Suatu perusahaan umumnya menerima penghasilan yang bersifat teratur dan tidak teratur. Penghasilan teratur merupakan penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, harta dan atau modal, kecuali penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Sedangkan penghasilan tidak teratur dapat berupa keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil. Penghasilan tidak teratur ini dapat dipotong/dipungut pajak oleh pihak yang memberikan penghasilan. Contoh penghasilan tidak teratur. PT B merupakan perusahaan industri karpet. Pada tahun 2019 memperoleh penghasilan bruto dari hasil industrinya yaitu Rp 5.000.000.000. Kemudian memperoleh Penghasilan lainnya dari sewa mobil Rp 8.000.000. Penghasilan Kena Pajak berdasarkan rekonsiliasi fiskal yaitu Rp 1.128.000.000. Sehingga pajak yang terutang yaitu Rp 280.000.000. Kredit pajak dalam negeri yaitu PPh 23 sebesar Rp 160.000 dan PPh 25 Rp 200.000.000 dan kredit pajak luar negeri Rp 4.840.000. Hitung PPh Pasal 25 yang terutang! PKP–Penghasilan tidak teratur =Rp1.128.000.000– Rp 8.000.000 = Rp 1.120.000.000 PPh Badan (dasar pengenaaan PPh 25) = 25% x Rp 1.120.000.000 = Rp 280.000.000 PPh 25 yang terutang =(Rp280.000.000–Rp160.000–Rp4.840.000):12=Rp 22.916.666 Maka PT B harus membayar PPh Pasal 25 sebesar Rp 22.916.666. Pembayaran PPh Pasal 25 ini pada saat penyampaian SPT Tahunan. Jika PT B menyampaikan SPT Tahunan bulan mei maka pembayaran PPh Pasal 25 dimulai pada bulan mei pada saat penyampaian SPT tersebut. Namun, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut: Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak
WP terlambat melaporkan SPT PPh tahun lalu (angsuran menurut bulan,
kekurangan pembayaran dan bunga) Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP. Batas waktu pembayaran PPh pasal 25 adalah setiap tanggal 15 bulan berikutnya. Apabila tanggal 15 jatuh pada hari libur, maka pembayaran PPh Pasal 25 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan batas waktu untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tanggal 20 bulan berikutnya).Apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Hari libur meliputi hari libur nasional dan hari-hari yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama oleh pemerintah. Apabila wajib pajak terlambat membayar PPh Pasal 25, maka wajib pajak akan dikenakan bunga sebesar 2% per bulan, dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran.
WP diberi perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT PPh
Dalam kondisi tertentu wajib pajak badan dapat saja mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan PPh. Apabila hal tersebut dilakukan oleh wajib pajak, maka berikut ini merupakan ketentuan dalam menghitung besarnya nilai PPh Pasal 25. 1. Untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan bulan sebelum disampaikannya SPT Tahunan tersebut adalah sama dengan besarnya PPh Pasal 25 yang dihitung berdasarkan SPT Tahunan sementara yang disampaikan wajib pajak pada saat mengajukan permohonan izin perpanjangan. 2. Setelah wajib pajak menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan, besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan tersebut dengan memerhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: ((PPh terutang menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak Lalu - PPh Pasal 22,23,24))/(12 bulan) Atas kondisi tersebut, terdapat dua konsekuensi yang terjadi atas PPh Pasal 25, yaitu: 1. Apabila nilai PPh Pasal 25 atas penghitungan lebih besar dari yang telah dibayarkan, maka kekurangan setoran PPh Pasal 25 terutang sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per-bulan sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 sampai dengan tanggal penyetoran. 2. Apabila nilai PPh Pasal 25 atas penghitungan lebih kecil dari yang telah dibayarkan, maka atas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke PPh Pasal 25 bulan-bulan berikutnya.
Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Pph
Dalam hal wajib pajak dalam tahun berjalan membetulkan sendiri SPT PPh Tahun pajak lalu, maka besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan Pembetulan dan akan berlaku surut mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan tersebut. Atas pembetulan SPT Tahunan yang dilakukan terdapat dua konsekuensi yang terjadi atas PPh Pasal 25, yaitu: 1. Bila nilai PPh Pasal 25 ternyata menjadi lebih besar dari PPh Pasal 25 sebelum dilakukan pembetulan. Atas kekurangan setoran PPh Pasal 25 terutang sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per-bulan sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 sampai dengan tanggal penyetoran. 2. Bila nilai PPh Pasal 25 ternyata menjadi lebih kecil dari PPh Pasal 25 sebelum dilakukan pembetulan. Atas kelebihan setoran PPh Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke PPh Pasal 25 bulan-bulan berikutnya setelah penyampaian SPT PPh Pembetulan.
Terjadi perubahan usaha / kegiatan WP
Perubahan keadaan kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh wajib pajak, merupakan hal yang wajar. Di mana tidak jarang wajib pajak dihadapkan pada kondisi-kondisi tertentu yang dapat secara drastis meningkatkan laba ataupun sebaliknya. Perubahan penghasilan yang diterima/diperoleh wajib pajak akan mempengaruhi kewajiban PPh Pasal 25. Jika dalam tahun pajak berjalan terjadi penurunan omzet, maka wajib pajak badan dapat mengajukan permohonan pengurangan PPh Pasal 25. Namun jika kondisi yang terjadi adalah laba wajib pajak dalam tahun pajak berjalan bertambah besar, maka besarnya nilai PPh Pasal 25 dapat dihitung kembali. Apabila wajib pajak mengalami penurunan pendapatan dan ingin mengajukan permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25, maka berikut adalah ketentuan yang perlu diketahui: 1. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan tersebut, saat telah 3 bulan atau lebih berjalannya satu tahun pajak; 2. Wajib pajak dapat memperlihatkan bahwa PPh yang terutang pada tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari dasar penghitungan PPh Pasal 25; 3. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib pajak Terdaftar; 4. Wajib pajak harus menyertakan penghitungan besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh, serta besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan; 5. Bila dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan tersebut, Kepala KPP tidak memberikan keputusan, maka permohonan wajib pajak tersebut dianggap diterima; 6. Bila permohonan tersebut dikabulkan maka wajib pajak dapat melakukan pembayaran PPh Pasal 25 sesuai dengan penghitungannya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jika dalam tahun pajak berjalan wajib pajak mengalami peningkatan usaha, dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih dari 150% dari dasar penghitungan PPh Pasal 25, maka besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak tersebut harus dihitung kembali oleh wajib pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak di mana wajib pajak terdaftar.