YUDHA YOGASWARA
RIFANA HAFSARI LESTARI
PENDAHULUAN
KEPATUHAN WAJIB PAJAK (WP) ADALAH FAKTOR KUNCI SUKSES SISTEM PERPAJAKAN SELF ASSESMENT YANG DIANUT DI
INDONESIA. UNTUK MENINGKATKAN KEPATUHAN WP HARUS ADA PENEGAKAN HUKUM YANG JELAS. SAYANGNYA
PENEGAKAN HUKUM PAJAK DI INDONESIA BELUM MERUPAKAN PILIHAN OLEH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK (DJP) SELAKU
PIHAK YANG DIBERI KEWENANGAN MELAKUKAN PENEGAKAN HUKUM PAJAK TERUTAMA PENEGAKAN HUKUM PIDANA
PAJAK. PENEGAKAN HUKUM PIDANA PAJAK DIMULAI DENGAN PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN (BUKPER) ATAU KALAU
DALAM ISTILAH HUKUM PIDANA UMUM ADALAH PENYELIDIKAN, KEMUDIAN PENYDIKAN, DAN PENUNTUTAN DI
PENGADILAN. MENARIK UNTUK DILIHAT APA YANG MEMPENGARUHI PENEGAKAN HUKUM PIDANA PAJAK DI INDONESIA
DALAM KONDISI TINGKAT KEPATUHAN PERPAJAKAN YANG ADA.
PENDAHULUAN
Tindakan penegakan hukum pidana pajak diawali dengan Pemeriksaan Bukti Permulan (Bukper)
maka usulan Pemeriksaan Bukper menjadi hal yang sangat penting dalam penegakan hukum pajak.
Usulan Pemeriksaan Bukper diawali dari adanya dokumen IDLP (Informasi, Data, Laporan, dan
Pengaduan). Dokumen IDLP dapat dibuat oleh masyarakat umum ataupun dari internal DJP. Dari
internal DJP, IDLP dapat dibuat oleh Account Representative (AR) maupun oleh Fungsional
Pemeriksa Pajak (FPP). Fungsional Pemeriksa Pajak apabila dalam pemeriksaanya menemukan
indikasi tindak pidana pajak maka dapat mengusulkan dalam suatu laporan untuk menindaklanjuti
hasil pemeriksaannya menjadi Pemeriksaan Bukti Permulaan, dengan demikian Fungsional Pemeriksa
Pajak mempunyai peran penting dalam penegakan hukum pidana pajak.
PENDAHULUAN
Tertulis dalam kompas.com pada tanggal 30 Oktober 2017 bahwa pengunduran diri Direktur Penegakan Hukum DitJen Pajak terkait
adanya tekanan untuk membatalkan 100 surat perintah pemeriksaan bukti permulaan. proses ditemukan pelanggaran hingga terbit
bukti permulaan adalah pencocokan data Ditjen Pajak dan Data Bea Cukai. Hasilnya: ada 100 perusahaan tak patuh dalam
pembayaran pajak serta menerbitkan faktur fiktif. Lantaran ada unsur pidana, surat perintah pemeriksaan bukti permulaan atas 100
perusahaan ini terbit. Namun hal tersebut dianggap melangkahi rekan sejawat yakni Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan yang juga
tengah melakukan pemeriksaan. Perdebatan pendapat terkait saat penentuan Direktur Jenderal Pajak menerapkan ‘pemeriksaan’
ataukah ‘pemeriksaan bukti permulaan’ terhadap wajib pajak dalam hal terjadi pelanggaran hukum masih terjadi sampai dengan saat
ini. Mengingat hukum pajak menerapkan prinsip ultimum remedium (pemberian sanksi administrasi lebih diutamakan dari sanksi
pidana). Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan pada asas legalitas, yang berarti harus berdasarkan
undang-undang (hukum tertulis), namun dalam praktiknya peraturan perundang-undangan tidak cukup memadai apalagi di tengah
masyarakat yang memiliki dinamika cukup tinggi. Undang-Undang nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 mengatur
adanya kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan.
PENGERTIAN PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Pemeriksaan Bukti Permulaan adaiah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti
permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Bukti Permulaan
adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat
memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di
bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak
pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
PENGERTIAN PEMERIKSAAN BUKTI
PERMULAAN
Berdasarkan Pasal 43A ayat (1) Undang-Undang KUP ditegaskan bahwa Direktur Jenderal Pajak
berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti
permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Pemeriksaan Bukti
Permulaan adalah Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan Bukti Permulaan tentang adanya
dugaan telah terjadi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Sementara Bukti Permulaan adalah
keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan
petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu Tindak Pidana di Bidang
Perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara.
PENGERTIAN PEMERIKSAAN BUKTI
PERMULAAN
Adapan tahap-tahap pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan diterbitkan berdasarkan instruksi Pemeriksaan Bukti Permulaan.
b. Tim Pemeriksa Bukti Permulaan wajib meminjam dan mengamankan berkas-berkas Wajib Pajak yang diperlukan dalam Pemeriksaan
Bukti Permulaan yang ada di Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
c. Semua dokumen, catatan, pembukuan dan atau data elektronik yang berkaitan dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan baik yang dikuasai
Wajib Pajak ataupun pihak ketiga wajib dipinjam dan diamankan oleh Tim Pemeriksaan Bukti Permulaan.
e. Pemeriksa Bukti Permulaan harus memanggil para calon tersangka, calon saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang berkaitan untuk
memperoleh keterangan yang diperlukan dan harus dituangkan dalam bentuk Berita Acara Permintaan Keterangan.
PENGERTIAN PEMERIKSAAN BUKTI
PERMULAAN
f. Apabila hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan menunjukkan bahwa telah terdapat bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan yang cukup,
g. Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan harus dituangkan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan yang diantaranya harus mencantumkan: modus
operandi, calon tersangka, calon saksi, kerugian pada pendapatan negara, pasal-pasal yang dilanggar, bahan bukti yang diperoleh, kesimpulan dan usul.
h. Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilaksanakan di kantor Direktorat Jenderal Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, tempat
tinggal Wajib Pajak, atau di tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Bukti Permulaan.
i. Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan pada jam kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Direktorat Jenderal Pajak, dan dalam hal dipandang
Ruang lingkup Pemeriksaan Bukti Permulaan yaitu dugaan suatu Peristiwa Pidana yang ditentukan dalam Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan.
b. secara tertutup
Dalam hal:
c. Pemeriksaan Bukti Permulaan terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B
d. Pemeriksaan Bukti Permulaan merupakan tindak lanjut dari Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Pemeriksaan
Pemeriksa Bukti Permulaan menuangkan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan dalLaporan Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan mencantumkan:
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan disusun berdasarkan Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan. Dalam hal ditemukan:
a. Peristiwa Pidana selain yang ditentukan dalam Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan;
c. informasi potensi pajak yang bukan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, Pemeriksa Bukti Permulaan harus mengungkapkan dalam Laporan
tertulis oleh kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan atau kuasa. Apabila diperoleh
Bahan Bukti baru setelah Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan yang dapat menyebabkan simpulan yang berbeda dengan
simpulan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Direktur Jenderal Pajak dapat kembali melakukan Pemeriksaan Bukti
Permulaan. Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan jika Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelumnya telah diselesaikan dengan
Selanjutnya, apabila Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan Penyidikan, pejabat yang berwenang membuat Laporan
Menurut Soerjono Soekanto (1983), penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-
nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan
sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Menurut Prof. Soerjono Soekanto (1983) penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain Faktor Hukum. Faktor hukum yang diharapkan antara lain bahwa pembentukan undang-undang
sesuai dengan asas pembentukan undang-undang, ada aturan pelaksanaan, dan kejelasan arti dalam
ketentuannya. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa mengenai berlakunya suatu undang-undang,
terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak positif.
FAKTOR HUKUM YANG MEMPENGARUHI PENEGAKAN HUKUM
Artinya, supaya undang-undang tersebut mencapai tujuannya, sehingga efektif. Asas-asas tersebut antara
lain:
1) Undang - undang tidak berlaku surut; artinya, undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut
di dalam undang-undang tersebut, serta terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku.
2) Undang - undang yang dibuat penguasa lebih tinggi, mempunyai kedudukan lebih tinggi pula.
3) Undang - undang yang bersifat khusus mengesampingkan yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
4) Undang - undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang - undang yang berlaku terdahulu.
FAKTOR HUKUM YANG MEMPENGARUHI
PENEGAKAN HUKUM
5. Undang - undang tidak dapat diganggu gugat
6. Undang - undang merupakan suatu sarana untuk mencapai saran kesejahteraan spititual dan material bagi masyarakat maupun
pribadi, melalui pelestarian atau pembaharuan. Artinya, supaya pembuat undang-undang tidak sewenang-wenang atau supaya
undang-undang tersebut tidak menjadi huruf mati, maka perlu dipenuhi beberapa syarat tertentu, yakni antara lain:
b. pemberian hak kepada warga masyarakat untuk mengajukan usul-usul tertentu. Adapun asas-asas pembentukan undang-undang
berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam pasal 5 UU
Nomor 12 Tahun 2011 diatur tentang asas pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu:
FAKTOR HUKUM YANG MEMPENGARUHI
PENEGAKAN HUKUM
a. kejelasan tujuan;
d. dapat dilaksanakan;
g. keterbukaan.
SANKSI ADMINISTRASI DAN SANKSI PIDANA PAJAK
Pengenaan sanksi administrasi dan sanksi pidana perpajakan berdasarkan Penjelasan Pasal 38 UU KUP yang
menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak,
sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan
surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang
perpajakan dikenai sanksi pidana. Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan
Dari ketentuan itu dapat dijelaskan bahwa Sanksi Administrasi akan dikenakan sepanjang menyangkut tindakan
administrasi perpajakan dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak sedangkan Sanksi Pidana akan
dikenakan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan. Selain sanksi administrasi di dalam ketentuan perpajakan
juga ada sanksi pidana. Sanksi pidana tersebut diadakan dengan harapan tumbuhnya kesadaran Wajib Pajak untuk
mematuhi kewajiban perpajakan. Sanksi pidana dikenakan atas tindakan tindak pidana. Pelanggaran ini dapat dilakukan
dengan sengaja atau karena kealpaan. Yang dimaksud dengan kealpaan adalah tidak sengaja, lalai, tidak hati- hati, atau
kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut dapat menimbuikan kerugian pada pendapatan negara.
PEMERIKSAAN PAJAK
Berdasarkan Pasal 1 angka 25 UU KUP, Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan
mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
BUKTI PERMULAAN
Pasal 1 angka 26 UU KUP menyatakan tentang definisi Bukti Permulaaan adalah keadaan, perbuatan,
dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya
dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan
oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Berdasarkan Pasal 1 angka 27 UU KUP, Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk
mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Adapun bukti
permulaan menurut Pasal 1 angka 26 UU KUP adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan,
atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana
di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Landasan formil kewenangan Dirjen Pajak melakukan Pemeriksaan Bukper adalah Pasal 43A ayat 1 UU KUP yang
mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan
pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Dalam
penjelasannya disebutkan bahwa informasi, data, laporan, dan pengaduan yang diterima oleh DJP akan dikembangkan
dan dianalisis melalui kegiatan intelijen atau pengamatan yang hasilnya dapat ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan,
Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau tidak ditindaklanjuti.
PENGUSULAN PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN OLEH FUNGSIONAL PEMERIKSA
PAJAK (FPP)
Dasar hukum pengusulan Pemeriksaan Bukti Permulaan oleh Fungsional Pajak adalah:
a. Pasal 43 A UU KUP
b. Pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011
c. PMK No. 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
d. PMK No. 239/PMK.03/2014 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan
CONTOH KASUS
SELAMA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TERHADAP WAJIB PAJAK PT XYZ DIDAPATKAN NILAI KERUGIAN PADA PENDAPATAN NEGARA SEBESAR RP
25.000.000.000,000.
DALAM HAL WAJIB PAJAK MELAKUKAN PENGUNGKAPAN KETIDAKBENARAN PERBUATAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 8 AYAT (3) UNDANG-
UNDANG KUP, JUMLAH YANG MASIH HARUS DIBAYAR SEKURANG-KURANGNYA ADALAH SEBAGAI BERIKUT :
•Selama Pemeriksaan Bukti Permulaan, Wajib pajak melakukan pembayaran sehubungan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
Atas pembayaran Wajib Pajak tersebut, jumlah yang dapat menjadi pengurangan nilai kerugian pada pendapatan negara adalah sebesar :
Sehingga nilai kerugian pada pendapatan negara yang tersisa dan dimasukkan ke berkas penyidikan adalah sebesar :