PENDAHULUAN
1.1 Background
Adanya kewajiban bagi masyarakat untuk membayar pajak terkadang tidak berbanding
lurus dengan tingkat kesadaran wajib pajak dalam mematuhi ketentuan tersebut. Keterbatasan
pemerintah melalui aparat penagih pajaknya juga mengakibatkan munculnya masalah
persengketaan di bidang perpajakan.
Masalah sengketa pajak ini dari masa ke masa ditanggapi oleh pemerintah yang berkuasa
dengan jalan lembaga penyelesaian sengketa pajak. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, di
negara ini telah ada pengadilan pajak yang dibentuk dengan Ordonansi 1915 (Staatsblad Nomor
707) dengan nama Raad van het Beroep voor Belastingzaken (Badan Banding Administrasi
Pajak), yang kemudian diganti dengan Ordonansi 27 Januari 1927, Staatsblad 1927 Nomor 29
tentang Peraturan Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling van het Beroep in Belastingzaken).
Selanjutnya badan yang mengurusi pajak tersebut diubah sesuai dengan peraturan yang dibuat.
Pada paper ini akan dibahas penyelesaian melalui Direktorat Jendral Pajak, penyelesaian melalui
Pengadilan Pajak dan kontroversi penyelesaian melalui PTUN.
1.2 Problems
1. Bagaimana penyelesaian sengketa pajak melalui Direktorat Jendral Pajak
2. Bagaimana penyelesaian sengketa pajak melalui Pengadilan Pajak
3. Bagaimana kontroversi yang terjadi akibat penyelesaian melalui PTUN
1.3 Goals
1. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa pajak melalui Direktorat Jendral
Pajak
2. Untuk mengetahui Bagaimana penyelesaian sengketa pajak melalui Pengadilan Pajak
3. Untuk mengetahui Bagaimana kontroversi yang terjadi akibat penyelesaian melalui
PTUN
1.4 Benefits
To help the student know about sengketa pajak dan penyelesaiannya.
CHAPTER II
CONTENT
Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), maka akan
diterbitkan suatu Surat Ketetapan Pajak (SKP), yang dapat mengakibatkan pajak terutang
menjadi kurang bayar, lebih bayar, atau nihil. Jika Wajib Pajak (WP) tidak sependapat, maka
timbullah sengketa pajak. Penyelesaian sengketa pajak di tahap paling awal adalah pengajuan
permohonan keberatan atas surat ketetapan tersebut. Selanjutya apabila belum puas dengan
keputusan keberatan tersebut maka WP dapat mengajukan banding. Langkah terakhir yang dapat
dilakukan oleh WP dalam sengketa pajak adalah peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Penetapan pajak dilakukan oleh DJP melalui proses pemeriksaan , penelitian, maupun
verifikasi. Jenis-jenis ketetapan pajak yang diterbitkan adalah: Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Di samping itu dapat
diterbitkan pula Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal dikenakannya sanksi administrasi yang
dapat berupa denda, bunga, serta kenaikan.
Apabila WP ingin mengajukan keberatan atas suatu ketetapan pajak harus diajukannya
secara tertulis kepada DJP paling lambat 3 bulan sejak tanggal dikirimkannya SKP atau sejak
tanggal pemotongan atau pemungutan kecuali jika WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Atas keberatan tersebut, DJP
akan memberikan keputusan paling lama dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat
keberatan diterima.
Ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi dalam pengajuan keberatan. Pertama,
mengajukan surat permohonan keberatan yang telah ditandatangani oleh WP kepada Direktur
Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat atas SKPKB, SKPKBT,
SKPLB, SKPN, dan Pemotongan dan Pemungutan oleh pihak ketiga.
Terakhir, keempat, dalam hal WP mengajukan keberatan atas SKP, maka WP wajib
melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui oleh WP
dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
Jika kemudian, WP masih belum puas dengan Surat Keputusan Keberatan atas keberatan
yang diajukannya, maka WP masih dapat mengajukan banding ke pengadilan pajak. Permohonan
banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak
keputusan diterima dilampiri surat Keputusan Keberatan tersebut. Terhadap 1 (satu) Keputusan
diajukan 1 (satu) Surat Banding. Pengadilan Pajak harus menetapkan putusan paling lambat 12
(dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima.
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, maka WP dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan
Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan
keberatan.
Selanjutnya jika WP masih juga tidak puas dengan Putusan Banding, maka WP masih
memiliki hak mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung. Permohonan PK
hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak.
Permohonan PK harus diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan
terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim
Pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap atau ditemukannya bukti tertulis baru atau
sejak putusan banding dikirim. Kemudian terakhir, Mahkamah Agung harus mengambil
keputusan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonan PK diterima.
Dengan demikan jelaslah bahwa sudah ada kepastian hukum yang menjamin hak-hak WP jika
ingin mengajukan keberatan, banding, dan/atau PK atas SKP yang diterbitkan oleh DJP.