak yang perlu dilunasi
bertambah.
 Dasar Penagihan PBB
1. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang.
2. Surat Ketetapan.
3. Surat Tagihan Pajak.
Daluarsa Penagihan Pajak
Penagihan pajak disebut daluarsa apabila sudah melewati batas waktu penagihan,
yakni 5 tahun terhitung sejak diterbitkannya dasar penagihan pajak. Jika sudah
daluarsa, maka hal tersebut tidak dapat lagi dilakukan karena hak penagihan atas
utang pajak tersebut telah dianggap gugur.
Jadi, dapat tertangguh atau melampaui 5 tahun jika:
Diterbitkan Surat Paksa.
Terdapat pengakuan utang pajak dari wajib pajak baik langsung ataupun tidak
langsung, contohnya mengajukan permohonan pengangsuran/penundaan
pelunasan.
Diterbitkannya SKPKB atau SKPKBT sebab wajib pajak melakukan tindak
pidana perpajakan serta tindak pidana lain yang merugikan pendapatan
Negara.
Terdapat penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Kewajiban Wajib Pajak dalam Penagihan
Wajib pajak memiliki kewajiban:
1) Melakukan pelunasan utang pajak sebelum jatuh tempo.
2) Berkomitmen dalam membayar angsuran maupun penundaan pembayaran
pajak.
3) Bersifat kooperatif dalam tindakan penagihan pajak.
4) Tidak melanggar UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa saat penagihan
pajak yang menyebabkan tindak pidana, misalnya memindahtangankan,
menyembunyikan, menghilangkan, maupun memindahkan hak atas barang
yang disita.
4. Sanksi-Sanksi Pajak

a. Sanksi Administrasi Pajak

Sanksi administrasi adalah sanksi berupa pembayaran kerugian terhadap


negara seperti denda, bunga dan kenaikan. Adapun perbedaan antara denda, bunga
dan kenaikan dapat dijelaskan sebagai berikut:
A. Sanksi pajak berupa denda ditujukan kepada pelanggaran yang berhubungan
dengan kewajiban pelaporan. Besaran nya pun bermacam-macam, sesuai dengan
aturan undang-undang.

Contohnya, telat menyampaikan SPT Masa PPN, maka nominal denda yang
dikenakan senilai Rp 500.000. Sedangkan telat dalam menyampaikan SPT Masa PPh,
maka nominal denda yang dikenakan senilai Rp1.000.000 untuk wajib pajak badan
usaha dan Rp100.000 untuk wajib pajak perorangan.

B. Sanksi bunga ditujukan kepada wajib pajak yang melakukan pelanggaran terkait
kewajiban membayar pajak. Besarannya sudah ditentukan per bulan. Contohnya,
keterlambatan pembayaran pajak masa tahunan akan dikenakan sanksi pajak berupa
bunga senilai 2% per bulan dari jumlah pajak terutang.

Kekurangan pajak akibat penundaan SPT pun dikenakan sanksi berupa nilai bunga
senilai 2% per bulan atas kekurangan pembayaran pajak. Mengangsur atau menunda
pajak juga dikenakan bunga senilai 2% per bulan dengan ketentuan bagian dari bulan
tetap dihitung penuh 1 bulan.

C. Sanksi kenaikan ditujukan kepada wajib pajak yang melakukan pelanggaran terkait
dengan kewajiban yang diatur dalam material. Sanksi pajak ini berupa kenaikan
jumlah pajak yang harus dibayar. Penyebabnya bisa karena adanya pemalsuan data
seperti meminimalkan jumlah pendapatan pada SPT setelah lewat 2 tahun sebelum
terbit SKP. Sanksi kenaikan besarannya adalah 50% dari pajak yang kurang dibayar.

b. Sanksi Pidana Pajak

Sanksi Pidana adalah sanksi pajak yang diberikan berupa hukuman pidana
seperti denda pidana, pidana kurungan dan pidana penjara. Wajib pajak dapat
dikenakan sanksi pidana bila diketahui dengan sengaja tidak menyampaikan SPT atau
menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar.

Penyebab lainnya adalah wajib pajak memperlihatkan dokumen palsu serta tidak
menyetor pajak yang telah dipotong. Sanksi akibat tindakan ini adalah pidana penjara
selama 6 tahun paling lama dan denda paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang.
Agar dapat terhindar dari sanksi pajak yang berat, berikut ini kiat yang bisa Anda
lakukan:

 Mengisi SPT dengan jujur dan cermat agar tidak terjadi kesalahan data.
Pastikan nilai nominalnya benar, jelas rinciannya, dan lengkap lampirannya.
 Mengisi faktur pajak dengan lengkap.
 Hindari akitivitas yang menimbulkan tindak pidana perpajakan terutama
aktivitas yang dianggap grey area hanya karena tidak tercantum dengan jelas
dalam perundangan pajak.
 Setorkan pajak dan laporkan SPT tepat waktu.
 Hitung, setor, lapor secara cepat dan mudah dengan online.
5. Restitusi
Restitusi Pajak adalah permohonan pengembalian pembayaran pajak yang
diajukan wajib pajak kepada negara. Istilah restitusi pajak ini tercantum dalam UU
KUP.

Secara sederhana, dalam restitusi pajak negara membayarkan kembali atau


mengembalikan pajak yang telah dibayar wajib pajak. Perlu dipahami, restitusi pajak
hanya terjadi jika jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang
tidak seharusnya terutang, dengan catatan wajib pajak tidak memiliki utang pajak
lainnya.

6. Tata Cara Keberatan


Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di tempat WP
terdaftar, dengan syarat:
a) Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
b) Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang
dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan WP dan
disertai alasan-alasan yang jelas.
c) Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis dan satu tahun/masa pajak.
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak dan keberatan yang tidak memenuhi syarat, dianggap
bukan Surat Keberatan, sehingga tidak diproses.
Jangka Waktu Pengajuan Keberatan 

Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKPKB,
SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak tanggal dilakukan pemotongan/ pemungutan 
oleh pihak ketiga.
a) Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke KPP, maka jangka waktu 3
(tiga) bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak
dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai saat keberatan
diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak.
b) Untuk surat keberatan  yang disampaikan melalui pos ( harus dengan pos
tercatat), jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT,
SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga
sampai dengan tanggal tanda bukti pengiriman melalui Kantor Pos dan Giro.
Permintaan Penjelasan/Pemberian Keterangan Tambahan
a. Untuk keperluan pengajuan keberatan WP dapat meminta penjelasan/ keterangan
tambahan dan  Kepala KPP wajib memberikan penjelasan secara tertulis hal-hal
yang menjadi dasar pengenaan, pemotongan,  atau pemungutan.
b. WP dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis sebelum surat
keputusan keberatannya diterbitkan.

7. Tata Cara Pengajuan Permohonan Banding


Apabila WP tidak atau belum puas dengan keputusan yang diberikan atas keberatan,
WP dapat mengajukan banding. kepada badan peradilan pajak, dengan syarat:
a. Tertulis dalam bahasa Indonesia.
b. Dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan diterima.
c. Alasan yang jelas.
d. Dilampiri  salinan  Surat Keputusan atas keberatan.
Pengajuan permohonan Banding tidak menunda kewajiban membayar pajak
dan pelaksanaan penagihan pajak. Putusan badan peradilan pajak bukan  merupakan
keputusan  Tata Usaha Negara.
Imbalan Bunga 
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau
seluruhnya, sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud dalam SKPKB dan
SKPKBT telah dibayar yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka
kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar
2% (dua persen) sebulan, paling lama  24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak
tanggal pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau
Putusan Banding.
8. Pengadilan Pajak
Pengadilan pajak merupakan sebuah badan atau lembaga peradilan yang menjalankan
kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak perorangan atau badan yang ingin mengajukan
banding atau gugatan dan menyelesaikan terhadap sengketa pajak yang dialaminya.
Berdasarkan sejarahnya, pembentukan pengandilan pajak ini bermula dari Majelis
Pertimbangan Pajak (MPP) yang berubah menjadi Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak (BPSP). Dengan banyaknya sengketa pajak yang muncul setiap tahunnya,
pemerintah menilai BPSP tidak bisa lagi menyelesaikan tanggung jawabnya. Hal
inilah yang membuat pemerintah akhirnya membentuk pengadilan pajak yang secara
resmi tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak.
Kewenangan dan kekuasaan lembaga peradilan pajak ini telah diatur dalam
Pasal 31, 32, dan 33 Undang-Undang No. 14 Tahun 2002, sebagai berikut:
 Tugas dan wewenang pengadilan pajak adalah memeriksa dan memutusa
sengketa pajak.
 Dalam hal banding, pengadilan pajak hanya berwenang untuk memeriksa dan
memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Dalam hal gugatan, pengadilan pajak berwenang untuk memeriksa dan
memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan
pembetulan atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan yang telah beberapa kali diubah, di mana yang terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.
 Tugas dan kewenangan pengadilan pajak juga terkait dengan pengawasan
terhadap kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak
yang bersengketa dalam sidang-sidang pengadilan pajak, yang mana
pengawasannya diatur lebih lanjut dengan keputusan Ketua Pengadilan Pajak.
 Sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir, keputusan pengadilan pajak
bersifat final. Artinya, putusan pengadilan pajak atas sengketa pajak tidak
dapat diajukan gugatan ke peradilan umum.
 Pengadilan pajak memiliki kuasa untuk memanggil atau meminta data atau
keterangan yang berkaitan dengan sengketa pajak dari pihak ketiga guna
keperluan pemeriksaan sengketa pajak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

9. Peninjauan Kembali

Apabila pihak yang bersangkutan tidak/belum puas dengan putusan Pengadilan Pajak,
maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada
Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali.

Alasan-alasan Peninjauan Kembali

1) Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada kebohongan atau tipu muslihat;


2) Terdapat bukti tertulis baru dan penting dan bersifat menentukan;
3) Dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
4) Ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-
sebabnya;
5) Putusan nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. 

Jangka Waktu Peninjauan Kembali

1. Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam


angka 1 dan 2 diajukan paling lambat 3 bulan sejak diketahuinya kebohongan
atau tipu muslihat atau ditemukan bukti tertulis baru;
2. Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam
angka 3,  4, dan  5 diajukan paling lambat 3 bulan sejak putusan dikirim oleh
Pengadilan Pajak.
Pajak Penghasilan
1. Subjek dan Objek Pajak dan Pengecualiannya
objek pajak merupakan sumber pendapatan yang dikenakan pajak. Sedangkan subjek
pajak merupakan perorangan atau badan yang ditetapkan menjadi subjek pajak.
Setiap subjek pajak pasti mempunyai objek pajak. Sementara orang atau badan yang
punya kewajiban pajak disebut sebagai wajib pajak.
Nah, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, setiap jenis pajak sudah tentu
memiliki subjek dan objek pajaknya sendiri. Berikut ini penjelasannya.
Subjek dan Objek Pajak dari Setiap Jenis Pajak
Mengutip Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh),
subjek pajak PPh terdiri dari tiga yaitu orang pribadi, badan dan warisan. Subjek
pajak tersebut juga digolongkan menjadi dua yaitu subjek pajak dalam negeri dan
subjek pajak luar negeri.
Subjek Pajak Dalam Negeri
Berikut ini yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri:
1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia.
2. Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
3. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
4. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
Subjek Pajak Luar Negeri
Berikut ini yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri:
1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia
2. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia
3. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
4. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat di Indonesia, yang
memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Sedangkan objek PPh merupakan setiap penghasilan yang diterima atau diperoleh
wajib pajak. Penghasilan tersebut diperoleh wajib pajak dari dalam maupun luar
negeri, seperti:
 Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang Pajak Penghasilan.
 Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
 Laba usaha.
 Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta seperti keuntungan
karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
 Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena
pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota.
 Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan atau pengambilalihan usaha.
 Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial
atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
 Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
 Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang.
 Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi.
 Royalti.
 Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
 Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
 Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
 Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
 Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
 Premi asuransi.
 Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari WP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
 Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak.
 Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
 Surplus Bank Indonesia.
 Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU yang mengatur mengenai
KUP.
 Objek Pajak yang dikenakan PPh final atas penghasilan berupa bunga deposito
dan tabungan-tabungan lainnya.
 Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek.
 Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan.
Yang tidak termasuk dalam Objek Pajak PPh adalah:
1. Bantuan atau sumbangan dan harta hibah.
2. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyetaraan modal.
3. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan dengan pekerjaan atau
jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan
pajak dari wajib pajak atau pemerintah, kecuali yang berikan oleh yang
bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final atau
wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed
profit).
4. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, asuransi beasiswa.
5. Dividen atau bagian laba yang diperoleh/diterima oleh perseroan terbatas
sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau
badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal dari usaha yang didirikan
dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat sebagai berikut:
 Dividen bagian dari cadangan laba yang ditahan.
 Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan
usaha milik daerah yang mendapat dividen, kepemilikan
saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah
25% dari jumlah modal yang disetor.
6. Iuran yang diterima atau diperoleh dari dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang bayar oleh pemberi kerja
atau pegawai.
7. Penghasilan yang ditanamkan oleh dana pensiun, pada bidang-bidang
tertentu yang telah ditetapkan oleh menteri keuangan.
8. Bagian laba yang diterima dari perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, perkumpulan, persekutuan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyetaraan kontrak investasi kolektif.
9. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di lndonesia, dengan syarat badan
pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah,
atau yang menjalankan sektor-sektor usaha yang diatur berdasarkan
Permenkeu dan sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.
10. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu dan ketentuannya
berdasar pada Peraturan Menteri Keuangan.
11. Sisa lebih yang diterima oleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian, atau pengembangan
yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan
lagi dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan,
pengembangan dan penelitian, dalam jangka waktu paling lama 4 tahun
sejak diperolehnya sisa lebih tersebut yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Menteri Keuangan.
12. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

2. Bentuk Usaha Tetap


Badan Usaha Tetap atau lebih dikenal dengan Bentuk Usaha Tetap (BUT),
berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 2 Ayat 5, adalah bentuk usaha yang
dipergunakan oleh Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, Orang
Pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12
bulan, serta Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia yang dapat berupa:
1) Tempat kedudukan manajemen
2) Cabang perusahaan
3) Kantor perwakilan
4) Gedung kantor
5) Pabrik
6) Bengkel
7) Gudang
8) Ruang untuk promosi dan penjualan
9) Pertambangan dan penggalian sumber alam
10) Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi
11) Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan
12) Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan
13) Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain sepanjang
dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
14) Orang atau Badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas
15) Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia.
16) Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa,
atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan
kegiatan usaha melalui internet.
Objek Pajak Usaha Tetap
Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai:
1. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan
oleh BUT di Indonesia.
2. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh Pasal 26 yang diterima atau diperoleh
kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau
kegiatan yang memberikan penghasilan yang dimaksud.
Rumus Perhitungan Pajak BUT
Penghasilan Kena Pajak x tarif = PPh Tahunan terutang
PPh Tahunan terutang – kredit pajak = PPh Tahunan yang harus dibayar
Branch Profit Tax = 20% x (PKP – PPh Tahunan yang terutang)
Contoh Perhitungan Pajak BUT
PT X merupakan BUT X Ltd Kamboja (non treaty partner) . Pada tahun 2019 laba Rp
6 miliar. Setelah melakukan rekonsiliasi fiskal pada laporan laba rugi, diperoleh
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 4,5 miliar. PT X mempunyai kredit pajak berupa
PPh Pasal 21 sebesar Rp 200.000.000 dan PPh Pasal 23 sebesar Rp 140.000.000.
Maka perhitungan pajak yang harus dibayar oleh BUT yaitu:
Perhitungan PPh Tahunan yang terutang
= Rp 4.500.000.000 x 25% = Rp 1.125.000.000
Perhitungan PPh Tahunan yang harus dibayar
= Rp 1.125.000.000 – (Rp 200.000.000+Rp 140.000.000)
= Rp 1.125.000.000 – Rp 340.000.000
= Rp 785.000.000
Perhitungan PPh 26 atau Branch Profit Tax yang harus dibayar
= 20% x (Rp 4.500.000.000-Rp 1.125.000.000)
= 20% x Rp 3.375.000.000
= Rp 675.000.000
2. Biaya yang Boleh dikurangkan dan Pengecualiannya
Biaya-biaya yang boleh dikurangkan untuk menghitung penghasilan kena pajak diatur
dalam Pasal 6 UU PPh. Berikut rinciannya:
1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, meliputi:
 biaya pembelian bahan
 biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang
 bunga, sewa, dan royalti
 biaya perjalanan
 biaya pengolahan limbah
 premi asuransi
 biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK 02/PMK.03/2010)
 biaya administrasi
 pajak kecuali Pajak Penghasilan
2. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dan Pasal 11A (ayat (1) huruf b)
3. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan (Pasal 6 ayat (1) huruf c)
4. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan (Pasal 6 ayat (1) huruf d)
5. kerugian selisih kurs mata uang asing; (Pasal 6 ayat (1) huruf e)
6. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia (Pasal 6 ayat (1) huruf f)
7. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan (Pasal 6 ayat (1) huruf g)
8. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
 telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
 Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat
ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
 telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan
dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari
debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
 syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;
9. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang
ketentuannya diatur dengan PP 93 Tahun 2010 (Pasal 6 ayat (1) huruf i)
10. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan PP 93 Tahun 2010 (Pasal 6 ayat
(1) huruf j)
11. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur
dengan PP 93 Tahun 2010 (Pasal 6 ayat (1) huruf k)
12. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah (Pasal 6 ayat (1) huruf l)
13. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan PP 93 Tahun 2010 (Pasal 6 ayat (1) huruf m)
Biaya yang Tidak Boleh Dikurangkan
Menurut Pasal 13 PP 94 TAHUN 2010, Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh
dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk:
1. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang:
 bukan merupakan objek pajak; 
 pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau 
 dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UU PPh dan Norma
Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh.
2. PPh yang ditanggung oleh pemberi penghasilan.
Adapun Biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto menurut pasal 9
UU PPh sebagai berikut:
1. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi (Pasal 9 ayat 1
huruf a)
2. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota (Pasal 9 ayat 1 huruf b)
3. pembentukan atau pemupukan dana cadangan (Pasal 9 ayat 1 huruf
c), kecuali:
 cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain
yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi,
perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang; 
 cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; 
 cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;  
 cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
 cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan  
 cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan
limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, 
4. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang
pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung
sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan (Pasal 9 ayat 1
huruf d)
5. (Pasal 9 ayat 1 huruf e) penggantian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan
kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan
kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK 83/PMK.03/2009)  
6. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan (Pasal 9 ayat 1 huruf f)
7. (Pasal 9 ayat 1 huruf g) harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan,
dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan
huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP 18 Tahun 2009 dan SE-80/PJ/2010)
8. Pajak Penghasilan (Pasal 9 ayat 1 huruf h)
9. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib
Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya (Pasal 9 ayat 1 huruf i)
10. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham (Pasal 9 ayat 1 huruf j)
4. Kompensasi Kerugian
Sesuai dengan Undang-Undang No.36 Tahun 2008 tetang Pajak Penghasilan,
pengertian dan ketentuan kompensasi kerugian fiskal adalah sebagai berikut:
1. Kerugian fiskal adalah kerugian fiskal berdasarkan ketetapan pajak yang
telah diterbitkan Direktur Jenderal Pajak serta kerugian fiskal berdasarkan
SPT Tahunan PPh Wajib Pajak (self assesment) dalam hal tidak ada atau
belum diterbitkan ketetapan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.
2. Kompensasi kerugian fiskal timbul apabila untuk tahun pajak sebelumnya
terdapat kerugian fiskal (SPT Tahunan dilaporkan Nihil atau Lebih Bayar
tetapi ada kerugian fiskal).
3. Kerugian Fiskal terjadi karena penghasilan bruto dikurangi dengan biaya
(yang diperbolehkan menurut ketentuan fiskal) hasilnya mengalami
kerugian.
4. Kerugian Fiskal tersebut dikompensasikan dengan laba neto fiskal dimulai
tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
5. Ketentuan jangka waktu pengakuan kompensasi kerugian fiskal mulai
berlaku tahun 2009 sedangkan untuk tahun pajak sebelumnya berlaku
ketentuan Undang-undang no.17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan.
6. Apabila kemudian ternyata berdasarkan ketetapan pajak hasil pemeriksaan
menunjukkan jumlah kerugian fiskal yang berbeda dari kerugian menurut
SPT Tahunan PPh atau hasil pemeriksaan menjadi tidak rugi, kompensasi
kerugian fiskal menurut SPT Tahunan PPh tersebut harus segera dibetulkan
sesuai dengan ketentuan dan prosedur pembetulan SPT sebagaimana yang
diatur dalam Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan.
Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan pembukuan
dan penghasilan tidak termasuk penghasilan yang bersifat final dapat menghitung
Kompensasi kerugian  sesuai ketentuan tersebut diatas sedangkan penggunaan norma
penghitungan penghasilan netto tidak diperkenankan.
5. Penyusutan, Amortisasi dan Revaluasi Aktiva
Dalam UU Pajak Penghasilan, penyusutan adalah konsep alokasi harga perolehan
harta tetap berwujud, sedangkan amortisasi adalah konsep alokasi harga perolehan
harta tidak berwujud dan harga perolehan sumber alam. Jadi pengertian amortisasi
dalam UU PPh juga mencakup pengertian deplesi seperti yang ada dalam akuntansi.
Penyusutan
Harta tetap berwujud dalam UU PPh dikelompokkan ke dalam Harta Tetap Berwujud
Bukan Bangunan dan Harta Tetap Berwujud Bangunan. Bukan Bangunan terbagi ke
dalam empat kelompok dimulai dari:
 Kelompok 1 dengan masa manfaat 4 tahun
 Kelompok 2 dengan masa manfaat 8 tahun
 Kelompok 3 dengan masa manfaat 16 tahun
 Kelompok 4 dengan masa manfaat 20 tahun
Bukan bangun terdiri atas kelompok bangunan permanen dengan masa manfaat 20
tahun dan bangunan tidak permanen dengan masa manfaat 10 tahun. Bangunan tidak
permanen adalah bangunan yang bersifat sementara, terbuat dari bahan yang tidak
tahan lama, atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan.
Metode penyusutan yang diperbolehkan untuk digunakan adalah metode garis lurus
(straight line methode) dan saldo menurun (declining balance methode). Metode garis
lurus boleh diterapkan untuk semua kelompok harta tetap bukan bangunan dan
kelompok harta tetap bangunan baik permanen dan tidak permanen sedangkan metode
saldo menurun hanya boleh diterapkan untuk semua kelompok dalam harta tetap
bukan bangunan.
Amortisasi
Harta tak berwujud yang diamortisasi harga perolehannya terbagi ke dalam empat
kelompok:
 Kelompok 1 dengan masa manfaat 4 tahun
 Kelompok 2 dengan masa manfaat 8 tahun
 Kelompok 3 dengan masa manfaat 16 tahun
 Kelompok 4 dengan masa manfaat 20 tahun
Metode amortisasi garis lurus dan saldo menurun dapat diberlakukan atas semua
kelompok harta tak berwujud seperti diuraikan di atas. Namun demikian, terhadap
hak/pengeluaran di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, hak penambangan
selain minyak dan gas, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber dan
hasil alam lain, metode amortisasi yang diperkenankan adalah metode satuan
produksi. Jika terdapat sisa hak/pengeluaran yang belum diamortisasi, maka atas sisa
tersebut boleh diamortisasi sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Revaluasi
Revaluasi adalah penilaian kembali atas aktiva tetap yang dimiliki oleh perusahaan
dengan menggunakan nilai wajar atau nilai pasar riil aktiva per tanggal revaluasi.
Adanya revaluasi akan mengakibatkan aktiva tetap dinilai pada nilai wajar atau nilai
pasarnya bukan nilai buku aktiva tetap sehingga dapat menyebabkan kenaikan nilai
atas aktiva tetap tersebut. Selisih lebih antara nilai wajar dengan nilai buku aktiva
tetap yang direvaluasi akan dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 10%.
Revaluasi atas aktiva tetap harus didasarkan pada nilai wajar atau nilai pasar aktiva
tetap yang berlaku pada saat revaluasi yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai
atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari pemerintah. Dalam hal nilai wajar atau
nilai pasar yang ditetapkan oleh ahli penilai tidak mencerminkan kondisi yang
sebenarnya, Direktur Jenderal pajak menetapkan kembali nilai wajar atau nilai pasar
aktiva tetap yang bersangkutan.
Yang boleh melakukan revaluasi atas aktiva tetap adalah Wajib Pajak badan dan
Badan Usaha Tetap, tidak termasuk wajib pajak badan yang menyelenggarakan
pembukuan dalam bahasa inggris dan uang dollar Amerika Serikat, yang telah
memenuhi semua kewajiban pajak sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa
pajak dilakukannnya revaluasi. Kewajiban pajak tersebut mencakup seluruh
kewajiban pajak badan yang bersangkutan seperti PPh, PPN dan PPnBM, PBB, yang
telah terutang sampai dengan masa pajak sebelum masa pajak dilakukannya revaluasi.
Sejak bulan dilakukannya revaluasi berlaku hal-hal sebagai berikut:
 Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah nilai pada saat revaluasi
 Masa manfaat fiskal aktiva tetap yang direvaluasi disesuaikan kembali
menjadi masa manfaat penuh untuk kelompok aktiva tetap tersebut
 Perhitungan penyusutan dilakukan sejak bulan dilakukannya revaluasi atas
aktiva tetap
Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya revaluasi
atas aktiva tetap berlaku ketentuan sebagai berikut:
 Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah dasar penyusutan aktiva tetap pada
awal tahun pajak yang bersangkutan
 Sisa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal aktiva tetap pada
awal tahun yang bersangkutan
 Perhitungan penyusutan aktiva tetap dilakukan secara prorata sesuai dengan
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak tersebut.
Aktiva tetap yang tidak memperoleh persetujuan untuk direvaluasi disusutkan
menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa manfaat fiskal semula sebelum
dilakukannya revaluasi atas aktiva tetap tersebut.
6. Penentuan Harga Perolehan
Wajib Pajak memperoleh aktiva / harta berwujud dalam berbagai cara, sehingga
dalam menentukan berapa harga perolehan sebagai dasar penyusutan tentu saja
berbeda-beda, penentuan berapa harga perolehan aktiva / harta berwujud sebagai
dasar penyusutan adalah sebagai berikut :
a.Harga perolehan untuk aktiva/harta berwujud yang diperoleh dengan pembelian
tunai terdiri dari biaya/uang yang dikeluarkan/terjadi untuk memperoleh
aktiva/harta berwujud sampai ditempat dan siap dipakai, antara lain :
1. Harga beli aktiva/harta berwujud tersebut.
2. Biaya pengiriman.
3. Biaya asuransi.
4. Biaya pemasangan.
5. Biaya bea balik nama (notaris dan lain-lain)
6. Biaya lain yang berhubungan langsung dengan  perolehan akiva/harta berwujud
tersebut.
Apabila terhadap untuk pembelian tanah dan bangunan tidak bisa dipisahkan biaya
notaris untuk tanah dan bangunan maka biaya notaris dialokasikan sesuai harga
masing-masing tanah dan bangunan.
Contoh :
Harga tanah 20.000.000, Bangunan 60.000.000, biaya notaris 1.000.000.
Maka biaya notaris untuk tanah dialokasikan 20.0000.000 / 80.000.000 = 250.000
Maka biaya notaris untuk bangunan dialokasikan 60.0000.000 / 80.000.000 =
750.000
b. Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Tentang PPh, maka harga perolehan / dasar penyusutan atas harta adalah nilai
setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.
c.Apabila akitva/harta berwujud diperoleh dengan cara hibah/sumbangan maka harga
perolehan / dasar penyusutan bagi penerima hibah adalah nilai sisa buku harta
hibahan.
d.Apabila akitva / harta berwujud diperoleh dengan cara hibah/sumbangan/warisan
dari keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat maka harga
perolehan / dasar penyusutan bagi penerima hibah adalah harga NJOP tahun
diterimanya aktiva/harta tersebut.
e.Apabila akitva / harta berwujud diperoleh dengan cara sewa guna usaha dengan hak
opsi maka harga perolehan / dasar penyusutan bagi lessee (yang mengunakan
barang) adalah nilai sisa (residual-value) barang modal yang bersangkutan.
7. Pajak Final
Pajak final atau PPh final merupakan pajak yang dikenakan langsung saat
wajib pajak (WP) menerima penghasilan. Pajak final biasanya langsung disetorkan
oleh WP. Karena sifat pungutannya yang seketika, PPh final tidak lagi diperhitungkan
dalam pelaporan SPT tahunan meskipun nantinya tetap harus dilaporkan.

Ada dua pertimbangan yang menjadi dasar penerapan pajak final, yaitu:

 Penyederhanaan pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha.


 Memudahkan serta mengurangi beban administrasi bagi wajib pajak.

Perbedaan PPh Final dan Non Final

1. Berbeda Sistem Hitungnya

PPh final dihitung langsung sebagai satu kesatuan tanpa dikaitkan dengan perhitungan
penghasilan lainnya. Sedangkan PPh non-final dihitung dari penghasilan bruto
ditambah biaya lain seperti biaya perolehan, pemeliharaan, dan penagihan. Jadi, jika
penghasilan yang didapat termasuk PPh final, maka penghasilan tersebut tidak perlu
dihitung lagi untuk mengetahui berapa pajak terutang.

Penghasilan yang Dikenakan Pajak Final

Lalu, apa saja jenis penghasilan yang termasuk PPh final? Berdasarkan UU Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang termasuk pajak final adalah:

 Penghasilan dari bunga deposito dan tabungan.


 Penghasilan dari bunga obligasi.
 Penghasilan dari hadiah undian.
 Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.
 Penghasilan dari usaha jasa konstruksi.
 Penghasilan dari sewa tanah dan bangunan.
 Penghasilan dari perusahaan pelayaran Indonesia.
 Penghasilan dari wajib pajak luar negeri yang memiliki kantor perwakilan di
Indonesia.
 Penghasilan neto fiskal.
2. Tarifnya Berbeda

Untuk PPh final, tarif yang dikenakan adalah tarif umum progresif yang tercantum
dalam pasal 17 UU PPh. Sedangkan tarif dan dasar pemungutan PPh non-final diatur
oleh Peraturan Presiden (Perpres) atau Peraturan Menteri (Permen).

3. Waktu Penyetoran Berbeda

Pada PPh final, jumlah pajak yang dipotong pihak lain atau dibayar sendiri dapat
dikreditkan pada SPT tahunan. Sedangkan pada PPh non-final kewajiban baru bisa
ditunaikan begitu kita menyetor dan melaporkan SPT tahunan. Transaksi PPh non
final dianggap lunas saat Anda selesai melakukan perhitungan pajak akhir tahun.

Jika penjelasan di atas masih membuat Anda bingung, mari kita pelajari contoh kasus
di bawah ini untuk mendapatkan pemahaman lebih menyeluruh tentang apa
sebenarnya PPh final dan non-final itu?

8. Norma Penghitungan
Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto 
1. Yang Boleh Menggunakan NPPN
a. WP OP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan
neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan 
 WP OP yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak
untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.
 Kewajibannya :
WP OP yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto
ini wajib menyelenggarakan pencatatan .
 Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali
bila WP menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
kalender.
2. Dalam hal terhadap WP Badan atau WP OP yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam UU
KUP, ternyata Wajib Pajak orang pribadi atau badan tersebut tidak atau tidak
sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia
memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya,
penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto.
3. Pemberitahuan Penggunaan NPPN Dianggap Disetujui
Pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang
disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang
bersangkutan dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan
ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Neto 
1. Daftar Persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan
menurut wilayah sebagai berikut : 
a. 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta,
Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan
Pontianak;
b. ibukota propinsi lainnya;
c. daerah lainnya
2. Daftar persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto untuk WP OP yang
menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan norma penghitungan
penghasilan neto. (tautan)
3. Daftar persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto untuk WP OP yang
ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak
bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya. (tautan)
4. Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak
badan yang tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau bukti-bukti
pendukungnya. (tautan)

Wajib Pajak Memiliki Lebih Dari Satu Jenis Usaha


 Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu
jenis usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis
usaha atau pekerjaan bebas dengan memperhatikan pengelompokan wilayah
pengenaan norma. 
 Penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha
atau pekerjaan bebas adalah penjumlahan penghasilan neto dari masing-
masing jenis usaha atau pekerjaan bebas yang dihitung. 
Cara Menghitung Penghasilan Neto
 Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka
persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto
atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam 1 (satu)
Tahun Pajak. 
 Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang oleh WP OP,
sebelum dilakukan penerapan tarif umum Pajak Penghasilan, terlebih dahulu
dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak
Kena Pajak dari penghasilan neto tersebut. 
9. Hubungan Istimewa
Adanya hubungan istimewa antara Wajib Pajak, seringkali membuat transaksi yang
dilakukan menjadi tidak wajar karena harga atas transaksi dengan pihak afiliasi yang
biasanya lebih redah daripada transaksi yang dilakukan dengan non-afiliasi. Sehingga,
Wajib Pajak tersebut diwajibkan untuk membuat dokumen Transfer Pricing.
Kriteria Hubungan Istimewa dalam pajak diatur dalam Pasal 18 Ayat 4 Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diperbaharui
dengan Undang-undang nomor 36 Tahun 2008, diantaranya:
1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal secara langsung atau tidak
langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain
 Contoh penyertaan modal secara langsung: PT A memiliki saham di
PT B sebesar 25%. Maka PT A dan PT B memiliki hubungan
istimewa dalam pajak.
 Contoh penyertaan modal secara tidak langsung sebagai hubungan
istimewa dalam pajak: PT A memiliki saham di PT B sebesar 80%.
Kemudian PT B memiliki saham di PT C sebesar 40%. Maka PT A
dan PT B memiliki hubungan istimewa dalam pajak secara langsung.
Sedangkan PT A dan PT C secara tidak langsung memiliki hubungan
istimewa dalam pajak dengan kepemilikan saham sebesar 32% karena
berdasarkan perhitungan 80% x 40% = 32%.
2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib
Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung
 Penguasaan melalui manajemen: tuan X merupakan direktur utama di
PT A juga menjadi direktur di PT B. Oleh karena itu, antara PT A dan
PT B merupakan perusahaan afiliasi (memiliki hubungan istimewa
dalam pajak).
 Penguasaan melalui teknologi: PT A membuat suatu produk dengan
mesin dan formula yang diciptakan oleh PT A. Maka PT A dan PT B
dalam hal ini memiliki hubungan istimewa menurut pajak.
3. Hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus dan/atau ke samping satu derajat.
 Contoh hubungan afiliasi melalui garis keturunan ke samping satu
derajat: Tuan X dan Nyonya Y merupakan adik kakak. Tuan X
merupakan direktur utama di PT A. Kemudian Nyonya Y mempunyai
anak bernama Tuan Z, dimana Tuan Z merupakan direktur di PT B.
Maka PT A dan PT B dianggap merupakan perusahaan afiliasi.
Ketentuan terkait hubungan istimewa yang telah dijelaskan diatas juga terdapat pada
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1984 tentang Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana diperbaharui dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.

Anda mungkin juga menyukai