PEMBAHASAN
1. Satu atau beberapa bulan (masa): ruang lingkup untuk menguji kewajiban
pemungutan atau pemotongan. Seperti PPn, PPnBM, PPh pasal 21, PPh
pasal 22, 23, 26, PPh pasal 4 (2)
2. Bagian tahun pajak atau tahun pajak: menguji kewajiban PPh badan atau
PPh OP. Tidak selalu 12 bulan. Contoh: bulan Mei sebuah perusahaan
dibubarkan dan likuidasi bulan Agustus. Maka pemeriksaan tahun tersebut
disebut bagian tahun pajak.
PEMERIKSAAN PAJAK :
c. Penghitungan Rasio;
1. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan Khusus harus dilakukan melalui PL atau PSL untuk satu,
beberapa atau seluruh jenis pajak kewajiban Wajib Pajak termasuk Wajib
Pajak yang diberikan fasilitas pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak, berdasarkan:
a) Adanya dugaan melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
b) Pengaduan masyarakat, termasuk melalui Kotak Pos 5000
c) Data baru atau data yang semula belum terungkap
d) Permintaan Wajib Pajak
e) SPT lebih bayar hasil edit
f) Pertimbangan Direktur Jendral Pajak
Khusus untuk kriteria pemeriksaan pada butir 3 hanya diberlakukan terhadap
Wajib Pajak yang telah diberikan fasilitas pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak.
Dikarenakan:
1) WP tidak ditemukan
2) Pemeriksaan untuk SPT yang bukan restitusi (bukan Palas 17B UU
KUP)
3) disetujui dilakukan Pemeriksaan Bukper
4) Pemeriksaan atas permohonan restitusi (Pasal 17B UU KUP)
ditangguhkan
5) karena dilakukan pemeriksaan Bukper
- Membuat LHP sebagai dasar penerbitan SKP Dikarenakan:
2. Pembatalan Pemeriksaan
Pembatalan pemeriksaan ada dua, yaitu pembatalan hasil pemeriksaan dan
pembatalan penugasan pemeriksaan. Pembatalan hasil pemeriksaan artinya
yang dibatalkan adalah “hasil” pemeriksaan berupa surat ketetapan pajak
(SKP). Sedangkan pembatalan penugasan adalah pembatalan atas Surat
Perintah Pemeriksaan (SP2). Dengan dibatalkannya SP2 maka “seolah-olah”
tidak ada SP2. Sehingga atas pemeriksaan tersebut tidak ada Surat
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) dan Laporan Hasil Pemeriksaan
(LHP).
O. PENGERTIAN PENYIDIKAN
P. WEWENANG PENYIDIK
Dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 Ps 44 jo. KEP-272/PJ/2002 Pasal 9 (2)
Wewenang Penyidik adalah:
1. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
2. Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi
atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
3. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
4. Memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak
pidana di bidang perpajakan;
5. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan
bukti tersebut;
6. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan;
7. Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan
atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa
identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
8. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
9. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
10. Menghentikan penyidikan; dan/atau
11. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan.
R. KETETAPAN PAJAK
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua betas) bulan
sejak tanggal surat keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas
keberatan yang diajukan. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) telah lewat
dan Direktorat Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan
yang diajukan tersebut dianggap diterima. Keputusan keberatan dapat berupa
menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah
pajak terhutang.
Ada tiga kategori wajib pajak yang berhak mendapatkan percepatan restitusi.
Pertama, wajib pajak orang pribadi yang memiliki lebih bayar di bawah atau sama
dengan Rp100 juta. Kedua, wajib pajak badan yang lebih bayar di bawah atau
sama dengan Rp1 miliar. Ketiga, PKP dengan lebih bayar di bawah atau sama
dengan Rp1 miliar.
Wajib pajak yang tepat waktu dalam menyampaikan SPT, tidak memiliki
tunggakan pajak, laporan keuangan telah diaudit dan mendapatkan opini Wajar
Tanpa Pengecualian (WTP) selama 3 tahun berturut-turut, dan tidak pernah
dipidana di bidang perpajakan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
PKP berisiko rendah yang ditetapkan menteri keuangan. Dalam hal ini PKP
yang dimaksud adalah perusahaan terbuka (go public), BUMN/BUMD, eksportir
mitra utama kepabeanan (MITA) atau reputable trader yang profilnya dimiliki
oleh Ditjen Bea Cukai.
Ditjen Pajak juga telah menetapkan jangka waktu masing-masing wajib pajak
yang memenuhi persyaratan tersebut, berikut rinciannya:
(2) Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama satu bulan setelah
jangka waktu tersebut berakhir.
(3) Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2%
per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak,
setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
(5) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah
kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
100% dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
(6) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila:
(7) Tata cara penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah:
- Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas.
- Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan
jumlah tertentu.
- Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar
sampai dengan jumlah tertentu.
- Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih
bayar sampai dengan jumlah tertentu.
(3) Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menerbitkan surat ketetapan pajak
setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
(5) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah
pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100% (seratus persen).”
Pajak yang telah dibayar atas pembelian Barang kena Pajak yang dibawa
ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17E UU KUP dan Pasal 16E UU PPN:
“Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian
Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah
pabean dapat diberikan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang telah
dibayar, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.”
(1) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah
dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean
oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri dapat diminta kembali.
(2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dapat
diminta kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
- Nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah) dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah.
- Pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean.
- Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5), kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan alamat
pembeli diisi dengan nomor paspor dan alamat lengkap di negara yang
menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang pribadi pemegang paspor
luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3) Permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat orang pribadi
pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada
Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.