Anda di halaman 1dari 5

Sengketa Pajak dan Penyelesaiannya

Adanya kewajiban bagi masyarakat untuk membayar pajak terkadang


tidak berbanding lurus dengan tingkat kesadaran wajib pajak dalam mematuhi
ketentuan tersebut. Keterbatasan pemerintah melalui aparat penagih pajaknya juga
mengakibatkan munculnya masalah persengketaan di bidang perpajakan.
Masalah sengketa pajak ini dari masa ke masa ditanggapi oleh pemerintah
yang berkuasa dengan jalan lembaga penyelesaian sengketa pajak. Pada masa
Pemerintahan Hindia Belanda, di negara ini telah ada badan penyelesaian
sengketa pajak yang dibentuk dengan Ordonansi 1915 (Staatsblad Nomor 707)
dengan nama Raad van het Beroep voor Belastingzaken (Badan Banding
Administrasi Pajak), yang kemudian diganti dengan Ordonansi 27 Januari 1927,
Staatsblad 1927 Nomor 29 tentang Peraturan Pertimbangan Urusan Pajak
(Regeling van het Beroep in Belastingzaken). Selanjutnya, lembaga tersebut oleh
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959 diubah menjadi Majelis Pertimbangan
Pajak yang tugasnya memberi keputusan atas surat pemeriksaan banding tentang
pajak-pajak negara dan pajak-pajak daerah. Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun
1983, MPP diberlakukan sebagai badan peradilan pajak yang sah dan tidak
bertentangan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana tercantum dalam UU
Nomor 14 Tahun 1970. UU Nomor 6 Tahun 1983 mengatur hal ini dalam Pasal
27 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: “Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan
mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.”
Selanjutnya, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut:
“Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk,
permohonan banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak, yang
putusannya bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.”
Seiring berkembangnya aturan mengenai pajak dan semakin meningkatnya
potensi sengketa pajak, MPP dianggap sudah tidak memadai dalam melakukan
penyelesaian sengketa pajak. Oleh sebab itu, pemerintah merasa perlu membentuk
lembaga peradilan di bidang perpajakan yang lebih komprehensif dan dibentuk
melalui undang-undang. Tujuannya adalah menjamin hak dan kewajiban
pembayar pajak sesuai dengan undang-undang bidang perpajakan serta
memberikan putusan hukum atas sengketa pajak. Putusan lembaga peradilan pajak
dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan undang-undang perpajakan
sehingga ketentuan-ketentuan di dalamnya dapat memberikan kepastian hukum
dan keadilan bagi semua pihak.
Maka, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 dibentuklah
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang arah dan tujuan
pembentukannya adalah sebagai berikut.
a. BPSP bertugas memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa:
1. Banding terhadap pelaksanaan keputusan pejabat yang berwenang;
2. Gugatan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan
di bidang penagihan.
b. Putusan BPSP bersifat final dan mempunyai kekuasaan eksekutorial dan
berkedudukan hokum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
c. Pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir
bagi pembayar pajak dan putusannya tidak dapat digugat ke peradilan umum
atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam undang-undang tersebut juga ditentukan bahwa untuk mendapatkan
keadilan pengenaan pajak, wajib pajak dapat menempuh jalur-jalur sebagai
berikut.
a) Jalur keberatan pajak dan banding ke BPSP.
b) Jalur melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
c) Jalur melalui peradilan umum.
Ditentukan pula keberadaan BPSP sebagai badan peradilan pajak hanya
untuk menyelesaikan sengketa administratif, yaitu dari segi perhitungan dan
akuntansi, bukan mengenai pidana pajak.
Walaupun tidak bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, BPSP
pada kenyataannya belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di
Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengadilan pajak yang
sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus
mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa
pajak.
Atas berbagai pertimbangan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia
mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
(UU Nomor 14 Tahun 2002). Definisi pengadilan pajak dijelaskan dalam Pasal 2,
yaitu “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan
terhadap sengketa pajak.”

Contoh kasus Penagihan Pajak dan Penyelesaianya

Pemalsuan Laporan Keuangan


Pada kasus PT. Ancora Mining Service terdapat dua kemungkinan
ketidak-cocokan antara laporan keuangan dan arus lalu lintas uang yang ada, yaitu
perusahaan secara sengaja telah menggunakan jasa akuntan baik internal maupun
akuntan publik untuk mengeluarkan laporan keuangan yang tidak benar ini, atau
sering disebut dengan penggunaan pembukuan ganda, dimana pembukuannya
terbagi menjadi pembukuan untuk kepentingan internal dan pembukuan untuk
konsumsi publik dan/atau pajak.
Kemungkinan kedua adalah perusahaan menjadi korban dari tindak
kejahatan pemalsuan yang dilakukan sendiri oleh akuntannya. Kembali lagi,
akuntan yang dimaksud adalah akuntan internal maupun akuntan publik. Dapat
terjadi bahwa tindakan pemalsuan tersebut dilakukan oleh akuntan internal yang
membutuhkan penilaian baik atas kinerjanya sehingga melakukan kerjasama
kejahatan pemalsuan laporan keuangan bersama dengan akuntan publik.
Di sisi lain juga terdapat pelanggaran atas laporan keuangan Yayasan yang
terkait dengan perusahaan, yaitu Yayasan Ancora, dimana tidak melakukan
laporan atas sumbangan dari pihak MEC yang melebihi Rp.500.000.000,- juta
sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat 2 (b) Undang Undang no. 28 tahun 2004
yang memperbaiki Undang Undang no. 16 tahun 2001 tentang Yayasan.
Jika dapat dibuktikan bahwa perusahaan telah melakukan perbuatan
pemalsuan laporan keuangan sebagaimana diperdugakan, maka perusahaan dapat
dikenakan tuduhan melakukan pemalsuan berdasarkan Pasal 263 (1), 263 (2), dan
378 KUHP, di mana pengguna dan pelaku pemalsuan dapat diancam hukuman
penjara selama enam tahun.
Selain itu perusahaan juga dapat langsung dikaitkan dengan tuduhan
penggelapan pajak sesuai dengan Pasal 55 Undang-undang no. 5 tahun 2011
tentang Akuntan Publik jo pasal 24 Undang-undang No. 15 tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Sengketa Pajak
Laporan penggelapan pajak ini dapat dijadikan dasar terjadinya sengketa
pajak, yaitu tatkala PT. Ancora Mining Service selaku wajib pajak mempunyai
perhitungan hutang dan pembayaran pajak yang berbeda dengan Pemerintah
(fiscus) sesuai dengan Pasal 39 Ayat (1) huruf a jo Pasal 43 Ayat (1) UU No
6/1983 sebagaimana diubah menjadi UU No 16/2000 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan. Sementara itu jika terbukti terjadi penggelapan pajak
maka dikenakan ancaman penggelapan pajak tahun 2008-2010 yang diatur dalam
Pasal 39a huruf b jo Pasal 43 Ayat (1) UU No. 6/1983 sebagaimana diubah
menjadi UU No. 16/2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara.
Namun dalam keadaan dimana terbukti dan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap bahwa telah terjadi pemalsuan laporan keuangan, maka proses
pengajuan sengketa pajak ini tidak dapat dilakukan oleh PT Ancora Mining
Services, melainkan hanya dapat diajukan oleh Dirjen Pajak semata.
Dalam keadaan terjadi kondisi terbukti pemalsuan laporan keuangan dan
sengketa pajak yang diajukan ternyata benar menurut perhitungan Direktorat
Jenderal Pajak, maka PT Ancora Mining Services akan menghadapi dua tuntutan
berbeda yang sungguh akan merugikan nama baik dan reputasi perusahaan
maupun para pemegang sahamnya secara sendiri-sendiri.

Penyelesaian Sengketa Pajak


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 dibentuklah Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang arah dan tujuan pembentukannya
adalah sebagai pemeriksa dan pemutus sengketa pajak berupa
1. Banding terhadap pelaksanaan keputusan pejabat yang berwenang;
2. Gugatan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan
perpajakan di bidang penagihan.
3. Keputusan BPSP bersifat final dan mempunyai kekuasaan eksekutorial
dan berkedudukan hokum yang sama dengan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
4. Pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum
terakhir bagi pembayar pajak dan putusannya tidak dapat digugat ke
peradilan umum atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam undang-undang tersebut juga ditentukan bahwa untuk mendapatkan
keadilan pengenaan pajak, wajib pajak dapat menempuh jalur-jalur melalui BPSP,
PTUN maupun peradilan umum.
Ditentukan pula keberadaan BPSP sebagai badan peradilan pajak hanya
untuk menyelesaikan sengketa administratif, yaitu dari segi perhitungan dan
akuntansi, bukan mengenai pidana pajak.
Walaupun tidak bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, BPSP
pada kenyataannya belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di
Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengadilan pajak yang
sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus
mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa
pajak.
Atas berbagai pertimbangan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia
mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
(UU Nomor 14 Tahun 2002). Definisi pengadilan pajak dijelaskan dalam Pasal 2,
yaitu “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan
terhadap sengketa pajak.”

Anda mungkin juga menyukai