Disusun Oleh :
Bethari Santun Selasih
(F1318015)
TUJUAN PEMERIKSAAN
Tujuan dilakukannya pemeriksaan wajib pajak dapat dikarenakan berbagai macam, yaitu:
1. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan:
2. SPT lebih bayar;
3. SPT rugi;
4. SPT tidak atau terlambat disampaikan;
5. SPT memenuhi kriteria yang ditentukan Dirjen Pajak untuk diperiksa;
6. Adanya indikasi tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban selain kewajiban pada huruf b;
7. Tujuan lain yaitu:
8. Pemberian NPWP (secara jabatan);
9. Penghapusan NPWP;
10. Pengukuhan PKP secara jabatan dan pengukuhan atau pencabutan pengukuhan PKP;
11. Wajib pajak mengajukan keberatan atau banding;
12. Pengumpulan bahan untuk penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
13. Penentuan wajib pajak berlokasi di tempat terpencil;
14. Penetuan satu atau lebih tempat terutang PPN;
15. Tujuan lain selain a, s, d, g.
HAK WAJIB PAJAK APABILA DILAKUKAN PEMERIKSAAN
Apabila terjadi pemeriksaan terhadap wajib pajak, wajib pajak mempunyai beberapa hak,
yaitu:
1. Meminta kepada pemeriksa pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa.
2. Meminta tindasan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak.
3. Menolak untuk diperiksa apabila pemeriksa tidak dapat menunjukkan Tanda Pengenal
Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan.
4. Meminta penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan.
5. Meminta tanda bukti peminjaman buku-buku, catatan-catatan, serta dokumen-dokumen
yang dipinjam oleh pemeriksa pajak.
6. Meminta rincian berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan
dengan Surat Pemberitahuan (SPT) mengenai koreksi-koreksi yang dilakukan oleh
Pemeriksa Pajak terhadap SPT yang telah disampaikan.
7. Mengajukan pengaduan apabila kerahasiaan usaha dibocorkan kepada pihak lain yang
tidak berhak memperoleh lembar asli berita asli penyegelan apabila pemeriksa pajak
melakukan penyegelan atas tempat atau ruangan tertentu.
Jenis Pemeriksaan
Berdasarkan dengan tujuan di atas, pelaksanaan pemeriksaan perpajakan terbagi menjadi 2
jenis pemeriksaan, yaitu sebagai berikut :
1. Pemeriksaan Lapangan
Pemeriksaan lapangan dilakukan atas suatu jenis pajak atau seluruh jenis pajak untuk
tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya dan atau tujuan lain yang dilakukan di
tempat wajib pajak. Pemeriksaan lapangan ini dilaksanakan dapat dengan cara pemeriksaan
lengkap atau pemeriksaan sederhana. Pemeriksaan lengkap terhadap wajib pajak dilakukan
dengan menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang lazim digunakan dalam pemeriksaan
pada umumnya sedangkan pemeriksaan sederhana dilakukan dengan menerapkan teknik-
teknik pemeriksaan dengan bobot dan kedalaman yang sederhana sesuai dengan ruang
lingkup pemeriksaan.
Pemeriksaan lapangan dapat dilakukan dalam jangka waktu tempat bulan dan dapat
diperpanjang paling lama delapan bulan yang dihitung sejak Wajib Pajak datang memenuhi
Surat Panggilan dalam rangka pemeriksaan kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil
Pemeriksaan.
2. Pemeriksaan Kantor
Pemeriksaan kantor dilakukan atas suatu jenis pajak tertentu baik tahun berjalan dan atau
tahun-tahun sebelumnya yang dilakukan di kantor direktorat Jenderal Pajak. Pemeriksaan ini
hanya dapat dilaksanakan dengan pemeriksaan sederhana.
Pemeriksaan kantor dapat dilakukan dalam jangka waktu tiga bulan dan dapat
diperpanjang paling lama enam bulan yang dihitung sejak Wajib Pajak datang memenuhi
Surat Panggilan dalam rangka pemeriksaan kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil
Pemeriksaan.
Dari perbedaan ruang lingkup pemeriksaan di atas berpengaruh pada jangka waktu
penyelesaianya. Untuk pemeriksaan lengkap, harus diselesaikan dalam jangka waktu dua
bulan dan dapat diperpanjang paling lama delapan bulan. Untuk pemeriksaan sederhana harus
diselesaikan dalam jangka waktu satu bulan dan dapat diperpanjang paling lama dua bulan.
Sedangkan pemeriksaan kantor yang dilakukan secara sederhana harus diselesaikan dalam
jangka waktu empat minggu dan dapat diperpanjang paling lama enam minggu.
Apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan kantor yang dilakukan ternyata ditemukan
indikasi adanya transaksi yang mengandung unsur transfer pricing, maka lingkup
pemeriksaanya ditingkatkan menjadi pemeriksaan lapangan, sedangkan apabila dalam
pemeriksaan lapangan ditemukan indikasi unsur transfer pricing yang memerlukan
pemeriksaan yang lebih mendalam serta waktu yang lebih lama, pemeriksaanya dilaksanakan
dalam jangka waktu paling lama dua tahun, akan tetapi jangka waktu dua tahun tersebut tidak
berlaku apabila pemeriksaan yang dilaksanakan berkenaan dengan surat pemberitahuan yang
menyatakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Dirjen Pajak yang
diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan.
WEWENANG PENYIDIK
Dalam melakukan penyidikan, petugas penyidik tidak boleh sembarangan melakukan
tugasnya. Terdapat beberapa wewenang yang diberikan penyidik yaitu diantaranya:
1. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi
lebih lengkap dan jelas;
2. Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan
tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidanan di
bidang perpajakan;
3. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan;
4. Memeriksa buku-buku, catatan-catatn, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan;
5. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan
dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
6. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidan di
bidang perpajakan;
7. Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada
saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memerikasa identitas orang dan/atau dokumen
yang dibawa sebagaimana dimaksud pada nomor 5;
8. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
9. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
10. Menghentikan penyidikan;
11. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan;
"Jadi berdasarkan pengumpulan data di lapangan, baru bisa mengambil kesimpulan, apa yang
pernah dilakukan oleh PT Barens. Jadi, sekarang pada tahap pengumpulan data dan bukti,"
ungkap Gunadi.
Pemeriksaan dan penelusuran yang dilakukan oleh Ditjen Pajak adalah untuk mengetahui
apakah PT Barents Indonesia telah melaukan suatu tindak pidana fiskal atau tidak. Jika
berdasarkan data yang dikumpulkan, terdapat indikasi ke arah sana, maka pemeriksaan akan
dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti permulaan.
Dalam pemeriksaan bukti permulaan, ada lima unsur yang harus dipenuhi agar seseorang atau
badan dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana fiskal dan dilakukan penyidikan
selanjutnya. Kelima unsur tersebut adalah, adanya tersangka, adanya bukti yang kuat, adanya
saksi, ada modusnya dan terakhir, terdapat unsur kerugian pada pendapatan negara. Dari
semua unsur tersebut, Gunadi memandang yang paling sulit dibuktikan adalah unsur kerugian
pada pendapatan negara. Pasalnya, Direktur Barents Indonesia, Ing Hie Kwik, telah melunasi
tunggakan pajak Barents sebesar Rp3,4 miliar plus denda sebesar Rp766 juta.
Pelunasan tunggakan tersebut dilakukan oleh Ing Hie tanpa persetujuan dari petinggi Barents
dan KPMG. Bahkan belakangan, setelah Ing Hie melancarkan gugatan atas pemecatannya
karena melunasi tunggakan pajak tersebut, diketahui bahwa petinggi KPMG dan Barents
melalui surat elektronik (e-mail) meminta Ing Hie untuk mengemplang pajak. Kendati telah
terlihat adanya upaya atau tindakan yang mengarah pada penggelapan pajak, Barents tetap
tidak bisa dikenai sanksi, jika unsur kerugian pada pendapatan negara tidak terpenuhi.
"Kalau lima unsur tersebut ada yang tidak terpenuhi, maka tidak bisa jadi tindak pidana
fiskal. Misalnya, tidak ada unsur kerugian negara, ini kan tidak memenuhi persyaratan
undang-undang. Oleh karena itu, kami sangat berhati-hati dalam melakukan pemeriksaan
ini," ujar Gunadi.
Ganti nama
Hubungan antara PT Barents Indonesia dengan KPMG Consulting Inc, bermula pada tahun
1998 ketika perusahaan afiliasi KPMG Internasional tersebut mengakuisisi perusahaan induk
Barents Indonesia, Barents LLC. Kwmudian pada tahun 2000 KPMG Consulting melakukan
merger (penggabungan perusahaan) dengan Barents dan memakai nama KPMG Consulting.
Kini setelah kasus rencana pengemplangan pajak oleh KPMG dan barents tersebut terkuak
dan berbuntut di pengadilan, KPMG Consulting mengubah namanya menjadi Bearing Point.
Atas perubahan nama tersebut, Gunadi mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi masalah
dalam pemeriksaan yang sedang dilakukan oleh Ditjen Pajak. Pasalnya, jika terjadi
perubahan nama, maka akan terjadi pula perubahan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).
Ketika terjadi pergantian NPWP lama dengan NPWP yang baru itulah, terjadi suatu tax
clearence antara kewajiban dengan NPPWP lama dan yang baru.
"Kalau ternyata sekarang ganti nama, tidak masalah Akan ada suatu pemeriksaan baru untuk
meyakinkan bahwa memang sudah terjadi pergantian nama. Kalau melakukan penghapusan
NPWP lama kemudian menerbitkan NPWP baru kan ada pemeriksaan juga. Jadi ada
suatu tax clearence, di-cut off siapa yang menjabat pada perusahaan lama dan yang baru
siapa," jelas Gunadi.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa daluwarsa Bukti Permulaan adalah 5 (lima)
tahun, tetapi daluwarsa lima tahun tidak berlaku jika Wajib Pajak melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Ada dua alasan mengapa dalam hal ini daluwarsanya lebih dari lima tahun. Pertama, proses
peradilan pidana sampai adanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap bisa lebih
dari lima tahun jika masing-masing pihak yang berperkara menempuh upaya hukum banding
maupun kasasi. Jika ketentuan daluwarsanya mengikuti lima tahun akan banyak kasus pidana
perpajakan atau pidana lainnya yang merugikan keuangan Negara tidak bisa diterbitkan
ketetapannya karena alasan daluwarsa.
Kedua, daluwarsa tuntutan tindak pidana di bidang perpajakan adalah sepuluh tahun
sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang KUP. Pasal 43A ayat (1) Undang-
Undang KUP mengatur bahwa awal proses tuntutan tindak pidana di bidang perpajakan
adalah berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan maka dilakukan pemeriksaan
bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Misalnya
diperlukan waktu dua tahun sampai dengan adanya putusan hukum yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, maka walaupun sudah sepuluh tahun masih bisa diterbitkan
SKPKB berdasarkan keterangan lain.
Surat Perintah Penyidikan bermula dari Pemeriksaan Bukti Permulaan. Bukti permulaan
dirasa cukup karena tediteksi adanya tindak pidana perpajakan untuk meneruskan pada tindak
lanjut pada Surant Perintah Penyidikan. Bukti Permulaan dapat daluwarsa dalam 5 (lima)
tahun sesuai Pasal 13 UU Nomor 28 Tahun 2007, dalam kasus PT Jambu Dua Surat Tugas
Bukti Permulaan sudah melewati daluwarsa tetapi jika terindikasi terjadinya tindak pidana
maka daluwarsa bukti permulaan Pasal 13 UU Nomor 28 Tahun 2007 tidak berlaku.
Daluwarsa atas indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang merugikan negara akan
dihubungkan dengan Pasal 40 UU Nomor 28 Tahun 2007 yang mana telah disebutkan bahwa
daluwarsa 10 (sepuluh) tahun sejak saat terhutang pajak.
Hal ini dapat dilihat pada contoh kasus -- Kejaksaan Agung kembali menerbitkan surat
perintah penyidikan (Sprindik) untuk kasus dugaan korupsi restitusi pajak PT. Mobile-8
Telecom periode 2007-2009. (Jakarta, CNN Indonesia)
Penyidikan kasus dugaan korupsi restitusi pajak PT Mobile-8 Telecom sebelumnya sudah
digugurkan dalam praperadilan. Hakim praperadilan mengabulkan gugatan yang dilayangkan
oleh dua tersangka dalam kasus ini, mantan Direktur PT Mobile 8 Anthony Chandra
Kartawiria dan Direktur PT Djaja Nusantara Komunikasi (DNK) Hary Djaja. Saat itu, hakim
memutuskan bahwa Kejaksaan Agung tak berhak menyidik kasus dugaan korupsi restitusi
pajak PT Mobile-8 Telecom dengan alasan yang berwenang menangani kasus tersebut adalah
Direktorat Jenderal Pajak.
Menurut Prasetyo, ada fakta yang dilewati oleh hakim saat mengabulkan gugatan
praperadilan tersebut. Ia menyebut Direktorat Jenderal pajak sendiri telah menyatakan bahwa
jaksa memiliki kewenangan untuk menangani kasus dugaan korupsi restitusi pajak PT
Mobile-8 Telecom. Prasetyo pun menegaskan, Kejaksaan Agung tidak menangani persoalan
pajak dalam kasus ini, melainkan dugaan tindak pidana korupsi dalam perpajakannya.
Menurutnya, sejak awal Kejaksaan Agung memahami bahwa pihaknya tidak memiliki
kewenangan untuk menangani persoalan pajak.
"Yang ditangani adalah dugaan korupsinya, ada manipulasi di sana, ada transaksi fiktif.
Kemudian hitung-hitungan pajaknya mengatakan ada kelebihan. Lebih kok minta restitusi,"
kata Prasetyo. Dugaan korupsi PT. Mobile-8 terkuak setelah penyidik Jampidsus Kejaksaan
Agung menemukan transaksi palsu antara perusahaan tersebut dan PT. DNK pada periode
2007-2009. Transaksi itu menjadi dasar pengajuan permohonan restitusi oleh perusahaan
telekomunikasi tersebut mobil.
Ketua tim penyidik dugaan korupsi PT. Mobile-8, Ali Nurdin kala itu menyebut PT. DNK
tidak mampu membeli barang dan jasa telekomunikasi milik PT Mobile-8. Alhasil, transaksi
direkayasa dan seolah-olah terjadi aktivitas perdagangan dengan membuat invoice sebagai
fakturnya. PT. Mobile-8 diduga memalsukan bukti transaksi dengan PT. DNK senilai Rp80
miliar. Setelah diajukan, permohonan restitusi pajak pun dikabulkan oleh Kantor Pelayanan
Pajak Perusahaan Masuk Bursa Jakarta pada 2009. Padahal bukti transaksi yang menjadi
dasar pengajuan restitusi tersebut merupakan barang palsu yang dibuat sendiri oleh PT.
Mobile-8.
Melihat pada banyaknya penyimpangan pada praktik pajak maka DJP harus lebih berhati-hati
begitupula dengan Wajib Pajak harus cermat jangan sampai untuk meringankan pajak
dilakukan tax evasion yang akan merugikan negara hingga harus dilakukan pemeriksaan.
Upaya untuk menindaklanjuti suatu perbuatan yang dilakukan Wajib Pajak berupa
menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap akan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan (surat ketetapan pajak) atau pemeriksaan
bukti permulaan (pemidanaan).
Upaya tindak lanjut suatu perbuatan melanggar hukum tersebut merupakan tindak pidana
atau adminsitrasi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah. Tentu, yang paling
menentukan bagaimana kita menindaklanjuti perbuatan tersebut sangatlah ditentukan oleh
bagaimana cara berhukum (pajak). Tujuan pajak penerimaan negara merupakan faktor yang
sangat penting untuk membawa ke arah mana suatu perbuatan itu harus ditindaklanjuti.
Ketika Pemeriksaan Bukti Permulaan hingga dilakukannya tindak lanjut atas Surat Perintah
Penyidikan akan diketahui bahwa pelanggaran tersebut termasuk melakukan tindak pidana
yang harus masuk hingga ranah penuntut umum atau hanya administrasi hanya dengan sanksi
administrasi biasa dapat ditertibkan. Kadangkala kasus seperti ini telah daluwarsa susah
untuk teindentifikasi harus ada IDLP yang kuat jika akan melakukan Pemeriksaan Bukti
permulaan yang sudah daluwarsa, harus ada indikasi tindak pidana di bidang perpajakan agar
daluwarsa dapat mengikuti Pasal 40 UU KUP mengenai daluwarsa hingga 10 tahun.
Jika hasil penuntutan tindak pidana Wajib Pajak terbukti melakukan tindak pidana maka ada
dua hal yang berkaitan dengan daluwarsa. Pertama, jika dalam proses pemeriksaan bukti
permulaan terbukti Wajib Pajak melakukan tindak pidana perpajakan karena kealpaan yang
pertama kali maka pemeriksaan bukti permulaan dapat dihentikan dan diterbitkan SKPKB
Pasal 13A Undang-Undang KUP. Artinya, berbeda dengan daluwarsa penerbitan SKPKB
Pasal 13 Undang-Undang KUP yang daluwarsa dalam jangka waktu lima tahun, maka
penerbitan SKPKB Pasal 13A Undang-Undang KUP bisa lebih dari lima tahun karena
mengikuti daluwarsa penuntutan tidak pidana perpajakan.
Kedua, pemeriksaan bukti permulaan dalam rangka penuntutan tindak pidana perpajakan
diteruskan ke persidangan, hasil sidang ada dua kemungkinan, Wajib Pajak tidak terbukti
melakukan tindak pidana perpajakan atau Wajib Pajak terbukti melakukan tindak pidana
perpajakan berupa kealpaan yang bukan pertama kali atau karena kesengajaan. Wajib Pajak
yang terbukti melakukan tindak pidana perpajakan akan dikenakan sanksi pidana perpajakan,
selain itu juga akan diterbitkan SKPKB atau SKPKBT dengan sanksi administrasi berupa
bunga 48%.