FUNGSI PAJAK
1. Fungsi Pajak Budgetair
Disebut dengan fungsi utama pajak / fiskal, yaitu suatu fungsi di mana pajak
dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan
UU yang berlaku.
Disebut sebagai fungsi utama karena fungsi inilah yang secara historis pertama kali
timbul, berdasarkan fungsi ini pemerintah memungut dana dari penduduknya untuk
membiayai berbagai kepentingan negara
Untuk menegakkan fungsi ini, pemerintah melakukan penyempurnaan regulasi
perpajakan dari berbagai jenis pajak, melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi dalam
pemungutan pajak hingga pengenaan sanksi perpajakan. Bagi Wajib Pajak yang tidak
memenuhi kewajiban perpajakannya menurut UU Perpajakan, maka akan diancam pengenaan
sanksi pidana.
Kontribusi Pajak terhadap penerimaan negara Indonesia sangat substantial dan sangat
signifikan. Sumber penerimaan negara dari sektor pajak lebih besar dibandingkan dengan
sumber penerimaan dari sektor-sektor lain yang terdapat dalam data pendapatan negara.
Kontribusi penerimaan pajak terhadap jumlah seluruh penerimaan negara berturut-turut
dari tahun 2007-2011 adalah sebesar 69,4% , 67,1 % , 73 %, 72,7 %, dan 72,2 % .
Ketergantungan pemerintah terhadap penerimaan pajak sebagai tulang punggung sumber
keuangan negara terbesar untuk pembiayaan APBN adalah sangat dominan. Pajak menjadi
primadona pembiayaan pembangunan nasional dan belum dapat digantikan. Ini dapat terlihat
jelas bila dibandingkan dengan penerimaan negara dari sumber-sumber keuangan negara
lainnya dalam kurun waktu 2007-2011 dengan rasio-rasio penerimaan sebagai berikut:
Dari sektor migas (minyak bumi dan gas bumi) sebagai sumber yang tidak dapat
diperbaharui hanya menduduki 17,6% , 21,6% , 14,8% , dan 16% dari jumlah seluruh
penerimaan negara dalam tahun yang bersangkutan;
Dari sektor nonmigas (pertambangan umum, kehutanan, perikanan, dan panas bumi)
hanya menduduki 1,1% , 1,3% , 1,6% , dan 1,7% dari jumlah seluruh penerimaan
negara dalam tahun yang bersangkutan
Rasio penerimaan yang dipaparkan diatas memberikan indikasi bahwa sebenarnya masih
besar potensi penerimaan yang belum ditemukan dari nonmigas khususnya dari sektor
pertambangan dan pajak yang dihasilkan daripadanya, yang menuntut tingkat kesadaran
Wajib Pajak yang lebih baik dan meningkat serta kepatuhan dan kepedulian dari pengusaha
pertambangan untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar, benar
perhitungan pajaknya (tidak direkayasa), dan benar penyetorannya ke kas negara serta benar
pelaporannya ke kantor pelayanan pajak.
Tax Amnesty
Dalam rangka melakukan optimalisasi penerimaan Negara dari sektor pajak dan
meningkatkan kesadaran Wajib Pajak, maka di tahun 2016 Pemerintah mengeluarkan
kebijakan perpajakan yang disebut dengan Tax Amnesty melalui Undang-Undang
Pengampunan Pajak No. 11 Tanggal 1 Juli 2016 yang berisi tentang kebijakan penghapusan
atas pajak terutang, sanksi administrasi, dan pidana perpajakan yang dilakykan dengan
membayar sejumlah uang tebusan sesuai tarif yang berlaku. Dengan demikian, Tax Amnesty
merupakan pengejawantahan dari fungsi budgetair untuk meningkatkan penerimaan negara
dan pertumbuhan perekonomian serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam
pelaksanaan kewajiban perpajakan.
A. Pendahuluan
Dari abad ke abad selalu timbul pertanyaan apa justifikasi (alasan yang menjadi dasar
pembenaran) negara mempunyai wewenang untuk membebani rakyat dengan pungutan pajak.
Sehingga semenjak abad ke-18 muncul berbagai teori yang dalam pembahasannya memberikan
justifikasi kepada negara memungut pajak dari rakyatnya, atau dengan kata lain teori-teori
pajak itu sebenarnya merupakan penvarian dalil untuk membenarkan hak negara mengambil
sebagian dari kekayaan yang ada ditangan individu atau badan dalam lingkungan kekuasaannya.
6. Teori Pembangunan
H.L. Bathia dalam buku Public Finance , a Contemporary Application of Theory and
Policy (Chicago: The Drayden Press, 1983) mengemukakan, bahwa pemungutan pajak
seharusnya juga berpegang pada Asas-Asas Pembangunan, menghilangkan perbedaan-
perbedaan kemajuan daerah-daerah, menghilangkan tekanan-tekanan inflasi, menghambat
konsumsi barang-barang mewah dan mendorong kegiatan produktif.
Prof. Safri Nurmantu (1994:62) mengemukakan, bahwa teori-teori yang disebutkan di
atas berusaha memberi justifikasi kepada pemerintah untuk memungut pajak. Untuk Indonesia
justifikasi yang paling tepat adalah pembangunan, pajak dipungut untuk pembangunan.
Karena dana yang dipungut berasal dari pajak dipergunakan untuk pembangunan yang
membuat rakyat menjadi lebih adil, makmur, dan sejahtera, maka di sinilah letak
justifikasinya.
3. Convenience
Dalam memungut pajak, pemerintah hendaknya memperhatikn saat-saat yang
menyenangkan/memudahkan Wajib Pajak.
Pada masa sekarang ini saat-saat yang baik dan tepat tersebut diwujudkan dengan
pemungutan pajak pada sumbernya (Levying tax at source) artinya pemungutan pajak oleh
pemerintah dilakukan pada waktu menerima gaji, bonus, dividen, dan bunga deposito.
4. Economy
Dalam melaksanakan pemungutan pajak, biaya pemungutan bagi kantor pajak dan biaya
memenuhi kewajiban paja (Compliance Cost). Bagi Wajib Pajak hendaklah sehemat mungkin
jangan sampai biaya-biaya memungut pajak lebih besar daripada pajak yang dipungut.
Pada mulanya yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah the cost of service to the
government, atau the value of service to the individual, yang terakhir ini sama dengan
teori kepentingan yang menyatakan bahwa pajak itu dipungut berdasarkan kepentingan
individu terhadap negara. Di zaman yang lebih maju, yang menjadi dasar pengenaan
pajak adalah the faculty or the ability of the individual to pay (ability to pay) yakni
komsumsi dan produksi.
Dengan demikian ada 2 hal yang dapat dipertimbangkan menjadi ukuran dari ability to
pay seseorang, yakni komsumsi dan produksi.
Hal yang kedua dari prinsip Ethical menurut Seligman adalah universality, yang
menghendaki perlakuan yang sama terhadap Wajib Pajak. Setiap Wajib Pajak harus
memikul beban pajaknya, dan tidak satu pun Wajib Pajak yang memikul beban pajak
yang lebih dari semestinya. Pembebasan pajak (tax exemption) yang diberikan oleh UU
harus meliputi semua Wajib Pajak, dan tidak boleh hanya ditujukan atau dinikmati oleh
segolongan Wajib Pajak saja, baik berdasarkan suku, kelas, ras, agama, maupun
kebangsaan. Pembebasan pajak untuk golongan masyarakat tertentu menimbulkan
distorsi ekonomi.
2. Fritz Neumark
1. Revenue Productivity
Principle of adapbility, adalah hendaknya sistem perpajakan bersifat cukup fleksibel
untuk menghasilkan penerimaan tambahan bagi negara, apabila terjadi kebutuhan-
kebutuhan mendadak negara, tanpa menimbulkan keguncangan dalam bidang
ekonomi rakyat. Pada hakikatnya prinsip ini sama dengan prinsip elasticity Seligman
Principle of adequacy, adalah bahwa sistem perpajakan nasional seharusnya dapat
menjamin penerimaan negara untuk membiayai semua pengeluaran. Hal ini tentu saja
menjadi cita-cita dan harapan berbagai pemerintah di seluruh dunia. Jika penerimaan
pajak dapat memenuhi semua pengeluaran negara, maka negara akan menjadi negara
yang sangat maju dan makmur.
Rendahnya tax ratio kita antara lain karena masyarakat belum menyadari dan
mematuhi peraturan perpajakan dengan baik. Tingkat kesadaran dan kepatuhan mereka
dalam melaksanakan kewajiban membayar pajak masih rendah,yang indikasinya
ditunjukkan dari ketidaksamaan penghasilan kena pajak dan jumlah kekayaan yang
dilaporkan dalam SPT Tahunan mereka dengan nilai kekayaan ril mereka.
2. Social Justice
Suatu sistem perpajakan yang baik, hendaknya memperhatikan keadilan sosial, yaitu
suatu sistem perpajakan yang memperhatikan:
The universality principle sama dengan prinsip universality Seligman, yakni bahwa
orang-orang yang mampu membayar pajak, harus dipajaki secara universal, artinya
kepada orang-orang tersebut diberi beban pajak yang sama. Dan bahwa pembebasan-
pembebasan dari setiap Wajib Pajak, harus meliputi semua bidang dan lapangan
sosial-ekonomi masyarakat, tidak boleh tertuju pada kelompok/golongan tertentu saja.
Contoh: PTKP dalam UU No.7 Tahun 1983 dan BPBP (Batas Pendapatan Bebas
Pajak) dalam ordonansi pajak pendapatan tahun 1944.
The equality principle menghendaki supaya orang-orang yang berada dalam
kedudukan dan posisi ekonomi yag sama harus menanggung hutang pajak yang sama
pula. Dalam praktiknya banyak kali terpaksa dilanggar karena pemerintah
menerapkan kebijakan tertentu (perlakuan khusus) kepada golongan tertentu.
The ability to pay principle menghendaki supaya jumlah beban pajak dipikul oleh
individu sesuai dengan kemampuannya untuk memikul beban pajak itu, dengan
memperhatikan semua sifat-sifat yang melekat pada individu yang bersangkutan
sedemikian rupa, sehingga kerugian yang timbul akibat pengenaan pajak akan
menjadi sama.
The principle of redistribution menghendaki bahwa distribusi beban pajak diantara
penduduk harus mempunyai akibat untuk memperkecil perbedaan penghasilan dan
kekayaan yang disebabkan oleh mekanisme pasar bebas. Ini berarti, penghasilan dan
kekayaan dapar diredistribusikan kepada anggota masyarakat.
3. Economic Goals
Pajak dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi. Dengan
kebijakan fiskal, kegiatan ekonomi dapat lebih dipacu, atau untuk memperlunak
akibat-akibat yang terjadi pada masa resesi. Hal ini dapat tercapai dengan cara
merubah tarif pajak maupun dasar pengenaan pajak yang berdampak pada perlunakan
dalam siklus fluktuasi harga, pengangguran, dan produksi.
2. Asas Ekonomis
Aspek ekonomis pajak tersebut sudah tercakup dalam dua fungsi pajak yakni
fungsi budgetair dan fungsi regulerend. Kedua fungsi tersebut merupakan satu kesatuan
dan harus berjalan secara bersamaan.
Dengan demikian asas ekonomis ini menekankan pada kebijakan pemungutan
pajaknya :
a. Pemungutan pajak jangan sampai menghambat pertumbuhan ekonomi karena
terganggunya kelancaran produksi dan perdagangan,
b. Harus diusahakan supaya jangan sampai menghalang-halangi rakyat dalam
usahanya menuju kebahagiaan, dan
c. Jangan sampai merugikan kepentingan umum.
3. Asas Finansial
Asas ini menekankan efisiensi dalam memberlakukan undang-undang pajak
sesuai dengan maxim/canon yang kempat dari Adam Smith. Setiap pemungutan pajak
harus memperhatikan supaya biaya yang dikeluarkan untuk memungut pajak haruslah
jauh lebih rendah daripada jumlah pajak yang dipungut.
Netral di sini artinya tidak memengaruhi pilihan dunia swasta dalam melakukan kegiatan
bisnis mereka. Pemungutan pajak jika tidak netral maka dikatakan menimbulkan distorsi.
Dalam hal ini terdapat 3 konsep yang berhubungan erat dengan Netralitas:
Menurut Suparmoko, M.A. Ph.D, dalam bukunya tentang “Keuangan Negara Dalam
Teori dan Praktik” edisi 4 (1987:188-189), yang mengutip 5 keuntungan sistem Pajak
Pertambahan Nilai, di mana dari 5 keuntungan tersebut, 3 diantaranya merupakan elemen-
elemen pokok yang menyangkut Netralitas, yakni: