Disusun Oleh :
Annisa Rezki Susanti (2010247509)
Program Pascasarjana
Program Studi Magister Akuntansi
Universitas Riau
2021
Tujuan pemeriksaan
Jenis Pemeriksaan :
1. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
sebagaimana dimaksud dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau
Pemeriksaan Kantor.
2. Pemeriksaan Kantor, dalam hal permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran tersebut diajukan oleh Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan:
laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa
diaudit oleh akuntan publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak
dari 2 (dua) Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit
oleh akuntan publik, dengan pendapat wajar tanpa pengecualian; dan
Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan,
penyidikan, atau penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak
dalam 5 (lima) tahun terakhir tidak pernah dipidana karena melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan.
3. Terhadap Pemeriksaan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam butir 1.2.
3 huruf a sampai dengan huruf e, penentuan jenis pemeriksaannya diatur oleh
Direktur Jenderal Pajak
4. Terhadap Pemeriksaan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam butir 1.2.
3 huruf f dan huruf g dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.
5. Dalam hal Pemeriksaan Kantor ditemukan indikasi transaksi yang terkait
dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya
rekayasa tranaksi keuangan, pelaksanaan Pemeriksaan Kantor diubah menjadi
Pemeriksaan Lapangan.
Berdasarkan UU KUP, terdapat dua jenis pemeriksaan yakni pemeriksaan kantor dan
pemeriksaan lapangan.
Pemeriksaan Kantor
Pemeriksaan Lapangan
Pemeriksaan lapangan dilakukan paling lama 4 bulan dan dapat diperpanjang menjadi
paling lama 8 bulan yang dihitung sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan hingga
tanggal laporan hasil pemeriksaan.
Penyidikan
Serangkaian tindakan yang dilakukan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana perpajakan serta
menemukan tersangkanya.
Tujuan utama dari dilakukannya proses penyidikan adalah untuk menemukan bukti
sekaligus tersangka yang melakukan tindak pidana dalam perpajakan. Selain itu,
penyidikan pajak dilakukan untuk menemukan kebenaran dengan menyelidiki orang
yang diduga melakukan tindak pidana pajak (OECD, 2017).
Dalam melakukan penyidikan, penyidik biasanya akan berusaha mencari dan
menganalisis informasi untuk tujuan menentukan suatu kejahatan telah dilakukan atau
tidak. Proses penyidikan tersebut dapat mengakibatkan ditemukannya suatu bukti
yang memberatkan hukuman ataupun bukti yang menegaskan wajib pajak tidak
bersalah (exculpatory evidence) (OECD, 2017).
2. Ketetapan Pajak
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan berbagai dasar hukum yang mengatur
tentang ketetapan pajak. Dasar hukum tersebut nantinya harus dipahami oleh seluruh
bagian Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan (KPPBB), untuk memahami atas adanya kewajiban maupun hak Wajib
Pajak. Kewajiban atau hak yang dimaksud disampaikan kepada Wajib Pajak dalam
bentuk surat ketetapan pajak yang terdiri dari enam jenis sebagai berikut:
1. Surat Tagihan Pajak (STP)
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
5. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
6. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
3. Penagihan Pajak dan Penagihan Pajak dengan Surat Pajak
Penagihan pajak adalah proses tindakan yang dilaksanakan terhadap
penanggung pajak agar membayar utang pajak serta biaya penagihan pajak.
Pengertian penagihan pajak menurut Soemitro (1996), yaitu tindakan yang dilakukan
Direktorat Jenderal Pajak sebab wajib pajak tidak mengikuti ketentuan Undang
Undang pajak, terutama tentang pembayaran pajak terutang.
Sementara itu menurut Rusdji (2004), penagihan pajak rangkaian tindakan
yang dilakukan agar wajib pajak membayar utang pajak serta biaya penagihan pajak
dengan peneguran ataupun peringatan, melaksanakan penagihan seketika & sekaligus
memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, menyita, menyandera, serta
menjual barang yang disita.
Jenis Penagihan Pajak
Terdapat beberapa jenis penagihan, yakni penagihan pajak pasif dan aktif, ataupun
penagihan seketika.
Penagihan Pasif
Untuk jenis penagihan pajak pasif, DJP menerbitkan Surat Tagihan Pajak
(STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan (SKPKBT), SK Pembetulan, SK Keberatan, serta Putusan Banding
yang mengakibatkan pajak terutang menjadi lebih besar.
Dalam jenis ini, fiskus hanya menyampaikan kepada wajib pajak bahwa
terdapat pajak terutang. Apabila dalam jarak satu bulan sejak dikeluarkannya STP
ataupun surat sejenis lainnya, wajib pajak tidak membayar utang pajaknya, maka
fiskus akan menerapkan penagihan aktif.
Penagihan Aktif
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, penagihan aktif adalah proses
selanjutnya setelah penagihan pasif tidak berhasil. Dalam penagihan aktif, fiskus dan
juru sita pajak memiliki hak dan berperan aktif untuk tindakan sita serta lelang.
Penagihan Seketika & Sekaligus
Penagihan seketika & sekaligus ini adalah penagihan pajak yang dijalankan
oleh fiskus maupun juru sita pajak terhadap wajib pajak langsung tanpa menunggu
tanggal jatuh tempo pelunasan pajak. Penagihan pajak pun mencakup keseluruhan
utang pajak dari segala jenis pajak, masa pajak, serta tahun pajak.
Tujuan penagihan pajak seketika & sekaligus adalah guna mencegah
terjadinya pajak terutang yang tidak dapat ditagih. Apabila saat penagihan seketika &
sekaligus wajib pajak tidak membayar, maka juru sita pajak akan menunggu sampai
tanggal jatuh tempo.
Tata Cara dan Proses Penagihan Pajak
Terdapat beberapa tindakan maupun langkah yang dijalankan oleh juru sita
pajak dalam menjalankan penagihan pajak.
Penagihan dengan Surat Teguran
Surat teguran atau biasa disebut juga surat peringatan adalah surat yang
dikeluarkan untuk melakukan penagihan pajak. Apabila dalam jangka waktu tujuh
hari setelah tanggal jatuh tempo penanggung pajak atau wajib pajak tidak melunasi
pajak terutang, maka surat teguran akan sampai ke tangan penanggung pajak.
Tujuan surat teguran adalah memberikan peringatan terhadap penanggung
pajak agar segera membayar utang pajak sehingga tidak perlu dilakukan penagihan
secara paksa.
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Surat paksa adalah surat yang akan dikeluarkan apabila 21 hari setelah jatuh
tempo surat teguran, si penanggung jawab pajak belum melunasi utang pajaknya.
Dengan terbitnya surat paksa, wajib pajak harus membayar utang pajaknya dalam
waktu 2 x 24 jam agar tidak ada tindakan pemblokiran rekening, pencegahan ke luar
negeri, maupun penyanderaan paksa badan (dengan catatan, diragukan itikad baiknya
serta mempunyai utang pajak minimal Rp100.000.000). Pengeluaran surat paksa ini
dikenakan biaya penagihan pajak sebesar Rp25.000.
Penagihan dengan Surat Sita
Surat sita adalah surat yang dikeluarkan apabila dalam waktu 2 x 24 jam sejak
dikeluarkannya surat paksa, penanggung pajak tidak melunasi pajaknya. Terdapat
biaya penagihan pajak yang dibebankan untuk surat sita yaitu Rp75.000. Biaya yang
diperuntukkan untuk pelaksanaan sita.
Penyitaan bukan semata-mata bertujuan untuk memperdagangkan barang milik
penanggung pajak, melainkan petugas memanfaatkan barang-barang tersebut sebagai
jaminan agar penanggung pajak membayar pajak terutangnya.
Dengan demikian, penanggung pajak masih berkesempatan untuk membayar utang
pajaknya dalam waktu 14 hari sejak terhitung dari penyitaan harta penanggung pajak.
Apabila dalam 14 hari penanggung pajak belum melunasi utang pajaknya, maka akan
dikeluarkan pengumuman lelang.
Penyitaan dilakukan oleh juru sita pajak yang disaksikan oleh 2 orang yang dianggap
sudah dewasa sebagai saksi, berkewarganegaraan Indonesia, dikenal oleh juru sita
pajak, serta dapat dipercaya.
Penagihan dengan Lelang
Lelang akan dilaksanakan apabila dalam waktu 14 hari setelah dikeluarkannya
pengumuman lelang, penanggung pajak belum melunasi pajak terutangnya.
Dasar Penagihan Pajak
Dasar penagihan pajak dibagi sesuai jenis pajaknya. Berikut dasar-dasar yang perlu
diketahui:
Dasar Penagihan PPh, PPN, PPnBM serta Bungan Penagihan
1. Surat Tagihan Pajak.
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
4. Surat Keputusan Pembetulan.
5. Surat Keputusan Pemberatan.
6. Putusan Banding.
7. Putusan Peninjauan Kembali sehingga total pajak yang perlu dilunasi
bertambah.
Dasar Penagihan PBB
1. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang.
2. Surat Ketetapan.
3. Surat Tagihan Pajak.
Daluarsa Penagihan Pajak
Penagihan pajak disebut daluarsa apabila sudah melewati batas waktu penagihan,
yakni 5 tahun terhitung sejak diterbitkannya dasar penagihan pajak. Jika sudah
daluarsa, maka hal tersebut tidak dapat lagi dilakukan karena hak penagihan atas
utang pajak tersebut telah dianggap gugur.
Jadi, dapat tertangguh atau melampaui 5 tahun jika:
Diterbitkan Surat Paksa.
Terdapat pengakuan utang pajak dari wajib pajak baik langsung ataupun tidak
langsung, contohnya mengajukan permohonan pengangsuran/penundaan
pelunasan.
Diterbitkannya SKPKB atau SKPKBT sebab wajib pajak melakukan tindak
pidana perpajakan serta tindak pidana lain yang merugikan pendapatan
Negara.
Terdapat penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Kewajiban Wajib Pajak dalam Penagihan
Wajib pajak memiliki kewajiban:
1) Melakukan pelunasan utang pajak sebelum jatuh tempo.
2) Berkomitmen dalam membayar angsuran maupun penundaan pembayaran
pajak.
3) Bersifat kooperatif dalam tindakan penagihan pajak.
4) Tidak melanggar UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa saat penagihan
pajak yang menyebabkan tindak pidana, misalnya memindahtangankan,
menyembunyikan, menghilangkan, maupun memindahkan hak atas barang
yang disita.
4. Sanksi-Sanksi Pajak
Contohnya, telat menyampaikan SPT Masa PPN, maka nominal denda yang
dikenakan senilai Rp 500.000. Sedangkan telat dalam menyampaikan SPT Masa PPh,
maka nominal denda yang dikenakan senilai Rp1.000.000 untuk wajib pajak badan
usaha dan Rp100.000 untuk wajib pajak perorangan.
B. Sanksi bunga ditujukan kepada wajib pajak yang melakukan pelanggaran terkait
kewajiban membayar pajak. Besarannya sudah ditentukan per bulan. Contohnya,
keterlambatan pembayaran pajak masa tahunan akan dikenakan sanksi pajak berupa
bunga senilai 2% per bulan dari jumlah pajak terutang.
Kekurangan pajak akibat penundaan SPT pun dikenakan sanksi berupa nilai bunga
senilai 2% per bulan atas kekurangan pembayaran pajak. Mengangsur atau menunda
pajak juga dikenakan bunga senilai 2% per bulan dengan ketentuan bagian dari bulan
tetap dihitung penuh 1 bulan.
C. Sanksi kenaikan ditujukan kepada wajib pajak yang melakukan pelanggaran terkait
dengan kewajiban yang diatur dalam material. Sanksi pajak ini berupa kenaikan
jumlah pajak yang harus dibayar. Penyebabnya bisa karena adanya pemalsuan data
seperti meminimalkan jumlah pendapatan pada SPT setelah lewat 2 tahun sebelum
terbit SKP. Sanksi kenaikan besarannya adalah 50% dari pajak yang kurang dibayar.
Sanksi Pidana adalah sanksi pajak yang diberikan berupa hukuman pidana
seperti denda pidana, pidana kurungan dan pidana penjara. Wajib pajak dapat
dikenakan sanksi pidana bila diketahui dengan sengaja tidak menyampaikan SPT atau
menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar.
Penyebab lainnya adalah wajib pajak memperlihatkan dokumen palsu serta tidak
menyetor pajak yang telah dipotong. Sanksi akibat tindakan ini adalah pidana penjara
selama 6 tahun paling lama dan denda paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang.
Agar dapat terhindar dari sanksi pajak yang berat, berikut ini kiat yang bisa Anda
lakukan:
Mengisi SPT dengan jujur dan cermat agar tidak terjadi kesalahan data.
Pastikan nilai nominalnya benar, jelas rinciannya, dan lengkap lampirannya.
Mengisi faktur pajak dengan lengkap.
Hindari akitivitas yang menimbulkan tindak pidana perpajakan terutama
aktivitas yang dianggap grey area hanya karena tidak tercantum dengan jelas
dalam perundangan pajak.
Setorkan pajak dan laporkan SPT tepat waktu.
Hitung, setor, lapor secara cepat dan mudah dengan online.
5. Restitusi
Restitusi Pajak adalah permohonan pengembalian pembayaran pajak yang
diajukan wajib pajak kepada negara. Istilah restitusi pajak ini tercantum dalam UU
KUP.
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKPKB,
SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak tanggal dilakukan pemotongan/ pemungutan
oleh pihak ketiga.
a) Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke KPP, maka jangka waktu 3
(tiga) bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak
dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai saat keberatan
diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak.
b) Untuk surat keberatan yang disampaikan melalui pos ( harus dengan pos
tercatat), jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT,
SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga
sampai dengan tanggal tanda bukti pengiriman melalui Kantor Pos dan Giro.
Permintaan Penjelasan/Pemberian Keterangan Tambahan
a. Untuk keperluan pengajuan keberatan WP dapat meminta penjelasan/ keterangan
tambahan dan Kepala KPP wajib memberikan penjelasan secara tertulis hal-hal
yang menjadi dasar pengenaan, pemotongan, atau pemungutan.
b. WP dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis sebelum surat
keputusan keberatannya diterbitkan.
9. Peninjauan Kembali
Apabila pihak yang bersangkutan tidak/belum puas dengan putusan Pengadilan Pajak,
maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada
Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali.
1. Berbeda Sistem Hitungnya
PPh final dihitung langsung sebagai satu kesatuan tanpa dikaitkan dengan perhitungan
penghasilan lainnya. Sedangkan PPh non-final dihitung dari penghasilan bruto
ditambah biaya lain seperti biaya perolehan, pemeliharaan, dan penagihan. Jadi, jika
penghasilan yang didapat termasuk PPh final, maka penghasilan tersebut tidak perlu
dihitung lagi untuk mengetahui berapa pajak terutang.
Lalu, apa saja jenis penghasilan yang termasuk PPh final? Berdasarkan UU Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang termasuk pajak final adalah:
Untuk PPh final, tarif yang dikenakan adalah tarif umum progresif yang tercantum
dalam pasal 17 UU PPh. Sedangkan tarif dan dasar pemungutan PPh non-final diatur
oleh Peraturan Presiden (Perpres) atau Peraturan Menteri (Permen).
3. Waktu Penyetoran Berbeda
Pada PPh final, jumlah pajak yang dipotong pihak lain atau dibayar sendiri dapat
dikreditkan pada SPT tahunan. Sedangkan pada PPh non-final kewajiban baru bisa
ditunaikan begitu kita menyetor dan melaporkan SPT tahunan. Transaksi PPh non
final dianggap lunas saat Anda selesai melakukan perhitungan pajak akhir tahun.
Jika penjelasan di atas masih membuat Anda bingung, mari kita pelajari contoh kasus
di bawah ini untuk mendapatkan pemahaman lebih menyeluruh tentang apa
sebenarnya PPh final dan non-final itu?
8. Norma Penghitungan
Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
1. Yang Boleh Menggunakan NPPN
a. WP OP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan
neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan
WP OP yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak
untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.
Kewajibannya :
WP OP yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto
ini wajib menyelenggarakan pencatatan .
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali
bila WP menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
kalender.
2. Dalam hal terhadap WP Badan atau WP OP yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam UU
KUP, ternyata Wajib Pajak orang pribadi atau badan tersebut tidak atau tidak
sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia
memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya,
penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto.
3. Pemberitahuan Penggunaan NPPN Dianggap Disetujui
Pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang
disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang
bersangkutan dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan
ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Neto
1. Daftar Persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan
menurut wilayah sebagai berikut :
a. 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta,
Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan
Pontianak;
b. ibukota propinsi lainnya;
c. daerah lainnya
2. Daftar persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto untuk WP OP yang
menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan norma penghitungan
penghasilan neto. (tautan)
3. Daftar persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto untuk WP OP yang
ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak
bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya. (tautan)
4. Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak
badan yang tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau bukti-bukti
pendukungnya. (tautan)