Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang
dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
A. Tujuan Pemeriksaan
Tujuan dilakukannya pemeriksaan adalah sebagai berikut:
1. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan :
a. SPT lebih bayar termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan pajak;
b. SPT rugi;
c. SPT tidak atau terlambat (melampaui jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Teguran) disampaikan;
d. Melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya; atau
e. Menyampaikan SPT yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil analisis (risk based selection)
mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan WP yang tidak dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis
Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak berhak :
1. Meminta Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah
Pemeriksaan;
2. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan;
3. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Surat Tugas apabila susunan Pemeriksa Pajak mengalami
pergantian;
4. Menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;
5. Menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam jangka waktu yang telah ditentukan;
6. Mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan oleh Tim Pembahas, dalam hal terdapat perbedaan
pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan
7. Memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melalui pengisian
formulir Kuesioner Pemeriksaan.
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak berhak :
1. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah
Pemeriksaan kepada WP pada waktu Pemeriksaan;
2. Meminta kepada Pemeriksaan Pajak untuk memberikan pemberitahuan secara tertulis sehubungan dengan
pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan;
3. Meminta kepada Pemeriksaan Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan;
4. Meminta kepada Pemeriksaan Pajak untuk memperlihatkan Surat Tugas apabila terdapat perubahan susunan Tim
Pemeriksa Pajak dan atau;
5. Memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melalui pengisian
formulir Kuesioner Pemeriksa.
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak berhak :
1. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah
Pemeriksaan kepada WP pada waktu Pemeriksaan;
2. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan;
3. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Surat Tugas apabila terdapat perubahan susunan Tim
Pemeriksa Pajak dan/ atau;
4. Memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melalui pengisian
formulir Kuesioner Pemeriksa.
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis
Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib :
1. Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan;
2. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya pembukuan atau
pencatatan, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan
yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas WP, atau objek yang terutang pajak;
3. Memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
4. Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;
5. Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik; dan
6. Memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib :
1. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya pembukuan atau
pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan tujuan Pemeriksaan;
2. Memberi kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
3. Memberi kesempatan untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan peyimpan buku atau catatan, dokumen
yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, dan/atau barang yang berkaitan dengan tujuan
Pemeriksaan serta meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak; dan/atau
4. Memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib :
1. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan tujuan Pemeriksaan; dan atau
2. Memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.
http://www.pajak.go.id/content/pemeriksaan-pajak
Tahapan keempat dalam Siklus Hak dan Kewajiban Wajib Pajak (WP) adalah Pemeriksaan Pajak. Sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Direktur Jenderal Pajak (DJP) dapat
melakukan pemeriksaan terhadap WP untuk: (1)menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka
memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada WP; dan (2) tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang ditetapkan oleh DJP.
Pemeriksaan uji kepatuhan dilakukan dengan cara menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan (SPT) yang
disampaikan WP, pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban lainnya dibandingkan dengan keadaan atau
kegiatan WP sebenarnya.
Sedangkan pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dalam rangka: (1) pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak(NPWP)
dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) secara jabatan; (2) penghapusan NPWP
dan/atau pencabutan pengukuhan PKP; (3) WP mengajukan keberatan; (4) pengumpulan bahan guna
penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; (5) penentuan WP berlokasi di daerah terpencil; (6) penentuan
satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai; (7) pemeriksaan dalam rangkapenagihan pajak; (8)
penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan
pemberian fasilitas perpajakan; dan/atau (8) memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda.
Berdasarkan kriteria yang merupakan alasan atau dasar dilakukannya pemeriksaan, terdapat dua macam pemeriksaan
yakni: (1) pemeriksaan rutin; dan (2) pemeriksaan khusus. Pemeriksaan rutin, merupakan pemeriksaan yang dilakukan
sehubungan dengan pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak atau karena diwajibkan
oleh Undang-Undang KUP. Sedangkan pemeriksaan khusus atau pemeriksaan berdasarkan analisis risiko (risk based
audit), merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap WP yang berdasarkan hasil analisis risiko secara manual atau
secara komputerisasi menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Adapun menurut jenisnya, pemeriksaan dapat digolongkan menjadi (1) pemeriksaan lapangan; dan (2) pemeriksaan
kantor. Pemeriksaan lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang 4
(empat) bulan lagi sehingga menjadi paling lama 8 (delapan) bulan yang dihitung sejak tanggal penyampaian Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak dan/atau kuasanya sampai dengan tanggal
Laporan Hasil Pemeriksaan. Sedangkan pemeriksaan kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan
dan dapat diperpanjang 3 (tiga) bulan lagi sehingga menjadi 6 (enam) bulan, terhitung sejak tanggal WP datang
memenuhi surat panggilan dalam rangka pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
Andaikata karena salah satu kriteria tertentu di atas, WP diperiksa oleh tim pemeriksa DJP, maka WP wajib untuk: (1)
memenuhi panggilan untuk datang menghadiri pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan, khususnya untuk
jenis pemeriksaan kantor; (2) memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya, dan dokumen lain termasuk data yang dikelolah secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan
yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas WP, atau objek yang terutang pajak. Khusus untuk pemeriksaan
lapangan, WP wajib memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara
elektronik; (3) memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi
bantuan lainnya guna kelancaran pemeriksaan; (4) menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan
Hasil Pemeriksaan; (5) meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik, khususnya untuk
pemeriksaan kantor; dan (6) memberikan keterangan lain baik lisan maupun tulisan yang diperlukan.
Sedangkan hak WP dalam hal dilakukan pemeriksaan adalah (1) melihat Surat Perintah Pemeriksaan; (2) melihat
Tanda Pengenal Pemeriksa; (3) mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan; (4) meminta rincian
perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT; (5) hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu
yang ditentukan; (6) mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan oleh Tim Pembahas, dalam hal terdapat
perbedaan pada saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan; dan (7) memberikan pendapat atau penilaian atas
pelaksanaan pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melalui pengisian kuisioner. Dalam hal pemeriksaan lapangan, WP
berhak meminta Pemeriksa untuk memberikan pemberitahuan secara tertulis terkait pelaksanaan pemeriksaan.
Selama WP memenuhi kewajiban pembayaran dan pelaporan pajaknya dengan benar dan tepat waktu, maka tak ada
yang perlu dikuatirkan jika suatu saat diperiksa oleh tim pemeriksa DJP, karena hak Anda sebagai WP dijamin dalam
Undang-Undang dan pelaksanaannya yang profesional di lapangan. Selamat menunaikan kewajiban dan menikmati
hak perpajakan Anda, khususnya di lingkup pemeriksaan pajak. Bangga Bayar Pajak!
http://www.pajak.go.id/content/kenali-hak-dan-kewajiban-anda-jika-diperiksa-pajak
1. Penugasan/Persetujuan/Instruksi Pemeriksaan
Tak ada suatu tindakan tanpa instruksi. Demikian juga dengan pemeriksaan pajak. Pelaksanaan pemeriksaan berada di
ranah KPP (Kantor Pelayanan Pajak) atas instruksi dari Kanwil dan Kantor Pusat DJP. Instruksi itu terjadi karena:
a. Dalam rangka pemeriksaan rutin berupa daftar nominatif usulan dari KPP. atau ;
b. Dalam rangka Pemeriksaan khusus berupa analisis risiko oleh KPP (bottom up) atau kanwil dan Kantor Pusat (top down).
2. Perencanaan Pemeriksaan
Perencanaan pemeriksaan dimulai dengan pembentukan tim pemeriksa pajak. Tim pemeriksa pajak terdiri dari :
a. Fungsional pemeriksa, terdiri dari : seorang supervisor, seorang ketua tim, seorang atau beberapa anggota tim.
b. Tenaga ahli di luar DJP (jika diperlukan), contoh : penerjemah, ahli informatika.
Supervisor kemudian membuat rencana pemeriksaan (Audit Plan) yang terdiri dari rencana pos-pos yang akan diperiksa.
Lingkup pemeriksaan dan pos-pos yang akan diperiksa kemudian dijabarkan lebih rinci di Audit Program yang terdiri
dari metode, teknik, dan prosedur pemeriksaan.
3. Penerbitan SP2 & Pemberitahuan Pemeriksaan ke WP
Penerbitan SP2 ini diawali dengan terbitnya nota dinas penunjukan supervisor. Kemudian, Supervisor membuat
rencana pemeriksaan. Setelah, rencana pemeriksaan tersebut disetujui oleh Kepala UP2, barulah terbit SP2 (Surat
Perintah Pemeriksaan). Paling lambat 5 hari kerja setelah terbitnya SP2, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan HARUS
disampaikan kepada Wajib pajak.
4. Peminjaman Dokumen
Untuk menunjang pemeriksaan pajak, tentunya harus ada dokumen pendukung. Itulah mengapa Wajib Pajak harus
menyimpan dengan baik semua dokumen yang menjadi dasar pembukuan aau pencatatan selama 10 tahun,
sebagaimana yang telah dosebutkan di dalam UU KUP Pasal 28 Ayat 11 yang berbunyi,
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil
pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan
selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di
tempat kedudukan Wajib Pajak badan.
Permintaan peminjaman dokumen ini wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu 1 bulan sejak terbitnya
Surat Permintaan Peminjaman Dokumen WP. Selama kurun waktu tersebut, terdapat dua kali Surat Peringatan, yakni
Surat Peringatan I terbit 2 minggu setelah terbitnya surat permintaan peminjaman dokumen, dan Surat Peringatan II
terbit 3 minggu setelah terbitnya surat permintaan peminjaman dokumen Wajib Pajak.
5. Pelaksanaan Pengujian
Kegiatan ini dilakukan oleh tim pemeriksa pajak dengan memperhatikan temuan-temuan yang ada selama
pemeriksaan berlangsung. Pengujian didasarkan pada metode, teknik, dan prosedur pemeriksaan yang sudah
dituangkan ke dalam audit program. Audit program merupakan bagian dariAudit Plan atau rencana pemeriksaan.
Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan adalah surat yang berisi tentang hasil Pemeriksaan yang meliputi pos-pos
yang dikoreksi, nilai koreksi, dasar koreksi, perhitungan sementara jumlah pokok pajak, dan pemberian hak kepada
Wajib Pajak untuk hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Atas penyampaian SPHP tersebut, WP berhak
memberikan tanggapan atas hasil pemeriksaan yang tercantum dalam SPHP dalam jangka waktu 7 hari kerja setelah
SPHP diterima oleh Wajib Pajak dan dapat diperpanjang 3 hari jika ada alasan tertentu dengan mengirimkan Surat
Pemberitahuan Perpanjangan.
Tanggapan WP tersebut isinya bisa menyetujui, menolak sebagian, atau menolak seluruhnya hasil pemeriksaan
tersebut. Nah, terus bagaimana jika berbeda pendapat kek gini? DJP juga memfasilitasi adanya pembahasan akhir
hasil pemeriksaan antara Wajib Pajak dengan tim pemeriksa.
Dalam jangka waktu 3 hari kerja sejak WP memberikan surat tanggapan atas SPHP kepada tim pemeriksa pajak,
undangan pembahasan akhir hasil pemeriksaan harus disampaikan kepada wajib pajak.
Ketika WP hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dalam hal Wajib Pajak menolak sebagian atau
menolak seluruhnya, Wajib Pajak berhak untuk meminta bantuan tim Quality Assurance untuk menengahi perbedaan
pendapat antara Wajib Pajak dengan tim pemeriksa. Namun, apabila Wajib Pajak tidak hadir, maka pembahasan akhir
dianggap telah selesai dilakukan, itu artinya Wajib Pajak menyetujui hasil pemeriksaan tim pemeriksa pajak.
Pemeriksa pajak mencantumkan semua informasi mengenai kegiatan pemeriksaan pajak ke dalam Kertas Kerja
Pemeriksaan. Kemudian, KKP tersebut ditelaah oleh supervisor sebelum dibuat Laporan Hasil Pemeriksaan. Setelah
disetujui, barulah dibuat Laporan Hasil pemeriksaan. Setelah itu, terbitlah nota penghitungan atas kewajiban perpajakan
Wajib Pajak yang seharusnya. Setelah itu, terbitlah surat ketetapan pajak.
Pemeriksa pajak harus mengembalikan buku,catatan, dan dokumen yang dipinjam dalam rangka pemeriksaan
kepada Wajib Pajak. Pengembalian buku,catatan, dan dokumen tersebut harus dipenuhi dalam jangka waktu 7 hari
kerja sejak tanggal terbit Laporan Hasil pemeriksaan.
Nah, begitulah sekiranya alur pemeriksaan pajak yang saya jelaskan dengan sederhana mungkin dari awal
sampai akhir. Semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Komentar, saran dan kritik saya tunggu lhoo... :)
http://miftahudinisme.blogspot.co.id/2012/04/alur-pemeriksaan-pajak-step-by-step.html
Kedua,
tujuan lain, yaitu pemeriksaan yang berujung rekomemdasi atau pendapat pemeriksa.
Bagaimana Wajib Pajak tahu tujuan pemeriksaan pajak? Wajib Pajak dapat mengetahui tujuan
pemeriksaan dari surat pemberitahuan yang wajib disampaikan oleh pemeriksa. Di surat pemberitahuan
tertulis tujuan pemeriksaan. Atau bisa juga dari SP2 (surat perintah pemeriksaan). Setiap pemeriksaan
harus memperlihatkan SP2 kepada Wajib Pajak. Disitu tercantum kode pemeriksaan dan kriteria
pemeriksaan.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup pemeriksaan bisa juga disebut audit scope. Hanya saja, ruang lingkup pemeriksaan pajak
terkait dengan kewajiban SPT yang disampaikan Wajib Pajak. Sedangkan kewajiban SPT tersebut terkait
dengan periode tertentu. Ruang lingkup pemeriksaan:
Pertama:
Satu atau beberapa bulan (masa), yaitu ruang lingkup untuk menguji kewajiban pemungutan dan
pemotongan. Termasuk kewajiban pemotongan dan pemungutan adalan PPN, PPnBM, PPh Pasal 21,
PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPh Pasal 4 (2).
Kedua:
Bagian tahun pajak atau tahun pajak, yaitu ruang lingkup untuk menguji kewajiban PPh Badan atau PPh
OP. Bagian tahun pajak artinya tidak 12 bulan penuh. Bisa 1 sampai dengan 11 bulan. Saat terutang PPh
Badan dan PPh OP adalah pada akhir tahun. Dan periode pajak yang dihitung tahunan. Sehingga ruang
lingkup pemeriksaan juga satu tahun atau bagian tahun. Contoh bagian tahun pajak adalah bulan April
sebuah perusahaan dibubarkan dan dilikuidasi bulan Agustus. Maka pemeriksaan tahun tersebut disebut
bagian tahun pajak karena periode yang dihitung adalah Januari sampai dengan Agustus.
Kriteria Pemeriksaan
Kriteria pemeriksaan merupakan alasan atau dasar dilakukannya. Ada dua kriteria pemeriksaan pajak,
yaitu kriteria rutin dan kriteria khusus. Jenis-jenis kriteria rutin lebih lanjut diatur dalam surat edaran. Tetapi
kriteria pemeriksaan khusus sudah pasti pemeriksaan yang berdasarkan analisis risiko, baik analisis
tersebut secara komputerisasi (massal) maupun analisis manual (individual). Kriteria pemeriksaan khusus
lebih sering disingkat pemsus.Tetapi jika mengacu ke Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013, maka kriteria pemeriksaan rutin diatur di Pasal 4 yang terdiri:
[a.] Pemeriksaan SPT LB dengan permohonan (mengacu ke Pasal 17B UU KUP);
[b.] Pemeriksaan SPT LB tetapi tidak ada permohonan (mengacu ke Pasal 17 (1) UU KUP)
[c.] Pemeriksaan atas Wajib Pajak yang telah diberikan pendahuluan kelebih pembayaran pajak
[d.] Pemeriksaan SPT yang menyatakan rugi (dulu disebut RTLB)
[e.] Pemeriksaan karena Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi,
pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
[f.] Pemeriksaan karena Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau
karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap
Jenis Pemeriksaan
Jenis pemeriksaan pajak ada dua: yaitu pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor. Pemeriksaan
Lapangan adalah Pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak,
tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh
Pemeriksa Pajak. Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di kantor DJP. Sesuai
namanya, seharusnya hanya pemeriksaan kantor yang dilakukan di kantor DJP. Tetapi prakteknya, dari
definisi tadi pemeriksa pajak "mengartikan" tempat lain sebagai kantor DJP. Sehingga (praktenya)
sebagian besar pemeriksaan lapangan tetap dilakukan di kantor pajak.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 menentukan (sebagian) pemeriksaan kantor. Pasal
5 ayat (2) mengharuskan bahwa pemeriksaan restitusi (Pasal 17B) dilakukan dengan jenis pemeriksaan
kantor dengan syarat:
Pertama, laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh akuntan publik
atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua) Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak yang
diperiksa telah diaudit oleh akuntan publik, dengan pendapat wajar tanpa pengecualian; dan
Kedua, Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan, atau penuntutan
tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir tidak pernah dipidana
karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Berdasarkan persyarat diatas, jika tahun pajak 2011 diaudit oleh akuntan publik maka DJP akan
melakukan pemeriksaan dengan jenis pemeriksaan kantor jika tahun 2013 ini Wajib Pajak memohon
restitusi. Baik restitusi PPh Badan, maupun restitusi PPN. Apa untungnya dengan pemeriksaan kantor?
Ada kebijakan baru mulai 2013 bahwa pemeriksaan restitusi pajak dilakukan dengan satu jenis pajak saja
(yaitu jenis pajak yang memohon restitusi saja) dan "disederhanakan" jika pemeriksa tidak mendapatkan
risiko audit tinggi.
Sebelumnya, jangka waktu pemeriksaan itu hanya satu. Termasuk pengujian dan pembahasan. Akibatnya
ada kerancuan di Pasal 5 dengan Pasal 5A ayat (4) dan Pasal 23 ayat (11) PMK tata cara pemeriksaan.
Pasal 5A ayat (4) mengatur bahwa SPHP harus diselesaikan dan disampaikan terlebih dahulu dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak berakhirnya perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Kantor
atau perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Lapangan. Pasal 23 ayat (11) mengatur bahwa SPHP
sampai LHP harus diselesaikan paling lama 1 (satu bulan). Dengan demikian, total jangka waktu
pemeriksaan lapangan menjadi 4 bulan + 4 bulan perpanjangan + 7 hari + 1 bulan pembahasan, total 9
bulan lebih. Sedangkan di Pasal 5 mengatur bahwa jangka waktu pemeriksa paling lama 8 bulan.
Dengan dipecahnya menjadi dua jangka waktu, maka jangka waktu pengujian menjadi konsisten. Pasal 19
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 mengatur bahwa SPHP harus disampaikan
kepada Wajib Pajak apabila:
a. pemeriksaan kantor --- akhir bulan ke 4 atau ke 6 jika ada perpanjangan
b. pemeriksaan lapangan --- akhir bulan ke 6 atau 8 jika ada perpanjangan
Karena kecenderungan pemeriksaan pajak diperpanjang, maka anggap saja bahwa pemeriksaan kantor
itu 6 bulan, dan pemeriksaan lapangan 8 bulan. Ditambah dengan jangka waktu pembahasan 2 bulan.
Sehingga total jangka waktu pemeriksa akan menjadi 8 bulan untuk pemeriksaan kantor atau 10 bulan
untuk pemeriksaan lapangan.
Tetapi jangka waktu perpanjangan diatas ada pengecualian. Untuk Wajib Pajak berikut total jangka waktu
pengujian dapat 24 bulan ditambah jangka waktu pembahasan sehingga total jangka waktu pemeriksaan
menjadi 26 bulan, yaitu berlaku untuk pemeriksaan atas:
[a.] Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi
[b.] Wajib Pajak dalam satu grup
[c.] Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang
berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan.
Jangka Waktu Restitusi Pajak
Restitusi pajak adalah pengembalian pajak (refund). Dilihat dari sisi pemeriksaan, pengembalian pajak ada
yang dimohonkan kepada DJP dan tidak dimohonkan. Pengembalian pajak yang dimohonkan diatur di
Pasal 17B UU KUP, sehingga kadang disebut pemeriksaan Pasal 17B. Sedangkan kelebihan pajak yang
tidak dimohonkan mengacu ke Pasal 17 ayat (1) UU KUP.
Kenapa harus dibedakan? Karena jatuh tempo pengembalian pengembalian diatas berbeda. Pasal 17B
mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus menerbitkan surat
ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Ini
kadang disebut jatuh tempo restitusi. Jangka waktu 12 bulan ini saya sebut saja jangka waktu restitusi.
Jangka waktu ini berbeda dengan jangka waktu pemeriksaan. Tetapi berlaku prinsip mana yang lebih
dulu!
a. berlaku jangka waktu pemeriksaan jika jangka waktu restitusi pajak lebih lama
b. berlaku jangka waktu restitusi pajak jika jangka waktu restitusi lebih dulu.
Sedangkan pengembalian pajak yang tidak dimohonkan tidak ada jangka waktu restitusi 12 bulan. Jatuh
tempo DJP harus menerbitkan surat ketetapan pajak adalah sebelum daluwarsa penetapan, alias 5 (lima)
tahun. Pengembalian pajak ini mengacu ke Pasal 17 ayat (1) UU KUP. Contoh yang seperti ini adalah
lebih bayar PPN tetapi dikompensasi ke masa pajak berikutnya, atau kelebihan PPh Badan dengan
mencontreng "diperhitungkan dengan utang pajak" di Formulir 1771, atau lebih bayar PPh karena edit
penelitian SPT di KPP (Wajib Pajak salah hitung).
Penyelesaian Pemeriksaan
Setiap SP2 akan diselesaikan dengan membuat LHP (laporan hasil pemeriksaan) atau LHP Sumir.
Kecuali jika atas SP2 tersebut dibatalkan. Ciri penyelesaian dengan membuat LHP adalah pemeriksa
pajak menyampaikan SPHP. Tetapi jika pemeriksa pajak sampai dengan jangka waktu pemeriksaan habis
tidak menyampaikan SPHP berarti penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir. Tidak ada
ketentuan bahwa WP harus diberitahu jika penyelesaian pemeriksan dengan membuat LHP Sumir.
Kenapa? Karena awalnya LHP Sumir itu hanya untuk WP tidak ditemukan!
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 mengatur bahwa LHP Sumir tidak hanya untuk WP
tidak ditemukan. Berikut alasan LHP Sumir yang saya ringkas dari Pasal 21 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 17/PMK.03/2013:
a. Wajib Pajak tidak ditemukan (kecuali pemeriksaan restitusi Pasal 17B);
b. Pemeriksaan terus di-Buper dan Buper-nya diselesaikan dengan Pasal 8 (3), Pasal 13A, Pasal 44B
KUP
c. Pemeriksaan ulang tetapi pemeriksa pajak tidak menemukan novum
d. Pertimbangan Dirjen Pajak.
Pada saat pertama kali bertemu dengan Wajib Pajak, pemeriksa pajak wajib memberikan penjelasan
mengenai:
[a.] alasan dan tujuan Pemeriksaan;
[b.] hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;
[c.] hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan TimQuality
Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang belum disepakati antara Pemeriksa
Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan
[d.] kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen yang
menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak.
Kemudian penjelasan terkait 4 hal diatas wajib dibuatkan berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak.
Penyegelan hanya ada dalam pemeriksaan lapangan. Sehingga jika pemeriksa pajak datang ke tempat
Wajib Pajak dengan membawa Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan maka hal yang pertama
kali dilakukan adalah memberikan penjelasan mengenai 4 hal diatas kemudian membuat berita acara.
Selanjutnya, pemeriksa pajak memeriksa tempat Wajib Pajak (tanpa pengecualian). Jika menolak, maka
pemeriksa pajak berwenang untuk melakukan penyegelan. Setelah melakukan pemeriksaan tempat Wajib
Pajak, maka pemeriksa pajak saat itu juga meminjam dokumen. Kemudian dibuatkan bukti peminjaman
dokumen. Inilah yang diatur di Pasal 28 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013.
Dalam hal (artinya kondisi tertentu saja) pemeriksa pajak ternyata tidak menemukan dokumen yang terkait
kegiatan usaha di tempat Wajib Pajak tetapi pemeriksa pajak yakin bahwa dokumen tersebut ada maka
pemeriksa pajak akan membuat Surat Permintaan Peminjaman Dokumen. Silakan cek ketentuan Pasal 28
ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 yang diawali dengan kata "dalam
hal". Artinya, Surat Permintaan Peminjaman Dokumen sebenarnya tidak boleh dijadikan standar yang
harus dibawa oleh pemeriksa pajak saat datang ke tempat Wajib Pajak. Kalaupun dibuat surat permintaan
peminjaman tersebut maka daftar dokumen yang menjadi lampiran dari surat permintaan peminjaman
tersebut harus persis sama dengan yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Jika pemeriksa pajak membuat daftar
dokumen secara umum dan tidak dimiliki oleh Wajib Pajak maka Wajib Pajak tidak wajib memenuhinya.
Peminjaman dokumen melalui surat permintaan peminjaman juga memiliki kelemahan, yaitu Wajib Pajak
dapat menunda pemenuhannya sampai 1 (satu) bulan sejak sejak surat permintaan peminjaman buku,
catatan, dan dokumen disampaikan. Ketentuan satu bulan diatur di Pasal 29 ayat (3a) UU KUP dan
ditegaskan kembali di Pasal 28 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013. Artinya,
pemeriksa pajak pasti buang-buang waktu (wasting time) selama sebulan. Ketentuan satu bulan ini
berlaku untuk setiap surat permintaan peminjaman dokumen disampaikan!
Permintaan Keterangan
Pemeriksaan pajak membagi dua keterangan, yaitu:
[a.] keterangan yang berasal dari Wajib Pajak atau pegawai Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau anggota
keluarga; dan
[b.] keterangan yang berasal dari pihak ketiga.
Terhadap pihak Wajib Pajak seperti [a.] diatas maka pemeriksa pajak dapat meminta keterangan
langsung. Pemeriksa Pajak dapat memanggil, dan membuat berita acara pemberian keterangan. Tetapi
untuk keterangan yang berasal dari pihak ketiga hanya dapat diminta dengan surat konfirmasi yang
ditandatangan oleh kepala UP2.
SPHP merupakan materi pemeriksaan pokok yang harus diatur di Peraturan Menteri Keuangan
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (2) UU KUP yang berbunyi:
Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur
tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
Materi penting tata cara pemeriksaan menurut Pasal 31 (2) UU KUP terdiri dari:
[a.] pemeriksaan ulang,
[b.] jangka waktu pemeriksaan,
[c.] kewajiban menyampaikan SPHP, dan
[d.] hak WP untuk hadir dalam pembahasan (closing conference)
Selain itu SPHP dan Closing Conference juga salah satu rukun (meminjam istilah santri) pemeriksaan
yang harus ditunaikan. Jika SPHP tidak ada maka hasil pemeriksaan menjadi batal, dan pembatalan
tersebut bisa dengan permohonan Wajib Pajak atau inisitif DJP sendiri. Ketentuan "rukun" pemeriksaan ini
diatur di Pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP:
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang
dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak
Karena UU KUP mengamanatkan hak Wajib Pajak untuk hadi dalam closing conferencemaka di Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 diatur lebih detil masalah penyampaian SPHP, undangan
pembahasan, dan pembahasan (closing conference). Setidaknya ada 16 pasal di Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 yang mengatur SPHP dan closing conference, yaitu mulai Pasal 41
sampai dengan Pasal 57 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013.
SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak, baik secara langsung melalui kurir maupun dikirim melalui
faksimili. Tidak diatur pengiriman melalui email karena tidak ada dasar hukumnya di UU KUP. Padahal
sekarang era email (surel).
Wajib Pajak diharapkan memberikan tanggapan. Jika setuju, sudah disediakan formulir persetujuan. Jika
tidak setuju sebagian atau seluruhnya maka harus dijelaskan apa dan kenapa tidak setuju. Poin
ketidaksetujuan inilah sebenarnya yang menjadi pokok pembahasan di closing conference. Sehingga jika
Wajib Pajak menuangkan ketidaksetujuan secara tertulis, maka akan membantu pemeriksa pajak untuk
membuat risalah pembahasan.
Apakah jika tidak ada tanggapan maka tidak ada closing conference? Era sebelum UU KUP 2007 ada
pendapat seperti itu. Tetapi karena ada rukun pemeriksaan diatas, dan UU KUP mengamanatkan
pengaturan pemberian hak kepada Wajib Pajak maka ada atau tidak ada tanggapan SPHP, tetap wajib
dibuat undangan pembahasan!
Undangan pembahasan 10 hari kerja setelah SPHP diterima atau dikirim. Kira-kira dua minggu kalender.
Tetapi bisa kurang dari 10 hari kerja jika Wajib Pajak sudah memberikan tanggapan SPHP. Misal pada
hari kerja ke 2 tanggapan SPHP sudah diterima pemeriksa pajak maka pada hari kerja ke 3 dapat dikirim
undangan closing conference. Pasal 43 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013
mengatakan bahwa hak hadir diberikan melalui penyampaian undangan secara tertulis kepada Wajib
Pajak dengan mencantumkan hari dan tanggal dilaksanakannya Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
Pada tanggal sesuai tertera di undangan, Pemeriksa Pajak membuat risalah pembahasan dengan
mendasarkan pada lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan dan membuat berita acara
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir, yang
ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak. Ini jika Wajib Pajak hadir. Jika tidak hadir maka
dibuatkan berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak. Pembahasan tidak harus dilakukan sehari sesuai
tanggal undangan. Jika memang belum selesai, maka pembahasan bisa dilakukan hari berikutnya sesuai
yang disepakati oleh Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak asalkan dalam periode jangka waktu pembahasan
dua bulan.
Tetapi jika Wajib Pajak sudah berniat mengajukan pembahasan ke Tim Quality Assurance Pemeriksaan
(Tim QA) maka tidak perlu lama-lama pembahasan dengan Wajib Pajak. Diskusi atau pembahasan
dengan pemeriksa pajak sebenarnya bisa dilakukan pada periode jangka waktu pengujian. Sehingga ada
waktu 6 bulan atau 8 bulan diskusi masalah pemeriksaan antara Wajib Pajak dengan pemeriksa pajak.
Lebih baik memberi ruang waktu pembahasan lebih banyak kepada Tim QA supaya lebih independen.
Perlu dipertimbangkan "jeda" waktu permohonan pembahasan dengan Tim QA, yaitu 3 hari, kemudian
"jeda" waktu pembuatan undangan pembahasan oleh Tim QA. Dan pembahasan dengan Tim QA tetap
harus dalam periode jangka waktu pembahasan dua bulan sejak SPHP diterima oleh Wajib Pajak.
Menurut Pasal 49 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tim QA memiliki tugas:
[a.] membahas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak pada saat Pembahasan
Akhir Hasil Pemeriksaan;
[b.] memberikan simpulan dan keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan
Pemeriksa Pajak; dan
[c.] membuat risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan yang berisi simpulan dan keputusan hasil
pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan bersifat mengikat.
Pembahasan dengan Tim QA bukan berarti pemeriksaan selesai. Proses closing conference baru berakhir
jika telah dibuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri dengan ihtisar hasil
pembahasan akhir. Artinya, Setelah pembahasan dengan Tim QA, Wajib Pajak harus menandatangani
risalah pembahasan Tim QA, dan berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Tetapi jika Wajib
Pajak tidak meminta pembahasan dengan Tim QA maka saat pembahasan dengan pemeriksa pajak,
langsung saja dibuatkan berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaanyang dilampiri ihtisar hasil
pembahasan akhir. Pastikan bahwa angka yang masuk ke ihtisar hasil pembahasan akhir adalah angka
terakhir yang dibahas atau angka sesuai keputusan Tim QA yang dituangkan dalam risalah Tim QA.
Kalau melihat sanksi administrasi Pasal 8 ayat (5) UU KUP diatas (yaitu 50%) maka sanksi ini akan lebih
tinggi 2% dibandingkan sanksi bunga di surat ketetapan pajak. Sanksi bunga di surat ketetapan pajak
paling banyak (maksimal) 48% saja. Tetapi beberapa Wajib Pajak ternyata tidak peduli dengan besarnya
sanksi ini. Mereka bersedia bayar lebih besar. Salah satu motif melakukan pengungkapan ini adalah
menghindari koreksi pajak yang besar. Jadi lebih kepada pencitraan. Karena kalo pengungkapannya
benar, maka nanti di surat ketetapan pajak tidak ada lagi koreksi fiskal. Produk pemeriksaan pun SKPN.
Karena hasil pemeriksaan menjadi nihil, maka citra manajemen Wajib Pajak dianggap lebih baik. Padahal,
sebelum pemeriksaan selesai mereka telah bayar lebih dulu!
Wajib Pajak tentu saja tidak pernah tahu apakah pemeriksa pajak mengusulkan Pemeriksaan Bukti
Permulaan atau tidak sampai dengan adanya surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari
pemeriksa Bukti Permulaan. Jika pemeriksaan pajak kemudian menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan,
maka Wajib Pajak akan menerima:
1. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan, dan
2. Surat Pemberitahuan Penangguhan Pemeriksaan dari pemeriksa.
Ya, semua pemeriksaan yang "ditingkatkan" menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan maka pemeriksaan
pajaknya tertangguh. Tergangguh jangka waktunya, dan penyelesaiannya. Setelah dilakukan pemeriksaan
Bukti Permulaan, "nasib" pemeriksaan kemungkinannya disumir atau dilanjutkan. Proses pemeriksaan
akan dilanjutkan jika:
[a.] Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka meninggal
dunia;
[b.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dihentikan karena tidak ditemukan adanya bukti
permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
[c.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan namun penyidikan
dihentikan karena memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang KUP,
atau
[d.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan serta
telah terdapat putusan pengadilan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal
Pajak.
Coba perhatikan keempat syarat diatas! Pada intinya, pemeriksa Bukti Permulaan atau penyidik tidak
mendapatkan cukup bukti tindak pidana. Pertama, pemeriksaan Bukti Permulaan tidak dapat dilanjutkan
karena calon tersangka meninggal. Kedua, secara jelas menyebutkan tidak ada bukti pidana. Ketiga,
penyidikan dihentikan oleh penyidik karena bukan tindak pidana perpajakan. Sebenarnya Pasal 44 A UU
KUP mengatur empat alasan dihentikannya penyidikan, yaitu tidak cukup bukti, bukan merupakan tindak
pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa, atau
tersangka meninggal dunia. Hanya saja jika penyidikan saja sudah daluwarsa maka penetapan pajak pun
sudah pasti daluwarsa karena daluwarsa penetapan hanya 5 tahun saja. Keempat, terbukti di pengadilan
bahwa Wajib Pajak telah melakukan tindak pidana perpajakan. Alasan keempat ini cukup rasional, artinya
Wajib Pajak terbukti berbuat salah. Hanya saja setiap sanksi pidana ada denda 2 kali pajak terutang
sampai dengan 4 kali denda pajak terutang. Ini bukan denda administrasi. Sedangkan pemeriksaan akan
menimbulkan pajak terutang yang secara administrasi ditagih oleh negara dan dicatat sebagai penerimaan
pajak. Surat ketetapan pajak akan disetor oleh Wajib Pajak melalui MPN ke kas negara. Sedangkan
sanksi denda pidana akan dieksekusi oleh Kejaksaan.
Oh ya, pemeriksaan yang dilakukan setelah empat kondisi diatas dilakukan dalam jangka waktu paling
lama empat bulan. Ketentuan 4 bulan ini diatur di Pasal 67 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013. Empat bulan ini adalah jangka waktu pengujian. Ditambah jangka waktu pembahasan
maka dalam enam bulan, pemeriksaan harus selesai dan diterbitkan surat ketetapan pajak. Ketentuan 4
bulan ditambah 2 bulan ini berlaku baik untuk pemeriksaan lebih bayar maupun bukan pemeriksaan lebih
bayar. Bagaimana jika jangka waktu
Pemeriksaan Ulang
Pemeriksaan ulang didasarkan pada Pasal 15 UU KUP. Berikut ketipan Pasal 15:
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak,
atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang
terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan.
Fungsi pemeriksaan ulang untuk melakukan koreksi atas surat ketetapan pajak lebih rendah dari yang
seharusnya. Koreksi atas surat ketetapan pajak sebenarnya bisa lewat keberatan, atau pembetulan Pasal
16 UU KUP, atau pembatalan Pasal 36 UU KUP. Masing-masing memiliki "jalur" atau alasan. Misalnya,
keberatan terkait dengan beda pendapat antara Wajib Pajak dengan fiskus, pembetulan karena ada salah
tulis dan salah hitung, sedangkan pembatalan karena surat ketetapan tidak benar. Sedangkan
pemeriksaan ulang disebabkan karena ditemukan data baru.
Karena itu perlu dipahami apa dan bagaimana data baru. Nah, untuk lebih jelas masalah data baru
sebagaimana dimaksud di Pasal 15 UU KUP, saya copy paste bagian penjelasan Pasal 15 UU KUP:
Yang dimaksud dengan data baru adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang
diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum
diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya
maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:
a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk
laporan keuangan); dan/atau
b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau
memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus
dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam
menghitung jumlah pajak yang terutang.
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya
pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara
sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang
terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal
tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.
Contoh:
1. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan Rp10.000.000,00,
sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp5.000.000,00 biaya iklan di media massa dan
Rp5.000.000,00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga
fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah sehingga pajak yang
terutang tidak dapat dihitung secara benar, data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah
tersebut tergolong data yang semula belum terungkap.
2. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta tetap yang
disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula
pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut
sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang
seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan
ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi,
sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data
yang menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut termasuk data
yang semula belum terungkap.
3. Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak lain dan
atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan faktur pajak. Barang-barang
tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan
sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai
Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.
Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian penggunaan
barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan
tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara
benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak
Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau
keterangan tersebut merupakan data yang semula belum terungkap.
Ada aturan yang baru di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 terkait pemeriksaan ulang,
yaitu pengaturan bahwa pemeriksaan ulang boleh sumir. Sebelumnya tidak diatur. Karena tidak diatur
boleh berujung LHP Sumir, maka sebelumnya pemeriksaan ulang selalu ditekankan harus berujung
SKPKBT. Harus jelas dulu novum-nya apa. Jika novum masing samar-samar maka tidak boleh dilakukan
pemeriksaan ulang. Sejak 1 Februari 2013, novum yang sama-sama pun boleh menjadi pemeriksaan
ulang. Nanti pemeriksa pemeriksaan ulang yang menilai apakah benar-benar sudah ada novum atau
tidak.
Jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain empat bulan jika jenis pemeriksaannya pemeriksaan
lapangan. Tetapi jika pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan jenis pemeriksaan kantor maka
jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain hanya 14 hari saja. Di pemeriksaan untuk tujuan lain tidak
ada jangka waktu pembahasan karena memang tidak ada yang dibahas. Juga tidak ada jangka waktu
pengujian karena memang bukan menguji SPT. Intinya, pemeriksaan untuk tujuan lain bersifat pelayanan
atau pendapat kedua (second opinion).
semoga bermanfaat.
http://pajaktaxes.blogspot.co.id/2013/02/tata-cara-pemeriksaan-pajak.html
Februari 4, 2010
Ini terjadi hanya 1 (satu) tahun pajak, bagaimana jika terjadi beberapa tahun pajak? Tentu
hal ini menjadi tax burden buat Scan Grup dalam hal melunasi kewajiban PPN
terhutang PT.XYZ
Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.03/2003 disebutkan
Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau
penerimaan bruto tidak lebih dariRp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).
Jadi, jika dalam setahun omzet PT.XYZ lebih atau sama dengan Rp. 600.000.000 maka
perusahaan tsb tidak termasuk dalam kategori pengusaha kecil.
Lebih lanjut dalam Pasal 4 disebutkan:
(1) Pengusaha Kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku, jumlah peredaran bruto dan
atau penerimaan brutonya melebihi batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.
(2) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
(3) Dalam hal Pengusaha tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan batas waktu yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka saat pengukuhan adalah awal
bulan berikutnya setelah bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Kewajiban untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang oleh Pengusaha sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dimulai sejak saat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Sanksi yang diterima perusahaan tsb sesuai dengan Undang-undang PPN adalah :
1. Pokok PPN yang harus dipungut (100% Nilai PPN)
2. Sanski Bunga atas keterlambatan pembayaran (Pasal 13 ayat (2) KUP) >> dari hasil
pemeriksaan ataupun penelitian yang menghasilkan SKPKB. Besarnya 2% per bulan,
maksimal 24 bulan
3. Sanksi Administrasi berupa Denda Pasal 14 ayat (3) KUP yaitu sebesar 2% dari DPP.
Untuk itu mari kita cermati bersama.
Orang bijak taat pajak.
By Arthur Mario
https://inspireyourtax.wordpress.com/tag/simulasi-perhitungan-pemeriksaan-ppn/
Alur Pemeriksaan
Penyegelan
1. Wajib Pajak atau kuasanya tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk memasuki
tempat atau ruang serta barang bergerak/tidak bergerak, yang diduga atau patut diduga digunakan
untuk menyimpan buku, catatan, atau dokumen, termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan
yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line yang dapat memberi petunjuk
tentang kegiatan usaha atau perkerjaan bebas Wajib Pajak;
2. Wajib Pajak atau kuasanya menolak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan yang antara lain berupa
tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk mengakses data yang dikelola secara elektronik atau
membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak;
3. Wajib Pajak atau kuasanya tidak berada di tempat dan tidak ada pihak yang mempunyai kewenangan
untuk bertindak selaku yang mewakili Wajib Pajak, sehingga diperlukan upaya pengamanan pemeriksaan
sebelum pemeriksaan ditunda; dan/atau
4. Wajib Pajak atau kuasanya tidak berada di tempat dan Pegawai Wajib Pajak yang mempunyai kewenangan
untuk bertindak selaku yang mewakili Wajib Pajak menolak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
Pembahasan akhir
Hasil Pemeriksaan harus diberitahukan kepada WP (dalam bentuk SPHP)
WP wajib memberikan tanggapan tertulis terhadap SPHP
WP berhak hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dalam jangka waktu
* 3 hari kerja (pemeriksaan kantor)
* 7 hari kerja (pemeriksaan lapangan)
sejak SPHP diterima WP
Pembahasan akhir adalah pembahasan hasil pemeriksaan antara WP dengan pemeriksa
Jangka Waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan
* Pemeriksaan kantor, maksimal 3 minggu
* Pemeriksaan Lapangan, maksimal 1 bulan
Jika masih terdapat beda pendapat dengan pemeriksa, WP dapat meminta untuk dilakukan pembahasan dengan
Tim Pembahas.
http://africandraananta.blogspot.ae/2012/04/alur-pemeriksaan_06.html
Sistem perpajakan yang dianut di Indonesia adalah self assessment yang mana dalam sistem self
assessment ini Wajib Pajak (WP) diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor,
dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Sistem seperti ini akan berjalan dengan baik apabila
WP memiliki pengetahuan yang baik dan kepatuhan yang tinggi dalam melaksanakan seluruh
kewajiban perpajakannya.
Untuk menguji tingkat kepatuhan WP dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya dan sebagai
salah satu mekanisme penegakan hukum, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki kewenangan untuk
melakukan pemeriksaan.
Jadi bisa disimpulkan bahwa pemeriksaan pajak merupakan sebuah mekanisme pengendalian dalam
sistem self assessment untuk memastikan agar WP menyampaikan SPT dengan benar, jelas, dan lengkap.
DEFINISI
Menurut UU KUP Nomor 6 Tahun 1983 yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 16
Tahun 2009 dan PMK Nomor : 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak,
pengertianPemeriksaan Pajak adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakn secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Konsep tax audit dengan general audit pada dasarnya memiliki konsep yang sama, namun terdapat
beberapa perbedaan konsep antara tax audit dengan general audit, seperti terlihat dalam gambar di bawah
ini:
TUJUAN PEMERIKSAAAN
Pada dasarnya tujuan pemeriksaan pajak ada 2 (dua), seperti yang tercantum dalam UU KUP dan PMK
Nomor 17 Tahun 2013 tujuan pemeriksaan pajak sebagai berikut:
1. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
2. Tujuan lain.
JENIS PEMERIKSAAN
Pemeriksaan pajak pada umumnya dilaksanakan berdasarkan tempat pemeriksaan tersebut dilaksanakan,
menurut PMK Nomor 17 tahun 2013 jenis pemeriksaan itu sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Lapangan yaitu pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau tempat kedudukan
WP, tempat kegiatan usaha atau pekeraan bebas WP, dan/atau tempat lain yang dianggp perlu oleh
pemeriksa pajak.
2. Pemeriksaan Kantor yaitu pemeriksaan yang dilakukan di Kantor Direktorat Jenderal Pajak atau
Kantor Pelayanan Pajak.
KRITERIA PEMERIKSAAN
Nah apabila kondisi-kondisi di atas ada yang sedang teman-teman alami atau teman-teman laporkan,
maka siaplah untuk diperiksa oleh kantor pajak...
2. Pemeriksaan Khusus / pemeriksaan berdasarkan analisis resiko (risk based audit) merupakan
pemeriksaan yang dilakukan terhadap WP yang berdasarkan hasil analisis resiko menunjukkan adanya
indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Jangka waktu pemeriksaan dengan tujuan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
dapat dibagi dalam menjadi 2 (dua) sebagai berikut:
B. Pemeriksaan Kantor, Jangka waktu pengujiannya dilakukan paling lama 4 (empat) bulan, jangka
waktu selama 4 bulan tersebut dihitung sejak tanggal WP, wakil, kuasa, atau pegawainya datang
memenuhi Surat Panggilan dalam rangka pemeriksaan sampai dengan tanggal Surat Pemberitahuan
Hasil Pemeriksaan (SPHP) disampaikan kepada WP, wakil, kuasa, atau pegawainya.
Jangka waktu pengujian yang dilakukan baik dengan pemeriksaan lapangan maupun pemeriksaan kantor
dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan, perpanjangan jangka waktu pengujian
ini harus sesuai dengan alasan seperti yang tercantum di bawah ini :
a. adanya ruang lingkup pemeriksaan yang diperluas, misal yang pada awalnya pemeriksaan untuk satu
masa pajak diperluas menjadi tahun pajak.
b. terdapat konfirmasi atau permintaan data kepada pihak ketiga.
c. berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana pemeriksaan.
Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan yang terkait dengan :
a. WP kontraktor kontrak kerja sama minyak dan gas bumi;
b. WP dalam satu grup; atau
c. WP yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang
berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan.
Untuk jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan untuk ketiga jenis WP di atas dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan dan dapat dilakukan paling banyak 3
(tiga) kali sesuai dengan kebutuhan waktu untuk melakukan pengujian.
http://anitasharing.blogspot.ae/2015/09/hal-hal-yang-perlu-wajib-pajak-ketahui.html
Keaslian dokumen;
Jika dokumen tersebut berjumlah besar, sangat berguna untuk pembuatan data yang
diproduksi.
Mengecek mutasi yang terjadi dengan catatan pada buku harian/kas bank, buku
pembelian/buku penjualan pada bulan yang sama;
Melakukan rekonsiliasi (kaitkan dengan PPN, PPh 21, PPh22, 4(2), 26, PPh 23 dengan
laporan laba rugi, dan lakukan rekonsiliasi sistem pembukuan dengan laporan menurut
SPt).
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
http://pemeriksaanpajak.com/2015/11/20/teknik-pemeriksaan-pajak/