Anda di halaman 1dari 7

BAB 7

HUKUM PAJAK
A. Pengertian Hukum Pajak
Hukum pajak yang disebut Hukum Fiscal adalah keseluruhan dari peraturan yang
meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dengan
menyerahkannya kembali pada masyarakat melalui kas negara sehingga menjadi bagian
dari hukum publik yang mengatur hubungan hukum dengan orang/badan-badan (hukum)
yang berkewajiban membayar pajak. (Santoso, 1995:1)

B. Kedudukan Hukum Pajak


Dalam buku Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H., yang berjudul “Dasar-dasar Hukum Pajak
dan Pajak Pendapatan” dijelaskan bahwa kedudukan Hukum Pajak diantara Hukum-
Hukum lain sebagai berikut:
1. Hukum Perdata
Kelompok hukum yang mengatur Hak Harta Benda dan Hubungan antar individu di
suatu negara. Hukum perdata terdiri dari:
a. Hukum Perdata Umum
b. Hukum Perdata Khusus (lebih dikenal dengan Hukum Dagang)
2. Hukum Publik
Kelompok hukum yang mengatur hubungan antara orang dengan negara. Hukum
Publik terdiri dari:
a. Hukum Tata Negara
Keseluruhan norma hukum yang mengatur pembentukan negara, pemerintahan
negara, dan perundang-undangan.
b. Hukum Administrasi Negara (termasuk Hukum Pajak)
Hukum yang memuat peraturan mengenai segala tugas dan kewajiban pejabat
Pemerintahan Negara dalam melakukan tugasnya.
c. Hukum Pidana
Hukum mengenai kejahatan atau pelanggaran (kriminal) berserta sanksinya.

Hukum Pajak mempunyai fungsi Regulerend atau mengatur kepentingan umum seperti
Hukum Administrasi Negara umumnya dan juga dipergunakan sebagai alat untuk
menentukan politik perekonomian negara (budgeter), lebih tegasnya disebut Politik
Keuangan Negara.

Negara yang memiliki otoritas untuk mengadili kasus kejahatan sesuai KUHP :

1. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Politik


Kedudukan Hukum Pajak merupakan bagian dari Hukum Publik, hukum ini adalah
bagian dari tata tertib hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dengan
warganya yang memuat cara-cara untuk mengatur pemerintahan. Dalam hal ini,
peraturan khusus adalah Hukum Pajak sedangkan peraturan utama adalah Hukum
Publik.

2. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata


Hukum Perdata merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang mengatur hubungan
antara orang-orang pribadi. Hukum pajak banyak sekali sangkut pautnya dengan
Hukum Perdata. Kebanyakan Hukum Pajak mencari dasar kemungkinan pemungutan
atas kejadian dan perbuatan hukum yang bergerak di lingkungan perdata.
Menurut Prof. Mr.W.F.Prins, dalam bukunya Het Belastingrecht van Indonesia
mengatakan bahwa hubungan erat ini sangat mungkin sekali timbul dikarenakan
banyak dipergunakannya istilah Hukum Perdata dalam UU Pajak, walaupun sebagai
prinsip yang harus dipegang teguh, bahwa pengertian yang dianut oleh Hukum
Perdata tidak selalu dianut oleh Hukum Pajak. (Santoso,1995:11)

3. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana


Hukum pidana yang tercantum dalam KUHP dan yang terdapat diluarnya, yaitu
dalam ketentuan UU yang khusus untuk mengadakan peraturan dalam segala
lapangan , merupakan suatu keseluruhan yang sistematis, karena ketentuan dalam
Buku I KUHP (kecuali yang ditentukan lain) juga berlaku untuk peristiwa-
peristiwa pidana(yang dikenakan hukum) yang diuraikan di luar KUHP.
Ada 7 Pasal dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Tahun 1984
yang mengatur tentang sanksi pidana, seperti pada Pasal 41 ayat (2) , Pasal 322
KUHP, dll.

C. Pembagian Hukum Pajak


Prof. Safri Nurmanto membagi Hukum Pajak menjadi 2 macam ketentuan hukum yaitu :
1. Hukum Pajak Materil
Norma-norma yang menerangkan keadaan perbuatan dan peristiwa hukum yang harus
dikenakan pajak, siapa saja yang dikenakan pajak, berapa besar pajaknya. Dengan
kata lain dari segala sesuatu timbulnya, besar dan hapusnya hutang pajak dan
hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib pajak. Juga termasuk didalamnya
peraturan-peraturan yang memuat kenaikan denda, hukuman serta cara-cara
pembebasan, dan pengembalian pajak serta ketentuan yang memberi hak tagihan
utama kepada fiskus (Santoso, 1995:43)

Hukum Pajak Materil diatur dalam:


a. UU No.7 Tahun 1983 yang terakhir diubah menjadi UU No. 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan,
b. UU No.8 Tahun 1983 yang terakhir diubah menjadi UU No.42 Tahun 2009
tentang PPN Barang Jasa dan PPnBM ,
c. UU No. 12 Tahun 1985 yang terakhir diubah dan dimasukkan dalam UU No. 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ,
d. UU No.21 tahun 1997 yang diubah menjadi UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak
dan Retribusi Daerah ,
e. UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea dan Materai.

Hukum Pajak berhubungan dengan Subjek dan Wajib Pajak :


a. Siapa saja yang dikenakan Pajak?
Menurut sistem Pajak Penghasilan setiap orang yang berada di Indoensia lebih dari
183 hari dalam satu tahun pajak dianggap Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN).
b. Siapa-siapa saja yang dikecualikan tidak membayar pajak?
Sesuai dengan Pasal 3 UU PPh Tahun 1984, yang tidak termasuk subjek pajak :
 Kantor Perwakilan Negara Asing
 Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing,
WNA yang berkerja di Indonesi dan di Indonesia tidak menerima maupun
memperoleh penghasilan di luar jabatan/pekerjaannya.
 Organisasi Internasional dengan syarat :
 Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut, dan
 Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
 Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud, dengan
syarat bukan WNI dan tidak menjalankan usaha/kegiatan/pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.
c. Apa saja yang dikenakan pajak?
Yang dapat dikenakan pajak adalah Objek Pajak yaitu Penghasilan dalam Pasal 4
UU pajak penghasilan Tahun 1984.
d. Berapa jumlah pajak yang harus dibayar?
Berhubungan dengan tarif pajak yang diatur pada Pasal 17 UU No.7 tentang Pajak
Penghasilan dan dasar pengenaan pajak.

2. Hukum Pajak Formal


Peraturan mengenai cara untuk mewujudkan Hukum Pajak Material menjadi suatu
kenyataan. Bagian hukum ini memuat cara-cara penyelenggaraan mengenai
penetapan suatu hutang pajak, kontrol oleh pemerintah terhadap
penyelenggaraannya, kewajiban para Wajib Pajak, kewajiban pihak ketiga dan
prosedur dalam pemungutannya, jadi untuk memberi jaminan dalam
pemungutannya.

Menurut Prof. Mansury , Hukum Pajak Formal adalah peraturan undang-undang


yang mengatur tentang prosedur pelaksanaan yang berkenaan dengan administrasi
pajak atau instansi pajak, berbagai tata cara sehubungan dengan hak dankewajiban
Wajib Pajak dan Aparat Pajak

Hukum Pajak Formal diatur dalam UU No.6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
dengan UU No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP).
BAB 8

TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK


A. Asas Pemungutan Pajak
Terdapat 4 asas pemungutan pajak, yaitu :

1. Asas Sumber (Source Rules)


Menurut asas ini, Fiscus suatu negara berwenang mengenakan pajak atas penghasilan
yang bersumber dari negara tersebut tanpa memperhatikan domisili Wajib Pajak.
Indonesia menganut asas sumber ini yang artinya setiap penghasilan yang bersumber
atau berasal dari Indonesia dapat dikenakan pajak oleh Fiscus Indonesia. Ketentuan
asas sumber diatur dalam Pasal 4 Ayat 1 , Pasal 24 Ayat 1 , dan UU PPh 1983 1994
20008.

2. Asas Tempat Tinggal (Domicile Rules)


Menurut asas ini, Fiscus suatu negara berhak mengenakan pajak atau seluruh
penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya baik atas segala
penghasilan yang diperoleh di Indonesia maupun yang berasal dari luar negeri.
Indonesia menganut asas domisili yang artinya orang pribadi atau yang bertempat
tinggal di Indonesia melebihi batas waktu yang telah ditentukan (183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan) dapat dikenakan pajak oleh Fiscus Indonesia. Ketentuan ini
diatur dalam Pasal 2 Ayat 3 UU PPh 1983 1994 2000 2008

3. Asas Kebangsaan/Kewarganegaraan (Nationality Rules)


Asas ini menghubungkan pengenaan pajak dengan kebangsaan dari suatu negara,
dimanapun seorang Warga Negara berada dapat dikenakan pajak oleh Fiscus negara
asalnya. Indonesia tidak menganut asas kebangsaan/kewarganegaraan.

4. Asas Teritorial (Territorial Rules)


Menurut asas ini, Fiscus suatu negara berwenang untuk mengenakan pajak hanya di
dalam batas yurisdiksi teritorialnya. Indonesia tidak menganut asas territorial.

B. Sistem Pemungutan Pajak

1. Self Assesment System (Sistem Menghitung Pajak Sendiri)


Suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang, kepercayaan, dan
tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk melaksanakan sendiri hak dan kewajiban
perpajakannya. Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk :
 Menghitung sendiri pajak yang terhutang ,
 Memotong/memungut sendiri pajak yang harus dipotong/dipungut ,
 Membayar sendiri jumlah pajak yang harus dibayar ,
 Melaporkan sendiri jumlah pajak yang terhutang.

Ciri-ciri Self Assesment System :


 Wewenang menentukan besarnya pajak yang terhutang diberikan pada pihak Wajib
Pajak. Fiskus hanya mengawasi dan tidak boleh ikut campur.
 Wajib pajak bersifat aktid dalam menghitung, memotong/memungut, menyetor, dan
melaporkan sendiri pajak yang terhutang.
 Surat Keterangan Pajak hanya dikeluarkan sebagai produk hukum dari hasil
pemeriksaan pajak oleh Fiskus.

Contoh: UU No.7 Tahun 1983 yang telah diubah menjadi UU No.36 Tahun 2009 tentang
Pajak penghasilan menganut sistem Self Assesment System.

2. Official Assesment System (Pemungutan dengan Sistem Ketetapan)


Suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada Fiskus untuk
menentukan besarnya pajak yang terhutang.

Ciri-ciri Official Assesment System :


 Wewenang menentukan besarnya pajak yang terhutang diberikan pada pihak fiskus
 Wajib Pajak bersifat pasif dalam menghitung pajak yang terhutang ,
 Hutang pajak timbul setelah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak oleh Fiskus.

Contoh: UU Pajak Perseroan Tahun 1925 dan UU PPd 1941 menganut Official
Assesment System

3. Withholding System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak tertenu atau
pihak ketiga (withholder), untuk memotong atau memungut pajak yang terhutang
berdasarkan persentase tertentu terhadap jumlah pembayaran yang dilakukan dengan
penerima penghasilan

Ciri-ciri Withholding System :


 Wewenang menentukan besarnya pajak yang terhutang dari pemotongan
/pemungutan pajak ada pada pihak pemotong/pemungut pajak (withholder) ,
 Wajib Pajak Pemungut/Pemotorng (withholder) bersifat aktif dalam menghitung,
memotong/memungut, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang dipotong/
dipungutnya.
 Hutang pajak timbul setelah ada pemotongan/pemungutan pajak dan diterbitkan Bukti
Pemotongan atau Pemungutan Pajak oleh pihak pemotong/pemungut pajak
(withholder).

Contoh: UU No.7 tahun 1983 yang diubah dengan UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan, Pasal 21-23 dan 26 serta PPh Pasal 4 ayat (2) final disebut juga sebagai
Withholding Tax.
C. Stelsel Pajak
Ada 3 macam cara memungut pajak atas suatu penghasilan atau kekayaan:
1. Stelsel Nyata (riel stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek yang sesungguhnya terjadi (penghasilan nyata)
sehingga pemungutan pajak baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah
penghasilan yang sesungguhnya dari tahun bersangkutan diketahui.

Kebaikan : Pajak yang dikenakan lebih akurat dan realistis


Kelemahan : karena pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode, sehingga Wajib
Pajak dibebani dengan jumlah pembayaran yang tinggi pada akhir tahun.

Contoh: Perhitungan PPh Badan yang terhutang hingga akhir tahun berjalan, baru dapat
diketahui jumlah riilnya setelah membuat SPT PPh Badan pada akhir tahun fiskal yang
bersangkutan.

2. Stelsel Anggapan (fictive stelsel)


Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh UU. Misalnya,
penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal
tahun pajak sudah ditetapkan besarnya pajak yang terhutang untuk tahun pajak berjalan.

Kebaikan: Pajak dapat dibayar secara mengangsur selama tahun pajak berjalan tanpa
harus menunggu akhir tahun.
Kelemahan: Pajak yang dibayar tidak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya sehingga
jumlahnya tidak akurat.

Contoh: Pembayaran angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun berjalan adalah didasarkan
kepada perhitungan 1/12 dari jumlah pajak yang terhutang sebelumnya.

3. Stelsel Campuran
Kombinasi antara stelsel nyata dan anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung
berdasarkan suatu anggapan (sehingga terdapat angsuran pajak penghasilan badan
/Wajib Pajak orang pribadi dalam tahun berjalan), kemudian pada akhir tahun besarnya
pajak disesuaikan dengan keadaan sebenarnya (setelah pelaporan SPT tahunan PPh
Badan/Wajib Pajak Orang Pribadi).

Jika besar pajak sesungguhnya lebih besar daripada anggapan, maka Wajib Pajak harus
membayar kekurangannya (PPh Pasal 29).

Jika besar pajak sesunggugnya lebih kecil daripada anggapan, maka kelebihannya dapat
diminta kembali (restitusi) atau di kompensasikan pada tahun-tahun berikutnya.

Indonesia menganut stelsel campuran ini. Dengan berlakunya UU PPh No.36 Tahun
2009, maka PPh Pasal 29 Badan harus dilunasi paling lambat akhir bulan April,
sedangkan untuk PPh Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi harus dilunasi paling lambat
akhir bulan Maret.

Anda mungkin juga menyukai