Anda di halaman 1dari 19

HUKUM PAJAK

Oleh:

I Gusti Ayu Agung Adinda Jayanthi Dinar

202274201087

3 A2

Fakultas Hukum

Universitas Ngurah Rai

2022/2023
A. Pengertian Hukum Pajak
Pajak dari bahasa latin “rate” adalah iuran rakyat kepada negara yang berdasarkan
undang-undang, sehingga dapat dipaksakan dan rakyat tidak mendapat balas jasa secara
langsung.1 Menurut Undang-Undanga Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP) Pasal 1 angka (1) :

“Pajak adalah kontribusi Wajib Pajak kepada negara yang bersifat terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa oleh Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.”

Berbicara mengenai pengertian atau definisi hukum pajak seperti halnya pengertian
atau definisi hukum yang lain banyak sekali pendapat dari para ahli, beberapa diantaranya
adalah:

Menurut Santoso Brotodihardjo


Hukum pajak (Fiskal) adalah keseluruhan dari peraturan yang meliputi wewenang pemerintah
untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui
kas negara, sehingga ia merupakan hukum publik yang mengatur hubungan-hubungan hukum
antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar
pajak (wajib pajak).

Menurut Bohari
Hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara
pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Dengan demikian
hukum pajak menerangkan tentang:
1. Subjek pajak.
2. Objek pajak.
3. Kewajiban-kewajiban wajib pajak kepada pemerintah.
4. Timbul dan hapusnya utang pajak
5. Cara penagihan pajak.
6. Cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan pajak.

Dari pendapat tersebut, terlihat bahwa ada yang menyamakan pajak dengan Fiskal.
Padahal keduanya mempunyai arti yang berbeda. Kata fiskal berasal dari bahasa latin “fiscus”
yang berarti keranjang yang berisi uang atau kantong uang atau kantong raja. Kata fiscus
kemudian diartikan dan diidentifikasi menjadi kas negara. Sedangkan Pajak adalah
merupakan iuran rakyat kepada negara. Dengan demikian pengertian fiskal (fiscus) dengan
pajak terdapat perbedaan, yaitu fiskal (fiscus) memiliki pengertian yang lebih luas dari
pengertian pajak. Fiskal mencakup seluruh aspek keuangan keuangan negara, sedangkan
pajak hanya merupakan salah satu bagian dari keuangan negara secara keseluruhan.

1 Moh. Taufik, 2022, Dasar-dasar Hukum Pajak, (Tanah Air Beta : Yogyakarta), Hal 11

1
Signifikan dengan kehidupan bernegara khususnya adalah masalah pembangunan.
Salah satu manfaat pajak adalah sebagai sumber pendapatan negara dalam membiayai seluruh
pengeluaran untuk pembangunan negara secara menyeluruh. Prinsip pajak yang diterapkan
dalam Sistem Perpajakan Indonesia adalah self assessment yaitu dengan kesadaran
masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut dengan cara menghitung dan
membayarkan sendiri beban pajak yang ditanggung.2

B. Pembagian Hukum Pajak


Hukum Pajak dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Hukum Pajak Materiil


Hukum pajak materiil adalah norma-norma yang menjelaskan keadaan, perbuatan-
perbuatan, peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenai pajak (objek pajak atau
tatbestand)., subjek pajak, besarnya pajak, kenaikan-kenaikan pajak, denda pajak., hukuman
terhadap ketentuan perpajakan, pembebasan dan pengembalian pajak. Dengan kata lain
hukum pajak materiil mengatur tentang timbulnya, besarnya, terhapusnya utang pajak beserta
hubungan hukum antara pemerintah dengan Wajib Pajak. Contoh dari hukum pajak materiil
adalah peraturan yang memuat tentang kenaikan denda, sanksi atau hukuman, dan cara-cara
pembebasan dan pengembalian pajak, serta ketentuan yang memberi hak tagihan utama
kepada fiskus.

Ketentuan hukum pajak material diatur dalam Undang-undang Pajak Penghasilan


(UU PPh), Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPN dan PPn BM), Undang-undang Bea Meterai (UU BM), Undang-undang Pajak
Bumi dan Bangunan (UU PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (UU BPHTB),
Undang-undang Pajak Kendaraan Bermotor (UU PKB), dan sebagainya. Dalam ketentuan
hukum pajak material tidak diatur cara subyek pajak memenuhi kewajiban pajaknya
(bagaimana cara membayar pajak), tidak diatur cara pemerintah dalam melaksanakan
wewenangnya memungut pajak, serta tidak akan dijumpai sanksi apabila terjadi
pelanggaran.3 Hukum pajak materiil seperti:

 UU No.7 tahun 1983, sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan UU No 17 th


2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh).
 UU No 8 tahun 1983, sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 18
tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas barang dan jasa dan pajak penjualan
atas barang mewah (PPNBM).
 UU No 12 tahu 1985, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 tahun
1994tentang Pajak bumi dan Bangunan.
 UU Nomor 21 tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun
2000 tentang Bea Perolehan Hak atas bumi dan bangunan.
 UU Nomor 18 tahun 1997, sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan UU
No. 28Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

2 Ibid, Hal 11-12


3 Dr. Khalimi dan Moch. Iqbal, 2020, Hukum Pajak Teori dan Praktik, (Aura Publisher: Bandar Lampung), hlm. 9.

2
2. Hukum Pajak Formal
Hukum pajak formal memuat ketentuan-ketentuan yang mendukung ketentuan hukum
pajak material, yang diperlukan untuk melaksanakan/ merealisasikan ketentuan hukum
material. Hukum pajak formil dimaksudkan mengenai tata cara untuk mewujudkan hukum
material menjadi kenyataan untuk memberi perlindungan pada fiskus dan Wajib Pajak, serta
memberi jaminan bahwa hukum pajak materiilnya dapat dilaksanakan sesegera mungkin.
Hal-hal yang digolongkan dalam ketentuan hukum formal yang diatur Undang-undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan antara lain mengatur mengenai:

 Surat pemberitahuan (baik masa maupun tahunan),


 Surat Setoran Pajak,
 Surat ketetapan pajak (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan Surat Ketetapan
Pajak Nihil )
 Surat Tagihan,
 Pembukuan dan pemeriksaan,
 Penyidikan,
 Surat Paksa,
 Keberatan dan Banding,
 Sanksi administratif, sanksi pidana, dll.
Hukum Pajak Formal meliputi:

1. UU No. 6 tahun 1983, sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan tata cara perpajakan.\
2. UU No.19 tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan UU No19 tahun 2000
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
3. UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Peradilan Pajak.

C. Kedudukan Hukum Pajak


Hukum dibagi menjadi dua yaitu hukum perdata dan hukum publik, hukum perdata
adalah hukum yang mengatur hubungan antara orang pribadi yang satu dengan yang lain.4
Menurut Menurut Sacipto Rahardjo Sistem Hukum Nasional terdiri dari Hukum Privat dan
Hukum Publik. Hukum privat /perdata terdiri dari:
1. Hukum Perkawinan
2. Hukum Waris
3. Hukum Perjanjian
4. Hukum Dagang
5. Hukum Perdata Internasional.
Hukum Publik terdiri dari:

1. Hukum Pidana

4 Erly Suandy, 2020, Hukum Pajak, (Penerbit Salemba : Jakarta), Hal 17

3
2. Hukum Tata Negara.
3. Hukum Administrasi Negara.
4. Hukum Internasional.
5. Hukum Lingkungan.

Hukum pajak secara umum masuk dalam Hukum Administrasi Negara, akan tetapi
menurut Prof. PJA. Adriani, hukum pajak harus dipisahkan dan tidak menjadi bagian Hukum
Administrasi Negara, hal ini disebabkan karena hukum pajak mempunyai fungsi ikut
menentukan politik perekonomian suatu negara, yang fungsi ini tidak dimiliki oleh Hukum
Administrasi negara.

D. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Lainnya


1. Hukum Pajak dengan Hukum Perdata
Hukum pajak banyak sekali hubungannya dengan hukum perdata. Hal ini dapat
dimengerti karena hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak atas dasar
peristiwa (kematian, kelahiran), keadaan (kekayaan), perbuatan (jual beli, sewa-menyewa)
yang diatur dalam hukum perdata. Hal ini dijadikan tesbestand yang dituangkan dalam
Undang-Undang Pajak, dan bila dipenuhi syarat-syaratnya akan menyebabkan seseorang atau
badan dikenakan pajak.5 Hukum pajak mengunakan istilah-istilah dalam hukum perdata,
misalnya kompensasi, pembebasan utang, pambayaran, daluwarsa, domisili dll. Namun
dalam penerapannya harus sudah ditentukan dalam UU. Hubungan antara Hukum Pajak
dengan Hukum perdata ada yang berpendapat hubungan antara hukum umum dan hukum
khusus. Perdata merupakan hukum umum dan hukum pajak merupakan hukum khusus.
Artinya hukum perdata harus dipandang sebagai hukum umum yang berlaku bagi
serangkaian hubungan hukum sepanjang tidak ditentukan secara khusus. (lex specialis
derogat lex generalis).

2. Hukum Pajak dengan Hukum Pidana


Hukum pidana yang merupakan bagian dari hukum publik merupakan hubungan
hukum yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah yang berkaitan dengan masalah
tindak pidana. Ketentuan-ketentuan pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) banyak dipergunakan dalam peraturan Undang-Undang Pajak.
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 yang dengan jelas
sekali menyebutkan adanya sanksi pidana (berupa kealpaan dan kesengajaan) terhadap wajib
pajak yang melanggar ketentuan di bidang perpajakan. Bahkan ancaman-ancaman pidana
dalam hukum pajak selalu mengacu kepada ketentuan hukum pidana, misalnya terhadap
wajib pajak yang memindahtangankan atau memindahkan hak atau merusak barang yang
telah disita karena tidak melunasi utang pajaknya akan diancam dengan Pasal 231 KUHP.
Demikian juga apabila terjadi tindak pidana pajak, maka proses penyidikan dan penuntutan
tindak pidana pajak mengacu pada ketentuan KUHP. Namun, sesungguhnya pengenaan
sanksi pidana pajak sangat kontraproduktif dan tidak sejalan dengan fungsi pajak sebagai

5 Adrian Sutedi, 2011, Hukum Pajak, (Sinar Grafika : Jakarta), Hal 9

4
penerimaan negara, oleh karena itu pengenaan sanksi pidana hanyalah sebagai upaya terakhir
(ultimum remedium) untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak sebagaimana penjelasan
Pasal 13A UU KUP. Untuk itu, diatur juga dalam UU KUP tentang ketentuan pembayaran
denda sebagai pengganti sanksi pidana.6

3. Hukum Pajak dengan Hukum Administrasi Negara


a. Pemungutan pajak kepada wajib pajak adalah kegiatan dalam rangka pelaksanaan
fungsi kepemerintahan.
b. Ketetapan yang ditetapkan oleh pejabat tata usaha negara sebagai objek hukum
administrasi negara.
c. Pejabat tata usaha negara yang menerbitkan ketetapan yang menimbulkan sengketa
sebagai subjek hukum administrasi negara.
d. Apabila petugas kantor pajak melakukan penyelewengan, maka diadili oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara/ Pengadilan Administrasi negara
e. Dalam memakai materai pada surat-surat perjanjian, akteakte, surat-surat berharga,
surat kuasa yang telah ditetapkan, ternyata kurang dari jumlah yg ditetapkan maka
dikenakan denda administrasi. Sebanyak 100 kali materai yg sebenarnya, baik itu
disengaja atau tidak, dimengerti atau tidak.
f. Seorang majikan wajib pajak upah kepada pegawainya dan diserah kepada negara,
jika ia lalai/sengaja tidak menyerahkan kepada kas negara maka kena hukuman
administrasi dengan dicabut izin usahanya
g. HAN sebagai sarana preventif agar wajib pajak tidak melanggar norma-norma dan
ketentuan-ketantuan hukum perpajakan.

E. Pengertian Pajak dan Pungutan Lainnya


1. Pajak
Menurut Prof. Dr. Rachmad Soemitro, SH. pajak adalah iuran rakyat kepada kas
negara berdasarkan UU dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang
langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Pajak
adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran
rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk
membiayai public invesment. Sedangkan Prof Dr. Smeets pajak adalah prestasi kepada
pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa
adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukan dalam hal yang individu, simaksudkan untuk
membiayai pengeluaran pemerintah. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan, yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 28 tahun 2007
tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan). Karakteristik dan unsur pajak:
1) Adanya iuram masyarakat kepada negara, berarti yang berhak memungut pajak
hanyalah negara.
6 Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, 2006, Perpajakan: Konsep, Teori dan Isu, (Kencana: Jakarta), hlm. 24.

5
2) Pemungutan pajak oleh negara harus berdasarkan peraturan perundang-undangan.
3) Terhadap pembayaran pajak tidak ada tegen prestasi yang dapat ditunjukan secara
langsung.
4) Pemungutannya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
5) Hasil pungutan pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan
pembangunan, apabila ada kelebihan maka sisanya untuk public investment.
6) Disamping mempunyai fungsi sebagai alat untuk memasukan dana dari rakyat ke kas
negara (fungsi budgeter) pajak juga mempunyai fungsi mengatur).7

2. Retribusi
Retribusi adalah prestasi yang dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan
dalam wujud pembayaran dengan dengan kontraprestasi langsung. Karakteristik retribusi
adalah:
1) Adanya prestasi dalam bentuk pembanyaran kepada pemerintah.
2) Retribusi dipungut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku umum.
3) Dalam pembayaran retribusi terdapat imbalan secara langsung yang dapat ditujuk
secara individu.
4) Hasil retribusi dipergunakan untuk pelayanan umum berkait dengan retribusi yang
bersangkutan.
5) Pelaksanaan retribusi dapat dipaksakan, namun pelaksanaanya bersifat yuridis.

Dapat dikatakan bahwa retribusi umumnya berhubungan dengan pembayaran atau


pemberian imbalan atas penggunaan jasa secara langsung. Jenis retribusi daerah dapat
dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu:

 Retribusi jasa umum : contohnya adalah: retribusi pelayanan kebersihan, retribusi


pelayanan parker di tepi jalan umum serta retribusi pngujian kendaraan bermotor
 Retribusi jasa usaha : contohnya adalah: retribusi pasar grosir/pertokoan, retribusi
terminal serta retribusi tempat rekreasi dan olahraga
 Retribusi perizinan : contohnya adalah: retribusi izin mendirikan bangunan (IMB) dan
retribusi izin usaha perizinan.

Persamaan dari pajak dan retribusi adalah keduanya sama-sama pungutan yang
dibayarkan kepada pemerintah oleh masyarakat untuk kepentingan bersama dalam
tercapainya kesejahteraan. Perbedaannya, apabila manfaat pajak tidak bisa di rasakan secara
langung karena digunakan untuk kepentingan bersama dan dialokasikan untuk fasilitas sarana
dan prasarana bagi orang banyak seperti pembangunan jalan atau perbaikan jalan dan untuk
beasiswa. Lain halnya dengan retribusi, manfaat dari retribusi dapat dirasakan secara
langsung balas jasanya, seperti sampah yang setiap hari diangkut dari penampungan sampah,

7
Y. Sri Pudyatmoko, 2004, Hukum Pajak, (Andi: Yogyakarta), hlm.2.

6
ini merupakan contoh bentuk balas jasa pembayaran retribusi pelayanan kebersihan yang
telah dibayarkan.8

3. Sumbangan
Sumbangan adalah iuran atau pungutan yang dilakukan oleh pemerintah kepada
orang-orang atau kepada golongan tertentu. Menurut Santoso brotodihardjo, di dalam
sumbangan mengandung pemikiran bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan untuk prestasi
pembayaran tertentu tidak boleh dikeluarkan dari kas umum, karena prestasi tersebut tidak
ditujukan kepada penduduk seluruhnya, tetapi hanya kepada golongan tertentu. Oleh karena
itu hanya golongan tertentu saja yang diwajibkan membayar sumbangan. Contoh sumbangan
terhadap pemilik becak, sepeda, pedati, dll. Sumbangan tersebut digunakan untuk
membangun sarana yang berhubungan dengan yang bersangkutan.

F. Sumber-sumber Penerimaan Negara


Pembiayaan pembangunan memerlukan uang yang cukup banyak sebagai syarat
mutlak agar pembangunan dapat berhasil. Pada umumnya negara mempunyai sumber-sumber
penghasilan yang terdiri dari:

a. Bumi, air dan kekayaan alam


b. Pajak-pajak, bea dan cukai
a. Penerimaan negara, bukan pajak (non tax)
b. Hasil perusahaan negara
c. Sumber-sumber lain, seperti: pencetakan uang dan pinjaman.

a. Bumi, air dan kekayaan alam


Pasal 33 UUD 1945 menentukan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat
sebesar-besarnya. Bumi, air dan ruang angkasa milik bangsa Indonesia merupakan kekayaan
nasional, yang termasuk dalam pengertian menguasai adalah mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya, menentukan
dan mengatur yang dapat dipunyai atas bagian dari bumi, air dan ruang angkasa, menentukan
dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang (subjek hukum) dan pembuatan-
pembuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
b. Pajak-pajak, bea dan cukai
Pajak-pajak, bea dan cukai merupakan peralihan kekayaan dari sector swasta ke sector
pemerintah, yang diharuskan oleh undang-undang dan dapat dipaksakan, dengan tidak
mendapatkan timbal balik yang langsung dapat ditunjuk, untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran negara. Pajak adalah sumber terpenting dari segi penerimaan negara, hal ini
dapat dilihat pada dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Struktur di dalam
apbn memperlihatkan bahwa sumber penerimaan terdiri dari berbagai jenis pajak, bea masuk,
bea keluar dan cukai. Untuk meningkatkan penerimaan negara dari sector pajak:
 Perluasan wajib pajak, dalam arti menjaring wajib pajak sebanyak mungkin
8
Kesit Bambang Prakosa, 2005, Pajak dan Retribusi Daerah, (UII Press: Yogyakarta), hlm.4.

7
 Penyempurnaan tarif pajak
 Pemyempurnaan administrasi pemungutan pajak

Disamping pajak, bea dan cukai termasuk sumber penerimaan negara yang penting
(vital), bea dibagi menjadi 2 yaitu bea masuk dan bea keluar. Bea masuk adalah bea yang
dipungut dari jumlah harga barang yang dimasukkan ke daerah pabean dengan maksud untuk
dipakai dan dikenakan bea menurut tarif tertentu, yang penyelenggaranya diatur dan
ditetapkan dengan undang-undang dan keputusan menteri keuangan. Bea keluar adalah bea
yang dipungut dari jumlah harga barang-barang yang tertentu yang dikirim keluar daerah
indonesia, dan dihitung berdasarkan tarif tertentu, diatur dan ditetapkan dalam undang-
undang. Daerah pabean adalah daerah yang ditentukan batas-batasnya oleh pemerintah, dan
batas-batas itu digunakan sebagai garis untuk memungut bea-bea cukai adalah pungutan yang
dikenakan atas barang-barang tertentu berdasarkan tarif yang sudah ditetapkan untuk masing-
masing jenis barang tertentu, cukai tidak dikenakan atas semua barang, barang yang
dikenakan cukai salah satunya adalah tembakau dan minuman keras (miras).
c. Penerimaan Negara Bukan Pajak (Non-Tax)
Ketentuan perundang-undangan sebagai landasan penyelengaraan dan pengelolaan
penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berlaku selama ini meliputi berbagai ragam dan
tingkatan peraturan sehingga belum sepenuhnya mencerminkan kepastian hukum, banyak dan
beragam bentuk pengaturan juga mengakibatkan rumitnya dalam pengelolaan PNBP, oleh
karena itu perlu sudah saatnya untuk membentuk undang undang tentang penerimaan negara
bukan pajak (UU Nomor 20 Tahun 1997). Dalam UU ini terdapat 7 jenis penerimaan negara
bukan pajak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UU No 20 Tahun 1997, yaitu:
a. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah, terdiri atas:
1. Penerimaan jasa giro
2. Penerimaan sisa anggaran pembangunan(siap) dan sisa anggaran rutin (rutin)

b. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam, yang terdiri atas dari:
1. Royalti bidang perikanan
2. Royalti bidang kehutanan
3. Royalti bidang pertambangan kecuali minyak dan gas bumi (migas) karena sudah
diatur oleh undang-undang pajak penghasilan

Dalam hal ini yang dimaksud royalty adalah pembayaran yang diterima oleh negara
sehubungan dengan pemberian izin atau fasilitas tertentu dari negara kepada pihak lain untuk
memanfaatkan atau mengolah kekayaan negara.
c. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, terdiri
dari:
1. Bagian laba pemerintah
2. Hasil penjualan saham pemerintah
3. Dividen

8
d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah, terdiri dari:
1. Pelayanan pendidikan
2. Pelayanan kesehatan
3. Pemberian hak paten, cipta, dan merk
4. Pemberian visa dan paspor, termasuk paspor haji

e. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan, terdiri dari:


1. Lelang barang
2. Denda
3. Hasil rampasan yang diperoleh dari hasil kejahatan

f. Penerimaan berupa hibah, baik dari dalam negeri maupun luar negeri
g. Penerimaan lainnya yang diatur dengan undang-undang tersendiri
Ketujuh jenis penerimaan diatas merupakan objek dari penerimaan negara bukan
pajak (PNBP) yang merupakan penerimaan dari departemen dan lembaga negara yang
bersifat insidentil dan pada umumnya belum diatur dalam undang-undang atau perda.
d. Hasil Perusahaan Negara
Negara sebagai badan hukum publik dapat juga ikut dalam lapangan perekonomian
seperti halnya orang partikelir. Laba yang diperoleh perusahaan negara adalah pendapatan
negara yang dimasukkan dalam anggaran pendapatan negara. Yang tergolong dalam
perusahaan negara adalah semua perusahaan yang modalnya merupakan kekayaan negara
republik Indonesia dengan tidak melihat bentuknya. Untuk bentuk perusahaan diatur lebih
lanjut pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 dan digolongkan menjadi 3 bagian yaitu:
Persero, Perum, dan Perjan. Ketiga bentuk perusahaan negara tersebut adalah perusahaan
negara yang berstatus IBW (indonesiche bedrijvenwet), untuk dapat berstatus IBW maka
perusahaan itu perlu ditunjuk dengan undang-undang atau ordonansi, umpamanya:
1. Perusahaan garam dan soda
2. Percetakan negara
3. Jawatan penggadaian
4. Jawatan kereta api
5. Pos dan telekomunikasi

Mengenai perusahaan yang berstatus ICW (indonesiche comptabiliteits wet), maka


seluruh keuntungan perusahaan yang tunduk pada ICW harus disetor ke kas negara sedang
segala pengeluaran harus melalui mandat atau otorisasi, pada prinsipnya tata usaha
perusahaan tersebut tidak dilakukan secara komersil, tetapi perusahaan itu diusahakan
sebagai jawatan atau badan pemerintahan biasa. Contoh perusahaan ICW: percetakan
departemen penerangan, perusahaan beton aspal, perusahaan pelabuhan kecil, dll.
e. Sumber-Sumber Lain
Yang termasuk dalam sumber-sumber lain ialah pencetakan uang (deficit spending).
Sumber terakhir ini oleh beberapa negara sering dilakukan defisit dapat ditutup melalui
pinjaman atau kredit luar negeri yang berasal dari kelompok negara donor, yang dalam

9
anggaran belanja negara penerimaan dari pinjaman tersebut merupakan penerimaan
pembangunan yang sebenarnya juga merupakan uang muka pajak yang kelak dikemudian
hari menjadi beban bagi generasi mendatang. Sumber-sumber lainnya dari penerimaan negara
adalah pinjaman negara, baik yang berasal dari dalam negeri maupun yang berasal dari luar
negeri. Pinjaman dari dalam negeri dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: jangka pendek dan
jangka panjang. Pinjaman luar negeri terdiri dari 2 macam:
1. Bantuan program yaitu bantuan keuangan yang diterima dari luar negeri berupa
devisa kredit. Devisa kredit ini kemudian dirupiahkan ke dalam kas negara sehingga
kas negara bertambah yang akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan
2. Bantuan proyek yaitu bantuan kredit yang diterima pemerintah dari negara donor
berupa peralatan dan mesin-mesin untuk membangun proyek tertentu, seperti: proyek
tenaga listrik, jembatan, jalanan, pelabuhan, telekomunikasi, dan irigasi. Sebagian
dari bantuan proyek ini diberikan dalam bentuk jasa konsultan dan tenaga teknisi yang
membantu merencanakan pembangunan proyek.
G. Landasan Filosofis Pemungutan Pajak
Untuk mencapai dan menciptakan masyarakat yang sejahtera, dibutuhkan biaya-biaya
yang cukup besar. Demi berhasilnya usaha ini, negara mencari pembiayaannya dengan cara
menarik pajak. Penarikan atau pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang harus
dilaksanakan oleh negara sebagai suatu fungsi esensial, memang dibeberapa negara yang
sudah maju pajak merupakan suatu conditiesine qua non bagi penambahan keuangan negara
tanpa pemungutan pajak sudah bisa dipastikan bahwa keuangan negara akan lumpuh lebih-
lebih lagi bagi negara yang sedang membangun seperti indonesia. Atas dasar tersebut, dapat
disimpulkan bahwa landasan filosofis pemungutan pajak didasarkan atas pendekatan benefit
approach (pendekatan manfaat), pendekatan ini merupakan dasar fundamental atas dasar
filosofis yang membenarkan negara melakukan pemungutan pajak sebagai pungutan yang
dapat dipaksakan dalam arti mempunyai wewenang dengan kekuatan pemaksa. Di dalam
literatur ilmu keuangan negara dapat ditemukan teori-teori yang memberikan dasar
pembenaran atau landasan filosofis daripada wewenang negara untuk memungut pajak
dengan cara yang dipaksakan. Teori- teori sebagai dasar wewenang negara untuk memungut
pajak yaitu:
1. Teori Asuransi
2. Teori Kepentingan
3. Teori Pengorbanan
4. Teori Gaya Beli
5. Teori Gaya Pikul

H. Asas- Asas Pemungutan Pajak


Asas-asas principle adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai dasar maupun
tumpuan untuk menjelaskan sesuatu permasalahan. Lazimnya suatu pemungutan pajak itu
harus dilandasi dengan asas-asas yang merupakan ukuran untuk menentukan adil tidaknya
suatu pemungutan pajak. Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations mengemukakan 4
asas pemungutan pajak yang dikenal dengan The Four Maxims, dengan uraian sebagai
berikut:

10
1. Equality (asas persamaan), asas ini menekankan bahwa pada warga negara atau wajib
pajak tiap negara seharusnya memberikan sumbangannya kepada negara, sebanding
dengan kemampuan mereka masing-masing. Dalam asas equality ini tidak
diperbolehkan suatu negara megadakan diskriminasi di antara wajib pajak
2. Certainty (asas kepastian), asas ini menekankan bahwa bagi wajib pajak, harus jelas
dan pasti tentang waktu, jumlah, dan cara pembayaran pajak. Dalam asas ini kepastian
hukum sangat dipentingkan terutama mengenai subjek dan objek pajak
3. Conveniency of payment (asas menyenangkan), pajak seharusnya dipungut pada
waktu dengan cara yang paling menyenangkan bagi para wajib pajak, misalnya
pemungutan pajak bumi dan bangunan terhadap para petani, sebaiknya dipungut pada
saat mereka memperoleh uang yaitu pada saat panen.
4. Low cost of collection (asas efisiensi), asas ini menekankan bahwa biaya pemungutan
pajak tidak boleh lebih dari hasil pajak yang akan diterima. Pemungutan pajak harus
sesuai dengan kebutuhan anggaran belanja Negara

Wj. De Langen seorang ahli pajak belanda menyebutkan tujuh asas pokok perpajakan
adalah sebagai berikut:
1. Asas kesamaan, dalam arti bahwa seseorang dalam keadaan yang sama hendaknya
dikenakan pajak yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi
2. Asas daya pikul, yaitu asas yang menyatakan bahwa setiap wajib pajak hendaknya
terkena beban pajak yang sama. Ini artinya bagi orang yang pendapatannya tinggi
dikenakan pajak yang tinggi, bagi orang pendapatannya rendah dikenakan pajak yang
rendah dan pendapatannya dibawah basic need dibebaskan dari pajak
3. Asas keuntungan istimewa, bahwa seseorang yang mendapatkan keuntungan istimewa
hendaknya dikenakan pajak istimewa
4. Asas manfaat, mengatakan bahwa pengenaan pajak oleh pemerintah didasarkan atas
alasan bahwa masyarakat menerima manfaat barang-barang dan jasa yang disediakan
oleh pemerintah
5. Asas kesejahteraan, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa dengan adanya tugas
pemerintah yang pada satu pihak memberikan atau menyediakan barang-barang dan
jasa bagi masyarakat dan pada lain pihak menarik pungutan-pungutan untuk
membiayai kegiatan pemerintah tersebut, pada intinya untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
6. Asas keringanan beban, asas ini menyatakan bahwa meskipun pengenaan pungutan
merupakan beban masyarakat atau perorangan dan seberapapun tingginya kesadaran
berwarga negara, akan tetapi hendaknya diusahakan bahwa beban tersebut sekecil-
kecilnya
7. Asas kesemibangan, asas ini menyatakan bahwa dalam melaksanakan berbagai asas
tersebut yang mungkin saling bertentangan, akan tetapi hendaknya selalu diusahakan
sebaik mungkin. Artinya tidak menganggu perasaan hukum, perasaan keadilan dan
kepastian hukum.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu pemungutan pajak itu harus dilandasi
dengan asas-asas yang merupakan ukuran untuk menentukan adil tidaknya suatu pemungutan
pajak, serta pemungutan pajak merupakan perwujudan pengabdian dan peran serta wajib
pajak untuk secara langsung bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan.

11
I. Subjek dan Objek Pajak
1. Subjek Pajak
Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Namun, perlu diketahui bahwa hak dan kewajiban subjek
pajak berbeda-beda. Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh), yang menjadi subjek
pajak adalah: (1) a. orang pribadi; b. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak; (2) badan; dan (3) bentuk usaha tetap (perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan badan). Subjek pajak dibagi menjadi subjek pajak dalam negeri dan
subjek pajak luar negeri.
a. Subjek Pajak Dalam Negeri.
Menurut Penjelasan atas UU Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Pasal 2 Ayat (3) Huruf a
menyebutkan bahwa:
“Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi
yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi
yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia
ditimbang menurut keadaan. Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang
tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di
Indonesia.”
b. Subjek Pajak Luar Negeri.
Menurut Penjelasan atas UU Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Pasal 2 Ayat (4) Huruf a
dan b menyebutkan bahwa:
“Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau
bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka orang tersebut
adalah Subjek Pajak luar negeri.
Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap orang
pribadi atau badan tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang pribadi
atau badan tersebut statusnya tetap sebagai Subjek Pajak luar negeri. Dengan demikian
bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai Subjek Pajak luar
negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan
tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya
dilakukan langsung kepada Subjek Pajak luar negeri tersebut.”
2. Objek Pajak
Objek pajak adalah penghasilan atau tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
wajib pajak. Secara sederhana objek pajak adalah Penghasilan yang dikenakan pajak. Arti
12
penghasilan sendiri adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang
dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang
bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Penghasilan itu berasal dari Indonesia.
Objek pajak digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang
bersangkutan. Bentuknya dengan nama atau bentuk apapun, penghasilan atau tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak. Penghasilan itu berasal dari Indonesia
maupun luar Indonesia. Beberapa jenis penghasilan ini jika termasuk dalam jenis golongan
dan kriteria objek pajak, akan dikenakan objek pajak yang sesuai dengan tarif dan jenis pajak
yang berlaku.
3. Penghasilan yang bukan objek pajak
Penghasilan yang bukan objek pajak berupa:
a. Bantuan atau sumbangan, termasuk Zakat
Di dalamnya termasuk zakat yang diterima oleh badan Amil Zakat atau lembaga Amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat
yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia. Yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak. Ketentuannya
diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan di antara pihak pihak yang bersangkutan.
b. Hibah
Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan yang lurus
satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial. Termasuk yayasan, koperasi,
atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur
berdasarkan keputusan menteri keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
kepemilikan, pekerjaan atau penguasaan diantara pihak pihak yang bersangkutan.
c. Warisan
Warisan adalah peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli waris. Warisan
menurut bahasa berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu
kaum ke kaum yang lain. Pewaris adalah orang yang meninggal dunia baik laki laki maupun
perempuan yang meninggalkan sejumlah harta benda.
d. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh Badan hukum sebagai pengganti
saham/pengganti penyertaan modal
e. Imbalan dalam bentuk natura/kenikmatan
Imbalan pekerjaan atau jasa yang diterima dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan
dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib
Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak khusus lainnya. Imbalan dalam
bentuk natura seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan,
seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan objek pajak.
f. Pembayaran perusahan asuransi

13
g. Saham yang tidak diperdagangkan di BEI
h. Beasiswa
i. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh BPJS.
Penghasilan-penghasilan yang diuraikan tersebut bukanlah objek pajak
penghasilan sehingga tidak menambah unsur penghasilan dalam perhitungan penghasilan
kena pajak pada akhir tahun. Kita juga tidak akan dipotong pajak penghasilan jika menerima
pendapatan tersebut. Namun, perlu diingat bahwa, walaupun tidak diikutsertakan dalam
perhitungan pajak, penghasilan non objek pajak ini tetap harus dilaporkan saat pengisian
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
4. Tarif Pajak
Menurut Undang-Undang Pepajakan Republik Indonesia, pajak merupakan iuran
rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang dengan tidak menjadapt jasa timbal yang
langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayaai pengeluaran umum atau
pengeluaran rutin dan pembangunan. Pajak dikenakan pada setiap subjek pajak atau wajib
pajak, sebagaimana yang diatur pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
Pasal 2 ayat (1), yaitu: a. orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak, b. badan, dan bentuk usaha tetap. Besarnya pengenaan pajak bagi
wajib pajak ini, dalam hal ini sering disebut dengan tarif pajak, yang menurut Neneng
Hartati, pemungutan pajak tidak terlepas dari unsur keadilan (dapat diartikan dalam prinsip
perundang-undangan) atau adil dalam pelaksanaannya sehingga dapat menciptakan
keseimbangan sosial untuk kesejahteraan masyarakat. Salah satu unsur dalam mencapai
keadilan melalui penetapan tarif pajak, yaitu dengan memberikan tekanan yang sama kepada
wajib pajak. Rismawati Sudirman dan Antong Amiruddin menguraikan pengertian tari pajak
sebagai ketentuan persentase (%) atau jumlah (rupiah) pajak yang harus dibayar oleh wajib
pajak sesuai dengan dasar pajak atau objek pajak.Y. Sri Pudyatmoko mengatakan bahwa
mengenai tarif pajak ini, besarnya utang pajak pada umumnya ditentukan oleh dua komponen
utama, yakni jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak atau jumlah yang dikenai pajak
(tax base) dan tarif yang diterapkan terhadapnya (tax rate). Dengan demikian, tarif pajak ini
dapat diuraikan sebagai jumlah atau besaran iuran wajib yang dibebankan kepada setiap
subjek pajak atau wajib pajak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Macam-
macam tarif pajak yaitu:
a. Tarif sebanding/proporsional
Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak
sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai
pajak. Contoh: Untuk penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean akan dikenakan
pajak pertambahan nilai sebesar 10%.
b. Tarif tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak
sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Contoh: Besarnya tarif Bea Materai untuk cek
dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah Rp 6.000

14
c. Tarif progresif
Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak
semakin besar. Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi:
1. Tarif progresif progresif: kenaikan persentase semakin besar
2. Tarif progresif tetap: kenaikan persentase tetap
3. Tarif progresif degresif: kenaikan persentase semakin kecil

d. Tarif degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak
semakin besar.
J. Sanksi Pajak
Ketika wajib pajak melaksanakan pemenuhan kewajiban perpajakannya, seringkali
Wajib Pajak dikenakan sanksi pajak yang bersifat administrasi maupun bersifat pidana.
Penerapan Sanksi Administrasi umumnya dikarenakan karena Wajib Pajak melanggar hal-hal
yang bersifat administrative yang diatur dalam undang-undang pajak, misalnya karena Wajib
Pajak tidak atau terlambat dalam menyampaikan laporan pajaknya,terlambat membayar pajak
sesuai batas waktu yang telah ditentukan, atau Wajib Pajak salah dalam melakukan
penghitungan jumlah pajak yang masih harus dibayar. Sanksi Pidana diterapkan karena
adanya unsur kealpaan atau unsur kesengajaan yang dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan Negara. Pemberian atau pengenaan sanksi dalam undang-undang pajak pada
dasarnya bertujuan untuk pertama, terciptanya tertib administrasi di bidang perpajakan dan
kedua untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban-kewajiban
perpajakannya.
Berdasarkan Undang Undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas
Undang Undang No. 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan dan
Undang Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan serta Undang-undang tentang Bea
Meterai dikenal adanya dua sanksi dalam bidang perpajakan yakni sanksi administrasi dan
sanksi pidana. Sanksi administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada negara,
khususnya yang merupakan denda, bunga dan kenaikan. Sedang sanksi pidana merupakan
suatu alat terakhir atau benteng hukum yang digunakan fiscus agar norma hukum dipatuhi.
Sebagai bagian dari hukum administrasi, undang-undang pajak lebih banyak mengandung
sanksi administrasi dari pada sanksi pidana. Sanksi administrasi merupakan wewenang
administrasi pajak dan dijatuhkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, sedangkan sanksi pidana
merupakan wewenang pengadilan pidana dan dijatuhkan oleh hakim pidana, bila hakim
mempunyai keyakinan bahwa pelaku benar-benar terbukti bersalah melakukan tindak
pidana.9
K. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Sebagai wajib pajak di Indonesia, wajib pajak memiliki hak dan kewajiban yang harus
dipatuhi. Ketentuan terkait hak dan kewajiban wajib pajak telah diatur dalam Undang-undang

9
Bambang Ali Kusumo, 2009, Sanksi Hukum di Bidang Perpajakan, (Surakarta), hlm. 96-97.

15
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Kewajiban dan Hak Wajib Pajak menurut
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 Pasal 2 adalah sebagai berikut:
1. Hak-hak Wajib Pajak
a. Melaporkan beberapa masa pajak dalam 1 (satu) Surat Pemberitahuan Masa.
b. Mengajukan surat keberatan dan banding bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu.
c. Memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan tahunan Pajak
Penghasilan untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktorat Jenderal Pajak.
d. Membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan
secara tertulis, dengan syarat Direktorat Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan.
e. Mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
f. Mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
1. Surat ketetapan pajak kurang bayar,
2. Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan,
3. Surat ketetapan pajak nihil,
4. Surat ketetapan pajak lebih bayar,
5. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peratuaran perundang-undangan perpajakan.
g. Mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak atas surat keputusan
keberatan.
h. Menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan
memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
i. Memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas
keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak dalam hal wajib pajak
menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan sebelum
tahun pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih
besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya
Undang-Undang No. 28 tahun 2007.
2. Kewajiban Wajib Pajak
a. Mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor
Pokok Wajib Pajak, apabila telah memenuhi persyaratan.
b. Melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan pengusaha dan tempat kegiatan usaha
dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
c. Mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia
dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, serta
menandatangani dan menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat
wajib pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak.

16
d. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan
satuan mata uang selain rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
e. Membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
f. Membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
g. Menyelenggarakan pembukuan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan wajib pajak badan, dan melakukan pencatatan
bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
h. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh,
kegiatan usaha, pekerjaan bebas wajib pajak, atau objek yang terutang pajak,
Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan
memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan, Memberikan keterangan lain yang
diperlukan apabila diperiksa.

17
DAFTAR PUSTAKA

Devano, Sony dan Siti Kurnia Rahayu, 2006, Perpajakan: Konsep, Teori dan Isu, (Kencana:
Jakarta)

Khalimi, Dr. dan Moch. Iqbal, 2020, Hukum Pajak Teori dan Praktik, (Aura Publisher:
Bandar Lampung)

Kusumo, Bambang Ali, 2009, Sanksi Hukum di Bidang Perpajakan, (Surakarta)


Prakosa, Kesit Bambang, 2005, Pajak dan Retribusi Daerah, (UII Press: Yogyakarta)
Pudyatmoko, Y. Sri, 2004, Hukum Pajak, (Andi: Yogyakarta)
Suandy, Erly, 2020, Hukum Pajak, (Penerbit Salemba : Jakarta)
Sutedi, Adrian, 2011, Hukum Pajak, (Sinar Grafika : Jakarta)
Taufik, Moh., 2022, Dasar-dasar Hukum Pajak, (Tanah Air Beta : Yogyakarta)

18

Anda mungkin juga menyukai