Anda di halaman 1dari 16

PERADILAN DALAM HUKUM PAJAK

Hukum Pajak
Hukum pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Hukum administrasi
Hukum administrasi umumnya berupa sanksi administrasi, baik berupa bunga, denda,
tambahan pokok pajak, maupun kenaikan dan dijatuhkan oleh fiskus. Sanksi administrasi
umumnya berkaitan dengan masalah-masalah ketidaktaatan Wajib Pajak dalam
melaksanakan kewajiban seperti tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau
menyampaikan SPT tapi tidak benar dan tidak lengkap karena alpa dan lain-lain.
2. Hukum pidana
Hukum pidana berkaitan dengan denda pidana maupun hukum penjara dan
dijatuhkan oleh hakim. Hukuman pidana umumnya berkaitan dengan perbuatan-
perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan seperti sengaja tidak mendaftarkan
diri untuk memperoleh NPWP, memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen
lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; dan lain-lain.

Peradilan Administrasi Pajak


Peradilan administrasi pajak umumnya melibatkan minimal dua pihak, yaitu pihak Wajib Pajak
dengan aparat pajak (fiskus). Peradilan administrasi pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Peradilan administrasi tidak murni
Peradilan administrasi ini disebut peradilan administrasi tidak murni karena dalam
peradilan administrasi ini hanya melibatkan dua pihak, yaitu pihak Wajib Pajak dan pihak
fiskus tanpa melibatkan pihak ketiga yang independen. Fiskus sebagai pihak yang
bersengketa sekaligus menjadi pihak yang mengambil keputusan dalam perselisihan
pajak yang bersangkutan.
Contoh peradilan administrasi tidak murni dapat dilihat dalam pengajuan keberatan
yang diatur dalam Pasal 25 dan 26 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana
yang telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Wajib Pajak mengajukan keberatan (doleansi) karena adanya perselisihan mengenai
besarnya jumlah utang pajak. Oleh karena itu, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Terhadap surat keberatan yang masuk harus diambil keputusan.
2. Pihak yang mengambil keputusan adalah aparatur pajak (Dirjen Pajak, Kakanwil
Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan kewenangan masing-
masing) yang disebut sebagai hakim doleansi.
Rochmat Soemitro dalam disertasinya yang berjudul Masalah Peradilan Administrasi
dalam Hukum Pajak memasukkan peradilan doleansi ini ke dalam kategori peradilan
semu atau peradilan kuasi.
2. Peradilan administrasi murni
Peradilan administrasi murni adalah peradilan yang melibatkan tiga pihak, yaitu
Wajib Pajak, fiskus, dan hakim yang mengadili. Wajib Pajak dan fiskus adalah pihak
yang bersengketa, sedangkan hakim atau majelis hakim adalah pihak yang akan
memutuskan sengketa tersebut.
Contoh peradilan administrasi dapat dilihat yang diatur dalam pengajuan banding
yang diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang
telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang
ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan pajak.

KEBERATAN DAN BANDING

Dasar hukum Pasal 25 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Pengertian

Dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kemungkinan


terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang
dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini, Wajib
Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak di mana
Wajib Pajak yang bersangkutan terdaftar.

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas suatu:

1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)


2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
5. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga

Pihak yang dapat mengajukan keberatan adalah :

1. Bagi Wajib Pajak Badan oleh Pengurus


2. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi oleh Wajib Pajak yang bersangkutan
3. Pihak yang dipotong/dipungut oleh pihak ketiga
4. Kuasa yang ditunjuk oleh mereka pada poin 1-3 di atas dengan surat kuasa khusus untuk
pengajuan keberataan

Syarat-syarat mengajukan keberatan adalah :

1. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan


jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi
menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar perhitungan.
2. Jika Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib
melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui
Wajib Pajak dalam pembahasan sebelum surat keberatan disampaikan.
3. Jika Wajib Pajak mengajukan keberatan maka jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah
pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguhkan sampai dengan
satu bulan sejak tanggal penerbitan surat keputusan keberatan
4. Jika Wajib Pajak mengajukan banding atas putusan keberatan maka jangka waktu
pelunasan pajak atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan
tertangguhkan sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan surat keputusan
banding.
5. Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis dan satu tahun/masa pajak.

Jangka waktu pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah :

1. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal SKPKB, SKPKBT,
SKPLB, SKPN, atau sejak tanggal dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga,
kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
2. Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak, maka
jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau
sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai saat keberatan
diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak.
3. Untuk surat keberatan yang disampaikan melalui pos (harus dengan pos tercatat), maka
jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau
sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai dengan tanggal tanda
bukti pengiriman melalui Kantor Pos dan Giro.
Hal yang dapat dimintakan oleh Wajib Pajak dalam hal pengajuan keberatan adalah untuk
keperluan pengajuan keberatan Wajib Pajak dapat meminta penjelasan/keterangan tambahan dan
Kepala KPP wajib memberikan penjelasan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan
pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan, atau pemungutan pajak.

Keputusan atas surat keberatan adalah sebagai berikut.

1. Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau Kepala Kantor Wilayah, atau Direktur Jenderal
Pajak harus sudah memberikan keputusan atas surat keberatan paling lambat 12 bulan
sejak tanggal surat keberatan diterima. Selanjutnya, surat keputusan keberatan harus
diterbitkan selambat-lambatnya 3 bulan sejak jangka waktu 12 bulan tersebut berakhir.
Apabila dalam jangka waktu 12 bulan, Kepala KPP atau Kepala Kantor Wilayah, atau
Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan maka keberatan yang diajukan oleh
Wajib Pajak dianggap diterima.
2. Wajib Pajak yang mengajukan keberatan, tetapi tidak memenuhi persyaratan yang
ditetapkan, maka Kepala KPP akan memberikan jawaban tertulis dengan surat biasa
(bukan surat keputusan penolakan) selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak jangka waktu
pengajuan keberatan berakhir. Apabila surat keberatan diajukan setelah batas waktu
pengajuan maka jawaban akan diberikan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak surat
keberatan tersebut diterima.
3. Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan
atau penjelasan tertulis.
4. Keputusan keberatan dapat berupa dikabulkan seluruhnya, dikabulkan sebagian, ditolak,
dan menambah jumlah pajak. Apabila Wajib Pajak tidak atau belum puas dengan
keputusan yang diberikan atas keberatan maka Wajib Pajak dapat mengajukan banding
ke Pengadilan Pajak.

Sanksi administrasi sebagai berikut.

1. Jika keberatan ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenakan sanksi
administrasi berupa denda sebesar 50 persen (lima puluh persen) dari jumlah pajak
berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan.
2. Jika Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi yang dimaksud
di atas tidak dikenakan.
3. Jika permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenakan
sanksi administrasi berupa denda sebesar 100 persen (seratus persen) dari jumlah pajak
berdasarkan keputusan banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan.
Kewenangan dalam mengambil keputusan merupakan wewenang Direktur Jenderal Pajak
yang begitu luas dan diberikan oleh undang-undang perpajakan, tentu saja tidak dapat
dilaksanakan sendiri. Oleh karena itu, Direktur Jenderal Pajak harus mengambil suatu keputusan
yang disesuaikan dengan struktur organisasi dari Direktorat Jenderal Pajak. Dari sekian banyak
unit yang melayani masyarakat di bidang perpajakan, akan diartikan secara khusus masalah
kewenangan di dalam memutuskan dan segala aspek administrasi dalam hal ajib Pajak yang
melakukan keberatan dan banding atas ketetapan pajak yang telah dikeluarkan.

Banding

Dasar Hukum

Beradasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.


Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib
Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Tugas pengadilan
adalah memutuskan sengketa pajak.

Pengertian

1. Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak
atau penanggung pajak dengan pejabata yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan pajak
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas
pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak serta Surat Paksa.
2. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung
pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
3. Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung
pajak terhadap pelaksana penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan
gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
4. Suart uraian banding adalah surat terbanding kepada pengadilan pajak yang berisi
jawaban atas alasan banding yang diajukan oleh pemohon banding.
5. Surat tanggapan adalah surat dari dari tergugat kepada pengadilan pajak yang berisi
jawaban atas gugatan yang diajukan oleh penggugat.
6. Surat bantahan adalah surat dari pemohon banding atau penggugat kepada pengadilan
pajak yang berisi bantahan atas suart uraian banding atau surat tanggapan.
7. Hakim tunggal adalah hakim yang ditunjuk oleh ketua untuk memeriksa dan memutuskan
sengketa pajak.
8. Hakim anggota adalah hakim dalam suatu majelis yang ditunjuk oleh ketua untuk
menjadi anggota dalam majelis
9. Hakim ketua adalah hakim anggota yang ditunjuk oleh ketua untuk memimpin sidang.
10. Sekretaris, wakil sekretaris, dan sekretaris pengganti adalah sekretaris, wakil sekretaris
dan sekretaris pengganti pada pengadilan pajak.
11. Panitera, wakil panitera, dan panitera pengganti adalah sekretaris, wakil sekretaris, dan
sekretaris pengganti pengadilan pajak yang melaksanakan fungsi kepaniteraan.

Pengadilan Pajak

Pengadilan pajak yang berkedudukan di ibu kota negara. Susunan pengadilan pajak
terdiri atas pimpinan, hakim anggota, sekretaris, dan panitera. Pimpinan pengadilan pajak terdiri
atas seorang ketua dan paling banyak lima orang wakil ketua.

Hakim tidak boleh merangkap menjadi:

1. Pelaksana keputusan pengadilan pajak


2. Wakil, pengampun, atau pejabat yang berkaitan dengan suatu sengekta pajak yang akan
atau sedang diperiksa olehnya
3. Penasihat hukum
4. Konsultan pajak
5. Akuntan publik
6. Pengusaha

Panitera
Panitera adalah seseorang yang membantu hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan
perkara.

Dalam menjalankan tugasnya, panitera dibantu wakil panitera, panitera muda, dan panitera
pengganti pengadilan. Tugas dan perilakunya dipertanggungjawabkan langsung kepada Ketua
Pengadilan

Panitera dalam Peradilan Hukum Pajak

1. Pada pengadilan pajak ditetapkan adanya kepaniteraan yang dipimpin oleh seorang
panitera.
2. Dalam melaksanakan tugasnya, panitera pengadilan pajak dibantu oleh seorang wakil
panitera dan beberapa orang panitera pengganti.
3. Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, panitera, wakil panitera,
dan panitera pengganti tidak boleh merangkap menjadi :
a. Pelaksana putusan pengadilan pajak
b. Wali, pengampun, atau pejabat yang berkaitan dengan suatu sengketa pajak yang
akan atau sedang diperiksa olehnya.
c. Penasihat hukum
d. Konsultan pajak
e. Akuntan public
f. Pengusaha
4. Panitera, wakil panitera, dan panitera pengganti diangkat dan diberhentikan dari
jabatannya oleh Menteri
5. Pembinaan teknis panitera dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Kekuasaan Pengadilan Pajak

1. Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutuskan sengketa
pajak.
2. Pengadilan Pajak dalam hal banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas
keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3. Pengadilan pajak dalam hal gugatan memeriksa dan memutuskan sengketa atas
pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya.
Gugatan wajib pajak atau penanggung pajak terhadap :
a. Pelaksana Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, atau pengunguman
lelang.
b. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan.
c. Keputusan pembetulan yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak.
4. Pengadilan Pajak adalah pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan
memutuskan sengketa pajak.

Gugatan
Syarat-syarat mengajukan gugatan adalah :

1. Gugatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada pengadilan pajak.
2. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap pelaksana penagihan pajak adalah 14
hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.
3. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan selain gugatan adalah 30
hari sejak tanggal diterimanya keputusan yang digugat.
4. Jangka waktu sebagaimana yang dimaksud di atas tidak mengikat apabila jangka waktu
dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat.
5. Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud diatas adalah 14 hari terhitung sejak
berakhirnya keadaan diluar kekuasaan penggugat.
6. Terhadap satu pelaksanaan penagihan atau satu keputusan diajukan surat penggugat.
7. Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa
hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal diterima,
pelaksanaan penagihan, atau keputusan yang digugat dan dilampirkan Salinan dokumen
yang digugat.
8. Apabila selama proses gugatan, penggugat meninggal dunia, gugatan dapat dilanjutkan
oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, pengampunya dalam hal memohon
banding pailit.
9. Apabila selama proses gugatan, pemohon banding melakukan penggabungan, peleburan,
pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan
oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan,
pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi yang dimaksud.
10. Terhadap bandingan dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan
Pajak.
11. Gugatan yang dicabut dihapus dari daftar sengketa dengan :
a. Ketetapan ketua dalam surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang
dilaksanakan;
b. Putusan majelis/hakim tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan
pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan tergugat.
12. Banding yang telah dicabut melalui penetapan putusan tidak dapat diajukan Kembali.
13. Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksankannua penagihan pajak atau
kewajiban perpajakan.
14. Penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan
pajak ditunda selama pemeriksaan sengketa pajak sedang berjalan, sampai ada putusan
pengadilan pajak.
15. Permohonan dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu
dari pokok sengketanya.
16. Permohonan penundaan dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat
mendeksak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika
dilaksanakan penagihan pajak yang digugat itu dilaksanakan.

Pemeriksaan dengan Acara Biasa

Proses pemeriksaan normal yang seharusnya dilalui oleh setiap gugatan yang diajukan (proses
yang tidak diterapkan secara khusus).

Ketentuan :

1. Pemeriksaan dengan acara biasa dilakukan oleh majelis.


2. Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua membuka sidang dan menyatakan terbuka
untuk umum.
3. Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, majelis melakukan pemeriksaan
mengenai kelengkapan dan/atau kejelasan banding atau gugat.
4. Apabila banding atau gugatan tidak lengkap dan/atau tidak jelas sepanjang bukan
merupakan persyaratan, kelengkapan dan/atau kejelasan dimaksud dapat diberikan dalam
persidangan.
5. Hakim ketua menjelaskan masalah yang disengketakan kepada pihak-pihak yang
bersengketa.
6. Majelis menanyakan kepada terbanding atau tergugat mengenai hal-hal yang dikemukaan
pemohon banding atau penggugat dalam surat banding dan surat gugat dan dalamsurat
bantahan.
7. Apabila majelis memandang perlu dan jika pemohon banding atau penggugat hadir dalam
persidangan, hakimketua dapat meminta pemohon banding atau penggugat untuk
memberikan keterangan yang diperlukan dalam penyelesaian sengketa pajak.
8. Atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa, atau karena jabatan, hakim ketua
dapat memerintahkan saksi untuk hadir dan di dengar keterangannya dalam persidangan.
9. Saksi yang diperintakan oleh hakim ketua wajib dating di persidangan dan tidak
diwakilkan.
10. Jiksa saksi tidak dating meskipun telah dipanggil dengan patut dan majelis dapat
mengambil putusan tanpa mendengar keterangan saksi, hakim ketua melanjutkan
persidangan.
11. apabila saksi tidak dating tanpaalsan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun telah
dipanggil dengan patut, dan majelis mempunyai alasan yang cukup untuk menyangka
bahwa saksi dengan sengaja tidak dating, serta majelis tiidak dapat mengammbil putusan
tanpa keterangan dari saksi dimaksud, hakim ketua dapat meminta bantuan polisi untuk
membawa saksi ke persidangan.
12. Biaya untuk mendatangkan saksi ke persidangan yang diminta oleh pihak yang
bersangkutan menjadi beban dari pihak yang meminta.
13. Saksi dipanggil ke persidangan seorang demi seorang.
14. Hakim ketua menanyakan kepada saksi nama lengkap, tempat laihr, umur dan tanggal
lahir, jenis kelamin, kewarganegaraan, tempat tinggal, agama, pekerjaan, derajat
hubungan keluarga, dan hubungan kerja dengan pemohon banding atau penggugat atay
dengan terbanding/tergugat.
15. Sebelum memberikan keterangan, saksi-saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji
menurut agama dan keperacyaannya.

Pemeriksaan dengan Acara Cepat

Acara cepat adalah percepatan dari jalannya proses pemeriksaan dan pemutusan pokok sengketa.
Dengan mempersingkat tenggang-tenggang dan menyederhanakan unsur-unsur yang terdapat
dalam acara biasa. Penggugat dapat mengajukan permohonan agar dilakukan pemeriksaan
dengan acara cepat dengan dasar adanya kepentingan Penggugat yang sangat mendesak atau
adanya kegentingan yang memaksa.
Ketentuan :

1. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan oleh majelis atau hakim tunggal.
2. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan terhadap :
a. Sengketa pajak tertentu;
b. Gugatan yang tidak diputuskan dalam jangka waktu enam (6) bulan sejak gugatan
diterima;
c. tidak dipenuhi salah satunya dalam putusan pengadilan pajak atau kesalahan tertulis
dan/atau kesalahan hitung;
d. sengketa yang berdasarkan pertimbanagan hukum bukan merupakan wewenang
pengadilan pajak.
3. Sengketa pajak tertentu adalah sengketa pajak banding atau gugatannya tidak memenuhi
ketentuan yang berlaku.
4. Pemeriksaan dengan acara yang cepat terhadap sengketa pajak dilakukan tanpa surat
uraian banding atau surat tanggapan dan tanpa surat bantahan.
5. Semua ketentuan mengenai pemeriksaan dengan acara biasa berlaku juga untuk
pemeriksaan dengan acara cepat.

Pembuktian
Pembuktian di pengadilan pajak dapat berupa :

1. Alat bukti dapat berupa :


a. Surat atau tulisan;
b. Keterangan ahli
c. Keterangan para saksi
d. Pengakuan para pihak
e. Pengetahuan hakim.
2. Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
3. Surat atau tulisan sebagai alat bukti terdiri atas :
a. Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapkan seorang pejabat umum,
yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan
maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa
hukum yang tercantum didalamnya;
b. Akta dibawah tangan; yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak
yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang
peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;
c. Surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang;
d. Surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a,b, dan c yang ada kaitannya
dengan banding atau gugatan.
4. Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam
persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalamannya dan pengetahuannya.
5. Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi tidak boleh memberikan keterangan
ahli.
6. Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya, hakim
ketua atau hakim tunggal dapat menunjuk seorang atau beberapa ahli.
7. Seorang ahli dalam persidangan harus memberikan keterangan, baik tertulis maupun
lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal sebenarnya menurut
pengalaman dan pengetahuannya.

Putusan
Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan
terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang

Hal-hal yang perlu diketahui berkaitan dengan putusan adalah :

1. Putusan pengadilan pajak dapat berupa :


a. Menolak;
b. Mengabulkan Sebagian atau seluruhnya;
c. Menambah pajak yang harus dibayar;
d. Tidak dapat diterima;
e. Membetulkan kesalahan tulisan dan/atau kesalahan hitung dan/atau;
f. Membatalkan
2. Putusan pengadilan pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum
tetap.
3. Putusan pengadilan pajak harus memuat :
a. Kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
b. Nama, tempat tinggal atau tempat kediaman, dan/atau identitas lainnya dari pemohon
banding atau penggugat;
c. Nama jabatan dan alamat terbanding atau tergugat;
d. Hari, tanggal diterimanya banding atau gugatan;
e. Ringkasan banding atau gugatan, dan ringkasan surat uraian banding atau surat
tanggapan, atau surat bantahan yang jelas;
f. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam
persidangan selama sengketa itu diperiksa;
g. Pokok sengketa;
h. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
i. Amar putusan tentang sengketa;
j. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera dan keterangan
tentang hadir atau tidaknya para pihak.

Reformasi Pajak

Latar Belakang Reformasi Pajak

Reformasi pajak dapat diibaratkan seperti mainan lego. Mainan lego yang berantakan perlu
disusun kembali agar menjadi sesuatu yang lebih kokoh dan teratur. Tax reform atau
reformasi pajak merupakan upaya dari pemerintah dengan melakukan perbaikan atau
perubahan pada sistem pajak secara signifikan yang mencakup pembenahan administrasi
perpajakan, perbaikan regulasi perpajakan, dan peningkatan basis pajak.

Sebagai suatu penopang utama penerimaan negara, maka pajak perlu memiliki sistem yang
adil, sehat, dan efisien. Oleh karena itu, pemerintah terus merumuskan reformasi perpajakan
agar sistem tersebut lebih efisien dan efektif sesuai dengan masanya.

Awal mula adanya reformasi pajak di tahun 1983 dikarenakan pemerintah menganggap
bahwa aturan perpajakan yang berlaku saat itu dan sebelumnya merupakan peninggalan dari
Belanda dan sudah tidak sesuai dengan zamannya, struktur dan organisasi pemerintah
Indonesia yang notabene berdasar kepada Pancasila serta perkembangan ekonomi di
Indonesia.

Tujuan Reformasi Pajak

Menurut Bapak Radius Prawiro selaku Menteri Keuangan RI, tujuan utama adanya reformasi
pajak adalah untuk lebih menegakkan kemandirian dalam membiayai pembangunan nasional
dengan jalan yang lebih mengarahkan segenap potensi dan kemampuan dari dalam negeri.
Reformasi pajak dilakukan guna meningkatkan penerimaan negara. Namun tidak hanya
penyempurnaan dari segi sistemnya saja, melainkan juga penyempurnaan terhadap aparatur
perpajakan dengan adanya komputerisasi dan peningkatan mutu.

Reformasi Pajak 1983

Sejarah mencatat penyempurnaan sistem perpajakan di Indonesia sudah mulai dirintis oleh
Menteri Keuangan Ali Wardhana sejak awal masa jabatannya sekitar tahun 1978. Pada tahun
1983, beliau berhasil merampungkan suatu sistem perpajakan baru yang lebih sederhana dan
lebih memperhatikan peran serta masyarakat. Tiga RUU bidang perpajakan yang berhasil
dirumuskan saat itu antara lain RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP),
RUU Pajak Penghasilan (PPh), dan RUU Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sejak tahun 1983, sistem pemungutan di Indonesia menjadi self assessment dimana Wajib
Pajak menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri ke KPP. Adapun pembaruan
pajak tersebut telah efektif dilakukan sejak 1 Januari 1984 bersamaan dengan dikeluarkannya
undang-undang berikut.

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah
4. Undang-Undang Nomor 12 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
5. Undang-Undang Nomor 13 tentang Bea Materai

Reformasi Pajak 1994

Reformasi perpajakan terus dilakukan demi penyempurnaan sesuai dengan perubahan dalam
sistem perekonomian. Pada tahun 1991, perubahan pertama dilakukan terhadap Pajak
Penghasilan. Pada tahun 1994, setelah satu dasawarsa peraturan pajak dilaksanakan diadakan
lagi serangkaian perubahan terhadap peraturan perpajakan dengan undang-undang yang
dikeluarkan sebagai berikut.

1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983


tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
12 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

Reformasi Pajak 1997

Pada tahun 1997, dikeluarkan lagi serangkaian undang-undang berikut demi melengkapi
undang-undang yang telah ada sebelumnya.

1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak


2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan

Reformasi Pajak 2000


Seiring dengan perkembangan ekonomi dan sosial, di tahun 2000 pemerintah kembali
melakukan reformasi pajak dengan mengeluarkan serangkaian undang-undang dalam rangka
mengubah undang-undang yang telah ada sebelumnya.

1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang


Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1984 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah
4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan
6. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Untuk lebih memberikan kedilan dan kepastian hukum, pemerintah mengeluarkan Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. UU tersebut menggantikan Undang-
Undang Nomor 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang selama ini
dirasakan kurang berpihak pada Wajib Pajak.

Setelah sekian lama, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007


tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan. Adanya UU ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum
kepada Wajib Pajak.

Di tahun 2008, ada perubahan undang-undang terkait Pajak Penghasilan menjadi Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 serta Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah menjadi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.

Selanjutnya di tahun 2009, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun


2009 tentang Perubahan Kedua atas Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan maksud dan
tujuan sebagai upaya peningkatan keadilan beban pajak, penghapusan fasilitas pajak yang tidak
memiliki landasan hukum yang akan merugikan perekonomian nasional dan menutup peluang-
peluang penghindaran pajak.
UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Pada tanggal 7 Oktober 2021 dalam Sidang Paripurna DPR RI mengesahkan Undang-Undang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan sebagai bagian dari reformasi pajak. Secara garis besar, UU
HPP berisikan tentang pengaturan kembali terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kebijakan
aturan tarif Pajak Penghasilan (PPh), penerapan implementasi pajak karbon, aturan mekanisme
penambahan atau pengurangan jenis barang kena cukai, tentang aturan program pengungkapan
sukarela wajib pajak (tax amnesty), dan ketentuan penghapusan terkait sanksi pidana perpajakan,
integrasi Nomor Induk Kependudukan sekaligus Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk
wajib pajak orang pribadi.

UU HPP mencerminkan seberapa besar komitmen pemerintah dalam melakukan perbaikan


terhadap kebijakan fiskal secara menyeluruh. Dari sisi administrasi, UU HPP menutup segala
kemungkinan celah aturan yang masih ada dan beradaptasi terkait perkembangan baru aktivitas
bisnis, terutama pada bisnis berbasis digital. sedangkan dari sisi kebijakan, UU HPp akan
memperkuat aspek keadilan mengenai beban pajak yang harus ditanggung wajib pajak, serta
keberpihakan untuk mendukung sektor UMKM yang merupakan pelaku utama ekonomi
nasional.

Dari sisi Pajak Penghasilan, basis keadilan dan keberpihakan dalam UU HPP tercermin pada
hal-hal berikut:

(i) Dukungan penguatan UMKM dengan memberikan batasan peredaran bruto usaha tidak
kena pajak sebesar Rp500 juta dan tetap mempertahankan diskon PPh sebesar 50%.
(ii) Perbaikan progesivitas PPh Orang Pribadi dengan melebarkan rentang penghasilan kena
pajak s.d. Rp60 juta untuk lapisan tarif PPh Orang Pribadi terendah 5% dari yang
sebelumnya hanya s.d. Rp50 juta, dan menambah satu lapisan tarif PPh Orang tertinggi
35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar per tahun.
(iii) Perluasan basis pajak dengan menerapkan pajak atas natura (fringe benefit).
(iv) Mempertahankan tarif PPh badan mulai tahun pajak 2022 sebesar 22%.

Sedangkan dari sisi Pajak Pertambahan Nilai, basis keadilan dan keberpihakan dalam UU
HPP tercermin pada hal-hal berikut:

(i) Melindungi masyarakat kecil dengan adanya fasilitas pembebasan PPN terhadap barang
kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial, dan lainnya.
(ii) Memberikan kemudahan dan dukungan pada pengusaha kecil dalam melakukan
kewajiban PPN dengan memperkenalkan tarif final untuk Pengusaha Kena Pajak dengan
peredaran usaha tertentu, jenis barang/jasa tertentu, dan/atau sektor tertentu.

UU HPP juga mendorong peningkatan kepatuhan dengan strategi reformasi administrasi


perpajakan dengan memperkuat sistem pengawasan dan pemungutan pajak serta memberikan
kepastian hukum. Hal ini dilakukan dengan penggunaan NIK sebagai NPWP OP, penyesuaian
persyaratan bagi kuasa Wajib Pajak, penunjukan pihak lain sebagai pemotong/pemungut pajak,
meningkatkan kerja sama penagihan pajak antarnegara, dan pengaturan pelaksanaan persetujuan
bersama.

Anda mungkin juga menyukai