HUKUM PAJAK
A. Pengertian Hukum Pajak
Hukum pajak yang disebut Hukum Fiscal adalah keseluruhan dari peraturan yang
meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dengan
menyerahkannya kembali pada masyarakat melalui kas negara sehingga menjadi bagian
dari hukum publik yang mengatur hubungan hukum dengan orang/badan-badan (hukum)
yang berkewajiban membayar pajak. (Santoso, 1995:1)
Hukum Pajak mempunyai fungsi Regulerend atau mengatur kepentingan umum seperti
Hukum Administrasi Negara umumnya dan juga dipergunakan sebagai alat untuk
menentukan politik perekonomian negara (budgeter), lebih tegasnya disebut Politik
Keuangan Negara.
Negara yang memiliki otoritas untuk mengadili kasus kejahatan sesuai KUHP :
Hukum Pajak Formal diatur dalam UU No.6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
dengan UU No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP).
BAB 8
Contoh: UU No.7 Tahun 1983 yang telah diubah menjadi UU No.36 Tahun 2009 tentang
Pajak penghasilan menganut sistem Self Assesment System.
Contoh: UU Pajak Perseroan Tahun 1925 dan UU PPd 1941 menganut Official
Assesment System
3. Withholding System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak tertenu atau
pihak ketiga (withholder), untuk memotong atau memungut pajak yang terhutang
berdasarkan persentase tertentu terhadap jumlah pembayaran yang dilakukan dengan
penerima penghasilan
Contoh: UU No.7 tahun 1983 yang diubah dengan UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan, Pasal 21-23 dan 26 serta PPh Pasal 4 ayat (2) final disebut juga sebagai
Withholding Tax.
C. Stelsel Pajak
Ada 3 macam cara memungut pajak atas suatu penghasilan atau kekayaan:
1. Stelsel Nyata (riel stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek yang sesungguhnya terjadi (penghasilan nyata)
sehingga pemungutan pajak baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah
penghasilan yang sesungguhnya dari tahun bersangkutan diketahui.
Contoh: Perhitungan PPh Badan yang terhutang hingga akhir tahun berjalan, baru dapat
diketahui jumlah riilnya setelah membuat SPT PPh Badan pada akhir tahun fiskal yang
bersangkutan.
Kebaikan: Pajak dapat dibayar secara mengangsur selama tahun pajak berjalan tanpa
harus menunggu akhir tahun.
Kelemahan: Pajak yang dibayar tidak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya sehingga
jumlahnya tidak akurat.
Contoh: Pembayaran angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun berjalan adalah didasarkan
kepada perhitungan 1/12 dari jumlah pajak yang terhutang sebelumnya.
3. Stelsel Campuran
Kombinasi antara stelsel nyata dan anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung
berdasarkan suatu anggapan (sehingga terdapat angsuran pajak penghasilan badan
/Wajib Pajak orang pribadi dalam tahun berjalan), kemudian pada akhir tahun besarnya
pajak disesuaikan dengan keadaan sebenarnya (setelah pelaporan SPT tahunan PPh
Badan/Wajib Pajak Orang Pribadi).
Jika besar pajak sesungguhnya lebih besar daripada anggapan, maka Wajib Pajak harus
membayar kekurangannya (PPh Pasal 29).
Jika besar pajak sesunggugnya lebih kecil daripada anggapan, maka kelebihannya dapat
diminta kembali (restitusi) atau di kompensasikan pada tahun-tahun berikutnya.
Indonesia menganut stelsel campuran ini. Dengan berlakunya UU PPh No.36 Tahun
2009, maka PPh Pasal 29 Badan harus dilunasi paling lambat akhir bulan April,
sedangkan untuk PPh Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi harus dilunasi paling lambat
akhir bulan Maret.