Anda di halaman 1dari 14

BAB 5

FUNGSI PAJAK
1. Fungsi Pajak Budgetair
Disebut dengan fungsi utama pajak / fiskal, yaitu suatu fungsi di mana pajak
dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan
UU yang berlaku.
Disebut sebagai fungsi utama karena fungsi inilah yang secara historis pertama kali
timbul, berdasarkan fungsi ini pemerintah memungut dana dari penduduknya untuk
membiayai berbagai kepentingan negara
Untuk menegakkan fungsi ini, pemerintah melakukan penyempurnaan regulasi
perpajakan dari berbagai jenis pajak, melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi dalam
pemungutan pajak hingga pengenaan sanksi perpajakan. Bagi Wajib Pajak yang tidak
memenuhi kewajiban perpajakannya menurut UU Perpajakan, maka akan diancam pengenaan
sanksi pidana.
Kontribusi Pajak terhadap penerimaan negara Indonesia sangat substantial dan sangat
signifikan. Sumber penerimaan negara dari sektor pajak lebih besar dibandingkan dengan
sumber penerimaan dari sektor-sektor lain yang terdapat dalam data pendapatan negara.
Kontribusi penerimaan pajak terhadap jumlah seluruh penerimaan negara berturut-turut
dari tahun 2007-2011 adalah sebesar 69,4% , 67,1 % , 73 %, 72,7 %, dan 72,2 % .
Ketergantungan pemerintah terhadap penerimaan pajak sebagai tulang punggung sumber
keuangan negara terbesar untuk pembiayaan APBN adalah sangat dominan. Pajak menjadi
primadona pembiayaan pembangunan nasional dan belum dapat digantikan. Ini dapat terlihat
jelas bila dibandingkan dengan penerimaan negara dari sumber-sumber keuangan negara
lainnya dalam kurun waktu 2007-2011 dengan rasio-rasio penerimaan sebagai berikut:
 Dari sektor migas (minyak bumi dan gas bumi) sebagai sumber yang tidak dapat
diperbaharui hanya menduduki 17,6% , 21,6% , 14,8% , dan 16% dari jumlah seluruh
penerimaan negara dalam tahun yang bersangkutan;
 Dari sektor nonmigas (pertambangan umum, kehutanan, perikanan, dan panas bumi)
hanya menduduki 1,1% , 1,3% , 1,6% , dan 1,7% dari jumlah seluruh penerimaan
negara dalam tahun yang bersangkutan

Rasio penerimaan yang dipaparkan diatas memberikan indikasi bahwa sebenarnya masih
besar potensi penerimaan yang belum ditemukan dari nonmigas khususnya dari sektor
pertambangan dan pajak yang dihasilkan daripadanya, yang menuntut tingkat kesadaran
Wajib Pajak yang lebih baik dan meningkat serta kepatuhan dan kepedulian dari pengusaha
pertambangan untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar, benar
perhitungan pajaknya (tidak direkayasa), dan benar penyetorannya ke kas negara serta benar
pelaporannya ke kantor pelayanan pajak.
Tax Amnesty
Dalam rangka melakukan optimalisasi penerimaan Negara dari sektor pajak dan
meningkatkan kesadaran Wajib Pajak, maka di tahun 2016 Pemerintah mengeluarkan
kebijakan perpajakan yang disebut dengan Tax Amnesty melalui Undang-Undang
Pengampunan Pajak No. 11 Tanggal 1 Juli 2016 yang berisi tentang kebijakan penghapusan
atas pajak terutang, sanksi administrasi, dan pidana perpajakan yang dilakykan dengan
membayar sejumlah uang tebusan sesuai tarif yang berlaku. Dengan demikian, Tax Amnesty
merupakan pengejawantahan dari fungsi budgetair untuk meningkatkan penerimaan negara
dan pertumbuhan perekonomian serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam
pelaksanaan kewajiban perpajakan.

2. Fungsi Pajak Regulerend


Disebut juga sebagai fungsi tambahan bagi pajak, yaitu suatu fungsi dalam mana pajak
dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu.
Disebut sebagai fungsi tambahan karena fungsi ini adalah sebagai fungsi pelengkap dari
fungsi yang utama, dan untuk mencapai tujuan tersebut maka pajak digunakan sebagai alat
kebijaksanaan pemerintah.
Beberapa contoh aplikasi fungsi regulerend:
a. Pengenaan pajak yang tinggi bagi minuman keras yang menjadikan harga minuman
keras menjadi sangat mahal dengan maksud agar pembeli/konsumen minuman keras
akan berkurang banyak sehingga dengan harga minuman keras yang sangat mahal
tersebut minuman keras tidak bisa terjangkau dan tidak ada lagi generasi muda yang
mabuk-mabukan.
b. Memberlakukan investment allowance bagi investor asing dan domestik untuk
mendorong kegiatan investasi langsung di Indonesia baik melalui penanaman modal
asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu
dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapatkan prioritas tinggi dalam skala
nasional dalam menuangkan Ketentuan Pasal 31A UU Pph No.36 Tahun 2008
sebagai berikut:
(1) Kepada wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha
tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapatkan prioritas tinggi
dalam skala nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk :
a. Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari
jumlah penanaman yang dilakukan;
b. Penyusutan dan amoritisasi yang dipercepat;
c. Kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)
tahun; dan
d. Pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut
perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.

Ketentuan juga dapat digunakan untuk menampung kemungkinan perjanjian


dengan negara-negara lain dalam bidang perdagangan dan bidang lainnya.

c. Dalam rangka meningkatkan daya saing dengan negara-negara lain, mengedepankan


prinsip keadilan dan netralitas dalam penetapan tarif, dan memberikan dorongan bagi
berkembangnya usaha-usaha kecil (pengusaha UMKM), dengan memberikan fasilitas
berupa berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dengan
peredaran bruto sampai dengan Rp.50 miliar yang dikarenakan atas Penghasilan Kena
Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp.4.800.000.000,00(empat miliar
delapan ratus juta rupiah), yang ketentuannya dituangkan dalam Pasal 31E UU PPh
No.36 Tahun 2008.
d. Pengenaan tarif proteksi, yaitu pengenaan tarif bea masuk yang tinggi untuk
mencegah/membatasi impor barang tertentu. Selain itu juga untuk mengatur
perlindungan kepentingan ekonomi/industri dalam negeri.
e. Untuk mengurangi gaya hidup mewah atau mengomsumsi barang mewah dalam
masyarakat, pemerintah mengenakan Pajak Penjualan (PPn) impor dan bea masuk
barang mewah yang cukup tinggi bagi barang-barang mewah tertentu. Misalnya
sedan BMW, Mercy, dan lain-lain. Dengan pengenaan pajak yang tinggi tersebut,
harga barang impor tersebut akan semakin mahal dan setidaknya akan bisa menekan
hasrat/pola komsumtif masyarakat untuk membelinya, dan mengalihkannnya untuk
hal-hal yang lebih produktif.
f. Untuk mendorong perkembangan koperasi di Indonesia, pemotongan pajak tidak
dilakukan atas sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya sebagai implementasi dari Pasal 23 ayat (4) huruf f Undang-Undang PPh.

3. Sebagai Alat Penjaga Stabilitas


Digunakan pemerintah untuk stabilisasi ekonomi. Sebagian barang-barang impor
dikenakan pajak agar produksi dalam negeri dapat bersaing. Untuk menjaga stabilitas nilai
tukar rupiah dan menjaga agar deficit perdagangan tidak melebar, pemerintah dapat
menetapkan kebijakan pengenaan PPnBM terhadap impor produksi yang bersifat mewah.

4. Fungsi Redistribusi Pendapatan


Pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai pembangunan infrastruktur, seperti
jalan raya, jembatan, MRT, dll. Kebutuhan akan dana tersebut dipenuhi melalui pajak yang
hanya dibebankan kepada yang mampu membayar pajak. Namun, infrastruktur yang
dibangun tadi juga dapat dimanfaatkan bagi yang tidak mampu membayar pajak.
BAB 6
TEORI PEMBENARAN PUNGUTAN PAJAK

A. Pendahuluan
Dari abad ke abad selalu timbul pertanyaan apa justifikasi (alasan yang menjadi dasar
pembenaran) negara mempunyai wewenang untuk membebani rakyat dengan pungutan pajak.
Sehingga semenjak abad ke-18 muncul berbagai teori yang dalam pembahasannya memberikan
justifikasi kepada negara memungut pajak dari rakyatnya, atau dengan kata lain teori-teori
pajak itu sebenarnya merupakan penvarian dalil untuk membenarkan hak negara mengambil
sebagian dari kekayaan yang ada ditangan individu atau badan dalam lingkungan kekuasaannya.

A. Asas-Asas Menurut Falsafah Hukum


Menurut Prof. Sindian, suatu pemungutan pajak dapat dibenarkan, jika tindakan tersebut
diselenggarakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosial, dan kewajiban negara untuk
menaikkan kesejahteraan umum. Walaupun negara mempunyai hak memungut pajak, tapi tidak
berarti bahwa negara dapat sewenang-wenang memungut harta kekayaan rakyatnya melainkan
dengan haknya itu pemungutan pajaknya haruslah memenuhi syarat-syarat keadilan
(Ali,1993:83).
Untuk mendapatkan pembenaran pemungutan pajak, beberapa teori ini memberikan dasar
menyatakan keadilan kepada hak negara untuk memungut pajak dari rakytanya yang termasuk
ke dalam asas-asas menurut falsafah hukum, yakni :
1. Teori Asuransi
Menurut ajaran teori asuransi, fungsi negara yang utama adalah melindungi individu,
baik jiwa maupun harta miliknya. Fiskus berhak memungut pajak dari penduduknya, karena
negara dianggap sama dengan perusahaan asuransi dan Wajib Pajak adalah tertanggung yang
wajib membayar premi dalam hal ini pajak. Negara berhak memungut pajak, karena itu
merupakan beban utama bagi negara adalah terselenggaranya ketertiban hukum yang
melindungi hukum dan sebagai imbalannya individu diharuskan membayar premi sebagai
pembayaran pajak.
Teori ini sudah tidak dianut lagi karena memiliki banyak kelemahan, antara lain:
 Perbandingan secara analogis antara negara dan perusahaan asuransti tidak tepat,
sebab jaminan dari negara adalah jiwa dan kekayaan sedangkan dalam asuransi yang
dijamin itu adalah risikonya. Dengan eksistensi imbalan yang akan diberikan negara
jika Wajib Pajak menderita risiko, dalam kenyataannya negara tidak pernah
memberikan uang santunan kepada Wajib Pajak yang tertimpa musibah.
 Tidak terdapat hubungan yang langsung antara pembayaran pajak dengan jasa-jasa
yang diberikan oleh negara.
 Kalau ada imbalan/kontra prestasi (dalam hal ini kepentingan Wajib Pajak) dalam
pajak maka hal ini juga berarti menggugurkan eksistensi pajak itu sendiri.
2. Teori Kepentingan
Para penganut teori ini mengatakan bahwa negara berhak memungut pajak dari
penduduknya, karena penduduk negara tersebut memperoleh kenikmatan dari negara. Disini
timbangan dasar pajak harus ditentukan sesuai besar kecilnya kepentingan yang diperoleh dari
pekerjaan negara. Makin besar kepentingan penduduk kepada negara, maka semakin besar pula
perlindungan negara kepadanya.
Teori ini sudah ditinggalkan orang karena memiliki banyak kelemahan, antara lain:
 Tentang fungsi negara untuk melindungi segenap rakyatnya, negara seharusnya tidak
boleh memilih-milih dalam memberikan perlindungan kepada penduduknya.
 Disamping itu, jika ditinjau dari definisi pajak, maka adanya hubungan langsung/
kontra prestasi (dalam hal ini kepentingan Wajib Pajak) telah menggugurkan
eksistensi pajak itu sendiri.
 Dikacaukan dengan retribusi (untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu untuk
perlindungan terhadap harta benda yang lebih banyak harganya daripada harta si
miskin, diharuskan membayarkan pajak yang lebih besar pula).
 Tidak ada ukuran untuk mengukur kepentingan individu dalam usaha pemerintah,
antara kepentingan orang yang membayar pajak besar dengan yang pajaknya kecil
serta orang tidak membayar pajak. Jasa negara adalah multi kompleks, dinikmati oleh
seluruh rakyatnya.

3. Teori Bakti atau Teori Kewajiban Pajak Mutlak


Disebut juga dengan teori pengorbanan (absolute belastingplicht) yang berlandaskan asas
negara bahwa negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak. Menurut teori ini,
negara mengemban tugas melindungi segenap warganya maka timbul-lah hak mutlak negara
untuk memungut pajak dan warga negara mempnyai kewajiban membayar pajak sebagai bukti
tanda baktinya kepada negara.
Dalam buku beginselen van de belastingheffingi , DR.W.H.Van Den Berge sebagai
penganut teori ini mengutarakan, bahwa negara sebagai groepverband (organisasi dari
golongan) dengan memperhatikan syarat-syarat keadilan, bertugas menyelenggarakan
kepentingan umum, dan karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan yang
diperlukan, termasuk juga tindakan-tindakan dalam lapangan pajak.
Kritik terhadap teori ini antara lain:
 Pokok pangkal teori ini terlalu absolut , abstrak, dan terlalu kuat menitikberatkan
pada negara seolah-olah individu tidak dapat hidup tanpa negara, tetapi negara dapat
hidup tanpa individu. Padahal tidaklah demikian halnya, sebab negara pun tidak
mungkin ada tanpa individu.
4. Teori Gaya Pikul
Definisi yang diberikan oleh Prof. W.J. De Langen berbunyi: Gaya Pikul adalah
kekuatan seseorang untuk dapat mencapai pemuasan kebutuhan setinggi-tingginya, setelah
dikurangi dengan yang mutlak untuk kebutuhannya yang primer. Kesimpulannya adalah
gaya pikul adalah kekuatan untuk membayar pajak kepada negara, setelah kekuatan orang
bersangkutan dikurangi dengan “minimum kehidupan” (Santoso, 1995:75).
Menurut Santoso, minimum kehidupan adalah jumlah barang-barang material yang harus
ada untuk menjamin kehidupan yang sepadan dengan martabat manusia (pangan, sandang,
perumahan) dan seterusnya termasuk kebutuhan-kebutuhan kebudayaan yang minimum
dengan mengingat/mengindahkan keadaan/peradaban yang ada pada negara itu.
Sebagai contoh, dalam UU Pajak Penghasilan No.7 tahun 1983 yang direvisi dengan UU
No.10 tahun 1994 dan direvisi lagi dengan UU No.36 tahun 2009, jumlah yang dikeluarkan
tersebut disebut Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan jumlahnya selalu
memperhatikan perkembangan ekonomi/kebutuhan minimum masyarakat dari waktu ke
waktu.
Cohen Stuart dalam desertasinya mengemukakan bahwa gaya pikul disamakan dengan
jembatan yang pertama-tama harus dapat memikul bobotnya sendiri sebelum dicoba
membebaninya dengan sesuatu.
Terdapat kesamaan antara pikiran Langen dan Stuart, yaitu bahwa seluruh penghasilan
seseorang adalah identik dengan seluruh kekuatan pikul jembatan, sedangkan pengeluaran-
pengeluaran yang mutlak untuk primer adalah identik dengan bobot jembatan. (Soemitro,
1990:30)
Dasar keadilan pemungutan pajak adalah terletak pada jasa yang diberikan oleh negara
kepada warganya dalam bentuk perlindungan jiwa dan harta bendanya, sehingga wajar
apabila biaya yang telah dikeluakan oleh negara tersebut dipikulkan kepada yang menikmati
perlindungan tersebut, yakni dalam bentuk pajak. Fundamental teori ini berbasiskan asas
keadilan, yaitu tekanan pajak itu haruslah sama beratnya untuk setiap orang, pajak harus
dibayar menurut gaya pikul seseorang, dan sekedar untuk mengukur gaya pikul ini, dapatlah
dipergunakan, selain besarnya penghasilan dan kekayaan, juga pengeluaran atau
pembelanjaan seseorang.
Prof. Dr. P.J.A. Adriani sebagai pendukung utama dari teori ini lebih menyukai
menggunakan istilah “ability to pay” artinya daya pikul untuk membayar atau dana bayar.
Ajaran asas gaya pikul ini hingga saaat ini ternyata masih berkesinambungan karena teori
ini mendekati realitas (dipandang sebagai suatu teori yang hidup dan seadil-adilnya).
Berbeda dengan Prof. Sindian, beliau berpendapat bahwa teori ini tidak mendasarkan
hukumnya, tetapi mencari tekanan pendapatan dari masing-masing orang sesuai dengan
kekuatan membayarnya. Teori ini berlaku di tiap negara, tidak ada negara yang memungut
pajak yang berat atas si miskin hanya saja caranya yang berbeda. Asas daya pikul selalu
diutamakan. (Ali, 1993:114)
Kritik terhadap teori ini, antara lain:
 Gaya pikul ini sesungguhnya tidak dapat/ sulit diukur dengan pasti, lagi pula ia selalu
berubah dan sangat bergantung dari rasa keadlian dari zaman ke zaman.
 Teori ini sebenarnya merupakan dasar untuk memungut pajak yang adil dan bukan
merupakan teori untuk pembenaran atas pungutan pajak.
5. Teori Gaya Beli
Esensi justifikasi teori ini adalah bahwa pemungutan pajak hanya melihat kepada efeknya
yang positif untuk kecukupan penerimaan negara untuk membiayainya pengeluaran umum
negara, dan efek yang baik itulah sebagai dasar keadilannya.
Prof. Rochmat Soemitro (1990:31), mengemukakan bahwa pajak yang berasal dari rakyat
kembali lagi ke masyarakat, tanpa dikurangi se-sen pun, sehingga pajak ini hanya berfungsi
sebagai pompa kebakaran, menyedot uang dari rakyat yang akhirnya dikembalikan lagi
kepada masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat, sehingga pajak pada hakikatnya tidak
merugikan rakyat.
Menurut teori ini, penyelenggaraan kepentingan masyarakat (individu dan negara) inilah
yang dianggap sebagai dasar keadlian pemungutan pajak. Teori ini menitikberatkan ajarannya
kepada fungsi pemungutan pajak, yaitu fungsi mengatur (regulerend). Para penganut teori ini,
berpendapat bahwa teori ini berlaku sepanjang masa, baik dalam masa ekonomi bebas
ataupun terpimpim, bahkan pula dalam masyarakat sosialis, walaupun tidak terluput dari
adanya variasi atau coraknya.

6. Teori Pembangunan
H.L. Bathia dalam buku Public Finance , a Contemporary Application of Theory and
Policy (Chicago: The Drayden Press, 1983) mengemukakan, bahwa pemungutan pajak
seharusnya juga berpegang pada Asas-Asas Pembangunan, menghilangkan perbedaan-
perbedaan kemajuan daerah-daerah, menghilangkan tekanan-tekanan inflasi, menghambat
konsumsi barang-barang mewah dan mendorong kegiatan produktif.
Prof. Safri Nurmantu (1994:62) mengemukakan, bahwa teori-teori yang disebutkan di
atas berusaha memberi justifikasi kepada pemerintah untuk memungut pajak. Untuk Indonesia
justifikasi yang paling tepat adalah pembangunan, pajak dipungut untuk pembangunan.
Karena dana yang dipungut berasal dari pajak dipergunakan untuk pembangunan yang
membuat rakyat menjadi lebih adil, makmur, dan sejahtera, maka di sinilah letak
justifikasinya.

B. Asas Pemungutan Pajak


Pada buku “ An Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nations” karya
Adam Smith, beliau mengemukakan bahwa pemungutan pajak hendaklah didasarkan atas 4
prinsip yang disebut dengan Four Maxims / Four Canons.
1. Equality/Equity
Pajak itu harus adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang-orang pribadi/ subjek
pajak sebanding dengan kemampuan untuk membayar (ability to pay) pajak tersebut dan
juga seimbang dengan manfaat/penghasilan yang diterima atau dinikmatinya di bawah
perlindungan pemerintah.
2. Certainty
Pajak itu tidak ditentukan secara sewenang-wenang, yang dimaksudkan supaya pajak itu
harus jelas bagi semua Wajib Pajak dan seluruh masyarakat dan pasti tidak dapat ditawar-
tawar. Kepastian tersebut berarti:
1. Harus pasti-pasti, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak (Subjek Pajak)
2. Harus pasti, apa yang menjadi dasar untuk mengemukakan pajak kepada subjek pajak
(Objek Pajak)
3. Harus pasti berapa jumlah yang harus dibayar berdasarkan ketentuan tariff pajak (Tarif
Pajak)
4. Harus pasti bagaimana jumlah pajak yang terhutang tersebut harus dibayar (Prosedur
Pajak).

3. Convenience
Dalam memungut pajak, pemerintah hendaknya memperhatikn saat-saat yang
menyenangkan/memudahkan Wajib Pajak.
Pada masa sekarang ini saat-saat yang baik dan tepat tersebut diwujudkan dengan
pemungutan pajak pada sumbernya (Levying tax at source) artinya pemungutan pajak oleh
pemerintah dilakukan pada waktu menerima gaji, bonus, dividen, dan bunga deposito.

4. Economy
Dalam melaksanakan pemungutan pajak, biaya pemungutan bagi kantor pajak dan biaya
memenuhi kewajiban paja (Compliance Cost). Bagi Wajib Pajak hendaklah sehemat mungkin
jangan sampai biaya-biaya memungut pajak lebih besar daripada pajak yang dipungut.

C. Ability To Pay Principle Dan Benefit Principle


Richard A. Musgrave dan Peggy Musgrave dalam bukunya yang berjudul Public
Finance in Theory and Practice (1989:61-94), mengemukakan 2 pendekatan yang merupakan
dasar bagi fiskus untuk memungut pajak yakni Benefit Principle dan Ability to pay principle.

1. Benefit Principle (Revenue and Expenditure Approach)


 Prinsip pengenaan pajak berdasarkan atas manfaat yang diterima oleh Wajib Pajak
dari pembayaran pajak itu kepada pemerintah. Misalnya retribusi seperti pemakaian
jalan tol, pemakai listrik, dll
 Pendekatan manfaat hanya dapat diterapkan atas kegiatan pemerintah di bidang
public utilities, namun tidak dapat diterapkan untuk jasa pertahanan dan keamanan
serta kegiatan pemerintah lainnya yang manfaatnya sulit ditentukan untuk Wajib
Pajak tertentu mana.

2. Ability To Pay Principle


Prinsip kemampuan untuk membayar atau berdasar atas daya pikul Wajib Pajak.
 Wajib Pajak yang memiliki kemampuan yang sama akan dikenal pajak yang sama
bebannya (Horizontal Equity).
 Wajib Pajak yang memiliki kemampuan yang berbeda akan dikenai pajak yang
berbeda (Vertical equity). Bila jumlah penghasilan seseorang Wajib pajak lebih besar,
dia harus membayar pajak lebih besar dengan menerapkan tarif pajak yang
persentasenya lebih besar.
 Waktu yang panjang untuk penundaan pembayaran dan pengembalian SPT tahunan
(The requirement of convenience)

D. Prinsip-Prinsip / Kaidah / Asas Perpajakan


Prof. Safri Nurmantu (1994:67-78) mengemukakan beberapa prinsip-prinsip perpajakan
yang dikemukakan oleh berbagai ahli perpajakan, yakni sebagai berikut:
1. E.R.A Seligman
 Fiscal
Berhubungan dengan 2 hal, yakni Adequacy (kecukupan) dan Elasticity (luwes,mulur),
artinya bahwa pemungutan pajak harus dapat terjamin terpenuhinya kebutuhan
pengeluaran negara dan harus cukup elastic dalam menghadapi berbagai tantangan
perubahan serta perkembangan kondisi perekonomian.
 Administrative
Prinsip ini meliputi prinsip Certainty, Convenience, dan Economy.
- Prinsip Certainty dari Seligman pada dasarnya sama dengan prinsip Certainty dari
Adam Smith, yakni bahwa ketentuan-ketentuan dalam undang-undang perpajakan
haruslah jelas. Ketidakjelasan dalam undang-undang perpajakan oleh Seligman
dikatakan sebagai suatu Undang-Undang yang buruk. Unless a tax law is certain
in its provisions, it is a bad law.
- Prinsip Convenience, Prinsip ini berhubungan dengan pernyataan-pernyataan
bagaimana pajak itu dibayar, kapan harus dibayar, ke mana dibayarkan dan dalam
kondisi bagaimanakah pajak itu bayar.
- Prinsip Economic, Sama dengan prinsip Efficiency dari Adam Smith, yakni bahwa
biaya-biaya dalam memungut pajak harus lebih rendah daripada pajak yang
dipungut.
 Economic
Dijabarkan dalam dua prinsip, yakni Innocuity dan Efficiency. Yang dimaksud dengan
- Prinsip Innocuity ialah bahwa hendaknya proses pemungutan pajak itu tidak
menimbulkan hal-hal yang destruktif (beban pajak yang dipikul oleh Wajib Pajak
jangan sampai menghalangi perekonomian bangsa, menghambat produksi atau
mencegah investasi). Other things being equals, kata Seligman. Artinya walaupun
pajak dipungut, tetapi proses kemajuan perekonomian masyarakat tetap sama,
tidak berhenti apalagi mundur.
- Prinsip Efficiency, dimaksudkan supaya system perpajakan suatu negara mampu
untuk memenuhi hasil-hasil yang diinginkan. Artinya sistem perpajakan itu secara
praktis dapat mudah dilaksanakan, sehingga penerimaan yang diharapkan dari
pajak dapat tercapai.
 Ethical
Meliputi hal Uniformity dan Universality. Yang dimaksud dengan Uniformity
(kesamaan, keseragaman) atau equality of taxation (persamaan dalam perpajakan),
bukanlah salah satu keadilan yang mutlak, melainkan suatu keadilan sebanding yang
relative (relatively proportional equality). Kata uniformity menggambarkan kesamaan,
perilaku yang sama terhadap pembayar pajak.

Pada mulanya yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah the cost of service to the
government, atau the value of service to the individual, yang terakhir ini sama dengan
teori kepentingan yang menyatakan bahwa pajak itu dipungut berdasarkan kepentingan
individu terhadap negara. Di zaman yang lebih maju, yang menjadi dasar pengenaan
pajak adalah the faculty or the ability of the individual to pay (ability to pay) yakni
komsumsi dan produksi.
Dengan demikian ada 2 hal yang dapat dipertimbangkan menjadi ukuran dari ability to
pay seseorang, yakni komsumsi dan produksi.
Hal yang kedua dari prinsip Ethical menurut Seligman adalah universality, yang
menghendaki perlakuan yang sama terhadap Wajib Pajak. Setiap Wajib Pajak harus
memikul beban pajaknya, dan tidak satu pun Wajib Pajak yang memikul beban pajak
yang lebih dari semestinya. Pembebasan pajak (tax exemption) yang diberikan oleh UU
harus meliputi semua Wajib Pajak, dan tidak boleh hanya ditujukan atau dinikmati oleh
segolongan Wajib Pajak saja, baik berdasarkan suku, kelas, ras, agama, maupun
kebangsaan. Pembebasan pajak untuk golongan masyarakat tertentu menimbulkan
distorsi ekonomi.

2. Fritz Neumark
1. Revenue Productivity
 Principle of adapbility, adalah hendaknya sistem perpajakan bersifat cukup fleksibel
untuk menghasilkan penerimaan tambahan bagi negara, apabila terjadi kebutuhan-
kebutuhan mendadak negara, tanpa menimbulkan keguncangan dalam bidang
ekonomi rakyat. Pada hakikatnya prinsip ini sama dengan prinsip elasticity Seligman
 Principle of adequacy, adalah bahwa sistem perpajakan nasional seharusnya dapat
menjamin penerimaan negara untuk membiayai semua pengeluaran. Hal ini tentu saja
menjadi cita-cita dan harapan berbagai pemerintah di seluruh dunia. Jika penerimaan
pajak dapat memenuhi semua pengeluaran negara, maka negara akan menjadi negara
yang sangat maju dan makmur.
Rendahnya tax ratio kita antara lain karena masyarakat belum menyadari dan
mematuhi peraturan perpajakan dengan baik. Tingkat kesadaran dan kepatuhan mereka
dalam melaksanakan kewajiban membayar pajak masih rendah,yang indikasinya
ditunjukkan dari ketidaksamaan penghasilan kena pajak dan jumlah kekayaan yang
dilaporkan dalam SPT Tahunan mereka dengan nilai kekayaan ril mereka.

2. Social Justice
Suatu sistem perpajakan yang baik, hendaknya memperhatikan keadilan sosial, yaitu
suatu sistem perpajakan yang memperhatikan:
 The universality principle sama dengan prinsip universality Seligman, yakni bahwa
orang-orang yang mampu membayar pajak, harus dipajaki secara universal, artinya
kepada orang-orang tersebut diberi beban pajak yang sama. Dan bahwa pembebasan-
pembebasan dari setiap Wajib Pajak, harus meliputi semua bidang dan lapangan
sosial-ekonomi masyarakat, tidak boleh tertuju pada kelompok/golongan tertentu saja.
Contoh: PTKP dalam UU No.7 Tahun 1983 dan BPBP (Batas Pendapatan Bebas
Pajak) dalam ordonansi pajak pendapatan tahun 1944.
 The equality principle menghendaki supaya orang-orang yang berada dalam
kedudukan dan posisi ekonomi yag sama harus menanggung hutang pajak yang sama
pula. Dalam praktiknya banyak kali terpaksa dilanggar karena pemerintah
menerapkan kebijakan tertentu (perlakuan khusus) kepada golongan tertentu.
 The ability to pay principle menghendaki supaya jumlah beban pajak dipikul oleh
individu sesuai dengan kemampuannya untuk memikul beban pajak itu, dengan
memperhatikan semua sifat-sifat yang melekat pada individu yang bersangkutan
sedemikian rupa, sehingga kerugian yang timbul akibat pengenaan pajak akan
menjadi sama.
 The principle of redistribution menghendaki bahwa distribusi beban pajak diantara
penduduk harus mempunyai akibat untuk memperkecil perbedaan penghasilan dan
kekayaan yang disebabkan oleh mekanisme pasar bebas. Ini berarti, penghasilan dan
kekayaan dapar diredistribusikan kepada anggota masyarakat.

3. Economic Goals
Pajak dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi. Dengan
kebijakan fiskal, kegiatan ekonomi dapat lebih dipacu, atau untuk memperlunak
akibat-akibat yang terjadi pada masa resesi. Hal ini dapat tercapai dengan cara
merubah tarif pajak maupun dasar pengenaan pajak yang berdampak pada perlunakan
dalam siklus fluktuasi harga, pengangguran, dan produksi.

4. Ease of Administration and compliance


 The Requirement of clarity: Ketentuan pajak haruslah dapat dipahami
(comprehensible), tidak boleh menimbulkan keragu-raguan atau penafsiran yang
berbeda, harus menimbulkan kejelasan baik untuk Wajib Pajak maupun untuk fiskus
sendiri.
 The Requirement of continuity: Undang-undang perpajakan tidak boleh sering
berubah, dan apabila terjadi perubahan haruslah dalam konteks tax reform secara
umum dan sistematis.
 The Requirement of economy: Biaya-biaya perhitungan, penagihan, dan pengawasan
pajak harus berada pada tingkat serendah-rendahnya dan konsisten dengan tujuan-
tujuan pajak yang lain. Biaya-biaya yang diminimalkan tidak hanya meliputi biaya-
biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah (administrative cost), tetapi biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh Wajib Pajak (compliance cost).
 The Requirement of convenienceI: Pembayaran pajak harus sedapat mungkin tidak
memberatkan Wajib Pajak. Pemerintah biasanya memperbolehkan pembayaran
hutang pajak dalam jumlah besar secara angsuran dan memberikan jangka waktu
yang panjang untuk penundaaan penyampaian SPT.

E. Asas Pemungutan Pajak Lain


1. Asas Yuridis
Asas ini mengemukakan supaya pemungutan pajak harus didasarkan pada
undang-undang. Di Indonesia, tercantum dalam Pasal 23A UUD 1945 (yang telah
diamandemen) yang berbunyi: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan Negara diatur dengan undang-undang”. Pasal 23A menyatakan bahwa dalam
menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan DPR lebih kuat daripada kedudukan
pemerintah. Ini tanda kedaulatan rakyat.
Selanjutnya dalam GBHN 1988 disebutkan bahwa, “Semua jenis pungutan
danpajak harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan”.
Asas yuridris menyatakan bahwa hukum pajak harus dapat memberikan jaminan
hukum untuk mengabdi kepada keadilan,baik untuk negara maupun untuk warga
negaranya. Jadi pengenaan pajak harus berdasarkan Undang-Undang.
Jaminan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada Wajib pajak
dimaksudkan agar Wajib Pajak tersebut merasa aman dan tidak diperlakukan sewenang-
wenang oleh fiskus.
Tidak kalah pentingnya tentang jaminan perlindungan hukum terhadap
“keharusan merahasiakan” tersimpannya rahasia-rahasia diri Wajib Pajak dan
perusahaan-perusahaannya agar tidak disalahgunakan sehingga menimbulkan kerugian
bagi Wajib Pajak.

2. Asas Ekonomis
Aspek ekonomis pajak tersebut sudah tercakup dalam dua fungsi pajak yakni
fungsi budgetair dan fungsi regulerend. Kedua fungsi tersebut merupakan satu kesatuan
dan harus berjalan secara bersamaan.
Dengan demikian asas ekonomis ini menekankan pada kebijakan pemungutan
pajaknya :
a. Pemungutan pajak jangan sampai menghambat pertumbuhan ekonomi karena
terganggunya kelancaran produksi dan perdagangan,
b. Harus diusahakan supaya jangan sampai menghalang-halangi rakyat dalam
usahanya menuju kebahagiaan, dan
c. Jangan sampai merugikan kepentingan umum.

3. Asas Finansial
Asas ini menekankan efisiensi dalam memberlakukan undang-undang pajak
sesuai dengan maxim/canon yang kempat dari Adam Smith. Setiap pemungutan pajak
harus memperhatikan supaya biaya yang dikeluarkan untuk memungut pajak haruslah
jauh lebih rendah daripada jumlah pajak yang dipungut.

F. Kaidah / Asas Netralitas Pajak


Asas lain dikemukakan oleh John F. Due dalam bukunya “Government Finance, An
Economic Analysis”, bahwa pajak itu seyogianya adalah netral, yaitu:
 Pajak tidak memengaruhi pilihan masyarakat untuk melakukan komsumsi.
 Pajak tidak memengaruhi pilihan produsen untuk menghasilkan barang dan jasa.
 Pajak jangan sampai, sehingga mereka lebih memilih santai, mengurangi semangat
orang untuk berkerja.

Netral di sini artinya tidak memengaruhi pilihan dunia swasta dalam melakukan kegiatan
bisnis mereka. Pemungutan pajak jika tidak netral maka dikatakan menimbulkan distorsi.

Dalam hal ini terdapat 3 konsep yang berhubungan erat dengan Netralitas:

a. Competition under equal condition,


b. The efficient international division of labor, and
c. The efficient allocation of resources.

Menurut Suparmoko, M.A. Ph.D, dalam bukunya tentang “Keuangan Negara Dalam
Teori dan Praktik” edisi 4 (1987:188-189), yang mengutip 5 keuntungan sistem Pajak
Pertambahan Nilai, di mana dari 5 keuntungan tersebut, 3 diantaranya merupakan elemen-
elemen pokok yang menyangkut Netralitas, yakni:

 Netral dalam persaingan dalam negeri


Menjamin sifat netral pemungutan pajak dalam sistem perdagangan dalam negeri, karena
perusahan kecil dan menengah dapat bersaing dalam kondisi yang sama dengan perusahaan
besar yang mempunyai sifat produksi terpadu secara vertikal.
 Netral dalam perdagangan internasional
Dalam hal ekspor, diberikan pengembalian beban pajak yang melekat pada waltu perolehan
harga barang yang diekspor:
Dalam hal impor, jumlah pajak yang dipungut sama dengan jumlah pajak yang dikenakan
atas barang yang diproduksi di dalam negeri pada tingkar harga yang sama, karena itu
menciptakan persaingan yang sehat untuk keuntungan konsumen. (Dengan kata lain,
terhadap barang ekspor dikenakan PPN dengan tarif 0%, sedangkan terhadap barang impor
dikenakan tariff PPN 10%. Inilah substansi/makna dari Destination principle)
 Netral bagi pola konsumsi
PPN yang telah dikenakan atas bahan baku dan barang modal yang dipakai dalam proses
produksi tidak merupakan unsur harga pokok yang dijual karena pada akhirnya dapat
diterima kembali oleh Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan dengan metode Pajak
Masukan terhadap Pajak Keluaran.

Anda mungkin juga menyukai