Anda di halaman 1dari 6

2.

Pertemuan ke 4

6. KEDUDUKAN ATAU HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN


HUKUM LAIN
Dari pengertian hukum pajak terlihat bahwa hukum pajak adalah sebagian
dari hukum publik, yang di dalamnya termuat juga anasir-anasir hukum tata
negara, hukum pidana, hukum peradilan administrasi. Di bawah ini akan
dijelaskan dalam skema mengenai Kedudukan atau hubungan hukum pajak
dengan hukum-hukum lainnya: 16)

Skema 2

Hukum Perdata
(Privaatrecht)

Hukum
Hukum Tata Negara

Hukum Administrasi
Hukum Publik Negara
(Publiekrecht)
Hukum Pajak

Hukum Pidana

Dari skema tersebut jelas bahwa hukum pajak merupakan salah satu
bagian dari hukum publik. Jika hukum publik itu mengatur hubungan antara
pemerintah (selaku penguasa) dengan rakyatnya maka Hukum Pajak mengatur
hubungan antara pemerintah, selaku pemungut pajak, dengan rakyat sebagai
wajib pajak.

a. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata


Hubungan hukum pajak dengan hukum perdata merupakan hubungan
yang timbal balik. Di satu pihak hukum pajak banyak menggunakan istilah yang
lazimnya dipakai dalam hukum perdata dan juga menganut arti seperti yang
berlaku dalam hukum perdata. Tetapi walaupun demikian tidak jarang terjadi
bahwa hukum pajak menggunakan istilah yang mempunyai arti berlainan dari
hukum perdata; misalnya mengenai “domisili” yang dalam hukum pajak
ditentukan menurut “keadaan”. Hukum pajak menjadikan peristiwa-peristiwa,
keadaan dan kejadian-kejadian dalam hukum perdata sebagai sasaran pajak,
atau dijadikan statbestand yang diletakkan dalam undang-undang pajak.
Selanjutnya hukum perdata merupakan hukum umum (lex generalis), dan hukum
pajak merupakan hukum yang khusus (lex specialis).

b. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Tata Negara


16
) Ibid, hlm 12-14.

13
Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Tata Negara adalah dalam
melakukan pemungutan pajak pelaksanaannya harus melalui badan eksekutif
yang gunanya untuk membiayai seluruh kepentingan-kepentingan negara dan
pemerintah menetapkan badan-badan yang diberi wewenang untuk melakukan
pemungutan.

c. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Administrasi Negara


Hukum Pajak menyangkut Hukum Administrasi Negara karena di dalam
APBN terdapat pendapatan negara yang antara lain berupa pajak dimana
secara administrasi dan organisasai diatur pemungutannya kepada rakyat, ada
administrasinya secara berkala ada pula yang tidak berkala, ada yang dikatakan
pungutan pajak secara berkohir dan ada yang tidak mempunyai kohir baik yang
dipungut oleh pusat maupun yang dipungut oleh daerah, hal itu diatur dalam
Hukum Administrasi Negara.
Unsur-unsur Hukum Administrasi Negara Hukum Administrasi Negara yang
terdapat di dalam hukum pajak
1. Penarikan pajak yang diatur oleh pemerintah dilaksanakan dengan
administrasi yang baik;
2. Apabila petugas pemungutan pajak menyalah gunakan jabatannya,
bertindak curang dan tidak jujur maka aparat yang bersangkutan dapat
diadili;
3. Di dalam memakai materai pada surat-surat berharga, surat-surat
perjanjian dan akta-akta lainnya memakai materai yang kurang dari apa
yang telah ditetapkan maka yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi
denda administrasi sebayak 100 kali materai yang sesungguhnya.
4. Seorang majikan yang berkewajiban memungut pajak upah kepada
karyawannya kemudian wajib menyetorkan ke kas negara dan apabila
yang bersangkutan lalai atau dengan senggaja tidak menyetorkannya
maka yang bersangkutan dapat dikenakan hukum administrasi negara
dengan mencabut izin usaha yang bersangkutan.

d. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana


Hubungan hukum pajak dengan hukum pidana adalah hukum pidana tidak
saja terdapat dalam KUHP akan tetapi di luar KUHP masih terdapat ketentuan-
ketentuan pidana dalam perundang-undangan lain yang meliputi bermacam-
macam bidang, antara lain dalam hukum pajak. Dalam Pasal 103 KUHP
ditentukan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII berlaku juga
terhadap ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang lain, kecuali jika
undang-undang peraturan umum atau ordonansi menentukan lain. Jadi
hubungan hukum pajak dengan hukum pidana yaitu mengenai sanksi, karena
dalam peraturan pajak juga terdapat sanksi di dalam hukum pidana, yaitu berupa
ancaman pidana jika suatu pasal dilanggar.

7.TEX-REFORM DI INDONESIA/PEMBARUAN/PEROMBAKAN UNDANG-


UNDANG PAJAK 17)
1
7 ) Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT. Eresco, Bandung, hlm 23-28.

14
Semenjak 1 Januari 1984 di Indonesia dilakukan perombakan perpajakan
(Tex-reform) yang sangat mendasar, sampai keakar-akarnya, baik mengeni
prinsip, sistimatik maupun mengenai dasar filsafahnya. Pemerintah menganggap
bahwa peraturan perpajakan yang berlaku saat itu ( 1984 dan sebelumnya) ,
yang masih berlaku di Indonesia tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman,
tidak sesuai dengan struktur dan organisasi pemerintahan, tidak berdasarkan
Pancasila serta tidak sesuai lagi dengan perkembangan perekonomian yang
selama ini berlaku di Indonesia.
Reformasi atau pembaharuan perpajakan tersebut terlihat dari beberapa
Undang-undang perpajakan, yang diundangkan secara berturut-turut, guna
menggantikan Undang-undang perpajakan zaman kolonial, yakni, Yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 mengenai Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan,
yang dikenal dengan PPh 1984.
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Atas Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB).
5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1986 tentang Bea materai.
Dengan berlakunya Undang-undang perpajakan Nasional seperti tersebut
di atas jelas sekali terlihat penyederhanaan dari undang-undang perpajakan
zaman kolonial, karena secara berturut-turut oleh perundang-undangan
perpajakan nasional itu perundang-undngan perpajakan zaman kolonial tersebut
telah dicabut, jelasnya adalah sebagai berikut:
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata cara Perpajakan telah dicabut:
1. Ordonansi Pajak Perseorangan 1925 (Stb. 1925 No. 319), sebagaimana
telah beberapa kali diundang, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Lembaran Negara No.
2940).
2. Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 (Stb. 1944 No. 17) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun
1970 tentang Perubahan dan Tambahan Ordonansi pajak Pendapatan
1944 (Lembaran Negara Tahun 1970 No. 44, Tambahan Lembaran
Negara No. 2941).
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 tetang Perubahan dan
Penyempurnaan Tata Cara Pemungutan pajak Pendapatan 1944, Pajak
Kekayaan 1932 dan pajak Perseroan 1925 (Lembaran Negara No. 2827),
kecuali ketentuan-ketentuan tata cara pemungutan Pajak Kekayaan).
4. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1970 tentang Pajak atas Bunga,
Dividen dan Royalty (Lembaran Negara tahun 1970/45, tambahan
Lembaran Negara No. 2942).
Berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1983, tentang Pajak Penghasilan
telah dicabut pula:

15
1. Pasal 15 ke-4 dan ke-5 dan Pasal 16 UU No. 1 tahun 1967 tentang
peneneman modal asing /PMA .
2. Pasal 9, pasal 12 ke-4 dan ke-5, pasal 13 dan pasal 14 Undang-undang
No. 6 tahun 1968 tentang PMDN.
Kemudian dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, telah dicabut pula: Undang-undang Nomor 35 Tahun 1953
tentang Perubahan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang
Pemungutan Pajak Penjualan.
Selanjutnya dengan berlakunya Undang-Undang Nomor.12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan, telah dicabut pula:
1. Ordonan Pajak Rumah Tangga 1908.
2. Ordonansi Verponding Indonesia 1923.
3. Ordonantie Verponding 1928.
4. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932.
5. Ordonansi Pajak Jalan 1942
6. Pasal 4 huruf j, k, dan I Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957
tentang Peraturan Umum Pajak daerah.
7. PERPU No. 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi, yang dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 telah ditetapkan menjadi undang-
undang.
Dari uraian di atas jelas bahwa perundang-undangan pajak yang berasal
dari zaman kolonial maupun yang berlaku semenjak kemerdekaan yang tidak
sesuai lagi dengan perekonomian bangsa kita dicabut dan telah diganti dengan
yang baru sebagai realisasi dari reformasi perpajakan di Indonesia.
A. Latar Belakang
Yang melatar belakangi pembaharuan/perombakan perundang-undangan
pajak adalah karena Undang-Undang yang lama menggunakan bahasa hukum
yang tidak mudah dimengerti oleh setiap orang, dan perundang-undangan
tersebut dibuat oleh kaum penjajah. Di Indonesia pada waktu itu terdapat banyak
sekali peraturan perundng-undangan pajak yang membingungkan rakyat,
sehingga rakyat merasa dibebani dengan bermacam-macam pajak yang olehnya
dirasakan sebagai pembebanan pajak ganda. Jika pajak dirasa terlampau berat
maka selalu ada usaha untuk menyelundupi pajak-pajak dengan berbagai cara.
Untuk membangun diperlukan banyak uang, dan biaya pembangunan
harus berasal dari sumber-sumber dalam negeri, jadi dari rakyat sendiri yaitu dari
public saving dan private saving. Tingkat pendidikan rakyat jika dibandingkan
dengan tingkat pendidikan rakyat negara yang sudah maju, masih jauh
ketinggalan. Kesemuanya itu merupakan latar belakang mengapa diperlukannya
penyederhanaan perundang-undang pajak baik mengenai jumlah dan jenis,
maupun mengenai sistem atau tarifnya.

B. Sebab-sebab dilakukan Tex-Reform


Sebagai suatu Negara yang Merdeka dan Berdaulat yang berbentuk
negara kesatuan, Negara Republik Indonesia tentu mempunyai konsepsi yang
lain dari pada konsepsi Negara Hindia Belanda dahulu yang merupakan jajahan

16
dari Kerajaan Belanda. Pancasila yang menjadi Falsafah Negara kita adalah lain
dari pada idiologi yang berlaku zaman kolonial yang bercorak individualisme,
kapitalisme dan leberalisme. Situasi dan kondisi Negara Republik Indonesia
adalah lain dari pada situasi dan kondisi Hindia Belanda dahulu.
Dengan perkembangan perekonomian maka makin dirasakan ketidak
sesuaian sistem perpajakan yang berasal dari zaman penjajah dengan
kebutuhan negara untuk menghimpun dana-dana untuk pembangunan. Undang-
undang pajak yang dibuat di zaman kolonial mempunyai landasan, pemikiran,
jiwa, sasaran, dan tujuan yang dirasakan tidak sesuai lagi dengan harkat,
hakekat dan jiwa kehidupan bangsa Indonesia yang telah Merdeka dan
berdaulat. Pada zaman kolonial pemungutan pajak semata-mata dimaksudkan
untuk memenuhi kepentingan pemerintah jajahan, sedangkan dalam alam
kemerdekaan pungutan pajak dijiwai oleh Falsafah Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan merupakan
perwujudan kewajiban kenegaraan dan partisipasi anggota masyarakat dalam
pembiayaan negara dan pembangunan nasional untuk mencapai keadilan sosial
dan kemakmuran yang merata, baik materil maupun spritual.
Sistem perpajakan pada zaman kolonial tersebut bukan saja tidak sesuai
dengan perekonomian Indonesia yang makin moderen tetapi juga sangat rumit
dan sukar dipahami oleh pemungut pajak maupun oleh pembayar pajak.
Sebab lain dilakukan tax-reform adalah bahwa jika kita perhatikan APBN,
jelas sekali bahwa penerimaan yang berasal dari sumber minyak dan gas alam
dua kali lipat jika dibandingkan dengan hasil yang bersumber pada pajak-pajak
sekitar tahun 1983-1984 dan 1985.
APBN 1984-1985 hasil minyak bumi dan gas alam Rp 10.3666,6 milyar
Sedangkan penerimaan dari pajak Rp 5.167,9 milyar
APBN 1983-1984 hasil minyak bumi dan gas alam Rp. 8.869,9 milyar.
Sedangkan dari pajak-pajak Rp 4.452,5 milyar.
Akan tetapi sumber minyak bumi dan gas alam merupakan sumber yang
“non renewable” yang tidak dapat diperbaharui dan pada suatu saat akan habis.
Kalau hal itu terjadi sedangkan kita tetap mengandalkan hasilnya, bagaiman a
nanti kelangsungan hidup Negara Republik kita yang tercinta ini ? Apalagi harga
minyak bumi dan gas alam itu tidak stabil dipasaran dunia, bagaimana kalau
harganya anjlok sekali? Untuk itu pemerintah sudah harus sedini mungkin
mencari dan berusaha untuk menemukan sumber penggantinya. Harapan
adalah tertumpu pada pajak-pajak. Maka oleh sebab itulah pemerintah
menggarap sumber-sumber penghasilan negara dari pajak-pajak, agar
dikemudian hari dapat menggantikan sumber minyak bumi dan gas alam apabila
tidak lagi dapat memberikan penghasilan sebagaimana yang kita harapkan untuk
kesinambungan pembangunan.
Dengan Tax-Reform diusahakan sistem perpajakan yang berintikan
kesederhanaan, menunjang pemerataan, dan memberikan kepastian hukum.
Sitim pajak baru tidak akan memungut pajak atas sebahagian besar anggota
masyarakat, yaitu mereka yang berpenghasilan rendah, melainkan akan
memperoleh sumbangan yang besar dari hasil pemungutan pajak atas
perusahaan-perusahaan besar dan individu-individu yang berpenghasilan tinggi.

17
C. Tujuan Tex-Reform.
Sebagai tujuan utama tax-reform adalah untuk lebih menegakkan
kemandirian kita dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan lebih
mengarahkan segenap potensi dan kemampuan dari dalam negeri, khususnya
dengan cara meningkatkan penerimaan negara melalui perpajakan dan sumber-
sumber diluar minyak bumi dan gas alam. Untuk menjamin berhasilnya
pembangunan kita tidak akan sekedar mengandalkan kepada peningkatan
penerimaan negara yang berasal dari sektor minyak bumi dan gas alam saja,
melainkan juga dari usaha peningkatan pajak/non minyak. Maka untuk
meningkatkan penerimaan tersebut perlulah untuk mengadakan penyempurnaan
sistem perpajakan.
Di samping itu tujuan diadakannya tax-reform adalah untuk mengadakan
perombakan yang sangat mendasar yang mencakup:
a. Penyederhanaan jumlah dan jenis pajak.
b. Penyederhanaan tarif pajak.
c. Penyederhanaan tata cara perpajakan.
d. Pembenahan aparatur perpajakan yang mengenai:
1. prosedur
2. disiplin
3. mental pegawai
4. pemberian kepastian hukum

Soal:

1. Jelaskan hubungan hukum pajak dengan hukum perdata.


2. Jelaskan hubungan hukum pajak dengan hukum pidana.
3. Apa yang dimaksud dengan Tex-reformApa yang melatar belakangi dan tujuan Tex-
reform, jelaskan.

18

Anda mungkin juga menyukai