A. Pendahuluan
a. Dasar Hukum
➢ Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali perubahan, Pertama: Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1991, Kedua: Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994,
Ketiga: Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan diubah terakhir dengan
Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008
➢ Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU No 9 Tahun 1994,
dan UU No 16 Tahun 2000. Diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2007, Undang-Undang No 5 Tahun 2008 dan Undang-Undang No
16 Tahun 2009.
➢ Undang-Undang No 18 Tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
➢ Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (PDRD).
➢ Undang-Undang No 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan UU
No 11 Tahun 1994, diubah lagi dengan UU No 18 Tahun 2000, dan terakhir
UU No 42 Tahun 2009.
➢ Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No 46 Tentang Akuntansi
Pajak Tangguhan
b. Pengertian Akuntansi Perpajakan Akuntansi Perpajakan berasal dari dua kata yaitu
akuntansi dan pajak. Akuntansi adalah suatu proses pencatatan, penggolongan,
pengikhtisaran suatu transaksi keuangan dan diakhiri dengan suatu pembuatan
laporan keuangan. Sedangkan Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi
Akuntansi Pajak adalah suatu proses pencatatan, penggolongan dan pengikhtisaran
suatu transaksi keuangan kaitannya dengan kewajiban perpajakan dan diakhiri
dengan pembuatan laporan keuangan fiskal sesuai dengan ketentuan dan peraturan
perpajakan yang terkait sebagai dasar pembuatan Surat Pemberitahuan Tahunan.
B. Pendahuluan
Proses akuntansi perpajakan tidak jauh beda dengan proses akuntansi seperti
biasanya. Akuntansi selalu dimulai dengan transaksi yang akan dicatat. Transaksi
ini kaitannya dengan informasi keuangan yang dapat dinilai dengan uang, bukan
informasi nonkeuangan. Lalu transaksi ini akan dicatat pada suatu Jurnal, kemudian
di posting, lalu dimasukan ke dalam neraca lajur dan diakhiri dengan pembuatan
laporan keuangan. Laporan keuagan ini dapat dibuat secara bulanan atau tahunan.
Proses akuntansi secara detail dan juga ilustrasinya dapat dilihat pada gambar 1
mengenai siklus akuntansi dibawah ini.
A. Pengertian Pajak
Pajak menurut Undang Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang perubahan keempat
atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan pada Pasal 1 Ayat 1 berbunyi, Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
UndangUndang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, dan
pemungutan pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
a. Asas Equality, pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai
dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak
diskriminatif terhadap wajib pajak.
b. Asas Certainty, semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang
melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
c. Asas Convinience of Payment, pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi
wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima
penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
d. Asas Efficiency, biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan
sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
C. Fungsi Pajak
Berikut adalah fungsi-fungsi pajak:
a. Fungsi Finansial (budgeter), yaitu pajak merupakan salah satu sumber penerimaan
pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah, baik rutin maupun
pembangunan.
b. Fungsi Mengatur (regularend), yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi serta
mencapai tujuan-tujuan tertentu diluar bidang keuangan.
c. Fungsi Stabilitas, yaitu pajak sebagai penerimaan negara dapat digunakan untuk
menjalankan kebijakan pemerintah. Contoh: kebijakan stabilitas harga dengan
tujuan untuk menekan inflasi dengan cara mengatur peredaran uang di masyarakat
lewat pemungutan dan penggunaan pajak yang lebih efisien dan efektif.
d. Fungsi Retribusi atau Redistribusi Pendapatan, yaitu pajak sebagai penerimaan
negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan pembangunan
nasional sehingga dapat membuka kesempatan kerja dengan tujuan untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat.
E. Tarif Pajak
Tata cara pemungutan pajak terdiri atas stesel pajak, asas pemungutan pajak dan sistem
pemungutan pajak.
a. Stelsel Pajak
1) Nyata (riel stelsel), stesel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan
pada objek yang sesunguhnya terjadi. Oleh karena itu, pemungutan pajaknya
baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak. Kelebihan stelsel ini adalah pajak
yang dikenakan lebih realistis, sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat
dikenakan pada akhir periode.
2) Stelsel Anggapan (fictive stelsel), stesel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak
didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Kelebihan
stelsel ini adalah pajak dapat dibayarkan selama tahun berjalan tanpa menunggu
akhir tahun, sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak
berdasarkan keadean sesunggguhnya.
3) Stelsel Campuran, stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan
pada kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun pajak
perhitungan meggunakan stesel anggapan dan pada akhir tahun pajak
perhitungan menggunakan stelsel nyata. Kelebihan stelsel ini adalah pemungutan
pajak dapat dilakukan awal tahun pajak dan besarnya yang dipungut sesuai
dengan besarnya pajak yang dipungut sesuai dengan besarnya pajak yang
sesungguhnya terutang karena dilakukan perhitungan kembali pada akhir tahun
pajak setelah penghasilan sesungguhnya diketahui. Kekurangan stesel ini adalah
adanya tambahan pekerjaan administrasi dalam perhitungan pajak karena
perhitungan dilakukan dua kali.
b. Asas Pemungutan Pajak
1) Asas Domisili (Asas Tempat Tinggal), asas ini menyatakan bahwa negara berhak
mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal
di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
2) Asas Sumber, asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas
penghasilan yang bersumber diwilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal
wajib pajak.
3) Asas Kebangsaan, asas ini menyatakan bahwa pengenaan pajak dihubungkan
dengan kebangsaan suatu negara.
c. Sistem Pungutan Pajak
1) Official Assessment System, merupakan sistem pungutan pajak yang memberi
kewenangan kepada aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah
pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.
2) Self Assessment System, merupakan sistem pungutan pajak yang memberi
wewenang Wajib Pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang
terutang setiap jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
3) With Holding System, merupakan sistem pungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku
a. Hukum Perdata Mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya.
b. Hukum Publik Mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya hukum ini
dapat dirinci lagi sebagai berikut :
➢ Hukum Tata Negara.
➢ Hukum Tata Usaha (Administratif).
➢ Hukum Pajak.
➢ Hukum Pidana.
Dengan demikian kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik.
Dalam mempelajari bidang hukum, berlaku apa yang disebut Lex Specialis Derogat Lex
Generalis yang artinya peraturan khusus lebih diutamakan dari pada peraturan umum
atau jika sesuatu ketentuan belum atau tidak diatur dalam peraturan khusus maka akan
berlaku ketentuan yang diatur dalam peraturan umum. Dalam hal ini peraturan khusus
adalah hukum pajak, sedangkan peraturan umum adalah hukum publik atau hukum lain
yang sudah ada sebelumnya.
Hukum pajak menganut paham imperatif, yaitu pelaksanaanya tidak dapat ditunda
misalnya dalam hal pengajuan keberatan, sebelum ada keputusan dari direktur jendral
pajak bahwa keberatan tersebut diterima, maka wajib pajak yang mengajukan keberatan
terlebih dulu membayar pajak, sesuai dengan yang telah ditetapkan. Berbeda dengan
hukum pidana yang menganut paham oportunitas, yakni pelaksanaannya dapat ditunda
setelah ada keputusan lain.
Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak
dengan rakyat sebagai wajib pajak ada 2 macam hukum pajak yaitu:
➢ Penghindaran Pajak
Penghindaran pajak adalah perencanaan pajak yang dilakukan secara legal
dengan cara mengecilkan objek pajak yang menjadi dasar pengenaan pajak yang
masih sesuai dengan ketentuan perundang undangan perpajakan yang berlaku.
➢ Pengelakan Pajak
Pengelakan pajak adalah manipulasi illegal terhadap sistem perpajakan untuk
mengelak dari penyebaran pajak. Tax evasion juga dapat diartikan sebagai
pengabaian terhadap peraturan perundang-undagan perpajakan yang disengaja
untuk menghindari pembayaran pajak, misalnya pemalsuan pengembalian pajak.
BAB 3
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA
PERPAJAKAN
A. Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 28 TAHUN 2007 Tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib
Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban Wajib
Pajak. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) terdiri dari 15 Digit, misalnya ;
01.123.456.7.890.000
a. Fungsi NPWP
1) Sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas Wajib Pajak.
2) Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi
perpajakan.
b. Jangka Waktu Pendaftaran
Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dibatasi jangka
waktunya, karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban
mengenakan pajak terutang. Jangka waktu pendaftaran adalah:
1) Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan
Wajib Pajak badan, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling
lama 1 (satu) bulan setelah saat usaha mulai dijalankan.
2) Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaaan bebas,
apabila sampai dengan suatu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah
melebihi PTKP setahun, maka wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP
paling lambat akhir bulan berikutnya.
c. Tempat Pendaftaran NPWP
1) Di Kantor Direktorat Jenderal Pajak ( Kantor Pelayanan Pajak) yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal (orang pribadi), tempat kedudukan (badan), atau
tempat kegiatan usaha Wajib Pajak yang bersangkutan.
2) Tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak berada pada 2 atau lebih
Wilayah kerja Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pajak
menetapkan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.
d. Penghapusan NPWP Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh
Direktur Jenderal Pajak apabila:
1) Diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak
dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan
subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan;
2) Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
3) Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia;
atau
Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok
Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif
dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telaah
dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas
Negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
SSP berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat
kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah melakukan validasi.
Peruntukan SSP
Sanksi
Jika pembayaran pajak dilakukan setelah melampaui jatuh temponya, maka wajib pajak
akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan maksimum 24
bulan.
D. Surat Pemberitahuan
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek
pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak adalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya
terutang dan untuk melaporkan tentang :
a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri san/atau melalui
pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak.
b. Mempertanggung jawabkan perhitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya
terutang.
c. Penghasilan yang merupakan pajak dan/atau bukan objek pajak.
d. Harta dan kewajiban.
e. Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan
pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud SPT Masa adalah SPT yang digunakan untuk melakukan pelaporan atas
pembayaran pajak pada masa tertentu (bulanan). Ada 9 (Sembilan) jenis SPT Masa,
meliputi SPT Masa untuk melaporkan pembayaran bulanan:
1) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21,
2) PPh Pasal 22,
3) PPh Pasal 23,
4) PPh Pasal 25,
5) PPh Pasal 26,
6) PPh Pasal 4(2),
7) PPh Pasal 15,
8) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM)
9) Pemungut PPN
Sedangkan apa yang dimaksud dengan SPT Tahunan adalah SPT yang digunakan untuk
pelaporan Tahunan. Ada dua jenis SPT Tahunan, yaitu :
1) SPT Tahunan PPh WP Badan
2) SPT Tahunan Pajak Penghasilan WP Badan yang diizinkan menyelenggarakan
pembukuan dalam bahasa inggris dan mata uang dolar Amerika Serikat
3) SPT Tahunan Pajak Penghasilan WP OP
Jenis SPT
Secara garis besar SPT dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Surat Pemberitahuan Masa, adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu masa pajak.
b. Surat Pemberitahuan Tahunan, adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun
Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
• SPT meliputi :
a. SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
b. SPT Masa yang terdiri dari:
1) SPT Masa Pajak Penghasilan
2) SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai; dan
3) SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi pemungutan Pajak Pertambahan
Nilai
• SPT dapat berbentuk :
1) Formulir kertas (hardcopy), atau
2) E-SPT
F. Ketetapan Pajak
Pengerian SKP dengan UU KUP adalah surat ketetapan yang meliputi surat ketetapan
pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, surat ketetapan pajak
nihil, atau surat ketetapan pajak lebih bayar.
• Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah
pajak yang masih harus dibayar.
• Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan Adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. Direktorat
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dalam jangka waktu 5 Tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak apabila ditemukan
data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah
dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penertiban SKP kurang bayar
tambahan.
• Surat Ketetapan Pajak Nihil Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak.
• Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih
besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
BAB 4
PAJAK PENGHASILAN (UMUM)
A. Subjek Pajak
a. Orang Pribadi
Orang Pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di
Indonesia ataupun di luar Indonesia.
b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Warisan yang belum terabagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak
pengganti, menggantikan mereka yang berhak, yaitu ahli waris. Penunjukan
warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak penggantian dimasukkan agar
pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat
dilaksanakan.
c. Badan
Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, BUMN maupun
BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, Firma, kongsi, Koperasi, Dana
Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi Massa, Organisasi
Sosial Politik, atau Organisasi Lainnya, Lembaga & bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan Bentuk Usaha Tetap.
C. Objek Pajak
Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Penghasilan berdasarkan sumber perolehannya dapat digolongkan menjadi 4 golongan
kelompok besar, yaitu :
a. Penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan, berupa gaji, honor,
upah, dan lain sebagainya.
b. Penghasilan yang diperoleh dari usaha, merupakan laba bersih sebelum pajak
yang dihasilkan oleh satu usaha tertentu.
c. Penghasilan yang diperoleh dari investasi dan barang modal, merupakan
penghasilan dari barang modal yang kita miliki ataupun dari investasi yang kita
lakukan. Contoh : Bunga, Dividen, Pedapatan Sewa, Royalti.
d. Penghasilan dari sumber lainnya, merupakan penghasilan yang berasal dari
sumber lainnya selain ketiga sumber diatas. Contoh : Hadiah, Pembebasan hutang,
keuntungan akibat selisih penjualan asset tetap
D. Pemungutan/Pemotongan Pajak
Adalah pihak-pihakatau badan usaha yang ditunjuk oleh pemerintah (Kantor Pajak)
untuk melakukan pemotongan dan pemungutan pajak sesuai ketentuan yang berlaku.
Badan usaha yang ditunjuk untuk melakukan pemotongan dan pemungutan pajak
penghasilan mempunyai dua kewajiban, yaitu :
a. Kewajiban Formal
- Mendaftakan diri sebagai Wajib Pajak dan memperoleh NPWP
- Melakukan pembukuan bukan pencatatan
- Melakukan pemotongan dan pemungutan pajak penghasilan
- Melakukan setoran ke kas negara atas pajak yang dipotong atau dipungut
- Melaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak atas pajak-pajak yang telah disetor
b. Kewajiban Materiil
- Melakukan perhitungan atas pajak yang harus dipotong/dipungut antara lain:
PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4(2)
A. Pengertian
Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Ps.21) adalah pemotongan pajak atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri wajib
dilakukan oleh:
a. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai
atau bukan pegawai;
b. Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain
dengan nama apapun dalam rangka pensiun;
d. Badan yang membayar honorarium atau pemabayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;
e. Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan
pelaksanaan suatu kegiatan.
a. Atas penghasilan yang diterima oleh Pegawai Negeri sipil, Pejabat Negara, anggota
ABRI dan POLRI yang dananya berasal dari APBD/APBN.
- gaji dan tunjangan yang terikat dengan gaji tidak akan dipotong PPh 21, tetapi
PPh 21 tetap dihitung sesuai tariff pasal 17 dan akan ditanggung oleh pemberi
kerja, dimana dalam hal ini adalah pemerintah.
- Honorarium atau penghasilan lain diluar gaji akan dipotong PPh 21 dengan tarif
15% bersifat final.
b. Atas penghasilan yang diterima oleh selain disebutkan pada nomor 1 diatas berupa
upah harian/mingguan/borongan, imbalan kepada tenaga ahli, imbalan jasa yang
dihitung tidak berdasarkan banyaknya hari. Akan dipotong PPh 21 sesuai tariff pasal
17 bersifat tidak final (bisa dikreditkan di akhir tahun)
Penghasilan Bruto
- Gaji Pokok XXX
- Tunjangan-Tunjangan XXX
- Premi Asuransi yang ditanggung Pemberi Kerja XXX
- Penghasilan Tidak Teratur (bonus/THR/Gratifikasi) XXX
Total Penghasilan Bruto XXX
Pengurang Penghasilan Bruto
- Biaya Jabatan XXX
- Iuran pensiun yang Dibayar oleh Wajib Pajak XXX
- Iuran JHT/THT yang Dibayar oleh Wajib Pajak XXX
Total Pengurang Penghasilan Bruto (XXX)
Penghasilan Neto 1 Bulan XXX
Penghasilan Neto Setahun/Disetahunkan XXX
Penghasilan Tidak Kena Pajak (Ps. 7 UU PPh) (XXX)
Penghasilan Kena Pajak (PhKP) XXX
PPh Terutang (Pasal 17 UU PPh) XXX
a. Biaya Jabatan
Adalah fasilitas yang diberikan Negara sebagai biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan
setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai
jabatan ataupun tidak. Besarnya adalah 5% dari penghasilan Bruto dengan nilai
maksimalnya adalah sebesar Rp 500.000,- perbulan atau Rp 6.000.000,- pertahun.
b. Iuran Pensiun
Adalah iuran yang dibayr oleh Wajib Pajak kepada dana pensiun yang telah
disahkan oleh Menteri Keuangan. Tidak ada batasan berapa besarnya iuran yang
boleh diperhitungkan sebagai pengurang.
c. Premi JHT/THT
Adalah premi JHT/THT yang dibayar oleh Wajib Pajak kepada Badan yang
menyelenggarakan program tersebut. Besarnya iuran sesuai dengan ketetapan dari
pihak penyelenggara.
Tanpa
Tanggungan 1 Tanggungan 2 Tanggungan 3
tanggungan
Tidak Kawin Rp 54.000.000,- Rp 58.500.000,- Rp 63.000.000,- Rp 67.500.000,-
Tanggungan adalah anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan
lurus keatas maupun kebawah yang tidak mempunyai penghasilan sendiri dan anak
angkat yang telah secara resmi diadopsi.
Sementara itu, untuk:
1. WP dengan status kawin, penghasilan istri digabung tanpa tanggungan/anak
(K/I/0) PTKP-nya menjadi Rp 108 juta per tahun.
2. Untuk WP dengan status kawin, penghasilan istri digabung dengan satu
tanggungan/anak (K/I/1) menjadi Rp 112,5 juta per tahun.
3. WP dengan status kawin , penghasilan istri digabung dengan dua tanggungan/anak
(K/I/2) menjadi Rp 117 juta per tahun.
4. WP dengan status kawin, penghasilan istri digabung dengan tiga tanggungan/anak
(K/I/3) menjadi Rp 121,5 juta per tahun.
Penghasilan 0 - Rp 50.000.000,- 5%
Tarif tertinggi bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri dapat diturunkan
paling rendah 25% yang diatur dengan peraturan pemerintah.
2. Wajib Pajak badan dalam negeri dalam bentuk usaha tetap.
Sedangkan tariff pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%.
Tarif pajak bagi Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap, mulai berlaku sejak
tahun 2010 diturunkan menjadi 25%.
Contoh Soal
Bambang (K/0) bekerja pada PT ABC pada tahun 2015 dengan gaji pokok Rp
4.500.000,- mengikuti program JAMSOSTEK dengan ketentuan premi perbulannya
sebagai berikut: JKK 0.24%, JK 0.30%, dan JHT 3,7% ditanggung perusahaan,
sedangkan JHT 2% ditanggung karyawan. Bambang juga harus membayar iuran
pensiun kepada dana pensiun yang telah disahkan oleh Mentri keuangan sebesar Rp
100.000/bulan.
Berapa PPh 21 yang harus dipotong oleh PT ABC dan berapa gaji yang dibawa pulang
oleh Bambang (THP)?
• Perhitungan PPh 21 :
- Gaji 1 bulan 4.000.000
- Premi JKK 9.600
- Premi JK 12.000
Penghasilan Bruto 4.021.600
- Pengurang :
- Biaya Jabatan (201.080)
- Iuran Pensiun (100.000)
- JHT 2% (80.000)
(381.080)
- Penghasilan Neto 1 Bulan 3.640.520
- Penghasilan Neto Setahun 43.686.240
- PTKP (K/0) (39.000.000)
- Penghasilan Kena Pajak 4.686.240
- PhKP dibulatkan 4.686.000
- PPh 21 setahun (5%) 234.300
- PPh 21 sebulan 19.525
Contoh Soal
Kosultan Pajak A menerima fee pembayaran dari PT. Bersama Kamu sebesar Rp
5.000.000 Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar :
5% X 50% X Rp 5.000.000 = Rp 125.000
Contoh Soal
Si Eta adalah seorang agen iklan memperoleh komis dari jasa iklannya pada bulan Juni
sebesar Rp 1.500.000.
Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar : 5% x 50% x Rp 1.500.000 = Rp
37.500
a. Disetor paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya atau 10 hari setelah masa pajak
berakhir dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
b. Dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya atau 20 hari setelah masa
pajak berakhir dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT).
Catatan : - Telat pelaporan SPT masa PPh denda Rp 100.000,-
- Telat setor denda 2%/bulan x PPh terutang (maks 24 bulan)
Insentif Pajak
a. Pengertian Insentif
Insentif pajak merupakan kompensasi khusus yang diberikan pemerintah
terkait sistem pembayaran pajak yang harus disetor oleh para wajib pajak.
Kompensasi ini diberikan pemerintah kepada wajib pajak yang terdampak wabah
virus Covid-19.
b. Kriteria Perusahaan Bisa Ajukan Insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah
Perusahaan yang bisa mengajukan insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21
Ditanggung Pemerintah untuk karyawan atau pegawainya sesuai Pasal 2 ayat (3)
PMK No. 86/2020 adalah:
• Perusahaan memiliki kode atau termasuk dalam KLU penerima insentif PPh 21
DTP.
• Perusahaan telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE (Kemudahaan Impor
Tujuan Ekspor).
• Perusahaan telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin
Pengusaha Kawasan Berikat (PKB), atau izin Pengusaha Dalam Kawasan
Berikat (PDKB).
Artinya, jika selama ini perusahaan memotong PPh 21 dari gaji karyawan setiap
bulannya dan dibayarkan ke kas negara, dengan adanya insentif Pajak Penghasilan Pasal
21 Ditanggung Pemerintah ini maka perusahaan membayarkan kewajiban PPh 21
tersebut ke karyawan.
BAB 6
PAJAK PENGHASILAN 22
A. Pengertian
Merupakan pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik pusat maupun
daerah sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan badan badan
tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan di bidang
impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
b. Bendaharawan
- Bendaharawan pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai
pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau
lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang.
- Bendaharawan pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan
mekanisme uang persediaan (UP).
- Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah
Membayar yang diberi delegasi oleh KPA, untuk pembayaran kepada pihak
ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS).
d. Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri semen, kertas, baja, farmasi, dan
otomotif, yang ditunjuk oleh kepala Kantor Pelayanan Pajak , atas penjualan hasil
produksinya di dalam negeri.
e. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam
negeri.
f. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan
bakar minyak, gas, dan pelumas.
g. Industry dan eksportir yang bergerak dalam sector kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas
pembelian bahan-bahan untuk keperluan industry atau ekspor mereka dari pedagang
pengumpul.
h. Industry atau badan usaha yang melakukan pebelian komoditas tambang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang
izin perusahaan.
i. Badan busaha yang memproduksi emas batangan, atas penjualan emas batangan di
dalam negeri.
j. Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas
Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah.
a. Atas pengadaan barang yang dilakukan oleh bendaharawan dan Badan Usaha tertentu
(pemungut 2 & 3)
- Tariff : 1,5% x Nilai Pembelian Sebelum PPN (DPP PPN)
- PPh 22 terutang pada saat terjadi transaksi kas
- Batas waktu penyetoran : paling lambat pada 7 hari setelah masa pajak berakhir
- Batas waktu pelaporan : paling lambat 14 hari setelah masa pajak berakhir
b. Atas impor barang (pemungut 1)
- Tarif PPh 22 :
• Bagi importir yang ber-API : 2,5% x NI
• Bagi importir yang tidak punya API: 7,5% x NI
• Impor kedelai, gandum, dan tepung terigu : 0,5% x NI
• Barang yang tidak dikuasai : 7,5% x Nilai Lelang
- Nilai Impor : CIF + Bea Masuk + Bea Masuk Tambahan
- PPh 22 dilunasi/terutang pada saat pembayaran Bea Masuk, jika Bea Masuk
dibebaskan maka dibayar pada saat pengurusan PIB.
- Batas waktu penyetoran : Bea dan Cukai => paling lambat pada hari kerja
berikutnya
- Batas waktu pelaporan : Bea dan Cukai => paling lambat 7 hari setelah masa
pajak berakhir
c. Ekspor Komoditas (Pemungut 1)
- Tariff : 1,5% x NI
- Sebagaimana tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang dan bersifat tidak
final
d. Atas penjualan produksi tertentu di dalam negeri (Pemungut 4)
- Semen, kertas, baja, obat dan otomotif Semen : 0,25% x DPP PPN
• Kertas : 0,1% x DPP PPN Baja : 0,3% x DPP PPN Obat : 0,3% x DPP PPN
• Otomotif : 0,45% x DPP PPN
• Terutang/dipungut saat terjadi penjualan hasil produksi industry tersebut
diatas Batas waktu penyetoran : paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
• Batas waktu pelaporan : paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya
- BBM dan Gas (Pemungut 4)
• Tarif PPh 22 :
SPBU
Jenis Produk SPBU Pertamina Swastanisasi
Premium, Premix, Solar 0,25% x Harga Jual 0,3% x Harga Jual
f. Pembelian kepada pedagang pengumpul oleh industry yang dipakai sebagai bahan
baku atau untuk di ekspor. (Pemungut 6)
- Tarif : 0,25% x Harga pembelian tidak termasuk PPN
- Terutang atau dipungut saat terjadinya pembayaran pembelian
- Batas waktu penyetoran : paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
- Batas waktu pelaporan : paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya
g. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industry atau ekspor oleh badan usaha
industry atau eksportir yang bergerak dalam sector kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan (Pemungut 7)
- Tarif : 0,25% x harga pembelian tidak termasuk PPN
b. PT Si Eta menjual semen kepada PT Griya Indah secara tunai 1000 sak semen
@Rp 100.000. PT Si Eta merupakan PKP.
- Perhitungan PPh 22
• PPh 22 : 0,25% x 100.000.000
• PPh 22 : 250.000
- Jurnal pada PT Si Eta
Kas 110.250.000
Penjualan 100.000.000
PPN Keluar 10.000.000
Hutang PPh 22 250.000
- Jurnal pada PT Griya Indah
Pembelian 100.000.000
PPN Masukan 10.000.000
UM PPh 22 250.000
Kas 110.250.000
Insentif Pajak
Sama seperti insentif lainnya, dalam PMK 86/202, insentif pembebasan PPh Pasal 22
impor juga ditambah durasinya, yang berlaku hingga masa pajak Desember 2020.
Jika sebelumnya wajib pajak menyampaikan laporan realisasi pembebasan PPh Pasal
22 impor setiap tiga bulan, dalam PMK 86/2020, aturan tersebut berubah. Wajib pajak
menyampaikan laporan realisasi pembebasan PPh Pasal 22 impor setiap satu bulan
sekali, paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
BAB 7
PAJAK PENGHASILAN 23
A. Pengertian
Merupakan pajak yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak dalam negeri (orang pribadi dan badan) dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal
dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong
PPh Pasal 21.
Pemotong PPh Pasal 23 :
a. Badan Pemerintahan
b. Subjek Pajak Badan dalam Negeri
c. Penyelenggaraan Kegiatan
d. Bentuk Usaha Tetap, atau
e. Perwakilan Perusahaaan Luar Negeri Lainnya,
f. Wajib Pajak Orang Pribadi yang ditunjuk kepala KPP sebagai Pemotong PPh. Ps. 23
- Akuntan, arsitek, dokter, notaries, PPAT (kecuali PPAT Camat), pengacara, dan
konsultan yang melakukan pekerjaan bebas.
- Orang Pribadi yang menjalankan usaha dengan menyelenggarakan pembukuan
atas pembayaran berupa sewa.
1. PT.Sarangiran menyewa KAP HIJ dan Rekan untuk melakukan audit atas Laporan
Keuangan tahun 2019. Atas jasa audit tersebut KAP HIJ dan Rekan mendapat fee
jasa audit sebesar Rp. 100.000.000,-
- Perhitungan PPh 23 :
• PPh Pasal 23 : 2% x Rp 100.000.000
• PPh Pasal 23 : Rp 1.000.000
Jurnal pada PT.Sarangiran
Beban audit 100.000.000
Kas 98.000.000
Hutang PPh 23 2.000.000
Jurnal pada KAP HIJ dan rekan
Kas 98.000.000
Uang Muka PPh 23 2.000.000
Pendapatan Jasa 100.000.000
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 4 ayat (2)
1. Pemotongan : Dilakukan pada saat mana yang lebih dulu diantara pengakuan atau
pembayaran
2. Penyetoran : Paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
3. Pelaporan : Paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya
PT Pomratama menyewa ruko di Pertokoan Sentra Eropa kepada PT. Acadte Prop , nilai
sewa adalah Rp. 50.000.000,- per tahun
- Perhitungan PPh Pasal 4(2)
• PPh 4(2) = 10% x 50.000.000
• PPh 4(2) = 5.000.000
Jurnal pada PT.Pomratama
Beban sewa tanah dan bangunan 50.000.000
Kas 45.000.000
Hutang PPh 4(2) 5.000.000
A. Pengertian
Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan baik
penghasilan yang diterima atau diperoleh di dalam negeri maupun penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda yang
dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
luar negeri, besarnya pajak atas penghasilan Wajib Pajak dalam negeri yang terutang
atau dibayar di luar negeri dapat dikreditkan terhadap total pajak terutang atas seluruh
penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.
Jumlah pajak atas penghasilan wajib pajak dalam negeri yang dibayar atau terutang
di luar negeri tersebut dihitung berdasarkan tarif pajak yang berlaku di negara yang
bersangkutan dikalikan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh di negara yang
bersangkutan. Jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri tersebut mungkin
tidak semuanya dapat dikreditkan dari total pajak terutang di Indonesia. Pasal 24 UU
PPh juga mengatur ketentuan mengenai besarnya pajak penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan dari total pajak penghasilan terutang di
Indonesia.
Dalam menentukan batas jumlah pajak atas penghasilan yang dibayarkan atau
terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan, berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2008
Ayat (3) sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut.
1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan
saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan
saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan;
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan
harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga,
royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah
negara tempat harta tersebut terletak;
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut
bertempat kedudukan atau berada;
5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda
turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan
adalah negara tempat lokasi penambangan berada;
7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap
berada; dan
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk
usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.
Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang
terutang atas PT A adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh tersebut, yaitu sebesar US$39.520.
Pajak Penghasilan ( corporate income tax ) atas Z Inc. sebesar US$96.000 tidak dapat
dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas PT A karena pajak sebesar
US$96.000 tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh PT A dari luar negeri, tetapi pajak yang dikenakan atas keuntungan Z Inc. di
Negara X
BAB 10
PAJAK PENGHASILAN 25
A. Pengertian
Merupakan angsurah PPh yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap
bulan dalam tahun pajak berjalan. Angsuran PPh 25 dapat dijadikan kredit pajak
terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak pada akhir tahun
pajak yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.
Cara Perhitungan PPh Pasal 25
Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak untuk setiap bulan (PPh Pasal 25) adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang
lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal
23; serta
b. Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
c. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24,
Kemudian dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Penghitungan tersebut dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu bagi Wajib Pajak orang
pribadi dan Wajib Pajak Badan.
Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
Contoh:
Pajak Penghasilan yang terutang untuk PT Utama berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2018 sebesar Rp125.000.000. Pajak yang telah
dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga serta yang terutang atau dibayar di luar negeri
dalam tahun 2018 sebagai berikut.
• Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (PPh Pasal 22) sebesar
Rp35.000.000
• Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (PPh Pasal 23) sebesar
Rp10.000.000
• Pajak Penghasilan yang dibayar di luar negeri sebesar Rp41.500.000, tetapi
berdasarkan ketentuan yang dapat dikreditkan (PPh Pasal 24) sebesar
Rp40.000.000
Pajak penghasilan yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain dan yang dibayarkan
atau terutang di luar negeri tersebut untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 8
(delapan) bulan dalam tahun 2018.
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulan (PPh
Pasal 25) dalam tahun 2019 adalah:
Rp40.000.000 ÷ 8 = Rp5.000.000
Angsuran pajak bulanan (PPh Pasal 25) tersebut dibayar/disetor sendiri oleh
Wajib Pajak paling lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnya. Angsuran pajak
bulan Maret 2019 disetor paling lambat tanggal 15 April 2019. Pelaporan
(penyampaian SPT) masa atas angsuran pajak tersebut dilakukan paling lambat 20
hari setelah masa pajak berakhir. Angsuran pajak bulan Maret 2019 dilaporkan
paling lambat tanggal 20 April 2019. Sarana untuk melaporkan angsuran tersebut
adalah SSP lembar ketiga.
BAB 11
REKONSILIASI (KOREKSI) FISKAL
A. Pengertian
Rekonsiliasi (koreksi) fiskal adalah proses penyesuaian atas laba akuntansi yang
berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan penghasilan neto atau laba yang
sesuai dengan ketentuan perpajakan. Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh wajib pajak
karena terdapat perbedaan penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi (komersial)
dengan laba menurut perpajakan (fiskal). Laporan keuangan komersial atau bisnis
ditujukkan untuk menilai kinerja ekonomi dan keadaan finansial dari sektor swasta,
sedangkan laporan keuangan fiskal lebih ditujukan untuk menghitung pajak. Untuk
kepentingan komersial atau bisnis, laporan keuangan disusun berdasarkan prinsip yang
berlaku umum, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK); sedangkan untuk
kepentingan fiskal, laporan keuangan disusun berdasarkan peraturan perpajakan
(Undang-Undang Pajak Penghasilan).
1. Perbedaan Prinsip Akuntansi Beberapa prinsip SAK yang telah diakui secara umum
tetapi tidak diakui dalam fiskal, diantaranya adalah :
a. Prinsip konversatisme. Penilaian persediaan akhir berdasarkan metode
“terendah antara harga pokok dan nilai realisasi bersih” dan penilaian piutang
dengan nilai taksiran realisasi bersih, diakui dalam akuntansi komersial, tetapi
tidak diakui dalam fiskal.
b. Prinsip harga perolehan (cost). Dalam akuntansi komersial, penentuan harga
perolehan untuk barang yang diproduksi sendiri boleh memasukkan unsur biaya
tenaga kerja yang berupa natura. Dalam fiskal, pengeluaran dalam bentuk natura
tidak diakui sebagai pengurangan/biaya.
c. Prinsip pemadanan (matching) biaya-manfaat. Akuntansi komersial mengakui
biaya penyusutan pada saat aset tersebut menghasilkan. Dalam fiskal, penyusutan
dapat dimulai sebelum menghasilkan seperti alat-alat pertanian.
2. Perbedaan metode dan prosedur akuntansi
a. Metode penilaian persediaan. Akuntansi komersial membolehkan untuk
memilih beberapa metode pernghitungan/pentuan harga perolehan persediaan,
seperti rata-rata (average), FIFO, LIFO, pendekatan laba bruto, pendekatan harga
jual eceran, dan lain-lain. Dalam fiskal, hanya membolehkan memilih dua metode,
yaitu rata-rata (average) dan FIFO.
b. Metode penyusutan dan amortisasi. Akuntansi komersial membolehkan metode
penyusutan berbagai jenis, apabila dalam akuntansi fiskal hanya diperbolehkan
garis lurus dan saldo menurun untuk kelompok harta berwujud jenis
nonbangunan, sedangkan untuk harga berwujud bangunan dibatasi pada metode
garis lurus saja. Disamping metodenya, akuntansi komersial kita dapat
memperkirakan umur ekonomis aktiva tetap, namun pada fiskal umur ekonomis
diatur atau ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Demikian pula
dengan nilai residu, akuntansi komersial memperbolehkan menggunakan nilai
residu, sedangkan fiskal tidak membolehkan menggunakan nilai residu.
c. Metode penghapusan piutang. Dalam akuntansi komersial penghapusan piutang
ditentukan berdasarkan metode cadangan. Sedangkan dalam fiskal, penghapusan
piutang dilakukan pada saat piutang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan
syarat-syarat tertentu yang diiatur dalam peraturan perpajakan. Pembentukan
cadangan dalam fiskal hanya diperbolehkan untuk industri tertentu, seperti usaha
bank, sewa guna usaha dengan hak opsi, usaha asuransi, dan usaha pertambangan
dengan jumlah yang dibatasi dengan peraturan perpajakan.
Koreksi fiskal dapat berupa koreksi positif dan negatif. Koreksi positif terjadi apabila
laba menurut fiskal bertambah. koreksi positif biasanya dilakukan akibat adanya sebagai
berikut :
1. Beban yang tidak diakui oleh pajak/non-deductible expense-Pasal 9 ayat (1) UU
PPh.
2. Penyusutan komersial lebih besar dari penyusutan fiskal.
3. Amortisasi komersial lebih besar dari amortisasi fiskal.
4. Penyesuaian fiskal positif lainnya. Koreksi negatif terjadi apa bila laba menurut
fiskal berkurang.
Contoh Kasus :
1) PT. Velvet meminta bantuan untuk menyusun rekonsiliasi fiskal berdasarkan data
laporan keuangan tahun 2019 di bawah ini: (dalam rupiah)
Penjualan 1.500.000.000
Harga Pokok Penjualan 500.000.000
Beban Operasional:
1. Gaji (termasuk pemberian sembako kepada 50.000.000
karyawan senilai Rp5.000.000)
2. PPh 21 ditanggung perusahaan 8.500.000
3. Beban perjalanan dinas 25.000.000
4. Beban pemasaran 12.000.000
5. Sewa gedung kantor 15.000.000
6. Beban reparasi dan pemeliharaan 5.500.000
7. Kerugian cabang Bali 8.000.000
8. Beban jamuan tamu dengan daftar nominatif 13.000.000
9. Beban listrik dan telpon kantor 26.000.000
(termasuk didalamnya beban listrik dan telepon
direksi sebesar Rp5.000.000)
10.Beban jasa teknik 8.000.000
11.Bantuan GNOTA 5.000.000
12.Penyusutan aset tetap 33.125.000
13.Sumbangan untuk karyawati menikah 2.000.000
14.Pajak kendaraan bermotor 1.500.000
Pendapatan Lain-Lain:
1. Dividen dari PT Terang (% kepemilikan 20%) 45.000.000
2. Dividen dari PT Sinar (% kepemilikan 25%) 18.000.000
3. Sewa gedung kepada PT Berlian (setelah PPh) 27.000.000
4. Penghasilan dari penjualan tanah 15.000.000
5. Bunga deposito (sebelum dipotong PPh) 10.000.000
6. Bunga pinjaman dari PT Segar (sebelum dipotong PPh) 7.000.000
Beban lain-lain:
Rugi usaha di Malaysia 14.000.000
Keterangan Tambahan:
Penjualan 865.300.000
Harga Pokok Penjualan (650.000.000)
Laba Kotor 215.300.000
Total Biaya Usaha (112.200.000)
Laba Sebelum Pajak 103.100.000
Pajak Penghasilan (4.320.000)
Laba Setelah Pajak 88.680.000
Informasi Tambahan:
1. Dalam jumlah gaji karyawan sebesar Rp 80.000.000,- termasuk juga pengeluaran
pribadi direktuir utama sebesar Rp 250.000,- sebulan untuk biaya sopir dan iuran
asuransi kecelakaan dan kematian karyawan Rp 20.000.000,- dan beras yang
dibagikan kepada karyawan Rp 4.000.000.-
2. Hasil stock opname ditemukan nilai persediaan akhir lebih tinggi Rp 60.000.000,-
dari nilai yang dilaporkan dalam laporan laba rugi.
3. Harga perolehan mesin adalah Rp 60.000.000,- dan disusutkan setahun 30% (metode
saldo menurun), mesin tersebut memiliki masa manfaat 4 tahun.
4. Gedung dengan harga perolehan Rp 160.000.000,- disusutkan sebesar 60% setahun
(metode garis lurus).
5. Tanah disusutkan 4% setahun (metode garis lurus)
6. Piutang ragu-ragu dihapuskan karena yang bersangkutan ternyata telah
meninggalkan Indonesia untuk selamanya tanpa diketahui alamatnya.
7. Cadangan umum adalah penyisihan laba untuk tujuan umum (merupakan
pembentukan cadangan).
Diminta : Buatlah laporan rekonsiliasi fiskal, dan hitunglah PPh yang masih harus
dibayar.
a. Buatlah kertas kerja koreksi untuk menghitung laba-rugi fiskal PT. Queen Tbk
per 31 Desember 2018!
b. Tentukan besarnya PPh yang terutang dan PPh yang masih harus dibayar oleh PT.
Queen Tbk per 31 Desember 40.000 !!
Penyelesaian :
Penjelasan :
1. Analisis :
Karena Rp Rp 250.000,- merupakan pengeluaran pribadi , maka tidak boleh
dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan, sehingga dalam satu tahun (Rp
Rp 250.000,- × 12 bln) jumlahnya Rp 3.000.000,-. Demikian pula untuk iuran
asuransi kecelakaan dan kematian karyawan yang dibayar oleh karyawan Rp
20.000.000,- juga tidak boleh dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan.
Adapun beras yang dibagikan kepada karyawan termasuk natura sehingga tidak
boleh dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan. Total koreksi ini
sejumlah Rp 27.000.000,- harus dikoreksi fiskal positif karena koreksi ini
mengakibatkan laba kena pajaknya meningkat.
2. Analisis :
Stock opname merupakan cara penghitungan persediaan akhir secara fisik atau
secara langsung. Nilai persediaan akhir ini berpengaruh pada nilai harga pokok
penjualan. Jika hasil stock opname ditemukan nilai persediaan akhir lebih tinggi Rp
60.000.000dari nilai yang dilaporkan dalam laporan rugi-laba, maka nilai persediaan
akhir tersebut perlu dikoreksi agar sesuai dengan nilai persediaan akhir
sesungguhnya. Akibatnya harga pokok penjualan juga perlu dikoreksi, jika nilai
persediaan akhir naik sebesar Rp 60.000.000,- maka harga pokok penjualannya akan
turun Rp 60.000.000,-. Turunnya harga pokok penjualan ini berakibat naiknya laba
kotor atau laba kena pajak, maka koreksi sebesar Rp 60.000.000,- ini disebut koreksi
fiskal positif.
3. Analisis :
Penyusutan merupakan cara penghitungan manfaat ekonomis dinikmati atau terpakai
selama satu tahun. Nilai penyusutan ini akan mempengaruhi nilai ekonomis dari
mesin tersebut. Peraturan Perpajakan menetapkan bahwa tarif penyusutan untuk
harta tetap yang disusutkan dengan metode saldo menurun sebesar 50% dari harga
perolehannnya. Dengan demikian, wajib pajak dalam melakukan penyusutan harta
tetapnya ini kurang 30%, sehingga besarnya penyusutan mesin ini perlu ditambah
atau dikoreksi sebesar 30% dari harga perolehannya yaitu 30% × Rp 60.000.000,-
atau Rp 18.000.000,- Karena adanya penambahan biaya penyusutan ini, biaya
penyusutannya menjadi lebih besar atau naik sebesar Rp 18.000.000,- . Hal ini
menjadikan turunnya laba kena pajak sebesar Rp 18.000.000,- juga maka koreksi
fiskalnya disebut koreksi fiskal negatif.
4. Analisis :
Peraturan Perpajakan mengklasifikasikan bangunan menjadi bangunan permanen
dan bangunan tidak permanen. Besarnya tarif penyusutan untuk bangunan permanen
sebesar 5% dan bangunan tidak permanen sebesar 20% dari harga perolehannya.
Karena gedung merupakan bangunan permanen, maka tarifnya 5% × Rp
160.000.000,- sehingga besarnya penyusutan bukan Rp 32.000.000,- tetapi Rp
8.000.000,- . Oleh karena itu biaya penyusutan gedung perlu dikoreksi menjadi Rp
8.000.000,- atau biayanya turun Rp 24.000.000,- . Turunnya biaya penyusutan ini
berakibat naiknya laba kołor atau laba kena pajak, maka koreksi sebesar Rp
24.000.000,- ini disebut koreksi fiskal positif.
5. Analisis :
Tanah, dalam UU Perpajakan tidak boleh disusutkan, kecuali tanah yang digunakan
produksi, misal untuk pembuatan batu bata, genting, gerabah dan sejenisnya. Tidak
berlaku jika tanah yang digunakan untuk memproduksi batu-bata, genting dan
sejenisnya tersebut dari hasil membeli. Dengan demikian, penyusutan atas tanah ini
harus dikoreksi atau harus dikeluarkan dari cara penghitungan laba kena pajak.
Akibat koreksi terhadap biaya penyusutan tanah ini, maka laba kena pajaknya akan
naik sebesar penghapusan biaya penyusutan tanah tersebut, maka koreksi fiskal atas
biaya penyusutan tanah sebesar Rp 5.000.000,- ini disebut koreksi fiskal positif.
6. Analisis :
Metode penghapusan piutang, dalam akuntansi ada 2 (dua) yaitu metode indirect
(tidak langsung) dan metode direct (langsung). Metode Indirect, penghapusan
piutang menggunakan cara taksiran terhadap piutang yang telah melebihi waktu
tagihannya. Semakin lama umur tagihan piutang maka dimungkinkan semakin kecil
tingkat tertagihnya. Piutang yang tidak dimungkinkan ditagih dianggap sebagai
Kerugian Piutang, sehingga cara ini dikenal sebagai metode Cadangan Kerugian
Piutang. Adapun metode direct, penghapusan piutang jika benar-benar telah tidak
dapat ditagih secara rill, tidak berdasar taksiran. UU Perpajakan menggunakan
metode langsung ini, untuk menghapuskan piutang yang tidak tertagih. Pada kasus
ini, maka piutang ragu-ragu ini dapat diklasifikasikan sebagai piutang yang tidak
dapat ditagih secara rill, sehingga telah sesuai dengan aturan perpajakan dan dapat
diperlakukan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung laba kena pajak.
Dengan demikian dalam hal ini tidak terjadi koreksi fiskal.
7. Analisis :
Segala macam dan jenis pembentukan cadangan tidak diperkenankan dalam
perpajakan maka cadangan umum ini harus dikoreksi atau dikeluarkan dari unsur
pengurang penghasilan. Karena cadangan sifatnya mengurangi laba kena pajak maka
adanya koreksi terhadap cadangan umum ini maka laba kena pajak menjadi
bertambah maka koreksinya disebut koreksi fiskal positif.
8. Analisis :
Segala macam dan jenis sumbangan tidak diperkenankan dalam perpajakan kecuali
sumbangan yang diatur secara resmi oleh Pemerintah melalui peraturan pemerintah
misal sumbangan GNOT, PMI dan sejenisnya. Sumbangan korban merapi ini tidak
dapat dikategorikan dalam jenis ini, maka harus dikoreksi atau dikeluarkan dari unsur
pengurang penghasilan (mengurangi laba kena pajak), sehingga adanya koreksi
terhadap sumbangan korban merapi ini, laba kena pajak menjadi bertambah maka
koreksinya disebut koreksi fiskal positif.
9. Analisis :
Segala macam pembayaran dividen dalam perpajakan tidak diperkenakan mengurangi
penghasilan bruto dalam menghitung laba kena pajak, sehingga perlu dilakukan koreksi.
Akibatnya laba kena pajak akan bertambah, maka koreksinya disebut koreksi fiskal
positif.
10.Analisis :
Segala macam dan jenis pajak penghasilan serta sanksi perpajakannya tidak
diperkenankan mengurangi penghasilan bruto dalam menghitung laba kena pajak maka
adanya koreksi terhadap pajak penghasilan pasal 25 (PPh Pasal 25) ini laba kena pajak
menjadi bertambah sehingga koreksinya disebut koreksi fiskal positif.
Penghasilan Usaha :
Penjualan 865.300.000 865.300.000
Harga Pokok Penjualan (650.000.000) 60.000.000 (-) (590.000.000)
Laba Kotor 215.300.000 60.000.000 275.300.000
Beban Usaha :
- Gaji Karyawan 80.000.000 27.000.000(-) 53.000.000
- B. Penyusutan Mesin 20.000.000 18.000.000(+) 38.000.000
- B. Penyusutan Gedung 35.000.000 24.000.000(-) 11.000.000
- B. Penyusutan Tanah 5.000.000 5.000.000 (-) 0
- B. Penerbitan Saham 600.000 600.000
- Premi Asuransi 400.000 400.000
Kebakaran 200.000 200.000(-) 0
- Sumbangan 700.000 700.000
- Piutang Ragu – ragu 10.000.000 10.000.000 0
- Cadangan Umum 20.000.000 20.000.000(-) 0
- Dividen yang dibayar 6.200.000 6.200.000(-) 0
- PPh yang dibayar
(187.100.000) 92.400.000 103.700.000
Total Beban Usaha
A. Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1993 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
B. Pengertian PPN
Pengertian Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan pada jalur produksi
dan distribusi Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak. Ruang lingkup pemungutan PPN
sesuai UU No. 18 Tahun 2000 adalah sektor industri, perdagangan pada tingkat
distributor utama, pedagang besar, pedagang secara eceran, kegiatan membangun
sendiri oleh orang pribadi atau badan hukum dan penyerahan pemborong bangunan.
C. Objek PPN
D. Tarif PPN
a. Tarif PPN adalah 10% diterapkan atas: 1) Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam
Daerah Pabean; 2) Impor Barang Kena Pajak; 3) Penyerahan Jasa Kena Pajak di
dalam Daerah Pabean; 4) Pemanfaatan Barang Kena pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 5) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
daerah pabean.
b. Tarif PPN adalah 0% diterapkan atas:
1. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
2. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
3. Ekspor Jasa Kena Pajak.
Pengenaan tarif 0% tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk
perolehan yang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan
kegiatan tersebut dapat dikreditkan
Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5%
dan paling tinggi 15% dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal, berdasarkan
perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dan untuk
pembangunan.
c. Tarif pajak PPN 10% dapat dirubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi
15% yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
a. Harga Jual, adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
b. Penggantian, adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa
Kena Pajak atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktu Pajak atau berupa uang yang dibayar
atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean.
c. Nilai Impor, adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk
ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak,
tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Bewah
yang dipungut menurut Undang-Undang PPN.
d. Nilai Ekspor, adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
e. Nilai Lain, adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
1. Perhitungan PPN
Contoh Soal:
Dari transaksi-transaksi yang terjadi di atas, maka hitunglah PPN dari transaksi
tersebut? Dan berapa total PPN yang disetorkan?
Jawab:
Transaksi pertama:
PPN = 10% x Rp1.600.000.000 = Rp160.000.000 (pajak keluaran/penjualan)
Transaksi kedua:
DPP = 100/110 x Rp660.000.000 = Rp600.000.000
PPN = 10% x Rp600.000.000 = Rp60.000.000 (pajak keluaran/penjualan)
Transaksi ketiga:
DPP = Rp2.000.000 – Rp200.000 = Rp1.800.000 (pajak keluaran)
Transaksi keempat:
DPP = 100/110 x Rp550.000.000 = Rp500.000.000
PPN = 10% x Rp500.000.000 = Rp50.000.000 (pajak masukan)
Total PPN yang harus disetorkan:
Jadi, total PPn yang perlu PT. Cemerlang setorkan atas transaksi yang dilakukan selama
Agustus 2016 tersebut adalah sebesar Rp270.000.000
F. Pengertian PPnBM
Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean. Impor Barang
Kena Pajak yang tergolong Barang Mewah dikenakan hanya satu kali pada waktu
penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong Barang Mewah oleh Pengusaha yang
mneghasilkan atau pada waktu impor. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah adalah:
a. Barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
b. Barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
c. Barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi;
dan/atau
d. Barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.
G. Tarif PPnBM
Tarif PPnBM dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu tarif paling
rendah 10% dan paling tinggi 200%. Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada
pengelompokkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.
Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0%.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu,
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar
Daerah Pabean dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 0%. Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak
yang tergolong mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.
Perhitungan PPnBM
Perhitungan PPnBM dalam hal harga termasuk PPN dan PPnBM dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
100
PPnBMterutang = x Harga Jual (nilai penggantian)
(110 + tarif PPnBM)
Contoh Soal:
Produsen PKP Perdana melakukan penyerahan barang tergolong mewah (tarif 30%)
dengan harga Rp140.000.000 (harga termasuk PPN dan PPnBM)
30
PPnBMterutang = x Rp. 140.000.000
(110 + 30)
= Rp. 30.000.000
PPnBM hanya dipungut pada tingkat penyerahan oleh PKP yang menghasilkan BKP
yang tergolong mewah atau atas impor BKP yang tergolong mewah. Dengan demikian,
PPnBM bukan merupakan Pajak Masukan sehingga tidak dapat dikreditkan. Oleh
karena itu, PPnBM dapat ditambahkan ke dalam harga jual BKP yang tergolong mewah
yang bersangkutan atau dibebankan sebagai biaya sesuai ketentuan perundangundangan
Pajak Penghasilan (PPh).
Contoh :
Produsen PKP Ananda melakukan impor BKP yang Tergolong Mewah (tarif 20%)
dengan nilai impor Rp500.000.000. Atas impor BKP tersebut, PKP Ananda membayar
PPN dan PPnBM sebagai berikut:
DPP Rp500.000.000
PPN : 10% x RP500.000.000 Rp 50.000.000
PPnBM: 20% x Rp500.000.000 Rp100.000.000
BKP yang diimpor tersebut merupakan salah satu komponen bahan baku produk yang
dihasilkan oleh PKP Ananda. Hasil produksi PKP Ananda merupakan BKP yang
Tergolong mewah dengan tarif 30%. Pada bulan yang sama, PKP Ananda melakukan
penyerahan BKP hasil produksinya senilai Rp700.000.000. Atas penyerahan BKP
tersebut, PKP Ananda memungut PPN dan PPnBM sebagai berikut:
DPP Rp700.000.000
PPN : 10% x RP700.000.000 Rp 70.000.000
PPnBM: 30% x Rp700.000.000 Rp210.000.000
*) PPN yang telah dibayar pada saat perolehan BKP dapat dikreditkan dari PPN yang
dipungut pada saat penyerahan BKP. Hal ini idak berlaku untuk PPnBM. PPnBM
bukan pajak masukan sehingga tidak dapat dikreditkan dari PPnBM pada saat
penyerahan BKP. PPnBM hanya bisa ditambahkan ke dalam harga jual BKP yang
tergolong mewah yang bersangkutan atau dibebankan sebagai biaya sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
PPnBM atas penyerahan BKP yang Tergolong Mewah yang dikembalikan, dapat
dikurangkan dari PPnBM yang terutang pada masa pajak terjadinya pengembalian BKP
tersebut.
Contoh :
Pada januari 2015, PKP Ananda melakukan penyerahan BKP yang tergolong mewah
senilai Rp200.000.000 atas penyerahan tersebut terutang PPnBM Rp40.000.000. pada
bulan yang sama terdapat pengembalian BKP senilai Rp10.000.000, dengan PPnBM
sebesar Rp2.000.000. PPnBM yang terutang pada Masa Pajak Januari 2015 adalah :
1) Pengertian Pajak bumi dan bangunan sektor perkebunan adalah pajak bumi dan
bangunan yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan.
2) Subjek PBB Perkebunan Orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak
dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan atas objek pajak PBB Perkebunan. Subjek Pajak
yang dikenakan kewajiban membayar PBB Perkebunan menjadi Wajib Pajak PBB
Perkebunan
Wilayah yang sedang dalam proses mendapatkan hak guna usaha, meliputi :
a. Areal Produktif
b. Areal Belum Produktif, meliputi areal :
1) Yang belum diolah
2) Yang sudah diolah tapi belum ditanami
3) Pembibitan
c. Areal Tidak Produktif
d. Areal Pengaman
e. Areal Emplasemen
Sementara itu, bangunan merupakan konstruksi teknik yang ditanam atau
dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan
1) Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan adalah pajak bumi dan
bangunan yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan.
2) Subjek PBB Perhutanan Orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak
dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan atas objek PBB Perhutanan. Subjek Pajak yang
dikenakan kewajiban membayar PBB Perhutanan menjadi Wajib Pajak PBB
Perhutanan
1) Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan adalah pajak bumi dan
bangunan yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan.
2) Subjek PBB Pertambangan Orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu
hak dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai,
dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan atas objek PBB Pertambangan. Subjek
Pajak yang dikenakan kewajiban membayar PBB Pertambangan menjadi Wajib
Pajak PBB Pertambangan
4) Dasar Pengenaan PBB Migas dan Panas Bumi Dasar Pengenaan PBB Migas dan
PBB Panas Bumi adalah NJOP. NJOP merupakan hasil penjumlaha antara NJOP
bumi dan NJOP Bangunan.
5) Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) Nilai Jual Kena Pajak (assessment value) adalah nilai
jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase
tertentu dari nilai jual sebenarnya. Besarnya persentase pajak ditetapkan
menggunakan Peraturan Pemerintah dengan memerintahkan kondisi ekonomi
nasional. Penetapan besarnya NJKP untuk penghitungan PBB mengacu pada
Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2002 sebagai berikut.
a. Objek pajak perkebunan, kehutanan, dan pertambangan sebesar 40 persen dari
NJOP
b. Objek pajak lainnya :
• Sebesar 40 persen dari NJOP apabila NJOP nya Rp 1.000.000.000 atau
lebih
• Sebesar 20 persen dari NJOP apabila NJOP nya kurang dari Rp
1.000.000.000 Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
ditetapkan paling tinggi sebesar Rp 12.000.000
6) Tarif Pajak Berdasarkan peraturan dari Direktorat Jenderal Pajak, tarif pajak yang
dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 persen
BAB 14
PAJAK DAERAH & RETRIBUSI DAERAH
A. Pengertian
Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
A. Pajak Provinsi
1. Pajak Kendaraan Bermotor
Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil perkalian dari 2 (dua)
unsur pokok:
a. Nilai Jual Kendaraan Bermotor; dan
b. Bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau
pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi masing-
masing sebagai berikut:
• Penyerahan pertama sebesar 20% (dua puluh persen); dan
• Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu persen).
Khusus untuk Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang tidak
menggunakan jalan umum tarif pajak ditetapkan paling tinggi masing-masing
sebagai berikut:
• Penyerahan pertama sebesar 0,7% (n0l koma tujuh persen); dan
• Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 0,075% (nol koma tujuh puluh
lima persen).
5. Pajak Rokok
Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah
terhadap rokok. Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari
cukai rokok.
B. Pajak Kabupaten/Kota
1. Pajak Hotel
Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya
dibayarkan kepada Hotel. Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen).
2. Pajak Restoran
Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima
atau yang harusnya diterima Restoran. Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling
tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
3. Pajak Hiburan
Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang
seharusnya diterima oleh penyelenggara Hiburan. Tarif Pajak Hiburan ditetapkan
paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen). Khusus untuk Hiburan berupa
pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan
ketangkasan, pamti pijit, dan mandi uap/spa, tariff Pajak Hiburan dapat ditetapjan
paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen). Khusus Hiburan
rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar
10% (sepuluh persen).
4. Pajak Reklame
Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame. Tarif Pajak
Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen).
7. Pajak Parkir
Dasar pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang
seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat parker. Tarif Pajak Parkir
ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen).
Sistem pemungutan pajak daerah dapat dibagi menjadi dua, yaitu sistem official
assessment (official assessment system) dan sistem self assessment (self assessment
system).
Kepala Daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak
yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak dan
paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
Kepala Daerah atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang
ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak
atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu
5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
Kedaluwarsa penagihan Pajak tertangguh apabila:
a. Diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b. Ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak
langsung.
E. Retribusi Daerah
Beberapa pengertian istilah yang terkait dengan retribusi daerah antara lain:
1. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
Badan.
2. Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang
menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati
oleh orang pribadi atau Badan.
3. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah
untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh
orang pribadi atau Badan.
4. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan
menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan
oleh sektor swasta.
5. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka
pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk
pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan
ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau
fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian
lingkungan.
1. Retribusi Jasa Umum, ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang
bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian
atas pelayanan tersebut. Yang dimaksud dengan biaya disini meliputi biaya operasi
dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
2. Retribusi Jasa Usaha, didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang
layak, yaitu keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut
dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
3. Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau
seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan yang dengan biaya
penyelenggaraan pemberian izin disini meliputi penerbitan dokumen izin,
pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak
negatif dari pemberian izin tersebut.
I. Pemanfaatan Retribusi
A. Dasar Hukum
B. Pengertian
a. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud
tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak
yang berkepentingan;
b. Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia;
c. Tandatangan adalah tandatangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk
pula paraf, teraan atau cap tandatangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda
lainnya sebagai pengganti tandatangan;
d. Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan
oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterai-nya belum
dilunasi sebagaimana mestinya;
e. Pejabat Pos adalah Pejabat Perusahaan Umum Pos dan Giro yang diserahi tugas
melayani permintaan pemeteraian kemudian.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985, objek yang tidak dikenakan Bea
Materai adalah dokumen yang berbentuk sebagai berikut:
a. Dokumen yang berupa :
1. Surat penyimpanan barang;
2. Konosemen;
3. Surat angkutan penumpang dan barang;
4. Keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana
dimaksud dalam angka 1), angka 2), dan angka 3);
5. Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
6. Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
7. Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan suratsurat sebagaimana
dimaksud dalam angka 1) sampai angka 6).
b. Segala bentuk Ijazah;
c. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya
yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk
mendapatkan pembayaran itu;
d. Tanda bukti penerimaan uang Negara dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan
bank;
e. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat
disamakan dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank;
f. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
g. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada
penabung oleh bank, koperasi, dan badanbadan lainnya yang bergerak di bidang
tersebut;
h. Surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian;
i. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk
apapun.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang perubahan tarif Bea
Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai,
diatur sebagai berikut.
Keterangan Tarif
Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk Rp 6.000
digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau
keadaan yang bersifat perdata.
Akta-akta notaris termasuk salinannya.
Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
termasuk rangkap-rangkapnya.
Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian dimuka
pengadilan, yaitu:
a. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumah tanggaan;
b. Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan
tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang
lain, selain dari maksud semula.
Surat yang memuat jumlah uang nominal lebih dari Rp 1.000.000, yaitu:
a. Yang menyebutkan penerimaan uang;
b. Yang menyatakan pembukuann uang atau penyimpanan uang dalam
rekening dibank;
c. Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
d. Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian
telah dilunasi atau diperhitungkan;
Surat berharga seperti wesel, promes dan aksep yang harga nominalnya
lebih dari Rp 1.000.000
Efek dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang mempunyai harga
nominal lebih dari Rp 1.000.000
Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai harga nominal lebih
dari Rp 1.000.000
Surat yang memuat jumlah uang nominal lebih dari Rp 250.000 sampai Rp 3.000
Rp 1.000.000, yaitu:
a. Yang menyebutkan penerimaan uang;
b. Yang menyatakan pembukuann uang atau penyimpanan uang dalam
rekening di bank;
c. Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
d. Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian
telah dilunasi atau diperhitungkan;
Surat berharga seperti wesel, promes dan aksep yang harga nominalnya
sampai Rp 1.000.000
Efek dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang mempunyai harga
nominal sampai Rp 1.000.000
Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai harga nominal sampai
Rp 1.000.000
Cek dan Bilyet Giro tanpa batas besarnya harga nominal
Surat yang memuat jumlah uang nominal sampai dengan Rp 250.000, Tidak
yaitu: a. Yang menyebutkan penerimaan uang; b. Yang menyatakan dikenakan
pembukuann uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank; c. Bea
Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; d. Yang berisi Meterai
pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi
atau diperhitungkan;
Surat berharga seperti wesel, promes dan aksep yang harga nominalnya
sampai dengan Rp 250.000