Dosen Pembimbing :
Dr. Drs. Heri Sukendar W, Ak., M.M., BKP., CA
Disusun Oleh :
Missy Valencia Lestari - 2301863244
Celine Cathalie – 2301870022
Felicia Christine Chandra - 2301849630
Tangerang
2021
I. Pemeriksaan Kepatuhan Pajak
✔ Proses Pemeriksaan Terhadap Pelanggaran Pajak
Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
berwenang melakukan :
1. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak
2. Pemeriksaan untuk Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang
undangan perpajakan.
Proses awal pemeriksaan adalah sebagai berikut :
1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) memberikan usulan pemeriksaan atau data normatif
kepada Kantor Wilayah (KANWIL) Pajak;
2) Kantor Wilayah (KANWIL) Pajak memberikan Lembar Penugasan Pemeriksaan (LP2)
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP);
3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) membuat nota dinas dan menunjuk tim pemeriksa;
4) Nota dinas digunakan oleh tim pemeriksa sebagai dasar persiapan dan perencanaan
pemeriksaan;
5) Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) menerbitkan Surat Perintah
Pemeriksaan (SP2) dan digunakan oleh tim pemeriksa sebagai dasar melaksanakan pemeriksaan
pajak. Setelah proses awal tersebut, Prosedur Pemeriksaan Pajak adalah sebagai berikut :
a) Petugas pemeriksa harus dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan dan harus
memperlihatkan kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
b) Wajib pajak yang diperiksa harus :
1. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen lain yang berhubungan
dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib pajak, atau objek
yang terutang pajak.
2. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan
memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
3. Memberi keterangan yang diperlukan.
c) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan
yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka
kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan.
d) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu,
bila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban huruf b di atas.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 diubah menjadi Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2011 dan terakhir diubah menjadi Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak,
dalam Proses Pemeriksaan juga diatur tentang :
A. Kriteria Pemeriksaan
Kriteria dalam melakukan pemeriksaan, yaitu :
1. Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal
Pajak.
2. Pemeriksaan Lapangan adalah Pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau
kedudukan wajib pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas wajib pajak, dan/atau
tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak.
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dapat
dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan. Dalam hal tertentu, pemeriksaan dapat dilakukan
dengan jenis Pemeriksaan Kantor, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak.
Pemeriksaan yang dilakukan dalam hal Pemeriksaan untuk Tujuan Lain dalam rangka
melaksanakan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan dapat dilakukan dengan jenis
Pemeriksaan Kantor atau Pemeriksaan Lapangan.
G. Peminjaman Dokumen
Apabila Pemeriksaan Peminjaman Dokumen dilaksanakan dengan Pemeriksaan Lapangan :
a) Buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan
lain yang diperlukan dan diperoleh/ditemukan pada saat pelaksanaan Pemeriksaan di tempat
Wajib Pajak, dipinjam pada saat itu juga dan Pemeriksa Pajak membuat bukti
Peminjaman
b) Apabila buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta
keterangan lain yang diperlukan dan belum diperoleh/ditemukan pada saat pelaksanaan
Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak membuat surat permintaan peminjaman
c) Buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan
lain, wajib diserahkan kepada Pemeriksa Pajak paling lama 1 bulan sejak surat permintaan
peminjaman buku, catatan, dan dokumen disampaikan kepada Wajib Pajak.
Apabila dilaksanakan dengan pemeriksaan kantor :
a) Buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan
lain yang diperlukan oleh pemeriksa pajak, harus dicantumkan pada surat panggilan.
b) Buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan
lain, wajib dipinjamkan pada saat Wajib Pajak memenuhi panggilan dan pemeriksa Pajak
membuat bukti peminjaman.
c) Dalam hal buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta
keterangan lain yang diperlukan belum dipinjamkan pada saat Wajib Pajak memenuhi
panggilan, Pemeriksa Pajak membuat surat permintaan peminjaman.
d) Buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan
lain, wajib diserahkan kepada Pemeriksa Pajak paling lama 1 bulan sejak surat panggilan
yang memuat permintaan peminjaman diterima oleh Wajib Pajak.
Tansunia mengemukakan “Apabila hal buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara
elektronik serta keterangan lain belum dipenuhi dan jangka waktu 1 bulan belum terlampaui,
Pemeriksa Pajak dapat menyampaikan peringatan secara tertulis paling banyak 2 kali.”
Apabila buku, catatan, dan dokumen yang dipinjam berupa fotokopi, atau data yang dikelola secara
elektronik, wajib pajak yang diperiksa harus membuat surat pernyataan bahwa fotokopi dan/atau
data yang dikelola secara elektronik yang dipinjamkan kepada Pemeiksa pajak adalah sesuai
dengan aslinya.
Apabila jangka waktu 1 bulan sejak surat permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen
disampaikan kepada wajib pajak atau sejak surat panggilan yang memuat permintaan peminjaman
diterima oleh wajib pajak terlampaui dan surat permintaan peminjaman tidak dipenuhi sebagian
atau seluruhnya, pemeriksa pajak harus membuat berita acara mengenai hal tersebut.
H. Penolakan
Pemeriksaan Pajak Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sehubungan dengan
pelaksanaan pemeriksaan, Wajib pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan
pemeriksaan. Dalam hal wajib pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan
pemeriksaan, pemeriksa pajak membuat berita acara penolakan pemeriksaan yang ditandatangani
oleh pemeriksa pajak.
I. Penyegelan
Anastasia Diana dan Lilis Setiawati mengemukakan “Pajak berwenang melakukan penyegelan
tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila wajib pajak
tidak memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang
perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.”
Wajib pajak yang pada saat dilakukan pemeriksaan tidak memberi kesempatan kepada pemeriksa
untuk memasuki tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak bergerak serta mengakses data
yang dikelola secara elektronik atau tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan dianggap
menghalangi pelaksanaan pemeriksaan. Dalam hal demikian, untuk memperoleh buku, catatan,
dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik dan bendabenda lain yang dapat memberi
petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas wajib pajak yang diperiksa dipandang perlu
memberi kewenangan kepada Direktur Jenderal pajak yang dilaksanakan oleh pemeriksa untuk
melakukan penyegelan terhadap tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak bergerak.
O. Pemeriksaan Ulang
Pemeriksaan ulang hanya dapat dilakukan berdasarkan instruksi atau persetujuan Direktur Jenderal
Pajak, instruksi atau persetujuan Direktur Jenderal Pajak untuk melaksanakan Pemeriksaan Ulang
dapat diberikan apabila terdapat data baru termasuk data yang semula belum terungkap; atau
berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
II. IDLP
• Informasi adalah keterangan baik yang disampaikan secara lisan maupun tertulis yang dapat
dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya bukti permulaan tindak pidana
di bidang perpajakan.
• Data adalah kumpulan angka, huruf, kata, atau citra yang bentuknya dapat berupa surat,
dokumen, buku atau catatan, baik dalam bentuk elektronik maupun bukan elektronik, yang
dapat dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya bukti permulaan tindak
pidana di bidang perpajakan, yang menjadi dasar pelaporan yang belum dianalisis.
• Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang atau institusi karena hak atau
kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau
sedang atau diduga akan terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan.
• Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada
pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan
tindak pidana aduan di bidang perpajakan.
Informasi, data, laporan, dan pengaduan disingkat IDLP. Kesemuanya akan menjadi bahan yang
akan diolah oleh analis IDLP. Petugas analis IDLP ini merupakan spesialisasi baru di DJP. Disebut
spesialisasi karena untuk menjadi analis IDLP, seorang pegawai DJP harus didiklat dulu, khusus
Diklat Analisis IDLP.
Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-38/PJ/2010 bahwa IDLP akan diterima dan
dianalisis oleh analis IDLP. Produk dari analisis IDLP ada tiga tipe / kelompok :
• Kelompok A adalah IDLP dengan indikasi kuat terjadinya tindak pidana perpajakan,
ditindaklanjuti dengan usul Pemeriksaan Bukti Permulaan.
• Kelompok B adalah IDLP dengan indikasi lemah terjadinya tindak pidana perpajakan,
ditindaklanjuti dengan rekomendasi Pemeriksaan Khusus.
• Kelompok C adalah IDLP tidak menunjukkan adanya indikasi tindak pidana perpajakan,
ditindaklanjuti dengan mengarsipkan sementara dan akan diproses kembali apabila di
kemudian hari terdapat IDLP baru yang berhubungan atau mengirimkan kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau seharusnya terdaftar untuk dapat
dimanfaatkan.
Analis IDLP akan menguraikan fakta-fakta IDLP, antara lain:
• Identitas pelapor/sumber IDLP;
• Identitas terlapor;
• Indikasi tindak pidana perpajakan
• Dokumen yang dilampirkan; dan
• Kronologis penanganan yang telah dilakukan;
Kemudian analis IDLP juga bisa mengembangkan IDLP dengan cara :
Pengamatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pengamat untuk mencocokkan data,
informasi, laporan, dan/atau pengaduan dengan fakta, dan membahas serta mengembangkan data,
informasi, laporan, dan/atau pengaduan tersebut untuk memperoleh petunjuk adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
Kegiatan intelijen perpajakan adalah serangkaian kegiatan dalam siklus intelijen yang dilakukan
oleh petugas intelijen perpajakan yang meliputi perencanaan, pengumpulan, pengolahan dan
penyajian sehingga diperoleh suatu produk intelijen yang berisi data dan/atau informasi terkait
Wajib Pajak sehubungan dengan terjadinya suatu transaksi, peristiwa, dan/atau keadaan yang
diperkirakan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan/atau indikasi
tindak pidana di bidang perpajakan.
Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-3/PJ/2011 pengamatan dilakukan oleh :
Laporan Pengamatan dan Laporan Hasil Intelijen Perpajakan kemudian dimanfaatkan oleh analis
IDLP sebagai bahan "olahan" IDLP. Dengan lengkapnya "bahan-bahan" untuk dioleh oleh analis
IDLP, diharapkan analis IDLP lebih akurat untuk membuat kesimpulan analisis IDLP.
Adapun dalam IDLP mengacu pada keterangan, baik disampaikan secara lisan maupun tertulis
yang dapat dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya bukti permulaan tindak
pidana di bidang perpajakan. Selanjutnya, data dalam IDLP adalah kumpulan angka, huruf, kata,
atau citra yang bentuknya dapat berupa surat, dokumen, buku atau catatan, baik dalam bentuk
elektronik maupun bukan elektronik, yang dapat dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui
ada tidaknya bukti permulaan.
Kemudian, laporan dalam IDLP berarti pemberitahuan yang disampaikan oleh orang atau institusi
karena hak dan/atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang
tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan.
Sementara itu, pengaduan dalam IDLP artinya pemberitahuan mengenai dugaan tindak pidana di
bidang perpajakan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang (Pasal 1
Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.PER-18/PJ/2014). IDLP dapat diterima oleh seluruh unit
kerja di lingkungan Ditjen Pajak (DJP). IDLP yang diterima dan/atau diteruskan dan/atau
dikembangkan dan dianalisis oleh suatu unit DJP tersebut wajib untuk diadministrasikan.
Berdasarkan Pasal 3 Perdirjen No. PER-18/PJ/2014, IDLP yang telah diadministrasikan
selanjutnya akan diidentifikasi untuk mengetahui dapat atau tidaknya IDLP tersebut dilakukan
pengembangan dan analisis IDLP. Dalam hal hasil identifikasi menunjukkan identitas terlapor
tidak dapat diketahui dan/atau materi IDLP tidak terkait dengan tindak pidana di bidang perpajakan
maka IDLP yang dimaksud dilakukan pengarsipan sementara, tanpa melakukan pengembangan
dan analisis IDLP.
Sebagai informasi, pengembangan dan analisis IDLP adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh analis IDLP untuk menentukan tindak lanjut atas IDLP yang diterima (Pasal 1 angka 10
Perdirjen No. PER-18/PJ/2014). Apabila berdasarkan pengembangan dan analisis IDLP diketahui
informasi dan data yang tersedia belum mencukupi untuk menentukan tindak lanjut IDLP maka
informasi dan data tambahan dapat diperoleh melalui kegiatan intelijen perpajakan dan/atau
pengamatan.
Kegiatan intelijen perpajakan adalah: “Serangkaian kegiatan dalam siklus intelijen yang dilakukan
oleh petugas intelijen perpajakan yang meliputi perencanaan, pengumpulan, pengolahan dan
penyajian sehingga diperoleh suatu produk intelijen yang berisi data dan/atau informasi terkait
wajib pajak sehubungan dengan terjadinya suatu transaksi, peristiwa, dan/atau keadaan yang
diperkirakan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan/atau indikasi
tindak pidana di bidang perpajakan,”
Adapun pengamatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan pengamat untuk mencocokkan
IDLP dengan fakta, dan membahas serta mengembangkan IDLP tersebut untuk memperoleh
petunjuk adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
Apabila hasil pengembangan dan analisis IDLP menunjukkan indikasi kuat adanya tindak pidana
perpajakan, dapat ditindaklanjuti dengan usul Pemeriksaan Bukti Permulaan. Selanjutnya, usulan
tersebut dilakukan Penelaahan UsuI Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Dalam melaksanakan lawenforcement dengan tuduhan tindak pidana merupakan upaya akhir yang
dilakukan Dirjen Pajak, jika langkah langkah persuasif dan administratif tidak bisa dilakukan lagi.
Penyidikan Pasal 1 angka 2 KUHAP) Pengertian
Penyidikan :
Serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya
Penyidikan (Tindak Pidana di Bidang Perpajakan Pasal 1 angka 31 UU KUP)
Pengertian Penyidikan : Serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan
yang terjadi serta menemukan tersangkanya
Namun proses penyidikan bisa juga dihentikan oleh penyidik atau juga jaksa agung dengan beberapa
persyaratan seperti dibawah ini
Penyidikan merupakan suatu proses keberlanjutan dari proses pemeriksaan yang mengindikasi
adanya bukti permulaan. Bukti permulaan itu sendiri merupakan suatu keadaan, benda, ataupun
bukti yang dapat memberikan petunjuk atas adanya suatu tindak pidana perpajakan.
Dengan adanya pengumpulan dari bukti dan petunjuk-petunjuk lainnya dapat membuat suatu
tindak pidana di bidang perpajakan menjadi lebih jelas atau ditemukan titik terangnya sehingga
dapat membantu petugas yang berwenang dalam penyidikan untuk menemukan tersangka dari
kasus tindak pidana perpajakan.
Apabila bercermin pada Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP),
khususnya pada Pasal 1 angka 31 menjelaskan bahwa penyidikan pajak atau lebih tepatnya disebut
dengan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan merupakan suatu rangkaian tindakan atau
kegiatan yang dilakukan oleh penyidik untuk dapat mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang
kuat.
Kegiatan penyidikan atas tindak pidana dibidang perpajakan ini dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dalam Undang-Undang (UU) Hukum Acara Pidana.
Tujuan dari Penyidikan Pajak
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan penegakan hukum dibidang perpajakan dengan
menjadikan proses penegakan hukum ini sebagai upaya terakhir. Hal ini disebabkan karena
Undang-Undang pada dasarnya memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak yang melakukan
kesalahan dibidang perpajakan, baik sengaja maupun tidak sengaja untuk dapat memperbaiki,
membetulkan, dan mengungkapkan ketidakbenarannya tersebut terkait pelaporan Surat
Pemberitahuan Pajak (SPT). Maka, apabila Wajib Pajak tidak menggunakan kesempatannya dalam
melakukan perbaikan SPT ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melakukan proses penegakan
hukum, berupa pemeriksaan atau penyidikan.
Penegakan hukum dibidang perpajakan ini harus dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
dengan tujuan:
• Agar aktivitas penerimaan pajak dapat berjalan dengan baik dan lancar.
• Memulihkan kerugian atas pendapatan negara.
• Memberikan efek jera kepada pelaku penyelewengan pajak dan efek gentar kepada calon
pelaku penyelewenang pajak.
• Memberikan keadilan dan kepastian hukum dengan menjunjung tinggi nilai integritas
• Melakukan penahanan
• Melakukan penangkapan
Selain kewenangan yang dimiliki, dalam melaksanakan tugasnya, penyidik pajak tunduk pada
Norma Penyidikan, yang meliputi :
Tata cara penyidikan yang dilaksanakan oleh Penyidik Pajak, dapat disebutkan sebagai berikut :
a. Penyidik pajak harus memperlihatkan Surat perintah Penyidikan yang telah ditandatangani
oleh Direktur Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Wilayah;
b. Memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penyidik Polri dan Jaksa Penuntut
Umum;
c. Menyampaikan Hasil Penyidikan kepada Jaksa Penuntut Umum melalui Penyidik Polri;
d. Bila penyidik melakukan penggeledahan atau penyitaan, terlebih dahulu harus ada izin dari
Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali dalam keadaan mendesak;
e. Dalam melakukan penggeledahan atau penyitaan harus ada 2 orang saksi;
f. Membuat Berita Acara Sita serta ditandatangani oleh Wajib Pajak dan Penyidik Pajak;
g. Bila tersangka dikhawatirkan akan meninggalkan wilayah Indonesia maka penyidik pajak
dapat segera meminta bantuan kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan pencekalan.
h. Penyidik menyelesaikan penyusunan berkas perkara yang terdiri dari :
1. Berita Acara Pendapat/Resume
2. Penyusunan isi Berkas
3. Pemberkasan
Dalam melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, ada beberapa tahapan yang akan
dilaksanakan. Tahapa-tahapan tersebut adalah :
1. Tahap Pengamatan
Pengamatan di definisikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Petugas Direktorat
Jenderal Pajak untuk mencocokan dengan kenyataan, membahas dan mengembangkan lebih lanjut
akan informasi, data, laporan dan/atau pengaduan yang memberi petunjuk adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
2. Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan Bukti
Permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda
yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian
pada pendapatan negara.
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau
bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam
rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang selanjutnya disebut Penyidikan adalah
serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang terjadi serta
menemukan tersangkanya.
• Diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab oleh kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti
Permulaan untuk melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
• Mendapat pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup sebagai pemeriksa Bukti Permulaan;
• Menggunakan keterampilannya secara cermat dan saksama;
• Jujur, bersih dari tindakan-tindakan tercela, dan senantiasa mengutamakan kepentingan
negara; dan
• Taat terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Standar pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
• Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan disusun berdasarkan Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti
Permulaan; dan
• Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan mengungkapkan tentang pelaksanaan, simpulan, dan
usul tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan.
D. Kewajiban dan Hak dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan Pemeriksa
Bukti Permulaan wajib:
Orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka, wajib:
Pihak yang berkaitan atau pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan orang pribadi atau
badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan wajib memberikan keterangan dan/atau bukti
yang diminta oleh pemeriksa Bukti Permulaan.
Orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka mempunyai
hak meminta kepada pemeriksa Bukti Permulaan untuk:
• Menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
• Memperlihatkan kartu tanda pengenal pemeriksa Bukti Permulaan;
• Memperlihatkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Surat Perintah
Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan; dan
• Mengembalikan Bahan Bukti yang telah dipinjam dan tidak diperlukan dalam proses
Penyidikan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Pemeriksaan bukti permulaan dimaksudkan untuk mendapatkan
bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
Pemeriksaan bukti permulaan pada dasarnya adalah pemeriksaan pajak dimana pedoman dan tata
caranya tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku mengenai tata cara pemeriksaan di bidang
perpajakan. Setelah selesai pemeriksaan bukti permulaan selanjutnya dibuat Laporan Bukti
Permulaan dengan disertai kesimpulan dan usul tindak lanjutnya kepada pejabat yang berwenang
atau yang memberi perintah.
Penyesuaian Penyidikan
Penyesuaian di bidang penyidikan dalam tatanan kenormalan baru salah satunya adalah
penyampaian surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dalam bentuk digital baik
kepada penuntut umum maupun tersangka.
Namun, salinan cetak SPDP juga harus dikirimkan melalui pos dan/atau jasa kurir/ekspedisi pada
hari yang sama dengan pengiriman SPDP dalam bentuk digital.
Selain itu, pemeriksaan terhadap saksi, ahli, ataupun tersangka dapat dilakukan melalui video
conference. Penyesuaian dan ketentuan lebih lanjut dapat disimak pada Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak No. SE-34/PJ/2020.
Dalam praktiknya, tidak semua proses penyidikan terkait dengan penindakan dan pencegahan dapat
dijalankan sendiri oleh penyidik pajak. Oleh sebab itu, terdapat beberapa kegiatan penyidikan pajak
yang membutuhkan bantuan dari pihak kepolisian dan kejaksaan.
Untuk memperoleh bantuan dari kedua institusi tersebut harus ada pengajuan permohonan secara
tertulis terlebih dahulu kepada pihak yang dimintai bantuan. Adapun ketentuan mengenai
permohonan bantuan penyidik pajak kepada kejaksaan dan kepolisian tersebut diatur dalam
Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU
KUP) beserta aturan pelaksananya.
Aturan pelaksana yang dimaksud ialah Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara
pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (PP 74/2011) dan Surat Edaran Dirjen
Pajak No. SE-06/PJ/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang
Perpajakan (SE-06/2014) beserta lampirannya.
Ketentuan permohonan bantuan penyidikan pajak kepada kejaksaan dan kepolisian dapat diuraikan
sebagai berikut.
Dalam menjalankan penyidikan pajak, penyidik pajak dapat meminta bantuan kepada kejaksaan
berupa bantuan konsultasi dalam rangka penyidikan. Permintaan bantuan konsultasi diajukan
secara tertulis oleh direktur Intelijen dan Penyidikan atau kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) kepada Jaksa Agung atau kepala Kejaksaan Tinggi.
Berdasarkan pada lampiran SE-06/2014, bantuan konsultasi dari kejaksaan tersebut dapat meliputi
8 kegiatan. Kedelapan kegiatan yang dimaksud ialah petunjuk administrasi penyidikan, teknis
pemeriksaan, teknis gelar perkara, dan teknis pembuktian.
Selain itu, ada juga bantuan berupa petunjuk teknis syarat formal dan material berkas perkara,
teknis penyelesaian dan penyerahan berkas perkara terkait petunjuk jaksa peneliti, teknis
penyerahan tersangka dan barang bukti, serta teknis penghentian penyidikan.
Selain permohonan bantuan kepada kejaksaan, penyidik pajak juga dapat mengajukannya kepada
pihak kepolisian. Berdasarkan lampiran SE-06/2014, terdapat 5 jenis bantuan yang dapat diminta
penyidik pajak kepada kepolisian, yakni bantuan taktis, bantuan upaya paksa, dan/atau bantuan
konsultasi dalam rangka penyidikan. Selanjutnya, perincian jenis bantuan tersebut diuraikan
sebagai berikut.
Pertama, bantuan teknis dalam rangka penyidikan. Dalam bantuan jenis ini, terdapat 3 hal yang
dilakukan pihak kepolisian dalam rangka penyidikan pajak, yakni pemeriksaan laporatorium
forensik, pemeriksaan identifikasi, dan pemeriksaan psikologi.
Pemeriksaan laboratorium forensik dapat dilakukan dalam bidang fisika forensik, kimia dan biologi
forensik, dokumen dan uang palsu forensik, serta balistik dan metalurgi forensik. Selanjutnya,
bentuk pemeriksaan identifikasi meliputi 5 hal berikut.
Sementara itu, untuk pemeriksaan psikologi dapat berupa motivasi melakukan tindak pidana dan
profil psikologi saksi dan/atau tersangka.
Kedua, bantuan taktis dalam rangka penyidikan yang dilakukan penyidik pajak. Bantuan taktis
tersebut dilakukan terhadap 4 hal, yaitu bantuan personel penyidik kepolisian, bantuan penggunaan
peralatan, bantuan pengerahan kekuatan, dan bantuan pengamanan terhadap kegiatan yang dilakukan
penyidik pajak.
Ketiga, bantuan upaya paksa dalam rangka penyidikan pajak. Bantuan upaya paksa tersebut dapat
berupa pemanggilan sanksi/tersangka yang berada di luar wilayah hukum kewenangan penyidik atau
berada di luar negeri dan perintah membawa saksi/tersangka. Permohonan bantuan tersebut
dilakukan secara tertulis kepada Koordinator Pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Korwas
PPNS).
Bantuan pemanggilan dilakukan terhadap saksi/tersangka yang berada di luar wilayah hukum
kewenangan penyidik pajak dan/atau di luar negeri. Semantara itu, bantuan perintah membawa
saksi/tersangka dilaksanakan setelah penyidik memanggil saksi/tersangka sebanyak 2 kali, tetapi
saksi/tersangka tidak datang tanpa memberi alasan yang sah.
Selain itu, bantuan upaya paksa dari kepolisian juga dapat meliputi penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan. Permohonan bantuan penangkapan, penahanan, penggeledahan,
dan penyitaan tersebut diajukan secara tertulis kepada Korwas PPNS.
Setelah menerima surat permintaan bantuan tersebut, penyidik kepolisian wajib segera mempelajari
dan mempertimbangkan dapat atau tidaknya diberikan bantuan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan.
Polisi, dan demikian pula PPNS sebagai penegak hukum pidana adalah aparatur pertama dalam
proses penegakan hukum, ia menempati posisi sebagai penjaga, yaitu melalui kekuasaan yang ada
dan merupakan awal mula proses pidana.
Suatu hal yang menjadi kendala manakala dihadapkan pada kenyataan, jika suatu peristiwa pidana
pada umumnya merupakan suatu perbuatan melanggar beberapa ketentuan pidana / undang –
undang. Disisi lain PPNS merupakan unsur badan eksekutif, bila dikaitkan dengan pembagian
kewenangan dalam pemerintahan yang membagi 3 bidang kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Maka badan eksekutif yang melakukan fungsi yudikatif perlu dijembatani oleh suatu
badan yang secara institusional diakui sebagai bagian dari subsistem yudikatif, dalam hal ini adalah
Polri. Oleh karena penyidik Polri diberikan kewenangan untuk melakukan koordinasi dan
pengawasan terhadap proses penyidikan yang dilakukan oleh PPNS telah diatur dan diberikan
wadah dasar secara hukum oleh KUHAP (Pasal 7 KUHAP).
Lembaga penyidikan merupakan salahsatu subsistem dari sistem peradilan pidana (criminal justice
system). Subsistem – subsistem lainnya terdiri dari lembaga penuntutan, pengadilan, dan lembaga
pemasyarakatan. Oleh karena itu apabila di dalam lembaga penyidikan terdapat Penyidik Polri dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), maka dapat dikatakan jika PPNS merupakan bagian dari
sistem peradilan pidana (criminal justice system).
PPNS sebagai aparat penyidik tindak pidana dalam lingkup bidang tugasnya melaksanakan
penyidikan di bawah koordinasi penyidik Polri merupakan bagian dari sistem peradilan pidana
karena dalam melaksanakan tugas dan fungsinya bekerjasama dan berinteraksi dengan subsistem
– subsistem penegak hukum lain dalam kerangka sistem peradilan pidana.
Meskipun PPNS mempunyai tugas dan wewenang tersendiri sesuai lingkup bidang tugas dan
spesialisasinya, bukan berarti PPNS merupakan subsistem yang berdiri sendiri dalam sistem
peradilan pidana. Sesuai dengan keberadaannya, maka dapat dikatakan PPNS adalah bagian
subsistem kepolisian, sebagai salah satu subsistem peradilan pidana. PPNS sebagai bagian dari
sistem peradilan pidana mempunyai hubungan kerja, baik dengan kepolisian, penuntut umum dan
pengadilan.
Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana tersebut di atas, yang diberikan wewenang untuk
melakukan tindakan represif yustisial adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (disingkat PPNS),
misalnya PPNS yang bertugas dilingkungan Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai, Badan Pengawas Obat
dan Makanan, Ditjen Imigrasi, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah dan lain - lain.
Sesuai penjelasan di atas, maka Polri selaku pengemban fungsi kepolisian umum memiliki tugas
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana (Pasal 14 ayat 1 huruf g
dari Undang – Undang RI Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri), sedangkan PPNS hanya berwenang
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu sesuai undang – undang yang menjadi dasar
hukumnya masing – masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan
pengawasan penyidik Polri (Pasal 7 ayat 2 KUHAP).
Mekanisme pelaksanaan koordinasi dan pengawasan (korwas) yang dilakukan Penyidik Polri
terhadap PPNS dalam proses penyidikan sebenarnya sudah diatur secara jelas dalam Undang
Undang RI Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP dan Undang Undang RI Nomor 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan tata cara pelaksanaannya dalam Peraturan
Pemerintah RI Nomor 43 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan,
dan Pembinaan Teknis Terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk–
Bentuk Pengamanan Swakarsa, misal dalam hal PPNS memberitahukan dimulainya penyidikan
sejak awal penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Polri, selanjutnya Penyidik Polri
wajib memberikan bantuan teknis, taktis, upaya paksa maupun konsultasi penyidikan kepada PPNS
guna kesempurnaan penyelesaian berkas perkara, menghadiri dan memberi petunjuk saat gelar
perkara yang dilaksanakan PPNS, menerima berkas perkara dari PPNS dan meneliti kelengkapan
persyaratan baik formil dan meteriilnya, lalu meneruskan kepada Penuntut Umum, kecuali dalam
undang – undang yang menjadi dasar hukumnya menyebutkan lain.
Pedoman terakhir yang ditetapkan dalam pelaksanaan penyidikan oleh PPNS maupun dalam
koordinasi dan pengawasan oleh penyidik Polri, yaitu Peraturan Kapolri Nomor 6 tahun 2010
tentang Manajemen Penyidikan oleh PPNS dan Peraturan Kapolri Nomor 20 tahun 2010 tentang
Koordinsi, Pengawasan, dan pembinan penyidikan bagi PPNS, yang bertujuan agar terwujud
penyidikan yang bersinergi dan profesional antara PPNS dan Penyidik Polri dengan
mengedepankan PPNS dalam menangani tindak pidana di lingkup tugas dan wewenangnya.
Berdasarkan Undang – Undang RI Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, proses peradilan pidana
di Indonesia melalui beberapa tahapan yaitu tahap penyidikan yang menjadi kewenangan
kepolisian dan PPNS, tahap penuntutan yang menjadi kewenangan penuntut umum, dan
pemeriksaan di depan sidang pengadilan yang menjadi kewenangan hakim, dan tahap pembinaan
yang menjadi kewenangan Lembaga
Pemasyarakatan. Subsistem – subsistem ini dalam sistem peradilan pidana diharapkan dapat
bekerja sama secara bersinergi, sehingga terbentuk suatu sistem peradilan pidana yang terpadu,
yaitu terdapatnya kesamaan pendapat atau persepsi terhadap tujuan sistem peradilan pidana di
Indonesia, sehingga setiap lembaga yang terkait dalam proses peradilan pidana tidak hanya melihat
kepentingan masing – masing lembaga, akan tetapi demi kepentingan seluruh sistem peradilan
pidana
V. Sanksi bagi Tindakan Disengaja dan Melanggar Hukum oleh Wajib Pajak
A. Ketentuan Waktu
Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak
saat terhutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau
berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Tindak pidana di bidang perpajakan daluwarsa sepuluh tahun, dari sejak saat terhutangnya pajak,
berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang bersangkutan. Hal tersebut
dimaksudkan guna memberikan suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum, dan
Hakim. Jangka waktu sepuluh tahun tersebut adalah untuk menyesuaikan dengan daluwarsa
penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak
yang terhutang, selama sepuluh tahun.
Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana
dimaksud dalam isi pasal tersebut dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada pihak
lain dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam rangka
pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan, perlu adanya sanksi pidana bagi pejabat yang
bersangkutan yang menyebabkan terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut.
Pengungkapan kerahasiaan seperti yang tertera dalam pasal ini dilakukan karena kealpaan dalam
arti lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan
keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang dilindungi oleh Undang-undang
Perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut, pelaku dihukum dengan hukuman yang setimpal.
Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak
dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 yakni:
Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan
dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara
lain:
• Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
• Data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan;
• Dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
• Dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang berkenaan.
Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak
untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan adalah sama dengan petugas pajak yang
dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada pasal
34.
Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum
tentang perpajakan identitas Wajib Pajak meliputi:
Sanksi
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan Wajib Pajak (WP), sepanjang
menyangkut pelanggaran ketentuan administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi,
sedangkan yang menyangkut tindak pidana perpajakan dikenakan sanksi pidana.
Setiap orang yang karena kealpaannya:
• tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT); atau
• menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan
keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara;
dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan atau denda paling tinggi dua kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Sanksi tindak pidana di bidang perpajakan di atas menjadi pidana kurungan paling singkat tiga
bulan atau paling lama satu tahun atau denda paling sedikit satu kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar dan paling banyak dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar.
Setiap orang yang dengan sengaja:
a. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan, atau menggunakan tanpa hak Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP); atau
b. tidak menyampaikan SPT; atau
c. menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau
d. menolak untuk dilakukan pemeriksaan; atau
e. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan
seolah-olah benar; atau
f. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak
meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau
g. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan Negara; di pidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun
dan denda paling tinggi empat kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar.
Sanksi tindak pidana di bidang perpajakan tersebut menjadi pidana penjara paling singkat
enam bulan atau paling lama enam tahun dan denda paling sedikit dua kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak empat kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang dibayar.
h. Apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu
tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan, dikenakan pidana
dua kali lipat dari ancaman pidana yang diatur sebagaimana butir 3.
i. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan
atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan PKP, atau menyampaikan SPT atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan
restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua
tahun dan denda paling tinggi empat kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi
yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Sanksi tindak pidana di bidang perpajakan terhadap poin 2
di atas menjadi pidana penjara paling singkat enam bulan atau paling lama dua tahun dan
denda paling sedikit dua kali jumlah restitusi yang dimohonkan atau kompensasi atau
pengkreditan yang dilakukan paling banyak empat kali jumlah restitusi yang dimohonkan
atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.
Sanksi tindak pidana berlaku juga bagi wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak, yang
menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Daluwarsa
Tindak pidana perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak saat
terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya
Tahun Pajak yang bersangkutan.
Tindak Pidana Mengungkapkan Kerahasiaan Wajib Pajak
Setiap pejabat baik petugas pajak atau pihak yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang
mengungkapkan kerahasiaan wajib pajak (WP) yang menyangkut masalah perpajakan.
Pelanggaran atas larangan mengungkapkan kerahasiaan WP tersebut dapat diancam sanksi pidana
sebagai berikut:
• Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal kerahasiaan
Wajib Pajak, dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling
banyak Rp 4.000.000. Sanksi tindak pidana perpajakan tersebut menjadi pidana kurungan
paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp 25.000.000.
• Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang
menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat, dipidana dengan pidana penjara paling
lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000. Sanksi tindak pidana perpajakan
tersebut menjadi pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp
50.000.000.
Keterlibatan dan Sanksi bagi Pihak Ketiga
• Setiap orang yang menurut ketentuan wajib memberikan keterangan atau bukti yang
diminta tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti atau memberi
keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu
tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000. Sanksi tindak pidana perpajakan tersebut
menjadi pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp 25.000.000.
• Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan pajak,
dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp
10.000.000. Sanksi tindak pidana perpajakan tersebut menjadi pidana kurungan paling lama
tiga tahun dan denda paling banyak Rp 75.000.000.
Ketentuan ini berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan atau membantu
melakukan tindak pidana perpajakan.
Proses digitalisasi yang memberikan banyak kemudahan tak luput menjadi salah satu opsi paling
diminati untuk mewujudkan proses bisnis yang efisien. Hal ini karena setiap pekerja dan organisasi,
terlepas dari ukuran atau industrinya, semakin bergantung pada data dan teknologi untuk beroperasi
dan memberikan nilai kepada pelanggan. Saat ini, Badan Usaha setidaknya menggunakan
perangkat digital untuk menyusun seluruh laporannya.
Selain memberikan manfaat, pengaplikasian teknologi digital dan internet membuka peluang
kecurangan dan kejahatan. Kejahatan inilah yang disebut dengan istilah Digital Crime, yaitu
kejahatan dimana komputer memegang peranan penting. Digital Crime dapat dilakukan siapa saja,
termasuk Wajib Pajak. Kejahatan dan kecurangan dalam hal perpajakan (tax crime) dilakukan
melalui jenis computer assisted crime, dimana teknologi tidak dijadikan target kejahatan tapi hanya
digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan.
Untuk mengatasi hal tersebut, Direktur Jenderal Pajak telah melakukan penyesuaian dengan
menggunakan forensik digital sebagai alat pemrosesan penegakan hukum pajak. Forensik digital
dipilih mengingat bukti digital sangat rapuh dan dapat dihilangkan atau diubah tanpa penanganan
yang memadai. Forensik Digital dapat merestorasi dokumen yang terhapus, tersembunyi dan
sementara tidak terlihat oleh orang biasa.
Unit forensik digital dalam struktur organisasi DJP terdapat di wilayah Kanwil DJP pada Seksi
Administrasi Bukti Permulaan dan Penyidikan Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan
Penyidikan serta terdapat pula pada Subdirektorat Forensik dan Barang Bukti Direktorat
Penegakan Hukum. Forensik digital saat ini menjadi bagian tak terpisahkan pada tingkat audit dan
penegakan hukum perpajakan.
Definisi forensik digital menurut Dr. HB Wolfe adalah sebuah seri metodologi dari teknik dan
prosedur untuk mengumpulkan bukti, dari peralatan komputer dan alat penyimpanan lainnya dan
media digital yang dapat disajikan di pengadilan dalam format yang koheren dan bermakna [2].
Forensik digital bertujuan untuk menjaga integritas data dan untuk mengolah dan menganalisis
bukti digital dalam konteks restrukturisasi sebuah peristiwa atau tindakan pelanggaran hukum
dengan menghubungkan antara pelaku atau tersangka, korban, dan lokasi atau tindakan
pelanggaran hukum.
Dengan forensik digital, setiap kejahatan atau kecurangan dapat terungkap karena setiap kejahatan
digital akan meninggalkan jejak berupa file dan dokumen (digital evidence). Digital Evidence
inilah yang akan menjadi atensi dari aparat untuk menumpas adanya kejahatan dan kecurangan.
Berdasarkan Pasal 5 UU ITE, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil
cetakannya merupakan alat bukti yang sah. Untuk memenuhi syarat sebagai alat bukti yang sah,
beberapa syarat materil harus dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Data memiliki empat bagian hal yang menjadi ciri khas diantaranya :
• File signature, yaitu ciri-ciri umum yang menggambarkan data,
• Digital fingerprint, yaitu sidik jari digital berupa nilai yang menunjukkan integritas suatu data
(ditampilkan dalam bentuk 32 digit algoritma hash value),
• Metadata, yaitu informasi keterangan suatu data secara rinci seperti tanggal pembuatan, user,
aksesibilitas, dan modifikasi, serta
• Konten, yaitu bentuk dan isi data.
Proses forensik digital perpajakan bermula dari identifikasi, pengumpulan, akuisisi, dan preservasi
dokumen atau bukti lain oleh tim forensik digital dengan tim bukper atau tim pemeriksa di
lapangan. Selanjutnya dilakukan investigasi digital berupa pemeriksaan, analisis, interpretasi, dan
pelaporan di laboratorium yang terdapat di kantor wilayah DJP atau Direktorat Penegakan Hukum.
Forensik digital dilakukan berdasarkan prinsip integritas data, kompetensi, chain of custody atau
kesinambungan bukti, dan regulasi.
Pada tahapan penyidikan, Penyidik atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) melakukan
penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, pemeriksaan dengan didampingi oleh tim
digital forensik sebagai saksi ahli terkait dengan integritas dokumen yang menjadi bukti dalam
persidangan. Apabila diperlukan, ahli forensik digital dapat hadir dalam persidangan sebagai saksi
ahli.
Prosedur Kegiatan Forensik Digital berdasarkan SE Dirjen Pajak No.36/PJ/2017 terdiri dari:
Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan data elektronik dengan cara mengakses, mengunduh,
menggandakan, dan/atau kegiatan lain sehingga data elektronik menjadi bukti yang dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Berikut adalah prosedur perolehan data elektronik:
• Memperlihatkan STFD
• Mendapatkan pendampingan
• Mendapatkan informasi terkait sistem informasi WP
• Mengidentifikasi perangkat elektronik yang diduga sebagai sarana penyimpanan Data
Elektronik
• Melakukan perolehan Data Elektronik dengan menggunakan metode imaging
• Melakukan dokumentasi yang cukup atas proses Perolehan Data Elektronik
• Memberikan identitas pada setiap hasil perolehan Data Elektronik
• Menyiapkan Berita Acara Perolehan Data Elektronik
Sebelum melakukan identifikasi perangkat elektronik yang diduga sebagai sarana penyimpanan
data elektronik, terlebih dahulu dilakukan analisis IDLP. Perolehan data elektronik dilakukan
dengan menggunakan metode imaging (proses identifikasi dengan bit by bit copy sehingga data
dan metadata ikut ter-copy)
Wibisono, Priawan. (2017). Mengkaji Kepastian Hukum dalam Ketentuan Pidana Perpajakan.
Diakses pada 13 Desember 2021 melalui https://cita.or.id/mengkaji-kepastian-hukum-
dalamketentuan-pidana-perpajakan/
Magisterakutansi. (2013). Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia. Diakses pada 13 Desember 2021
melalui https://magisterakutansi.blogspot.com/2013/04/sistem-pemungutan-pajak-
diindonesia.html?m=1
Septian, Ade. (2013). Persiapan Pemeriksaan Pajak. Diakses pada 13 Desember 2021 melalui
https://www.slideshare.net/adeseptian520/persiapan-pemeriksaan-pajak
Taroreh, Junisa Angelia. (2013). Pemeriksaan dan Penyidikan Terhadap Pelanggan Pajak.
Diakses pada 5 Desember 2021 melalui
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/1576
Atpetsi.or.id. (2021). Apa Itu IDLP dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan?. Diakses pada 13
Desember 2021 melalui https://atpetsi.or.id/apa-itu-idlp-dalam-pemeriksaan-bukti-permulaan
Suparman, Raden Agus. (2011). Analisis IDLP. Diakses pada 13 Desember 2021 melalui
http://pajaktaxes.blogspot.com/2011/02/analisis-idlp.html?m=1
Pajakku.com. (2021). Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Diakses
pada 13 Desember 2021 melalui https://www.pajakku.com/forum-
topic/60ee96aaecd34d132d3bf0a8/Pemeriksaan-Bukti-Permulaan-Tindak-Pidana-di-
BidangPerpajakan?page=1
News.ddtc.co.id. (2019). Apa Itu Pemeriksaan Bukti Permulaan?. Diakses pada 13 Desember 2021
melalui https://news.ddtc.co.id/apa-itu-pemeriksaan-bukti-permulaan-16849
Pajakku.com. (2021). Mengenal Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Diakses pada
13 Desember 2021 melalui
https://www.pajakku.com/read/60f13fde58d6727b1651ad78/Mengenal-Penyidikan-TindakPidana-
di-Bidang-Perpajakan
News.ddtc.co.id. (2020). Apa Itu Penyidikan Pajak?. Diakses pada 13 Desember 2021 melalui
https://news.ddtc.co.id/apa-itu-penyidikan-pajak-21647
Korwasmetrojaya.com. Sekilas Mengenal Fungsi Korwas PPNS. Diakses pada 13 Desember 2021
melalui https://www.korwasmetrojaya.com/tentang-kami/
Atpetsi.or.id. (2021). Bentuk Bantuan Kejaksaan dan Kepolisian dalam Penyidikan Pajak. Diakses
pada 13 Desember 2021 melalui https://atpetsi.or.id/bentuk-bantuan-kejaksaan-dankepolisian-
dalam-penyidikan-pajak
Wikiapbn.org. (2015). Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Diakses pada 13 Desember 2021
melalui http://www.wikiapbn.org/tindak-pidana-di-bidang-perpajakan/
Astrid. (2021). Sanksi bagi Tindakan Disengaja dan Melanggar Hukum oleh Wajib Pajak. Diakses
pada 13 Desember 2021 melalui https://konsultanku.co.id/blog/sanksi-bagi-tindakan-
disengajadan-melanggar-hukum-oleh-wajib-pajak
Konsultanpajaksurabaya. (2021). Hadirnya Forensik Digital dalam Penegakan Hukum Pajak.
Diakses pada 13 Desember 2021 melalui https://konsultanpajaksurabaya.com/hadirnya-
forensikdigital-dalam-penegakan-hukum-pajak
Anonim, KUHAP, Simplex, Jakarta, 1982.
Bohari, H., Pengantar Hukum Pajak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, edisi revisi, cet.ke-4, 2002.
Diana, Anastasia, dan Lilis Setiawati, PERPAJAKAN INDONESIA Konsep, Aplikasi, dan
Penuntun Praktis, ANDI, Yogyakarta, cet,ke-3, 2010. Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2011,
ANDI, Yogyakarta, cet.ke-16, 2011.
Pudyatmoko, Y., Sri, Pengantar Hukum Pajak, ANDI, Yogyakarta, edisi revisi, cet.ke-4, 2009.
Soeparman, Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.
Suryarini, Trisni, dan Tarsis Tarmudji, Pajak Di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012. Tansuria,
Billy Ivan, Pokok-Pokok Ketentuan Umum Perpajakan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010
Waluyo, Bambang, Tindak Pidana Perpajakan, PT Pradnya Paramita, Jakarta, cet.ke-2, 1994.
Widyaningsih, Aristanti, Hukum Pajak dan Perpajakan, ALFABETA, Bandung, 2011.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata
Cara Perpajakan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.
http://www.investor.co.id/home/ada-75-pelanggaran-pajak-berpotensi-rugikannegara-
rp1059miliar/12328
http://www.tempo.co/read/news/2012/10/26/083437938/Hotel-Sheraton-Bandara-
TerancamDigembok
http://carapedia.com/kasus_pajak_info708.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak http://pemeriksaanpajak.com/?p=27
http://www.pajak.go.id/content/pemeriksaan-pajak-dan-sanksi-administrasi
http://penyidikan.blogspot.com/