Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

LATAR BELAKANG
Pemerintah Indonesia dalam hal menjaring pendapatan negara banyak melakukan

inovasi-inovasi untuk mengejar target APBN 2016. Target Pendapatan Negara dalam APBN
tahun 2016 ditetapkan sebesar Rp1.822,5 triliun, atau Rp25,6 triliun lebih rendah dari yang
diusulkan dalam RAPBN Tahun Anggaran 2016. Pajak merupakan sektor yang paling sentral
bagi perekonomian dan penerimaan suatu negara. Target Pendapatan Negara tersebut
bersumber dari Penerimaan Perpajakan sebesar Rp1.546,7triliun dan Penerimaan Negara
Bukan Pajak sebesar Rp273,8 triliun (rasio penerimaan negara terhadap PDB atau tax ratio
dalam tahun 2016 sebesar 13,11 persen. Penerimaan perpajakan berasal dari Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), Penerimaan cukai, pencairan tunggakan pajak, maupun pajak-pajak lainnya.

Penerimaan perpajakan dapat lebih di tingkatkan lagi jika semua potensi-potensi yang
ada dapat di maksimalkan. Salah satu potensi perpajakan yang patut untuk diperhatikan yaitu
wajib pajak, karena wajib pajak adalah pihak-pihak yang akan menjalankan hak serta
kewajiban yang harus dipenuhi dalam berbagai jenis pajak. Pajak dipungut dari warga Negara
Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Sistem
perpajakan Indonesia adalah Self Assessment yang berarti suatu sistem dimana pemerintah

memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor,


dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Self Assessment System ini dapat berjalan
secara efektif melalui keterbukaan dan pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement)
yang merupakan hal yang paling utama. Kepercayaan yang sangat besar dari pemerintah
kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri pajak yang harus dibayarnya harus diimbangi
dengan upaya penegakan hukum dan pengawasan yang ketat atas kepatuhan wajib pajak
dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Penegakan hukum ini dapat dilakukan dengan adanya pemeriksaan atau penyidikan
pajak dan penagihan pajak. Pemeriksaan pajak merupakan instrumen yang baik untuk
meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak, baik formal maupun material dari peraturan
perpajakan. Tujuan utamanya adalah untuk menguji dan meningkatkan tax compliance
seorang wajib pajak dimana kepatuhan ini akan sangat berdampak pada penerimaan pajak.
Langkah untuk mencapai target perpajakan didasarkan atas beberapa kebijakan, antara
lain melalui kebijakan perpajakan dalam rangka optimalisasi penerimaan perpajakan tanpa
mengganggu iklim investasi dunia usaha, kebijakan penerimaan perpajakan yang diarahkan
untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional dan mempertahankan daya beli masyarakat,
kebijakan penerimaan perpajakan yang diarahkan untuk meningkatkan daya saing dan nilai
tambah industri nasional, dan kebijakan perpajakan yang diarahkan untuk mengendalikan
konsumsi barang kena cukai ( sumber kemenkeu.go.id ).
Inovasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam hal penerimaan pajak dalam
bentuk penagihan pajak, salah satunya melalui program Tax Amnesty. Tujuan penagihan pajak
di dalam instansi pemerintahan antara lain adalah untuk menjaga kestabilan pendapat
keuangan baik di daerah maupun pusat. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penagihan pajak sangatlah membutuhkan partisipasi masyarakat secara aktif
Berdasarkan hal tersebut, tujuan makalah ini mengenai extra effort apa saja yang
dilakukan DJP dalam pemeriksaan dan penagihan pajak di Indonesia.

1.2

RUMUSAN MASALAH

1.2.1

Bagaimana Extra effort dalam pemeriksaan dan penagihan pajak?

1.3

TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari makalah ini adalah
1. Mengetahui definisi berkaitan tentang perpajakan
2. Mengetahui bentuk-bentuk ekstra effort penerimaan pajak

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1DEFINISI PAJAK
Dalam KUP Pasal 1 (ayat 1) dikatakan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut Prof. Dr. Rachmat Soemitro, SH, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
(peralihan kas ke sektor pemerintah) berdasarkan Undang-Undang (dapat dipaksakan) dengan
tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan
untuk membiayai pengeluaran umum.
Definisi perancis dalam Buku Leroy Beaulieu yang berjudul Traite de la science des
Finances 1906, Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan
oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah.
Definisi menurut Mr. Dr. J. Feldmann dalam bukunya De overheidsmiddelen van
Indonesia; Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa
(menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan
semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.
2.1.2

Ciri pada Definisi Pajak

Kesimpulan dari beberapa pengertian pajak secara umum mendapatkan ciri


sebagai berikut;
1. Pajak peralihan kekayaan dari orang/ badan ke Pemerintah
2. Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang-undang serta
aturan pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan
3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh
pemerintah
4. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah
5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang
bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk
membiayai public investment
6. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari
pemerintah
7. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung

2.1.3

Fungsi Pajak
1. Fungsi Finansial (budgeter)
2. Fungsi Mengatur (regulerred)
3. Fungsi Stabilitasi
4. Fungsi Redistribusi

2.1.4

Pemungutan Pajak
Menurut Sumarsan (2011:6), sistem pemungutan pajak di Indonesia terbagi

atas :
1. Official Assessment System
2. Self Assessment System
3. Withholding System
2.1.5

Cara Pemungutan Pajak

Cara pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2008:6) dilakukan berdasarkan 3


stelsel, yakni:
1. Stelsel Nyata (riil stelsel)
2. Stelsel Anggapan (fictive stelsel)
3. Stelsel Campuran

2.2 WAJIB PAJAK


Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang meliputi pembayar pajak, pemotong
pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (UU KUP Pasal 1).

2.3 PAJAK PENGHASILAN


Pajak penghasilan yaitu ruang lingkupnya meliputi setiap penghasilan dengan istilah
atau dalam bentuk apapun yang diterima wajib pajak yang bisa berasal dari mana saja yaitu
baik dalam maupun luar negeri (Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008).
Terhadap penghasilan yang diperoleh maka wajib terutang pajak penghasilan.

2.4 PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)


Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dibayarkan atas konsumsi barang atau jasa
oleh orang pribadi atau badan (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009).

Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang
atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam
perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak
masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya,
sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau
membuat produknya
.Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar

hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang
No. 8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 1994, UndangUndang No. 18 Tahun 2000, dan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009.
.4.1

Ciri PPN
Pajak tidak langsung (indirect tax), maksudnya pemikul beban pajak
dan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan
pajak adalah subjek yang berbeda.
Multitahap (multi stage), maksudnya pajak dikenakan di tiap mata
rantai jalur produksi dan jalur distribusi dari pabrikan.
Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek
pajak tanpa melihat kondisi subjek pajak.
bersifat netral. yaitu PPN tidak hanya dikenakan pada barang tetapi
juga jasa.
Menghindari pengenaan pajak berganda (double tax). karena PPN
hanya dikenakan pada pertambahan nilainya saja.
dipungut menggunakan faktur.
PPN dikenakan sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri (domestic
consumptions).
Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect
subtraction), yaitu dengan memperhitungkan besaran pajak masukan
dan pajak keluaran

2.4.2 Fungsi PPN


Fungsi PPN adalah Sebagai Penerimaan Negara, memeratakan beban pajak,
mengatu pola konsumsi masyarakat, mendorong ekspor pengusaha, mendorong

investor untuk berinvestasi, membantu pengusaha kecil meningkatkan usaha


(Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009).
2.4.3 Objek dan Subjek Pajak Pertambahan Nilai
Objek PPN adalah Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak
(JKP) dalam daerah Pabean atau dari luar pabean ke dalam daerah pabean baik yang
berwujud dan tidak berwujud. PPN juga dikenakan atas Kegiatan membangun
bangunan diatas 200m yang dibangun tidak dalam kegiatan usaha dan penyerahan
aktiva dengan syarat PPN dapat dikreditkan. Subjek PPN adalah Pengusaha Kena
Pajak dan Pengusaha Kecil yang dikukuhkan sebagai PKP (Undang-Undang Nomor
42 Tahun).

.5 PEMERIKSA DAN PENAGIHAN PAJAK


2.5.1 Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan pajak tertuang dalam ketentuan pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan undang-undang nomor 16 tahun 2009 yang
menjelaskan bahwa: Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain
dalam

rangka

melaksanakan

ketentuan

peraturan

perundang-undangan

perpajakan.

Pengaturan pemeriksaan pajak juga telah diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor: 184/PMK.03/2015 yang mengatur mengenai Tata Cara Pemeriksaan.
Pemeriksaan pajak merupakan bagian tak terpisahkan (built-in) dengan sistem self
assessment yang dianut dalam sistem perpajakan di Indonesia. Pemeriksaan pajak dilakukan
dalam rangka pengawasan (control) kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Tanpa
pengawasan, Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya cenderung
menghindari bayar pajak. Bahkan banyak juga Wajib Pajak yang menghindari bayar pajak
dengan cara yang tidak benar seperti menurunkan omset, atau menambah biaya yang pada
akhirnya menghilangkan keuntungan fiskal atau meminimalkan penghasilan kena pajak.
2.5.1.1 Fungsi Pemeriksaan
Fungsi pemeriksaan pajak adalah mendorong Wajib Pajak melaporkan kegiatan
usahanya dengan benar. Benar dalam artian Wajib Pajak melaporkan kegiatan
usahanya, penghasilannya, hartanya, dan hutangnya sesuai keadaan sebenarnya. Tidak
ada yang ditutupi, tidak ada yang disembunyikan dan terbuka. Benar karena Wajib

Pajak telah menghitung pajak terutang sesuai dengan peraturan perundang-undangan


perpajakan yang berlaku. Benar karena Wajib Pajak menyetor pajak-pajak ke Kas
Negara yang telah dipungut atau dipotong dari pihak lain.
Pada saat pemeriksaan, pemeriksa akan menguji:

pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau


melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak
atau Bagian Tahun Pajak;

penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;

harta dan kewajiban; dan/atau

pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau


pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban

perpajakan

Wajib

Pajak

dilakukan

dengan

menelusuri

kebenaran

Surat

Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan


lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya yang dilakukan
oleh Wajib Pajak.
Kewajiban perpajakan atas pajak Wajib Pajak sendiri yaitu Pajak Penghasilan
atau yang dikenal PPh Badan dan PPh Orang Pribadi, maupun kewajiban pemotongan
dan pemungutan seperti Pajak Pertambahan Nilai, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh
Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menghimpun dan
mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan standar pemeriksaan. Setelah dilakukan pengujian-pengujian
terhadap data, keterangan, dan/atau bukti maka pemeriksa akan menerbitkan surat
ketetapan pajak:
1. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) dalam hal jumlah pokok pajak sama
besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada
kredit pajak;

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam hal besarnya jumlah
pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak,
besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar;
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal jumlah kelebihan
pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang
terutang atau seharusnya tidak terutang;
4. Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal ada sanksi administrasi berupa bunga
dan/atau denda;
5. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalam hal pajak
yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
Berbeda dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pajak, pemeriksaan
untuk tujuan lain tidak menerbitkan surat ketetapan pajak. Pemeriksaan untuk tujuan
lain di antaranya:
1. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
2. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
3. pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
4. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
5. pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
6. pencocokan data dan/atau alat keterangan;
7. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
8. penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
9. pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
10. penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan;
dan/atau

11. pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran


Pajak Berganda.

2.5.2 Penagihan Pajak


Penagihan Pajak adalah tindakan penagihan terhadap wajib pajak (WP) apabila utang
pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi. Dasar hukum
melakukan tindakan penagihan pajak adalah Undang-undang No: 19 Tahun 2000 perubahan
atas Undang-undang Nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
adalah sebagai berikut;
Serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan
seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah
disita
Langkah-langkah penagihan penagihan pajak adalah sebagai berikut:
1. Surat Teguran, yaitu utang pajak yang tidak dilunasi setelah lewat tujuh hari dari

tanggal jatuh tempo pembayaran, akan diterbitkan Surat Teguran Pajak. Penyampaian
surat teguran merupakan awal pelaksanaan tindakan penagihan oleh fiskus (aparatur
perpajakan) untuk memperingatkan Wajib Pajak yang tidak melunasi utang pajaknya
sesuai dengan keputusan penetapan (STP, SKPKB, SKPKBT) sampai dengan saat
jatuh tempo.
Surat teguran merupakan surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau
memperingatkan Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya. Surat teguran dikeluarkan
apabila utang pajak yang tercantum dalam SPT, SKPKB atau SKPKBT tidak dilunasi sampai
melewati waktu hari dari batas waktu jatuh tempo 1 bulan sejak tanggal diterbitkannya.
Menurut keputusan Menteri Keuangan no. 561/KMK.04/2000 Pasal 5 ayat 2 menyatakan
bahwa surat teguran tidak diterbitkan terhadap penanggung pajak yang disetujui untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya.
2. Surat Paksa, yaitu utang pajak setelah lewat 21 hari dari tanggal Surat Teguran tidak
dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan
dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa sebesar Rp 50.000. Utang pajak
harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh
Jurusita Pajak. Penagihan dengan surat paksa dilakukan apabila jumlah tagihan pajak
tidak atau kurang bayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, atau sampai

dengan jatuh tempo penundaan pembayaran atau tidak memenuhi angsuran


pembayaran pajak. Apabila Wajib Pajak lalai melaksanakan kewajiban membayar
pajak dalam waktu sebagaimana ditentukan dalam surat teguran maka penagihan
selanjutnya dilakukan oleh juru sita pajak.
Pengertian surat paksa telah diatur dalam Pasal 1 angka 12 Undang-undang no. 19
tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa yang berbunyi: Surat paksa adalah
surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Berdasarkan pengertian
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa surat paksa adalah surat perintah membayar utang
pajak dan biaya penagihan pajak yang diterbitkan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang
pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo. Surat paksa diterbitkan apabila Wajib Pajak
atau Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo
dan Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan dalam keputusan persetujuan angsuran atau
penundaan pembayarannya.
3. Surat Sita dan Penyitaan, Surat sita yaitu utang pajak dalam jangka waktu 2 x 24
jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak tidak dilunasi, Jurusita
Pajak dapat melakukan tindakan penyitaan, dengan dibebani biaya pelaksanaan Surat
Perintah Melakukan Penyitaan sebesar Rp 100.000. Penyitaan merupakan tindakan
penagihan lebit lanjut setelah Surat Paksa. Surat Penyitaan diterbitkan apabila utang
pajak belum dilunasi dalam jangka waktu 224 jam setelah Surat Paksa
diberitahukan, untuk itu maka dapat dilakukan tindakan penyitaan atas barang-barang
Wajib Pajak. Dalam penagihan pajak dengan surat paksa, juru sita pajak berwenang
melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan Wajib Pajak. Untuk melaksanakan
penyitaan barang milik Penanggung Pajak tersebut diperlukan suatu prosedur yang
mengatur secara rinci, jelas dan tegas yang meliputi status, nilai serta tempat
penyimpanan atau penitipan barang sitaan milik Penanggung Pajak dengan tetap
memberikan perlindungan kepentingan pihak ketiga maupun masyarakat Wajib Pajak.
Menurut Undang-undang Nomor: 19 tahun 2000 tentang Penagihan Dengan Surat Paksa,
Penyitaan adalah tindakan juru sita pajak untuk menguasai barang dengan penanggungan
pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundangundangan. Undang-undang Nomor: 19 tahun 2000 Pasal 14 ayat (1) menjelaskan bahwa
penyitaan dapat dilaksanakan terhadap milik Wajib Pajak yang berada di tempat tinggal, di
tempat usaha, di tempat kedudukan atau di tempat lain termasuk penguasaannya yang berada

10

di tangan pihak lain yang dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang
tertentu, berupa:

Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan dan kapal dengan isi kotor tertentu

Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, deposito berjangka,


tabungan, saldo rekening koran ataupun bentuk lainnya.

Barang bergerak yang dikecualikan dari penyitaan adalah:

Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh penanggung
pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya

Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan
memasak yang berada di rumah

Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas yang diperbolehkan dari Negara

Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan penanggung pajak dan alatalat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan

Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan
atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000 (dua
puluh juta rupiah). Besarnya nilai peralatan ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan atau Keputusan Kepala Daerah

Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga
yang menjadi tanggungan. Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang
telah disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Terhadap
barang yang telah disita tersebut, Jurusita Pajak menyampaikan SuratPaksa kepada
Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Pengadilan Negeri dalam
sidang berikutnya menetapkan barang tersebut sebagai jaminan pelunasan utang
pajak.Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang menentukan pembagian
hasil penjualan barang tersebut berdasarkan ketentuan hak mendahului Negara untuk
tagihan pajak.

11

4. Lelang, yaitu dalam jangka waktu paling singkat empat belas hari setelah tindakan
penyitaan, utang pajak belum juga dilunasi akan dilanjutkan dengan pengumuman
lelang melalui media massa. Penjualan secara lelang melalui Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) terhadap barang yang disita, dilaksanakan
paling singkat empat belas hari setelah pengumuman lelang. Dalam hal biaya
penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum dibayar maka akan dibebankan
bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan
biaya lelang pada saat pelelangan. Catatan: Barang dengan nilai paling banyak Rp
20.000.000 tidak harus diumumkan melalui media massa. Pelaksanaan Lelang tidak
dilaksanakan apabila Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan
pajak sebelum pelaksanaan lelang.
.5.2.1 Hak Wajib Pajak/Penanggung Pajak dalam Pemeriksaan dan Penagihan
Dalam penagihan pajak, Wajib pajak memiliki hak untuk:
1. Meminta Jurusita Pajak memperlihatkan Kartu Tanda Pengenal Jurusita Pajak.
2. Menerima Salinan Surat Paksa dan Salinan Berita Acara Penyitaan.
3. Menentukan urutan barang yang akan dilelang.
Diberi kesempatan terakhir sebelum pelaksanaan lelang untuk melunasi utang pajak
termasuk biaya penyitaan, iklan, dan biaya pembatalan lelang, dan melaporkan pelunasan
tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang bersangkutan.

.5 EXTRA EFFORT DALAM PENERIMAAN


Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-06/PJ/2014 tanggal 22 Januari 2014
tentang Distribusi Rencana Penerimaan PPh. PPN dan PPn BM, Pajak Lainnya, serta PBB
per Kantor Wilayah DJP Tahun Anggaran 2014. Direktorat Jenderal Pajak membagi Extra
Effort menjadi 4 jenis kegiatan yaitu meliputi extra effort pengawasan, extra effort
pemeriksaan, extra effort penagihan, dan extra effort ekstensifikasi. `

12

BAB III
PEMBAHASAN
Seperti yang sudah di kemukakan pada bab sebelumnya bahwa fungsi pajak ada 4
yaitu fungsi financial (budgeter), fungsi mengatur (regulerend), fungsi stabilitas, dan fungsi
redistribusi. Dalam fungsi financial ada beberapa upaya meningkatkan penerimaan pajak
yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu melakukan pembenahan aspek kebijakan maupun
aspek system dan administrasi perpajakan melalui hal-hal berikut
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Amandemen undang-undang perpajakan


Modernisasi Kantor Pajak
Ekstensifikasi dan intensifikasi
Extra effort dalam pemeriksaan dan penagihan pajak
Pembangunan data base terintegrasi
Penyediaan layanan melalui pemanfaatan teknologi informasi
Penegakan kode etik pegawai untuk meningkatkan kedisplinan dan good
governance aparatur pajak

13

Dalam makalah ini, kami akan focus atau membahas tentang extra effort dalam
pemeriksaan dan penagihan pajak.

2.1 PENGAMANAN PENERIMAAN PAJAK


Penerimaan dari Pajak merupakan tumpuan Pemerintah untuk kas Negara. Dari tahun
ke tahun, Pemerintah pasti selalu menaikkan target penerimaan pajak untuk memperkecil
angka tax gap. Potensi-potensi pajak masih besar dan banyak yang belum terealisasikan. Hal
inilah yang menjadi tugas dan tantangan bagi DJP, bagaimana cara untuk meningkatkan
penerimaan pajak dengan terus mencari, menggali, dan merealisasikan potensi-potensi pajak
yang masih tersembunyi dan belum optimal.
Kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dinilai dari 2 hal, yaitu Realisasi Penerimaan
Pajak dan Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak. Agar hasil kinerja tersebut dapat terwujud dengan
baik, DJP melakukan tiga macam fungsi, yaitu pelayanan, pengawasan, dan penegakan
hukum (law enforcement), dimana ketiga fungsi tersebut akan saling mendukung dan
mempengaruhi target kinerja yang akan dicapai
Realisasi penerimaan pajak diperoleh dari pembayaran rutin masa (bulanan), hasil
himbauan, hasil pemeriksaan, hasil penagihan utang pajak, serta hasil ekstensifikasi, dimana
proporsi sumber penerimaan yang paling besar adalah dari pembayaran rutin dan hasil
himbauan. Untuk mengamankan pembayaran rutin dari Wajib Pajak diperlukan pengawasan
ketat, sementara himbauan dilakukan untuk menggali potensi pajak yang bisa direalisasikan.
Dua pekerjaan inilah yang menjadi tugas utama seorang Account Representative di Kantor
Pelayanan Pajak.
3.1.1 Langkah-langkah pengamanan penerimaan pajak:
1. Pengawasan pembayaran masa
Memantau data penerimaan per jenis pajak, per wajib pajak, per sektor; mengamati
fluktuasi naik turunnya pembayaran dan menanyakan penyebabnya; menerbitkan sanksi
apabila ada keterlambatan pelaporan dan/atau pembayaran ataupun tidak lapor dan/atau
tidak bayar.
2. Extra Effort
Extra effort adalah usaha ekstra untuk mencari penerimaan pajak di luar
penerimaan pajak rutin agar tercapai target penerimaan pajak. Bentuk kegiatannya adalah
penggalian potensi.
3.1.2 Penggalian Potensi Perpajakan
Strategi penggalian potensi perpajakan antara lain dilakukan sebagai berikut:
1. Mapping

14

Mapping

adalah

pemetaan

kondisi

Wajib

Pajak

berdasarkan

wilayah/lokasi, subjek dan objek pajak, sektoral/jenis usaha, potensi ekonomi,


pembayaran pajak, dan lain-lain. Hasil dari mapping inilah yang kemudian
dijadikan acuan untuk menentukan skala prioritas terhadap kegiatan
penggalian potensi dan untuk menentukan program kerja agar potensi tersebut
dapat terealisasi.
Mapping untuk menentukan skala prioritas akan mengelompokkan wajib
pajak didasarkan kepada jumlah pembayaran pajaknya, sehingga didapat wajib
pajak 100 besar, 400 besar, dan 1500 besar. Prioritas tersebut digunakan
karena wajib pajak besar mempunyai proporsi yang sangat signifikan terhadap
total penerimaan pajak.
Mapping berdasarkan sektoral/jenis usaha wajib pajak juga sangat
penting digunakan. Dari hasil mapping ini kita akan mendapat sektor dominan
apa yang sangat berpengaruh dalam jalannya roda perekonomian di suatu
daerah, contoh sektor besar misalnya wajib pajak pertambangan batubara,
industri & perkebunan kelapa sawit, real estate, jasa profesi, otomotif,
lembaga keuangan, bendaharawan pemerintah.
2. Profiling
Setelah melakukan mapping, langkah selanjutnya adalah melakukan
pendalaman terhadap wajib pajak. Profiling adalah kegiatan mengumpulkan
data dan informasi masing-masing wajib pajak. Data dan informasi yang
diperlukan misalnya identitas, jenis usaha, proses bisnis, laporan keuangan,
transaksi dengan pihak suplier dan customer, dan data-data lain yang
berhubungan dengan wajib pajak. Data memegang peranan sangat penting
untuk menjadi dasar penghitungan potensi pajak, yang selanjutnya digunakan
untuk menjadi dasar surat himbauan yang disampaikan kepada wajib pajak
untuk memperbaiki laporan pajaknya dan menambah setoran pajaknya sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya.
3. Benchmarking
Ratio total benchmarking digunakan sebagai alat bantu untuk menilai
kewajaran kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh wajib
pajak. Ratio total benchmarking memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Disusun berdasarkan kelompok usaha.
b. Benchmarking dilakukan atas rasio-rasio yang berkaitan dengan
tingkat laba dan input-input perusahaan.

15

c. Ada keterkaitan antar rasio benchmark.


d. Focus pada penilaian kewajaran kinerja keuangan dan pemenuhan
kewajiban perpajakan.
Wajib Pajak yang kinerja keuangannya dibawah angka benchmark
tidak selalu berarti bahwa wajib pajak tersebut tidak melaksanakan kewajiban
perpajkannya dengan benar. Perlu diagnosa yang lebih mendalam untuk dapat
menentukan wajib pajak tersebut benar-benar tidak patuh atau terdapat faktorfaktor lain yang menyebabkan wajib pajak memiliki kinerja keuangan yang
berbeda dengan benchmark.
Rasio-rasio yang berkaitan dengan tingkat laba dan input-input
perusahaan yang dilakukan benchmarking terdiri dari :
a. Gross Profit Margin (GPM), yaitu rasio antara laba kotor
terhadap penjualan;
b. Pretax Profit Margin (PPM), yaitu rasio antara laba bersih
sebelum dikenakan pajak penghasilan terhadap penjualan;
c. Corporate Tax to Turn Over Ratio (CTTOR), yaitu rasio antara
pajak penghasilan terutang terhadap penjualan;
d. Net Profit Margin (NPM), yaitu rasio antara laba bersih
setelah pajak penghasilan terhadap penjualan;
e. Dividend Payout Ratio (DPR), yaitu rasio antara jumlah
dividen tunai yang dibayarkan terhadap laba bersih setelah
pajak;
f. Rasio PPN Masukan, yaitu rasio antara jumlah PPN Masukan
yang dikreditkan dalam satu tahun pajak terhadap Penjualan,
tidak termasuk pajak masukan yang dikreditkan dari transaksi
g.
h.
i.
j.
k.
l.

.2 EXTRA

EFFORT

antar cabang;
Rasio biaya gaji terhadap penjualan;
Rasio biaya bunga terhadap penjualan;
Rasio biaya sewa terhadap penjualan;
Rasio biaya penyusutan terhadap penjualan;
Rasio penghasilan luar usaha terhadap penjualan;
Rasio biaya luar usaha terhadap penjualan

PEMERIKSAAN

MENGOPTIMALKAN

PENERIMAAN

PAJAK

YANG

NEGARA DI

DAPAT
SEKTOR

PERPAJAKAN

16

Pemeriksaan pajak sebagai salah satu pilar law enforcement memiliki peran yang
dapat meningkatkan penerimaan pajak. Namun, pemeriksaan pajak yang seperti apa yang
dapat mengoptimalkan penerimaan pajak?
Faktor-faktor yang harus terpenuhi agar pemeriksaan pajak dapat mengoptimalkan
penerimaan negara antara lain:
3.2.1

Kejelasan,

Kepastian

dan

Kesederhanaan

Peraturan

Perundang-

undangan.
Peraturan perpajakan yang ideal dapat memberikan kejelasan, kepastian hukum
dan kesederhanaan sehingga tidak menimbulkan multi tafsir sehingga dapat menjadi
sengketa peraturan, baik di internal DJP maupun antara DJP dengan Wajib Pajak.
Pasal 16 ayat (3), Pasal 17B ayat (2) dan Pasal 26 ayat (5) UU KUP memberikan
kepastian hukum terhadap status permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak apabila
telah melewati jangka waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangundangan sehingga Wajib Pajak mendapatkan kejelasan jawaban atas permohonan
yang diajukan.
Pasal 17B UU KUP memberikan kepastian jangka waktu penyelesaian
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang diproses dengan
pemeriksaan pajak. Dengan adanya jangka waktu tersebut, maka pemeriksaan pajak
harus diselesaikan sebelum jangka waktu tersebut berakhir. Apabila jangka waktu
tersebut terlewati, maka permohonan Wajib pajak tersebut telah memiliki kepastian
hukum, yaitu dianggap dikabulkan oleh DJP. Dengan peraturan perundang-undangan
yang jelas, pasti dan sederhana akan mengurangi sengketa peraturan dan akan
mendorong Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya dengan baik
sehingga tingkat.
3.2.2

Kebijakan Pemerintah dalam Mengimplementasikan Undang-Undang


Perpajakan.

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara


Pemeriksaan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-23/PJ/2013 tentang
Standar Pemeriksaan, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-126/PJ/2010
tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pemeriksaan (Audit Plan) Untuk Menguji
Kepatuhan pemenuhan Kewajiban Perpajakan, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-04/PJ/2012 tentang Pedoman Penyusunan Program Pemeriksaan Untuk
Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2012 tentang Pedoman Penyusunan Laporan Hasil
Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan,

17

merupakan implementasi dari Pasal 29 dan 31 UU KUP yang mengatur kewenangan


DJP untuk melakukan pemeriksaan pajak.
Peraturan-peraturan pelaksanaan ini mengatur alur pelaksanaan pemeriksaan
secara rinci, termasuk jangka waktu pemeriksaan, bentuk dan isi dokumen yang
terkait dengan pemeriksaan, peminjaman dokumen, permintaan keterangan dan halhal teknis lainnya yang tidak diatur dalam pasal 29 dan 31 UU KUP. Prosedur yang
diatur dalam peraturan pelaksanaan ini memberikan equal treatment bagi DJP dan
Wajib Pajak.
Bagi DJP, peraturan pelaksanaan ini menjadi pedoman (guidance) dalam
melaksanakan pemeriksaan, sedangkan bagi Wajib Pajak dapat mengetahui secara
transparan proses pemeriksaan, hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan sehingga
dapat meminimalisasi kemungkinan penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Kebijakan pemerintah dalam mengimplementasikan peraturan perundang-undangan
secara rinci, transparan dan equal treatment diharapkan akan meningkatkan kepatuhan
Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya
3.2.3

Sistem Administrasi Perpajakan yang Tepat

Sistem self assessment memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak dalam


melaksanakan kewajiban perpajakannya, yaitu menghitung, menyetor dan melaporkan
pemenuhan kewajibannya dalam bentuk Surat Pemberitahuan (SPT).
Dalam sistem ini, SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak dianggap benar
sepanjang tidak ada data lainnya yang membuktikan bahwa SPT tersebut salah. Dalam
melakukan pengujian SPT, dibutuhkan sistem administrasi yang tepat. Sistem
administrasi ini meliputi DJP sebagai administrator perpajakan dan sistem informasi
yang mendukung pelaksanaan fungsi DJP.
Fungsi DJP dalam administrasi perpajakan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
penyuluhan, pelayanan dan pengawasan. Untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak, DJP melaksanakan fungsi pengawasan yang salah
satunya melalui pemeriksaan pajak.
Sistem informasi yang dimiliki oleh DJP digunakan untuk mendukung
pelaksanaan tugas dan fungsi DJP, termasuk dalam pemeriksaan pajak. Sistem
informasi ini diharapkan dapat membantu DJP untuk menyeleksi Wajib Pajak yang
akan diperiksa. Dengan indikator-indikator tertentu, sistem informasi diharapkan
dapat memilih Wajib Pajak yang terindikasi tidak patuh dan memiliki tax gap yang
tinggi sehingga pemeriksaan yang dilakukan dapat menghasilkan penerimaan negara
yang tinggi.
18

3.2.4

Pelayanan Prima

Pelayanan prima (service excellent) adalah pelayanan yang melebihi dari apa
yang diharapkan oleh wajib Pajak. Sekilas, pemeriksaan pajak tidak ada kaitannya
dengan pelayanan prima. Namun, anggapan tersebut kurang tepat. Dengan pelayanan
prima yang diberikan oleh Fungsional Pemeriksa kepada Wajib Pajak saat
melaksanakan pemeriksaan pajak, maka pelaksanaan pemeriksaan dapat mencapai
tujuan yang diinginkan karena Wajib Pajak merasa diperlakukan dengan baik dan
diberikan penjelasan yang memadai sehingga koreksi yang dilakukan oleh Fungsional
Pemeriksa dapat disetujui oleh Wajib Pajak
3.2.5

Kesadaran dan Pemahaman Warga Negara

Kesadaran dan pemahaman warga negara terhadap peraturan perpajakan


berhubungan dengan budaya yang dianut oleh Wajib Pajak (legal culture) dan
integritas petugas pajak (legal structure). Dalam Gambar 7. Model Kepatuhan ATO,
ada beberapa tingkat kesadaran yang dianut oleh Wajib pajak. Apabila Wajib Pajak
memiliki kesadaran yang tinggi untuk patuh, maka seharusnya DJP memberikan
kemudahan dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Di tingkat berikutnya, Wajib
Pajak mencoba untuk patuh, tetapi tidak dapat menyusun SPT dengan baik, maka DJP
memberikan bimbingan untuk membantu menyusun SPT dengan benar. Di tingkat
berikutnya, Wajib Pajak tidak ingin patuh dengan mencoba mengurangi beban pajak
melalui tax planning, maka DJP harus dapat mendeteksi kemungkinan adanya
pelanggaran peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan tax planning tersebut,
baik melalui himbauan dan/atau pemeriksaan. Di tingkat terakhir, Wajib Pajak
teridentifikasi tidak patuh, maka DJP harus melakukan penegakan hukum yang tegas
terhadap Wajib pajak tersebut, baik melalui pemeriksaan, atau pemeriksaan bukti
permulaan dan/atau penyidikan.
Identifikasi tingkat kesadaran dan pemahaman Wajib Pajak terhadap peraturan
perpajakan menjadi sangat penting bagi DJP, karena akan menentukan tindakan apa
yang akan diambil oleh DJP untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dan
penerimaan negara di sektor perpajakan.
3.2.6

Kualitas Petugas Pajak

Kualitas petugas pajak akan menentukan keberhasilan DJP dalam mengumpulkan


penerimaan negara di sektor perpajakan. Dalam pemeriksaan pajak, kualitas
Fungsional Pemeriksa akan menentukan kualitas pemeriksaan. Kualitas Fungsional
19

Pemeriksa utamanya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Namun pendidikan formal


ini juga harus dilengkapi dengan pelatihan-pelatihan terkait hard dan soft competency.
Fungsional Pemeriksa yang berkualitas adalah Fungsional Pemeriksa yang
profesional (bekerja tuntas dan akurat berdasarkan kompetensi terbaik dengan penuh
tanggung jawab dan komitmen yang tinggi) dan berintegritas (berpikir, berkata,
berperilaku dan bertindak dengan baik dan benar serta memegang teguh kode etik dan
prinsip-prinsip moral) sehingga mampu meyakinkan Wajib Pajak untuk menyetujui
hasil pemeriksaan.

20

3.3 Hambatan-Hambatan dalam Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak


Dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak, seringkali ditemui hambatan-hambatan yang
mengakibatkan hasil pemeriksaan tidak sesuai dengan yang direncanakan. Ada beberapa
hambatan yang dapat diidentifikasi, yaitu:
3.3.1

Target Penerimaan Negara di Sektor Perpajakan yang Tidak Sesuai dengan


Faktor-Faktor yang Realistis
a. Perencanaan

Perkiraan extra effort dipengaruhi oleh kebijakan internal DJP


dalam mencapai penerimaan pajak. Tingginya perencanaan penerimaan ini
juga disebabkan oleh kenaikan pengeluaran negara dalam APBN. Pajak
menjadi alternatif yang paling menguntungkan bagi negara dibandingkan
pembiayaan lainnya seperti utang luar negeri karena negara tidak
terbebani dengan biaya bunga.
b. Sistem Pajak

Sistem pajak terdiri atas legal substance, legal structure dan legal
culture. Legal substance berkaitan dengan kebijakan dan peraturan
perpajakan, legal structure terkait dengan sumber daya anusia yang
berhubungan dengan pajak dan legal culture terkait dengan budaya yang
dianut masyarakat terkait perpajakan.
Terkait legal substance, perlu dilihat apakah ada perubahan
peraturan yang dapat menyebabkan tidak tercapainya penerimaan, seperti
penambahan fasilitas atau insentif perpajakan, penambahan faktor
pengurang dalam penghitungan pajak dan pengurangan obyek penghasilan
yang dapat dikenakan pajak.
Pemberian fasilitas tax holiday atau tax allowance, penambahan
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan dihapuskannya jasa catering
sebagai obyek PPN merupakan beberapa contoh legal substance yang
dapat mengurangi penerimaan pajak.
Terkait legal structure, perlu dilihat apakah ada kebocoran
penerimaan pajak yang dilakukan oleh petugas. Petugas disini bukan

hanya petugas pajak tetapi seluruh petugas yang terlibat dalam penegakan
hukum di bidang perpajakan seperti polisi, jaksa dan hakim.
Profesionalitas dan integritas merupakan dua kata kunci yang harus
dipegang setiap petugas sehingga dapat meminimalisasi kebocoran
penerimaan pajak.
Legal culture mencerminkan budaya dan tata nilai yang dianut oleh
masyarakat secara umum dan Wajib Pajak secara khusus, dalam
menyikapi urusan pajak. Apabila Wajib Pajak menganggap petugas pajak
dalam diajak bermain atau dengan kata lain dapat disuap, maka Wajib
Pajak akan melakukan itu untuk meringankan beban pajaknya. Secara
alami, tidak ada orang yang secara sukarela dipungut pajak dari
penghasilan yang diterimanya, sehingga setiap orang akan berusaha agar
dapat meminimalkan beban pajak yang harus dibayarnya
c. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi penerimaan pajak,
sebagai contoh pengenaan bea keluar terhadap komoditas pertambangan
seperti batubara dan pertanian seperti kelapa sawit akan berdampak pada
penerimaan pajak. Wajib Pajak akan berusaha menjaga margin keuntungan
perusahaan sehingga penambahan beban bea keluar akan membuat Wajib
Pajak berusaha menurunkan pajak yang harus dibayar
d. Kebijakan Eksternal
Kebijakan eksternal yang dimaksud adalah kebijakan dari luar
negeri yang dapat menggerus penerimaan pajak.
3.3.2 Solusi dalam Mengatasi Hambatan-Hambatan Pemeriksaan Pajak
A. Sumber Daya Manusia.
Terkait hambatan sumber daya manusia, ada dua usulan solusi yang dapat
mengatasi hambatan tersebut, yaitu:
1. Perlu

ada penambahan jumlah Fungsional Pemeriksa yang

profesional dan berintegritas, baik melalui perekrutan dari luar DJP


ataupun dari internal DJP. Penambahan jumlah Fungsional

Pemeriksa ini akan meningkatkan audit coverage ratio sehingga


jumlah Wajib Pajak yang diperiksa menjadi meningkat. Dengan
adanya peningkatan jumlah Wajib Pajak yang diperiksa dan
penyeleksian Wajib Pajak yang tepat, maka akan memberikan
deterrent effect berupa peningkatan kepatuhan Wajib Pajak yang
pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan pajak;
2. Perlu ada penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, baik hard

maupun soft competency, yang berkelanjutan dan merata. Hard


competency berkaitan dengan upgrading pengetahuan perpajakan,
teknologi

informasi,

metode

dan

teknik

pemeriksaan.

Soft

competency berkaitan dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh


Fungsional Pemeriksa untuk mendukung pelaksanaan pemeriksaan.
Soft competency ini diantaranya kemampuan menyakinkan Wajib
Pajak (negotiation and communication skill), integritas, manajemen
waktu dan motivasi
B. Sarana dan Prasarana
Untuk meningkatkan dukungan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan
pemeriksaan, ada dua usulan solusi, yaitu:
1. Perlu ada kendaraan dinas yang dapat digunakan setiap saat oleh
Fungsional Pemeriksa yang dalam melaksanakan pemeriksaan.
Apabila kendaraan dinas yang dimiliki oleh Kanwil DJP atau KPP
terbatas, maka alternatifnya adalah menyewa mobil secara tahunan.
2. Perlu ada pemisahan dana SPPD untuk Fungsional Pemeriksa.
Pemeriksaan pajak merupakan salah satu pilar law enforement, maka
perlu ada dana khusus yang dapat mendukung pelaksanaan law
enforcement tersebut. Dengan dukungan dana operasional yang
meningkat, secara kuantitas dan kualitas diharapkan pemeriksaan
pajak dapat meningkat.
C. Data.
Terkait hambatan data, ada beberapa usulan solusi yang diharapkan dapat
mengatasi hambatan tersebut, yaitu:

1. optimalisasi peran PP Nomor 31 Tahun 2012 dalam mengumpulkan

data dan informasi terkait perpajakan dengan menetapkan prioritas


ILAP dan jenis data yang dapat membantu pelaksanaan pemeriksaan
pajak;
2. Dukungan penyediaan data yang terintegrasi kepada Fungsional

Pemeriksa sebelum melakukan pemeriksaan sehingga Fungsional


Pemeriksa dapat mengetahui titik-titik kritis (critical point)
pemeriksaan yang diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan Wajib
Pajak dan menggali potensi pajak lebih efektif dan efisien;
3. Beban pemeriksaan yang tinggi disebabkan oleh banyaknya

pemeriksaan rutin untuk menguji kebenaran pelaporan SPT Lebih


Bayar yang dimintakan restitusi oleh Wajib Pajak. Untuk
mengurangi beban pemeriksaan pajak yang tinggi perlu disusun
prioritas SPT Lebih Bayar Wajib Pajak yang akan diperiksa. Pasal
17C UU KUP mengatur proses pengembalian lebih bayar untuk
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dapat dilakukan dengan
penelitian, sedangkan Pasal 17D UU KUP mengatur proses
pengembalian lebih bayar untuk Wajib Pajak yang memenuhi
persyaratan tertentu dapat dilakukan dengan penelitian. Pasal 17C
dan Pasal 17D UU KUP memberikan alternatif selain pemeriksaan
pajak untuk menyelesaikan proses pengembalian SPT Lebih Bayar
yang diajukan oleh Wajib Pajak sehingga SP2 yang diterbitkan untuk
pemeriksaan rutin menjadi berkurang. Dengan berkurangnya jumlah
pemeriksaan rutin, maka diharapkan Fungsional Pemeriksa dapat
lebih berkonsentrasi ke pemeriksaan yang dapat meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak dan penerimaan pajak

3.4 USAHA PENAGIHAN PAJAK DALAM PENERIMAAN NEGARA

Adapun upaya yang dilakukan pemerintah saat ini dalam mencari sumber penerimaan
negara yaitu dengan jalan mencari sumber-sumber pembiayaan alternatif yang dianggap
potensial dan juga dapat diandalkan. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan
mengoptimalkan penerimaan negara, terutama dalam sektor pajak.
Salah satu bentuk keikutsertaan masyarakat yang kiranya dianggap paling besar saat ini
dalam kaitannya dengan sektor pajak adalah melakukan pembayaran pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan Undang-undang perpajakan. Namun usaha untuk mengoptimalkan
penerimaan negara dari sektor pajak sampai saat ini ternyata belum berialan sesuai dengan yang
diharapkan. Hal ini disebabkan karena adanya keengganan masyarakat dalam memenuhi atau
melunasi kewajiban perpajakannya, sehingga mengakibatkan diterbitkannya Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar ataupun Surat Tagihan. Apabila dari surat ketetapan atau Surat Tagihan
tersebut tidak segera dilunasi maka akan menimbulkan tunggakan pajak.
Adapun dalam pelaksanaan penagihan pajak tersebut turut melibatkan peran aktif dari
aparatur pajak yang biasa disebut Fiskus. Namun hal yang paling penting untuk diperhatikan
oleh Fiskus dalam pelaksanaan penagihan pajak yaitu suatu kewajiban perpajakan dianggap telah
hilang atau gugur apabila telah melewati jangka waktu tertentu.
Dengan mencegah daluwarsa pengalihan pajak berarti juga menyelamatkan penerimaan
pajak negara. Untuk itu, segala daya dan upaya dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan
penerimaan Negara, dari berbagai sector. Dalam hal ini, upaya penagihan pajak perlu mendapat
perhatian yang serius dalam penanganannya sehingga dapat merealisasikan peningkatan
penerimaan pajak negara
3.4.1 Hambatan-Hambatan dalam Pelaksanaan Penagihan Pajak
Dalam proses penagihan pajak yang dilakukan oleh fiskus, fiskus menggunakan surat
paksa untuk memaksa Wajib Pajak melunasi hutang pajak terutang. Tetapi didalam
pelaksanaannya tidaklah mudah, dikarenakan Jurusita pajak sebagai pelaksanaan penagihan
pajak menjumpai beberapa hambatan-hambatan yang menyebabkan jalannya proses penagihan
pajak terhadap wajib pajak/ penanggung pajak tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Adapun hambatan dalam proses penagihan pajak diuraikan sebagai berikut:


1. Hambatan penagihan pajak dengan surat paksa terhadap penanggung pajak
a.

Alamat wajib pajak/ penanggung pajak yang berubah-ubah dan tidak


dimutakhirkan oleh wajib Pajak/penanggung pajak yang bersangkutan.

b. Wajib pajak/ penanggung pajak menolak Surat Paksa.


c.

Jurusita tidak menjumpai wajib pajak/ penanggung pajak.

d. Jurusita Pajak mendapatkan perlawanan dari wajib pajak/ penanggung pajak


e.

Wajib pajak/ penanggung pajak sedang mengajukan keberatan atau banding.

3.4.2 Solusi dalam Mengatasi Hambatan-Hambatan Penagihan Pajak


Pemberitahuan penagihan pajak dengan Surat Paksa terhadap wajib pajak/ penanggung
pajak tidak selalu dapat dilakukan dengan lancar.
1. Salah satunya penyebabnya yaitu dikarenakan tidak diketahuinya tempat tinggalnya,
tempat usaha, atau tempat kedudukannya, maka penyampaian salinan Surat Paksa
tersebut dilakukan dengan cara menempelkannya pada papan pengumuman kantor
pejabat yang menerbitkannya, dan mengumumkan melalui media massa, atau cara
lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.
Menurut ketentuan tersebut, Jurusita Pajak dapat memuat salinan Surat Paksa ke
media massa dan menitipkannya di papan pengumuman Kantor Pemerintahan Daerah
setempat.
2.

Adakalanya wajib pajak/ penanggung pajak menolak untuk menerima Surat Paksa
yang disampaikan oleh Jurusita Pajak dengan berbagai macam alasan. Apabila alasan
penolakan tersebut dikarenakan tunggakan menurut Surat Paksa berbeda dengan
tunggakan SKP yang dimiliki oleh wajib pajak/ penanggung pajak, maka Jurusita
Pajak tidak boleh mengubah, apa yang tertulis dalam Surat Paksa tersebut ataupun
mencoret dan menambahkan pembetulannya. Penyelesaiannya dapat dilakukan
dengan cara Jurusita Pajak mengembalikan Surat Paksa tersebut kepada Kepala Seksi
Penagihan dengan disertai laporan dan usul agar dikeluarkan Surat Paksa yang baru
dengan menggunakan nomor dan tanggal yang sama (pengganti Surat Paksa yang
salah tersebut) sesuai dengan data sebenarnya. Hal tersebut dapat dilakukan pula atas
kesalahan/ perbedaan-perbedaan alamat, perbedaan nama dan lain sebagainya.

3. Apabila Jurusita Pajak tidak menjumpai wajib pajak/ penanggung pajak maka salinan
Surat Paksa tersebut dapat diserahkan/ diberikan kepada :
a.

Keluarga wajib pajak/ penanggung pajak atau orang bertempat tinggal bersama
dengan wajib pajak/ penanggung pajak yang akil baliqh (dewasa dan sehat
mental).

b. Anggota Pengurus Komisaris atau para persero dari Badan Usaha yang
bersangkutan atau;
c.

Pejabat Pemerintah setempat (Bupati/ Walikota/ Camat/ Lurah) dalam hal


mereka tersebut dalam butir a dan b di atas juga tidak dijumpai.

4. Apabila dalam pelaksanaan penyampaian Surat Paksa, Jurusita Pajak menemui


persoalan/ hambatan yang berasal dari wajib pajak/ penanggung pajak berupa
penolakan bahkan perlawanan kepada Jurusita Pajak, maka penyelesaiannya
permasalahan tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan koordinasi atau
meminta bantuan pihak Kepolisian, Kejaksaan, Departemen yang membidangi hukum
dan perundang-undangan, Pemerintah Daerah setempat, Badan Pertanahan Nasional,
Direktorat jenderal Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Bank atau pihak lain.
5. Dalam hal wajib pajak/ penanggung pajak menolak menerima Surat Paksa dengan
alasan ada kesalahan dalam Surat Paksa (misalnya nama dan alamat wajib pajak/
penanggung pajak tidak benar), maka penyelesaiannya Surat Paksa tersebut harus
diperbaiki.
6. Melaksanakan Penagihan Seketika dan sekaligus
Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang
dilaksanakan juru sita pajak kepada penaggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh
tempo pembayaran.
a) Kata SEKETIKA mengandung arti bahwa penagihan pajak dilakukan saat
itu juga tanpa menunggu tanggal jatuh tempo.
b) Kata SEKALIGUS mengandung arti bahwa penagihan pajak meliputi
seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak, tahun pajak. Jadi,
juru sita pajak akan melaksanakan penagihan atas utang pajak sebelum surat
tagihan pajak atau surat ketetapan pajak jatuh tempo. Tujuannya adalah
mencegah terjadinya utang pajak yang tidak dapat ditagih. Apabila saat
dilakukan penagihan seketika dan sekaligus penanggung pajak belum

membayar maka juru sita pajak akan menunggu pembayaran sampai dengan
tanggal jatuh tempo.
7. Melaksanakan pencegahan
8. Melaksanakan Penyitaan
9. Upaya terakhir penagihan pajak adalah penyanderaan.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan terus melakukan penyanderaan
(gijzeling) secara hati-hati kepada penanggung pajak yang memiliki utang pajak
sedikitnya Rp 100 juta dan memiliki aset untuk melunasinya, namun diragukan itikad
baiknya dalam melunasinya. Selain melibatkan aparat penegak hukum, DJP juga
melibatkan tenaga medis untuk memastikan kondisi kesehatan penanggung pajak saat
melakukan eksekusi penyanderaan. Sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP), jangka waktu
penyanderaan paling lama enam bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama
enam bulan. Hingga 26 Juni 2015, DJP telah menyampaikan usulan penyanderaan
penanggung pajak kepada Menkeu terhadap 29 penanggung pajak yang merupakan
wakil dari 18 Wajib Pajak Badan dan 3 Wajib Pajak Orang Pribadi. Sesuai usulan
tersebut, DJP memperoleh surat izin untuk melakukan penyanderaan dari Menkeu
terhadap 23 orang yang merupakan penanggung pajak atas utang 14 Wajib Pajak
Badan dan 3 Wajib Pajak Orang Pribadi dengan total nilai utang pajak sebesar Rp
44,23 miliar. DJP tidak mengharapkan penyelesaian utang pajak dilakukan melalui
penyanderaan, oleh karena itu himbauan terus disampaikan kepada Wajib Pajak yang
memiliki utang pajak untuk senantiasa melakukan komunikasi dan bersikap
kooperatif dengan KPP.
3.4.3 Kasus-kasus yang Berkaitan Dengan Penagihan Pajak
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sukamulih menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Nomor

000010/207/08/622/09

tanggal

20

Nopember

2009

dengan

nilai

Rp350.000.000,00. Atas nilai SKPKB tersebut keseluruhannya tidak disetujui oleh Wajib Pajak
dan oleh Wajib Pajak padatanggal 15 Januari 2010 diajukan upaya hukum berupa keberatan.
Pada bulan Februari 2009 terdapat informasi bahwa Wajib Pajak akan membubarkan usahanya.

a. atas SKPKB tersebut, upaya apa yang dapat dilakukan KPP untuk mengamankan
target penerimaan perpajakan?
b. resiko-resiko apa yang dapat timbul terkait dengan permasalahan diatas, dan
menurut Saudara bagaimana meminimalisir resiko-resiko tersebut?
LANDASAN TEORI :
Pasal 25 ayat (7) UU KUP
Dalam hal WP mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud
dalam pasal 9 ayat (3) atau ayat (3A) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
keberatan, tertangguh 1 bulan sejak sejak tanggal penerbitan SK Keberatan

Pasal 6 ayat (1) UU PPSP


Jurusita Pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh
tempo pembayaran berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang
diterbitkan oleh Pejabat apabila :
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk
itu;
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam
rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang
dilakukannya di Indonesia;
c. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, atau
menggabungkan

usahanya,

atau

memekarkan

usahanya,

atau memindahtangankan

perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
d. badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau
e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau
f. terdapat tanda tanda kepailitan.

Pasal 14 PMK-24/PMK.03/2008

Penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus oleh Pejabat dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. diterbitkan sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran;
b. diterbitkan tanpa didahului Surat Teguran;
c. diterbitkan sebelum jangka waktu 21 (dua

puluh

satu)

hari

sejak

Surat

Teguran diterbitkan;atau
d. diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa.
PENYELESAIAN KASUS :
Berdasarkan pasal 6 UU PPSP, meskipun pajak yang tercantum dalam dasar
penagihan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 UU KUP yang dalam hal ini SK
Keberatan (Karena WP mengajukan keberatan) belum jatuh tempo berdasarkan pasal 26 ayat
(7), tetapi terhadap wajib pajak tersebut dapat diterbitkan Surat Penagihan Seketika
dan Sekaligus

sesuai

dengan

pasal

14

PMK-24/PMK.03/2008

dengan

kondisi

sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 huruf (d) UU PPSP, yakni WP akan
melakukan pembubaran badan usaha. Atas dasar SPPSS tersebut, KPP dapat langsung
menerbitkan Surat Paksa (Pasal 8 UU PPSP) untuk mengamankan target penerimaan negara.

Risiko-risiko yang dapat timbul :


1. WP telah memindahtangankan asset yang dimiliki atau dikuasai sebelum informasi WP
akan membubarkan badan usaha;
Cara untuk meminimalisasi : Peran AR di KPP sangat dibutuhkan di sini untuk menggali
informasi, baik internal maupun eksternal, atas WP-Wpnya, terlebih WPnya yang sedang
bersengketa dengan DJP sehingga aktivitas WP sedikit banyak terpantau.
2. Informasi atas WP akan membubarkan badan usaha ternyata tidak benar, dan WP melakukan
gugatan ke Pengadilan Pajak.
Cara untuk meminimalisasi : Telaah informasi terlebih dahulu dan yakinkan dengan
bukti-bukti memadai sehingga validitas informasi menjadi dapat dipercaya serta
teruji kebenarannya.
3. Keberatan wajib pajak diterima dan asset-asset yang telah disita telah dilelang.
Cara untuk meminimalisasi : Sebaiknya asset yang telah disita jangan dulu
dilelang, tunggulah sampai ada putusan keberatan. Tindakan penyitaan hanyalah tindakan

pengamanan serta jaminan lunasnya utang pajak. Lagipula, menurut KUP yang baru,
pajak sebagaimana dalam kasus di atas belum menjadi utang pajak sampai dengan SK
keberatan diterbitkan.

BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan

Pemeriksaan Pajak yang dapat mengoptimalkan penerimaan negara di sektor perpajakan


dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Peraturan perundang-undangan yang memberikan kejelasan, kepastian dan
kesederhanaan yang dapat mengurangi sengketa peraturan;
2. Kebijakan pemerintah dalam mengimplementasikan peraturan perundang-undangan
secara rinci, transparan dan equal treatment;
3. Sistem administrasi yang memberikan fungsi penyuluhan, pelayanan dan
pengawasan serta sistem informasi yang dapat membantu DJP menyeleksi Wajib
Pajak yang diperiksa;
4. Pelayanan prima dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak, diantaranya memperlakukan
Wajib Pajak dengan baik dan memberikan penjelasan yang memadai;
5. Tingkat kesadaran dan pemahaman Wajib Pajak terhadap peraturan perpajakan; dan
6. Fungsional Pemeriksa yang profesional dan berintegritas sehingga mampu
meyakinkan Wajib Pajak untuk menyetujui hasil pemeriksaan.

Terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak, yaitu:


1. Target penerimaan negara di sektor perpajakan yang tidak realistis sehingga sulit
tercapai;
2. Peraturan perpajakan yang multi tafsir sehingga menjadi celah bagi Wajib Pajak
untuk melakukan tax avoidance dan tax evasion;
3. Terbatasnya data eksternal sebagai bahan pembanding dan belum terintegrasinya data
internal yang dimiliki oleh DJP;
4. Beban pemeriksaan rutin yang tinggi sehingga Fungsional Pemeriksa tidak memiliki
waktu yang cukup untuk melakukan pengujian secara mendalam;
5. Kurangnya kuantitas dan kualitas Fungsional Pemeriksa Pajak; dan
6. Kurangnya dukungan kendaraan dinas dan dana operasional dalam pelaksanaan
pemeriksaan pajak.

Solusi untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut yaitu:


1. Penyusunan target penerimaan harus lebih realistis dengan mengakomodasi faktorfaktor yang mempengaruhi penerimaan seperti pertumbuhan alami dan extra effort
yang dilakukan oleh DJP serta memperhatikan kebijakan pemerintah lainnya yang
tidak terkait pajak dan kebijakan negara lain;

2. Optimalisasi PP Nomor 31 tahun 2012 untuk mengumpulkan lebih banyak data dan
informasi terkait perpajakan serta penyediaan data internal yang terintegrasi sebelum
pelaksanaan pemeriksaan;
Saran

Pemerintah dalam hal ini Ditjen Pajak diharapkan melakukan tindakan tegas terhadap
Wajib Pajak yang tidak kooperatif sesuai dengan ketentuan perpajakan yang ada dan
berlaku di Indonesia.

Upaya peningkatan kesadaran wajib pajak untuk melaksanakan pembayaran pajaknya


hendaknya terus ditingkatkan melalui penyuluhan-penyuluhan pajak secara intensif.

Pemerintah dalam hal ini Ditjen Pajak sebaiknya lebih rutin dalam memberikan
penyuluhan penyuluhan pajak, mengingat kesadaran masyarakat akan pentingnya
membayar pajak yang masih kurang.

Ditjen pajak juga lebih memperhatikan kebutuhan-kebutuhan pelaksana pemeriksa pajak,


diantaranya system yang baik, operasional yang tersedia.

Ditjen pajak juga harus memperhatikan kualitas pelaksana pemeriksanya juga, perlu
dilakukan ujian kemampuan pelaksana pemeriksaan pajaksecara rutin, agar kualitas
pelaksana pemeriksa pajak lebik baik.

DAFTAR PUSTAKA
Referensi
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Sebagaimana Telah Diubah dengan Undangundang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2012 tentang Pemberian dan
Penghimpunan Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan
3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata
Cara Pemeriksaan.
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per- 23/PJ/2013 tentang Standar Pemeriksaan.
5. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ/2012 tentang Pedoman
Penyusunan Program Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban
Perpajakan.
6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2012 tentang Pedoman
Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan.
7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-126/PJ/2010 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pemeriksaan (Audit Plan) Untuk Menguji Kepatuhan pemenuhan
Kewajiban Perp
8. Erly Suandy. 2011. Hukum Pajak. Edisi 5. Jakarta : Salemba Empat
9. https://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_pertambahan_nilai
10. http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/12588-bagaimanastrategi-djp-dalam-mengamankan-target-penerimaan-pajak-2013
11. http://www.kemenkeu.go.id/Berita/kejar-target-djp-lakukan-extra-effort
12. https://rzservice.wordpress.com/2016/02/08/kegiatan-extra-effort-direktorat-jendralpajak/
13. http://id-jurnal.blogspot.co.id/2008/04/jurnal-bisnis-dan-ekonomi-septermber.html
14. http://www.kompasiana.com/nengsrik/tahap-tahap-penagihan
pajak_5659225cf47e617f0ecdd8aa
15. http://satudpajak2011.blogspot.co.id/2012/06/penagihan-pajak.html
16. http://www.pajak.go.id/content/article/gijzeling-upaya-akhir-penagihan-pajak
17. http://muhammadsyaroni.blogspot.com/2010/12/contoh-kasus-kasus-penagihanpajak.html

Anda mungkin juga menyukai