Anda di halaman 1dari 15

BAB 16

PROSES PERADILAN PAJAK


A. Pengertian
Peradilan (rechtspraak, judiciary) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
tugas negara menegakkan hukum dan keadilan. Sedangkan Pengadilan Pajak adalah badan
peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak/penanggung Pajak yang
mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak (Undang-Undang PP 14 Tahun 2002).
Peradilan Administrasi adalah suatu peradilan administrasi yang harus memenuhi
beberapa syarat yang menyerupai peradilan yang dilakukan oleh pengadilan, yakni:
a. Syarat Umum (sebagai suatu instansi peradilan umum), terdiri dari:
• Adanya suatu aturan yang harus ditaati, baik aturan hukum tertulis maupun tidak tertulis
• Adanya suatu perselisihan hukum yang konkret
• Ada sekurang-kuraangnya dua pihak yang berlawanan
• Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang dalam memutuskan perselisihan,
aparatur yang mengadakan peradilan adalah badan peradilan seperti Pengadilan Negeri,
Tinggi, dan Mahkamah Agung

b. Syarat Khusus (sebagai suatu instansi peradilan administrasi dalam bidang pajak)
• Salah satu pihak merupakan bagian dari administrasi negara, dalam hal ini DJP
• Hukum yang diterapkan harus bersifat “hukum publik” termasuk hukum administrasi
negara.

Dengan demikian, peradilan administrasi perpajakan merupakan upaya hukum dalam


rangka mencari keadilan yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk mendapatkan penyelesaian
perselisihan soal pajak.
Peradilan Administrasi Pajak dibagi menjadi dua jenis peradilan, yaitu :
1. Peradilan Administrasi Murni
Menurut Soemitro, hanya Majelis Pertimbangan Pajak (saat ini sesuai UU PP 14 Tahun
2002 disebut Pengadilan pajak) sajalah yang memenuhi persyaratan untuk dapat dimasukkan
ke dalam kategori peradilan administrasi murni dalam bidang pajak (Soemitro, 1970:50-51).
Ciri khas dari administrasi murni adalah adanya suatu hubungan segitiga antara para pihak dan
badan/pejabat yang mengadili. Peradilan melibatkan 3 pihak, yaitu Wajib Pajak, fiskus dan
hakim yang mengadili. Contohnya dapat dilihat dalam pengajuan banding ke Pengadilan Pajak
yang diatur dalam pasal 27 UU No.6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU
No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dab Pengadilan Pajak
berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002 sebagai kelanjutan dari Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak sebagaimana dimaksud dalam UU No.17 Tahun 1997.

2. Peradilan Administrasi Tidak Murni


Semua peradilan yang tidak sepenuhnya memenuhi syarat-syarat dalam peradilan
administrasi murni. peradilan administrasi tidak murni melibatkan 2 pihak yang bersengketa
(Wajib Pajak dan Fiskus). Disini fiskus bertindak sebagai pihak yang bersengketa sekaligus
menjadi pihak yang mengambil keputusan (hakim dolenasi) dalam perselisihan yang ada.
Contohnya dapat dilihat dalam pengajuan keberatan (doleansi) yang diatur dalam Pasal
25-26 UU No.6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007.
Wajib Pajak mengajukan keberatan karena adanya perselisihan berdasarkan tidak
adanya persetujuan WP terhadap besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan
pajak. Penyikapan fiskus atas kejadian tersebut dengan memperhatikan adanya 2 hal, yakni :
a. Terhadap Surat Keberatan yang masuk harus diambil keputusan
b. Pihak yang mengambil keputusan adalah aparatur pajak (Dirjen Pajak/Kepala
daerah dalam hal ini Kantor Dinas Pendapatan Daerah, sesuai kewenangan masing-
masing) yang disebut sebagai hakim doleansi.

B. Susunan Pengadilan Pajak


1. Pimpinan, terdiri atas seorang ketua dan paling banyak lima orang wakil ketua.
2. Hakim, diangkat oleh presiden dari daftar nama calon yang diusulkan Menteri
keuangan setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
3. Sekretaris, memimpin sekretariat yang mempunyai tugas pelayanan di bidang
administrasi umum dan dibantu seorang wakil sekretaris. Administrasi umum yang
dimaksud berkenaan dengan penyelenggaraan sehari-hari perkantoran
(kepegawaian, keuangan, peralatan, atau perlengkapan).

C. Pemeriksaan Sengketa Pajak


Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus
Sengketa Pajak. Pengadilan dalam Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus
sengketa atas kepurusan keberatan kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pengadilan Pajak dalam hal gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas
pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau, keputusan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No.16 Tahun
2009 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D. Keberatan
Keberatan adalah tindakan yang ditempuh oleh Wajib Pajak jika merasa tidak/kurang
puas atas suatu tetapan pajak yang dikenakan padanya atau aats pemotongan/pemungutan oleh
pihak ketiga, dengan cara menyampaikan surat keberatan hanya kepada DJP.
Surat keputusan keberatan adalah surat keputusan atas keberatan (yang dikeluarkan
oleh Dirjen Pajak) terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan/pemungutan oleh
pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Penyampaian Surat Keberatan


Diajukan WP dengan menyampaikan surat keberatan hanya kepad DJP atas suatu:
➢ Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
➢ Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
➢ Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
➢ Surat Ketetapan Pajak Nihil; atau
➢ Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.

Cara penyampaian :
➢ Penyampaian secara langsung (melalui Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi
Perpajakan/ Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan dalam wilayah kerja
Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar dan/atau Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
➢ Pos dengan bukti pengiriman surat; atau
➢ Melalui perusahaan ekspedisi/jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
➢ E-filling melalui ASF.

Pihak yang dapat mengajukan keberatan:


➢ Bagi WP Badan oleh pengurus
➢ Bagi WP Orang Pribadi oleh WP yang bersangkutan
➢ Pihak yang dipotong/dipungut oleh pihak ketiga
➢ Kuasa yang ditunjuk oleh mereka pada Nomor 1-3 diatas dengan surat kuasa khusus
untuk pengajuan keberatan.

Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan melampirkan jumlah
pajak terutang, dipotong/diungut, atau jumlah rugi menurut perhitungan WP disertai dengan
alasan yang menjadi dasar perhitungan. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan
sejak tanggal dikirim SKP/sejak tanggal pemotongan/pemungutan pajak kecuali apabila WP
menunjukkan bahwa jangka waktu tidak dapat dipenuhi karena keadaan tertentu.
Dirjen pajak harus memberikan keputusan atas surat keberatan paling lambat 12 bulan
sejak diterima surat keberatan WP.
WP yang tidak memenuhi persyaratan akan dikirimkan jawaban tertulis dengan surat
biasa (bukan surat keputusan penolakan) paling lambat 1 bulan sejak waktu pengajuan
keberatan berakhir.
Keputusan keberatan daapt diterima sepenuhnya, setengah, ditolak dan menambah
jumlah pajak. Apabila WP belum puas dengan keputusaan yang diberikan atas keberatan maka
WP dapat mengajukan banding.

E. Banding
Pengertian
• Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh WP terhadap suatu keputusan yang dapat
diajukan banding berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
• Putusan banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
• Keputusan yang dimaksudkan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan
yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang (Dirjen Pajak, Dirjen Bea & Cukai, Gubernur,
Bupati/Walikota, atau pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan peraturan perundang-
undangan perpajakan) berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan
dalam rangka pelaksanaan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Tata Cara Pengajuan Banding


• Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan
pajak atas Surat Keputusan Keberatan.
• Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan
peradilan tata usaha negara.
• Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas
paling 3 bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan Salinan
Surat Keputusan Keberatan tersebut.
• Terhadap satu keputusan diajukan satu Surat Banding
• Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding,
DJP wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar Surat
Keputusan Keberatan yang diterbitkan.
• Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah
pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan
satu bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Ketentuan ini mengatur bahwa:
✓ Bagi WP yang mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak yang
diajukan banding tertangguh sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan
Putusan Banding
✓ Penagguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% per bulan tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang
belum dibayar saat pengajuan keberatan
✓ Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding
belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding
diterbitkan (Pasal 27 ayat 5a UU KUP).

Pengajuan Banding dan Permasalahannya

Hal-hal yang mendapat perhatian dalam pengajuan banding serta permasalahannya


meliputi :

• Banding dapat diajukan oleh WP, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa
hukumnya.
• Terhadap 1 keputusan diajukan 1 surat banding
• Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas dan dicantumkan tanggal
diterima surat keputusan yang disbanding.
• Pada surat banding dilampiri salinan keputusan yang dibanding termasuk foto copy atau
lembaran lainnya.
• Setelah persyaratan bahwa banding diajukan dalam bahasa Indonesia dan syarat butir
2,3 dan 4 terpenuhi, tetapi dalam hal banding diajukannya terhadap besarnya jumlah
pajak terutang, maka banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang
dimaksud telah dibayar 50%.
• Dapat terjadi dalam proses banding, ternyata pemohon banding meninggal dunia, maka
banding dapat diajukan oleh ahli warisnya, atau pengampunnya dalam hal pemohon
banding pailit.
• Selama proses banding, pemohon banding melakukan penggabungan, peleburan,
pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan banding dapat dilanjutkan
oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena hal-hal tersebut.
• Pemohon banding dapat melengkapi surat bandingnya untuk memenuhi ketentuan yang
berlaku sepanjang masih memenuhi syarat sebagai berikut:
o Banding diajukan dengan surat banding dalam bahasa Indonesia kepada
pengadilan pajak
o Terhadap 1 keputusan diajukan 1 surat banding.

Kemudian dalam 2 bulan disusul dengan surat/dokumen sehingga banding dimaksud


sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka tanggal penerimaan surat banding adalah
tanggal diterima surat atau dokumen susulan dimaksud.

Pencabutan Banding

Banding yang telah dicabut dihapus dari daftar sengketa dengan:

• Penetapan ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum siding
dilaksanakan
• Keputusan majelis melalui pemeriksaan dalam hal suarat pernyataan pencabutan
diajukan dalam sidang atas persetujuan terbanding.

Banding yang telah dicabut melalui penetapan/putusan di atas tidak dapat diajukan
banding kembali.

F. Gugatan
Upaya hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak terhadap
pelaksanaan penagihan pajak/terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Berikut adalah objek gugatan:
• Pelaksanaan penagihan Pajak
• Terhadap keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku, antara lain :
o Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU No.28
Tahun 2007 yang berakitan dengan Surat Tagihan Pajak
o Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 UU No. 28 Tahun 2007 yang
berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak

Jangka waktu untuk mengajukan gugatan adalah 14 hari sejak tanggal pelaksanaan
penagihan dan jangka waktu untuk keputusan selain gugatan adalah 30 hari sejak tanggal
diterimanya keputusan yang digugat.

Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa
hukumnya yang disertai dengan alasan-alasan yang jelas.

Terhadap gugatan dapat diajukan surat pernyataan pencabutan pada pengadilan pajak.
Gugatan yang dicabut dihapus dari daftar sengketa dengan:

o Penetapan ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum


sidang dilaksanakan
o Keputusan majelis melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan pencabutan
diajukan dalam sidang atas persetujuan tergugat.

Gugat yang telah dicabut tidak dapat diajukan kembali.

Gugat tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak atau


kewajiban perpajakan. Penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut
pelaksanaan penagihan pajak ditunda selama pemeriksaan sengketa pajak sedang berjalan,
sampai ada putusan pengadilan pajak. Permohonan penundaan dapat dikabulkan hanya apabila
keadaan sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan ketika
pelaksanaan penagihan pajak yang digugat itu dilaksanakan.

G. Pemeriksaan Dalam Persidangan


Dikenal dua macam pemeriksaan yang dilakukan Hakim Pengadilan Pajak terhadap
sengketa Banding maupun Gugatan, yakni :
• Pemeriksaan dengan Acara Biasa, dilakukan oleh majelis
• Pemeriksaan dengan Acara Cepat dilakukan oleh majelis atau hakim tunggal.
Pelaksanaan sidang Pengadilan Pajak oleh Majelis/Hakim Tunggal sudah mulai
bersidang dalam jangka waktu 6 bulan sejak diterimanya Surat Banding. Dalam hal gugatan,
Majelis/Hakim mulai sidang dalam jangka waktu 3 bulan sejak diterima Surat Gugatan.

Pemeriksaaan Dengan Acara Biasa


Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, majelis melakikan pemeriksaan
mengenai kelengkapan dan atau kejelasan banding/gugatan, yang meliputi:
o Banding diajukan dengan surat banding dalam bahasa Indonesia
o Terhadap satu putusan diajukan satu surat banding
o Gugatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada perngadilan
pajak
o Terhadap satu pelaksanaan penagihan/satu keputusan diajukan 1 surat gugatan.

Pengertian kelengkapan dimaksud antara lain fotokopi putusan yang dibanding atau
digugat.

Pemeriksaan Dengan Acara Cepat

Dilakukan terhadap:

o Sengketa pajak tertentu (Sengketa Pajak yang Banding atau Gugatannya tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 37 ayat (1), Pasal 40 ayat (1) dan/atau
ayat (6).
o Dilakukan tanpa surat uraian banding/surat tanggapan & tanpa surat bantahan.

H. Pembuktian
Alat bukti dapat berupa:
1. Surat atau tulisan (akta autentik, akta di bawah tangan, surat keputusan/ketetapan
yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang, dan surat-surat lain yang ada
kaitannya dengan banding atau gugatan)
2. Keterangan ahli (Pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam
persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya)
3. Keterangan para saksi (apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami,
dilihat, atau didengar sendiri oleh saksi.
4. Pengakuan paraa pihak (tidak dapat ditarik kembali kecuali ada alasan kuat yang
dapat diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal.
5. Pengetahuan Hakim (hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya Hakim
menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian dan penilaian
pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan +-2 alat bukti)

I. Putusan Pengadilan Pajak


Putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Pengadilan pajak juga dapat
mengeluarkan putusan sela atas gugatan berkenaan dengan permohonan penggugat agar tidak
lanjut pelaksanaan penagihan pajak ditunda selama pemeriksaan sengketa pajak sedang
berjalan sampai terdapat putusan pengadilan pajak.
Putusan pengadilan pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian dan
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan serta berdasarkan
keyakinan hakim. Putusan pengadilan pajak tersebut diambil berdasarkan musyawarah yang
dipimpim oleh ketua hakim dan apabila dalam musyawarah tidak dicapai kesepakatan maka
putusan diambil dengan suara terbanyak. Putusan pengadilan pajak dapat berupa, menolak,
mengabulkan sebagian/seluruhnya, menambah pajak yang harus dibayar, tidak dapat diterima,
membetulkan kesalahan teknis/kesalahan hitung, dan membatalkan.
Sebagai putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka keputusan
pengadilan pajak tidak dapat diajukan gugatan ke pengadilan umum, tata usaha negara, atau
badan peradilan lain, kecuali putusan berupa “tidak daapt diterima” yang menyangkut
kewenangan/kompetensi.

Jangka Waktu Pengambilan Putusan Pemeriksaan


1. Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas banding diambil dalam jangka waktu 12
bulan sejak surat banding diterima. Dalam hal khusus, jangka waktu tersebut diperpanjang
paling lama 3 bulan.
2. Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas gugatan yang diambil dalam jangka waktu
6 bulan sejak suarat gugatan diterima. Dalam hal khusus, jangka waktu dimaksud diperpanjang
paling lama 3 bulan.
3. Dalam hal gugatan yang diajukan selain atas keputusan pelaksanaan penagihan pajak,
tidak diputus dalam jangka waktu 6 bulan. Pengadilan pajak wajib mengambil putusan melalui
pemeriksaan dengan acara cepat dalam jangka waktu 1 bulan sejak jangka waktu 6 bulan
dimaksud dilampaui.
Putusan pemeriksaan dengan cara cepat terhadap sengketa pajak tertentu dinyatakan
tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu sebagai berikut:
1. 30 hari sejak batas waktu pengajuan banding atau gugatan dilampaui
2. 30 hari sejak banding atau gugatan diterima, dalam hal diajukan setelah batas waktu
pengajuan dilampaui.

Sedangkan putusan/penetapan dengan acara cepat lainnya diambil apabila:


1. Putusan/penetapan dengan acara cepat terhadap kekeliruan Putusan Pengadilan (Pasal
84 ayat 1), membetulkan kesalahan tulis/hitung, diambil dalam jangka waktu 30 hari sejak
kekeliruan dimaksud diketahui atau sejak permohonan salah satu pihak diterima.
2. Putusan dengan acara cepat terhadap sengketa yang didasarkan pertimbangan hukum
bukan merupakan wewenang pengadilan pajak berupa tidak dapat diterima, diambil dalam
jangka waktu 30 hari sejak surat banding/gugatan diterima.
3. Dalam putusan pengadilan pajak diambil terhadap sengketa pajak pada Nomor 2
pemohon banding atau penggugat dapat mengajukan gugatan kepada peradilan yang
berwenang.

Pelaksanaan Putusan
Putusan Pengadilan Pajak ini langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan
lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali putusan perundang-undangan mengatur
lainnya.
Putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian atau seluruh banding, kelebihan
pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar dua persen sebulan
untuk paling lama 24 bulan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
Dalam pelaksanaannya salinan putusan atau salinan penetapan pengadilan pajak
dikirim kepada para pihak dengan surat oleh sekretaris dalam jangka waktu 30 hari sejak
tanggal putusan pengadilan pajak diucapkan atau dalam jangka waktu 7 hari sejak tanggal
putusan selanjutnya diucapkan. Putusan pengadilan pajak harus dilaksanakan oleh pejabat yang
berwenang dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal diterima putusan.

Peninjauan Kembali
1. Alasan-alasan peninjauan kembali
• Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak
lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti kemudian oleh hakim
pidana dinyatakan palsu;
• Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila
diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan pajak akan menghasilkan keputusan berbeda;
• Apabila telah dikabulkan suatu hal yang dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali
yang diputus berdasarkan Putusan PP yakni mengabulkan sebagian atau seluruhnya; dan Putusan PP
berupa menambah Pajak yang harus dibayar;
• Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-
sebabnya
• Apabila terdapat suatu putusan yang nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan UU yang
berlaku.

2. Jangka Waktu Peninjauan Kembali


• Pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam jangka waktu paling
lambat 3 bulan terhitung sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan
Hakim pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap.
• Pengajuan permohonan peninjauan kembali terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti
yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh
pejabat berwenang.
• Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan pada butir 3-5 di atas
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan sejak putusan dikirim.
BAB 17
KEADILAN DALAM PERPAJAKAN
Sebagai instrumen pajak, keadilan (equity) dan pemerataan (equality) adalah sepasang
perangkat yang senantiasa setia mengawal masyarakat agar tidak dirugikan oleh pelaksana
hukum atau aturan yang dibuat secara yang semena-mena oleh penguasa.
Secara universal, tujuan hukum pajak bertujuan menciptakan keadilan dalam pungutan
pajak, dan siapa pun yang berada dalam lingkup penegakan hukum (law enforcement) tersebut
asas ini harus dipegang teguh baik dalam prinsip perundang-undangan maupun praktiknya
sehari-hari. Keadilan tersebut memang tidak eksak, melainkan bersifat subjektif dan relatif,
sehingga ketika terjadi sesuatu permasalah dibidang perpajakan yang menonjolkan keadilan.
Sejarah membuktikan bahwa ketidakadilan dalam pemungutan pajak dapat menimbuikan
revolusi, seperi terjadi di Prancis dan Inggris. Ketika terjadi revolusi Prancis (1789-1799) yang
pada saat itu terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara rakyat miskin yang dibebani
berbagai macam pajak dengan kaum bangsawan yang dibebaskan dari segala macam pajak.
Rakyat miskin akhirnya memperoeh kemenangan dalam revolusi tersebut, dan setelah itu
diciptakanlah suatu asas perpajakan yakni pajak harus bersifat umum dan merata. Karena hanya
dengan Kedua asas/prinsip itulah pajak dapat menyentuh rasa keadilan masyarakat (Mansury
R,1994:25). Terlebih lagi negara Indonesia yang menganut ideologi Pancasila, dengan salah
satu silanya "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" maka landasan pemikiran dalam
setiap perumusan perundang-undangan perpajakan yang berbasiskan semboyan tersebut
seharusnya lebih implementatif dalam regulasi dan pelaksanaannya dan merupakan sendi
pokok yang seharusnya diperhatikan sebaik-baiknya dalam pemungutah pajak.

Menurut Adam Smith, prinsip yang paling utama dalam rangka pemungutan pajak adalah
keadilan dalam perpajakan yang dinyatakan dengan suatu pernyataan bahwa setiap warga
negara hendaknya berpartisipasi dalam pembiayaan pemerintah, yaitu dengan membandingkan
penghasilan yang diperolehnya dengan perlindungan yang dinikmatinya dari negara. Asas
keadilan yang disebut Adam Smith sebagai "the equity principle" yaitu pemungutan pajak
harus dibebankan secara adil.

Pajak dipungut dari masyarakat berdasarkan kemampuan membayar masing-masing


wajib pajak. Teori ini dikembangkan oleh Adolf Wagner, seorang ahli ekonomi berkebangsaan
Jerman yang mengemukakan bahwa pemungutan pajak yang adil adalah pemungutan pajak
yang diberlakukan secara umum kepada semua wajib pajak dan dibebankan kepada Setiap
wajib pajak yang mempunyai ability to pay secara merata, bahwa satu struktur tarif pajak
berlaku kepada Setiap wajib pajak yang mempunyai kemampuan membayar.

Dalam perpajakan Dikenal dua macam keadilan, yaitu:

1. Keadilan horizontal
Mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan pajak harus secara umum dan merata,
yang berarti Semua orang mempunyai kemampuan ekonomis atau yang dapat tambahan
kemampuan ekonomis yang sama harus dikenakan pajak yang sama.
2. Keadilan vertical
Pada hakikatnya nya yang berkenaan dengan kewajiban membayar pajak yang
kemampuan membayarnya tidak sama, yaitu semakin besar kemampuannya untuk
membayar pajak harus semakin besar tarif pajak yang dikenakan.

Dengan kata lain keadilan horizontal menyangkut pengertian penghasilan, sedangkan


keadilan vertikal menyangkut struktur tarif. Joseph Pechman dan Benyamin Okner
mengembangkan pengertian keadilan horizontal, sedangkan Harvey S.Rosen mengembangkan
pengertian keadilan vertikal. The concept of horizontal equity adalah mengenai beban pajak
atas orang-orang yang jumlah besar penghasilannya sama dan besarnya tanggungannya adalah
sama. Sedangkan mengenai keadilan vertikal menurut Harvey S.Rosen menuliskan "It is widely
agreed that tax system should have vertical equity: It should distribute burden fairly across
people with different abilities to pay".

Dari kedua Pengertian tersebut menurut Prof. Mansury bahwa pemungutan pajak adalah
adil, apabila orang-orang yang berada dalam keadaan ekonomi yang sama dikenakan pajak
yang sama, sedangkan orang-orang yang keadaan ekonominya tidak sama harus diperlakukan
tidak sama setara dengan tidak ketidaksamaan itu. (Mansury,R, 1996:9-10).

Keadilan horizontal menyaratkan, setiap tambahan kemampuan untuk menguasai barang


dan jasa, tanpa dibedakan dari manapun sumbernya harus dikenakan pajak yang sama.
Sedangkan keadilan vertikal menyaratkan adanya struktur tarif yang progresifnya seperti yang
terdapat pada pasal 17 UU PPh tahun 1984, yaitu semakin besar penghasilan neto seorang wajib
pajak, maka semakin besar pula tarif pajaknya. Salah satu sasaran dari pembaharuan sistem
perpajakan tahun 1984 adalah " keadilan dalam pembebanan pajak", baik keadilan horizontal
maupun vertikal, dan sistem pajak penghasilan yang paling adil adalah global taxation sistem
karena sistem ini menggunakan konsep-konsep sebagai sarana untuk mencapai baik keadilan
horizontal maupun vertikal. Global taxation system ini sepenuhnya menjadi sasaran dari
undang-undang pajak penghasilan tahun 1984 dan telah berjalan selama 3 tahun hingga kini,
walaupun dengan semakin banyaknya tarif PPh pasal 4 ayat 2 final menyebabkan sistem
tersebut telah berubah menjadi Global schedular taxation system.

Prof. Dr. Mansury mengemukakan syarat keadilan horizontal dan vertikal:


1. Syarat keadilan horizontal (Horizontal Equity)
a. Definisi Penghasilan: semua tambahan kemampuan ekonomis, yaitu semua tambahan
kemampuan untuk dapat menguasai barang dan jasa, dimasukkan dalam pengertian objek pajak
atau definisi penghasilan.
b. Globality: semua tambahan kemampuan itu merupakan ukuran dari keseluruhan
kemampuan membayar atau "the global ability to pay", oleh karena itu, harus dijumlahkan
menjadi satu sebagai objek pajak.
c. Net income: yang menjadi ability to pay adalah Jumlah netto setelah dikurangi semua
biaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (biaya 3M).
d. Personal Exemtion: untuk wajib pajak orang pribadi, suatu pengurangan untuk
memelihara diri wajib pajak harus diperkenankan. Dalam UU PPH kita disebut penghasilan
tidak kena pajak.
e. Equal treatment for the equals: jumlah seluruh penghasilan yang memenuhi definisi
penghasilan, apabila jumlahnya nama dikenakan pajak dengan tarif pajak yang sama, tanpa
membedakan jenis-jenis penghasilan atau Sumber penghasilan.

2. Syarat keadilan vertikal (Vertical Equity)


a. Unequal treatment for the unequals: yang membedakan besarnya tarif pajak adalah
jumlah seluruh penghasilan atau jumlah seluruh tambahan kemampuan ekonomis, bukan
karena perbedaan Sumber penghasilan atau perbedaan jenis penghasilan.
b. Progression: bila Jumlah penghasilan seorang wajib pajak lebih besar, dia harus
membayar pajak lebih besar dengan menerapkan tarif pajak yang presentasenya lebih besar.

Dalam teori tentang keadilan dalam pemungutan pajak ini diperkuat oleh Richard A.
Musgrave dan Peggy Musgrave dalam bukunya yang berjudul Public Finance in Theory and
Practice mengemukakan dua pendekatan yang merupakan dasar bagi fiskus untuk memungut
pajak, yakni Benefit Principle dan Ability to Pay Principle, sebagai berikut:

1. Benefit Principle (disebut juga Revenue dan Expenditure Approach)


2. Ability to Pay Principle
• Horizontal Equity
• Vertical Equity

Beberapa penekanan khusus dari kedua pendekatan tersebut di atas pendapat kita catatan
berikut ini:
a. Dalam suatu sistem perpajakan yang adil, bila ada pendekatan pertama, Setiap wajib
pajak harus membayar sejalan dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatan pemerintah,
sehingga jumlah pajak yang harus dibayar itu harus berbeda sesuai dengan jumlah pengeluaran
untuk melakukan kegiatan pemerintah, maka pada pendekatan kedua pajak dibebankan kepada
para wajib pajak berdasarkan kemampuan untuk membayar masing-masing.
b. Bila pada pendekatan kedua, dapat diterapkan secara umum untuk memungut pajak
yang diperlukan untuk membiayai semua kegiatan pemerintah, maka pada pendekatan pertama
pemungut pajak hanya dapat diterapkan untuk membiayai kegiatan pemerintah tertentu di
bidang public utilities.

Pendekatan benefit tidak dapat diterapkan:


1. Untuk jasa pertahanan keamanan serta kegiatan pemerintah lainnya yang manfaatnya
sulit ditentukan untuk wajib pajak orang per orang.
2. Untuk membiayai kegiatan pemerintah melakukan fungsi redistributif, yaitu pungutan
pajak kepada wajib pajak yang kaya yang fungsinya agar dapat didistribusikan atau
dialokasikan kembali cara tidak langsung kepada masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan orang miskin.

Anda mungkin juga menyukai