PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Pemerintah Indonesia dalam hal menjaring pendapatan negara banyak melakukan
inovasi-inovasi untuk mengejar target APBN 2016. Target Pendapatan Negara dalam APBN
tahun 2016 ditetapkan sebesar Rp1.822,5 triliun, atau Rp25,6 triliun lebih rendah dari yang
diusulkan dalam RAPBN Tahun Anggaran 2016. Pajak merupakan sektor yang paling sentral
bagi perekonomian dan penerimaan suatu negara. Target Pendapatan Negara tersebut
bersumber dari Penerimaan Perpajakan sebesar Rp1.546,7triliun dan Penerimaan Negara
Bukan Pajak sebesar Rp273,8 triliun (rasio penerimaan negara terhadap PDB atau tax ratio
dalam tahun 2016 sebesar 13,11 persen. Penerimaan perpajakan berasal dari Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), Penerimaan cukai, pencairan tunggakan pajak, maupun pajak-pajak lainnya.
Penerimaan perpajakan dapat lebih di tingkatkan lagi jika semua potensi-potensi yang
ada dapat di maksimalkan. Salah satu potensi perpajakan yang patut untuk diperhatikan yaitu
wajib pajak, karena wajib pajak adalah pihak-pihak yang akan menjalankan hak serta
kewajiban yang harus dipenuhi dalam berbagai jenis pajak. Pajak dipungut dari warga Negara
Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Sistem
perpajakan Indonesia adalah Self Assessment yang berarti suatu sistem dimana pemerintah
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.2.1
1.3
TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari makalah ini adalah
1. Mengetahui definisi berkaitan tentang perpajakan
2. Mengetahui bentuk-bentuk ekstra effort penerimaan pajak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1DEFINISI PAJAK
Dalam KUP Pasal 1 (ayat 1) dikatakan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut Prof. Dr. Rachmat Soemitro, SH, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
(peralihan kas ke sektor pemerintah) berdasarkan Undang-Undang (dapat dipaksakan) dengan
tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan
untuk membiayai pengeluaran umum.
Definisi perancis dalam Buku Leroy Beaulieu yang berjudul Traite de la science des
Finances 1906, Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan
oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah.
Definisi menurut Mr. Dr. J. Feldmann dalam bukunya De overheidsmiddelen van
Indonesia; Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa
(menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan
semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.
2.1.2
2.1.3
Fungsi Pajak
1. Fungsi Finansial (budgeter)
2. Fungsi Mengatur (regulerred)
3. Fungsi Stabilitasi
4. Fungsi Redistribusi
2.1.4
Pemungutan Pajak
Menurut Sumarsan (2011:6), sistem pemungutan pajak di Indonesia terbagi
atas :
1. Official Assessment System
2. Self Assessment System
3. Withholding System
2.1.5
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang
atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam
perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak
masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya,
sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau
membuat produknya
.Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar
hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang
No. 8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 1994, UndangUndang No. 18 Tahun 2000, dan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009.
.4.1
Ciri PPN
Pajak tidak langsung (indirect tax), maksudnya pemikul beban pajak
dan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan
pajak adalah subjek yang berbeda.
Multitahap (multi stage), maksudnya pajak dikenakan di tiap mata
rantai jalur produksi dan jalur distribusi dari pabrikan.
Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek
pajak tanpa melihat kondisi subjek pajak.
bersifat netral. yaitu PPN tidak hanya dikenakan pada barang tetapi
juga jasa.
Menghindari pengenaan pajak berganda (double tax). karena PPN
hanya dikenakan pada pertambahan nilainya saja.
dipungut menggunakan faktur.
PPN dikenakan sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri (domestic
consumptions).
Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect
subtraction), yaitu dengan memperhitungkan besaran pajak masukan
dan pajak keluaran
rangka
melaksanakan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan.
Pengaturan pemeriksaan pajak juga telah diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor: 184/PMK.03/2015 yang mengatur mengenai Tata Cara Pemeriksaan.
Pemeriksaan pajak merupakan bagian tak terpisahkan (built-in) dengan sistem self
assessment yang dianut dalam sistem perpajakan di Indonesia. Pemeriksaan pajak dilakukan
dalam rangka pengawasan (control) kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Tanpa
pengawasan, Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya cenderung
menghindari bayar pajak. Bahkan banyak juga Wajib Pajak yang menghindari bayar pajak
dengan cara yang tidak benar seperti menurunkan omset, atau menambah biaya yang pada
akhirnya menghilangkan keuntungan fiskal atau meminimalkan penghasilan kena pajak.
2.5.1.1 Fungsi Pemeriksaan
Fungsi pemeriksaan pajak adalah mendorong Wajib Pajak melaporkan kegiatan
usahanya dengan benar. Benar dalam artian Wajib Pajak melaporkan kegiatan
usahanya, penghasilannya, hartanya, dan hutangnya sesuai keadaan sebenarnya. Tidak
ada yang ditutupi, tidak ada yang disembunyikan dan terbuka. Benar karena Wajib
perpajakan
Wajib
Pajak
dilakukan
dengan
menelusuri
kebenaran
Surat
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam hal besarnya jumlah
pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak,
besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar;
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal jumlah kelebihan
pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang
terutang atau seharusnya tidak terutang;
4. Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal ada sanksi administrasi berupa bunga
dan/atau denda;
5. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalam hal pajak
yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
Berbeda dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pajak, pemeriksaan
untuk tujuan lain tidak menerbitkan surat ketetapan pajak. Pemeriksaan untuk tujuan
lain di antaranya:
1. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
2. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
3. pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
4. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
5. pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
6. pencocokan data dan/atau alat keterangan;
7. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
8. penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
9. pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
10. penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan;
dan/atau
tanggal jatuh tempo pembayaran, akan diterbitkan Surat Teguran Pajak. Penyampaian
surat teguran merupakan awal pelaksanaan tindakan penagihan oleh fiskus (aparatur
perpajakan) untuk memperingatkan Wajib Pajak yang tidak melunasi utang pajaknya
sesuai dengan keputusan penetapan (STP, SKPKB, SKPKBT) sampai dengan saat
jatuh tempo.
Surat teguran merupakan surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau
memperingatkan Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya. Surat teguran dikeluarkan
apabila utang pajak yang tercantum dalam SPT, SKPKB atau SKPKBT tidak dilunasi sampai
melewati waktu hari dari batas waktu jatuh tempo 1 bulan sejak tanggal diterbitkannya.
Menurut keputusan Menteri Keuangan no. 561/KMK.04/2000 Pasal 5 ayat 2 menyatakan
bahwa surat teguran tidak diterbitkan terhadap penanggung pajak yang disetujui untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya.
2. Surat Paksa, yaitu utang pajak setelah lewat 21 hari dari tanggal Surat Teguran tidak
dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan
dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa sebesar Rp 50.000. Utang pajak
harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh
Jurusita Pajak. Penagihan dengan surat paksa dilakukan apabila jumlah tagihan pajak
tidak atau kurang bayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, atau sampai
10
di tangan pihak lain yang dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang
tertentu, berupa:
Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan dan kapal dengan isi kotor tertentu
Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh penanggung
pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya
Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan
memasak yang berada di rumah
Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas yang diperbolehkan dari Negara
Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan penanggung pajak dan alatalat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan
Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan
atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000 (dua
puluh juta rupiah). Besarnya nilai peralatan ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan atau Keputusan Kepala Daerah
Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga
yang menjadi tanggungan. Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang
telah disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Terhadap
barang yang telah disita tersebut, Jurusita Pajak menyampaikan SuratPaksa kepada
Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Pengadilan Negeri dalam
sidang berikutnya menetapkan barang tersebut sebagai jaminan pelunasan utang
pajak.Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang menentukan pembagian
hasil penjualan barang tersebut berdasarkan ketentuan hak mendahului Negara untuk
tagihan pajak.
11
4. Lelang, yaitu dalam jangka waktu paling singkat empat belas hari setelah tindakan
penyitaan, utang pajak belum juga dilunasi akan dilanjutkan dengan pengumuman
lelang melalui media massa. Penjualan secara lelang melalui Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) terhadap barang yang disita, dilaksanakan
paling singkat empat belas hari setelah pengumuman lelang. Dalam hal biaya
penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum dibayar maka akan dibebankan
bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan
biaya lelang pada saat pelelangan. Catatan: Barang dengan nilai paling banyak Rp
20.000.000 tidak harus diumumkan melalui media massa. Pelaksanaan Lelang tidak
dilaksanakan apabila Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan
pajak sebelum pelaksanaan lelang.
.5.2.1 Hak Wajib Pajak/Penanggung Pajak dalam Pemeriksaan dan Penagihan
Dalam penagihan pajak, Wajib pajak memiliki hak untuk:
1. Meminta Jurusita Pajak memperlihatkan Kartu Tanda Pengenal Jurusita Pajak.
2. Menerima Salinan Surat Paksa dan Salinan Berita Acara Penyitaan.
3. Menentukan urutan barang yang akan dilelang.
Diberi kesempatan terakhir sebelum pelaksanaan lelang untuk melunasi utang pajak
termasuk biaya penyitaan, iklan, dan biaya pembatalan lelang, dan melaporkan pelunasan
tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang bersangkutan.
12
BAB III
PEMBAHASAN
Seperti yang sudah di kemukakan pada bab sebelumnya bahwa fungsi pajak ada 4
yaitu fungsi financial (budgeter), fungsi mengatur (regulerend), fungsi stabilitas, dan fungsi
redistribusi. Dalam fungsi financial ada beberapa upaya meningkatkan penerimaan pajak
yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu melakukan pembenahan aspek kebijakan maupun
aspek system dan administrasi perpajakan melalui hal-hal berikut
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
13
Dalam makalah ini, kami akan focus atau membahas tentang extra effort dalam
pemeriksaan dan penagihan pajak.
14
Mapping
adalah
pemetaan
kondisi
Wajib
Pajak
berdasarkan
15
.2 EXTRA
EFFORT
antar cabang;
Rasio biaya gaji terhadap penjualan;
Rasio biaya bunga terhadap penjualan;
Rasio biaya sewa terhadap penjualan;
Rasio biaya penyusutan terhadap penjualan;
Rasio penghasilan luar usaha terhadap penjualan;
Rasio biaya luar usaha terhadap penjualan
PEMERIKSAAN
MENGOPTIMALKAN
PENERIMAAN
PAJAK
YANG
NEGARA DI
DAPAT
SEKTOR
PERPAJAKAN
16
Pemeriksaan pajak sebagai salah satu pilar law enforcement memiliki peran yang
dapat meningkatkan penerimaan pajak. Namun, pemeriksaan pajak yang seperti apa yang
dapat mengoptimalkan penerimaan pajak?
Faktor-faktor yang harus terpenuhi agar pemeriksaan pajak dapat mengoptimalkan
penerimaan negara antara lain:
3.2.1
Kejelasan,
Kepastian
dan
Kesederhanaan
Peraturan
Perundang-
undangan.
Peraturan perpajakan yang ideal dapat memberikan kejelasan, kepastian hukum
dan kesederhanaan sehingga tidak menimbulkan multi tafsir sehingga dapat menjadi
sengketa peraturan, baik di internal DJP maupun antara DJP dengan Wajib Pajak.
Pasal 16 ayat (3), Pasal 17B ayat (2) dan Pasal 26 ayat (5) UU KUP memberikan
kepastian hukum terhadap status permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak apabila
telah melewati jangka waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangundangan sehingga Wajib Pajak mendapatkan kejelasan jawaban atas permohonan
yang diajukan.
Pasal 17B UU KUP memberikan kepastian jangka waktu penyelesaian
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang diproses dengan
pemeriksaan pajak. Dengan adanya jangka waktu tersebut, maka pemeriksaan pajak
harus diselesaikan sebelum jangka waktu tersebut berakhir. Apabila jangka waktu
tersebut terlewati, maka permohonan Wajib pajak tersebut telah memiliki kepastian
hukum, yaitu dianggap dikabulkan oleh DJP. Dengan peraturan perundang-undangan
yang jelas, pasti dan sederhana akan mengurangi sengketa peraturan dan akan
mendorong Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya dengan baik
sehingga tingkat.
3.2.2
17
3.2.4
Pelayanan Prima
Pelayanan prima (service excellent) adalah pelayanan yang melebihi dari apa
yang diharapkan oleh wajib Pajak. Sekilas, pemeriksaan pajak tidak ada kaitannya
dengan pelayanan prima. Namun, anggapan tersebut kurang tepat. Dengan pelayanan
prima yang diberikan oleh Fungsional Pemeriksa kepada Wajib Pajak saat
melaksanakan pemeriksaan pajak, maka pelaksanaan pemeriksaan dapat mencapai
tujuan yang diinginkan karena Wajib Pajak merasa diperlakukan dengan baik dan
diberikan penjelasan yang memadai sehingga koreksi yang dilakukan oleh Fungsional
Pemeriksa dapat disetujui oleh Wajib Pajak
3.2.5
20
Sistem pajak terdiri atas legal substance, legal structure dan legal
culture. Legal substance berkaitan dengan kebijakan dan peraturan
perpajakan, legal structure terkait dengan sumber daya anusia yang
berhubungan dengan pajak dan legal culture terkait dengan budaya yang
dianut masyarakat terkait perpajakan.
Terkait legal substance, perlu dilihat apakah ada perubahan
peraturan yang dapat menyebabkan tidak tercapainya penerimaan, seperti
penambahan fasilitas atau insentif perpajakan, penambahan faktor
pengurang dalam penghitungan pajak dan pengurangan obyek penghasilan
yang dapat dikenakan pajak.
Pemberian fasilitas tax holiday atau tax allowance, penambahan
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan dihapuskannya jasa catering
sebagai obyek PPN merupakan beberapa contoh legal substance yang
dapat mengurangi penerimaan pajak.
Terkait legal structure, perlu dilihat apakah ada kebocoran
penerimaan pajak yang dilakukan oleh petugas. Petugas disini bukan
hanya petugas pajak tetapi seluruh petugas yang terlibat dalam penegakan
hukum di bidang perpajakan seperti polisi, jaksa dan hakim.
Profesionalitas dan integritas merupakan dua kata kunci yang harus
dipegang setiap petugas sehingga dapat meminimalisasi kebocoran
penerimaan pajak.
Legal culture mencerminkan budaya dan tata nilai yang dianut oleh
masyarakat secara umum dan Wajib Pajak secara khusus, dalam
menyikapi urusan pajak. Apabila Wajib Pajak menganggap petugas pajak
dalam diajak bermain atau dengan kata lain dapat disuap, maka Wajib
Pajak akan melakukan itu untuk meringankan beban pajaknya. Secara
alami, tidak ada orang yang secara sukarela dipungut pajak dari
penghasilan yang diterimanya, sehingga setiap orang akan berusaha agar
dapat meminimalkan beban pajak yang harus dibayarnya
c. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi penerimaan pajak,
sebagai contoh pengenaan bea keluar terhadap komoditas pertambangan
seperti batubara dan pertanian seperti kelapa sawit akan berdampak pada
penerimaan pajak. Wajib Pajak akan berusaha menjaga margin keuntungan
perusahaan sehingga penambahan beban bea keluar akan membuat Wajib
Pajak berusaha menurunkan pajak yang harus dibayar
d. Kebijakan Eksternal
Kebijakan eksternal yang dimaksud adalah kebijakan dari luar
negeri yang dapat menggerus penerimaan pajak.
3.3.2 Solusi dalam Mengatasi Hambatan-Hambatan Pemeriksaan Pajak
A. Sumber Daya Manusia.
Terkait hambatan sumber daya manusia, ada dua usulan solusi yang dapat
mengatasi hambatan tersebut, yaitu:
1. Perlu
informasi,
metode
dan
teknik
pemeriksaan.
Soft
Adapun upaya yang dilakukan pemerintah saat ini dalam mencari sumber penerimaan
negara yaitu dengan jalan mencari sumber-sumber pembiayaan alternatif yang dianggap
potensial dan juga dapat diandalkan. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan
mengoptimalkan penerimaan negara, terutama dalam sektor pajak.
Salah satu bentuk keikutsertaan masyarakat yang kiranya dianggap paling besar saat ini
dalam kaitannya dengan sektor pajak adalah melakukan pembayaran pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan Undang-undang perpajakan. Namun usaha untuk mengoptimalkan
penerimaan negara dari sektor pajak sampai saat ini ternyata belum berialan sesuai dengan yang
diharapkan. Hal ini disebabkan karena adanya keengganan masyarakat dalam memenuhi atau
melunasi kewajiban perpajakannya, sehingga mengakibatkan diterbitkannya Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar ataupun Surat Tagihan. Apabila dari surat ketetapan atau Surat Tagihan
tersebut tidak segera dilunasi maka akan menimbulkan tunggakan pajak.
Adapun dalam pelaksanaan penagihan pajak tersebut turut melibatkan peran aktif dari
aparatur pajak yang biasa disebut Fiskus. Namun hal yang paling penting untuk diperhatikan
oleh Fiskus dalam pelaksanaan penagihan pajak yaitu suatu kewajiban perpajakan dianggap telah
hilang atau gugur apabila telah melewati jangka waktu tertentu.
Dengan mencegah daluwarsa pengalihan pajak berarti juga menyelamatkan penerimaan
pajak negara. Untuk itu, segala daya dan upaya dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan
penerimaan Negara, dari berbagai sector. Dalam hal ini, upaya penagihan pajak perlu mendapat
perhatian yang serius dalam penanganannya sehingga dapat merealisasikan peningkatan
penerimaan pajak negara
3.4.1 Hambatan-Hambatan dalam Pelaksanaan Penagihan Pajak
Dalam proses penagihan pajak yang dilakukan oleh fiskus, fiskus menggunakan surat
paksa untuk memaksa Wajib Pajak melunasi hutang pajak terutang. Tetapi didalam
pelaksanaannya tidaklah mudah, dikarenakan Jurusita pajak sebagai pelaksanaan penagihan
pajak menjumpai beberapa hambatan-hambatan yang menyebabkan jalannya proses penagihan
pajak terhadap wajib pajak/ penanggung pajak tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Adakalanya wajib pajak/ penanggung pajak menolak untuk menerima Surat Paksa
yang disampaikan oleh Jurusita Pajak dengan berbagai macam alasan. Apabila alasan
penolakan tersebut dikarenakan tunggakan menurut Surat Paksa berbeda dengan
tunggakan SKP yang dimiliki oleh wajib pajak/ penanggung pajak, maka Jurusita
Pajak tidak boleh mengubah, apa yang tertulis dalam Surat Paksa tersebut ataupun
mencoret dan menambahkan pembetulannya. Penyelesaiannya dapat dilakukan
dengan cara Jurusita Pajak mengembalikan Surat Paksa tersebut kepada Kepala Seksi
Penagihan dengan disertai laporan dan usul agar dikeluarkan Surat Paksa yang baru
dengan menggunakan nomor dan tanggal yang sama (pengganti Surat Paksa yang
salah tersebut) sesuai dengan data sebenarnya. Hal tersebut dapat dilakukan pula atas
kesalahan/ perbedaan-perbedaan alamat, perbedaan nama dan lain sebagainya.
3. Apabila Jurusita Pajak tidak menjumpai wajib pajak/ penanggung pajak maka salinan
Surat Paksa tersebut dapat diserahkan/ diberikan kepada :
a.
Keluarga wajib pajak/ penanggung pajak atau orang bertempat tinggal bersama
dengan wajib pajak/ penanggung pajak yang akil baliqh (dewasa dan sehat
mental).
b. Anggota Pengurus Komisaris atau para persero dari Badan Usaha yang
bersangkutan atau;
c.
membayar maka juru sita pajak akan menunggu pembayaran sampai dengan
tanggal jatuh tempo.
7. Melaksanakan pencegahan
8. Melaksanakan Penyitaan
9. Upaya terakhir penagihan pajak adalah penyanderaan.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan terus melakukan penyanderaan
(gijzeling) secara hati-hati kepada penanggung pajak yang memiliki utang pajak
sedikitnya Rp 100 juta dan memiliki aset untuk melunasinya, namun diragukan itikad
baiknya dalam melunasinya. Selain melibatkan aparat penegak hukum, DJP juga
melibatkan tenaga medis untuk memastikan kondisi kesehatan penanggung pajak saat
melakukan eksekusi penyanderaan. Sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP), jangka waktu
penyanderaan paling lama enam bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama
enam bulan. Hingga 26 Juni 2015, DJP telah menyampaikan usulan penyanderaan
penanggung pajak kepada Menkeu terhadap 29 penanggung pajak yang merupakan
wakil dari 18 Wajib Pajak Badan dan 3 Wajib Pajak Orang Pribadi. Sesuai usulan
tersebut, DJP memperoleh surat izin untuk melakukan penyanderaan dari Menkeu
terhadap 23 orang yang merupakan penanggung pajak atas utang 14 Wajib Pajak
Badan dan 3 Wajib Pajak Orang Pribadi dengan total nilai utang pajak sebesar Rp
44,23 miliar. DJP tidak mengharapkan penyelesaian utang pajak dilakukan melalui
penyanderaan, oleh karena itu himbauan terus disampaikan kepada Wajib Pajak yang
memiliki utang pajak untuk senantiasa melakukan komunikasi dan bersikap
kooperatif dengan KPP.
3.4.3 Kasus-kasus yang Berkaitan Dengan Penagihan Pajak
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sukamulih menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Nomor
000010/207/08/622/09
tanggal
20
Nopember
2009
dengan
nilai
Rp350.000.000,00. Atas nilai SKPKB tersebut keseluruhannya tidak disetujui oleh Wajib Pajak
dan oleh Wajib Pajak padatanggal 15 Januari 2010 diajukan upaya hukum berupa keberatan.
Pada bulan Februari 2009 terdapat informasi bahwa Wajib Pajak akan membubarkan usahanya.
a. atas SKPKB tersebut, upaya apa yang dapat dilakukan KPP untuk mengamankan
target penerimaan perpajakan?
b. resiko-resiko apa yang dapat timbul terkait dengan permasalahan diatas, dan
menurut Saudara bagaimana meminimalisir resiko-resiko tersebut?
LANDASAN TEORI :
Pasal 25 ayat (7) UU KUP
Dalam hal WP mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud
dalam pasal 9 ayat (3) atau ayat (3A) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
keberatan, tertangguh 1 bulan sejak sejak tanggal penerbitan SK Keberatan
usahanya,
atau
memekarkan
usahanya,
atau memindahtangankan
perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
d. badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau
e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau
f. terdapat tanda tanda kepailitan.
Pasal 14 PMK-24/PMK.03/2008
Penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus oleh Pejabat dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. diterbitkan sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran;
b. diterbitkan tanpa didahului Surat Teguran;
c. diterbitkan sebelum jangka waktu 21 (dua
puluh
satu)
hari
sejak
Surat
Teguran diterbitkan;atau
d. diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa.
PENYELESAIAN KASUS :
Berdasarkan pasal 6 UU PPSP, meskipun pajak yang tercantum dalam dasar
penagihan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 UU KUP yang dalam hal ini SK
Keberatan (Karena WP mengajukan keberatan) belum jatuh tempo berdasarkan pasal 26 ayat
(7), tetapi terhadap wajib pajak tersebut dapat diterbitkan Surat Penagihan Seketika
dan Sekaligus
sesuai
dengan
pasal
14
PMK-24/PMK.03/2008
dengan
kondisi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 huruf (d) UU PPSP, yakni WP akan
melakukan pembubaran badan usaha. Atas dasar SPPSS tersebut, KPP dapat langsung
menerbitkan Surat Paksa (Pasal 8 UU PPSP) untuk mengamankan target penerimaan negara.
pengamanan serta jaminan lunasnya utang pajak. Lagipula, menurut KUP yang baru,
pajak sebagaimana dalam kasus di atas belum menjadi utang pajak sampai dengan SK
keberatan diterbitkan.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
2. Optimalisasi PP Nomor 31 tahun 2012 untuk mengumpulkan lebih banyak data dan
informasi terkait perpajakan serta penyediaan data internal yang terintegrasi sebelum
pelaksanaan pemeriksaan;
Saran
Pemerintah dalam hal ini Ditjen Pajak diharapkan melakukan tindakan tegas terhadap
Wajib Pajak yang tidak kooperatif sesuai dengan ketentuan perpajakan yang ada dan
berlaku di Indonesia.
Pemerintah dalam hal ini Ditjen Pajak sebaiknya lebih rutin dalam memberikan
penyuluhan penyuluhan pajak, mengingat kesadaran masyarakat akan pentingnya
membayar pajak yang masih kurang.
Ditjen pajak juga harus memperhatikan kualitas pelaksana pemeriksanya juga, perlu
dilakukan ujian kemampuan pelaksana pemeriksaan pajaksecara rutin, agar kualitas
pelaksana pemeriksa pajak lebik baik.
DAFTAR PUSTAKA
Referensi
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Sebagaimana Telah Diubah dengan Undangundang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2012 tentang Pemberian dan
Penghimpunan Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan
3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata
Cara Pemeriksaan.
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per- 23/PJ/2013 tentang Standar Pemeriksaan.
5. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ/2012 tentang Pedoman
Penyusunan Program Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban
Perpajakan.
6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2012 tentang Pedoman
Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan.
7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-126/PJ/2010 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pemeriksaan (Audit Plan) Untuk Menguji Kepatuhan pemenuhan
Kewajiban Perp
8. Erly Suandy. 2011. Hukum Pajak. Edisi 5. Jakarta : Salemba Empat
9. https://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_pertambahan_nilai
10. http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/12588-bagaimanastrategi-djp-dalam-mengamankan-target-penerimaan-pajak-2013
11. http://www.kemenkeu.go.id/Berita/kejar-target-djp-lakukan-extra-effort
12. https://rzservice.wordpress.com/2016/02/08/kegiatan-extra-effort-direktorat-jendralpajak/
13. http://id-jurnal.blogspot.co.id/2008/04/jurnal-bisnis-dan-ekonomi-septermber.html
14. http://www.kompasiana.com/nengsrik/tahap-tahap-penagihan
pajak_5659225cf47e617f0ecdd8aa
15. http://satudpajak2011.blogspot.co.id/2012/06/penagihan-pajak.html
16. http://www.pajak.go.id/content/article/gijzeling-upaya-akhir-penagihan-pajak
17. http://muhammadsyaroni.blogspot.com/2010/12/contoh-kasus-kasus-penagihanpajak.html