Anda di halaman 1dari 79

MODUL

TAX & ACCOUNTING


COMPETITION
BAB 1
AKUNTANSI PERPAJAKAN SECARA UMUM

A. Pendahuluan

a. Dasar Hukum
➢ Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali perubahan, Pertama: Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1991, Kedua: Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994,
Ketiga: Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan diubah terakhir dengan
Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008
➢ Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU No 9 Tahun 1994,
dan UU No 16 Tahun 2000. Diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2007, Undang-Undang No 5 Tahun 2008 dan Undang-Undang No
16 Tahun 2009.
➢ Undang-Undang No 18 Tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
➢ Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (PDRD).
➢ Undang-Undang No 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan UU
No 11 Tahun 1994, diubah lagi dengan UU No 18 Tahun 2000, dan terakhir
UU No 42 Tahun 2009.
➢ Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No 46 Tentang Akuntansi
Pajak Tangguhan

b. Pengertian Akuntansi Perpajakan Akuntansi Perpajakan berasal dari dua kata yaitu
akuntansi dan pajak. Akuntansi adalah suatu proses pencatatan, penggolongan,
pengikhtisaran suatu transaksi keuangan dan diakhiri dengan suatu pembuatan
laporan keuangan. Sedangkan Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi
Akuntansi Pajak adalah suatu proses pencatatan, penggolongan dan pengikhtisaran
suatu transaksi keuangan kaitannya dengan kewajiban perpajakan dan diakhiri
dengan pembuatan laporan keuangan fiskal sesuai dengan ketentuan dan peraturan
perpajakan yang terkait sebagai dasar pembuatan Surat Pemberitahuan Tahunan.

Penyusunan laporan keuangan ini diperlukan untuk mempermudah perusahaan


dalam melaporan harta/kekayaan dan juga penghasilan serta biaya yang diperoleh
perusahaan pada periode tertentu. Perusahaan memerlukan jenis laporan laba/rugi
untuk menghitung besarnya pajak yang terutang pada tahun pajak tertentu.

Pada golongan masyarakat tertentu menganggap bahwa akuntansi merupakan suatu


hal yang sulit, apalagi kalau dihubungkan dengan pajak yang memliki peraturan
yang selalu berubah. Sesungguhnya akuntansi yang berlaku bagi perusahaan tidak
jauh berbeda dengan akuntansi yang berlaku untuk tujuan perpajakan. Yang
membedakan hanya pada sisi peraturan perundang-undangan yang berlaku di
indonesia kaitannya dengan akuntansi. Untuk itu disimpulkan terdapat dua
perbedaan yaitu beda tetap dan beda waktu. Kaitannya dengan hal ini akan dibahas
lebih jelas dan lengkap pada Rekonsiliasi Fiskal.

B. Pendahuluan

Proses akuntansi perpajakan tidak jauh beda dengan proses akuntansi seperti
biasanya. Akuntansi selalu dimulai dengan transaksi yang akan dicatat. Transaksi
ini kaitannya dengan informasi keuangan yang dapat dinilai dengan uang, bukan
informasi nonkeuangan. Lalu transaksi ini akan dicatat pada suatu Jurnal, kemudian
di posting, lalu dimasukan ke dalam neraca lajur dan diakhiri dengan pembuatan
laporan keuangan. Laporan keuagan ini dapat dibuat secara bulanan atau tahunan.
Proses akuntansi secara detail dan juga ilustrasinya dapat dilihat pada gambar 1
mengenai siklus akuntansi dibawah ini.

Prosesnya adalah sebagai berikut:

Gambar: Siklus Akuntansi Perpajakan


BAB 2
PERPAJAKAN SECARA UMUM

A. Pengertian Pajak

Pajak menurut Undang Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang perubahan keempat
atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan pada Pasal 1 Ayat 1 berbunyi, Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
UndangUndang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, dan
pemungutan pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

B. Asas - Asas Perpajakan

a. Asas Equality, pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai
dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak
diskriminatif terhadap wajib pajak.
b. Asas Certainty, semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang
melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
c. Asas Convinience of Payment, pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi
wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima
penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
d. Asas Efficiency, biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan
sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.

C. Fungsi Pajak
Berikut adalah fungsi-fungsi pajak:
a. Fungsi Finansial (budgeter), yaitu pajak merupakan salah satu sumber penerimaan
pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah, baik rutin maupun
pembangunan.
b. Fungsi Mengatur (regularend), yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi serta
mencapai tujuan-tujuan tertentu diluar bidang keuangan.
c. Fungsi Stabilitas, yaitu pajak sebagai penerimaan negara dapat digunakan untuk
menjalankan kebijakan pemerintah. Contoh: kebijakan stabilitas harga dengan
tujuan untuk menekan inflasi dengan cara mengatur peredaran uang di masyarakat
lewat pemungutan dan penggunaan pajak yang lebih efisien dan efektif.
d. Fungsi Retribusi atau Redistribusi Pendapatan, yaitu pajak sebagai penerimaan
negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan pembangunan
nasional sehingga dapat membuka kesempatan kerja dengan tujuan untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat.

D. Jenis - Jenis Pajak

Berikut jenis-jenis Pajak:


a. Menurut Golongan
1) Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus ditanggung oleh Wajib Pajak dan tidak
dapat dilimpahkan kepada orang lain.
2) Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang dapat dibebankan atau dilimpahkan
kepada orang lain atau pihak ketiga.
b. Menurut Sifat
1) Pajak Subjektif, yaitu pajak yang pengenaannya memperhatikan keadaan pribadi
Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan keadaan subjeknya.
2) Pajak Objektif, yaitu pajak yang pengenaannya memperhatikan objeknya, baik
berupa benda, keadaan, perbuatan maupun peristiwa lainnya yang mengakibatkan
timbulnya kewajiban membayar pajak.
c. Menurut Lembaga Pemungut
1) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga negara pada umumnya.
2) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (baik daerah
tingkat I maupun daerah tingkat II) dan digunakan untuk membiayai rumah
tangga daerah masisng-masing.

E. Tarif Pajak

Berikut tarif-tarif pajak :


a. Tarif Tetap, yaitu tarif pajak yang nominalnya tetap walaupun dasar pengenaan
pajaknya berbeda/berubah sehingga jumlah pajak yang terutang selalu tetap. Di
Indonesia, tarif tetap diterapkan pada Bea Meterai.
b. Tarif Proporsional (sebanding), yaitu tarif berupa presentase tertentu yang sifatnya
tetap terhadap berapa pun dasar pengenaan pajaknya. Semakin besar dasar
pengenaan pajak, makin besar pula jumlah pajak yang terutang dengan kenaikan
proporsional (sebanding).
c. Tarif Progresif (meningkat), yaitu tarif berupa presentase tertentu yang semakin
meningkat dengan semakin meningkatnya dasar pengenaan pajak. Tarif progresif
dibagi menjadi 3 yaitu:
1) Tarif Progresif Progresif, yaitu kenaikkan presentase semakin besar.
2) Tarif Progresif Tetap, yaitu kenaikan presentase tetap.
3) Tarif Progresif Degresif, yaitu kenaikkan presentase semakin kecil.
d. Tarif Degresif (menurun), yaitu tarif berupa presentase tertentu yang makin
menurun dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak.

F. Tata Cara Pemungutan Pajak

Tata cara pemungutan pajak terdiri atas stesel pajak, asas pemungutan pajak dan sistem
pemungutan pajak.
a. Stelsel Pajak
1) Nyata (riel stelsel), stesel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan
pada objek yang sesunguhnya terjadi. Oleh karena itu, pemungutan pajaknya
baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak. Kelebihan stelsel ini adalah pajak
yang dikenakan lebih realistis, sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat
dikenakan pada akhir periode.
2) Stelsel Anggapan (fictive stelsel), stesel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak
didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Kelebihan
stelsel ini adalah pajak dapat dibayarkan selama tahun berjalan tanpa menunggu
akhir tahun, sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak
berdasarkan keadean sesunggguhnya.
3) Stelsel Campuran, stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan
pada kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun pajak
perhitungan meggunakan stesel anggapan dan pada akhir tahun pajak
perhitungan menggunakan stelsel nyata. Kelebihan stelsel ini adalah pemungutan
pajak dapat dilakukan awal tahun pajak dan besarnya yang dipungut sesuai
dengan besarnya pajak yang dipungut sesuai dengan besarnya pajak yang
sesungguhnya terutang karena dilakukan perhitungan kembali pada akhir tahun
pajak setelah penghasilan sesungguhnya diketahui. Kekurangan stesel ini adalah
adanya tambahan pekerjaan administrasi dalam perhitungan pajak karena
perhitungan dilakukan dua kali.
b. Asas Pemungutan Pajak
1) Asas Domisili (Asas Tempat Tinggal), asas ini menyatakan bahwa negara berhak
mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal
di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
2) Asas Sumber, asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas
penghasilan yang bersumber diwilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal
wajib pajak.
3) Asas Kebangsaan, asas ini menyatakan bahwa pengenaan pajak dihubungkan
dengan kebangsaan suatu negara.
c. Sistem Pungutan Pajak
1) Official Assessment System, merupakan sistem pungutan pajak yang memberi
kewenangan kepada aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah
pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.
2) Self Assessment System, merupakan sistem pungutan pajak yang memberi
wewenang Wajib Pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang
terutang setiap jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
3) With Holding System, merupakan sistem pungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku

G. Keduukan Hukum Pajak

Menurut prof.Dr.Rochmat soemitro, SH, hukum pajak mempunyai kedudukan antara


hukum-hukum sebagai berikut :

a. Hukum Perdata Mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya.
b. Hukum Publik Mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya hukum ini
dapat dirinci lagi sebagai berikut :
➢ Hukum Tata Negara.
➢ Hukum Tata Usaha (Administratif).
➢ Hukum Pajak.
➢ Hukum Pidana.

Dengan demikian kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik.
Dalam mempelajari bidang hukum, berlaku apa yang disebut Lex Specialis Derogat Lex
Generalis yang artinya peraturan khusus lebih diutamakan dari pada peraturan umum
atau jika sesuatu ketentuan belum atau tidak diatur dalam peraturan khusus maka akan
berlaku ketentuan yang diatur dalam peraturan umum. Dalam hal ini peraturan khusus
adalah hukum pajak, sedangkan peraturan umum adalah hukum publik atau hukum lain
yang sudah ada sebelumnya.

Hukum pajak menganut paham imperatif, yaitu pelaksanaanya tidak dapat ditunda
misalnya dalam hal pengajuan keberatan, sebelum ada keputusan dari direktur jendral
pajak bahwa keberatan tersebut diterima, maka wajib pajak yang mengajukan keberatan
terlebih dulu membayar pajak, sesuai dengan yang telah ditetapkan. Berbeda dengan
hukum pidana yang menganut paham oportunitas, yakni pelaksanaannya dapat ditunda
setelah ada keputusan lain.
Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak
dengan rakyat sebagai wajib pajak ada 2 macam hukum pajak yaitu:

1. Hukum Pajak Materiil


Memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa
hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek pajak),
seberapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya
utang pajak berhubungan antara pemerintah dan wajib pajak.
Contoh : Undang-undang pajak penghasilan.
2. Hukum Pajak Formil
➢ Memuat, membentuk atau tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi
kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak meteriil).hukum ini memuat antara
lain : Tata cara penyelengaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
➢ Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak
mengenai keadaan,perbuatan,dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
➢ Kewajiban wajib pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan,
dan hak-hak wajib pajak misalnya mengajukan keberatan atau banding.
Contoh : Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

H. Teori Yang Menukung Pemungutan Pajak


Berikut teori yang mendukung hak negara untuk memungut pajak dari rakyatnya.
a. Teori Asuransi, negara dalam melaksanakan tugasnya mencakup pula tugas
melindungi jiwa raga dan harta benda perseorangan. Oleh karena itu, negara
disamakan dengan perusahaan asuransi, untuk mendapatkan perlindungan warga
negara membayar pajak sebagai premi.
b. Teori Kepentingan, menurut teori ini, pembayaran pajak mempunyai hubungan
dengan kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaan negara. Semakin
banyak individu menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, semakin besar pula
pajaknya.
c. Teori Daya Pikul, teori ini menyatakan bahwa beban pajak untuk semua orang
sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-
masing orang.
d. Teori Bakti, teori ini didasari paham organisasi negara yang mengajarkan bahwa
negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan
kepentingan umum. Menurut teori ini, dasar hukum pajak terletak pada hubungan
antara rakyat dengan negara, dimana negara berhak memungut pajak dan rakyat
berkewajiban membayar pajak.
e. Teori Daya Beli, teori ini mengajarkan bahwa penyelenggaraaan kepentingan
masyaraktlah yang dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak.
I. Timbulnya Utang Pajak
Terdapat dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak (saat pengakuan adanya
utang pajak), yaitu:
a. Ajaran Materil, ajaran ini menyatakan bahwa utang pajak timbul karena
diberlakukannya undang-undang perpajakan. Ajaran ini konsisten dengan
penerapan self assessment system.
b. Ajaran Formil, ajaran ini menyatakan bahwa utang pajak timbul karena
dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Ajaran ini konsisten dengan
penerapan official assessment system.

J. Berakhirnya Utang Pajak


Utang pajak akan berakhir atau terhapus jika terjadi hal-hal berikut.
a. Pembayaran/Pelunasan, pembayaran pajak dapat dilakukan dengan
pemotongan/pemungutan oleh pihak lain, pengkreditan pajak luar negeri,
maupunn pembayaran sendiri oleh Wajib Pajak ke kantor penerima pajak.
b. Kompensasi, dapat diartikan sebagai kompensasi kerugian maupun kompensasi
kelebihan pembayaran pajak.
c. Kadaluarsa, berarti telah lewat batas waktu tertentu.
➢ Untuk pajak pusat adalah 5 tahun
➢ Untuk pajak daerah adalah 5 tahun
➢ Untuk retribusi daerah adalah 3 tahun
➢ Sedangkan, untuk Wajib Pajak yang terlibat tindak pidana pajak tidak
diberikan batas waktu
d. Pembebasan/Penghapusan, kewajiban pajak oleh Wajib Pajak tertentu dinyatakan
hapus oleh fiskus karena seelah dilakukan penyelidikan, ternyata Wajib Pajak
tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya.
e. Penghapsan Utang, dilakukan karena kondisi Wajib Pajak yang bersangkutan
utang pajaknya dapat di hapuskan karena tidak mungkin di tagih lagi dengan
beberapa sebab(alasan) seperti diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
565/KMK.02/2000 tanggal 26 Desember 2000 ada;ah sebagai berikut :
➢ WP meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak
mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak dapat ditemukan
➢ WP tidak mempunyai harta kekayaan lagi
➢ Hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa
➢ Sebab lain sesuai hasil penelitian
K. Penghindaran dan Pengelakan Pajak
Penyebab dari penghindaran dan pengelakan pajak meliputi pajak yang terlalu tinggi,
UU yang tidak tepat, hukuman yang tidak memberikan efek jera, dan ketidakadilan
yang nyata. Ketika situasi ini terjadi, penghindaran dan pengelakan pajak akan
cenderung meningkat.

➢ Penghindaran Pajak
Penghindaran pajak adalah perencanaan pajak yang dilakukan secara legal
dengan cara mengecilkan objek pajak yang menjadi dasar pengenaan pajak yang
masih sesuai dengan ketentuan perundang undangan perpajakan yang berlaku.

➢ Pengelakan Pajak
Pengelakan pajak adalah manipulasi illegal terhadap sistem perpajakan untuk
mengelak dari penyebaran pajak. Tax evasion juga dapat diartikan sebagai
pengabaian terhadap peraturan perundang-undagan perpajakan yang disengaja
untuk menghindari pembayaran pajak, misalnya pemalsuan pengembalian pajak.
BAB 3
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA
PERPAJAKAN

A. Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 28 TAHUN 2007 Tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

B. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib
Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban Wajib
Pajak. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) terdiri dari 15 Digit, misalnya ;
01.123.456.7.890.000
a. Fungsi NPWP
1) Sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas Wajib Pajak.
2) Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi
perpajakan.
b. Jangka Waktu Pendaftaran
Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dibatasi jangka
waktunya, karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban
mengenakan pajak terutang. Jangka waktu pendaftaran adalah:
1) Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan
Wajib Pajak badan, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling
lama 1 (satu) bulan setelah saat usaha mulai dijalankan.
2) Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaaan bebas,
apabila sampai dengan suatu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah
melebihi PTKP setahun, maka wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP
paling lambat akhir bulan berikutnya.
c. Tempat Pendaftaran NPWP
1) Di Kantor Direktorat Jenderal Pajak ( Kantor Pelayanan Pajak) yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal (orang pribadi), tempat kedudukan (badan), atau
tempat kegiatan usaha Wajib Pajak yang bersangkutan.
2) Tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak berada pada 2 atau lebih
Wilayah kerja Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pajak
menetapkan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.
d. Penghapusan NPWP Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh
Direktur Jenderal Pajak apabila:
1) Diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak
dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan
subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan;
2) Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
3) Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia;
atau
Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok
Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif
dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

C. Surat Setoran Pajak (SSP)

Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telaah
dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas
Negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
SSP berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat
kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah melakukan validasi.

Peruntukan SSP

Formulir SSP terdiri dari 4 lembar dengan peruntukan :


1. Lembar Ke 1 untuk Wajib Pajak
2. Lembar Ke 2 untuk KPP melalui KPPN
3. Lembar Ke 3 untuk KPP melalui Wajib Pajak
4. Lembar Ke 4 untuk bank persepsi

Sanksi
Jika pembayaran pajak dilakukan setelah melampaui jatuh temponya, maka wajib pajak
akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan maksimum 24
bulan.

D. Surat Pemberitahuan
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek
pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak adalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya
terutang dan untuk melaporkan tentang :
a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri san/atau melalui
pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak.
b. Mempertanggung jawabkan perhitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya
terutang.
c. Penghasilan yang merupakan pajak dan/atau bukan objek pajak.
d. Harta dan kewajiban.
e. Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan
pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

SPT dapat dibedakan menjadi :


1) SPT Masa dan
2) SPT Tahunan.

Yang dimaksud SPT Masa adalah SPT yang digunakan untuk melakukan pelaporan atas
pembayaran pajak pada masa tertentu (bulanan). Ada 9 (Sembilan) jenis SPT Masa,
meliputi SPT Masa untuk melaporkan pembayaran bulanan:
1) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21,
2) PPh Pasal 22,
3) PPh Pasal 23,
4) PPh Pasal 25,
5) PPh Pasal 26,
6) PPh Pasal 4(2),
7) PPh Pasal 15,
8) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM)
9) Pemungut PPN

Sedangkan apa yang dimaksud dengan SPT Tahunan adalah SPT yang digunakan untuk
pelaporan Tahunan. Ada dua jenis SPT Tahunan, yaitu :
1) SPT Tahunan PPh WP Badan
2) SPT Tahunan Pajak Penghasilan WP Badan yang diizinkan menyelenggarakan
pembukuan dalam bahasa inggris dan mata uang dolar Amerika Serikat
3) SPT Tahunan Pajak Penghasilan WP OP

Jenis SPT
Secara garis besar SPT dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Surat Pemberitahuan Masa, adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu masa pajak.
b. Surat Pemberitahuan Tahunan, adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun
Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
• SPT meliputi :
a. SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
b. SPT Masa yang terdiri dari:
1) SPT Masa Pajak Penghasilan
2) SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai; dan
3) SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi pemungutan Pajak Pertambahan
Nilai
• SPT dapat berbentuk :
1) Formulir kertas (hardcopy), atau
2) E-SPT

E. Batas Waktu Penyampaian SPT

No JENIS SPT MASA BATAS WAKTU PELAPORAN


20 hari setelah akhir masa pajak
1 PPh Pasal 21
berakhir
20 hari setelah akhir masa pajak
2 PPh Pasal 23/26
berakhir
20 hari setelah akhir masa pajak
3 PPh Pasal 25
berakhir
PPh Pasal 22, PPN, dan 7 hari setelah pembayaran berakhir
4
PPnBM oleh Bea Cukai
PPh Pasal 22- Bendaharawan 14 hari setelah akhir masa pajak
5
Pemerintah berakhir
20 hari setelah akhir masa pajak
6 PPh Pasal 22-Pertamina
berakhir
PPh Pasal 22-Pemungut 20 hari setelah akhir masa pajak
7
tertentu berakhir

8 PPN dan PPnBM yang terutang Akhir masa pajak berikutnya


dalam satu masa pajak
PPN dan PPnBM- 20 hari setelah akhir masa pajak
10
Bendaharawan
Paling lama 3 bulan setelah akhir tahun
11 PPh Wajib Pajak Orang
pajak atau bagian tahun pajak
Pribadi
Paling lama 4 bulan setelah akhir tahun
12 PPh Wajib Pajak Badan
pajak atau bagian tahun pajak.

F. Ketetapan Pajak

Pengerian SKP dengan UU KUP adalah surat ketetapan yang meliputi surat ketetapan
pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, surat ketetapan pajak
nihil, atau surat ketetapan pajak lebih bayar.
• Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah
pajak yang masih harus dibayar.
• Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan Adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. Direktorat
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dalam jangka waktu 5 Tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak apabila ditemukan
data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah
dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penertiban SKP kurang bayar
tambahan.
• Surat Ketetapan Pajak Nihil Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak.
• Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih
besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
BAB 4
PAJAK PENGHASILAN (UMUM)

A. Subjek Pajak

Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 subjek pajak meliputi:

a. Orang Pribadi
Orang Pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di
Indonesia ataupun di luar Indonesia.

b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Warisan yang belum terabagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak
pengganti, menggantikan mereka yang berhak, yaitu ahli waris. Penunjukan
warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak penggantian dimasukkan agar
pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat
dilaksanakan.

c. Badan
Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, BUMN maupun
BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, Firma, kongsi, Koperasi, Dana
Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi Massa, Organisasi
Sosial Politik, atau Organisasi Lainnya, Lembaga & bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan Bentuk Usaha Tetap.

d. Bentuk Usaha Tetap


Bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
di Indonesia, oreng pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 189 hari
dalam jangka waktu dua belas bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan Indonesia untuk menjalankan usha atau melakukan
kegiatan di Indonesia.
Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi :
• Subjek Pajak dalam negeri yang terdiri dari:
a. Subjek Pajak Orang Pribadi
b. Subjek Pajak Badan
c. Subjek Pajak Warisan
• Subjek Pajak luar negeri yang terdiri dari :
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak betempat kedudukan
di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesi, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia , yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan di Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

B. Tidak Termasuk Subjek Pajak

Yang tidak termasuk Subjek Pajak adalah :


a. Kantor perwakilan negara asing.
b. Pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing,
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat :
- Bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia.
- Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbale balik.
c. Organisasi Internasional, dengan syarat :
- Indonesia menjadi anggota tersebut.
- Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya
berasal dari iuran para anggota.
d. Pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat :
- Bukan warga negara Indonesia.
- Tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan di Indonesia.

C. Objek Pajak

Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Penghasilan berdasarkan sumber perolehannya dapat digolongkan menjadi 4 golongan
kelompok besar, yaitu :
a. Penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan, berupa gaji, honor,
upah, dan lain sebagainya.
b. Penghasilan yang diperoleh dari usaha, merupakan laba bersih sebelum pajak
yang dihasilkan oleh satu usaha tertentu.
c. Penghasilan yang diperoleh dari investasi dan barang modal, merupakan
penghasilan dari barang modal yang kita miliki ataupun dari investasi yang kita
lakukan. Contoh : Bunga, Dividen, Pedapatan Sewa, Royalti.
d. Penghasilan dari sumber lainnya, merupakan penghasilan yang berasal dari
sumber lainnya selain ketiga sumber diatas. Contoh : Hadiah, Pembebasan hutang,
keuntungan akibat selisih penjualan asset tetap

D. Pemungutan/Pemotongan Pajak

Adalah pihak-pihakatau badan usaha yang ditunjuk oleh pemerintah (Kantor Pajak)
untuk melakukan pemotongan dan pemungutan pajak sesuai ketentuan yang berlaku.
Badan usaha yang ditunjuk untuk melakukan pemotongan dan pemungutan pajak
penghasilan mempunyai dua kewajiban, yaitu :
a. Kewajiban Formal
- Mendaftakan diri sebagai Wajib Pajak dan memperoleh NPWP
- Melakukan pembukuan bukan pencatatan
- Melakukan pemotongan dan pemungutan pajak penghasilan
- Melakukan setoran ke kas negara atas pajak yang dipotong atau dipungut
- Melaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak atas pajak-pajak yang telah disetor
b. Kewajiban Materiil
- Melakukan perhitungan atas pajak yang harus dipotong/dipungut antara lain:
PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4(2)

E. Pelunasan Pajak Penghasilan


a. Pelunasan pada akhir tahun
- Pelunasan PPh Kurang Bayar (PPh Pasal 29) setelah dilakukan perhitungan
akhir tahun dan telah diperhitungkan semua uang muka pajak yang telh dipotong
dan disetor selam tahun bersangkutan.
b. Pelunasan pada tahun berjalan
- Pelunasan dilakukan pada tahun berjalan dengan cara :
• Pemotongan atau pemungutan oleh pihak lain, contoh : PPh Ps. 21, PPh Ps.
22, PPh Ps. 23, PPh Ps. 4(2), PPh Ps. 24
• Pajak terutang disetor sendiri oleh Wajib Pajak, contoh : PPh Ps. 25
- Pelunasan ini dilakukan setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan dan merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan
terhadap PPh yang terutang untuk tahun yang bersangkutan, kecuali untuk pajak
yang bersifat final.
BAB 5
PAJAK PENGHASILAN 21

A. Pengertian

Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Ps.21) adalah pemotongan pajak atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri wajib
dilakukan oleh:
a. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai
atau bukan pegawai;
b. Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain
dengan nama apapun dalam rangka pensiun;
d. Badan yang membayar honorarium atau pemabayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;
e. Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan
pelaksanaan suatu kegiatan.

B. Pemotong PPh Pasal 21


a. Pemberi kerja yang terdiri dari Orang Pribadi dan Badan;
b. Bendaharawan atau pemegang kas pemerintahan;
c. Dana pensiun, Badan penyelenggara jaminan social tenaga kerja, dan badan badan
lain yang membayar pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; dan
d. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas atau badan yang
membayar honorarium.

C. Tidak Termasuk Pemberi Pajak


\
a. Kantor perwakilan Negara asing;
b. Organisasi Internasional; dan
c. Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang semata mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah
tangga atau ekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas.
D. Pemotongan PPh 21

a. Atas penghasilan yang diterima oleh Pegawai Negeri sipil, Pejabat Negara, anggota
ABRI dan POLRI yang dananya berasal dari APBD/APBN.
- gaji dan tunjangan yang terikat dengan gaji tidak akan dipotong PPh 21, tetapi
PPh 21 tetap dihitung sesuai tariff pasal 17 dan akan ditanggung oleh pemberi
kerja, dimana dalam hal ini adalah pemerintah.
- Honorarium atau penghasilan lain diluar gaji akan dipotong PPh 21 dengan tarif
15% bersifat final.
b. Atas penghasilan yang diterima oleh selain disebutkan pada nomor 1 diatas berupa
upah harian/mingguan/borongan, imbalan kepada tenaga ahli, imbalan jasa yang
dihitung tidak berdasarkan banyaknya hari. Akan dipotong PPh 21 sesuai tariff pasal
17 bersifat tidak final (bisa dikreditkan di akhir tahun)

Skema Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Pegawai Tetap

Penghasilan Bruto
- Gaji Pokok XXX
- Tunjangan-Tunjangan XXX
- Premi Asuransi yang ditanggung Pemberi Kerja XXX
- Penghasilan Tidak Teratur (bonus/THR/Gratifikasi) XXX
Total Penghasilan Bruto XXX
Pengurang Penghasilan Bruto
- Biaya Jabatan XXX
- Iuran pensiun yang Dibayar oleh Wajib Pajak XXX
- Iuran JHT/THT yang Dibayar oleh Wajib Pajak XXX
Total Pengurang Penghasilan Bruto (XXX)
Penghasilan Neto 1 Bulan XXX
Penghasilan Neto Setahun/Disetahunkan XXX
Penghasilan Tidak Kena Pajak (Ps. 7 UU PPh) (XXX)
Penghasilan Kena Pajak (PhKP) XXX
PPh Terutang (Pasal 17 UU PPh) XXX

a. Biaya Jabatan
Adalah fasilitas yang diberikan Negara sebagai biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan
setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai
jabatan ataupun tidak. Besarnya adalah 5% dari penghasilan Bruto dengan nilai
maksimalnya adalah sebesar Rp 500.000,- perbulan atau Rp 6.000.000,- pertahun.

b. Iuran Pensiun
Adalah iuran yang dibayr oleh Wajib Pajak kepada dana pensiun yang telah
disahkan oleh Menteri Keuangan. Tidak ada batasan berapa besarnya iuran yang
boleh diperhitungkan sebagai pengurang.
c. Premi JHT/THT
Adalah premi JHT/THT yang dibayar oleh Wajib Pajak kepada Badan yang
menyelenggarakan program tersebut. Besarnya iuran sesuai dengan ketetapan dari
pihak penyelenggara.

d. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Tanpa
Tanggungan 1 Tanggungan 2 Tanggungan 3
tanggungan
Tidak Kawin Rp 54.000.000,- Rp 58.500.000,- Rp 63.000.000,- Rp 67.500.000,-

Kawin Rp 58.500.000,- Rp 63.000.000,- Rp 67.500.000,- Rp 72.000.000,-

Tanggungan adalah anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan
lurus keatas maupun kebawah yang tidak mempunyai penghasilan sendiri dan anak
angkat yang telah secara resmi diadopsi.
Sementara itu, untuk:
1. WP dengan status kawin, penghasilan istri digabung tanpa tanggungan/anak
(K/I/0) PTKP-nya menjadi Rp 108 juta per tahun.
2. Untuk WP dengan status kawin, penghasilan istri digabung dengan satu
tanggungan/anak (K/I/1) menjadi Rp 112,5 juta per tahun.
3. WP dengan status kawin , penghasilan istri digabung dengan dua tanggungan/anak
(K/I/2) menjadi Rp 117 juta per tahun.
4. WP dengan status kawin, penghasilan istri digabung dengan tiga tanggungan/anak
(K/I/3) menjadi Rp 121,5 juta per tahun.

e. Tarif Pajak Penghasilan untuk Orang Pribadi (Pasal 17 UU PPh)


TARIF PAJAK PPh
1. Wajib Pajak orang atau pribadi dalam negeri
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Penghasilan 0 - Rp 50.000.000,- 5%

Penghasilan Rp 50.000.001,- Sampai


15%
Rp 250.000.000,-
Penghasilan Rp 250.000.001,- Sampai
25%
Rp 500.000.000,-

Diatas Rp. 500.000.000,- 30%

Tarif tertinggi bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri dapat diturunkan
paling rendah 25% yang diatur dengan peraturan pemerintah.
2. Wajib Pajak badan dalam negeri dalam bentuk usaha tetap.
Sedangkan tariff pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%.
Tarif pajak bagi Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap, mulai berlaku sejak
tahun 2010 diturunkan menjadi 25%.

Contoh Soal
Bambang (K/0) bekerja pada PT ABC pada tahun 2015 dengan gaji pokok Rp
4.500.000,- mengikuti program JAMSOSTEK dengan ketentuan premi perbulannya
sebagai berikut: JKK 0.24%, JK 0.30%, dan JHT 3,7% ditanggung perusahaan,
sedangkan JHT 2% ditanggung karyawan. Bambang juga harus membayar iuran
pensiun kepada dana pensiun yang telah disahkan oleh Mentri keuangan sebesar Rp
100.000/bulan.
Berapa PPh 21 yang harus dipotong oleh PT ABC dan berapa gaji yang dibawa pulang
oleh Bambang (THP)?
• Perhitungan PPh 21 :
- Gaji 1 bulan 4.000.000
- Premi JKK 9.600
- Premi JK 12.000
Penghasilan Bruto 4.021.600
- Pengurang :
- Biaya Jabatan (201.080)
- Iuran Pensiun (100.000)
- JHT 2% (80.000)
(381.080)
- Penghasilan Neto 1 Bulan 3.640.520
- Penghasilan Neto Setahun 43.686.240
- PTKP (K/0) (39.000.000)
- Penghasilan Kena Pajak 4.686.240
- PhKP dibulatkan 4.686.000
- PPh 21 setahun (5%) 234.300
- PPh 21 sebulan 19.525

Perhitungan Take Home Pay :


- Gaji Pokok 4.000.000
- Iuran Pensiun (100.000)
- JHT 2% ( 80.000)
- PPh 21 ( 19.525)
- THP 3.800.475
• Jurnal
Beban Gaji & Upah 4.021.600
Beban JHT 148.000
Hutang Iuran Pensiun 100.000
Hutang Jamsostek 249.600
Hutang PPh 21 19.525
Kas 3.800.475

f. Imbalan Kepada Tenaga Ahli


• PPh Ps. 21 = Penghasilan Bruto X 50% X Tarif Pasal 17 Orang Pribadi
• Termasuk kategori tenaga ahli adalah (PAK PANDA):
• Pengacara • Akuntan • Arsitek • Notaris
• Konsultan • Dokter • Penilai • Aktualis

Contoh Soal

Kosultan Pajak A menerima fee pembayaran dari PT. Bersama Kamu sebesar Rp
5.000.000 Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar :
5% X 50% X Rp 5.000.000 = Rp 125.000

g. Imbalan Kepada Tenaga Tidak Tetap (Pegawai Lepas)


• Upah 1 hari ≤ 300.000/hari dan 1 bulan ≤ 3.000.000 maka Tidak terutang PPh
21
• Upah 1 hari > 300.000/hari dan 1 bulan > 3.000.000 maka terutang PPh 21
dengan PTK 300.000/hari
• Upah 1 hari ≤ 300.000/hari dan 1 bulan > 3.000.000 maka terutang PPh 21
dengan PTK sebenarnya
• Upah 1 hari > 300.000/hari dan 1 bulan > 3.000.000 maka terutang PPh 21
dengan PTK sebenarnya

Contoh Soal

Si Eta bekerja selama 2 hari dengan upah harian sebesar Rp


600.000/hari. Upah 1 hari Rp 600.000
PTKP harian Rp 300.000
PhKP Rp 300.000
PPh Pasal 21 Rp 15.000
PPh Pasal 21 (2) Rp 30.000

h. Imbalan Kepada Bukan Pegawai


• Yang termasuk bukan pegawai adalah :
- Pemain music, pembawa acara, penyanyi, pelawak, dll
- Olahragawan
- Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, moderator
- Distributor perusahaan multilevel marketing
- Pengarang peneliti dan penerjemah
- Agen Iklan
- Pengawas dan pengelola proyek
- Petugas penjaja barang dagangan
- Petugas dinas luar asuransi
- Pembawa pesanan atau perantara
• Penghasilan yang diterima oleh bukan pegawai yang bersifat
berkesinambungan maka dihitung berdasarkan tariff PPh Pasal 17 orang
pribadi dan bersifat komulatif dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Rumus = (50% X Ph. Bruto – PTKP) x Tarif PPh Pasal 17
• Penghasilan yang diterima oleh bukan pegawai yang tidak bersifat
berkesinambungan maka dihitung berdasarkan tariff PPh Pasal 17 orang
pribadi dan bersifat tidak kumulatif dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Rumus = 50% x Tarif PPh Pasal 17 x Ph. Bruto
Contoh Soal

Si Eta adalah seorang agen iklan memperoleh komis dari jasa iklannya pada bulan Juni
sebesar Rp 1.500.000.
Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar : 5% x 50% x Rp 1.500.000 = Rp
37.500

Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21:

a. Disetor paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya atau 10 hari setelah masa pajak
berakhir dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
b. Dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya atau 20 hari setelah masa
pajak berakhir dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT).
Catatan : - Telat pelaporan SPT masa PPh denda Rp 100.000,-
- Telat setor denda 2%/bulan x PPh terutang (maks 24 bulan)

Insentif Pajak

a. Pengertian Insentif
Insentif pajak merupakan kompensasi khusus yang diberikan pemerintah
terkait sistem pembayaran pajak yang harus disetor oleh para wajib pajak.
Kompensasi ini diberikan pemerintah kepada wajib pajak yang terdampak wabah
virus Covid-19.
b. Kriteria Perusahaan Bisa Ajukan Insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah
Perusahaan yang bisa mengajukan insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21
Ditanggung Pemerintah untuk karyawan atau pegawainya sesuai Pasal 2 ayat (3)
PMK No. 86/2020 adalah:
• Perusahaan memiliki kode atau termasuk dalam KLU penerima insentif PPh 21
DTP.
• Perusahaan telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE (Kemudahaan Impor
Tujuan Ekspor).
• Perusahaan telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin
Pengusaha Kawasan Berikat (PKB), atau izin Pengusaha Dalam Kawasan
Berikat (PDKB).

c. Syarat Karyawan yang Bebas Potongan PPh 21


Sedangkan kriteria karyawan/pegawai yang bisa mendapatkan pembebasan
PPh 21 yang biasanya selalu dipotong oleh pemberi kerja (perusahaan) tempat
mereka bekerja. Setidaknya harus memenuhi syarat sebagai pekerja yang berhak
menerima Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah, diantaranya:
• Karyawan/Pegawai bekerja di perusahaan yang memiliki kriteria penerima
insentif PPh 21 DTP
• Karyawan/Pegawai memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
• Penghasilan yang diterima pada masa pajak atau penghasilan bruto merupakan
gaji tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp200 juta.

Artinya, jika selama ini perusahaan memotong PPh 21 dari gaji karyawan setiap
bulannya dan dibayarkan ke kas negara, dengan adanya insentif Pajak Penghasilan Pasal
21 Ditanggung Pemerintah ini maka perusahaan membayarkan kewajiban PPh 21
tersebut ke karyawan.
BAB 6
PAJAK PENGHASILAN 22

A. Pengertian

Merupakan pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik pusat maupun
daerah sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan badan badan
tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan di bidang
impor atau kegiatan usaha di bidang lain.

B. Pemungut PPh Pasal 22


a. Bank Devisa dan Ditjen Bea & Cukai, atas :
- Impor barang; dan
- Ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam
yang dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang
terikat dalam perjanjian kerjasama perusahaan pertambangan dan kontrak karya.

b. Bendaharawan
- Bendaharawan pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai
pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau
lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang.
- Bendaharawan pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan
mekanisme uang persediaan (UP).
- Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah
Membayar yang diberi delegasi oleh KPA, untuk pembayaran kepada pihak
ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS).

c. Badan usaha tertentu meliputi :


- Badan Usaha Milik Negara, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
- Badan Usah Milik Negara yang dilakukan restrukturisasi oleh pemerintah dan
restrukturisasi tersebut dilakukan melalui pengalihan saham milik negara
kepada BUMN lainnya.
- Badan Usaha Tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik
Negara, meliputi PT. Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT. Petrokimia
Gresik, PT. Bank Syariah Mandiri, dll yang berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha.

d. Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri semen, kertas, baja, farmasi, dan
otomotif, yang ditunjuk oleh kepala Kantor Pelayanan Pajak , atas penjualan hasil
produksinya di dalam negeri.

e. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam
negeri.

f. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan
bakar minyak, gas, dan pelumas.

g. Industry dan eksportir yang bergerak dalam sector kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas
pembelian bahan-bahan untuk keperluan industry atau ekspor mereka dari pedagang
pengumpul.

h. Industry atau badan usaha yang melakukan pebelian komoditas tambang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang
izin perusahaan.

i. Badan busaha yang memproduksi emas batangan, atas penjualan emas batangan di
dalam negeri.

j. Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas
Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah.

C. Objek PPh Pasal 22

a. Pembelian barang yang dananya berasal dari APBN/D


b. Impor Barang
c. Ekspor komoditas tambang : Batubara, mineral logam, dll
d. Penjualan produksi tertentu di dalam negeri : Semen, kertas, baja, obat, otomotif,
BBM, dan Gas
e. Penjualan kendaraan bermotor dalam negeri
f. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industry dan eksportir dari pedagang
pengumpul
g. Pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam
h. Penjualan emas batangan oleh produsen
i. Penjualan barang yang tergolong sangat mewah
Tata Cara Perhitungan, Pencatatan, Pemungutan, Penyetoran, & Pelaporan

a. Atas pengadaan barang yang dilakukan oleh bendaharawan dan Badan Usaha tertentu
(pemungut 2 & 3)
- Tariff : 1,5% x Nilai Pembelian Sebelum PPN (DPP PPN)
- PPh 22 terutang pada saat terjadi transaksi kas
- Batas waktu penyetoran : paling lambat pada 7 hari setelah masa pajak berakhir
- Batas waktu pelaporan : paling lambat 14 hari setelah masa pajak berakhir
b. Atas impor barang (pemungut 1)
- Tarif PPh 22 :
• Bagi importir yang ber-API : 2,5% x NI
• Bagi importir yang tidak punya API: 7,5% x NI
• Impor kedelai, gandum, dan tepung terigu : 0,5% x NI
• Barang yang tidak dikuasai : 7,5% x Nilai Lelang
- Nilai Impor : CIF + Bea Masuk + Bea Masuk Tambahan
- PPh 22 dilunasi/terutang pada saat pembayaran Bea Masuk, jika Bea Masuk
dibebaskan maka dibayar pada saat pengurusan PIB.
- Batas waktu penyetoran : Bea dan Cukai => paling lambat pada hari kerja
berikutnya
- Batas waktu pelaporan : Bea dan Cukai => paling lambat 7 hari setelah masa
pajak berakhir
c. Ekspor Komoditas (Pemungut 1)
- Tariff : 1,5% x NI
- Sebagaimana tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang dan bersifat tidak
final
d. Atas penjualan produksi tertentu di dalam negeri (Pemungut 4)
- Semen, kertas, baja, obat dan otomotif Semen : 0,25% x DPP PPN
• Kertas : 0,1% x DPP PPN Baja : 0,3% x DPP PPN Obat : 0,3% x DPP PPN
• Otomotif : 0,45% x DPP PPN
• Terutang/dipungut saat terjadi penjualan hasil produksi industry tersebut
diatas Batas waktu penyetoran : paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
• Batas waktu pelaporan : paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya
- BBM dan Gas (Pemungut 4)
• Tarif PPh 22 :
SPBU
Jenis Produk SPBU Pertamina Swastanisasi
Premium, Premix, Solar 0,25% x Harga Jual 0,3% x Harga Jual

Minyak Tanah 0,3% x Harga Jual 0,3% x Harga Jual

Gas LPJ 0,3% x Harga Jual 0,3% x Harga Jual

Pelumas 0,3% x Harga Jual 0,3% x Harga Jual


• Dilunasi saat sebelum dikeluarkannya SPPB/DO, tanpa pelunasan tersebut
maka SPPB/DO tidak akan diterbitkan
• Jika BBM dibeli untuk dijual kembali maka bersifat final
• Jika BBM dibeli untuk dipakai sendiri dalam produksi, maka bersifat tidak
final dan menjadi kredit pajak PPh Pasal 22. Tariff PPh 22 untuk BBM yang
dipakai sendiri adalah sebesar 0,3% dari harga

e. Penjualan Kendaraan Bermotor dalam negeri (Pemungut 5)


- Tariff : 0,45% x DPP PPN
- Terutang/dipungut saat terjadi penjualan
- Batas waktu penyetoran : paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
- Batas waktu pelaporan : paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya

f. Pembelian kepada pedagang pengumpul oleh industry yang dipakai sebagai bahan
baku atau untuk di ekspor. (Pemungut 6)
- Tarif : 0,25% x Harga pembelian tidak termasuk PPN
- Terutang atau dipungut saat terjadinya pembayaran pembelian
- Batas waktu penyetoran : paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
- Batas waktu pelaporan : paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya

g. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industry atau ekspor oleh badan usaha
industry atau eksportir yang bergerak dalam sector kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan (Pemungut 7)
- Tarif : 0,25% x harga pembelian tidak termasuk PPN

h. Pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam (pemungut 8)


- Tariff : 1,5% x harga pembelian tidak termasuk PPN
- Sifat : tidak Final

i. Atas penjualan emas batangan oleh produsen emas batangan (pemungut 9)


- Tariff : 0,45% x harga jual emas batangan

j. Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah (pemungut 10)


- Jenis Barang yang Tergolong Sangat Mewah :
• Pesawat terbang pribadi dan helicopter pribadi dengan harga jual
lebih dari Rp 20.000.000.000,-
• Kapal pesiar, yacht, dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp
10.000.000.000,-
• Rumah beserta tanahnya dengan harga jual lebh dari Rp 5.000.000.000,- dan
luas lebih dari 400
• Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau harga
pengalihannya lebih dari Rp 5.000.000.000,- dan/atau luas bangunan lebih
dari 150
• Kendaraan bermotor roda 4 pengangkut orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, spart, utility, vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus
dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 2.000.000.000,- dan dengan
kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc, dan atau
• Kendaraan bermotor roda dua atau tiga, dengan harga jual lebih dari Rp
300.000.000,- atau dengan kapasitas silinder lebih dari 250 cc
- Tarif : sebesar 5% dari harga jual (tidak termasuk PPN dan PPnBM) bersifat tidak
final
- Terutang atau dipungut saat terjadinya pembayaran pembelian
- Batas waktu penyetoran : paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
- Batas waktu pelaporan : paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya

Contoh Perhitungan PPh Pasal 22 (Rumus : Tarif x DPP Ex PPN)

a. PT Si Eta menjadi rekanan bendaharawan Universitas Brawijaya pada proyek


pengadaan alat alat laboratorium akuntansi. Nilai proyek adalah sebesar Rp
110.000.000,- (termasuk PPN). Transaksi penjualan terjadi pada 5 Januari 2012 dan
transaksi pelunasan terjadi pada 5 Februari 2012.
- Perhitungan PPh Pasal 22
• PPh 22 : 1,5% x (110.000.000/1,1)
• PPh 22 : 1.500.000
- Jurnal tanggal 5 Januari 2012
Piutang Dagang 100.000.000
PPN Keluar 10.000.000
Penjualan 110.000.000

- Jurnal tanggal 5 Februaru 2012


Kas 98.500.000
UM PPh 22 1.500.000
Piutang Dagang 100.000.000

b. PT Si Eta menjual semen kepada PT Griya Indah secara tunai 1000 sak semen
@Rp 100.000. PT Si Eta merupakan PKP.
- Perhitungan PPh 22
• PPh 22 : 0,25% x 100.000.000
• PPh 22 : 250.000
- Jurnal pada PT Si Eta
Kas 110.250.000
Penjualan 100.000.000
PPN Keluar 10.000.000
Hutang PPh 22 250.000
- Jurnal pada PT Griya Indah
Pembelian 100.000.000
PPN Masukan 10.000.000
UM PPh 22 250.000
Kas 110.250.000

Insentif Pajak

Insentif Pajak PPh pasal 22 Impor

Sama seperti insentif lainnya, dalam PMK 86/202, insentif pembebasan PPh Pasal 22
impor juga ditambah durasinya, yang berlaku hingga masa pajak Desember 2020.

Jika sebelumnya wajib pajak menyampaikan laporan realisasi pembebasan PPh Pasal
22 impor setiap tiga bulan, dalam PMK 86/2020, aturan tersebut berubah. Wajib pajak
menyampaikan laporan realisasi pembebasan PPh Pasal 22 impor setiap satu bulan
sekali, paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
BAB 7
PAJAK PENGHASILAN 23

A. Pengertian
Merupakan pajak yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak dalam negeri (orang pribadi dan badan) dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal
dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong
PPh Pasal 21.
Pemotong PPh Pasal 23 :
a. Badan Pemerintahan
b. Subjek Pajak Badan dalam Negeri
c. Penyelenggaraan Kegiatan
d. Bentuk Usaha Tetap, atau
e. Perwakilan Perusahaaan Luar Negeri Lainnya,
f. Wajib Pajak Orang Pribadi yang ditunjuk kepala KPP sebagai Pemotong PPh. Ps. 23
- Akuntan, arsitek, dokter, notaries, PPAT (kecuali PPAT Camat), pengacara, dan
konsultan yang melakukan pekerjaan bebas.
- Orang Pribadi yang menjalankan usaha dengan menyelenggarakan pembukuan
atas pembayaran berupa sewa.

B. Objek dan tata Cara Pemotongan PPh Pasal 23


1. Dikenakan PPh 23 sebesar 15% dari jumlah Bruto (Tidak Final):
- Dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham badan dengan nama dan
dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayatt (1) huruf g UU No. 17
tahun 2000
- Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
hutang sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) huruf f UU No.17 tahun 2000
- Royalty
- Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri
atau Bentuk usaha Tetap.
2. Dikenakan PPh 23 sebesar 2% dari Jumlah Bruto (tidak final):
- Penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
kecuali sebagaimana dimaksud pada Pasal 4(2) UU PPh
- Jasa Teknik
- Jasa Konsultan kecuali Konsultasi Konstruksi
- Jasa Manajemen
- Jasa Lain (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008)
3. Batas waktu penyetoran : paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
4. Batas waktu pelaporan : paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya
5. Ketentuan yang berkaitan dengan PPh Pasal 23 :
- Dalam hal penerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 23 belu ber-
NPWP, maka dikenai denda sebesar 100% dari PPh terutang
- Pengecualian pengenaan PPh Pasal 23 :
• Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank
• Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan
hak opsi
• Dividen yang dibayar atau terutang kepada PT.BUMN/BUMD, dan koperasi
yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri dari penyertaan pada badan usaha
yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sepanjang :
❖ Dividen tersebut berasal dari cadangan laba ditahan
❖ Dalam hal penerima Dividen adalah PT. BUMN dan BUMD, kepemilikan
saham pada badan yang member Dividen paling rendah 25% dari modal
disetor
❖ Dividen yang diterima oleh orang pribadi
• Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota perseroan komanditer yang
modalnya tidak berbagi atas saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi
• Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan atau pembiayaan termasuk yang
menggunakan pembiayaan berbasis syariah
• Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya

Contoh Perhitungan PPh Pasal 23

1. PT.Sarangiran menyewa KAP HIJ dan Rekan untuk melakukan audit atas Laporan
Keuangan tahun 2019. Atas jasa audit tersebut KAP HIJ dan Rekan mendapat fee
jasa audit sebesar Rp. 100.000.000,-
- Perhitungan PPh 23 :
• PPh Pasal 23 : 2% x Rp 100.000.000
• PPh Pasal 23 : Rp 1.000.000
Jurnal pada PT.Sarangiran
Beban audit 100.000.000
Kas 98.000.000
Hutang PPh 23 2.000.000
Jurnal pada KAP HIJ dan rekan
Kas 98.000.000
Uang Muka PPh 23 2.000.000
Pendapatan Jasa 100.000.000

2. PT.Sarangiran menerima dividen sebesar Rp. 20.000.000,- dari PT.Jeyamin atas


penyertaan sebesar 30%.
Jurnal PT.Sarangiran
Kas 16.000.000
Uang Muka PPh 4.000.000
Pendapatan dividen 20.000.000

Jurnal PT. Jeyamin


Dividen 20.000.000
Kas 16.000.000
Hutang PPh 4.000.000
BAB 8
PAJAK PENGHASILAN 4 AYAT (2)

A. Objek PPh 4(2)

1. Penyerahan Jasa Konstruksi


- Jasa Pelaksana Konstruksi
• 2% dari nilai kontrak untuk pelaksanakan konstruksi yang dilakukan oleh
penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil
• 4% dari nilai kontrak untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh
penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha
• 3% dari nilai kontrak untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh
penyedia jasa selain diatas
- Perencanaan dan Pengawasan Konstruksi
• 4% dari nilai kontrak untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh
penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil\
• 6% dari nilai kontrak untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh
penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha
2. Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
- 10% dari Nilai Sewa atas Tanah dan/atau bangunan

3. Penghasilan dari Pengalihan Hak atas tanah dan/atau bangunan


- 5% dari mana yang lebih inggi antara NJOP dan Harga Jual
- 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan untuk rumah sederhana, rumah susun
sederhana yang dilakukan oleh WP yang usaha pokoknya melakukan pengalihan
Hak atas Tanah dan/atas bangunan
4. Hadiah Undian
- PP no. 132 tahun 2000, Kep Dirjen Pajak No. Kep-395/PJ/2001.SE-
19/PJ.43/2001
- Objek : penghasilan berupa hadiah yang melalui undian dengan nama dan dalam
bentuk apapun, termasuk dalam bentuk natura
- 25% dari nilai hadiah undian
- Jika dalam bentuk natura, maka harus dinilai sesuai dengan nilai pasar wajar

5. Bunga Depasito/Tabungan, Diskonto Sertifikat Bank Indonesia, dan Jasa Giro


- PP no. 131 Tahun 2000, KMK No.51/KMK.04/2001, SE Dirjen Pajak No. SE-
19/PJ.43/2001
- Objek : Pajak penghasilan berupa bunga, deposito, dan tabungan
- 20% dikalikan Penghasilan Bruto
6. Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek
- PP no. 41 tahun 1994 sebgaimana telah disempurnakan dengan PP no. 14 Tahun
1997
- Untuk transaksi penjualan saham pendiri yaitu 0,5% x Nilai Transaksi Penjualan
- Untuk transaksi bukan saham sendiri yaitu 0,1% x Nilai Transaksi Penjualan

7. Bunga dan Diskonto Obligasi yang diperdagangkan dan/atau Dilaporkan


Perdagangan di Bursa Efek
- Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 2009
- Objek : imbalan yang diterima dan atau diperoleh pemegang obligasi dalam
bentuk bunga dan atau diskonto
- 20% dari penghasilan bunga dan diskonto obligasi

8. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh Koperasi kepada anggotanya


- Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 2009
- Objek : penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang
didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi Orang Pribadi
- Tarif :
• 0% untuk penghasilan berupa bunga simpanan s/d Rp240.000
• 10% untuk penghasilan berupa bunga simpanan diatas Rp 240.000,-
9. Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
- Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2009, PMK No. 111/PMK.03/2010
- Objek : penghasilan berupa dividen dalam bentuk apapun yang diterima atau
diperoleh Wajib
- Pajak Orang Pribadi dalam negeri
- Tarif : 10% dari jumlah bruto pembayaran

Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 4 ayat (2)

1. Pemotongan : Dilakukan pada saat mana yang lebih dulu diantara pengakuan atau
pembayaran
2. Penyetoran : Paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
3. Pelaporan : Paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya

Contoh Perhitungan PPh Pasal 4 ayat (2)

PT Pomratama menyewa ruko di Pertokoan Sentra Eropa kepada PT. Acadte Prop , nilai
sewa adalah Rp. 50.000.000,- per tahun
- Perhitungan PPh Pasal 4(2)
• PPh 4(2) = 10% x 50.000.000
• PPh 4(2) = 5.000.000
Jurnal pada PT.Pomratama
Beban sewa tanah dan bangunan 50.000.000
Kas 45.000.000
Hutang PPh 4(2) 5.000.000

Jurnal pada PT. Acadte Prop


Kas 45.000.000
Beban PPh 5.000.000
Penghasilan Sewa Tanah dan Bangunan 50.000.000
BAB 9
PAJAK PENGHASILAN 24

A. Pengertian

Berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2008 ayat (1) Pajak Penghasilan Pasal 24


merupakan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar
negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri. PPh pasal 24 ini boleh
dikreditkan terhadap total pajak penghasilan terutang dalam suatu tahun pajak.

Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan baik
penghasilan yang diterima atau diperoleh di dalam negeri maupun penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda yang
dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
luar negeri, besarnya pajak atas penghasilan Wajib Pajak dalam negeri yang terutang
atau dibayar di luar negeri dapat dikreditkan terhadap total pajak terutang atas seluruh
penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.

Jumlah pajak atas penghasilan wajib pajak dalam negeri yang dibayar atau terutang
di luar negeri tersebut dihitung berdasarkan tarif pajak yang berlaku di negara yang
bersangkutan dikalikan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh di negara yang
bersangkutan. Jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri tersebut mungkin
tidak semuanya dapat dikreditkan dari total pajak terutang di Indonesia. Pasal 24 UU
PPh juga mengatur ketentuan mengenai besarnya pajak penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan dari total pajak penghasilan terutang di
Indonesia.

B. Permohonan Kredit Pajak Luar Negeri


Pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri akan dapat dikreditkan, tetapi dengan
syarat Wajib Pajak menyampaikan surat permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak
dengan dilampiri:

1. Laporan keuangan tentang penghasilan yang berasal dari luar negeri;


2. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri; dan
3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
Permohonan kredit pajak luar negeri tersebut harus disampaikan bersamaan dengan
penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh. Direktur Jenderal Pajak bisa
memperpanjang jangka waktu penyampaian lampiran-lampiran permohonan tersebut
karena alasan-alasan di luar kekuasaan Wajib Pajak.

C. Penentuan Sumber Penghasilan

Dalam menentukan batas jumlah pajak atas penghasilan yang dibayarkan atau
terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan, berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2008
Ayat (3) sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut.

1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan
saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan
saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan;
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan
harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga,
royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah
negara tempat harta tersebut terletak;
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut
bertempat kedudukan atau berada;
5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda
turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan
adalah negara tempat lokasi penambangan berada;
7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap
berada; dan
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk
usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.

D. Besarnya Kredit Pajak Yang Diperbolehkan


Ketentuan Kredit Pajak Luar Negeri
Berikut ini ketentuan tentang jumlah kredit pajak luar negeri diperbolehkan.
1. Pajak atas penghasilan yang terutang atau dibayar di luar negeri yang dapat
dikreditkan terhadap total PPh terutang di Indonesia hanya pajak yang langsung
dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari luar negeri
tersebut. Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri
Adalah pajak atas penghasilan berkenaan dengan usaha atau pekerjaan di luar negeri,
sedangkan yang dimaksud dengan pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri
adalah pajak atas penghasilan dari modal dan penghasilan lainnya di luar negeri, seperti
bunga, dividen, royalti, sewa dan sebagainya.
Contoh Kasus:

PT A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di Negara X.


Dalam tahun 2017, Z Inc. memperoleh keuntungan sebesar US$200.000. Pajak
Penghasilan yang berlaku di Negara X adalah 48% dan pajak dividennya sebesar 38%.
Berikut ini perhitungan pajak atas dividen tersebut :
Keuntungan Z Inc. US$ 200.000
Pajak penghasilan ( Corporate income tax ) atas Z Inc. (48%) US$ 96.000 (-)
US$ 104.000
Pajak atas dividen (38%) US$ 39.520 (-)
Dividen yang dikirim ke Indonesia US$ 64.480

Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang
terutang atas PT A adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh tersebut, yaitu sebesar US$39.520.
Pajak Penghasilan ( corporate income tax ) atas Z Inc. sebesar US$96.000 tidak dapat
dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas PT A karena pajak sebesar
US$96.000 tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh PT A dari luar negeri, tetapi pajak yang dikenakan atas keuntungan Z Inc. di
Negara X
BAB 10
PAJAK PENGHASILAN 25

A. Pengertian
Merupakan angsurah PPh yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap
bulan dalam tahun pajak berjalan. Angsuran PPh 25 dapat dijadikan kredit pajak
terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak pada akhir tahun
pajak yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.
Cara Perhitungan PPh Pasal 25

Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak untuk setiap bulan (PPh Pasal 25) adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang
lalu dikurangi dengan:

a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal
23; serta
b. Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
c. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24,

Kemudian dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Penghitungan tersebut dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu bagi Wajib Pajak orang
pribadi dan Wajib Pajak Badan.
Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

PPh menurut SPT Tahunan PPh tahun lalu Rpxxx


Pengurangan/Kredit pajak tahun lalu:
PPh Pasal 21 Rpxxx
PPh Pasal 22 Rpxxx
PPh Pasal 23 Rpxxx
PPh Pasal 24 Rpxxx
Total kredit pajak Rpxxx (-)
Dasar penghitungan angsuran tahun ini Rpxxx
Angsuran PPh Pasal 25 tahun ini = Dasar penghitungan angsuran ÷ 12 atau
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak tahun lalu.
Contoh :
Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tuan Ahmad berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2018 sebesar Rp50.000.000. Pajak yang telah
dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga serta yang terutang atau dibayar di luar negeri
dalam tahun 2017 sebagai berikut.
• Pemotongan PPh Pasal 21 melalui pemberi kerja sebesar Rp12.000.000.
• Pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak lain sebesar Rp8.000.000.
• Pemotongan PPh Pasal 23 oleh penyelenggara kegiatan sebesar Rp3.500.000.
• Pembayaran pajak di luar negeri sebesar Rp8.500.000 seluruhnya dapat
dikreditkan (sebagai PPh Pasal 24)

Angsuran bulanan PPh Pasal 25 untuk tahun 2019 adalah:


PPh terutang berdasar SPT Tahunan PPh tahun 2018 Rp50.000.000
Kredit pajak tahun 2018:
PPh Pasal 21 Rp12.000.000
PPh Pasal 22 Rp 8.000.000
PPh Pasal 23 Rp 3.500.000
PPh Pasal 24 Rp 8.500.000
Total kredit pajak Rp32.000.000 (-)
Dasar penghitungan angsuran Rp18.000.000
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulan (PPh
Pasal 25) dalam tahun 2018 adalah:
Rp18.000.000 ÷ 12 Rp1.500.000

Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Badan

PPh menurut SPT Tahunan PPh tahun lalu Rpxxx


Pengurangan/Kredit pajak tahun lalu:
PPh Pasal 22 Rpxxx
PPh Pasal 23 Rpxxx
PPh Pasal 24 Rpxxx
Total kredit pajak Rpxxx (-)
Dasar penghitungan angsuran tahun ini Rpxxx
Angsuran PPh Pasal 25 tahun ini = Dasar penghitungan angsuran ÷ 12 atau
banyaknya jumlah bulan dalam bagian tahun pajak tahun lalu.

Contoh:
Pajak Penghasilan yang terutang untuk PT Utama berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2018 sebesar Rp125.000.000. Pajak yang telah
dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga serta yang terutang atau dibayar di luar negeri
dalam tahun 2018 sebagai berikut.
• Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (PPh Pasal 22) sebesar
Rp35.000.000
• Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (PPh Pasal 23) sebesar
Rp10.000.000
• Pajak Penghasilan yang dibayar di luar negeri sebesar Rp41.500.000, tetapi
berdasarkan ketentuan yang dapat dikreditkan (PPh Pasal 24) sebesar
Rp40.000.000
Pajak penghasilan yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain dan yang dibayarkan
atau terutang di luar negeri tersebut untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 8
(delapan) bulan dalam tahun 2018.

Angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun 2019 adalah:


PPh terutang berdasar SPT Tahunan PPh tahun 2018 Rp125.000.000
Kredit pajak tahun 2018:
PPh Pasal 22 Rp35.000.000
PPh Pasal 23 Rp10.000.000
PPh Pasal 24 Rp40.000.000
Total kredit pajak Rp 85.000.000 (-)
Dasar penghitungan angsuran Rp 40.000.000

Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulan (PPh
Pasal 25) dalam tahun 2019 adalah:
Rp40.000.000 ÷ 8 = Rp5.000.000

Penyetoran dan Pelaporan

Angsuran pajak bulanan (PPh Pasal 25) tersebut dibayar/disetor sendiri oleh
Wajib Pajak paling lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnya. Angsuran pajak
bulan Maret 2019 disetor paling lambat tanggal 15 April 2019. Pelaporan
(penyampaian SPT) masa atas angsuran pajak tersebut dilakukan paling lambat 20
hari setelah masa pajak berakhir. Angsuran pajak bulan Maret 2019 dilaporkan
paling lambat tanggal 20 April 2019. Sarana untuk melaporkan angsuran tersebut
adalah SSP lembar ketiga.
BAB 11
REKONSILIASI (KOREKSI) FISKAL

A. Pengertian

Rekonsiliasi (koreksi) fiskal adalah proses penyesuaian atas laba akuntansi yang
berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan penghasilan neto atau laba yang
sesuai dengan ketentuan perpajakan. Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh wajib pajak
karena terdapat perbedaan penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi (komersial)
dengan laba menurut perpajakan (fiskal). Laporan keuangan komersial atau bisnis
ditujukkan untuk menilai kinerja ekonomi dan keadaan finansial dari sektor swasta,
sedangkan laporan keuangan fiskal lebih ditujukan untuk menghitung pajak. Untuk
kepentingan komersial atau bisnis, laporan keuangan disusun berdasarkan prinsip yang
berlaku umum, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK); sedangkan untuk
kepentingan fiskal, laporan keuangan disusun berdasarkan peraturan perpajakan
(Undang-Undang Pajak Penghasilan).

B. Penyebab Perbedaan Laporan Keuangan Komersial Dan


Laporan Keuangan Fiskal
Penyebab perbedaan laporan keuangan komersial dan fiskal adalah karena terdapat
perbedaan prinsip akuntansi, perbedaan metode dan prosedur akuntansi, perbedaan
pengakuan penghasilan dan biaya, serta perbedaan perlakuan penghasilan dan biaya.

1. Perbedaan Prinsip Akuntansi Beberapa prinsip SAK yang telah diakui secara umum
tetapi tidak diakui dalam fiskal, diantaranya adalah :
a. Prinsip konversatisme. Penilaian persediaan akhir berdasarkan metode
“terendah antara harga pokok dan nilai realisasi bersih” dan penilaian piutang
dengan nilai taksiran realisasi bersih, diakui dalam akuntansi komersial, tetapi
tidak diakui dalam fiskal.
b. Prinsip harga perolehan (cost). Dalam akuntansi komersial, penentuan harga
perolehan untuk barang yang diproduksi sendiri boleh memasukkan unsur biaya
tenaga kerja yang berupa natura. Dalam fiskal, pengeluaran dalam bentuk natura
tidak diakui sebagai pengurangan/biaya.
c. Prinsip pemadanan (matching) biaya-manfaat. Akuntansi komersial mengakui
biaya penyusutan pada saat aset tersebut menghasilkan. Dalam fiskal, penyusutan
dapat dimulai sebelum menghasilkan seperti alat-alat pertanian.
2. Perbedaan metode dan prosedur akuntansi
a. Metode penilaian persediaan. Akuntansi komersial membolehkan untuk
memilih beberapa metode pernghitungan/pentuan harga perolehan persediaan,
seperti rata-rata (average), FIFO, LIFO, pendekatan laba bruto, pendekatan harga
jual eceran, dan lain-lain. Dalam fiskal, hanya membolehkan memilih dua metode,
yaitu rata-rata (average) dan FIFO.
b. Metode penyusutan dan amortisasi. Akuntansi komersial membolehkan metode
penyusutan berbagai jenis, apabila dalam akuntansi fiskal hanya diperbolehkan
garis lurus dan saldo menurun untuk kelompok harta berwujud jenis
nonbangunan, sedangkan untuk harga berwujud bangunan dibatasi pada metode
garis lurus saja. Disamping metodenya, akuntansi komersial kita dapat
memperkirakan umur ekonomis aktiva tetap, namun pada fiskal umur ekonomis
diatur atau ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Demikian pula
dengan nilai residu, akuntansi komersial memperbolehkan menggunakan nilai
residu, sedangkan fiskal tidak membolehkan menggunakan nilai residu.
c. Metode penghapusan piutang. Dalam akuntansi komersial penghapusan piutang
ditentukan berdasarkan metode cadangan. Sedangkan dalam fiskal, penghapusan
piutang dilakukan pada saat piutang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan
syarat-syarat tertentu yang diiatur dalam peraturan perpajakan. Pembentukan
cadangan dalam fiskal hanya diperbolehkan untuk industri tertentu, seperti usaha
bank, sewa guna usaha dengan hak opsi, usaha asuransi, dan usaha pertambangan
dengan jumlah yang dibatasi dengan peraturan perpajakan.

3. Perbedaan Perlakuan dan Pengakuan Penghasilan dan Biaya


a. Penghasilan tertentu diakui dalam akuntansi komersial tetapi bukan merupakan
Objek Pajak Penghasilan. Dalam rekonsiliasi fiskal, penghasilan tersebut harus
dikeluarkan dari total PKP atau dikurangkan dari laba menurut akuntansi
komersial.
Contoh:
• Penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh dalam bentuk
natura.
• Penghasilan dividen yang diterima oleh PT, koperasi, BUMN/BUMD,
sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri dengan persyaratan tertentu.
• Bagian laba yang diterima oleh perusahaan modal ventura dari badan
pasangan usaha.
• Hibah, bantuan, sumbangan.
• Iuran dan penghasilan tertentu yang diterima dari dana pensiun.
• Penghasilan lain yang termasuk dalam kelompok bukan objek pajak (pasal
4 ayat (3) UU PPh).
b. Penghasilan tertentu diakui dalam akuntansi komersial, tetapi pengenaan
pajaknya bersifat final. Dalam rekonsiliasi fiskal, penghasilan tersebut harus
dikeluarkan dari total PKP atau dikurangkan dari laba menurut akuntansi
komersial.
Contoh:
• Penghasilan berupa deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
kepada anggota koperasi orang pribadi.
• Penghasilan berupa hadiah undian.
• Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivative
yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima
oleh perusahaan modal ventura.
• Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau
bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estat dan persewaan tanah dan
atau bangunan.
• Penghasilan tertentu lainnya (penghasilan dari pengungkapan
ketidakbenaran, penghentian penyelidikan tindak pidana, dll)
• Dividen yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi.
c. Penyebab perbedaan lain yang berasal dari penghasilan adalah:
• Kerugian suatu usaha di luar negeri. Dalam akuntansi komersial kerugian
tersebut mengurangi laba bersih, sedangkan dalam fiskal kerugian tersebut
tidak boleh dikurangkan dari total penghasilan (laba) kena pajak.
• Kerugian usaha dalam negeri tahun-tahun sebelumnya. Dalam akuntansi
komersial kerugian tersebut tidak berpengaruh dalam perhitungan laba
bersih tahun sekarang, sedangkan dalam fiskal kerugian tahun sebelumnya
dapat dikurangkan dari penghasilan (laba) kena pajak tahun sekarang
selama belum lewat waktu 5 tahun.
• Imbalan dengan jumlah yang melebihi kewajaran. Imbalan yang diterima
atas pekerjaan yang dilakukan oleh pemegang saham atau pihak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan jumlah yang melebihi kewajaran.
d. Pengeluaran tertentu diakui dalam akuntansi komersial sebagai biaya atau
pengurang penghasilan bruto, tetapi dalam fiskal pengeluaran tersebut tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto.
Contoh:
• Imbalan atau penggantian yang diberikan dalam bentuk natura
• Cadangan atau pemupukan yang dibentuk oleh perusahaan, selain usaha
bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, usaha asuransi, dan
pertambangan.
• Pajak penghasilan.
• Sanksi administrasi berupa denda, bunga, kenaikan dan sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan perundang-undangan perpajakan.
• Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu, atau anggota.
• Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi WP atau orang yang
menjadi tanggungannya, dll.
C. Perbedaan Penghasilan Dan Biaya/Pengeluaran
Menurut Akuntansi Dan Menurut Fiskal

Dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu perbedaan tetap/permanen (permanent


differences) dan perbedaan sementara/waktu (timming differences)
a. Beda Tetap/Permanen (Permanent Different) Beda tetap terjadi karena adanya
perbedaan pengakuan penghasilan dan beban menurut akuntansi dengan fiskal, yaitu
adanya penghasilan dan beban yang diakui menurut akuntansi namun tidak diakui
menurut fiskal, ataupun sebaliknya. Beda tetap mengakibatkan laba atau rugi
menurut akuntansi (laba sebelum pajak/pre tax income) yang berbeda secara tetap
dengan laba atau rugi menurut fiskal PhKP (taxable income).
Beda tetap biasanya terjadi karena peraturan perpajakan mengharuskan hal-hal
berikut dikeluarkan dari perhitungan PhKP.
1. Penghasilan yang pajaknya bersifat final, seperti bunga bank, dividen, sewa tanah
dan bangunan, dan penghasilan lain sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (2)
UU PPh.
2. Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak, seperti dividen yang diterima oleh
perseroan terbatas, koperasi, BUMN/BUMD, bunga yang diterima oleh
perusahaan raksa dana, dan penghasilan lain sebagaimana diatur dalam pasal 4
ayat (3) UU PPh.
3. Biaya/pengeluaran yang tidak diperbolehkan sebagai pengurang penghasilan
bruto, seperti pembayaran imbalan dalam bentuk natura, sumbangan,
biaya/pengeluaran untuk kepentingan pribadi pemilik, cadangan atau pemupukan
dana cadangan, pajak penghasilan, dan biaya atau pengurangan lain yang tidak
diperbolehkan (nondeductible expenses) menurut fiskal sesuai Pasal 9 ayat (1)
UU PPh.
4. Beban yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan yang bukan objek pajak
dan penghasilan yang telah dikenakan PPh bersifat final.
5. Penggantian sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura.
6. Sanksi perpajakan..

b. Beda Waktu/Sementara (Time Different) Sesuai namanya beda waktu merupakan


perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan yang sifatnya temporer. Artinya,
secara keseluruhan beban atau pendapatan akuntansi maupun perpajakan sebenarnya
sama, tetapi tetap perbedaan lokasi setiap tahunnya.
Beda waktu biasanya timbul karena perbedaan metode yang dipakai antara fiskal
dengan akuntansi dalam hal:
1. Akrual dan Realisasi;
2. Penyusutan dan amortisasi;
3. Penilaian persediaan;
4. Kompensasi kerugian fiscal
D. Koreksi Positif Dan Negatif Dari Rekonsiliasi Fiskal

Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh WP yang pembukuannya menggunakan


pendekatan akuntansi komersial, yang bertujuan mempermudah mengisi SPT Thunan
PPh dan menyusun laporan keuangan fiskal yang harus dilampirkan pada saat
menyampaikan SPT Tahunan PPh.

Koreksi fiskal dapat berupa koreksi positif dan negatif. Koreksi positif terjadi apabila
laba menurut fiskal bertambah. koreksi positif biasanya dilakukan akibat adanya sebagai
berikut :
1. Beban yang tidak diakui oleh pajak/non-deductible expense-Pasal 9 ayat (1) UU
PPh.
2. Penyusutan komersial lebih besar dari penyusutan fiskal.
3. Amortisasi komersial lebih besar dari amortisasi fiskal.
4. Penyesuaian fiskal positif lainnya. Koreksi negatif terjadi apa bila laba menurut
fiskal berkurang.

Koreksi negatif biasanya biasanya dilakuakan akibat adanya sebagai berikut.


1. Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak—Pasal 4 ayat (3) UU PPh.
2. Penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final—Pasal 4 ayat (2) UU PPh.
3. Penyusutan komersial lebih kecil daripada penyusutan fiskal.
4. Amortisasi komersial lebih kecil daripada amortisasi fiskal.
5. Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya.
6. Penyesuaian fiskal negatif lainnya.

Contoh Kasus :
1) PT. Velvet meminta bantuan untuk menyusun rekonsiliasi fiskal berdasarkan data
laporan keuangan tahun 2019 di bawah ini: (dalam rupiah)
Penjualan 1.500.000.000
Harga Pokok Penjualan 500.000.000
Beban Operasional:
1. Gaji (termasuk pemberian sembako kepada 50.000.000
karyawan senilai Rp5.000.000)
2. PPh 21 ditanggung perusahaan 8.500.000
3. Beban perjalanan dinas 25.000.000
4. Beban pemasaran 12.000.000
5. Sewa gedung kantor 15.000.000
6. Beban reparasi dan pemeliharaan 5.500.000
7. Kerugian cabang Bali 8.000.000
8. Beban jamuan tamu dengan daftar nominatif 13.000.000
9. Beban listrik dan telpon kantor 26.000.000
(termasuk didalamnya beban listrik dan telepon
direksi sebesar Rp5.000.000)
10.Beban jasa teknik 8.000.000
11.Bantuan GNOTA 5.000.000
12.Penyusutan aset tetap 33.125.000
13.Sumbangan untuk karyawati menikah 2.000.000
14.Pajak kendaraan bermotor 1.500.000

Pendapatan Lain-Lain:
1. Dividen dari PT Terang (% kepemilikan 20%) 45.000.000
2. Dividen dari PT Sinar (% kepemilikan 25%) 18.000.000
3. Sewa gedung kepada PT Berlian (setelah PPh) 27.000.000
4. Penghasilan dari penjualan tanah 15.000.000
5. Bunga deposito (sebelum dipotong PPh) 10.000.000
6. Bunga pinjaman dari PT Segar (sebelum dipotong PPh) 7.000.000

Beban lain-lain:
Rugi usaha di Malaysia 14.000.000
Keterangan Tambahan:

Jenis Aset Tahun Beli Harga Beli


Bangunan Permanen 25 Agustus 2004 500.000.000
Kelompok 1 22 Januari 2012 35.000.000
Kelompok 2 4 Mei 2017 55.000.000

Penyusutan fiskal menggunakan metode saldo menurun Diminta:


a. Buatlah rekonsiliasi fiskal untuk tahun 2019
b. Berapa besarnya penghasilan neto fiskal tahun 2019
Penyelesaian :
PT Velvet
Rekonsiliasi Fiskal Tahun 2019
(dalam ribuan Rp)

Menurut Koreksi Fiskal Menurut


Keterangan Keterangan
Akuntansi Positif Negatif Fiskal
Penjualan/Peredaran usaha 1.500.000 - - 1.500.000
Harga pokok penjualan (500.000) - - (500.000)
Penghasilan bruto usaha 1.000.000 - - 1.000.000
Beban usaha:
- Gaji 50.000 5.000 (-) - 50.000 Pasal 9 ayat (1) UU
- PPh 21 ditanggung penuh 8.500 8.500 (-) - 0 PPh
- Beban perjalanan dinas 25.000 - - 25.000 PP 94 Tahun 2010
- Beban pemasaran 12.000 - - 12.000
- B. sewa gedung kantor 15.000 - - 15.000
- B. reparai dan pemeliharaan 5.500 - - 5.500
- Kerugian cabang Bali 8.000 - - 8.000
- B. jamuan tamu 13.000 - - 13.000
- B. listrik dan telepon kantor 25.000 5.000 (-) - 20.000
- Beban jasa teknik 8.000 - - 8.000 Pasal 9 ayat (1) UU
- Bantuan GNOTA 5.000 - - 5.000 PPh
- B. Penyusutan 33.125 - 2.500 (+) 35.625
- Sumbangan Karyawati 2.000 2.000 (-) - 0
- Pajak Kendaraan Bermotor 1.500 - - 1.500 Pasal 11 UU PPh
Total Beban Usaha (211.625) 18.500 2.500 (198.625) Pasal 9 ayat (1) UU
Penghasilan Neto dari Usaha 288.375 18.500 2.500 301.375 PPh

Penghasilan dari luar usaha


- Dividen dari PT Terang 45.000 - - 45.000
- Dividen dari PT Sinar 18.000 - 18.000 (-) 0
- Sewa gedung PT Berlin 27.000 3.000 (+) 30.000 (-) 0
- Penjualan tanah 15.000 - - 15.000
- Bunga deposito 10.000 - 10.000 (-) 0 Pasal 4 ayat (3) UU
- Bunga pinjaman 7.000 - - 7.000 PPh
Total penghasilan dari luar usaha 122.000 3.000 58.000 67.000 Pasal 4 ayat (2) UU
Beban dari luar usaha PPh
- Kerugian usaha Malaysia (14.000) 14.000 - (0)
Laba neto sebelum pajak 396.375 (+) 60.500 368.375 Pasal 4 ayat (2) UU
35.500 PPh

Pasal 9 ayat (1) UU


PPh

Penghasilan neto fiskal perusahaan adalah Rp368.375.000


Atas koreksi fiskal yang dilakukan, perusahaan tidak perlu membuat jurnal.
2) PT. Queen Tbk (Terbuka) yang berdiri sejak 1 Januari 2014 berusaha di bidang
pertenunan.
Berikut ini laporan laba-rugi yang berakhir 31 Desember 2018 : (dalam rupiah)

Penjualan 865.300.000
Harga Pokok Penjualan (650.000.000)
Laba Kotor 215.300.000
Total Biaya Usaha (112.200.000)
Laba Sebelum Pajak 103.100.000
Pajak Penghasilan (4.320.000)
Laba Setelah Pajak 88.680.000

Total Biaya Usaha tersebut terdiri dari :


a. Gaji karyawan 80.000.000
b. Penyusutan mesin 20.000.000
c. Penyusutan gedung 35.000.000
d. Penyusutan tanah 5.000.000
e. Biaya pengeluaran saham 600.000
f. Premi asuransi kebakaran 400.000
g. Sumbangan korban Gempa 200.000
h. Piutang ragu-ragu 700.000
i. Cadangan umum 10.000.000
j. Dividen yang dibayar 20.000.000
k. PPh Pasal 25 yang dibayar 6.200.000
Total Biaya Usaha 378.100.000

Informasi Tambahan:
1. Dalam jumlah gaji karyawan sebesar Rp 80.000.000,- termasuk juga pengeluaran
pribadi direktuir utama sebesar Rp 250.000,- sebulan untuk biaya sopir dan iuran
asuransi kecelakaan dan kematian karyawan Rp 20.000.000,- dan beras yang
dibagikan kepada karyawan Rp 4.000.000.-
2. Hasil stock opname ditemukan nilai persediaan akhir lebih tinggi Rp 60.000.000,-
dari nilai yang dilaporkan dalam laporan laba rugi.
3. Harga perolehan mesin adalah Rp 60.000.000,- dan disusutkan setahun 30% (metode
saldo menurun), mesin tersebut memiliki masa manfaat 4 tahun.
4. Gedung dengan harga perolehan Rp 160.000.000,- disusutkan sebesar 60% setahun
(metode garis lurus).
5. Tanah disusutkan 4% setahun (metode garis lurus)
6. Piutang ragu-ragu dihapuskan karena yang bersangkutan ternyata telah
meninggalkan Indonesia untuk selamanya tanpa diketahui alamatnya.
7. Cadangan umum adalah penyisihan laba untuk tujuan umum (merupakan
pembentukan cadangan).
Diminta : Buatlah laporan rekonsiliasi fiskal, dan hitunglah PPh yang masih harus
dibayar.
a. Buatlah kertas kerja koreksi untuk menghitung laba-rugi fiskal PT. Queen Tbk
per 31 Desember 2018!
b. Tentukan besarnya PPh yang terutang dan PPh yang masih harus dibayar oleh PT.
Queen Tbk per 31 Desember 40.000 !!

Penyelesaian :
Penjelasan :
1. Analisis :
Karena Rp Rp 250.000,- merupakan pengeluaran pribadi , maka tidak boleh
dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan, sehingga dalam satu tahun (Rp
Rp 250.000,- × 12 bln) jumlahnya Rp 3.000.000,-. Demikian pula untuk iuran
asuransi kecelakaan dan kematian karyawan yang dibayar oleh karyawan Rp
20.000.000,- juga tidak boleh dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan.
Adapun beras yang dibagikan kepada karyawan termasuk natura sehingga tidak
boleh dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan. Total koreksi ini
sejumlah Rp 27.000.000,- harus dikoreksi fiskal positif karena koreksi ini
mengakibatkan laba kena pajaknya meningkat.
2. Analisis :
Stock opname merupakan cara penghitungan persediaan akhir secara fisik atau
secara langsung. Nilai persediaan akhir ini berpengaruh pada nilai harga pokok
penjualan. Jika hasil stock opname ditemukan nilai persediaan akhir lebih tinggi Rp
60.000.000dari nilai yang dilaporkan dalam laporan rugi-laba, maka nilai persediaan
akhir tersebut perlu dikoreksi agar sesuai dengan nilai persediaan akhir
sesungguhnya. Akibatnya harga pokok penjualan juga perlu dikoreksi, jika nilai
persediaan akhir naik sebesar Rp 60.000.000,- maka harga pokok penjualannya akan
turun Rp 60.000.000,-. Turunnya harga pokok penjualan ini berakibat naiknya laba
kotor atau laba kena pajak, maka koreksi sebesar Rp 60.000.000,- ini disebut koreksi
fiskal positif.
3. Analisis :
Penyusutan merupakan cara penghitungan manfaat ekonomis dinikmati atau terpakai
selama satu tahun. Nilai penyusutan ini akan mempengaruhi nilai ekonomis dari
mesin tersebut. Peraturan Perpajakan menetapkan bahwa tarif penyusutan untuk
harta tetap yang disusutkan dengan metode saldo menurun sebesar 50% dari harga
perolehannnya. Dengan demikian, wajib pajak dalam melakukan penyusutan harta
tetapnya ini kurang 30%, sehingga besarnya penyusutan mesin ini perlu ditambah
atau dikoreksi sebesar 30% dari harga perolehannya yaitu 30% × Rp 60.000.000,-
atau Rp 18.000.000,- Karena adanya penambahan biaya penyusutan ini, biaya
penyusutannya menjadi lebih besar atau naik sebesar Rp 18.000.000,- . Hal ini
menjadikan turunnya laba kena pajak sebesar Rp 18.000.000,- juga maka koreksi
fiskalnya disebut koreksi fiskal negatif.
4. Analisis :
Peraturan Perpajakan mengklasifikasikan bangunan menjadi bangunan permanen
dan bangunan tidak permanen. Besarnya tarif penyusutan untuk bangunan permanen
sebesar 5% dan bangunan tidak permanen sebesar 20% dari harga perolehannya.
Karena gedung merupakan bangunan permanen, maka tarifnya 5% × Rp
160.000.000,- sehingga besarnya penyusutan bukan Rp 32.000.000,- tetapi Rp
8.000.000,- . Oleh karena itu biaya penyusutan gedung perlu dikoreksi menjadi Rp
8.000.000,- atau biayanya turun Rp 24.000.000,- . Turunnya biaya penyusutan ini
berakibat naiknya laba kołor atau laba kena pajak, maka koreksi sebesar Rp
24.000.000,- ini disebut koreksi fiskal positif.
5. Analisis :
Tanah, dalam UU Perpajakan tidak boleh disusutkan, kecuali tanah yang digunakan
produksi, misal untuk pembuatan batu bata, genting, gerabah dan sejenisnya. Tidak
berlaku jika tanah yang digunakan untuk memproduksi batu-bata, genting dan
sejenisnya tersebut dari hasil membeli. Dengan demikian, penyusutan atas tanah ini
harus dikoreksi atau harus dikeluarkan dari cara penghitungan laba kena pajak.
Akibat koreksi terhadap biaya penyusutan tanah ini, maka laba kena pajaknya akan
naik sebesar penghapusan biaya penyusutan tanah tersebut, maka koreksi fiskal atas
biaya penyusutan tanah sebesar Rp 5.000.000,- ini disebut koreksi fiskal positif.
6. Analisis :
Metode penghapusan piutang, dalam akuntansi ada 2 (dua) yaitu metode indirect
(tidak langsung) dan metode direct (langsung). Metode Indirect, penghapusan
piutang menggunakan cara taksiran terhadap piutang yang telah melebihi waktu
tagihannya. Semakin lama umur tagihan piutang maka dimungkinkan semakin kecil
tingkat tertagihnya. Piutang yang tidak dimungkinkan ditagih dianggap sebagai
Kerugian Piutang, sehingga cara ini dikenal sebagai metode Cadangan Kerugian
Piutang. Adapun metode direct, penghapusan piutang jika benar-benar telah tidak
dapat ditagih secara rill, tidak berdasar taksiran. UU Perpajakan menggunakan
metode langsung ini, untuk menghapuskan piutang yang tidak tertagih. Pada kasus
ini, maka piutang ragu-ragu ini dapat diklasifikasikan sebagai piutang yang tidak
dapat ditagih secara rill, sehingga telah sesuai dengan aturan perpajakan dan dapat
diperlakukan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung laba kena pajak.
Dengan demikian dalam hal ini tidak terjadi koreksi fiskal.
7. Analisis :
Segala macam dan jenis pembentukan cadangan tidak diperkenankan dalam
perpajakan maka cadangan umum ini harus dikoreksi atau dikeluarkan dari unsur
pengurang penghasilan. Karena cadangan sifatnya mengurangi laba kena pajak maka
adanya koreksi terhadap cadangan umum ini maka laba kena pajak menjadi
bertambah maka koreksinya disebut koreksi fiskal positif.
8. Analisis :
Segala macam dan jenis sumbangan tidak diperkenankan dalam perpajakan kecuali
sumbangan yang diatur secara resmi oleh Pemerintah melalui peraturan pemerintah
misal sumbangan GNOT, PMI dan sejenisnya. Sumbangan korban merapi ini tidak
dapat dikategorikan dalam jenis ini, maka harus dikoreksi atau dikeluarkan dari unsur
pengurang penghasilan (mengurangi laba kena pajak), sehingga adanya koreksi
terhadap sumbangan korban merapi ini, laba kena pajak menjadi bertambah maka
koreksinya disebut koreksi fiskal positif.
9. Analisis :
Segala macam pembayaran dividen dalam perpajakan tidak diperkenakan mengurangi
penghasilan bruto dalam menghitung laba kena pajak, sehingga perlu dilakukan koreksi.
Akibatnya laba kena pajak akan bertambah, maka koreksinya disebut koreksi fiskal
positif.
10.Analisis :
Segala macam dan jenis pajak penghasilan serta sanksi perpajakannya tidak
diperkenankan mengurangi penghasilan bruto dalam menghitung laba kena pajak maka
adanya koreksi terhadap pajak penghasilan pasal 25 (PPh Pasal 25) ini laba kena pajak
menjadi bertambah sehingga koreksinya disebut koreksi fiskal positif.

KERTAS KERJA REKONSILIASI FISKAL


PT. Queen Tbk
(dalam rupiah)
Koreksi Fiskal
Menurut
Keterangan Menurut fiskal
Akuntansi
Positf Negatif

Penghasilan Usaha :
Penjualan 865.300.000 865.300.000
Harga Pokok Penjualan (650.000.000) 60.000.000 (-) (590.000.000)
Laba Kotor 215.300.000 60.000.000 275.300.000

Beban Usaha :
- Gaji Karyawan 80.000.000 27.000.000(-) 53.000.000
- B. Penyusutan Mesin 20.000.000 18.000.000(+) 38.000.000
- B. Penyusutan Gedung 35.000.000 24.000.000(-) 11.000.000
- B. Penyusutan Tanah 5.000.000 5.000.000 (-) 0
- B. Penerbitan Saham 600.000 600.000
- Premi Asuransi 400.000 400.000
Kebakaran 200.000 200.000(-) 0
- Sumbangan 700.000 700.000
- Piutang Ragu – ragu 10.000.000 10.000.000 0
- Cadangan Umum 20.000.000 20.000.000(-) 0
- Dividen yang dibayar 6.200.000 6.200.000(-) 0
- PPh yang dibayar
(187.100.000) 92.400.000 103.700.000
Total Beban Usaha

Laba Sebelum Pajak 28.200.000 32.400.000 18.000.000 171.600.000


Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang :
25% × Rp 171.600.000,- = Rp 42.900.000,-
Rp 42.900.000,-
PPh Pasal 25 yang dibayar (Rp 6.200.000,-)
PPh yang masih harus dibayar Rp 36.700.000,-
BAB 12
PPN & PPnBM

A. Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1993 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.

B. Pengertian PPN

Pengertian Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan pada jalur produksi
dan distribusi Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak. Ruang lingkup pemungutan PPN
sesuai UU No. 18 Tahun 2000 adalah sektor industri, perdagangan pada tingkat
distributor utama, pedagang besar, pedagang secara eceran, kegiatan membangun
sendiri oleh orang pribadi atau badan hukum dan penyerahan pemborong bangunan.

C. Objek PPN

a. Barang Kena Pajak.


Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa
barang bergerak atau barang tidak begerak, dan barang tidak berwujud. Barang Kena
Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
b. Jasa Kena Pajak.
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang
karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. Jasa
Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.

D. Tarif PPN

a. Tarif PPN adalah 10% diterapkan atas: 1) Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam
Daerah Pabean; 2) Impor Barang Kena Pajak; 3) Penyerahan Jasa Kena Pajak di
dalam Daerah Pabean; 4) Pemanfaatan Barang Kena pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 5) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
daerah pabean.
b. Tarif PPN adalah 0% diterapkan atas:
1. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
2. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
3. Ekspor Jasa Kena Pajak.
Pengenaan tarif 0% tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk
perolehan yang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan
kegiatan tersebut dapat dikreditkan
Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5%
dan paling tinggi 15% dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal, berdasarkan
perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dan untuk
pembangunan.
c. Tarif pajak PPN 10% dapat dirubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi
15% yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

E. Dasar Pengenaan Pajak

a. Harga Jual, adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

b. Penggantian, adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa
Kena Pajak atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktu Pajak atau berupa uang yang dibayar
atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean.

c. Nilai Impor, adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk
ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak,
tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Bewah
yang dipungut menurut Undang-Undang PPN.

d. Nilai Ekspor, adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
e. Nilai Lain, adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
1. Perhitungan PPN

PPN = Tarif PPN × Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Contoh Soal:

PT. Cemerlang merupakan PKP yang menjual elektronik di Medan. Selama


September 2014, PT. Cemerlang melakukan berbagai transaksi sebagai berikut:
• Penjualan secara langsung kepada konsumen sebesar Rp1.600.000.000.
• Penyerahan BKP, yakni barang elektronik kepada Pemerintah Kota Medan
sebesar Rp660.000.000. Harga tersebut sudah termasuk PPN.
• Menyumbangkan 1 buah televisi ke yayasan panti jompo dengan harga
Rp2.000.000 termasuk keuntungan Rp200.000.
• Membeli sebuah mobil box untuk mengangkut barang dengan harga
Rp550.000.000 dan harga tersebut sudah termasuk PPN.

Dari transaksi-transaksi yang terjadi di atas, maka hitunglah PPN dari transaksi
tersebut? Dan berapa total PPN yang disetorkan?

Jawab:

Transaksi pertama:
PPN = 10% x Rp1.600.000.000 = Rp160.000.000 (pajak keluaran/penjualan)

Transaksi kedua:
DPP = 100/110 x Rp660.000.000 = Rp600.000.000
PPN = 10% x Rp600.000.000 = Rp60.000.000 (pajak keluaran/penjualan)

Transaksi ketiga:
DPP = Rp2.000.000 – Rp200.000 = Rp1.800.000 (pajak keluaran)

Transaksi keempat:
DPP = 100/110 x Rp550.000.000 = Rp500.000.000
PPN = 10% x Rp500.000.000 = Rp50.000.000 (pajak masukan)
Total PPN yang harus disetorkan:

PPN keluarannya = Transaksi pertama + transaksi kedua + transaksi ketiga


= Rp160.000.000 + Rp60.000.000 + Rp100.000.000 + Rp1.800.000
= Rp320.000.000

PPN masukannya = Rp50.000.000


Menghitung PPN yang harus disetorkan = Pajak keluaran – pajak masukan
= Rp320.000.000 – Rp50.000.000
= Rp270.000.000

Jadi, total PPn yang perlu PT. Cemerlang setorkan atas transaksi yang dilakukan selama
Agustus 2016 tersebut adalah sebesar Rp270.000.000

Jurnal Penyesuaian akhir tahun :


PPN Keluaran Rp 320.000.000
PPN Masukan Rp 50.000.000
Kas Rp 270.000.000

F. Pengertian PPnBM

Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean. Impor Barang
Kena Pajak yang tergolong Barang Mewah dikenakan hanya satu kali pada waktu
penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong Barang Mewah oleh Pengusaha yang
mneghasilkan atau pada waktu impor. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah adalah:
a. Barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
b. Barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
c. Barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi;
dan/atau
d. Barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.

G. Tarif PPnBM

Tarif PPnBM dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu tarif paling
rendah 10% dan paling tinggi 200%. Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada
pengelompokkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.

Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0%.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu,
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar
Daerah Pabean dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 0%. Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak
yang tergolong mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.
Perhitungan PPnBM

PPnBM = Tarif PPnBM × Dasar Pengenaan Pajak

Perhitungan PPnBM dalam hal harga termasuk PPN dan PPnBM dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:

100
PPnBMterutang = x Harga Jual (nilai penggantian)
(110 + tarif PPnBM)

Contoh Soal:

Produsen PKP Perdana melakukan penyerahan barang tergolong mewah (tarif 30%)
dengan harga Rp140.000.000 (harga termasuk PPN dan PPnBM)

30
PPnBMterutang = x Rp. 140.000.000
(110 + 30)
= Rp. 30.000.000

PPnBM hanya dipungut pada tingkat penyerahan oleh PKP yang menghasilkan BKP
yang tergolong mewah atau atas impor BKP yang tergolong mewah. Dengan demikian,
PPnBM bukan merupakan Pajak Masukan sehingga tidak dapat dikreditkan. Oleh
karena itu, PPnBM dapat ditambahkan ke dalam harga jual BKP yang tergolong mewah
yang bersangkutan atau dibebankan sebagai biaya sesuai ketentuan perundangundangan
Pajak Penghasilan (PPh).

Contoh :

Produsen PKP Ananda melakukan impor BKP yang Tergolong Mewah (tarif 20%)
dengan nilai impor Rp500.000.000. Atas impor BKP tersebut, PKP Ananda membayar
PPN dan PPnBM sebagai berikut:

DPP Rp500.000.000
PPN : 10% x RP500.000.000 Rp 50.000.000
PPnBM: 20% x Rp500.000.000 Rp100.000.000

BKP yang diimpor tersebut merupakan salah satu komponen bahan baku produk yang
dihasilkan oleh PKP Ananda. Hasil produksi PKP Ananda merupakan BKP yang
Tergolong mewah dengan tarif 30%. Pada bulan yang sama, PKP Ananda melakukan
penyerahan BKP hasil produksinya senilai Rp700.000.000. Atas penyerahan BKP
tersebut, PKP Ananda memungut PPN dan PPnBM sebagai berikut:
DPP Rp700.000.000
PPN : 10% x RP700.000.000 Rp 70.000.000
PPnBM: 30% x Rp700.000.000 Rp210.000.000

Perhitungan PPN dan PPnBM atas kedua transaksi tersebut adalah:

PPN saat penyerahan barang (Pajak Masukan) Rp 70.000.000


PPN saat impor barang (Pajak Masukan) Rp50.000.000(dapat dikreditkan)
PPN kurang disetor Rp 20.000.000

PPnBM saat penyerahan barang Rp210.000.000


PPnBM saat impor barang Rp100.000.000*)
PPnBM harus dibayar saat penyerahan barang Rp210.000.000 *)

*) PPN yang telah dibayar pada saat perolehan BKP dapat dikreditkan dari PPN yang
dipungut pada saat penyerahan BKP. Hal ini idak berlaku untuk PPnBM. PPnBM
bukan pajak masukan sehingga tidak dapat dikreditkan dari PPnBM pada saat
penyerahan BKP. PPnBM hanya bisa ditambahkan ke dalam harga jual BKP yang
tergolong mewah yang bersangkutan atau dibebankan sebagai biaya sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.

PPnBM atas penyerahan BKP yang Tergolong Mewah yang dikembalikan, dapat
dikurangkan dari PPnBM yang terutang pada masa pajak terjadinya pengembalian BKP
tersebut.

Contoh :

Pada januari 2015, PKP Ananda melakukan penyerahan BKP yang tergolong mewah
senilai Rp200.000.000 atas penyerahan tersebut terutang PPnBM Rp40.000.000. pada
bulan yang sama terdapat pengembalian BKP senilai Rp10.000.000, dengan PPnBM
sebesar Rp2.000.000. PPnBM yang terutang pada Masa Pajak Januari 2015 adalah :

PPnBM atas penyerahan barang Rp40.000.000


PPnBM atas pengembalian barang Rp 2.000.000
PPnBM yang harus disetor Rp38.000.000
BAB 13
PPB (PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

A. Dasar Hukum PBB – P3

1. Undang-undang No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-


undang No.12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2014 tentang Tata Cara
Pengenaan PBB Sektor Perkebunan
3. Peraturan DIrektur Jenderal Pajak Nomor PER-42/PJ/2015 tentang Tata Cara
Pengenaan PBB Sektor Perhutanan
4. Peraturan DIrektur Jenderal Pajak Nomor PER45/PJ/2013 tentang Tata Cara PBB
Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas
Bumi
5. Peraturan DIrektur Jenderal Pajak Nomor PER47/PJ/2015 tentang Tata Cara PBB
Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan Batu Bara
6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-36/PJ/2014
7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2014

B. PBB Sektor Perkebunan

1) Pengertian Pajak bumi dan bangunan sektor perkebunan adalah pajak bumi dan
bangunan yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan.

2) Subjek PBB Perkebunan Orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak
dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan atas objek pajak PBB Perkebunan. Subjek Pajak
yang dikenakan kewajiban membayar PBB Perkebunan menjadi Wajib Pajak PBB
Perkebunan

3) Objek PBB Perkebunan


a. Usaha budidaya tanaman perkebunan yang diberikan Izin Usaha Perkebunan
untuk Budidaya (IUP-B)
b. Usaha budidaya tanaman perkebunan yang terintegrasi dengan usaha
pengolahan hasil perkebunan yang diberikan Izin Usaha Perkebunan (IUP)
Kriteria kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, yaitu :
a. Wilayah yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan yang
mempunyai hak guna usaha atau yang sedang dalam proses mendapatkan
hak guna usaha
b. Wilayah di luar hak guna usaha atau yang sedang dalam proses
mendapatkan hak guna usaha yang merupakan satu kesatuan yang
digunakan untuk kegiatan usaha perkebunanan adalah wilayah yang secara
fisik tidak terpisahkan dengan areal yang dikenakan PBB Perkebunan.

Wilayah yang sedang dalam proses mendapatkan hak guna usaha, meliputi :
a. Areal Produktif
b. Areal Belum Produktif, meliputi areal :
1) Yang belum diolah
2) Yang sudah diolah tapi belum ditanami
3) Pembibitan
c. Areal Tidak Produktif
d. Areal Pengaman
e. Areal Emplasemen
Sementara itu, bangunan merupakan konstruksi teknik yang ditanam atau
dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan

4) Dasar Pengenaan PBB Perkebunan


Dasar Pengenaan PBB Perkebunan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), yaitu
hasil penjumlahan antara NJOP Bumi dan NJOP Bangunan

C. PBB Sektor Perhutanan

1) Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan adalah pajak bumi dan
bangunan yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan.

2) Subjek PBB Perhutanan Orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak
dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan atas objek PBB Perhutanan. Subjek Pajak yang
dikenakan kewajiban membayar PBB Perhutanan menjadi Wajib Pajak PBB
Perhutanan

3) Objek PBB Perhutanan


a. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu termasuk IUPHHK-RE
b. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan bukan Kayu
c. Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu
d. Izin Pemungutan Hasil Hutan bukan Kayu
e. Hak Pengusahaan Hutan
f. Hak Pemungutan Hasil Hutan
g. Izin lainnya yang sah, antara lain berupa penugasan khusus terkait dengan usaha
pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan pada hutan produksi
4) Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
a. NJOP Bumi, hasil perkalian antara total luas areal objek pajak yang dikenakan
PBB Perhutanan dengan NJOP bumi per meter persegi
b. NJOP Bangunan, hasil perkalian antara total luas bangunan dengan NJOP
bangunan per meter persegi

D. PBB Sektor Pertambangan untuk pertambangan


minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi

1) Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan adalah pajak bumi dan
bangunan yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan.

2) Subjek PBB Pertambangan Orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu
hak dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai,
dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan atas objek PBB Pertambangan. Subjek
Pajak yang dikenakan kewajiban membayar PBB Pertambangan menjadi Wajib
Pajak PBB Pertambangan

3) Objek PBB Pertambangan


a. PBB Migas dan Panas Bumi
• Permukaan bumi, meliputi :
- Tanah dan/atau perairan pedalaman (Onshore), yang terddiri dari areal
yang dikenakan PBB Migas atau PBB Panas Bumi dan areal yang tidak
dikenakan PBB Migas atau PBB Panas Bumi yang berupa areal lainnya
- Perairan lepas pantai (offshore), yang terdiri dari areal yang dikenakan
PBB Migas yang berupa Areal offshore dan areal yang tidak dikenakan
PBB Migas yang berupa areal lainnya
• Tubuh bumi, berupa :
- Tubuh Bumi Eksplorasi
- Tubuh Bumi Eksploitasi
b. PBB Mineral dan Batu Bara
• Permukaan bumi, meliputi :
- Tanah dan/atau perairan darat (onshore) yang terdiri dari : Areal Objek
Pajak Onshore, Areal Produktif, dan Areal Lainnya
- Perairan lepas pantai (offshore) yang terdiri dari : Areal Objek Pajak
Offshore dan Areal Lainnya
• Tubuh bumi, berupa :
- Tubuh Bumi Eksplorasi
- Tubuh Bumi Operasi Produksi

4) Dasar Pengenaan PBB Migas dan Panas Bumi Dasar Pengenaan PBB Migas dan
PBB Panas Bumi adalah NJOP. NJOP merupakan hasil penjumlaha antara NJOP
bumi dan NJOP Bangunan.

5) Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) Nilai Jual Kena Pajak (assessment value) adalah nilai
jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase
tertentu dari nilai jual sebenarnya. Besarnya persentase pajak ditetapkan
menggunakan Peraturan Pemerintah dengan memerintahkan kondisi ekonomi
nasional. Penetapan besarnya NJKP untuk penghitungan PBB mengacu pada
Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2002 sebagai berikut.
a. Objek pajak perkebunan, kehutanan, dan pertambangan sebesar 40 persen dari
NJOP
b. Objek pajak lainnya :
• Sebesar 40 persen dari NJOP apabila NJOP nya Rp 1.000.000.000 atau
lebih
• Sebesar 20 persen dari NJOP apabila NJOP nya kurang dari Rp
1.000.000.000 Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
ditetapkan paling tinggi sebesar Rp 12.000.000

6) Tarif Pajak Berdasarkan peraturan dari Direktorat Jenderal Pajak, tarif pajak yang
dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 persen
BAB 14
PAJAK DAERAH & RETRIBUSI DAERAH

A. Pengertian

Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

B. Jenis Pajak dan Tarif Pajak

A. Pajak Provinsi
1. Pajak Kendaraan Bermotor
Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil perkalian dari 2 (dua)
unsur pokok:
a. Nilai Jual Kendaraan Bermotor; dan
b. Bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau
pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.

Tarif Pajak Kendaraan:


a. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi ditetapkan sebagai berikut:
• Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama paling tinggi sebesar
1% (satu persen) dan paling tinggi sebesar 2% (dua persen);
• Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya tarif
dapat ditetapkan secara progresif paling rebdah sebesar 2% (dua persen)
dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen)
b. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam
kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan,
Pemerintah/TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, dan kendaraan lain yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah, ditetapkan paling rebdah sebesar 0,5%
(nol koma lima persen) dan paling tinggi sebesar 1% (satu persen).
c. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan
paling rendah sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling tinggi sebesar
0,2% (nol koma dua persen).
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Dasar pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual
Kendaraan Bermotor.

Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi masing-
masing sebagai berikut:
• Penyerahan pertama sebesar 20% (dua puluh persen); dan
• Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu persen).
Khusus untuk Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang tidak
menggunakan jalan umum tarif pajak ditetapkan paling tinggi masing-masing
sebagai berikut:
• Penyerahan pertama sebesar 0,7% (n0l koma tujuh persen); dan
• Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 0,075% (nol koma tujuh puluh
lima persen).

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor


Dasar pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebelum dikenakan Pajak Perta,bahan Nilai.
Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi sebesar
10% (sepuluh persen) dan khusus tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling sedikit 50% (lima
puluh persen) lebih rendah dari tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
untuk kendaraan pribadi.

4. Pajak Air Permukaan


Dasar pengenaan Pajak Air Permukaan adalah Nilai Perolehan Air Permukaan.
Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh
persen).

5. Pajak Rokok
Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah
terhadap rokok. Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari
cukai rokok.

B. Pajak Kabupaten/Kota
1. Pajak Hotel
Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya
dibayarkan kepada Hotel. Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen).

2. Pajak Restoran
Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima
atau yang harusnya diterima Restoran. Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling
tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
3. Pajak Hiburan
Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang
seharusnya diterima oleh penyelenggara Hiburan. Tarif Pajak Hiburan ditetapkan
paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen). Khusus untuk Hiburan berupa
pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan
ketangkasan, pamti pijit, dan mandi uap/spa, tariff Pajak Hiburan dapat ditetapjan
paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen). Khusus Hiburan
rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar
10% (sepuluh persen).

4. Pajak Reklame
Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame. Tarif Pajak
Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen).

5. Pajak Penerangan Jalan


Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik.
Tarif Pajak Penerangan Jalan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan


Dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Nilai Jual
Hasil Pengambilan Mineral Bukan Logam dan Bantuan. Tarif Pajak Mineral
Bukan Logam dan Batuan ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima
persen).

7. Pajak Parkir
Dasar pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang
seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat parker. Tarif Pajak Parkir
ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen).

8. Pajak Air Tanah


Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air Tanah. Tarif
Pajak Air Tanah ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).

9. Pajak Sarang Burung Walet


Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah Nilai Jual Sarang Burung
Walet. Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen).

10.Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan


Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah
Nilai Jual Objek Pajak. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan
ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).
11.Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai
Perolehan Objek Pajak. Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).

Cara Penghitungan Pajak Daerah


Penghitungan pajak daerah dilakukan dengan rumus sebagai berikut.

Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak Daerah

C. Sistem Pemungutan Pajak Daerah

Sistem pemungutan pajak daerah dapat dibagi menjadi dua, yaitu sistem official
assessment (official assessment system) dan sistem self assessment (self assessment
system).

Sistem Official Assessment


Pemungutan pajak daerah berdasarkan penetapan Kepala Daerah dengan menggunakan
Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau dokumen lainnya yang dipersamakan.
Wajib Pajak setelah menerima SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan tinggal
melakukan pembayaran menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) pada kantor
pos atau bank persepsi. Jika Wajib Pajak tidak atau kurang membayar akan ditagih
menggunakan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD).

Sistem Self Assessment


Wajib Pajak menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak daerah yang
terutang. Dokumen yang digunakan adalah Surat Pemberitahuan Pajak Daerah
(SPTPD). SPTPD alah formulir untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan
melaporkan pajak yang terutang. Jika Wajib Pajak tidak atau kurang membayar atau
terdapat salah hitung atau salah tulis dalam SPTPD maka akan ditagih menggunakan
Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD).
Apabila dalam jangka waktu lima tahun berdasarkan pemeriksaan ditemukan adanya
pajak daerah yang tidak atau kurang dibayar maka akan ditagih menerbitkan Surat
Ketetapan Paiak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB), setelah diterbitkan SKPKB
berdasarkan data baru ( novum ) ternyata masih ada pajak daerah yang kurang dibayar,
maka akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan
(SKPDKBT).
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang
Bayar dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari
pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. Sedangkan, jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
Tambahan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah
kekurangan pajak tersebut.
Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25% dari pokok pajak ditambah
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang
atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
dihitung sejak saat terutangnya pajak.

Tata Cara Pembayaran dan Penagihan

Kepala Daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak
yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak dan
paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
Kepala Daerah atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang
ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak
atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.

D. Kedaluwarsa Pajak Daerah

Hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu
5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
Kedaluwarsa penagihan Pajak tertangguh apabila:
a. Diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b. Ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak
langsung.

E. Retribusi Daerah

Beberapa pengertian istilah yang terkait dengan retribusi daerah antara lain:
1. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
Badan.
2. Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang
menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati
oleh orang pribadi atau Badan.
3. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah
untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh
orang pribadi atau Badan.
4. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan
menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan
oleh sektor swasta.
5. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka
pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk
pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan
ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau
fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian
lingkungan.

F. Objek Retribusi Daerah

Yang menjadi objek retribusi daerah adalah :


a. Jasa Umum;
b. Jasa Usaha; dan
c. Perizinan Tertentu.
Jasa yang diselenggarakan oleh badan usaha milik daerah bukan merupakan objek
retribusi.

Retribusi dibagi atas tiga golongan, yaitu:


1. Retribusi Jasa Umum
Kriteria Retribusi Jasa Umum antara lain:
• Retribusi jasa umum bersifat bukan pajak dan bersifat Retribusi jasa usaha
atau perizinan tertentu
• Jasa yang bersangkutan merupakan kewewenangan daerah dalam rangka
pelaksanaan asas desentralisasi
• Jasa tersebut memberikan manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan
yang diharuskan membayar retribusi, disamping untuk melayani
kepentingan atau kemanfaatan umum\
• Jasa tersebut layak untuk dikenakan retribusi
• Retribusi tersebut tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai
penyelenggaraannya
• Retribusi tersebut dapat dipungut secara efektif dan efisien serta nerupakan
satu sumber pendapatan daerah yang potensial
• Pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan
tingkat dan atau kualitas pelayanan yang lebih baik.
Jenis Retribusi Jasa Umum adalah:
a. Retribusi Pelayanan Kesehatan;
b. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan;
c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta
Catatan Sipil;
d. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat;
e. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
f. Retribusi Pelayanan Pasar;
g. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
h. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
i. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;
j. Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus;
k. Retribusi Pengolahan Limbah Cair;
l. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang;
m. Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan
n. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.

2. Retribusi Jasa Usaha


Kriteria Retribusi Jasa Usaha:
• Retribusi Jasa Usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa
Umum atau Retribusi Perizinan Tertentu; dan
• Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang
seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau
terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai Daerah yang belum dimanfaatkan
secara penuh oleh Pemerintah Daerah.

Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah:


a. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
b. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;
c. Retribusi Tempat Pelelangan;
d. Retribusi Terminal;
e. Retribusi Tempat Khusus Parkir;
f. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa;
g. Retribusi Rumah Potong Hewan;
h. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan;
i. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga;
j. Retribusi Penyeberangan di Air; dan
k. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.

3. Retribusi Perizinan Tertentu


Kriteria Retribusi Perizinan Tertentu:
• Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan
kepada Daerah dalam rangka asas desentralisasi;
• Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan
umum; dan
• Biaya yang menjadi beban Daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan
biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut
cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan.
Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh
Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk
pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan
sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna
melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

Jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah:


a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
b. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
c. Retribusi Izin Gangguan;
d. Retribusi Izin Trayek; dan
e. Retribusi Izin Usaha Perikanan.

G. Subjek Retribusi Daerah

Subjek retribusi daerah adalah sebagai berikut :


1. Subjek Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang
menggunakan/menikmati pelayanan jasa umum yang bersangkutan.
2. Subjek Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau Badan yang
menggunakan/menikmati pelayanan jasa usaha yang bersangkutan.
3. Subjek Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi atau Badan yang
memperoleh izin tertentu dari Pemerintah Daerah.

Cara Perhitungan Retribusi

Penghitungan retribusi dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

Tingkat Penggunaan Jasa x Tarif Retribusi

Tingkat Penggunaan Jasa diukur dengan:


1. Kuantitas penggunaan jasa, misalnya berapa kali/jam parker; atau
2. Ditaksir dengan rumus, misalnya untuk izin bangunan berdasarkan luas
tanah/bangunan, jumlah tingkat dan rencana penggunaan.
Tarif retribusi diukur dengan:
1. Nilai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya
Retribusi yang terutang.
2. Dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip
dan sasaran penetapan tarif Retribusi.

H. Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi

1. Retribusi Jasa Umum, ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang
bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian
atas pelayanan tersebut. Yang dimaksud dengan biaya disini meliputi biaya operasi
dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
2. Retribusi Jasa Usaha, didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang
layak, yaitu keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut
dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
3. Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau
seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan yang dengan biaya
penyelenggaraan pemberian izin disini meliputi penerbitan dokumen izin,
pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak
negatif dari pemberian izin tersebut.

Tata Cara Pemungutan Retribusi

Retribusi dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD)


atau dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis, kupon, dan kartu langganan.
Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang
membayar, dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap
bulan dari Retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan
menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah (STRD). Penagihan Retribusi terutang
didahului dengan Surat Teguran. Tata cara pelaksanaan pemungutan Retribusi
ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.

I. Pemanfaatan Retribusi

Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk


mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang
bersangkutan. Ketentuan mengenai alokasi pemanfaatan penerimaan Retribusi
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
J. Sistem Pemungutan Retribusi

Sistem pemungutan retribusi daerah adalah sistem official assessment, yaitu


pemungutan retribusi berdasarkan penetapan kepala daerah dengan menggunakan Surat
Ketetaan Retribusi Daerah (SKRD) atau dokumen lainnya yang dipersamakan. Wajib
retribusi setelah menerima SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan tinggal
melakukan pembayaran menggunakan Surat Setoran Retribusi Daerah (SSRD) pada
kantor pos atau bank persepsi. Jika wajib pajak tidak atau kurang membayar akan
ditagihkan menggunakan Surat Tagihan Retribusi Retribusi Daerah (STRD).

K. Kedaluwarsa Penagihan Retribusi

Hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui


waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib
Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
Kedaluwarsa penagihan Pajak tertangguh apabila:
a. Diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b. Ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak
langsung.
BAB 15
BEA MATERAI

A. Dasar Hukum

a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 atau disebut juga Undang-Undang Bea


Meterai
b. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan
Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai.

B. Pengertian

a. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud
tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak
yang berkepentingan;
b. Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia;
c. Tandatangan adalah tandatangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk
pula paraf, teraan atau cap tandatangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda
lainnya sebagai pengganti tandatangan;
d. Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan
oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterai-nya belum
dilunasi sebagaimana mestinya;
e. Pejabat Pos adalah Pejabat Perusahaan Umum Pos dan Giro yang diserahi tugas
melayani permintaan pemeteraian kemudian.

C. Objek Bea Materai

Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985, dokumen yang dikenakan Bea


Materai adalah dokumen yang berbentuk:
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk
digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan
yang bersifat perdata;
b. Akta-akta notaris termasuk salinannya;
c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk
rangkap-rangkapnya;
d. Surat yang memuat jumlah Uang:
1. Yang menyebutkan penerimaan uang;
2. Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam
rekening di bank;
3. Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
4. Yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya
telah dilunasi atau diperhitungkan;
e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek;
f. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun;
g. dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan :
1. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;
2. Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan
tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain,
lain dari maksud semula;

D. Objek Yang Tidak Dikenakan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985, objek yang tidak dikenakan Bea
Materai adalah dokumen yang berbentuk sebagai berikut:
a. Dokumen yang berupa :
1. Surat penyimpanan barang;
2. Konosemen;
3. Surat angkutan penumpang dan barang;
4. Keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana
dimaksud dalam angka 1), angka 2), dan angka 3);
5. Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
6. Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
7. Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan suratsurat sebagaimana
dimaksud dalam angka 1) sampai angka 6).
b. Segala bentuk Ijazah;
c. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya
yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk
mendapatkan pembayaran itu;
d. Tanda bukti penerimaan uang Negara dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan
bank;
e. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat
disamakan dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank;
f. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
g. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada
penabung oleh bank, koperasi, dan badanbadan lainnya yang bergerak di bidang
tersebut;
h. Surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian;
i. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk
apapun.

E. Tarif Bea Materai

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang perubahan tarif Bea
Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai,
diatur sebagai berikut.

Keterangan Tarif
Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk Rp 6.000
digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau
keadaan yang bersifat perdata.
Akta-akta notaris termasuk salinannya.
Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
termasuk rangkap-rangkapnya.
Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian dimuka
pengadilan, yaitu:
a. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumah tanggaan;
b. Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan
tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang
lain, selain dari maksud semula.
Surat yang memuat jumlah uang nominal lebih dari Rp 1.000.000, yaitu:
a. Yang menyebutkan penerimaan uang;
b. Yang menyatakan pembukuann uang atau penyimpanan uang dalam
rekening dibank;
c. Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
d. Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian
telah dilunasi atau diperhitungkan;
Surat berharga seperti wesel, promes dan aksep yang harga nominalnya
lebih dari Rp 1.000.000
Efek dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang mempunyai harga
nominal lebih dari Rp 1.000.000
Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai harga nominal lebih
dari Rp 1.000.000
Surat yang memuat jumlah uang nominal lebih dari Rp 250.000 sampai Rp 3.000
Rp 1.000.000, yaitu:
a. Yang menyebutkan penerimaan uang;
b. Yang menyatakan pembukuann uang atau penyimpanan uang dalam
rekening di bank;
c. Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
d. Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian
telah dilunasi atau diperhitungkan;
Surat berharga seperti wesel, promes dan aksep yang harga nominalnya
sampai Rp 1.000.000
Efek dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang mempunyai harga
nominal sampai Rp 1.000.000
Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai harga nominal sampai
Rp 1.000.000
Cek dan Bilyet Giro tanpa batas besarnya harga nominal
Surat yang memuat jumlah uang nominal sampai dengan Rp 250.000, Tidak
yaitu: a. Yang menyebutkan penerimaan uang; b. Yang menyatakan dikenakan
pembukuann uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank; c. Bea
Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; d. Yang berisi Meterai
pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi
atau diperhitungkan;
Surat berharga seperti wesel, promes dan aksep yang harga nominalnya
sampai dengan Rp 250.000

Anda mungkin juga menyukai