Anda di halaman 1dari 4

PEMBAGIAN HUKUM PAJAK

NAMA: MENI LANARTI

NIM: 132018001

DOSEN: ARI FERNANDES M.SI

UNIVERSITAS ISLAM OGAN KOMERING ILIR

FAKULTAS GURU DAN ILMU PENDIDIKAN

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

TAHUN 2020/2021
PEMBAGIAN HUKUM PAJAK

Hukum Pajak dibagi dalam hukum pajak materiel dan hokum formil ". Pembagian hukum pajak
ke dalam hukum pajak materiel hukum pajak formil penting sekali. Sebagaimana dalam bidang yang
lainnya, misalnya dalam hukum perdata barat, pembagian itu sangat penting, sehingga mengakibatkan
lahirnya dua buku/kitab tersendiri, yaitu yang khusus memuat hokum perdata formil hokum acara
perdata.kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berisikan hukum materielnya memuat peraturan-
peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban perdata, sedangkan hukum perdata formil
ditemukan antara lain dalam HIR (Herziene Indonesisch Reglement), yang menetapkan cara-cara untuk
mempertahankan hak-hak materiel itu.

Namun berbeda dengan bidang hukum lainnya, dalam setiap Undang-Undang Pajak hukum
materiel dan hukum formil dapat berdampingan, walaupun dalam Undang-Undang yang terpisah.

A. HUKUM PAJAK MATERIEL

Hukum pajak materiel memuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-


perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum harus dikenakan pajak, siapa-siapa yang harus dikenakan
pajak pajak ini, berapa besarnya pajak, dengan perkataan lain: segala sesuatu tentang timbulnya,
besarnya, dan hapusnya utang pajak dan pula hubungarn hukum antara pemerintah dan wajib pajak.
juga termasuk di dalam ya: peraturan-peraturan yang memuat kenaikan-kenaikan, denda-denda dan
hukuman-hukuman serta cara-cara tentang pembebasan-pembebasan dan pengembalian pajak: juga
ketentuan ketentuan yang memberi hak tagihan utama kepada fiskus sebagainya, diliputinya.

Hukum pajak materiel ini bila dihubungkan dengan Undang Undang Pajak Nasional 1983, maka
yang termasuk dalam hukum pajak materiel adalah Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan, Undang
Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah,
Undang-Undang tentang Pajak Bum dan Bangunan, Undang-Undang tentang Bea Meterai, Undang-
Undary tentang Kepabeanan, Undang-Undang tentang Cukai, dan Undang: Undang tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
B. HUKUM PAJAK FORMIL

Yang termasuk hukum pajak formil adalah peraturan-peraturan cara-cara untuk menjelmakan
hukum materiel tersebut di atas menjadi suatu kenyataan. Bagian hukum ini memuat cara-cara
penyelenggaraan mengenai penetapan suatu utang pajak, kontrol oleh pemerintah terhadap
penyelenggaraannya, kewajiban para wajib (sebelum dan sesudah menerima surat ketetapan pajak),
kewaji pihak ketiga, dan juga prosedur dalam pemungutannya.

Dengan memperhatikan Undang-Undang Pajak Nasional 1983 maka yang termasuk hukum pajak
formil adalah Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, dan Undang-Un tentang Peradilan Pajak.

Tujuan hukum pajak formil adalah untuk melindungi, bai fiskus maupun wajib pajak sebagai
jaminan bahwa hukum materielnya akan dapat diselenggarakan setepat-tepatnya.

C. KERAGU-RAGUAN HUKUM PAJAK MATERIEL DAN FORMIL

Pembedaan hukum pajak materiel dan hukum pajak formil ini, sebagaimana halnya dengan
pembedaan hukum pada umumnya, sering terdapat keragu-raguan. Hal ini dikarenakan di antara
peraturan perundangan yang terdapat di dalam hukum pajak, ada sebagian yang diragukan, apakah
ketentuan-ketentuan itu termasuk ke dalam hukum pajak materiel ataukah hukum pajak formil, yaitu
peraturan-peraturan mengenai kal pembuktian (ajaran tentang pembuktian, beban pembuktian).
D. ARTI PEMBEDAAN HUKUM PAJAK MATERIEL DAN FORMIL

Pembedaan antara hukum pajak materiel dan hukum pajak formil sangat penting, terutama harus
dimengerti bahwa peraturan dari hukum pajak formil tidak pernah akan menimbulkan suatu utang
pajak, ini semata-mata ditentukan oleh hukum pajak materiel. Tetapi sebaliknya adakalanya, karena
adanya peraturan-peraturan pajak formil yang tertentu, suatu pajak yang telah ditentukan oleh
peraturan pajak materiel, pemungutannya tidak mungkin diselenggarakan.

Sebagai contoh dikemukakan hal tuntutan kembali (Navordering) dalam Ordonansi Pajak
Pendapatan, yang pernah berlaku di Indonesia, menentukan dalam Pasal 14d, sebagai berikut:

1) Jika telah dikenakan ketetapan pajak yang kerendahan, atau salah diputuskan untuk tidak
mengenakan ketetapan pajak, pun bila ketetapan pajak yang telah dikenakan salah dikurangkan
atau dibatalkan, maka pajak yang kurang dipungut itu dapat ditagih kembali, selama semenjak
akhir tahun takwim tidak telah

2) Pajak yang termasuk ke dalam suatu ketetapan tagihan kemudian ditambah dengan seratus
peratus dari jumlah pajak itu... dst. Dalam ketentuan Pasal 14d Ordonansi Pajak Pendapatan

Dalam Ketentuan pasal 14d Ordonansi pajak pendapat tersebut di atas, jelas dapat dilihat,
bahwa dalam ayat (1), yaitu pada kalimat tambahan terakhir terdapat suatu jangka waktu (tiga tahun)
sebagai syarat formil tagihan kemudian tersebut. Dalam hal ini dapat dikatakan, bahwa walaupun
menurut syarat materiel seseorang harus dikenakan pajak lebih tinggi, tetapi bila syarat formil itu tidak
dipenuhi (misalnya lewat dari tiga tahun), maka pengenaan pajak yang sewajarnya tidak dapat
dijalankan.

Ketentuan semacam itu terdapat pula dalam Pasal 31 Ordonansi Pajak Perseroaan 1925.

Anda mungkin juga menyukai