Anda di halaman 1dari 36

MODUL KUP

CHAMDUN MAHMUDI, SE SH, M.SI, BKP, SAS

 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

1
BAB I : PENGANTAR HUKUM PAJAK DAN PERPAJAKAN
INDONESIA
A. Mengapa ada PAJAK ?

Ketika anda mengendarai kendaraan bermotor, melewati jembatan, jalan yang beraspal,
penerangan jalan, bangunan gedung pemerintah, rumah sakit pemerintah, para pegawai yang
bekerja, polisi yang menjaga keamanan, senjata dan peralatan perang yang digunakan oleh
tentara, dan lain-lain. Pertanyaan dari kita dari manakah mereka dapat membiayai semuanya itu?.
Secara gampang kita akan menjawab bahwa semuanya adalah milik negara. Ya, benar semua
adalah milik negara. Pertanyaanya adalah dari manakah semua biaya atau uang untuk membeli
semua hal tersebut. Ya semua berasal dari penerimaan negara. Ya penerimaan negara dari mana?
Semua tersebut ternyata sebagian besar di biaya dari pajak. Ya Pajak adalah merupakan
penerimaan terbesar dari setiap negara. Bahkan di negara maju seperti Amerika, Jerman, Inggris,
ternyata penerimaan terbesar adalah dari pajak.
B. Sejarah Pajak di Indonesia

Sudah menjadi suatu hal yang biasa bahwa didunia ini ada dua hal yang pasti yaitu mati dan
pajak. Mati akan menjadi kepastian bagi siapa saja yang hidup. Sedangkan pajak mengapa juga
disebut suatu yang pasti?. Karena pajak setiap orang mempunyai hutang pajak, karena ketentuan
undang-undang menyatakan bahwa setiap penghasilan adalah merupakan obyek pajak. Bila ada
kata pajak maka yang ada dalam pikiran kita adalah sebuah pungutan yang harus dipenuhi oleh
setiap orang atau badan sebagai wajib pajak. Pajak sudah dikenal sejak lama sekali sejak jaman
pra sejarah. Sejarah Pajak dimulai dari adanya setoran yang dilakukan oleh penduduk atau
negara negara kecil yang menjadi bagian dari kerajaan yang lebih besar. Penduduk akan
menyetorkan berupa upeti atau bingkisan kepada raja. Bingkisan atau upeti tersebut dapat
berupa hasil bumi, uang atau bahkan manusia.

Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma) namun sifatnya
merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat
(masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa. Saat itu, rakyat memberikan upetinya kepada
raja atau penguasa berbentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti
pisang, kelapa, dan lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk keperluan
atau kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang
dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan sepihak dan
seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang lebih tinggi status
sosialnya dibandingkan rakyat.

Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk
kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya
pemberian kepada rakyat atau penguasa digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk
menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan, pembangun saluran air, membangun sarana sosial
lainnya, serta kepentingan umum lainnya.

2
Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian) yang semula dilakukan cuma-
cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian dibuat suatu aturan-aturan yang lebih baik
agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi
unsur keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan
pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.

Pada umumnya perundang-undangan perpajakan pada masa ini adalah peninggalan zaman
Belanda yang karena beberapa kesulitan belum dapat diganti, dan digunakan semata-mata hanya
untuk menghimpun dana, hanya mengalami beberapa perubahan untuk disesuaikan dengan
kemajuan perekonomian. Merujuk pada Pasal II (Aturan Peralihan) UUD. 1945 jo Undang-Undang
No. 4 Tahun 1952 antara lain menyatakan bahwa sejak 1 Januari 1951, semua Undang-Undang,
Undang-Undang Darurat dan Ordonasi tentang Pajak yang dikeluarkan sebelum pembentukan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dinyatakan berlaku di seluruh Indonesia. Sehingga undang-
undang yang belaku menurut Undang-undang No. 4 Tahun 1952 antara lain adalah :

 Undang-undang Pajak Radio (U.U. No 12 Tahun 1947)


 Undang-undang Pajak Pembangunan (U.U. No 14 Tahun 1947)
 Undang-undang Darurat Pajak Peredaran (U.U. No. 12 Tahun 1952)
 Ordonansi Pajak Pendapatan 1944
 Ordonansi Pajak Upah 1934
 Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908
 Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934
 Ordonansi Bea Balik Nama 1924
 Ordonansi Pajak Potong 1936
 Aturan Bea Materai 1921
 Ordonansi Successie 1901
 Ordonansi Pajak Kekayaan 1932

Selanjutnya diundangkan lagi beberapa Undang-undang tentang Perpajakan sebagai berikut :

1. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;
2. UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan Undang-undang No. 10
Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti;
3. UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;
4. UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
5. UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs atau Tata Cara MPS-
MPO.

C. Reformasi Pajak di Indonesia

Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan


dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa undang-undang di atas ternyata dalam
perkembangannya tidak memenuhi rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada
tahun 1983, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan
reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang yang ada
dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari
dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan

3
menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah menjadi
self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah:

1. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
2. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
3. UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM;
4. UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih menggunakan official assessment);
5. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).

Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian mengalami perubahan dengan
mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan undang-undang, yaitu:

1. UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;


2. UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994;
3. UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;
4. UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;

Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang yang berkaitan dengan
masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah ada, yaitu:

1. UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak;


2. UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
3. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
4. UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
5. UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan untuk memberikan rasa
keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, maka pada tahun 2000 pemerintah kembali mengubah
undang-undang perpajakan, yaitu:

1. UU No. 16 Tahun 2000 tentang KUP;


2. UU No. 17 Tahun 2000 tentang PPh;
3. UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM;
4. UU No. 19 Tahun 2000 tentang PPSP;
5. UU No. 21 Tahun 2000 tentang BPHTB;
6. UU No. 34 Tahun 2000 tentang PDRD; serta
7. Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai.

Kemudian pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum
merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung maka dibentuklah suatu Pengadilan
Pajak dengan UU No. 14 Tahun 2002 sebagai pengganti UU No. 17 Tahun 1997.

Perubahan terakhir undang-undang perpajakan baru-baru ini dilakukan pada tahun 2007 dan 2008
yang menghasilkan UU KUP No. 28 Tahun 2007 yang berlaku mulai tahun 2008 dan UU PPh No. 36
Tahun 2008 yang berlaku mulai tahun 2009. Namun, dilatarbelakangi adanya sunset policy beberapa
waktu lalu, maka UU KUP diperbaharui lagi dengan adanya UU No. 16 Tahun 2009 sebagai penetapan
Perpu No. 5 Tahun 2008 yang hanya mengubah satu bunyi ketentuan Pasal 37A ayat (1) UU KUP No. 28
Tahun 2007. Kemudian.UU PPN/PPNBM No. 42 tahun 2009 yg berlaku I April 2010.

4
D. Definisi pajak

Pengertian yang mendasar berdasarkan UU KUP yaitu UU no. 8 tahun 1983 sebagaimana terakhir telah
diubah dengan UU No. 16 Tahun 2009. Pengertian pajak terdapat dalam Pasal 1 UU KUP menyebutkan
pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka pajak secara
garis besar mengandung unsur:
a. Kontribusi wajib (membayar uang)
b. Terutang oleh orang atau Badan
c. Sifatnya Memaksa
d. Diatur melalui Undang-Undang
e. Tidak ada balas jasa secara langsung
f. Digunakan untuk keperluan negara
g. Untuk kemakmuran rakyat
.

D.1 Fungsi pajak

Pajak memiliki dua fungsi, yaitu :


1. Fungsi pajak penerimaan (budgetair)
Pajak berfungsi sebagai sumber dana dalam pembiayaan pengeluaran pemerintah baik
pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembagunan.Dalam hal ini Pajak adalah merupakan
sumber pendapatan negara, dibeberapa negara pajak disebut dengan Revenue Services,
yaitu suatu badan yang merupakan sumber-sumber pendapatan negara.
2. Fungsi mengatur(regular)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau mengontrol tujuantujuan dari kebijakan dan
tujuan pemerintah dalam bidang social, ekonomi dan politik. Contoh ; dikenakannya pajak
yang tinggi terhadap barang mewah, rokok dan minuman keras, atau dikenakan
pembebasan pajak atas impor barang untuk keperluan agama, pertahanan dan keamanan,
serta barang-barang strategis, dikenakanya pajak pertambahan Nilai untuk eksport sebesar
0 %, dengan tujuan untuk meningkatkan eksport dan menaikan posisi tawar barang-barang
dalam perdagangan Internasional/

Fungsi diatas adalah merupakan fungsi utama dari Pajak sedangkan peran lain dari perpajakan
adalah

1. Fungsi redistribusi yaitu fungsi yang lebih menekankan unsur pemerataan dan keadilan dalam
masyarakat. Fungsi ini terlihat dari adanya lapisan tarif dalam pengenaan pajak. Fungsi ini
sesuai dengan teori pemungutan pajak yaitu fungsi keadilan dan fungsi pemungutan yang tepat
dalam pemungutan pajak.
2. Fungsi demokrasi dan Fungsi Gotong Royong : merupakan salah satu penjelmaan atau wujud
system gotong royong termasuk kegiatan pemerintah dan pembangunan dengan pembiayaan
bersama dengan pajak..
3. Fungsi Stabilitas : adalah fungsi untuk menstabilkan keadaaan terutama berkaitan dengan
kebijakan fiskal suatu negara, misalnya berkaitan dengan menurunya investasi maka dilakukan
fasiltitas perpajakan berupa tax holiday dlll…

5
D.2. Jenis-jenis pajak

a. Menurut sifatnya
1. Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan oleh pihak
lain dan menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan. Contoh : pajak
penghasilan
2. Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada
pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.

b. Menurut sasaran / objeknya


Pembagian pajak menurut sasaran atau objeknya dimaksudkan pembedaan berdasarkan cirri-
ciri prinsip :
1. Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan kepada subjeknya
(kepada Wajib Pajak ) yang selanjutnya dicari syarat objektifnya,.
contoh : pajak penghasilan
2. Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasar pada objeknya tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

c. Menurut pemungutannya
1. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat .
Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak atas penjualan Barang
Mewah, Pajak bea Meterai, PBB untuk obyek tertentu
2. Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga daerah.
Contoh : Pajak Bumi dan bangunan untuk perkotaan dan pedesaan, Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bnagunan, pajak Rekalme, pajak hiburan, dan pajak lain-lain.

D.3. Jenis-jenis pungutan lain selain pajak

a. Retribusi
Retribusi pada umumnya mempunyai hubungan langsung dengan kembalinya prestasi (ada
kontra prestasi secara langsung) karena pembayaran tersebut ditunjukan semata-mata untuk
mendapatkan sesuatu prestasi tertentu dari pemerintah, misalnya karcis masuk terminal, karcis
masuk toll dan lain-lain.
b. Sumbangan
Sumbangan, yang merasakan imbalan/ manfaatnya langsung adalah penerimaan sumbangan .
Contoh : sumbangan bencana alam

D.4. Metode pemungutan pajak


Metode Pemungutan pajak dapat dibagi menjadi :

1. Official assessment system


official assessment system adalah suatu system pajak yang memberikan wewenang kepada
pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.
Ciri-ciri Official Assessment System

6
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus;
b. Wajib pajak bersifat pasif;
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus;
2. Self assessment system
Self assessment adalah suatau system pungutan pajak yang memberi wewenang,
kepercayaan, tanggung jawab, kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan,
membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.
3. Witholding System
Witholding System adalah suatu system pemungutan pajak yang memberikan wewenang
kepada pihak lain ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang
oleh wajib pajak.

D.5 Tarif pajak


Pemungutan pajak tidak terlepas dari keadilan sebab keadilan dapat menciptakan keseimbangan
social yang sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam penetapan tarif pun harus
berdasarkan pada keadilan. Dalam penghitungan pajak yang terutang digunakan tarif pajak. Tarif
pajak dimaksud adalah tarif untuk menghitung besarnya pajak terutang (pajak yang harus dibayar).
Besarnya tarif pajak dapat dinyatakan dalam presentase. Dalam pajak penghasilan persentase
tarifnya dibedakan :

1. Tarif marginal
persentase tarif ini berlaku untuk suatu kenaikan dasar pengenaan pajak. Sebagai contoh
tarif PPh 994 (perhatikan contoh tariff progresif) bahwa tariff marginal untuk setiap
tambahan penghasilan kena pajak yang melebihi 0 sampai dengan Rp25.000.000,00
sebesar 10% yang diikuti pula untuk setiap tambahan penghasilan kena pajak diatas
Rp25.000.000,00 sampai dengan Rp50.000.000,00 dengan tarif marginal 15% dan
seterusnya.
2. Tarif efektif
Persentase tariff pajak yang efektif berlaku atau harus ditetapkan atas dasar pengenaan
pajak tertentu;
Sebagai contoh apabila penghasilan kena pajak sebesar Rp30.000.000,00 PPh terutang
dihitung :
10% X Rp25.000.000,00 =Rp2.500.000,00
15% X Rp 5.000.000,00 =Rp 750.000,00
Total =Rp3.250.000,00

tarif efektif = Rp 3.250.000,00 X 10% =10,833


Rp 30.000.000,00

struktur tariff yang berhubungan dengan pola pesentase tariff pajak dikenal 4 (empat)
macam tariff, yaitu :
a. Tarif Proposional/Sebanding
tarif pajak proposional yaitu tariff pajak berupa persentase terhadap jumlah
keberapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak. Sering juga disebut tariff tunggal
karena hanya menggunakan satu tariff dengan persentase tetap.
Contoh : Tarif Pajak Pertambahan Nilai 10%, PBB 0.5 dan BPTH 5 %

7
b. Tarif Progresif
Tarif pajak progresif adalah tariff pajak yang persentase menjadi lebih besar apabila
jumlah yang menjadi dasar penggenaannya semakin besar.
Misalnya tariff pajak yang berlaku di Indonesia, yaitu:
Untuk Wajib pajak orang pribadi :
tarif menurut UU PPh No. 36 tahun 2008
o Sampai dengan Rp 50.000.000,00 tarifnya 5%
o Diatas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 500.000.000,00 tarifnya 15%
o Diatas Rp 250.000.000,00 sampai dengan Rp 500.000.000,00 tarifnya 25%
o Diatas Rp 500.000.000,00 tarifnya 30%

Dengan memperhatikan kenaikan persentase tarifnya, tariff progresif dapat dibagi


menjadi :
a. Tarif progresif progresif , dalam hal ini kenaikan persentase pajaknya semakin
besar
b. Tarif progresif tetap, Kenaikan persentase tetap
c. Tarif progresif degresif, Kenaikan persentase semakin kecil
1. Tarif degresif
Tarif pajak degresif adalah persentase tariff pajak yang semakin menurun apabila
jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak semakin besar.
2. Tarif tetap
tariff tetap adalah tariff berupa jumlah yang tetap (sama besarnya) terhadap berapa
pun jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak. Oleh karena itu besarnya pajak
yang terutang tetap. Bea materai merupakan struktur tarif ini Rp 3000 dan Rp 6000
3. Tarif pajak advalorem
tarif pajak advalorem merupakan tarif dengan persentase tertentu atas harga barang
atau nilai suatu barang, misal tarif bea masuk sebesar 10% dari Nilai Impor
4. Tarif pajak spesifik
merupakan tariff dengan jumlah tertentu atau suatu jenis atau suatu jenis barang
tertentu. Misal tariff bea masuk yang besar rupiahnya ditetapkan atas suatu barang
yang di Impor

D.6 Perlawanan terhadap pajak


Mengingat betapa pentingnya peran masyarakat untuk membayar pajak dalam peran sertannya
menanggung pembayaran negara, maka dituntut kesadaran warga negara untuk memenuhi
kewajiban kenegaraan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pada sebagian masyarakat
terdapat keenganan memenuhi kewajiban perpajakan. Dalam hal demikian timbul perlawanan
terhadap pajak. Perlawanan terhadap pajak dapat dibedakan menjadi perlawanan pasif dan
perlawanan aktif.
Perlawanan pasif
Perlawanan pasif berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan mempunyai
hubungan erat dengan struktur ekonomi suatu negara, dengan perkembangan intelektual dan
moral penduduk, dan dengan teknik pemungutpajak itu sendiri.
Perlawanan aktif
Perlawanan aktif secara nyata terlihat pada semua usaha dan perbuatan yang secara langsung

8
ditujukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Diantaranya dapat dibedakan cara-cara sebagi berikut:

a. Penghindaran diri dari pajak (Tax avoidance)


dilakukan dengan tidak melakukan perbuatan yang memberi alasan untuk dikenakan pajak.
Penghindaran yang dilakukan wajib pajak masih dalam kerangka peraturan perpajakan.
misal : rokok putih diganti dengan rokok tingwe supaya tidak kena pajak rokok.
b. Pengelakan diri dari pajak (tax evasion)
Dilakukan dengan cara-cara yang melanggar undang-undang dengan maksud melepaskan
diri dari pajak atau mengurangi dasar pengenaannya.
Misalnya : wajib pajak melakukan manipulasi pajak dengan melakukan pembukuan ganda,
pengurangan besarnya pajak yang terutang.
c. Melalaikan pajak
Dilakukan dengan cara menolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan menolak
memenuhi formalitas yang harus dipenuhi.
Misalnya ; Menghalangi penyitaan dengan menyembunyikan barang-barang yang akan di
sita.

D.7 Asas dan dasar pemungutan pajak


Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak, dalam memilih alternative pemungutannya perlu berdasar
pada asas-asas pemungutan pajaksehingga terdapat keserasian antara pemungutan pajak dengan
tujuan dan asasnya. Adam Smith dalam bukunya An Iquiri inithe Nature and causes of the wealth of
Nationmenyatakan pungutan pajak hendaknya didasarkan pada asas :

a. Equality
Pemungutan pajak harus bersifat final adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang pribadi
yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai
dengan manfaat yang diterima. Tidak ada diskriminasi dalam pembayaran pajak.
b. Certainty
Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang dan harus berdasarkan undang-
undang atau peraturan. Oleh karena itu wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti
pajak yang terutang, kapan harus dibayar serta batas waktu pembayaran. Beberapa
mengungkapkan dengan kata-kata bijak,.Tax without law is rebellion
c. Convenience
Kapan wajib pajak itu harus membayar sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak
menyulitkan Wajib pajak sebagai contoh pada saat Wajib pajak memperolah penghasilan.
System pemungutan ini disebut Pas as You Earn.
d. Economy
Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib
pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul wajib pajak.

D.8 Teori Pemungutan Pajak

Berikut ini adalah teori-teori tentang pemungutan pajak yaitu:

9
a. Teori asuransi
Teori asuransi ini menyamakan pembayaran premi dengan pembayaran pajak. Pada
kenyataannya menyamakan pajak dengan premi tidaklah tepat, karena jika masyarakat
mengalami kerugian,negara tidak dapat memberikan penggantian layaknya perusahaan
asuransi.
b. Teori kepentingan
Teori kepentingan diartikan bahwa negara yang melindungi kepentingan harta dan jiwa warga
negara dengan memperhatikan pembagian beban yang harus dipungut dari masyarakat.
Pembebanan ini di dasarkan pada kepentingan setiap orang termasuk perlindungan jiwa dan
hartanya. Oleh karena itu, pengeluaran negara untuk melindunginya dibebankan kepada
masyarakat ..
c. Teori gaya pikul
Teori ini berpangkal dari azas keadilan yaitu bahwa setiap orang dikenakan pajak dengan
bobot sama. Pajak yang dibayar adalah menurut gaya pikul dengan ukuran besarnya
penghasilan dan pengeluaran seseorang. Adanya PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)
merupakan aplikasi dari teori ini.
d. Teori bakti
Teori ini disenut juga teori kewajiban pajak mutlak. Teori ini mendasarkan bahwa negara
mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak. Dilain pihak, masyarak menyadari bahwa
membayar pajak sebagai satu kewajiban untuk membuktikan tanda baktinya terhadap
Negara.
e. Teori gaya beli
Pembayaran pajak dimaksudkan untuk memelihara masyarakat. Pembayaran pajak dilakukan
kepada negara lebih ditekankan pada fungsi mengatur dari pajak agar masyarakat tetap
aksis. Teori ini mendasarkan pada penyelenggaraan kepentingan masyarakat yang dianggap
sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu atau negara, sehingga
pajak lebih menitik beratkan pada fungsi mengatur. Dalam teori ini kemaslahatan masyarakat
akan tetap terjaminnya dengan pembayaran pajak.

E. HUKUM PAJAK

E.1 Pembagian hukum pajak


Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiskus) selaku pemungut pajak dengan wajib
pajak. Hukum pajak dibedakan menjadi :

a. Hukum pajak materiil


Hukum pajak materiil memuat norma-norma yang menerangkan keadaan, perbuatan, peristiwa
hukum yang dikenakan (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek pajak), berapa
besar pajak yang dikenakan, segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya pajak, dan
hubungan antara pemerintah dan wajib pajak.
Hukum materiil meliputi :
1. UU pajak penghasilan
2. UU pajak Pertambahan Nilai
3. UU pajak Bumi dan Bangunan
4. UU Bea Perolehan atas Tanah dan atau Bangunan
5. UU Bea Materai

10
b. Hukum pajak Formal
Hukum pajak formal, memuat bentuk / tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi
kenyataan . Hukum pajak formal ini memuat, antara lain :
1. Tata cara penetapan utang pajajk
2. Hak-hak fiskus untuk mengawasi wajib pajak mengenai keadaan, perbuatan, dan
peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak.
3. Kewajiban wajib pajak, misalnya penyelenggaraan pembukuan / pencatatan, dan hak-
hak wajib pajak mengajukan keberatan dan banding
Hukum pajak formal meliputi :
1. UU Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan.
2. UU Penagihan Pajak dengan surat paksa.
3. UU Pengadilan pajak.

E.2 Penafsiran dalam hukum pajak


Atas peraturan yang tidak dapat dimengerti secara jelas atau kurang jelas perlu cara atau
upaya penafsiran (interpretasi) untuk memahaminya. Apabila suatu peraturan menimbulkan berbagai
penafsiran menurut pembacanya, maka yag berwenang memutuskan penafsiran adalah hakim. Yaitu
dalam hal terjadinya sengketa yang diajukan kepengadilan. Tentu saja peraturan hakim hanya mengikat
pihak yang bersengketa saja (sesuai hukum perdata) dan hakim tidak mengikat umum.
Penafsiran (interpretasi) yang sering digunakan dalam lapangan hukum perdata untuk memahami
peraturan, juga dapat digunakan dalam lapangan hukum public, termasuk didalamnya hukum pajak.

a. Penafsiran historis
Penafsiran historis adalah penafsiran Undang-Undang dengan melihat sejarah dibuatnya
Undang-Undang tersebut. Penafsiran ini dapat diketahui dari dokumen pada waktu proses
dibuatnya Undang-Undang. Misalnya dokumen rapat tim penyusun, dokumen rapat
pembahasan pemerintah dengan DPR dan dokumen surat surat lainnya yang dibuat secara
resmi. Dengan penafsiran historis dapat diketahui maksud penyusun suatu Undang-Undang
b. Penafsiran sosiologis
Penafsiran sosiologis adalah penafsiran atas ketentuan Undang-Undang yang disesuaikan
dengan kehidupan masyarakat yang selalu berkembang. Karena itu perlu penyesuaian
antara undang-undang dengan perkembangan hidup masyarakat.
c. Penafsiran sistematik
Penafsiran sistematik adalah penafsiran ketentuan dengan mengkaitkannya dengan
ketentuan (pasal-pasal) lain dalam undang-undang tersebut atau dari undang-undang
lainnya. Ketentuan yang tidak jelas dapat diketahui dengan melihat/ mengkaitkan dengan
pasal lainnya.
d. Penafsiran otentik
Penafsiran otentik adalah penafsiran ketentuan dalam undang-undang dengan melihat hal-
hal yang telah dijelaskan dalam undang-undang tersebut. Dalam suatu undang-undang
biasanya terdapat pasal mengenai ketentuan umum, sering disebut terminology, merupakan
penafsiran otentik,. Penjelasan suatu pasal yank dimuat dalam tambahan lembaran negara
bukanlah merupakan penafsiran otentik.
e. Penafsiran Tata bahasa
Penafsiran tata bahasa adalah penafsiran ketentuan dalam undang-undang berdasarkan
bunyi kata-kata secara keseluruhan dalam kalimat-kalimat yang disusun. Penafsiran

11
menurut tata bahasa merupakan penafsiran yang paling penting, sebab apabila kata-kata
dalam kalimat suatu pasal telah jelas maksudnya.
f. Penafsiran analogis
Penafsiran analogis adalah penafsiran ketentuan dengan cara memberi kiasan pada kata-
kata yank tercantum dalam undang-undang, sehingga suatu peristiwa yang sesungguhnya
tidak termasuk dalam ketentuan menjadi termasuk berdasarkan analogi yang dibuat.
Contoh penafsiran analogis : kata „penjualan” menjadi “pemindahan ketangan lain” (dari
peraturan yang ada ditarik peraturan yang bersifat umum), yang selanjutnya disimpulkan
juga termasuk hibah, pemasukan harta (inbreng) dan wasiat.
(R.Santoso Brotodiharjo S.H dalam bukunya pangantar ilmu hukum pajak). Penafsiran ini
dalam hukum pajak tidak diperbolehkan karena menimbulkan ketidakpastian hukum.
g. Penafsiran A.Contrario
Penafsiran A.Contrario adalah penafsiran ketentuan undang-undang berdasarkan pada
perlawanan pengertian antara masalah yang dihadapi da masalah yang diatur dalam
undang-undang. Diambil suatu kesimpulan bahwa atas masalah yang dihadapi yang tidak
diatur dalam undang-undangnya berada diluar ketentuan (tidak diatur). Penafsiran ini
dalam hukum pajak juga tidak diperbolehkan karena akan menimbulkan ketidakpastian
hukum.

E.3 Yuridiksi pemungutan pajak


Dalam memungut pajak, negara mempunyai batas kewenangan didasarkan atas tempat tinggal,
kewarganegaraan atau sumber penghasilan sehingga pemungutan pajak tidak berulang-ulang dan
memberatkan wajib pajak. Terdapat tiga halyang digunakan sebagai dasar untuk memungut pajak.

1. Tempat tinggal
Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atau seluruh penghasilan wajib pajak
berdasarkan tempat tinggal wajib pajak tanpa memperhatikan apakah ia sebagai warga
negaranya atau sebagai warga negara asing. Wajib pajak yang bertempat tinggal di
Indonesia dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh berasal dari
Indonesia atau berasal dari luar negeri (pasal 4 undang-undang pajak penghasilan).
2. Kebangsaan
Pengenaan pajaknya dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Suatau negara
memungut pajak atas orang yang mempunyai kebangsaan negara tersebut tanpa
memperhatikan dimana ia tinggal.
3. Sumber
Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber dari
suatu negara. Dengan demikian orang atau badan yang menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak diIndonesia tanpamemperhatikan tempat
tinggal wajib pajak

F. Utang pajak
Dalam ajaran hukum formal, apabila melihat timbulnya utang pajak, bahwa utang pajak timbul
karena surat ketetapan pajak (ajaran formal), ajaran iniditerapkan pada official assessment
system. Perbedaan dengan ajaran hukum materiil bahwa utang pajak timbul karena undang-
undang. Ajaran ini duterapkan pada self assessment system.

12
F.1 Hapusnya utang pajak
Hapusnya utang pajak disebabkan :
a. Pembayaran
Utang pajak yang melekat pada wajib pajak akan hapus karena pembayaran yang dilakukan
ke kas negara.
b. Kompensasi
Keputusan yang ditunjukan kepada kompensasi utang pajak dengan tagihan seseorang diluar
pajak tidak diperkenankan. Oleh karena itu kompensasi terjadi apabila wajib pajak
mempunyai tagihan berupa kelebihan pembayaran pajak. Jumlah kelebihan pembayaran
pajak yang diterima wajib pajak sebelumnya harus dikompensasikan dengan pajak-pajak
lainnya yang terutang.
c. Daluwarsa
Daluwarsa diartikan sebagai daluwarsa penagihan. Hak untuk melakukan penagihan pajak,
daluwarsa setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak
atau berakhirnya masa pajak, bagian tahunpajak atau tahun pajak yang bersangkutan. Hal ini
untuk memberikan kepastian hukum kapan utang pajak tidak dapat ditagih lagi. Namun
daluwarsa penagihan pajak tertangguh, antara lain, apabila diterbitkan Surat Teguran dan
Surat Paksa.
d. Pembebasan
Utang pajak tidak berakhir dalam arti yang semestinya tetapi karena ditiadakan. Pembebasan
umumnya tidak diberikan terhadap pokok pajaknya, tetapi terhadap sanksi administrasi.
e. Penghapusan
Penghapusan utang pajak ini sama sifatnya dengan pembebasan, tetapi diberikannya karena,
keadaan keuangan Wajib Pajak.

13
BAB 2 : Dasar –Dasar KUP, NPWP dan Pengukuhan PKP

A. Pengertian KUP
Sebagai hasil reformasi perpajakan Indonesia adalah adanya Undang-Undang tentang Ketentuan
Umum Perpajakan. Ketentuan Umum perpajakan ini adalah sebagai induk dari keseluruhan sistim
perpajakan di Indonesia. Dengan memahami KUP maka kita akan mengetahui bagaimana sistim
perpajakan tersebut bekerja dan memahami bagaimana arah dari rezim perpajakan Indonesia.
KUP memuat hukum-hukum material dan hukum-hukum formil. Pengertian KUP dapat dibedakan
menjadi hal-hal sebagai berikut :
Ketentuan : adalah suatu aturan atau suatu petunjuk, adalah memuat tentang aturan atau
ketentuan perpajakan di Indonesia,
Umum : hal –hal yang bersifat umum dari suatu sistim perpajakan Indonesia
Tata Cara : adalah suatu cara atau bagaimana menjalankan perpajakan di Indonesia ,
Dengan demikian bahawa KUP adalah merupakan suatu Ketentuan Umum dalam melaksanakan
perpajakan di Indonesia. UU KUP memuat ketentuan umum dan tata cara perpajaskan yang pada
prinsipnya berlaku bagi semua undang-undang pajak materiil, kecuali undang-undang pajak
materiil yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakannya. Undang-undang KUP Nomor 6 Tahun 1983 yang mulai berlaku sejak 1 Januari
1984. Perubahan pertama dilakukan dengan UU Nomor 9 Tahun 1994 dan mulai berlaku 1
Januari 1995. Perubahab kedua dilakukan dengan UU Nomor 16 Tahun 2000 dan mulai berlaku
1 Januari 2001. Perubahan terakhir dilakukan dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 yang mulai
berlaku 1 Januari 2008 Kebijakan/tujuan dilakukannya perubahan ketiga UU KUP adalah :
1. Meningkatkan efisiensi pemungutan pajak guna mendukung penerimaan Negara;
2. Meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat guna
menaikkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap mendukung
pengembangan usaha kecil dan menengah;
3. Menyesuaikan tuntutan perkembangan social ekonomi masyarakat serta perkembangan di
bidang teknologi informasi;
4. Meningkatkan keseibangan anatara hak dan kewajiban;
5. Menyederhanakan prosedur administrasi perpajakn;
6. Menigkatkan penerapan prinsip self assessment yang akuntabel dan konsisten;
7. Mendukung iklim usaha kea rah yang lebih kondusif dan kompetitif.
8. Dengan dilaksanakannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan
penerimann Negara dalam jangka menengah dan panjang seiring dengan menigkatnya
kepatuhan sukarela para WP dan membaiknya iklim usaha.

B. Dasar Hukum dan Peraturan Perpajakan di Indonesia

Secara formal landasan segala hukum pajak di Indonesia mengacu pada pasal 23 ayat 2 UUD
1945 yang berbunyi “ Segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan undang-undang.”
Dalam penjelasan diuraikan : “Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan dari mana
didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh rakyat sendiri, dengan perantaraan Dewan
Perwakilannya. Oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat, seperti pajak dan
pungutan-pungutan lainnya, harus ditetapkan dengan undang-undang, yaitu dengan persetujuan

14
Dewan Perwakilan Rakyat.” Landasan hokum ini mengalami perubahan melalui Amandemen ketiga
UUD 1945 yang disahkan 10 November 2001 yaitu menjadi Pasal 23A dengan berbunyi:
“Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-
undang.”. Dengan demikian sesuai dengan tujuan dari negara bahwa negara Indonesia adalah
negara Hukum, maka semua pajak harus berdasarkan Undang-undang. Dengan demikian suatu
ketentuan perpajakan harus dan hendaknya bersumber dari suatu dasar peraturan perundang-
undangan yang ada.

C. Pokok-pokok dari UU KUP


C.1 Self Assessment.

Salah satu ciri dari system pemungutan pajak Indonesia adalah self assessment yaitu system
pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada masyarakat WP untuk menghitung ,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang dan jumlah
pajak yang telah dibayar, sebagiamana ditentukan dalam peraturan prundang-undangan
perpajakan dipercayakan sepenuhnya kepada WP. Administrasi perpajakan berperan aktif
dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas
pembinaan,pelayanan, pengawasan, dan penerapan sanksi perpajakan.

Jiwa Self Assessment tercantum dalam pasal 12 UU KUP yang berbunyi

Setiap WP wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggatungkan pada adanya SKP
Jumlah pajak yang terutang menurut SPT yang disampaikan oleh WP adalah jumlah pajak yang
terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Apabila Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang
menurut SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Dirjen Pajak menetapkan jumlah
pajak yang terutang.

Dari bunyi Pasal 12 UU KUP tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa penghitungan pajak yang
terutang (untuk Pajak Penghasilan {PPh}, PPN dan PPnBM). Pembayarannya kek kas Negara, dan
pelaporannya diserahkan sepenuhnya kepada WP serta tidak didasarkan pada SKP yang
diterbitkan administrasi pajak. Perhitungan, pembayaran dan pelaporan yang dilakukan WP
tersebut dianggap benar (sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undagan perpajakan)
sepanjang Dirjen Pajak tidak dapat membuktikan sebaliknya. Pada prinsip self assessment beban
pembuktian (bahwa pajak terutang yang telah dilaporkan adalah tidak bebar) berada di pihak
fiskus (Dirjen Pajak). SKP hanya diterbitkan oleh fiskus apabila perhitungan wajib pajak tersebut
tidak benar berdasarkan pada suatu pembuktian oleh fiskus.

D. Pengertian NPWP dan pengukuhan PKP.

NPWP adalah nomor yang diberikan kepada WP sebagai sarana dalam administrasi perpajakan
yang dipergunakan sebagai tanada pengenal diri atau identitas WP dalam melaksanakan hak
dan kewajiban perpajakannya hal tersebut diatur dalaml 1 angka 6 UU KUP). NPWP diberikan
kepada WP Orang Pribadi atau Badan yang berdasarkan UU PPh dikenai kewajiban perpajakan
baik kewajiban perpajakan atas dirinya sendiri ataupun kewajiban memungut atau memotong PPh

15
Pihak lain (withholding tax). NPWP terdiri dari 15 digit, yaitu 9 (Sembilan) digit pertama
merupakan kode unik WP dan 6 (enam) digit berikutnya merupakan kode Administrasi
Perpajakan.
Contoh Kartu NPWP:

12.345.678.9 - 075 . 000

Kode WP Kode KPP Kode Cabang

07.234.567.8 - 999 . 999

Kode WP Kode KPP Kode anggota keluarga WP OP

1. 9 (Sembilan) digit pertama adalah identitas unik Wajib Pajak;


2. 3 (tiga) digit berikutnya adalah kode KPP, dengan ketentuan sebagai berikut:
a) untuk pendaftaran/pemberian NPWP baru, kode KPP adalah kode KPP tempat Wajib Pajak
pertama kali terdaftar;
b) untuk Wajib Pajak yang sudah terdaftar, kode KPP adalah kode KPP tempat Wajib Pajak
terdaftar pada saat Surat Edaran Nomor SE-44/PJ/2015 berlaku;

3. 3 (tiga) digit terakhir adalah kode status pusat dan cabang

D.1 Penerapan NPWP Tetap (SE- 44/PJ/2015 Angka 2) :


a. NPWP tidak berubah meskipun Wajib Pajak pindah tempat tinggal/tempat kedudukan atau
mengalami pemindahan tempat terdaftar
b. Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan di KPP tempat Wajib
Pajak terdaftar.
Contoh Penerapan NPWP Tetap :
1. Penerapan NPWP Tetap dalam hal Wajib Pajak Pindah Berdasarkan Permohonan

16
PT Maju Ramah, NPWP 92.345.678.1-922.000, terdaftar di KPP Pratama Kupang (Kode KPP 922)
pindahtempat kedudukan ke wilayah kerja KPP Pratama Makassar Barat (Kode KPP 804). Wajib Pajak
mengajukan permohonan pindah secara tertulis langsung ke KPP Pratama Kupang.Berdasarkan hasil
verifikasi dalam rangka pemindahan Wajib Pajak, KPP Pratama Kupang mengabulkanpermohonan Wajib
Pajak kemudian menerbitkan Surat Pindah dan Surat Pencabutan SKT, selanjutnyamenyampaikan ke KPP
Pratama Makassar Barat dengan tembusan kepada Wajib Pajak. Berdasarkan SuratPindah dan Surat
Pencabutan SKT, KPP Pratama Makassar Barat menerbitkan Kartu NPWP dan SKT atasnama PT Maju
Ramah, NPWP 92.345.678.1-922.000.Pengukukuhan PKP adalah kewajiban bagi WP sebagai
pengusaha yang menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) atau ekspor BKP
yang atas penyerahan atau ekspor BKP tersebut terutang PPN selain dipergunakan untuk mengetahui
identitas PKP yang sebenarnya. Juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang PPN
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.

E. Yang wajib mendaftarkan diri dan kepadanya diberikan NPWP.

Setiap WP yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor DJP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan WP dan kepadanya diberikan
NPWP.
Persyaratan subjektif adalah sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam UU PPH
dimana subyek pajak adalah meliputi orang Pribadi, Badan, warisan yang belum terbagi dan
Bentuk Usaha Tetap
Timbulnya kewajiban pajak subjektif sebagaimna diatur dalam UU PPh dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Orang pribadi sebagai subjek pajak dalam negeri, dinilai pada saat orang pribadi
tersebut dilahirkan, berada, atau berniat, untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. Badan, dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia;
c. Orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melaui bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia, dimulai pada
saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melaui BUT di Indonesia;
d. Orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui BUT di Indonesia. Dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia;
e. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, mengganttikan yang berhak,
dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut.

Sedangkan persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau
memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/ pemungutan pajak sesuai
dengan ketentuani UU PPh.

17
Kewajiban mendaftarkan diri berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah karena
hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan
penghasilan dan harta (PP Nomor 80 Tahun 2007). Warisan yang belum terbagi dalam kedudukannya sebagai
Subjek Pajak menggunakan NPWP dari WP Orang Pribadi yang meninggalkan warisan tersebut.

F. Yang wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP .

a. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha
perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean (Pasal 1 butir 4 UU
KUP).
b. Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Dalam UU PPN 1984 pengusaha yang
melakukan penyerahan BKP dan atau penyeraha JKP yang tergolong pengusaha kecil tidak
diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan
sebagai PKP. sesuai dengan ketentuan batasan pengusaha kecil adalah yang melakukan penyerahan
brutto dan penerimaan brutto tidak boleh lebih dari 4.800.000.000,- ( empat milyar delapan ratus
ribu rupiah).
c. Disamping itu dalam pasal 3A ayat 1 UU PPN 1984 disebutkan bahwa, yang wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP selain pengusaha yang menyerah kan BKP atau JKP, juga
termasuk pengusaha yang melakukan ekspor BKP/

G. Jangka waktu pendaftaran dan/atau melaporkan usaha.


Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan usaha diatur sebagai berikut :
 WP Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dan WP Badan,
wajib mendaftaarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama 1 (satu) bulan setelah saat usaha
mulai dijalankan. Saat usaha mulai dijalankan adalah saat pendirian, atau saat usaha/ pekerjaan
bebas nyata-nyata mulai dilakukan;
 WP orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas,
apabila jumlah penghasilannya sampai dengan suatu bulan yang disetahunkan telah melebihi
PTKP, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama pada akhir bulan
berikutnya;
 WP yang memenuhi ketentuan sebagai PKP, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP sebelum melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP;
 Pengusaha kecil, yang memilih sebagai PKP atau tidak memilih sebagai PKP tetapi sampai
dengan suatu bulan dalam suatu tahun buku jumlah niali peredaran bruto atas penyerahan BKP
melampaui batasan yang ditentukan sebaga Pengusaha Kecil.

H. Tempat pendaftaran dan pelaporan usaha


a. WP mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP ke Kantor Pelayan Pajak (KPP) yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal bagi WP Orang Pribadi dan tempat kedudukan bagi WP Badan
atau ke KPP tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
b. WP Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas di beberapa
tempat atau mempunyai tempat usaha yang berbeda alamat dengan tempat tinggal selain
mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal juga mendaftarkan diri
ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat kegiatanm usaha WP.

1. Tempat Pendaftaran WP Orang Pribadi pengusaha tertentu


Wajib Pajak Orang Pribadi pengusaha tertentu, yaitu WP Orang Pribadi yang
mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik
yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, di samping wajib mendaftarkan

18
diri pada kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal WP, juga diwajibkan
mendaftarkan diri pada kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan
usaha WP dilakukan.
2. Tempat pelaporan usaha
WP sebagai PKP melaporkan usahanya ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat
kegiatan usaha WP atau ke KPP tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan peruindang-
undangan perpajakan.
3. Ketentuan mengenai penerbiatn NPWP secara jabatan dan pengukuhan PKP secara
jabatan diatur dalam pasal 2 ayat (4) UU KUP, yang berbunyi “Dirjen Pajak menerbitkan
NPWP dan/atau mengukuhkan PKP secara jabatan apabila WP atau PKP tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat
(2).Penerbitan NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan dilakukan apabila
berdasarkan data yang diperoleh atau dimilik oleh Dirjen Pajak ternyata Orang Pribadi
atau Badan atau Pengusah tsb. Telah memenuhi syarat untuk memperoleh NPWP dan/atau
dikukuhkan sebagai PKP.“Kewajiban perpajakan bagi WP yang diterbitkan NPWP
dan/atau yang dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan dimulai sejak saat WP memenuhi
persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya NPWP
dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP” (Pasal 2 ayat (4a) UU KUP perpajakannya
dihitung sejak tahun 2003 sepanjang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif
berdasarkan data yang ada. Berdasarkan ketentuan tersebut maka seseorang yang
secara jabatan telah memenuhi persyaran obyektif dan subyektif, dapatdikenakan NPWP
dan PKP secara jabatan. Pengenaan secara jabatan dapat dilakukan berlaku surut secara
lima tahun.

I. Sanksi berkaitan dengan kewajiban mendaftarkan diri dan melaporkan usaha.

1. Sanksi administrasi adalah berupa bunga 2% per bulan paling lama 24 bulan dihitung sejak
saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak
sampai dengan diterbitkannya SKP KB sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat 2 UU KUP
2. Sanksi pidana diatur pada pasal 39 ayat 1 huruf a dan b yang berbunyi: “setiap orang yang
dengan sengaja:
a. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau tidak melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP;
b. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan PKP; sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, di pidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling
banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.”

J. Penerbitan NPWP dan Pengukuhan PKP Secara Jabatan


(UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 2 (4 dan 4a)Direktur Jenderal Pajak menerbitkan NPWP
dan/atau mengukuhkan PKP secara jabatan apabila WajibPajak atau Pengusaha Kena Pajak
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana tersebut di atas.Kewajiban perpajakan bagi
Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai PKPsecara jabatan
dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai

19
denganketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum
diterbitkannyaNPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP.

K. Penghapusan NPWP dan Pencabutan Pengukuhan PKP.


Diajukan permohonan penghapusan NPWP oleh :
1) WP dan/atau ahli warisnya karena WP sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif
dan/ata objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ;
2) WP Badan dalam rangka likuidasi atau pembubaran karena penghentian atau
penggabungan usaha;
3) Wanita yang sebelumnya telah memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan; atau
4) WP BUT menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (7) UU KUP dinyatakan bahwa “Dirjen Pajak setelah melakukan
pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan NPWP dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan untuk WP orang pribadi atau 12 (Dua belas) bulan untuk WP Badan, sejak
tanggal permohonan diterima secara lengkap.”

Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Dirjen pajak tidak member suatau keputusan,
permohonan penghapusan NPWP itu dianggap dikabulkan, dan Dirjen Pajak harus menerbitkan
surat keputusan penghapusan NPWP dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir (Per.Menkeu 20/2008).

Penghapusan NPWP dilakukan apabila utang pajak yelah dilunasi atau hak untuk melakukan
penagihan telah daluwarsa.

Pencabutan Pengukuhan PKP.

Pasal 2 ayat 8 UU KUP). Pencabutan Pengukuhan PKP hanya ditunjukan untuk kepentingan tata
usaha perpajakan, dan tidak menghilangkan kewajiban perpajakan yang harus dilakukan PKP
ybs. Pencabutan pengukuhan PKP dapat dilakukan karena jabatan atau atas permohonan WP.

Selanjutnya pasal 2 ayat (9) UU KUP mengatakan “DIrjen Pajak setelah melakukan pemeriksaan
harus memberikan keputusan atas permohonan diterima secara lengkap”.

Apabila jangka waktu tersebut telah lewat, Dirjen Pajak tidak memberikan suatu keputusan, I(satu)
bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.

Pencabutan Pengukuhan PKP tersebut dapat dilakukan dalam hal :


 PKP pindah alamat ke wilayah kerja KPP lain; atau
 Sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai PKP atau termasuk PKP yang jumlah peredaran
dan/atau penerimaan brutonya untuk tahun buku tidak melebihi batas jumlah peredaran
dan/atau penerimaan bruto untuk Pengusaha Kecil.

20
BAB 3
PEMBAYARAN PAJAK, SURAT PEMBERITAHUAN,
PELAPORAN, DAN KETETAPAN PAJAK

A. PEMBAYARAN PAJAK

Pembayaran pajak terutang adalah kewajiban yang melekat pada diri setiap WP yang bertanggung
jawab terhadap pembayarannya kek Kas Negara , WP yang bertanggung jawab ini disebut dengan
penanggung pajak. Penanggung pajak ini termasuk pemotong atau pemungut pajak.

Kewajiban dan Sarana Pembayaran Pajak.

Setelah diketahui adanya pajak terutang (objek pajak) dan pihak yang bertanggung jawab
terhadap pembayarannya ke Kas Negara (subjek pajak), kewajiban berikutnya adalah pembayaran
dan penyetoran pajak. Kewajiban membayar pajak yang terutang dinyatakan dalam pasal 10 ayat
1 UU KUP yang berbunyi : “ WP wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan
menggunakan SSP ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan
peraturan Menteri Keuangan.”
Sarana yang dipakai untuk pembayaran dan penyetoran pajak adalah SSP,SSP adalah bukti
pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau cara
lain ke kas negara melauli tempat pembayaran yang di tunjuk Menteri Keuangan. SSP berfungsi
sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima
pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi, dengan Nomor Transaksi
Penerimaan Negara (NTPN).
1. Jatuh Tempo Pembayaran Pajak dan Sanksi Administrasi Atas Keterlambatannya
a. Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran /Penyetoran Pajak Suatu Saat/Masa Pajak.
Berdasarkan pasal 9 ayat 1 UU KUP, tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak
yang teruitang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak ditentukan oleh
Menteri keuangan, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak Berdasarkan PMK No.184/PMK.03/2007,Jo.PMK No.
80/PMK.03/2010 ditentukan sebagai berikut :

No. Jenis Pajak Jatuh Tempo

1 PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Paling Lama tanggal 10 bulan berikutnya
Pemotongan Pajak setelah Masa Pajak berakhir.

2 PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya
oleh Wajib pajak setelah Masa Pajak berakhir.

PPh Pasal 4 ayat 2 Pengusaha tertentu sesuai PP Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya
46 Tahun 2013 setelah Masa Pajak berakhir.

3 PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya

21
Pajak setelah Masa Pajak berakhir.

4 PPh pasal 15 yang harus dibayar sendiri Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.

5 PPh pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.

6 PPh Pasal 23 dan PPh pasal 26 yang dipotong Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya
oleh Pemotong PPh setelah Masa Pajak berakhir.

7 PPh Pasal 26 Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya


setelah Masa Pajak berakhir.

8 PPh Pasal 22, PPN dan PPnBM atas impor Dilunasi bersamaan dengan saat
pembayran Bea Masuk dan dalam hal
Bea Masuk dan Dalam hal Bea Masuk
ditunda atrau diberbaskan, harus dilunasi
pada saat penyelesaian dokumen
pemberitahuan pabean impor

9 PPh Pasal 22, PPN dan PPnBM atas impor yang Jangka waktu 1 (satu hari kerja) setelah
dipungut Ditjen Bea dan Cukai dilakukan pemungutan pajak

10 PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara Pada hari yang sama dengan
pelaksanaan pembayran atas
penyerahan barang yang dibiayai dari
belanja Negara atau belanja Daerah,
dengan SSP atas nama rekanan dan
ditanda tangani oleh bendahara

11 PPh Pasal 22 atas penyerahan bahan bakar Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya
minyak, gas, dan pelumas kepada setelah Masa Pajak berakhir.
penyalur/agen atau industry yang dipungut oleh
WP badan yang bergerak dalam bidang
produksi bahan bakar minyak,gas,dan pelumas

12 PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya
oleh WP badan tertentu sebagai Pemungutan setelah Masa Pajak berakhir.
Pajak

13 PPN dan PPnBM yang terutang atas Kegiatan Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya
Membangun Sendiri, penyerahan BKP tidak setelah Masa Pajak berakhir
berwujud dan JKP dari Luar Daerah Pabean
dalam satu Masa Pajak

14 PPN dan PPnBN yang terutang dalam satu Masa Paling lama sebelum SPT masa PPN
Pajak disampaikan,dalam bulan berikutnya.

22
15 PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan Paling lama tanggal 7 bulan berikutnya
olehBendaharaPemerintah atau instansi setelah Masa Pajak berakhir
Pemerintah yang ditunjuk

16 PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya
oleh Pemungutan PPN selain Bendahara setelah Masa Pajak berakhir
Pemerintah atau instansi Pemerintah yang
ditunjuk

17 PPH Pasal 25 bagi WP dengan kriteria tertentu Paling lama pada akhir Masa Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat berakhir
(3b) UU KUP yang melaporkan beberapa Masa
Pajak dalam satu SPT Masa

18 Pembayaran Masa selain PPh Pasal 25 bagi WP Paling lama sesuai dengan batas waktu
dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud untuk masing-masing jenis pajak
dalam Pasal 3 ayat (3b) UU KUP yang
melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu
SPT Masa

Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur
termasuk hari sabtu atau hati libur nasional. Pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada
hari kerja berikutnya. Termasuk hari libur nasional adalah hari yang diliburkan oleh Pemerintah dan cuti
bersama secara nasional yang ditetapkab oleh Pemerintah.

b. Tempat Pembayaran dan Penyetoran (UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 10 jo. 242/PMK.03/2014
Pasal 10)
Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukanke Kas Negara melalui :
a. layanan pada loket/teller (over the counter); dan/atau
b. layanan dengan menggunakan Sistem Elektronik lainnya,pada Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank
Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing.Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau saranaadministrasi lain yang disamakan dengan
Surat Setoran Pajak.
Sarana administrasi lain dapat berupa :
a. BPN atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui sistem pembayaran pajak secara elektronik
ataudengan datang langsung ke Bank Persepsi
b. SSPCP atas pembayaran dan penyetoran PPh Pasal 22 impor, PPN impor, dan PPnBM impor serta
PPN Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri;
c. Bukti Pbk atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui Pemindahbukuan; atau
d. Bukti penerimaan pajak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Surat Setoran Pajak (SSP) dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi
PenerimaanPajak (NTPN). Selain itu, Bukti Pbk dinyatakan sah dalam hal telah ditandatangani oleh
Pejabat yangberwenang untuk menerbitkan Bukti Pbk.Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan
dalam mata uang Rupiah, kecuali bagi Wajib Pajak yang telahmendapatkan izin menyelenggarakan
pembukuan dalam Bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika.
c. Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak Melalui Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik
(PER-26/PJ/2014)
Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran/penyetoran pajak dengan sistem pembayaran
pajaksecara elektronik. Pembayaran/penyetoran pajak secara elektronik meliputi seluruh jenis pajak,

23
kecuali,a). pajak dalam rangka impor yang diadministrasikan pembayarannya oleh BillerDirektorat
JenderalBea dan Cukai; danb) pajak yang tata cara pembayarannya diatur secara khusus.Transaksi
pembayaran/penyetoran pajak secara elektronik dapat dilakukan melalui Teller Bank/PosPersepsi,
Anjungan Tunai Mandiri (ATM), Internet Banking dan EDC dengan menggunakan KodeBilling. Wajib
Pajak yang melakukan pembayaran dan penyetoran pajak melalui sistem pembayaran pajaksecara
elektronik diberikan Bukti Penerimaan Negara (BPN).BPN sekurang-kurangnya mencantumkan :a.
NTPN;b. NTB/NTP;c. Kode Billing;d. NPWP;e. Nama Wajib Pajak;f. Alamat Wajib Pajak, kecuali untuk
BPN yang diterbitkan melalui ATM dan EDC;g. Nomor Objek Pajak (NOP), dalam hal pembayaran
pajak atas transaksi pengalihan hak atastanah dan/atau bangunan, kegiatan membangun sendiri dan
Pajak Bumi dan Bangunan sektorPerkebunan, Perhutanan dan Pertambangan, kecuali untuk BPN yang
diterbitkan melalui ATMdan EDC;h. Kode Akun Pajak;i. Kode Jenis Setoran;j. Masa Pajak;k. Tahun
Pajak;l. Nomor Ketetapan Pajak;m. Tanggal bayar;dann. Jumlah nominal pembayaran

d. Sanksi administrasi atas keterlambatan pembayaran


sanksi administrasi apabila pembayaran atau penyetoran dilakukan setelah tanggal jatuh tempo
sepetri tsb diatas, adalah berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari
tanggal tajuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 bulan. (pasal 9 ayat 2a UU KUP).
Contoh: Angsuran masa PPh Pasal 25 tahun 2014 sejumlah Rp10juta per bulan.
Angsuran Masa Pajak Mei Tahun 2014 dibayar tanggal 18 JUni 2014 dan dilaporkan tanggal 19
juni 2014. Tanggal 15 juli 2014 diterbitkan SPT dengan sanksi bunga 1 bulan (15Juni s/d 18 Juni)
atau sebesar : 1x 2% x Rp.10.000.000,00 = Rp.200.000,00

e. Sanksi Pidana terhadap WP yang tidak memenuhi Kewajiban Penyetoran Pajak.

Yang termasuk dalam tindak pidana di bidang perpajakan berkaitan dengan kewajiban
pembayaran atau penyetoran pajak adalah apabila WP tidak menyetorkan pajak yang telah
dipotong atau dipungut dengan ancaman pidana penjara, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 39
ayat (1) huruf I UU KUP dan hukuman itu dilipat duakan apabila terjadi pengulangan dalam waktu 1
tahun setelah selesai menjalani pidana yang pertama dijatuhkan. (Pasal 39 ayat (2) UU KUP

B. SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)

B.1 Pengertian Surat Pemberitahuan (SPT).

SPT adalah surat yang oleh WP digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau
pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban
sesuai dengan ketentuan per-UU-an Pajak. SPT terdiri dari:
a. SPT Tahunan PPh;
b. SPT Masa yang meliputi : SPT Masa PPh, SPT Masa PPN dan SPT Masa PPN dan SPT
Masa pemungutan PPN

SPT tersebut berbentuk formulir kertas (hardcopy); atau e-SPT.E-SPT adalah data SPT WP dalam
bentuk elektronik yang dibuat oleh WP dengan menggunakan aplikasi e-SPT yang disediakan
oleh DJP. Aplikasi e-SPT adalah aplikasi dari DJP yang dapat digunakan WP untuk membuat e-
SPT.

B.2 Kewajiban menyampaikan SPT.

24
Wajib Pajak wajib mengisi SPT dengan benar,lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indoneiadengan
menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang Rupiah, dan mendatangani serta
menyampaikan ke kantor DJP tempat WP terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang
ditetapkan oleh Dirjen Pajak.”

Yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi SPT adalah :

a. benar adalah benar dalam pehitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan
UU Pajak, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
b. lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur
lain yang harus dilaporkan dalam SPT; dan
c. jelas melaporkan asal-usul / sumber objek pajak dan unsur lain yang harus diisikan dalam SPT.

B.3 Tempat dan cara pengambilan SPT.

 SPT berbentuk formulir kertas (hardcopy) dapat diambil secara langsung ditempat yang
ditetapkan oleh Dirjen Pajak.
 SPT berbentuk e-SPT dapat diambil secara langsung oleh WP dengan cara mengunduh
format SPT atau aplikasi e-SPT dari situs DJP

B.4 Penandatanganan SPT.

Mengenai kewajiban WP menandatanganan SPT, selain diatur dalam Pasal 3 ayat 1 UU KUP,
juga disebut dalam Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi bahwa:”WP wajib mengisi dan menyampaikan
SPT dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya.”Bagi WP Badan yang berhak
menandatangani SPT tersebut adalah pengurus atau direksi (Pasal 4 ayat 2 UU KUP). Meskipun
yang dimaksud dengan pengurus sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 32 ayat 4 UU
KUP adalah termasuk orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan
kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan,
misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek,
dan sebagainya walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan
pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, dan termasuk pula bagi
komisaris dan pemegang saham mayoritas atau pengendali, namun untuk penandatangan
SPT sebaiknya tetap orang yang namanya tercantum dalam susunan pengurus yang tertera
dalam akte pendirian maupun akte perubahan. Ketentuan mengenai orang yang tidak tercantum
namanya dalam akte pendirian beserta perubahannya yang dianggap sebagai pengurus tepat
diberlakukan bagi kewajiban perpajakan lainnya seperti misalnya untuk kepentingan penagihan
pajak.SPT yang disampaikan wajib ditandatangani oleh WP atau kuasa WP. Dalam hal WP
menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani SPT, surat
kuasa khusus tersebut harus dilampirkan pada SPT. (Pasal 4 ayat 3 UU KUP). Penandatanganan
SPT oleh WP / kuasa WP dapat dilakukan secara biasa, tanda tangan stempel, atau tanda
tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
tanda tangan biasa. Tanda tangan elektronik atau tanda tangan digital adalah informasi
elektronikl yang dilekatkan, memiliki hubungan langsung atau terasosiasi pada suatu informasi

25
elektronik lain termasuk sarana administrasi perpajakan yang ditujukan oleh WP atau kuasanya
untuk menunjukkan untuk identitas dan status yang bersangkutan. (PMK No. 181/PMK.03/2007)

B.5 Cara penyampaian SPT.

a. secara langsung dan diberikan tanda penerimaan surat pada KPP ;


b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c. dengan cara lain :
 Melalui perusahaan jasa ekspedisi/kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
 E-filing melalui ASP (Penyedia Jasa Aplikasi) dan diberikan Bukti Penerimaan
Elektronik.

B.6 Batas waktu penyampaian SPT.

a. SPT Masa PPh, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;
b. SPT Masa PPN, paling lama akhir bulan berikutnya setelah akhir Masa Pajak;
c. SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi, paling lama 3 bulan seterlah akhir Tahun Pajak;
d. SPT Tahunan PPh WP Badan, paling lama 4 bulan setelah akhir Tahun Pajak.

B.7 SPT dianggap Tidak Disampaikan.

a. SPT tidak ditandatangani


b. SPT tidak dilampiri keterangan dan/atau dokumen yang disyaratkan peraturan
perpajakan;
c. SPT lebih bayar disampaikan telah lewat 3 tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak,
bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan WP telah ditegur secara tertulis; atau
d. SPT disampaikan setelah Dirjen Pajak melakukan pemeriksaan/menerbitkan SKP.

B.8 Sanksi karena tidak menyampaikan SPT.

a. Sanksi administrasi,
1. Sanksi administrasi dapat berupa denda sebesar.
 Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa PPN
 Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Masa lainnya,
 Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk SPT tahunan PPh WP Badan
 Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan PPh WP orang pribadi.

2. Sanksi administarisi berupa kenaikan .

Sanksi administrasi berupa kenaikan dapat dikenakan melalui penertiban Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Surat Pemberitahuan Tidak tidak disampaikan dalam jangka
waktunya dan setelah ditegur secara tertulis,tetap tidak disampaikan pada waktunya
sebagaimana ditentukan alam surat teguran.

26
Sanksi pidana dapat berupa kurungan atas tindakan pidana kealpaan sebagaimana
diatur dalam pasal 28 UU KUP ataupun penjara atas tindak pidana kesengajaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU KUP.

B.9 Hak Wajib Pajak berkaitan dengan penyampaian SPT.

Berkaitan dengan kewajiban melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak,objek


pajak, dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan melalui SPT, WP mempunyai hak-hak sbb:
a. Memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT tahunan, perpanjangan penyampaian
SPT adalah selama 2 bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis,
akibat dari pembetulan ini akan dikenakan sanksi.
b. membetulkan SPT, dapat dilakukan dengan syarat Direktorat Jenderal Pajak belum
melakukan pemeriksaan. Namun dalam hal Wajib Pajak mengalami rugi atau lebih bayar
maka jangka waktu pemeriksaan adalah 2 tahun sebelum jangka waktu daluwarsa
penetapan atau 3 tahun. Akibat pembetulan SPT tersebut akan dikenakan sanksi.
c. pengungkapkan ketidak benaran pengisian SPT, pengungkapan ketidak beneran
penyampaian SPT dapat karena kealpaan, pembetulan dapat dilakukan walapuan telah
dilakukan pemeriksaan selama belum dilakukan penyidikan, pembetulan karena ketidak
benaran pengisian SPT akan mengakibatkan dikenakan sanksi.
C. SURAT KETETAPAN PAJAK DAN SURAT TAGIHAN PAJAK

C.1 Pengertian Ketetapan


Ketetapan adalah Surat yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk menetapkan
pajak yang terutang. Surat ketetapan tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Tagihan
Pajak. Dalam self assessment system, beban pembuktian untuk menyatakan bahwa pajak yang
terutang dalam SPT adalah tidak benar berada pada pihak fiskus (Dirjen Pajak), dinyatakan
dalam Pasal 12 ayat 3 UU KUP yang bunyinya “Apabila Dirjen Pajak mendapatkan bukti jumlah
pajak yang terutang menurut SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Dirjen
Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.”

C.2Surat Ketetapan Pajak (SKP)

1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKP KB)

SKP KB adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak,
jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
Berikut ini adalah ilustrasi tentang SKPKB

Berdasarkan hasil pemeriksaan Pajak, fiskus menetapkan SKP KB sebagai berikut :


 Jumlah Pokok Pajak Rp. 15.000.000,00
 Jumlah Kredit Pajak Rp. 5.000.000,00
 Jumlah Kekurangan Pembayaran Pokok Pajak Rp. 10.000.000,00
 Besarnya Sanksi Administrasi Rp. 2.000.000,00
 Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar Rp. 12.000.000,00

27
Jumlah pokok pajak adalah merupakan merupakan Pajak hasil perhitungan dari fiskus atas
pemeriksaan yang dilakukan oleh fiskus, kredit pajak adalah kredit pajak hasil dari WP,
dalam hal ini terdapat kekurangan atas pokok pajak sebesar Rp. 10.000.000,. atas
kekurangan tersebut dikenakan sanksi berupa administrasi. Untuk menagih kekurangan pajak
tersebut maka dilakukan fiskus menerbitkan SKPKB.
SKPKB terbit dalam ha-lhal sebagai berikut :

a. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak
atau kurang dibayar;
b. Apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
c. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai PPN dan PPN
BM ternya tidak seharusnya di kompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya
dikenai tariff 0% (nol persen);
d. Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi
sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang: atau
e. Apabila kepada WP diterbitkan NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP secara
jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKP KB tersebut ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan, dihitung sejak saat terhutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian
Tahun Pajak, atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya SKP KB.

Contoh : PT XYZ adalah WP Badan yang melakukan usaha perdagangan barang-barang


elektronik, menyampaikan SPT PPh Badan tahun 2014 (tahun takwim) pada tanggal 30 April
2014, dengan perincian sbb :

Penghasilan Kena Pajak Rp. 1000.000.000,-


PPh terutang Rp 282.500.000,-
Kredit Pajak Rp. 202.500.000,-
Pajak yang kurang dibayar Rp 80.000.000,-
Kekurangan (PPh Pasal 29) tersebut telah dibayar tanggal 29 April 2014.

Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Penghasilan Kena Pajak seharusnya adalah
Rp. 312.500.000,00 dan seandainya SKP KB adalah sbb :

Jumlah Pokok Pajak Rp. 312.500.000,-


Jumlah Kredit Pajak Rp. 282.500.000,-
Jumlah Kekurangan Pokok Pajak Rp 30.000.000,-
Sanksi administrasi berupa bunga selama 10 bulan
(Januari s.d Oktober 2% x 10 bulan x Rp. 30.000.000,-) Rp. 6.000.000,-
Jumlah Pajak yang masih harus Dibayar Rp. 36.000.000,-

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang bayar Tambahan (SKP KBT)


SKP KBT adalah surat Ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang
telah ditetapkan (Pasal 1 angkia 17 UU KUP). Berikut adalah gambaran dari SKPK KBT
Dari definisi tersebut maka SKP KBT terdiri dari:
Jumlah Pajak Sebenarnya Rp.10.000.000,00
Jumlah Pajak Yang Telah Ditetapkan
(SKP KB) Rp. 6.000.000,00
Tambahan Jumlah Pajak Rp. 4.000.000,00
Besarnya Sanksi Administrasi Rp. 4.000.000,00
Tambahan Jumlah Pajak yang masih Harus DibayarRp. 8.000.000,00

28
SKP KBT terbit jika ada data baru atau keterangan mengenai besarnya Pajak yang
terutang , Yang dimaksud data baru adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu
yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak terutang yang oleh WP belum
diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalan SPT dan lampiran –lampirannya
maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu, pemeriksaan. Selain
itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data
yang :
a. Tidak diungkapkan oleh WP dalam SPT beserta lampirannya (termasuk laporan
keuangan); dan/atau
b. Pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula WP tidak mengungkapkan
data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci
sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat mnerapkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak
yang terutang.
c. Walaupun WP telah memberitahukan data dalam SPT atau mengungkapkannya
pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau
mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus
tidak mungkin menghitung besarbta jumlah pajak yang terutang ditetapkan
kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang
semula belum terungkap.

Contoh :

 Dalam SPT dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya Gaji Rp.
10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp.
5.000.000,00 biaya gaji pegawai dan Rp. 5.000.000,00 sisanya adalahg Pph
yang ditanggung perusahaan (natura) yang tidak dibebankan sebagai biaya.
Apabila pada saat penetapan semula WP tidak mengungkapkan perincian
tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa
biaya Pph atau natura sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung
secara benar, data mengenai pengeluaran berupa biaya PPh atau natura
tersebut tergolong data yang semula belum terungkap, sehingga pada saat
pemeriksaa data tersebut merupakan data yang semula belum terungkap.
Contoh pnerbitan SKP KBT :
Terhadap SPT PPh Pasal 21 Masa Desember 2014 a/n PT ELing Waspada telah
dilakukan pemeriksann dan diterbitkan SKP KB tanggal 10 Oktober 2014 dengan
perincian sbb:
Jumlah Pokok Pajak Rp. 100.000.000,00
Jumlah Kredit Pajak Rp. 90.000.000,00

Jumlah Kekurangan Pokok Pajak Rp. 10.000.000,00


Sanksi Adm. Bunga Pasal 13 (2) Rp. 2.000.000,00
Jumlah yang masih harus dibayar Rp. 12.000.000,00
Pada bulan Mei 2015 ditemukan data baru berupa objek PPh Pasal 21 yang belum dipotong oleh
PT.Eling Waspada dan seharusnya dilaporkan dalam SPT Masa Desember 2014 dengan

29
jumlah pokok pajak Rp. 20 Juta. Sehingga seharusnya jumlah pokok Pajak pada Masa
Desember 2014 adalah RP. 120 Juta. Misalkan setelah dilakukan pemeriksaan
diterbitkan SKP KBT tanggal 25 Mei 2015, maka rincian SKP KBT adalah sebagai berikut
:

Jumlah Pajak Rp. 120.000.000,00


Jumlah Pajak yang telah ditetapkan Rp. 100.000.000,00
Tambahan Jumlah Pajak Rp. 20.000.000,00
Besarnya sanksi administrasi Rp. 20.000.000,00
Tambahan jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp. 40.000.000,00

3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKP LB)


SKP LB adalah Surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran
pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau
seharusnya tidak terutang. Kriteria penerbitan SKP LB diatur dalam Pasal 17 UU KUP, dan
dilakukan setelah melaui pemeriksaan atau setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak.
SKP LB masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data
baru ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan
pembayaran pajak yang telah ditetapkan.

1. SKP LB Hasil Pemeriksaan


“Dirjen Pajak setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan SKP LB apabila jumlah
kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari pada jumlah pajak
yang terutang”. (Pasal 17 ayat (1) UU KUP). SKP LB disini adalah akibat
dilakukannya pemeriksaan atas SPT yang disampaika WP yang menyatakan kurang
bayr, nihil, atau lebih bayar dan tidak disertai dengan permohonan pengembalian
kelebihan pembayar an pajak. Apabila WP setelah menerima SKP LB, menghendaki
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, WP wajib mengajukan permohonan
tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2). Hal ini dapat terjadi
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan jumlah kredit pajak lebih besar daripada
jumlah pajak yang terutang (untuk PPh dan PPN) atau jumlah pajak yang terutang
(PPn BM).

Contoh : PT Kana Bae adalah WP Badan yang melakukan usaha perdagangan


barang-barang elektronik, menyampaikan SPT PPh badan Tahun 2015 (tahun
takwim) pada tgl 30 April 2014, dengan perincian sbb :
Penghasilan Kena Pajak Rp. 1.000.000.000,00
PPh terutang Rp. 282.500.000,00
Kredit Pajak (Rp. 202.500.000,00)
Pajak yang kurang dibayar Rp. 80.000.000,00
Kekurangan (PPh Pasal 29) tersebut dibayar tgl 29 April 2015.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Penghasilan Kena Pajak seharusnya
adalah Rp. 900.000.000,00 sehingga PPh terutang seharusnya adalah Rp.
252.500.000,00, maka Dirjen Pajak menerbitkan SKPLB dengan rincian sbb :
Pajak yang Terutang Rp. 252.000.000,00
Jumlah Kredit Pajak (Rp. 282.500.000,00)
Jumlah Kelebihan Pembayaran Pajak (Rp. 30.000.000,00)

1. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKP Nihil).

30
SKP Nihil adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah pokok pajak sama
besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terhutang dan tidak ada
kredit pajak..Ketentuan mengenai penerbitkan SKP Nihil diatur dalam Pasal 17A
yang berbunyi : “Dirjen Pajak setelah melakukan pemeriksaan, penerbitkan SKP Nihil
apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah
pajak yang terhutang, atau pajak tidak terhutang dan tidak ada kredit pajak atau
tidak ada pembayaran pajak.” Hal ini dapat terjadi apabila :
 Untuk PPh, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang atau
pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
 Untuk PPN, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang,atau
pajak yang terutang dan tidak ada kredit pajak;
 Untuk PPn BM, jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang
terutang atau pajak yang terutan dan tidak ada pembayaran pajak.

Contoh : PT Wareg Ayem adalah WP Badan yang melakukan kegiatan usaha


industry garmen menyampaikan SPT PPh badan Tahun 2014 pada tanggal 30 Apriol
2015 yang menyatakan rugi, dengan perincian sbb :
Rugi Neto Rp. 1.000.000.000,00
PPh terutang Rp. -
Kredit Pajak Rp. -
Pajak yang kurang/(lebih) dibayar Rp. Nihil

2. Surat Tagihan Pajak (STP)


STP adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi
berupa bunga dan/atau denda (Pasal 1 angka 20 UU UU KUP). Dengan demikian
fungsi STP adalhah untuk melakukan :
 Tagihan pajak; dan/atau
 Tagihan sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda

STP diterbitkan apabila ::

a. PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;


b. Dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat
salah tulis dan/atau salah hitung;
c. WP dikenai sanksi adminstrasi berupa denda dan/ataubunga;
d. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, tetapi tidak membuat faktur
pajak atau membuat faktur pajak , tetapi tidak tepat waktu;
e. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagia PKP yang tidak mengisi faktur pajak
secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN dan
perubahannya , selain :
f. Identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b UU
PPN 1984 dan perubahannya; atau
g. Identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana diamksud dalam
Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g UU PPN 1984 dan perubahannya, dalam
hal penyerahan dilakukan oleh PKP perdagangan eceran;
h. PKP melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur
pajak; atau
i. PKP yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasl 9 ayat (6a) UU PPN 1984 dan
perubahannya.

Contoh 1 :

31
PPh Pasal 25 tahun 2015 sebesar Rp. 100.000.000,-/bulan Jatuh tempo setiap
tanggal 15 bulan juni 2015, dibayar tepat waktu sebesar Rp. 40.000.000,00
berarti, PPh dalam tahun berjalan kurang dibayar sebesar Rp. 60juta.
Atas kekurangan PPh Pasal 25 tersebut diterbitkab STP pada tanggal 18 september
2015 dengan penghitungan sbb :
Bulan Juni 2015 Rp.60.000.000,00
Bunga = 3 x 2% x Rp. 60.000.000,00 Rp. 3.600.000,00
Jumlah yang harus dibayar Rp.63.600.000,00
Tiga bulan dihitung sejak 1 Juli 2015 sampai dengan 18 September 2015.

Contoh 2 :
SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2014 yang disampaikan pada tanggal 31
Maret 2015 setelah dilakukan penelitian ternyata terdapat salah hitung yang
menyebabkan PPh kurang bayar sebesar Rp.1.000.000,00
Misalkan atas kekurangan PPh tersebut diterbitkan STP pada tanggal 12 Juni 2015
dengan perhitungan sbb:
- Kekurangan bayar PPh Rp. 1.000.000,00
- Bunga = 6 X 2% x Rp1.000.000,00= Rp. 120.000,00
- Jumlah yang harus dibayar Rp. 1.120.000,00
Enam bulan dihitung yaitu sejak tanggal 1 Januari 2015 s/d 12 Juni 2015.
Contoh STP untuk menagih Sanksi Administrasi Bunga.
Contoh : PT. SADAR JUJUR membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh tahun 2013 pada
tanggal 20 Februari 2015, yang semula menyatakan jumlah pajak terutang sebesar
Rp. 100 Juta dan kredit pajak sebesar Rp. 80 Juta, dibetulkan seharusnya jumlah
pajak terutang sebesar Rp. 130 Jutadan kredit pajak tetap. Kekurangan
pembayaran pajak sebesar Rp. 30 Juta dibayar pada tanggal 18 Februari 2015.

Dari kasus diatas maka PT. ABC dikenai sanksi administrasi berupa bunga sesuai
dengan pasal 8 ayat 2 UU KUP sebesar :
2% x 10 x Rp. 30.000.000,00 = Rp. 6.000.000,00
Jumlah bulan dihitung sejak 1 Mei 2014 – 20 Februari 2015 = 10 Bulan.
DJP menerbitkan STP untuk menagih sanksi administrasi berupa bunga tsb.

Batas Waktu Penyetoran & Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT)

No Jenis SPT Masa Batas Waktu Penyetoran/Pembayaran Batas Waktu


Penyampaian SPT
Terakhir
1. PPh Pasal 4 ayat (2) yang
dipotong oleh Pemotong PPh
20 (dua puluh) hari
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
2 PPh Pasal 15 yang dipotong oleh setelah Masa Pajak
Pemotong PPh setelah Masa Pajak berakhir
berakhir
3 PPh Pasal 21 yang dipotong oleh
Pemotong PPh

32
4 PPh Pasal 22 atas penyerahan
bahan bakar minyak, gas, dan
pelumas kepada penyalur/agen
atau industn yang dipungut oleh
Wajib Pajak badan yang
bergerak dalam bidang produksi
bahan bakar minyak,gas, dan
pelumas

5 PPh pasal 22 yang pemungutannya


dilakukan oleh Wajib Pajak badan
tertentu sebagai Pemungut Pajak

6. PPh Pasal 23 yang dipotong oleh


Pemotong PPh
7. PPh Pasal 26 yang dipotong oleh
Pemotong PPh
8 PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus tanggal 15 (lima belas) bulan
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak benkutnya

setelah Masa Pajak berakhir


9 PPh Pasal 15 yang harus dibayar
sendiri
10 PPh Pasal 25
11. PPh Pasal 22,PPN atau PPN dan bersamaan dengan saat pembayaran
PPnBM atas impor Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk
ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal
22. PPN atau PPN dan PPnBM atas
impor harus dilunasi pada saat

penyelesaian dokumen pemberitahuan


pabean impor

12. PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan secara mingguan paling
PPnBM atas impor yang dipungut pemungutan pajak lama pada hari kerja
oleh terakhir
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai minggu berikutnya

33
13. PPh Pasal 22 yang dipungut oleh pada hari yang sama dengan 14 (empat belas) hari
bendahara pelaksanaan pembayaran atas
penyerahan barang yang dibiayai setelah Masa Pajak
dari belanja Negara atau belanja berakhir
Daerah, dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak atas nama rekanan dan
ditandatangani oleh bendahara

14 PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak pada akhir Masa Pajak terakhir
dengan kriteria tertentu
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang
20 (dua puluh) hari
KUP yang melaporkan beberapa
Masa Pajak dalam satu Surat
Pemberitahuan Masa

15. Pembayaran masa selain PPh Pasal sesuai dengan batas waktu untuk
25 bagi Wajib Pajak dengan masing-masing jenis pajak
kriteria tertentu sebagaimana setelah berakhirnya
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Masa Pajak terakhir
Undang-Undang KUP yang
melaporkan beberapa masa pajak
dalam satu Surat Pemberitahuan
Masa

16. PPN atau PPN dan PPnBM yang akhir bulan berikutnya setelah akhir bulan berikutnya
terutang dalam satu Masa Pajak setelah Masa Pajak
Masa Pajak berakhir dan sebelum berakhir
Surat Pemberitahuan Masa PPN
disampaikan
17. PPN yang terutang atas kegiatan tanggal 15 (lima belas) bulan
membangun sendin harus disetor berikutnya setelah Masa Pajak
oleh orang pribadi atau badan berakhir
yang melakukan kegiatan
membangun sendiri

18. PPN atau PPN dan PPnBM yang


pemungutannya dilakukan oleh
Pemungut PPN selain Bendahara
Pemerintah atau instansi
Pemerintah yang ditunjuk

34
19. PPN atau PPN dan PPnBM yang tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya
pemungutannya dilakukan oleh setelah Masa Pajak berakhir
Bendahara Pengeluaran sebagai
Pemungut PPN

20. PPN yang terutang atas tanggal 15 (lima belas) bulan

pemanfaatan Barang Kena Pajak berikutnya setelah saat terutangnya


tidak berwujud dan/atau Jasa pajak
Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean harus disetor oleh orang
pribadi atau badan yang
memanfaatkan Barang Kena Pajak
tidak berwujud dan/atau Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean

21. PPN atau PPN dan PPnBM yang pada hari yang sama dengan
pemungutannya dilakukan oleh pelaksanaan pembayaran kepada
Pejabat Penandatangan Surat Pengusaha Kena Pajak Rekanan
Perintah Membayar sebagai Pemerintah melalui Kantor Pelayanan
Pemungut PPN Perbendaharaan Negara

SPT Tahunan :

No Jenis Pajak Yang Batas Waktu Pembayaran Batas Waktu Penyampaian


Menyampaikan SPT Terakhir
SPT
1. SPT PPh Wajib Pajak sebelum Surat Pemberitahuan 3 (tiga) bulan setelah akhir
Tahunan orang pribadi Pajak Penghasilan Tahun Pajak
Wajib Pajak disampaikan 4 (empat) bulan setelah
badan akhir Tahun Pajak

Keterangan:

 Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan
hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran
pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya
 Dalam hal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hah libur termasuk hari Sabtu
atau hah libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hah kerja berikutnya
 Hari libur nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk hah yang diliburkan untuk
penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara
nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

35
36

Anda mungkin juga menyukai