Anda di halaman 1dari 12

RMK BAB 6

MASALAH ANTARA WAJIB PAJAK DAN FISKUS


DOSEN PENGAMPU : Dr. I Ketut Sujana, SE., Ak., M.Si., CA

DISUSUN OLEH :

I Ketut Hardy Putra Ambri (2007531097)


Made Agus Darma Cahyadi (2007531146)
Kadek Dina Heryanti (2007531160)

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI REGULER


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
BAB I
PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Sengketa Pajak


Sengketa pajak merupakan sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara
Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan
pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas
pelaksanaan penagihan berdasarkan undang- undang penagihan dengan surat paksa sesuai
dengan ketentuan Pasal 1 ayat (5) UU No. 14 Tahun 2003 tentang Pengadilan Pajak. Sengketa
pajak umumnya diawali dari diterbitkanya surat ketetapan pajak atau surat tindakan
penagihan pajak.
Sengketa pajak terjadi karena adanya ketidaksamaan persepsi atau perbedaan
pendapat antara Wajib Pajak dengan petugas pajak mengenai penetapan pajak terutang
yang diterbitkan atau adanya tindakan penagihan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Pajak dan juga karena adanya pemotongan atau pemungutan yang dilakukan oleh pihak
ketiga berdasarkan ketentuan Undang-Undang. Sengketa pajak dapat diselesaikan oleh wajib
pajak melalui upaya hukum seperti keberatan, banding, peninjauan kembali, dan gugatan.
1.2 Penyelesaian melalui Direktorat Jenderal Pajak
Sengketa pajak ini biasanya timbul jika pihak aparat pajak mengeluarkan produk-
produk hukum dalam rangka penagihan pajak yaitu Surat Tagihan Pajak (STP) dan Surat
Ketetapan Pajak (SKP), baik berupa SKPKB, SKPLB, SKPN atau SKPKBT.
Untuk menyelesaian masalah sengketa pajak ini, Undang-undang KUP telah
memberikan beberapa prosedur penyelesaian. Di bawah ini adalah prosedur-prosedur
penyelesaian sengketa pajak di tingkat internal Direktorat Jenderal Pajak.
1.2.1 Pembetulan

Berdasarkan Pasal 16 Undang-undang KUP, surat ketetapan pajak, Surat Tagihan


Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak,
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan
Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan
hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan dapat dibetulkan baik atas permohonan Wajib Pajak maupun secara
jabatan.
1.2.2 Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
Berdasrkan Pasal 36 Ayat (1) huruf a, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas
permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi
berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan
Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;

1.2.3 Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak


Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) huruf b, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau
atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak
yang tidak benar.

1.2.4 Pembatalan Hasil Pemeriksaan


Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) huruf d, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau
atas permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat
ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau tanpa pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan
Wajib Pajak
1.2.5 Upaya Hukum Keberatan
Dikategorikan keberatan apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa ketetapan jumlah rugi,
jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya.
ketentuan Pasal 25 UU KUP menyatakan sebagai berikut:
Ayat (1): Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jendral Pajak
atas suatu:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undnagan perpajakan.
Ayat (2): Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
mengemukakan jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi
menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertau alasan-alasan yang jelas.
Ayat (3): Keberatan harus diajukan dalam rangka waktu tiga bulan sejak tanggal surat,
tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak
dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya
Ayat (4): Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2) dan ayat (3) tidak dianggap sebagai surat keberatan, sehingga tidak
dipertimbangkan.
Ayat (5): Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jendral
Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman surat keberatan pos
tercatatmenjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
Ayat (6): Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan,
Direktorat Jendral Pajak wajib memberi keterangan secara tertulis hal-hal yang
menjadi dasar pengenaan perhitungan rugi, penotongan atau pemungutan pajak.
Ayat (7): pengajuan kebertan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak.
Untuk dapat mengajukan upaya hukum keberatan, maka Wajib Pajak harus memenuhi
persyaratan berikut yakni :
1. Diajukan tertulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia
2. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan
atau pemungutan, kecuali wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu
tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya
3. Mengemukakan jumlah pajak terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut
atau jumlah rugi menurut penghitungan wajib pajak disertai alasan yang jelas
4. Untuk satu surat keberatan diajukan terhadap satu ketetapan pajak atau
pemotongan/pemungutan pajak
Setelah kantor pajak melakukan proses pemeriksaan, sesuai Pasal 26 ayat 3 UU KUP,
ada 4 kemungkinan keputusan yang diterbitkan Direktur Jendral Pajak yakni :
1. Ditolak karena tidak ditemukan cukup bukti. Dengan keputusan seperti itu Wajib
Pajak hanya bisa membayar utang pajak yang ditentukan atau banding ke Pengadilan
Pajak
2. Diterima Sebagian jika hanya sebagian alasan dan bukti yang mendukung untuk
dikuranginya jumlah pajak
3. Diterima Seluruhnya karena bukti dan alasan yang mendukung untuk diterimanya
seluruh keberatan
4. Menambah ketetapan pajak apabila setelah pemeriksaan mendapat bukti yang
menambah jumlah ketetapan pajak
Apabila dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktur Jendral Pajak
diketahui tidak terdapat cukup alasan dan bukti, maka Direktur Jenderal Pajak akan
mengeluarkan keputusan menolak keberatan Wajib Pajak. Jika terjadi keputusan demikian,
konsekuensinnya hanya ada dua yaitu pertama, Wajib Pajak harus tetap melunasi utang Pajak
sebesar yang tercantum dalam keputusan keberatan. Kedua, dapat mengajukan upaya hukum
lebih lanjut, yaitu banding ke pengadilan pajak.
Selanjutnya, apabila surat kebertan Wajib Pajak setelah dilakukan pemeriksaan
ternyata hanya sebagian alasan dan bukti yang mendukung untuk dikuranginya jumlah pajak
yang tercantum dalam ketetapan pajak, maka Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan
keputusan menerima sebagian.

Surat Keberatan oleh Wajib Pajak dapat disampaikan secara langsung, pos maupun
online (E-Filling) melalui laman resmi Direktorat Jenderal Pajak atau Penyedia Jasa Aplikasi
Perpajakan resmi. Tanda bukti telah diterimanya Surat Keberatan berupa tanda penerimaan
surat dari petugas pajak, bukti pengiriman surat melalui pos dan bukti penerimaan elektronik.
1.3 Penyelesaian melalui pihak luar Direktorat Jenderal Pajak
1.3.1 Upaya Hukum Banding
Upaya banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan Wajib Pajak terhadap
keputusan yang dapat di bandingkan berdasarkan peraturan perundang- undangan
perpajakan yang berlaku sesuai dengan ketentuan pasal 1 UU Pengadilan Pajak. Dalam UU
No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak juga dijelaskan bahwa Wajib pajak bisa
mengajukan hukum banding ke pengadilan pajak apabila masih tidak puas dengan
keputusan Direktur Jendral Pajak.Apabila Wajib Pajak akan mengajukan upaya hukum
banding, haruslah memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Permohonan diajukan secara tertulis menggunakan Bahasa Indonesia.
2. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima
Keputusan Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatan perpajakan yang
diajukan banding atau 60 (enam puluh) hari sejak tanggal diterimanya
Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai mengenai keberatan kepabeanan
dan cukai. Pengakuan banding 3 (tiga) bulan tidak mengikat apabila jangka
waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan
pemohon banding.
4. Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding.
5. Mencantumkan alasan-alasan yang jelas dan tanggal diterima surat keputusan
yang disbanding.
6. Melampirkan salinan keputusan yang dibanding dan bukti-bukti pendukung
lainnya, termasuk melampirkan Surat Setoran Pajak.
7. Melunasi 50% dari jumlah yang terutang atas keputusan yang
disbanding.
Dalam ketentuan Pasal 27 ayat (5c) ditegaskan bahwa apabila Wajib Pajak
mengajukan banding jumlah pajak yang belum dibayar pada saat mengajukan permohonan
banding belum merupakan utang pajak sampai dengan adanya keputusan banding.
Selanjutnya, sebagai konsekuensi hukumnya adalah apabila permohonan banding ditolak
atau dikabulkan sebagian, maka Wajib Pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa
denda sebesar 100% dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan
pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan (ayat 5d).
1.3.2 Upaya Hukum Gugatan
Yang dimaksud dengan upaya hukum gugatan adalah upaya hukum yang dapat
dilakukan oleh Wajib pajak atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak
atau keputusan yang bisa diajukan sebagai gugatan berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku. Gugatan juga dapat diajukan oleh Wajib Pajak yang
diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UU KUP yang menyatakan bahwa “Gugatan” Wajib Pajak
atau Penanggung Pajak terhadap hal-hal berikut hanya dapat diajukan kepada badan
peradilan pajak.
a. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah melaksanakan Penyitaan atau
Pengumuman Lelang
b. Keputusan yang berkaitan dengaan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain
yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26;
c. Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang berkaitan
dengan STP atau Surat Tagihan Pajak;
d. Keputusan sebagaimana dimaksud dengan Pasal 36 yang berkaitan dengan
Surat Tagihan Pajak.
• Terdapat beberapa syarat untuk mengajukan suatu gugatan yaitu
1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
2. Jangka waktu untuk gugatan terhadap pelakasanaan penagihan pajak adalah 14
(empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan, sedangkan untuk
gugatan terhadap Keputusan adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima
Keputusan yang digugat; jangka waktu ini tidak mengikat apabila jangka waktu
dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat.
Perpanjangan jangka waktu dapat dilakukan adalah 14 (empat belas) hari
terhitung sejak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat;
3. Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) keputusan diajukan 1
(satu) Surat Gugatan.
Gugatan diajukan oleh ahli waris, penguat, pengurus, atau kuasa hukum dengan alasan
jelas, tanggal diterima, pelaksanaan penagihan dan keputusan yang digagt dan Salinan
dokumen yanag gugat. Surat gugatan atas keputusan Direktur Jenderal Pajak ataS Surat
Tagihan Paksa (STP) berdasarkan Pasal 16 UU KUP dan Pasal 36, yang artinya Wajib Pajak
tetap dapat mengajukan gugatan tanpa harus membayar sebesar 50% terlebih dahulu dari
pajak yang terutang sebagaimana tercantum dalam STP.
Penagihan Pajak atas Gugatan
Pasal 43 ayat (1) UU pengadilan pajak menegaskan bahwa gugatan tidak menunda atau
menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak atau kewajiban perpajakan dengan demikian,
sekalipun Wajib Pajak sedang mengajukan gugatan penggugatan dapat mengajukan
permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan pajak ditunda selama pemeriksaan
sengketa pajak sedang berjalan sampai ada putusan pengadilan pajak. Pemohonan Wajib
Pajak dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan hakim dapat memutus terlebih dahulu dari
pokok sengketanya. Permohonan dapat dikabulkan hanya ketika keadaan sangat mendesak
dan menyebabkan kerugian bagi penggugat.
Gugatan atas Surat Tagihan Pajak
Pasal 23 ayat (2) huruf b bahwa Wajib Pajak dapt mengajukan gugatan atas keputusan
yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan,selain yang ditetapkan dalam
Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26., Kedua pasal tersebut menegaskan masalah yang berkaitan
dengan upaya hukum keberatan atas suatu ketetapan pajak (SKPKB, SKPKBT, SKPLB,
SKPN dan pemotongan atau pemotongan oleh pihak ketiga). Gugatan pada Pasal 16 yang
berkaitan dengan STP (Surat Tagihan Pajak) menimbulkan terbitnya keputusan pembetulan
atas STP yang menjadi objek yang dapat digugat. , Produk hukum STP tidak dapat diajukan
upaya hukum keberatan seperti diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU KUP dan
berdasarkanundnag-undang penagihan pajak juga tidak dapat diajukan gugatan. , produk
hukum STP tidak dapat diajukan upaya hukum keberatan seperti diatur dalam Pasal 25 ayat
(1) UU KUP dan berdasarkanundnag-undang penagihan pajak juga tidak dapat diajukan
gugatan.
1.3.3 Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Satu lagi upaya hukum yang dapat dilkukan Wajib Pajak adalah upaya hukum
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA). Upaya hukum ini merupakan upaya hukum
luar biasa setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap atau ada hal lain yang
ditentukan undang-undang.
Sesuai ketentuan Pasal 91 UU Pengadilan Pajak, permohonan peninjauan kembali
hanya dapat diajukan berdasarkan 5 (lima) alasan, yaitu :
a. Apabila putusan pengadilan pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada
bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang
apabila diketahui pada tahap persidangan di pengadilan pajak akan menghasilkan
putusan yang berbeda
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang
dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c;
d. Apabila mengatasi suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan-undangan yang berlaku..
Permohonan peninjauan kembali dengan alasan seperti dimaksud Pasal 91 huruf a
tersebut, dilakukan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya
kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pengadilan pidana memperoleh
kekuatan hukum tetap. Sementara itu, untuk permohonan peninjauan dengan alasan seperti
dimaksud pasal 91 huruf b tersebut, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
bulan terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus
dinyatakan di bawah sumpah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang. Dan untuk
permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan seperti dimaksud Pasal 91 huruf c, huruf
d, dan huruf e tersebut, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak
putusan dikirim.
Selanjutnya, Mahkamah Agung akan memeriksa dan memutus permohonan
peninjauan kembali dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan peninjauan
kembali diterima Mahkamah Agung, yaitu dalam hal pengadilan pajak mengambil putusan
melalui pemeriksaan acara biasa. Sementara itu, dalam hal pengadilan pajak mengambil
putusan melalui pemeriksaan acara cepat, putusan diambil dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sejak permohonan diterima oleh Mahkamah Agung.
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali ke Mahkamah
Agungmelalui pengadilan pajak. Apabila di tempat tinggal atau tempat kedudukan pemohon
belum ada pengadilan pajak, permohonan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) tempat tinggal atau tempat kedudukan pemohon. Apabila PTUN juga belum ada,
permohonan dapat diajukan ke pengadilan negeri tempat tinggal atau tempat kedudukan
pemohon.
Permohon peninjauan kembali tersebut dapat dicabut sebelum diputus. Dalam hal
permohonan sudah dicabut, permohonan peninjauan kembali tidak dapat diajukan lagi.
Dalam memproses permohonan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung akan
menggunakan hukum acara pemeriksaannya berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
Seperti halnya keberatan dan banding, apabila Wajib Pajak mengajukan upaya hukum
peninjauan kembali, tindakan penagihan yang dilakukan jurusita pajak tetap bisa
dilaksanakan, seperti ditegaskan Pasal 89 ayat (2) UU Pengadilan Pajak bahwa permohonan
peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan
pajak.
1.4 Penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
Berdasarkan UU No.17 Tahun 1997, lembaga Majelis Pertimbangan Pajak (MPP)
diubah menjadi lembaga bernama Badan Penyeleaian Sengketa Pajak (BPSP). Lalu dengan
diundangkannya UU No.14 Tahun 2002, BPSP diubah namanya menjadi pengadilan pajak.
Digantikannya lembaga BPSP menjadi pengadilan pajak dilakukan karena dalam
pelaksanaan penyelesaian sengketa pajak melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian
hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Pemerintah telah mengeluarkan Undang-
undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak pada tanggal 12 April 2002 untuk
menggantikan UU No.17/1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak/BPSP.
Pengadilan Pajak diharapkan dapat mendorong masyarakat wajib pajak (WP) dan aparat
hukumnya, untuk menerapkan penegakkan supremasi hukum perpajakan. Pengadilan Pajak
merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus
Sengketa Pajak, maka dari itu pemeriksaan atas sengketa pajak hanya dilakukan oleh
Pengadilan Pajak dan putusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan gugatan ke Peradilan
Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, atau Badan Peradilan lain, kecuali putusan berupa
"tidak dapat diterima" yang menyangkut kewenangan/kompetensi. Meskipun demikian,
masih dimungkinkan untuk mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
Pengadilan pajak memiliki beberapa keunikan, terutama dari teori-teori klasik tentang
hukum dan badan peradilan. Namun yang penting, badan peradilan pajak mampu bersikap
independent yakni memiliki hakim-hakim yang kompeten dan memiliki integritas tinggi.
Kemudian dalam pelaksanaannya diawasi masyarakat, termasuk oleh lembaga pengawasan
khusus. Hal unik lain pada Pengadilan pajak ini adalah adanya 2 (dua) jenis upaya hukum
yang dapat diajukan, yaitu pengajuan banding dan gugatan. Namun, tidak seperti halnya
pengadilan lain, Pengadilan Pajak tidak mengenal upaya hukum banding ke pengadilan
tinggi maupun kasasi. Hanya ada satu upaya hukum terhadap putusan Pengadilan pajak
yaitu Peninjauan Kembali yang dapat diajukan pada Mahkamah Agung. Sama halnya
dengan subyek pada Peradilan Tata Usaha Negara, subyek pada Pengadilan Pajak dalam
keadaan yang tidak seimbang, antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat
yang berwenang. Hakim yang independen akan mengambil peranan untuk membuat
keadaan ini mejadi lebih seimbang. Hakim pada Pengadilan Pajak diharuskan memerlukan
tenaga-tenaga Hakim khusus yang mempunyai keahlian khusus di bidang perpajakan dan
berijazah Sarjana Hukum atau Sarjana lain. Pada prakteknya hakim pada pengadilan pajak
sebagian besar adalah mantan pejabat pada Departemen Keuangan pada khususnya
Direktorat Jenderal Pajak dan bukan hakim karir yang berasal dari sistem pembinaan karir
pada umumnya. Selain itu pembinaan terhadap hakim pengadilan pajak memang bukan di
bawah Mahkamah Agung namun dibawah Departemen Keuangan, sehingga
dikhawatirkan akan mempengaruhi independensi hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara.

1.5 Kontroversi Penyelesaian melalui PTUN


Kontroversi Penyelesaian melalui PTUN yaitu ketika pengadilan pajak masih
bernama Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) berdasarkan Undang-undang Nomor
17 Tahun 1997, terdapat persoalan hukum yaitu adanya gugatan atas pelaksanaan penagihan
pajak melalui lembaga Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) berdasarkanUndang-undang
Nomor 5 Tahun 1986.
Kasus bermula ketika dilakukan tindakan penagihan pajak terhadap PT Timor. Gugatan
yang diajukan PT Timor mendasarkan pada ketentuan Pasal 48 dan Pasal 53 Undang-undang
PTUN, yang menegaskan bahwa seseorang atau badan hukum yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatannya ke PTUN.
Di sisi lain, pasal 27 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 1983 (UU KUP) menyatakan bahwa
putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan tata usaha negara.Keracunan
hukum adanya kelembagaan untuk menyelesaikan kasus- kasus sengketa pajak yang terjadi
dalam praktek membuat pemerintahan bersama-sama dengan DPR sepakat melakukan
reformasi UU No 17 tahun 1997 tentang BPSP dengan UU No 14 tahun 2002 tentang
pengadilan pajak. Dalam UU peradilan pajak adanya beberapa ketentuan yang menegaskan
adanya independensi pengadilan dalam memeriksa suatu kasus sengketa pajak. Dengan kata
lain, untuk menghindari adanya duplikasi penafsiran lembaga yang menangani sengketa
pajak, maka hanya pengadilan pajak saja yang diberikan kewenangan untuk memeriksa
sengketa pajak.
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, S. (2019, Maret 5). Sengketa Pajak dan Penyelesaiannya. Diambil kembali dari
Kementerian Keuangan Republik Indonesia:
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/sengketa-pajak-dan-
penyelesaiannya/

Ilyas, Wirawan B dan Richard Burton. 2011. Hukum Pajak, Edisi 6. Jakarta: Salemba Empat

Noviades, D. (t.thn.). Badan Penyelesaian Sengketa Pajak Sebagai Lembaga Peradilan. Jurnal
Ilmu Hukum, 1-15.

OnlinePajak. (2018, Juli 10). Sengketa Pajak dan Cara Penyelesaiannya di Indonesia. Diambil
kembali dari Online-Pajak: https://www.online-pajak.com/tentang-pajak/sengketa-
pajak-dan-cara-penyelesaiannya-di-indonesia

Prabandaru, A. (2018, Desember 11). 4 Prosedur Penyelesaian Sengketa Pajak yang Dimiliki
oleh Wajib Pajak. Diambil kembali dari klikpajak: https://klikpajak.id/blog/bayar-
pajak/4-prosedur-penyelesaian-sengketa-pajak/

Anda mungkin juga menyukai