NPM : 1903101010357
PENGADILAN PAJAK
Pengadilan pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya peningkatan penerimaan
pajak pusat dan daerah, bea masuk dan cukai, dan pajak daerah dalam prakteknya terkadang
dilakukan tanpa adanya peningkatan keadilan terhadap para wajib pajak itu sendiri.
Karenanya, si pewajib pajak seringkali merasakan bahwa peningkatan kewajiban
perpajakan/bea tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa
antara instansi perpajakan, dirasakan adanya suatu kebutuhan untuk mendirikan suatu badan
peradilan khusus untuk menanganinya.
Pengadilan Pajak, didirikan setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak pada tanggal 12 April 2002. Pengadilan pajak sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2002, merupakan badan peradilan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari
keadilan dalam hal terjadi sengketa pajak dengan fiskus (Dewi Karnia Sugiharti, 2005:72).
Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak yang sebelumnya adanya lembaga Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak yang diatur dalam Undang-Undang No. 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak. Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus
sengketa pajak, yakni banding atas keputusan keberaran dan gugatan atas pelaksanaan
penagihan pajak atau keputusan pembetulan. Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat
pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak (Pasal 33 UU No. 14
Tahun 2002). Sehingga putusan pengadilan pajak tidak dapat diajukan kasasi kepada
Mahkamah Agung, kecuali hanya wewenang untuk memeriksa peninjauan kembali (PK),
sebagaimana diatur dalam Pasal 89 UU No. 14 Tahun 2002.
Di samping itu, terdapat beberapa faktor lain yang merupakan kekhususan dari
Pengadilan Pajak antara lain sebagai berikut (Adrian Suterdi):
Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa
pajak, yakni:
Pengadilan pajak juga mempunyai tugas mengawasi kuasa hukum yang memberian
bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang pengadilan pajak (Dewi
Karnia Sugiharti, 2005:72).
Pengadilan pajak yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2002 ini bersifat khusus
menyangkut acara penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan yaitu:
1. Sidang peradilan pajak pada prinsipnya dilaksanakan terbuka, namun dalam hal
tertentu dan khusus guna menjaga kepentingan pemohon Banding atau tergugat,
sidang dapat dinyatakan tertutup, sedangkan pembacaan putusan Hakim Pengadilan
Pajak dilaksanakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
2. Penyelesaian sengketa pajak memerlukan tenaga-tenaga Hakim khusus yang
mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijasah Sarjana Hukum atau sarjana
lain.
3. Sengketa yang diproses dalam pengadilan pajak khusus menyangkut sengketa
perpajakan.
4. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya pajak terutang dari wajib
pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga wajib pajak langsung
memperoleh kepastian hukum tentang besarnya Pajak terutang yang dikenakan
kepadanya. Sebagai akibatnya jenis putusan pengadilan pajak , disamping jenis-jenis
putusan yang umum diterapkan pada peradilan umum, juga berupa mengabulkan
sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah pajak yang masih harus
dibayar (Wiratni Ahmadi, 2006:55).
Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam
memeriksa dan memutus sengketa pajak (Pasal 33 UU No. 14 Tahun 2002). Sehingga
putusan pengadilan pajak tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali
hanya wewenang untuk memeriksa peninjauan kembali (PK), sebagaimana diatur dalam
Pasal 89 UU No. 14 Tahun 2002. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan dengan
alasan:
a. Apabila putusan pengadilan pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus atau didasarkan pada
bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang
apabila diketahui pada tahap persidangan di pengadilan pajak akan menghasilkan
putusan yang berbeda;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang
dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c;
d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya; atau
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Dewi Karnia Sugiharti, 2005:73).
Contoh Kasus:
Pembahasan ini difokuskan pada divonis bebasnya Gayus oleh Pengadilan Negeri
Tangerang karena tidak terbukti melakukan salah satu tindak pidana yang disangkakan, yaitu:
korupsi, Menurut anggota Komisi III DPR, Andi Anzhar Cakra Wijaya, kasus penggelapan
pajak masih belum manjur jika hanya dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi. Undang-Undang Money Laundering (pencucian uang) dinilai lebih sakti menindak
mafia pajak. Para penegak hukum bisa menggunakan Undang-Undang tersebut untuk
membuktikan perbuatan penggelapan pajak kasus Gayus Tambunan. Ia menyebutkan,
penggelapan pajak itu berasal dari perbuatan Gayus yang menerima suap dari perusahaan-
perusahaan yang dibantunya. Akibat suap itulah terjadi penggelapan pajak yang jumlahnya
sangat besar dan merugikan negara. “Kalau ada indikasi penggelapan perpajakan, harus
digunakan Undang-Undang Pencucian Uang. Proses penyidikan bisa dimulai dari pencucian
uang itu,” tutur Andi. Setuju dengan pendapat Andi Anzhar Cakra Wijaya, penulis
berpendapat bahwa sudah seharusnya Gayus dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana
Khusus, yaitu korupsi, pencucian uang dan penggelapan.
Kalau kita baca kembali kasus Gayus tersebut, jelas bahwa pada awalnya dalam
berkas yang dikirimkan penyidik Polri kepada kejaksaan, Gayus H. Tambunan dijerat dengan
tiga pasal berlapis yakni pasal korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. Hal ini karena
Gayus H. Tambunan adalah seorang pegawai negeri dan memiliki dana Rp. 25 miliar di Bank
Panin.
Sebenarnya dengan melihat besarnya dana yang dimiliki oleh seorang pegawai negeri
sudah cukup menimbulkan banyak pertanyaan darimana uang sebanyak itu mengingat Gayus
hanyalah seorang pegawai negeri dan orang tuanya juga bukan pengusaha kaya raya. Sangat
mustahil dia bisa mempunyai uang sebanyak itu di rekening banknya. Keberadaan uang dua
puluh lima milyar di rekening Gayus sudah cukup menjadi bukti permulaan untuk menelusuri
darimana uang tersebut, bagaimana cara Gayus memperolehnya, apakah ada hubungannya
dengan pekerjaannya sebagai seorang pegawai pajak dan lain-lain.
Oleh karena itu, kebocoran APBN di sana-sini hampir dipastikan semakin besar
ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Sebab, semua sektor rawan dikorupsi. Hanya, peluang
beberapa pos anggaran lebih terbuka. Di antaranya, pos penganggaran untuk bantuan sosial
dan belanja modal seperti untuk pembangunan infrastruktur. Mengacu pada sejumlah kasus
korupsi yang bisa dibongkar, jika ditotal, kerugian negara memang cukup besar. Sebut saja
kasus Nazaruddin di wisma atlet yang merugikan negara sekitar Rp25 miliar. Selain itu,
kasus mafia pajak Gayus Tambunan yang merugikan keuangan negara Rp25 miliar. Jadi,
kejahatan anggaran yang belum terungkap itu sebenarnya masih sangat banyak.